Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama

BAB III KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH DAN PENGALAMAN POLITIK

J. Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama

Pada tahun 1869 M terjadi suatu peristiwa yang memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan dunia Islam di Timur Tengah. Peristiwa tersebut adalah pembukaan Terusan Suez. Sejak itu arus pelayaran yang pada mulanya sepi menjadi ramai. Akibat yang muncul tidak hanya pada bidang perdagangan semata. Bagi umat Islam di Indonesia, pembukaan Terusan Suez memberikan implikasi yang tidak sedikit, khususnya dalam masalah haji. Tercatat setiap tahun terjadi peningkatan dalam menunaikan ibadah haji. 45 Selain fenomena tersebut, di Timur Tengah sedang merebak gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad Abdul Wahab yang dikenal dengan gerakan Wahabiyah-nya, maupun Jamaluddin al- Afghani dan Muhammad Abduh dengan gerakan Pan Islamisme-nya. Imbas dari gerakan tersebut dalam konteks ke-Indonesiaan, terjadi kontak pemikiran intensif antara jama’ah haji Indonesia dengan gerakan ini dan banyak para jama’ah haji yang sambil menuntut ilmu itu terpengaruh oleh faham gerakan tersebut. Tak pelak lagi, ketika para jama’ah haji kembali ke tanah air, mereka membawa faham pembaharuan itu untuk disosialisasikan di daerahnya masing-masing. 45 Umumnya para jama’ah haji tidak hanya sekedar melakukan ritual ibadah. Banyak yang menetap selama beberapa tahun untuk berguru kepada para syeikh di sana. Lihat, Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992, h. 2. Namun tidak semua kalangan menerima faham tersebut secara bulat-bulat, khususnya kalangan ulama pesantren yang pernah belajar di Mekkah. Mereka menilai bahwa pembaharuan Islam tidak mesti dilakukan secara frontal seperti yang difahami oleh para penganut faham pembaharuan. Mereka berpendapat, bahwa pembaharuan Islam dapat direlevansikan terhadap tradisi lokal. Bila purifikasi ajaran Islam ini dilakukan secara radikal, akan berdampak pada psikologis masyarakat. 46 Dengan munculnya gerakan ini, praktis sejak awal 1910-an di kalangan masyarakat Islam Indonesia, khususnya di Jawa, berkembang polarisasi antara kelompok tradisional dan kelompok modernis dan sering menimbulkan perdebatan- perdebatan di antara dua kubu itu. Rivalitas dua kubu tersebut, semakin memuncak seiring dengan dukungan yang kian meningkat dari kalangan modernis dalam wilayah kaum tradisional di sepanjang pesisir utara dan timur Jawa. 47 Sebagai upaya sosialisasi gerakan pembaharuan ini, di kalangan modernis, berdiri dua organisasi yang berlainan visi di wilayah Jawa. Pertama, Sarikat Islam, 48 organisasi ini bercorak politik. Organisasi ini lahir, selain karena faktor gerakan Pan Islamamisme, juga karena situasi ekonomi umat Islam yang didominasi Cina. Kedua, 46 A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 1995, h. 47. 47 Saifullah Ma’shum, ed., KH. Abdul Wahab Chasbullah; Perintis, Pendiri dan Penggerak NU, Jakarta: Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1999, h. 65- 66. 48 Sarikat Islam berdiri pada 11 November 1912 di Solo oleh Samanhudi. Pada mulanya dinamakan Sarikat Dagang Islam. Mengenai perkembangan SI, lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996, h. 115. adalah Muhammadiyah, Persis, Jami’atul Khoir dan al-Irsyad, 49 yang bergerak di bidang keagamaan, sosial dan pendidikan. Muhammadiyah mendapat dukungan besar dan mengalami kemajuan pesat. Diantara keempat organisasi tersebut, Muhammadiyah termasuk organisasi yang paling keras menentang perilaku tradisi lokal yang dianut oleh kalangan tradisionalis. Menghadapi ancaman serius dari kaum modernis ini, KH. Abdul Wahab Hasbullah tampil sebagai figur yang membela kaum tradisionalis. Langkah awal yang dilakukan adalah bersama KH. Mas Mansur, membentuk Madrasah Nahdlatul Wathan. Tak lama kemudian mendirikan Taswirul Afkar yang dikenal dengan sebagai forum diskusi, dan Nahdlatul Tujjar. Figur Kiai Wahab semakin lama semakin populer seiring dengan penampilannya dalam setiap forum diskusi maupun debat publik dengan kalangan modernis. Terlebih lagi, setelah hubungannya dengan Mas Mansur retak dan kemudian hengkang dari Nahdlatul Wathan. Sebagai seorang yang piawai dalam diskusi dan pendebat ulung, Kiai Wahab juga tak segan-segan berhadapan dengan tokoh-tokoh nasional kala itu. Tokoh-tokoh terkemuka seperti: KH. Ahmad Dahlan, Syeikh Ahmad Soorkati, KH. Mas Mansur, dan tokoh lainnya, merupakan lawan debat yang sering menjadi langganan Kiai Wahab. 50 49 Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Sedangkan Persatuan Islam Persis pada tahun 1923 di Bandung. Jami’atul Khoir pada 17 Juli 1905, dan al-Irsyad pada 11 Agustus 1915 di Jakarta. Namun kedua organisasi yang disebutkan terakhir ini, tidak bertahan lama. Lihat, Noer, Gerakan Modern, h. 68-97. 50 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 68. Diskusi-diskusi dengan kalangan modernis, yang pada mulanya hanya bersifat berdebatan semata, menjadi semakin meruncing. Untuk mengantisipasi pertikaian yang umumnya berkisar pada persoalan khilafiyah itu, maka dibentuklah upaya untuk mencari penyelesaian permasalahan dengan membentuk Kongres al-Islam yang dipelopori oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, H.O.S. Cokro Aminoto, KH. Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim, dan KH. Mas Mansur. Kongres pertama dilaksanakan di Cirebon pada tanggal 31 Oktober – 2 November 1922. Kongres ini dimaksudkan untuk menampung seluruh aspirasi umat. Namun karena dalam kongres tersebut membicarakan tentang persoalan agama, dimana al-Irsyad dan Muhammadiyah disatu pihak dan golongan tradisi di pihak lain, maka sering menimbulkan perdebatan. Mereka sepakat memilih wakil dari SI sebagai pimpinan. Namun dengan dipilihnya wakil SI sebagai pemimpin tidak menjadikan persoalan selesai. buntut dari persoalan tersebut, semakin menurunnya kepercayaan kalangan tradisi terhadap SI, terlebih lagi Muhammadiyah dan al- Irsyad. 51 Alih-alih mencari titik temu di kalangan umat Islam yang sedang berselisih, ternyata menjadi ajang hujat menghujat di kedua belah pihak. Alasan yang diambil sangatlah wajar, karena kalangan tradisi mendapat perlakuan kurang mengenakkan dengan kata-kata pedas dan memojokkan terhadap mazhab yang menjadi pegangan para ulama tradisional selama ini. Kaum tradisionalis yang diwakili oleh 51 Noer, Gerakan Modern, h. 144. Kiai Wahab dan KH. R. Asnawi, meninggalkan kongres itu dengan menyimpan kecurigaan yang kuat terhadap kaum pembaharu. 52 Ketika Raja Fu’ad dari Kairo bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat, yang ramai dibicarakan pada masa itu, pada bulan Maret 1924. Sebagai jawaban dari undangan tersebut, maka dibentuk komite khilafat di Surabaya yang di ketuai oleh Wondoamiseno dari SI, dengan wakilnya K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Pada kongres al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 memutuskan mengirim delegasi ke kongres Kairo, yang terdiri dari Surjopranoto SI, Haji Fachruddin Muhammadiyah dan K.H. A. Wahab Hasbullah kalangan tradisional, namun kongres tersebut di tunda. 53 Setelah Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif Husein dari Makkah dengan dukungan kaum Wahabi, dan terjadinya perebutan kedudukan khilafah antara Kairo dan Makkah, maka Ibnu Sa’ud berinisiatif untuk mengadakan Kongres di Makkah. Sebagai jawabannya, Kongres al-Islam keempat diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 21-27 Agustus 1925 dan kongres al-Islam di Bandung pada tanggal 6 Februari 1926. Dalam kongres tersebut peran golongan pembaharu begitu dominan, sehingga aspirasi kaum tradisionalis terabaikan. Hal ini terlihat dari keputusan-keputusan yang diambil kongres ternyata representasi dari rapat organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur pada tanggal 8- 52 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LKiS, 2003, h. 31. 53 Noer, Gerakan Modern, h. 242-243. 10 Januari 1926, satu bulan sebelum kongres ke lima. Karena pihak tradisional tidak mendapat peran dalam utusan delegasi, maka kiai Wahab sebagai wakil dari kaum tradisionalis hanya bisa mengusulkan agar tradisi keagamaan yang telah lama dilakukan oleh kalangan tradisional agar diberi jaminan kebebasan oleh raja Sa’ud. Namun usulan Kiai Wahab tersebut sama sekali tidak dihiraukan oleh kaum pembaharu. Akibat dari perlakuan tersebut, kalangan tradisional yang diwakili Kiai Wahab menyatakan keluar dari kongres tersebut dan kemudian mencoba menggalang kekuatan tradisional, untuk mengadakan musyawarah yang dikhsususkan bagi ulama sependirian. Setelah mendapat restu dari KH. Hasyim Asy’ari, maka bersama sahabat karib sekaligus iparnya, KH. Bisri Syansuri, Kiai Wahab berkeliling pulau Jawa menghubungi kiai-kiai pesantren untuk memperoleh dukungan. 54 Perjalanan keliling Jawa, mulai dari Banyuwangi di ujung timur hingga Menes di ujung barat, berhasil menghadirkan sejumlah ulama ternama di Jawa pada awal Januari 1926. 55 Mereka sepakat membentuk suatu panitia khusus yang disebut dengan Komite Hijaz yang diketuai oleh H. Hasan Gipo. Komite ini direspon dengan sangat antusias oleh kalangan ulama terkemuka di Jawa. 54 Mulanya ide Kiai Wahab yang ditawarkan sejak pra Kongres al-Islam tidak disetujui oleh KH. Hasyim Asy’ari, meskipun sudah mendapat dukungan oleh para kiai-kiai yang lain. Lihat, Saifullah Ma’shum, ed., Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan, 1998, h. 68. 55 Slamet Effendi Yusuf, dkk, Dinamika Kaum Santri; menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU, Jakarta: CV. Rajawali, 1983, h. 18. Pada tanggal 31 Januari 1926 M, bertepatan dengan 16 Rajab 1334 H, bertempat di rumah Kiai Wahab, telah berkumpul sejumlah ulama dari seluruh pulau Jawa untuk merumuskan sikap para ulama yang akan disampaikan pada Raja Sa’ud. Untuk dapat disetujui oleh Raja Sa’ud, maka dibentuklah jam’iyah yang bernama Nahdlatul Ulama. Dalam musyawarah tersebut disepakati lima hal penting: 1. Meminta kepada Raja Sa’ud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. 2. Memohon tetap diresmikannya tempat-tempat bersejarah karena tempat- tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid, seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, bangunan Khaizyran, dll. 3. Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji mengenai hal ihwal haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Mekkah maupun tentang Syeihk. 4. Memohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negri Hijaz, ditulis sebagai UU, supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum tertulisnya UU tersebut. 5. Jam’iyyah NU memohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap Raja Sa’ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul tersebut. 56 Komite Hijaz juga sepakat mengirim delegasi ke Saudi, yaitu adalah KH. R. Asnawi dan KH. Bisri Syansuri, untuk menyampaikan hasil keputusan musyawarah kepada Raja Sa’ud. Namun utusan tersebut gagal berangkat ke Saudi, akhirnya hasil keputusan rapat dikirimkan lewat kawat. Setelah dua tahun tidak ada respon dari Raja Sa’ud, kemudian dikirim utusan untuk menghadap Raja Sa’ud yang diwakili oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghonaim al-Mishri. Delegasi tersebut berhasil mendapat jaminan dari Raja Sa’ud 56 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Solo: Jatayu, 1985, h. 54-55. mengenai kebebasan bermazhab yang dikirimkan melalui surat. 57 Setelah misi yang diemban Komite Hijaz berhasil, kemudian mereka mengadakan rapat kembali untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda. 58 Meskipun Kiai Wahab adalah pencetus ide dan pelopor utama dalam pembentukan NU, ia tidak bersedia menduduki jabatan Ra’is Akbar yang merupakan jabatan tertinggi. Jabatan itu diserahkan oleh gurunya, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dachlan Kebondalem sebagai wakilnya. Baginya dengan menduduki jabatan Katib ‘Am Syuriah, ia merasa cukup puas. Keputusan Kiai Wahab dengan menolak jabatan tersebut, sangatlah beralasan. Meskipun Kiai Wahab sangat gigih dalam memperjuangkan berdirinya NU, namun peran KH. Hasyim Asy’ari sangatlah besar sakali. Untuk memuluskan rencana membujuk para kiai ini, perlu dukungan Kiai Hasyim yang memang telah diakui secara luas sebagai kiai karismatik, khususnya di pulau Jawa. Tanpa dukungannya, sangat sulit mendirikan sebuah organisasi kiai yang solid. Dari konteks ini sangat jelas sekali bahwa perjalanan hidup Kiai Wahab tidak terlepas dari NU, demikian pula sebaliknya. Bagi Kiai Wahab, NU adalah segala- galanya. Karena melalui NU, ia bisa mengagungkan Allah swt dan mengabdikan diri kepada-Nya dengan seluruh jiwa raga. Sebagai penggerak pertama dalam wadah NU, Kiai Wahab sangat kreatif, dengan memprakarsai perkumpulan para ulama seluruh 57 Marijan, Quo Vadis NU, h. 16. 58 NU baru memperoleh pengakuan resmi dari pemerintah Belanda pada tanggal 6 Februari 1930. lihat, Andree Feilard, NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi,Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999, h. 12. Jawa dan mengakomodir ulama secara formal. 59 Sebagaimana diutarakan oleh KH. Idham Chalid, Kiai Wahab juga ingin menjadikan NU sebagai sebuah pesantren dalam skala besar yang dapat dijadikan sebagai tempat beribadah, menuntut ilmu, bergotong royong dan mengabdikan diri kepada masyarakat dengan menyumbangkan karya-karya yang bermanfaat. 60 Karenanya, tidaklah mengherankan jika dikatakan, Kiai Wahab adalah NU dalam praktek, suatu kombinasi integral antara iman, ilmu dan amal yang disertai akhlak yang mulia untuk mengabdi kepada Allah swt serta mendedikasikan diri hanya kepada agama, nusa dan bangsa.

K. Kiprah dan Usaha Merestrukturisasi NU menjadi Organisasi