Kiprah dan Usaha Merestrukturisasi NU menjadi Organisasi

Jawa dan mengakomodir ulama secara formal. 59 Sebagaimana diutarakan oleh KH. Idham Chalid, Kiai Wahab juga ingin menjadikan NU sebagai sebuah pesantren dalam skala besar yang dapat dijadikan sebagai tempat beribadah, menuntut ilmu, bergotong royong dan mengabdikan diri kepada masyarakat dengan menyumbangkan karya-karya yang bermanfaat. 60 Karenanya, tidaklah mengherankan jika dikatakan, Kiai Wahab adalah NU dalam praktek, suatu kombinasi integral antara iman, ilmu dan amal yang disertai akhlak yang mulia untuk mengabdi kepada Allah swt serta mendedikasikan diri hanya kepada agama, nusa dan bangsa.

K. Kiprah dan Usaha Merestrukturisasi NU menjadi Organisasi

Sebagai perintis yang membidani organisasi para kiai ini, Kiai Wahab berjuang keras untuk mengembangkan organisasi baru ini. Ia berkeliling pulau Jawa, dari masjid ke masjid, surau ke surau, tanpa kenal lelah. Jerih payah yang dilakukan Kiai Wahab dan pengurus lainnya, membuahkan hasil yang gemilang. Setiap muktamar yang diadakan, selalu mengalami peningkatan anggota. Tercatat pada muktamar pertama 1926 dihadiri oleh 96 kiai, muktamar kedua 1927 sebanyak 146 kiai dan 242 peserta biasa. Setahun kemudian, pada muktamar ketiga dihadiri oleh 260 kiai dan telah terbentuk 35 cabang. Pada tahun berikutnya dalam muktamar 59 Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, Putri KH. Abdul Wahab Hasbullah, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006. 60 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 77. keempat, dihadiri oleh 1450 peserta dengan 63 cabang yang telah terbentuk. 61 Tahun- tahun berikutnya NU mengalami kemajuan pesat dengan anggota yang tersebar di hampir seluruh pulau Jawa dan di Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku dan Sumatra Utara. 62 Melihat perkembangan yang cukup signifikan, maka tidak mengherankan jika dalam dasawarsa pertama, 1926-1936, jumlah cabang NU telah mampu mengimbangi Partai Sarikat Islam Indonesia PSII dan Muhammadiyah. 63 Dengan berkembangnya NU dalam waktu relatif singkat, maka NU menjadi organisasi besar yang berskala nasional. 64 Sosialisasi yang dilakukan untuk pengembangan NU tidak hanya dilakukan melalui media dakwah dan tabligh semata. Salah satu strategi yang dilakukan Kiai Wahab adalah merintis tradisi jurnalistik. Dengan bermodalkan sebuah mesin percetakan dan sebuah gedung sekaligus sebagai kantor PBNU di Jalan Sasak 23 Surabaya, Kiai Wahab mulai merintis penerbitan media massa yang dinamakan Swara Nahdlatul Ulama, dengan langsung dipimpin oleh Kiai Wahab sendiri. Tujuh tahun kemudian, karena kesibukannya di NU, Kiai Wahab digantikan oleh KH. Mahfudz Siddiq dan berganti nama menjadi Berita Nahdlatul Ulama. 61 Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 75-81, lihat juga, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 39. 62 Noer, Gerakan Modern, h. 252. 63 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 83. 64 Pada mulanya banyak yang menganggap organisasi ini hanya berkembang di tingkat lokal Surabaya, hampir tidak jauh berbeda dengan perkembangan Nahdlatul Wathan maupun Taswirul Afkar. Lihat, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 38. Meningkatnya grafik pertumbuhan NU tidak hanya dari segi kuantitas an sich, tetapi sangat kompleks. Bidang yang ditangani NU juga mencakup pada sektor pendidikan, perdagangan, kepemudaan, gender, dll. Hal ini mendorong dibentuknya departemen baru untuk lebih terkoordinir. Diantara semua sektor, yang cukup berhasil adalah bidang pendidikan. Tercatat dari tahun ke tahun banyak pesantren- pesantren baru dan madrasah baru yang ikut bergabung. 65 Meluasnya pengaruh NU dari waktu ke waktu agaknya sangat beralasan jika ditinjau dari ikatan emosional yang terjadi antara sesama kiai. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kemajuan NU, kiai merupakan unsur utama terhadap pesatnya perkembangan dan perluasan pengaruh NU. Salah satu faktor yang sangat mendukung perkembangan NU adalah kedudukan KH. Hasyim Asy’ari sebagai Ra’is Akbar, meskipun dalam aktifitasnya di organisasi tidak begitu aktif, tetapi kedudukan tersebut memberi warna tersendiri dalam menarik minat orang-orang untuk masuk NU. 66 Faktor lain yang berpengaruh adalah rasa solidaritas sesama golongan tradisional yang dalam posisi terancam oleh golongan pembaharu. Menurut Abdurrahman Wahid, perjalanan pada masa dasawarsa awal tahun, NU memposisikan diri sebagai organisasi keagamaan murni dengan orientasi perjuangan dibidang pendidikan dan dakwah. Namun menginjak tahun berikutnya, orientasi NU mengalami perubahan. Hal itu terjadi saat muktamar NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936. Dalam muktamar tersebut, NU memutuskan bahwa “Negara 65 Dibidang ditangani oleh lembaga pendidikan Ma’arif yang dibentuk pada tahun 2938. lihat, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 41. 66 Noer, Gerakan Modern, h. 249. dan tanah air wajib dilestarikan, wajib menurut fiqh”. 67 Persoalan ini timbul dari pertanyaan mengenai status negara Indonesia dalam pandangan syari’at Islam. Dalam keputusan tersebut, Indonesia atau tanah Jawa merupakan negara Islam, karena pernah dikuasai oleh ummat Islam dalam bentuk kerajaan Islam. Meskipun Indonesia dipimpin oleh pemerintah non-Islam namun mayoritas penduduk negara ini adalah muslim dan tetap diberi kebebasan menjalankan syari’at Islam. Pada substansinya, kecenderungan yang mengarah pada persoalan politik telah muncul sejak awal berdirinya. Hal ini tercermin dalam dua sasaran perjuangannya. Pertama, memperkuat dan mengembangkan amal ibadah dan aqidah serta pengembangan amal-amal sosial, baik bidang pendidikan maupun ekonomi. Kedua, berjuang untuk melawan kolonial Belanda dengan pola perjuangan yang bersifat kultural. 68 Bagi Kiai Wahab, tujuan mendirikan NU tidak hanya sekedar mengembangkan pendidikan dan ekonomi semata, tetapi sebagai upaya melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Ketika ada yang menanyakan mengenai kemerdekaan, sehari sebelum NU lahir, Kiai Wahab menjawab: “Itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam kita tidak leluasa sebelum merdeka.... kita jangan putus asa, kita harus yakin tercapai negri merdeka.” 69 67 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, Yogyakarta: al-Amin Press, 1996, h. 63-66. Ridwan, M.Ag., Paradigma Politik NU; Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik, Yogyakarta: STAINU Purwokerto dan Pustaka Pelajar, 2004, h.191-192. 68 Ridwan, Paradigma Politik NU, h. 189. 69 Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 32-33, lihat juga, Feilard, NU vis-à-vis Negara, h. 15-16. Sebagai langkah kongkrit, pasca muktamar di Banjarmasin, NU mengupayakan rekonsiliasi terhadap kaum modernis yang memang sejak awal selalu berseteru dengan NU. Gayung bersambut, ajakan tersebut diterima golongan modernis. Setahun kemudian, 1937, dibentuklah Majelis Islam ‘Ala Indonesia MIAI. Organisasi ini merupakan gabungan beberapa organisasi Islam yang bertujuan menggalang kekuatan umat Islam menghadapi penjajah, maka kedudukan organisasi ini menjadi sangat penting. 70 Berdirinya MIAI, lagi-lagi tidak terlepas dari peran Kiai Wahab. Pada tanggal 21 September 1937, ia memainkan peranan penting dalam pembentukan MIAI tersebut. Pertemuan pertama dilaksanakan di rumahnya sendiri, dan dihadiri oleh rekannya dari NU, KH. Ahmad Dachlan Kebondalem, KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, dan Wondoamiseno dari SI. Inisiatif dari keempat tokoh yang berbeda haluan ini, sepakat membentuk badan federasi bernama MIAI untuk dijadikan tempat “Permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil- wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpunan-perhimpunan yang berdasar agama Islam di seluruh Indonesia.” 71 Meskipun Kiai Wahab dan KH. Ahmad Dachlan mewakili NU, namun secara organisatoris, NU baru masuk pada tahun 1939 setelah merasa yakin kaum modernis 70 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqh dalam Politik, Jakarta: Gramedia, 1996, h. 96, lihat juga, Marijan, Quo Vadis NU, h. 50-51. 71 Noer, Gerakan Modern, h. 262. tidak mendominasi federasi ini, 72 sebagaimana yang terjadi pada saat pembentukan Kongres al-Islam pada tahun 1920-an. Syafi’i Ma’arif berpendapat ada dua alasan pokok kenapa MIAI dipandang penting. Pertama, usaha politik Islam masih jauh dari harapan, karena persatuan umat Islam belum kokoh. Kedua, landasan spiritual, sebagaimana termaktub dalam al- Qur’an dalam surat al-Imron : 103 yang menjelaskan tentang larangan bertikai. 73 Dalam menjalankan roda organisasi, Kiai Wahab selalu melibatkan kader muda, karenanya muncullah tokoh-tokoh muda yang tampil dalam skala nasional, sepreti : KH. Wahid Hasyim, KH. Mahfudz Siddiq, KH. Abdullah Ubaid, KH. Masykur, KH.Ilyas, KH. Muhammad Dachlan, dll. 74 Mengingat begitu pentingnya peran pemuda dalam memajukan NU, kader muda membentuk wadah tersendiri pada tahun 1934 dan mendapat dukungan dari Kiai Wahab, meskipun harus beberapa kali mengajukan usul dan beberapa kali pula ditolak. 75 Upaya yang dilakukan Kiai Wahab ini, mengantarkan kader-kader muda ikut menentukan arah kebijakan politik Indonesia. Di MIAI misalnya, Kiai Wahab dan Kiai Ahmad Dachlan, digantikan oleh Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Mahfudz Siddiq sebagai wakil utama NU. 76 72 Noer, Gerakan Modern, h. 264, lihat juga, Feilard, NU vis-à-vis Negara, h. 17. 73 Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988, h, 17-18. 74 Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, Jakarta: Gunung Agung, 1987, h. 35 75 Organisasi ini kurang disetujui oleh ulama konservatif, karena gerakan pemuda cenderung meniru cara berpakaian ala barat, seperti: celana panjang, sepatu, dan dasi. Lihat, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 43-44. 76 KH. Wahid Hasyim dan KH. Mahfudz Siddiq masuk dalam MIAI sebagai wakil utama NU pada tahun 1941. lihat, Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 94-95. Sikap NU setelah beralih ke persoalan politik membuat gerah pemerintah kolonial Belanda, sebab beberapa kali NU membuat ulah. Tercatat NU berani menentang kebijakan Guru Ordonantie 1925 peraturan guru yang merugikan Islam. 77 Tuntutan itu mengejutkan banyak pihak, khususnya Belanda. NU juga mendukung dibentuknya GAPI Gabungan Politik Indonesia agar “Indonesia berparlemen”, 78 dan beberapa tuntutan lain seperti: mencabut pembatasan bagi guru dan juru dakwah Islam, penghapusan subsidi bagi sekolah Kristen. Pada tahun 1941 NU mencalonkan Soekarno sebagai pemimpin presiden bila kemerdekaan Indonesia sudah dideklarasikan. 79 Tanggapan Kaum Penjajah terhadap Organisasi NU Selama tiga setengah tahun, di bawah pendudukan Jepang, merupakan masa yang sangat menentukan dalam perjalanan NU selanjutnya. Jika dimasa-masa pengembangan di masa Belanda, NU cenderung sangat hati-hati memasuki kancah perpolitikan. Sejak tahun 1940-an NU mulai menampakkan jati dirinya, dan sebagai titik awal pekembangan NU adalah masuknya Jepang ke Indonesia. 80 Tercatat dalam sejarah, Jepang menyerbu Belanda dengan menduduki Indonesia pada bulan Februari 142. Mula-mula rakyat menerima kedatangan Jepang dengan antusias. Dengan dalih 77 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 49. 78 GAPI lahir pada tanggal 12 Mei 1939 di Jakarta. Kemudian GAPI Membentuk Kongres Rakyat Indonesia KRI tanggal 25 Desember 1939. Tujuan utamanya adalah Indonesia Raya. Lihat, Marwati Djoened dan Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1990, h. 230-232. 79 Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 112. 80 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 50. lihat juga, Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 194. memberi jaminan kemerdekaan bagi Indonesia, bangsa Indonesia berhasil di”nina bobo”kan oleh Jepang. 81 Namun, sikap terlena tersebut tidak berlangsung lama, rakyat mulai sadar, bahwa kita telah ditipu oleh kelicikan Jepang. NU mulai menentang tindakan Jepang yang semena-mena dan memaksakan “ajaran baru”, seperti saikere yang dalam pandangan ulama adalah haram. 82 Melihat gelagat yang kurang baik ini, akhirnya Jepang menangkap KH. Hasyim Asy’ari pada bulan April 1942. 83 Kejadian yang menggemparkan ini menimbulkan reaksi keras dari kalangan kiai. Melihat gentingnya suasana yang terjadi saat itu, Kiai Wahab langsung mengambil alih seluruh tanggung jawab NU. Tindakan yang berani dan beresiko ini tidak lain adalah untuk menyelamatkan perjuangan NU. Bersama KH. Wahid Hasyim, Kiai Wahab bekerja keras mengurus pembebasan KH. HasyimAsy’ari. Hampir lima bulan Kiai Wahab berjuang dan akhirnya membuahkan hasil dengan bebasnya KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfudz Siddiq. Setelah itu, Kiai Wahab berkeliling Jawa untuk mencoba membebaskan ulama-ulama yang lain. 84 81 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press, 1981, h. 300-301 82 Saikere adalah membungkukkan badan sampai 90 derajat seperti ruku’ selama beberapa detik menghadap ke arah Tokyo dengan maksud menghormat kepada Tenno Heika Raja Jepang. Lihat, Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001, h. 225-226 83 Selain itu KH. Mahfudz Siddiq juga ditangkap. Dan tak lama kemudian terjadi penangkapan terhadap beberapa ulama dan tokoh-tokoh NU di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Lihat, Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 96-97 84 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 199-201 Satu bulan sebelum penangkapan Kiai Hasyim, tepatnya tanggal 20 Maret 1942, Jepang melarang semua kegiatan yang bersifat politik dan membubarkan seluruh organisasi yang ada di Indonesia dan diganti dengan gerakan Tiga A, 85 yang diketuai oleh Syamsudin, bekas pemimpin Parindra. 86 Gerakan yang ditawarkan Jepang ini tidak mendapat sambutan dari rakyat. Karena gagal mencapai tujuannya, Jepang membubarkan Gerakan Tiga A dan mendekati tokoh-tokoh nasional. Kemudian terbentuklah PUTERA Pusat Tenaga Rakyat yang dipimpin oleh empat serangkai: Sukarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH. Mas Mansur. 87 Namun, organisasi ini juga kurang mendapat simpati Selain mendekati kalangan nasionalis, Jepang juga merangkul golongan Islam modern, namun Jepang merasa kecewa, karena golongan Islam modern cenderung reaktif. Akhirnya Jepang lebih suka bekerja sama dengan golongan tradisionalis pedesaan. Karena dianggap gagal, kemudian Putera diganti menjadi Jawa Hokokai Perhimpunan Layanan Jawa pada bulan Januari 1944, 88 dengan mendudukkan KH. Hasyim Asy’ari sebagai penasehat utama. Selain itu Kiai Hasyim juga menduduki 85 Nama itu berasal dari slogan bahwa Jepang adalah pemimpin Asia, pelindung Asia dan cahaya Asia. 86 Deliar Noer, Partai Islam Dipentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1987, h. 22. 87 Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, h. 306. 88 Selain itu Jepang juga membentuk PETA Pembela Tanah Air pada bulan Oktober. PETA merupakan organisasi pemuda yang disiapkan menjadi tentara sukarela. Dibulan yang sama, Jepang juga membentuk Romusha serdadu ekonomi yang diprioritaskan sebagai pekerja paksa. jabatan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Shumubu yang dwakilkan oleh anaknya KH. Wahid Hasyim. 89 Meskipun pemerintah membubarkan seluruh organisasi, namun kegiatan NU tetap berjalan. Para ulama juga berusaha agar organisasi NU diizinkan kembali. Setelah Jepang menyadari bahwa jalan menuju rakyat melalui Islam hanya bisa oleh NU. Maka setelah menempuh berbagai usaha, akhirnya pada tanggal 10 September 1943 NU diresmikan kembali. 90 Hal yang sama juga dialami oleh Muhammadiyah, karena Jepang melihat bahwa kedua organisasi ini pada dasarnya bersifat non politis. Tak lama kemudian Perserikatan Umat Islam PUI dan Perserikatan Umat Islam Indonesia PUII ikut diizinkan kembali. 91 Usaha mengembalikan NU sebagai organisasi tidak terlepas dari peran Kiai Wahab bersama KH. Wahid Hasyim. Kiai Wahab yang selama pendudukan Jepang menjabat sebagai Shu Sangi Kai Dewan Penasehat Daerah Surabaya, mencoba melakukan negosiasi agar peran NU dilibatkan dalam setiap kebijakan yang berkaitan dalam bidang keagamaan. Jepang akhirnya merespon usaha Kiai Wahab tersebut. Satu bulan setelah NU disahkan kembali, MIAI dibubarkan dan diganti dengan Masyumi Majelis Syuro Muslimin Indonesia dengan anggota-anggota hanya terdiri dari organisasi yang diakui pemerintah, yaitu NU dan Muhammadiyah. KH. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai ketua umum, namun sebagian tugasnya 89 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 204-205. 90 Noer, Partai Islam Dipentas Nasional, h. 23-24. 91 Didin Syafruddin, ed., Mentri-Mentri Agama RI; Biografi Sosial Politik, Jakarta: Balitbang Depag RI dan PPIM IAIN Jakarta, 1998, h. 128. dilaksanakan oleh KH. Wahid Hasyim, 92 sedang Kiai Wahab ditunjuk sebagai dewan penasehat. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan. Meskipun secara teoritis Masyumi merupakan organisasi non politik, namun kenyataanya organisasi ini juga bersifat setengah politik. Posisi-posisi penting yang diperoleh NU digunakan untuk menggerakkan rakyat sebagai langkah persiapan mencapai kemerdekaannya bersama- sama dengan kekuatan nasionalis lainnya. Ketika Jepang merekrut pasukan sebanyak-banyaknya dengan membentuk PETA, untuk meraih kemenangan akhir melawan sekutu dalam perang Asia Timur, kesempatan ini juga juga tidak disia-siakan oleh Kiai Wahab dan KH. Wahid Hasyim. Melalui Masyumi, Kiai Wahid mengusulkan kepada Jepang untuk memberikan latihan militer khusus bagi para santri. Akhirnya beberapa minggu setelah PETA dibentuk, Kiai Wahab dan Kiai Wahid membentuk laskar Hisbullah. 93 Laskar ini disiapkan ke arah kemerdekaan. Selain membentuk laskar Hizbullah, Kiai Wahab juga memelopori terbentuknya Barisan Mujahidin dan Barisan Kiai. Barisan yang dipimpin Kiai Wahab ini didirikan dengan dalih untuk mempersiapkan perlawanan terhadap Jepang maupun sekutu. Dalam mempersiapkan kemerdekaan, tokoh-tokoh NU juga terlibat dalam badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan BPUPKI. Badan yang dibentuk bulan Maret 1945 ini, melibatkan tokoh-tokoh dari kalangan nasionalis dan kalangan Islam. Dari NU terdiri dari KH. Hasyim asy’ari, KH. Masykur, dan KH. Wahid 92 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 50. 93 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 222. Hasyim. Bahkan KH. Wahid Hasyim masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, 94 suatu badan yang merumuskan pernyataan kemerdekaan yang kemudian dibacakan saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, tak lama kemudian sekutu mendarat di Jakarta pada akhir September. Pasukan yang ditunggangi oleh Belanda ini, berusaha mengambil kekuasaan kembali. Menghadapi ancaman ini, NU mengadakan pertemuan pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya. Pertemuan tersebut memutuskan bahwa perjuangan kemerdekaan adalah jihad. Keputusan ini dikenal dengan “Resolusi Jihad”. 95 Deklarasi ini menyebar dengan cepat, dan tak lama kemudian Laskar Hizbullah yang belum lama dibentuk melakukan perlawanan terhadap sekutu, meskipun pemerintah republik menahan diri tidak melakukan perlawanan. Agaknya pemerintah masih percaya bahwa penyelesaian secara diplomatik masih bisa diharapkan. Tak lama setelah Indonesia merdeka, Sukarno mengangkat Kiai Wahab sebagai anggota Dewan Pertimbangan Partai DPA. 96 Ketika revolusi meletetus, Kiai Wahab terjun dalam gerakan gerilya. Dimasa genting tersebut, Kiai Wahab menunjukkan kepiawaiannya dalam melakukan langkah strategis. Kiai Wahab menjelajahi hampir seluruh pelosok daerah pulau Jawa, untuk menggembleng 94 Saifuddin Zuhri, KH. Abdul Wahab Hasbullah; Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama, Jakarta: Yamunu, 1972, h. 51. 95 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 108-109 96 Tokoh lain diantaranya: Ki Hajar Dewantara, Dr. Douwes Dekker, Dr. Rajiman Wedyodiningrat, dan tokoh pergerakan lainnya. Lihat, Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 148. semangat juang para pemuda dan para kiai dengan mengobarkan semangat jihad menghadapi musuh yang ingin menghalangi kemerdekaan Indonesia. Dalam mengobarkan semangat juang, Kiai Wahab selalu menekankan ucapan yang sangat populer, “Kalau mau keras harus mempunyai keris”, 97 artinya, kita dapat bertindak jika kita telah mempunyai kekuatan, baik kekuatan politik, militer maupun kekuatan batin. Bahkan dalam pertempuran di Surabaya pada 10 Nevember 1945, Kiai Wahab mempunyai andil yang sangat besar. 98 Ia juga menyumbangkan hartanya untuk sarana militer, mengadakan kontrol dengan unit gerilya, membentuk pelaksanaan rekrutmen dan pelatihan santri di Jawa Timur. 99 Selama awal-awal kemerdekaan, NU menjadi basis utama dalam melakukan perlawanan fisik menentang penjajah. Kegigihan NU berjuang melawan sekutu yang jauh lebih unggul dari segi teknologi, tidak menyurutkan langkah NU dalam melakukan perlawanan. Tidak dapat dipungkiri, “Resolusi Jihad” memberi dampak yang cukup besar bagi massa NU, yang selama ini cenderung kooperatif kepada pemerintahan kolonial, baik pada penjajahan Belanda maupun Jepang. Dimasa berlangsungnya revolusi fisik tersebut, KH. Hasyim Asy’ari yang biasa dipanggil dengan Hadrotus syeikh, wafat pada tanggal 27 Juli 1947. Kiai Hasyim wafat setelah mendengar kabar jatuhnya kota Malang di tangan sekutu. 100 97 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 104 98 Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, wawancara pribadi 99 Zuhri, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 59. 100 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 349. Sebagai ulama paling senior, Kiai Wahab tampil menggantikan kedudukan KH. Hasyim Asy’ari sebagai Ro’is Akbar NU. Namun dengan rendah hati Kiai Wahab tidak bersedia menyandang gelar tersebut. Baginya gelar tersebut hanya pantas disandang oleh Hadrotus Syeikh, Kiai Wahab lebih suka menggunakan nama Ra’is Am Ketua Umum. 101 Selain di NU, Kiai Wahab juga menggantikan kedudukan KH. Hasyim Asy’ari dalam Masyumi. Sejak itu peran Kiai Wahab semakin dominan dalam perjalanan NU pada periode selanjutnya.

BAB IV PERGULATAN POLITIK KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH;