Ashikhah binti Abdul Majid, dan dikaruniai dua orang putri, diantaranya Nyai Djumiatun, dan Nyai Mu’tamaroh. Setelah meninggalnya Nyai Ashikhah disaat
kembali dari ibadah haji, Kiai Wahab menikah lagi untuk yang terakhir kalinya, yaitu dengan kakak kandung Nyai Ashikhah, yaitu Nyai Halimatus Sa’diyah, dan
dikaruniai lima orang anak, yaitu Nyai Hj. Mahfudhoh Ali ubaid anggota DPR, Nyai Hj. Chisbiyah, Nyai Hj. Munjidah, K.H. Hasib Wahab dan K.H. Moh. Roqib
Wahab.
19
G. Pengalaman Belajar
Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di pesantren, maka Wahab kecil dibekali pendidikan utama langsung dari orang tuanya. Oleh ayahnya diajari
pendidikan agama tingkat dasar, seperti membaca al-Qur’an, Tauhid, Fiqh, bahasa Arab, dan Tasawuf.
20
Setelah dididik selama tiga belas tahun dan dirasa cukup, Kiai Wahab berkelana ke berbagai pondok pesantren. Di beberapa pesantren tersebut, Kiai Wahab
memperdalam bermacam-macam ilmu dengan spesifikasi yang berbeda. Pesantren Langitan merupakan pilihan pertama untuk belajar. Setelah setahun belajar, Kiai
Wahab pindah ke Pesantren Mojosari Nganjuk dibawah bimbingan Kiai Sholeh dan
19
Ma’sum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 30.
20
H. Aboebakar Atjeh, ed., Sedjarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hajim, 1957, h. 6.
Kiai Zainuddin, di sana Kiai Wahab mempelajari kitab-kitab fiqh, khususnya kitab Fath’ul Mu’in selama empat tahun. Kemudian Kiai Wahab melajutkan studinya ke
Pesantren Cepoko yang hanya bertahan selama empat bulan. Kemudian pindah ke Pesantren Tawangsari Surabaya, di sana Kiai Wahab mempelajari hukum Islam
dibawah bimbingan oleh Kiai Ali selama satu tahun. Dari Pesantren Tawangsari, pindah ke Pesantren Branggahan Kediri dibawah
bimbingan Kiai Faqihuddin selama satu tahun. Di sana Kiai Wahab belajar Tafsir dan Tasawuf. Setelah menamatkan pelajarannya di Branggahan, Kiai Wahab kemudian
melanjutkan ke Pesantren Kademangan Bangkalan dibawah bimbingan Kiai Cholil, seorang ulama tradisionalis yang cukup terkenal di masanya. Selama tiga tahun Kiai
Wahab memperdalam tata Bahasa Arab. Dari pesantren Kademangan kemudian Kiai Wahab oleh Kiai Cholil disarankan agar melanjutkan studinya di Pesantren Tebuireng
dibawah bimbingan K.H. Hasyim Asy’ari. Di pesantren ini, Kiai Wahab mendapatkan bimbingan selama empat tahun. Bahkan oleh Kiai Hasyim, Kiai Wahab
diangkat sebagai lurah pondok, suatu jabatan tertinggi di kalangan santri. Di berbagai pesantren inilah, kehidupan Kiai Wahab ditempa dan mempelajari
banyak kitab penting hingga mahir. Namun dengan begitu banyaknya pesantren yang dikunjungi dan segudang kitab yang dipelajarinya, tidak membuat Kiai Wahab puas,
bahkan semakin membuat dirinya haus oleh ilmu. Melihat semangat Kiai Wahab dalam mencari ilmu begitu menggebu-gebu, maka disarankan oleh Kiai Hasyim
Asy’ari untuk melanjutkan studi ke Makkah. Akhirnya pada tahun 1912 Kiai Wahab
berangkat ke Makkah dengan mengajak KH. Bisri Syansuri ikut serta.
21
Di kota suci ini, selain menyempurnakan rukun Islam yang kelima, Kiai Wahab bertemu dan
berguru dengan beberapa ulama terkenal. Di antaranya: Kiai Machfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Chotib Minangkabau, Kiai Bakir Yogyakarta,
Kiai Asy’ari Bawean, Syaikh Said al-Yamani, dan Syaikh Said Ahmad ibn Bahri Syatha, Syaikh Umar Bajened dan Syaikh Abdul Karim al-Daghistani.
22
Kesempatan selama di Makkah dipergunakan sebaik mungkin untuk memperkaya khasanah
keilmuannya dengan langsung belajar pada ulama-ulama yang sudah termasyhur hingga ke seluruh penjuru dunia. Setelah mengenyam pendidikan selama lima tahun
di Makkah, Kiai Wahab kembali ke tanah air. Pendidikan yang diperolehnya dengan tanpa mengenal lelah ini semakin
menambah wawasan sosial dan peningkatan pengetahuan keagamaan Kiai Wahab. Dari riwayat pendidikannya, tidak heran jika di kalangan ulama dan para pejuang
sebayanya, Kiai Wahab tampak paling menonjol dari segi pemikiran dan keilmuannya.
H. Pengalaman Intelektual