BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Konflik Maluku merupakan rangkaian peristiwa kelam yang telah menjadi catatan tragis dan memilukan sepanjang sejarah anak negeri Seribu Pulau.
Konflik dan kerusuhan komunal yang terjadi di wilayah Maluku tersebut mewujud dalam aksi-aksi kekerasan kolektif dengan menggunakan simbol-
simbol agama. Konflik yang terjadi dari tahun 1999-2004 telah menghanguskan bumi Maluku, menghancurkan nama Maluku di mata dunia, dan bahkan
mengganggu hubungan persaudaraan salam-sarane di Maluku. Tak pelak hubungan persaudaraan di Maluku yang dikenal dengan Pela Gandong pun
terkikis. Trauma sosial yang diakibatkan oleh konflik berkepanjangan di Maluku
ketika itu cenderung melebur dalam rasa benci, saling curiga dan rasa takut. Terlebih ketika dalam konflik dipergunakan simbol-simbol agama. Sederet
nuansa yang masuk di dalam konflik Maluku membuatnya sangat sulit untuk diselesaikan. Pendekatan-pendekatan kerukunan yang didasarkan pada budaya
mulai dipertanyakan eksistensinya. Model-model penyelesaian konflik dengan pendekatan budaya di Maluku, seperti Pela, Gandong, Larful Ngabal, Masohi
dan lain sebagainya cenderung dianggap tidak mempan lagi untuk
menyelesaikan konflik yang semakin kompleks di wilayah Maluku tersebut. Tak pelak timbul sejumlah dugaan mengenai latar belakang yang menyebabkan
konflik dengan berbagai sudut pandang, baik agama, politik, sosial-ekonomi, dan lain sebagainya.
Latar belakang apapun namanya telah menempatkan Maluku pada suatu situasi yang dilematis. Beragam upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan
konflik di Maluku. Namun belum mampu memulihkan kondisi Maluku. Hal tersebut disebabkan oleh identitas agama yang lebih diutamakan. Dan
perdamaian yang sesungguhnya hanya dapat tercipta bila masyarakat Maluku
sendiri yang memulainya. Salah satu nama yang menggema di sela-sela upaya
perdamaian di Maluku adalah Louleha. Nama Louleha sesungguhnya merupakan gabungan dari teong dua negeri berpela di Maluku yakni Haria
Leawaka Amapatti
1
dan Siri Sori Islam atau Siri Sori Salam Louhata Amalattu
2
. Kedua negeri adat ini berada di pulau Saparua, Maluku Tengah. Sejak zaman datuk-datuk negeri Haria dan Siri Sori Islam telah memiliki
hubungan kekerabatan. Namun akibat konflik, hubungan itu merenggang. Nama Louleha
kemudian menggema dan diduga merupakan sebuah upaya kedua negeri untuk berdamai. Louleha awalnya hanya sebuah akronim. Namun lambat
laun mengarah pada suatu model aksi penyelesaian konflik, yang sekaligus menguji sejauh mana nilai-nilai yang terkandung dalam Pela Gandong masih
bertahan dan perlu dilestarikan.
Konflik yang tadi-tadinya menghancurkan solidaritas dan integrasi masyarakat Maluku, kemudian diupayakan untuk diselesaikan dengan berbagai
cara untuk mencapai konsensus perdamaian. Louleha mungkin merupakan salah satu hasil konsensus pasca konflik Maluku, yang lahir dari sebuah eksperimen
tradisional. Ia hanya dapat ditemukan di negeri Haria dan Siri Sori Islam. Signifikansinya ialah bahwa Louleha yang namanya menggema seusai
konflik Maluku, kini telah menjadi sebuah model resolusi konflik yang cenderung menampakkan kekuatannya pada adanya rasa persaudaraan antar
komunitas Pela Gandong di Maluku untuk mewujudkan sebuah konsensus bersama pasca konflik menuju perdamaian. Sebab sekiranya Louleha hanya
sebatas nama sebuah arombae, mungkinkah ia mampu menyatukan negeri Islam dan Kristen pasca konflik Maluku? Agaknya Louleha punya makna tertentu dan
juga berperan dalam proses reintegrasi pasca konflik di Maluku. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Berdasarkan alasan sebagaimana disebut di atas, maka penulis memilih judul tesis sebagai berikut:
“Peran Louleha dalam Proses Reintegrasi Sosial Negeri Haria dan Siri Sori Islam Pasca Konflik di Maluku”
I.2 Rumusan Masalah