yang dikisahkan oleh Hj. Mafudhoh Aly Ubeid, salah satu putri Kiai Wahab “ada seorang pengusaha punya kapal, kapal tersebut dikuasai Belanda, ketika mau
diambil susah. Kiai Wahab berusaha mengambil kapal tersebut, dan berhasil ditanganinya”.
36
Sebagai seorang pengusaha yang memiliki pabrik yang diberi nama PT. Sri Gula, beliau juga kerap menangani orang-orang yang ingin pergi
haji. Sebagai ulama, Kiai Wahab juga tak lupa untuk menyempatkan waktunya untuk mengajar dan memberi ceramah, baik di pondok maupun di luar.
I. Landasan Pemikiran Politik
Kerangka berfikir para tokoh NU tidak terlepas dari yurisprudensi Islam yang berasal dari abad pertengahan. Karenanya, pandangan politik NU dipengaruhi oleh
para pemikir Islam klasik yang bercorak pada pemahaman ahlus sunnah wal jamaah dengan menganut mazhab empat. Dari empat mazhab ini, kalangan tradisionalis lebih
menekankan pada mazhab Syafiiyah, ketimbang ketiga mazhab lainnya. Paham ahlus sunnah wal jamaah merupakan pendekatan multidimensional dari suatu gagasan
konfigurasi aspek kalam, fiqh dan tasawwuf.
37
Dengan penjabarannya sebagai berikut:
1. Dalam bidang Fiqh, menganut salah ajaran dari empat mazhab yaitu : Mazhab
Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hambali
36
Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006
37
Ridwan, M.Ag., Paradigma Politik NU; Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik, Yogyakarta: STAINU Purwokerto dan Pustaka Pelajar, 2004, h.201.
2. Dalam bidang tauhid atau akidah, menganut paham Imam Abu Hasan al-
Asyari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi 3.
Dalam bidang tasawwuf, menganut pada imam Abu Qosim al-Junaidi dan Imam al-Ghozali.
38
Ketiga aspek ini merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Namun umumnya para pelaku NU lebih menekankan pada dimensi fiqh dibanding aspek
yang lainnya. Keakraban masyarakat NU terhadap corak pemikiran yang mengacu pada
mazhab Syafiiyah yang dikenal sebagai imam moderat menjadikan pola pikir NU lebih akomodatif, khususnya dalam merespon persoalan politik dan saat memberikan
treatment kepada kekuasaan. Sebagai organisasi yang umumnya keluaran pesantren, kaidah fiqh merupakan kerangka utama dalam menetapkan suatu kebijakan. Bagi
kalangan tradisionalis fiqh merupakan ratu ilmu pengetahuan.
39
Saifuddin Zuhri berpendapat, salah satu strategi yang diterapkan NU dalam setiap perjuangannya, berpegang pada kaidah yang dirumuskan oleh Imam Syafii,
yaitu: dar al-mafasid muqaddam ala jalb al-masalih menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan.
40
Anjuran menghindari bahaya seringkali dikaitkan dengan dua prinsip yang lebih luas cakupannya, yaitu amar
maruf nahi munkar dan maslahat.
38
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992, h. 21-22.
39
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LKiS, 2003, h. 68.
40
Ridwan, Paradigma Politik NU, h. 204.
Pola yang diterapkan oleh Kiai Wahab, pun tidak terlepas dari jalur di atas. Dalam setiap kebijakan yang dilakukan oleh Kiai Wahab lebih menekankan pada
upaya menghindari bahaya ketimbang berkonfrontasi dengan kekuasaan. Karenanya, sikap NU cenderung bersifat akomodatif dengan lebih mengutamakan stabilitas
politik dan harmonisasi kehidupan sosial. Bagi Kiai Wahab, Al-Qur’an dan Hadis adalah landasan dasar yang harus
diutamakan, selain dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan NU dalam Qonun Asasi- nya.
41
Namun dalam satu sisi, Kiai Wahab juga menegaskan, bahwa hukum agama tidak harus didasarkan pada kaidah tekstual, hukum agama juga harus peka terhadap
realitas sosial.
42
Hal ini terlihat dari beberapa langkah politik yang dilakukan oleh Kiai Wahab selama hidupnya. Salah satu contoh adalah pemberian gelar waliyul amri dlaruri
bisy-syaukah kepada Presiden Soekarno. Kiai Wahab membenarkan gelar tersebut yang berlandaskan pada kaidah fiqh dengan meng-qiyas-kan seorang wanita Islam
yang tidak mempunyai seorang wali nasab, disyaratkan untuk menikah dengan wali hakim. Dan wali hakim diangkat atau ditunjuk oleh penguasa atau sultan yang sedang
berkuasa dzu syaukah. Karena Soekarno termasuk seorang penguasa, maka pemberian gelar tersebut untuk memenuhi keabsahan dalam kaidah fiqh.
Dari konteks ini dapat ditegaskan bahwa kerangka berfikir Kiai Wahab tidak terlepas dari masalah yang berkaitan dengan kepentingan umat. Sikap fleksibilitas
41
Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, Wawancara pribadi
42
Fealy, Wahab Chasbullah, h. 4
beliau dalam menghadapi masalah umat menjadikan Kiai Wahab dikenal sebagai seorang pemimpin dan kiai yang akomodatif.
Prinsip ini tidak hanya diterapkan dalam lingkup umum an sich, dalam persoalan yang berkaitan dengan keluarga, beliau lebih mementingkan orang lain
dibandingkan keluarganya. Sebagai seorang pemimpin dalam keluarga beliau lebih mengutamakan kepentingan kerabatnya dibanding anak-anaknya.
43
Bahkan dalam menentukan kebijakan-kebijakan NU, beliau lebih mementingkan orang lain. Untuk
dapat mengupayakan terealisasinya perjuangan tersebut, beliau berprinsip bila mempunyai usaha yang lancar, maka nilai perjuangan akan lebih baik.
44
Dengan kata lain beliau sangat memperhatikan kebutuhan umat untuk kesejahteraan.
43
Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006
44
Hj. Munjidah Wahab, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006
BAB III KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH DAN PENGALAMAN POLITIK