PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN IMUNISASI DALAM PENDIDIKAN KARAKTER TERHADAP PEMBENTUKAN KONSEP DIRI PESERTA DIDIK SMA NEGERI KARYA PENGGAWA PESISIR BARAT TAHUN PELAJARAN 2013

(1)

PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN IMUNISASI DALAM PENDIDIKAN KARAKTER TERHADAP PEMBENTUKAN

KONSEP DIRI PESERTA DIDIK SMA NEGERI KARYA PENGGAWA PESISIR BARAT

TAHUN PELAJARAN 2013

Oleh

Septilia

Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk menganalisis menjelaskan pengaruh penerapan pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter terhadap pembentukan konsep diri peserta didik di SMA Negeri Karya Penggawa Krui tahun pelajaran 2012-2013.

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri Karya Penggawa kelas X tahun pelajaran 2012-2013 dengan jumlah sampel 17 orang siswa. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui angket, didukung dengan teknik wawancara dan dokumentasi, kemudian data dianalisis dengan menggunakan rumus Chi Kuadrat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) penerapan pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri peserta didik SMA Negeri Karya Penggawa Krui tahun pelajaran 2012-2013. (2). Berdasarkan perhitungan dalam pengujian hipotesis disimpulkan, bahwa penerapan pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter dengan pembentukan konsep diri peserta didik SMA Negeri Karya Penggawa tahun pelajaran 2012-2013 memiliki tingkat keeratan yang cukup tinggi, yaitu X2 = 34,01 adalah positif.


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Optimalisasi hasil pembelajaran memerlukan kiat dan tanggung jawab dari semua pihak yang terkait dengan pendidikan. Bagi lembaga pendidikan tanggung jawab ini penting sekali, karena anak didik yang diajar adalah orang-orang yang masih dalam proses pendidikan dan masih perlu banyak mendapat bimbingan, baik perkembangan jiwanya maupun perkembangan ilmu pengetahuannya.

Bimbingan ini merupakan upaya agar anak didik dapat memiliki konsep diri untuk belajar dan bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri. Kemandirian yang didorong oleh kepercayaan diri dan kemampuan yang sungguh-sungguh merupakan konsep diri yang mampu memaksimalkan hasil belajar.

Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Rogers (dalam Sardiman, 1994: 106),

bahwa “manusia itu memiliki dorongan untuk mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, manusia dapat menentukan nasibnya sendiri.”

Secara psikologis, konsep diri merupakan perasaan dan keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya dari kehidupannya semenjak kecil yang ditanamkan oleh orang tua maupun dari sekolah serta dari pengalaman sehari-harinya. Semenjak konsep diri mulai terbentuk, seseorang akan berperilaku sesuai dengan


(3)

konsep dirinya tersebut. Apabila perilaku seseorang tidak konsisten dengan konsep dirinya, maka akan muncul perasaan tidak nyaman, sebaliknya apabila seseorang memiliki konsep diri yang positif, maka akan terbentuk penghargaan yang tinggi pula terhadap diri sendiri, atau dikatakan bahwa ia memiliki self estreem yang tinggi. Penghargaan terhadap diri yang merupakan evaluasi terhadap diri sendiri akan menentukan sejauh mana seseorang yakin akan kemampuan dirinya dan keberhasilan dirinya.

Konsep diri yang sehat tidak hanya positif, tetapi merupakan gambaran tentang diri yang sesuai dengan kenyataan dirinya. Membantu anak didik memiliki konsep diri yang sehat berarti berupaya membuat dan memperkecil kesenjangan antara ideal self dan real self nya, atau antara seharusnya dan sesungguhnya.

Sejak kecil orang tua harus memberikan cinta tanpa syarat kepada anak, artinya menerima dan mengembangkan anak sesuai dengan segala keunikan dan potensi yang dimilikinya. Anak didukung untuk menjadi diri sendiri, bukan menjadi apa yang dicita-citakan orang tuanya ataupun orang lain. Anak diajak untuk menerima segala kelemahan dan kelebihannya. Guru secara bijaksana harus memberikan umpan balik yang sesuai dengan kondisi anak yang sesungguhnya. Jika anak didik memiliki kelebihan di bidang tertentu maka patut mendapat pujian, tetapi jika anak didik mempunyai kelemahan di bidang tertentu, maka perlu diberi informasi tentang kelemahannya.


(4)

Konsep diri sangat diperlukan bagi anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar lingkungan keluarganya. Ketika seseorang masuk dalam lingkungan di luar keluarganya, bekal yang berupa konsep diri yang realistis serta keterampilan sosial akan menjadi dasar baginya untuk berinteraksi dengan teman-temannya.

Seseorang yang sering mengalami kegagalan dalam lingkungannya, akan mendapat penilaian negatif dari lingkungannya, yang semakin memperburuk konsep dirinya. Demikian juga seseorang yang tidak mempunyai keterampilan sosial, seseorang tanpa keterampilan sosial akan sulit mempertahankan diri menjalin hubungan dengan teman. Perilaku sering kali merugikan diri sendiri dan orang lain sehingga memungkinkan munculnya reaksi dari teman-temannya. Dengan demikian seseorang dengan konsep diri realistis dan keterampilan sosial akan lebih mampu menentukan tujuan yang sesuai dengan kemampuannya, sehingga dengan sendirinya akan lebih mudah mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya kemungkinan untuk mendapat kepuasan akan usahanya pun akan semakin besar. Perasaan puas dan pencapaian prestasi dibidang apa pun akan semakin jelas.

Saat ini kita diperkenalkan pendidikan karakter, karena terkait dengan pembentukan konsep diri realistis dan keterampilan sosial. Pendidikan karakter di sekolah memiliki fungsi mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa; memperkuat kiprah


(5)

pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

Namun semua kita hampir sepakat bahwa mahluk Allah yang bernama manusia yang hidup di kolong langit ini tidak ada yang sempurna, semua punya kekurangan masing-masing, hal ini tidak berarti bahwa kita menerima semua kekurangan itu menjadi sebuah prilaku. Menurut Gerar Hemnas seorang dokter penyakit jiwa (dalam Seriwati Bukit, 2010 : 1), dia mengatakan ada 2523 karakter yang berbeda di dalam diri setiap individu. Untuk itu sangatlah penting pendidikan karakter itu dilakukan sedini mungkin karena lebih cepat pendidikan karakter itu di dalam diri seseorang semangkin cepat dia menguasai bagaimana menjadi individu yang berkarakter baik.

Bangsa Indonesia memiliki karakter seperti ramah tamah, lemah lembut, berbudi pekerti luhur, sopan santun, cita tanah air, mengapa? Karena dulu ada pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah, pendidikan budi pekerti itu kita perkenalkan sejak dini, tapi akhirnya pendidikan budi pekerti itu terlindas dengan perlahan-lahan pendidikan itu hilang dari peredaran digantikan dengan kecanggihan teknologi, kita bangga kalau anak-anak bangsa ini bisa menguasai teknologi yang canggih dan bisa berkomunikasi internasional dan akhirnya menjadi juara-juara diberbagai kompotisi di dunia Internasional, tetapi kita lupa menanamkan nilai-nilai luhur bangsa kita sehingga mereka menjadi generasi muda yang berkarakter negatif


(6)

seperti egois, arogan, masa bodoh dengan urusan orang, tidak cinta pada negara, koruptor, pesimis, kurang usaha, suka melanggar aturan, narkoba dan lain sebagainya, untuk itu kita harus menyeimbangkan antara pengetahuan dan akhlak generasi muda kita agar mereka menjadi generasi muda yang pintar dan beraklak mulia dengan kepribadian yang positif.

Dalam proses belajar mengajar faktor guru sangatlah menentukan karena tugas

seorang guru “bukan saja semata-mata hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, akan tetapi harus juga sebagai pendidik, pembimbing dan mengarahkan siswa

dalam belajar” (Udin Saripuddin, 1989: 87). Hal ini sejalan dengan pengertian

pendidikan menurut Sisdiknas UU No. 20 tahun 2003, bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian , kecerdasan, akhlak mulia,

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, bangsa dan Negara” (Depdiknas, 2006

: 5). Oleh karena itu pembentukan konsep diri melalui pendidikan karakter juga menjadi tanggung jawab guru, karena proses pembentukan dan peningkatan konsep diri juga berada pada proses pembelajaran di lingkungan sekolah.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan melalui pengamatan di kelas yang dilakukan secara berkolaborasi oleh penulis dengan guru pada pertengahan bulan November 2012, menunjukkan adanya gejala rendahnya sikap pengendalian diri, egois, arogan, masa bodoh, serta sikap disiplin dan tanggungjawab seperti dalam tabel berikut ini :


(7)

Tabel 1.Aspek Prilaku yang diamati terhadap siswa kelas X 1 SMA Negeri 1 Karya Penggawa Krui tahun pelajaran 2012-2013

No ASPEK YANG DIAMATI Tinggi Sedang Rendah Jumlah

1 Pengendalian diri 12

2 Egoisme 7

3 Arogansi 5

4 Masa bodoh 8

5 Disiplin 5

6 Tanggung Jawab 5

42 Sumber : Hasil pengamatan di kelas X 1 SMA Negeri 1 Karya Penggawa Krui. Tabel di atas menunjukkan adanya rata-rata sikap yang negatif dari 42 siswa, hal ini diyakini disebabkan adanya faktor-faktor yang menjadi penyebab gejala sikap seperti, diantaranya faktor pola asuh oleh orangtua, faktor lingkungan, faktor keteladanan, dan pola atau model pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah.

Faktor pola asuh oleh orangtua misalnya, diduga berpengaruh pada pembentukan konsep diri Peserta didik, Peserta didik menjadi sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan karena orang tua kurang memberi kesempatan bagi anaknya untuk


(8)

bergaul dan berkomunikasi dengan teman sebaya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Faktor lingkungan juga turut memberi pengaruh yang besar terhadap pembentukan sikap anak. Seorang anak dapat menjadi baik apabila berada pada lingkungan yang benar, tetapi sebaliknya anak akan menjadi buruk perilakunya karena berada pada lingkungan yang salah.

Kemudian faktor keteladanan, faktanya kadang kita dihadapkan pada realitas dari orangtua, guru, para pejabat, politikus, bahkan tokoh agama yang memiliki perilaku tidak baik, hal ini tentunya berdampak pada pembentukan sikap anak. Anak menjadi egois dan arogan karena melihat banyak peristiwa-peristiwa yang tidak memberi pelajaran yang baik pada mereka.

Faktor lain yang diduga berpengaruh pada pembentukan sikap anak adalah pola atau Pendekatan pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah. Pendekatan sterilisasi misalnya; anak dijauhkan dari realitas. Selalu mengatakan jangan, hal ini menjadi tidak efektif karena anak secara diam-diam akan melakukan, maka dia akan menjadi manusia yang munafik, seolah-olah menjadi anak baik tetapi dibelakang orang tua atau guru mereka berperilaku semaunya. Kemudian Pendekatan imunisasi, dimana anak didekatkan kepada realitas. Diberikan pemahaman konsekuensi atau akibat kalau dia melakukan suatu kesalahan maka anak akan berpikir baik dan buruk setiap perilakunya dan akhirnya anak menjadi kokoh dan punya benteng pertahanan diri yang kuat.

Berdasarkan pada konsep ideal dan fakta berkaitan dengan pendidikan karakter dan pembentukan konsep diri anak/Peserta didik, penulis mencoba


(9)

menuangkannya pada suatu penelitian dengan mengambil judul “Pengaruh

Penerapan Pendekatan Imunisasi dalam Pendidikan Karakter terhadap Pembentukan Konsep Diri Peserta Didik SMA Negeri Karya Penggawa tahun pelajaran 2012-2013”.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dapat diidentifikasikan masalahnya sebagai berikut :

1. Pola asuh orangtua terhadap anak berpengaruh pada pembentukan watak dan keperibadian anak.

2. Pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah berpengaruh pada pembentukan konsep diri peserta didik.

3. Faktor lingkungan berpengaruh pada perkembangan perilaku anak.

4. Pola/ model pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah berpengaruh pada pembentukan konsep diri peserta didik.

5. Keteladanan yang diperlihatkan oleh guru berpengaruh dengan sikap peserta didik di sekolah.

1.3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, penelitian ini terpokus pada masalah penerapan Pendekatan dalam pendidikan karakter dan pembentukan konsep diri peserta didik SMA Negeri Karya Penggawa tahun pelajaran 2012-2013.


(10)

1.4 Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah dalam penelitian ini, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut :

“Bagaimanakah pengaruh penerapan Pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter terhadap pembentukan konsep diri peserta didik SMA Negeri Karya Penggawa tahun pelajaran 2012-2013”

1.5. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan Pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter terhadap pembentukan konsep diri peserta didik SMA Negeri Karya Penggawa tahun pelajaran 2012-2013.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Secara Teoritis

Secara teoritis penelitian ini berguna untuk memperkaya dan mengembangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan ilmu pendidikan khususnya pendidikan kewarganegaraan berkenaan dengan upaya pembentukan konsep diri peserta didik melalui pendidikan karakter.

b. Kegunaan Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para guru dan siswa dalam rangka pembentukan konsep diri peserta didik melalui penerapan Pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter di sekolah


(11)

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

1. Ruang Lingkup Ilmu

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu pendidikan kewarganegaraan khususnya pendidikan nilai moral Pancasila.

2.Ruang Lingkup Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah tentang penerapan Pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter dan pembentukan konsep diri peserta didik

3. Ruang Lingkup Subjek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah Peserta didik kelas X SMA Negeri Karya Penggawa Tahun pelajaran 2012-2013.

4. Ruang Lingkup Wilayah Penelitian

Wilayah penelitian ini adalah SMA Negeri Karya Penggawa.

5. Ruang Lingkup Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 12 November 2012 sampai dengan 27 Maret 2013,penelitian yang dikeluarkan oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung sampai dengan selesai.


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Teori

2.1.1. Tinjauan Tentang Pendidikan Karakter 2.1.1.1. Pengertian Karakter.

Menurut Sriwati Bukit (2010 : 2), karakter adalah respon langsung yang dilakukan seseorang terhadap setiap stimulus yang datang dalam keadaan sadar (Golemen),

kata karakter itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu “ caracteer “ yang

artinya tanda, ciri atau gambaran yang diukir. Kepribadian seseorang terdiri dari kumpulan watak dan prilaku hidup yang membedakan dirinya dengan orang lain dan inilah yang dikatakan karakter, karakter ini juga tidak tercipta dalam waktu singkat tetapi tercipta dari suatu cara yang terulang-ulang menjadi sebuah kebiasaan dan kebiasaan terlang-ulang menjadi sebuah tabiat dan tabiat terulang-ulang menjadi sebuah tata kelakuan dan tata kelakuanlah yang melahirkan sebuah budaya dimana gambaran budaya itulah yang kita sebut sebagai karakter, oleh karena itu karakter bisa tercipta dengan adanya sebuah pendidikan karakter yang menciptakan sebuah cara yang tepat dalam melakukan suatu tindakan atau perilaku.

2.1.1.2. Asal Karakter

Lebih lanjut Sriwati Bukit (2010 : 3) menjelaskan, ada dua teori mengenai asal-mula karakter :


(13)

1. Teori pertama mengatakan bahwa karakter itu seperti gen kita, sudah dibawa sejak lahir, seperti warna rambut dan golongan darah. Artinya, kalau saat ini kita mempunyai sifat pemarah itu karena kita sudah mempunyai sifat pemarah

sejak dilahirkan.

2. Teori kedua mengatakan karakter itu dipengaruhi oleh lingkungan, dimana kalau lingkungan yang membentuk baik maka akan terlahirlah sebuah karakter yang baik tetapi kalau lingkungan yang membentuk jelek maka akan terlahirlah karakter yang jelek juga

Dari dua penjelasan di atas maka dapat kita ambil suatu kesimpuan bahwa gen dan lingkungan sama- sama berperan dalam menciptakan individu itu berkarakter baik atau buruk tinggal pengaruh mana yang kuat didalam mempengaruhi perjalanan hidupnya.

2.1.1.3. Fungsi Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa

Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa lebih lanjut di jelaskan oleh Sriwati Bukit (2010 : 4), adalah:

1. pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;

2. perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan


(14)

3. penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

2.1.1.4. Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Lbih lanjut dirinci oleh Agus Wibowo (2010 : 12), tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:

1. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;

2. mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;

3. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;

4. mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan

5. mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan

2.1.1.5. Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Menurut Agus Wibowo (2010 : 13), nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa


(15)

1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai-nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara. 3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup

bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.


(16)

4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga Negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini.

2.1.1.6. Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Selanjutnya dalam petunjuk teknis (Kemendiknas, 2010 : 12), bahwa deskripsi nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa, meliputi :

1. Religius, sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi, sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin, tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.


(17)

5. Kerja Keras, perilaku yang menunjukkan upaya sungguh - sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif, berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri, sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis, cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa Ingin Tahu, sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10. Semangat Kebangsaan, cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta Tanah Air, cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12. Menghargai Prestasi, sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.


(18)

13. Bersahabat/Komuniktif, tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14. Cinta Damai, sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15. Gemar Membaca, kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli Lingkungan, sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli Sosial, sikap dan tindakan yang selalu ingin member bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18. Tanggung-jawab, sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

2.1.1.7. Model Imunisasi dalam Pendidikan Karakter

Menurut Sriwati Bukit (2010 : 6), model membentuk karakter pada diri anak Meliputi:

1. STERILISASI = anak dijauhkan dari realitas. Selalu mengatakan jangan hal ini menjadi tidak efektif karena anak secara diam-diam akan melakukan makadia akan menjadi manusia yang munafik, seolah-olah menjadi anak baik tetapi dibelakang orang tua atau guru mereka berperilaku semaunya


(19)

2. IMUNISASI = anak didekatkan kepada realitas. Diberikan pemahaman konsekuensi atau akibat kalau dia melakukan suatu kesalahan, maka anak akan berpikir baik dan buruk setiap perilakunya, akhirnya anak menjadi kokoh dan punya benteng pertahanan diri yang kuat.

Seperti telah dijelaskan, bahwa salah satu model pendidikan karakter adalah model imunisasi. Model ini dimaksudkan sebagai upaya dari orangtua maupun sekolah membentuk sikap dan perilaku positif pada anak. Anak didekatkan pada realitas (kenyataan hidup), sehingga anak dapat mempertimbangkan untuk memutuskan baik buruk perbuatan berdasarkan rasio (akal sehat) dan atau penalaran moralnya.

Penerapan model imunisasi dalam pendidikan karakter ini mengarah pada pembentukan penalaran moral anak, oleh karena itu peran orangtua dan guru dalam pembinaan karakter peserta didik merupakan upaya lingkungan pendidikan yang secara terpadu dilaksanakan di lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Penalaran moral merupakan kemampuan individu untuk mempertimbangkan alasan mengapa suatu itu dipandang baik atau buruk, sehingga individu dapat menimbang alternatif keputusan untuk melakukan tindakan atau perilaku yang bertanggung jawab. Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan, dari pada sekedar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk.


(20)

Menurut Kurtines (dalam Udin S, 1992: 28) menyatakan bahwa penalaran moral diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menimbang alternatif keputusan dan menentukan kemungkinan arah tindakan yang harus dilaksanakan di dalam menghadapi suatu situasi sosial tertentu. Kemampuan individu tersebut adalah dalam hal berikut :

Menimbang kekuatan relatif akan sistem nilai yang berkompetisi di dalam satu situasi.

a. Memperhitungkan apa yang harus dilakukan seseorang dalam suatu situasi atas dasar prioritas pertimbangan tertentu.

b. Merumuskan rencana tindakan atas dasar sistem nilai yang relevan.

Adapun pendapat Kolhberg dalam Kusdwirati (dalam Udin S, 1992: 44) menyatakan bahwa penalaran moral bukannya apa yang baik dan buruk, tetapi bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu itu baik atau buruk, artinya penalaran moral merupakan suatu alasan atau pertimbangan mengapa suatu dianggap baik atau buruk.

Kematangan moral menuntut penalaran yang matang pula dalam arti moral. Suatu keputusan bahwa sesuatu itu baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu disebut matang bila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh sebab itu tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral, dan jika kematangan moral itu adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka seharusnya para guru dan pendidik moral mengetahui proses perkembangan dan cara-cara membentuk perkembangan moral tersebut.

Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana perilaku, intuisi, atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral adalah proses berpikir yang mendasari keputusan benar dan salah.


(21)

Muryono dalam Kurtines (dalam Udin S, 1992: 93) menyebutkan bahwa

“penalaran atau pertimbangan moral merupakan arah suatu tindakan yang diproses

melalui seperangkat aturan dan tanggung jawab”. Fungsi dari penalaran moral itu

sendiri adalah untuk menetukan arah tindakan yang baik atau tindakan secara moral berdasarkan keputusan diri sendiri. Penalaran moral dalam situasi yang nyata berlangsung melalui dua fase. Fase pertama adalah fase pertimbangan tentang kebenaran, sedangkan fase kedua adalah fase pertimbangan pertanggungjawaban, yaitu pertimbangan tentang tanggung jawab seseorang untuk melaksanakan tindakan yang benar.

2.1.1.8. Prinsip dan Pendekatan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Pada prinsipnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.

Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik


(22)

belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.

Lebih lanjut Agus Wibowo (1012 : 12) menyatakan, bahwa prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, adalah :

1. Berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun.

2. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler.

3. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna bahwa materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS,


(23)

matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, dan ketrampilan. Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilainilai budaya dan karakter bangsa. Juga, guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri mereka. Mereka tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai itu.

4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan maka guru menuntun peserta didik agar secara aktif. Hal ini dilakukan tanpa guru mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan


(24)

peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah

2.1.1.9. Perencanaan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Dalam petunjuk teknis (kemendiknas, 2010 : 12) Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui hal-hal berikut ini.

1. Program Pengembangan Diri

Dalam program pengembngan diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah yaitu melalui hal-hal berikut

a. Kegiatan rutin sekolah

Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah


(25)

upacara pada hari besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut, dan lain-lain) setiap hari Senin, beribadah bersama atau shalat bersama setiap dhuhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru, tenaga kependidikan, atau teman.

b. kegiatan spontan

Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan biasanya pada saat guru dan tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila guru mengetahui adanya perilaku dan sikap yang kurang baik maka pada saat itu juga guru harus melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang tidak baik itu. Contoh kegiatan itu: membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh. Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta didik yang tidak baik dan yang baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olahraga atau kesenian, berani menentang atau mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji.


(26)

Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan.

d. Pengkondisian

Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa maka sekolah harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu. Sekolah harus mencerminkan kehidupan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang diinginkan. Misalnya, toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.

2. Pengintegrasian dalam mata pelajaran

Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP. Pengembangan nilai-nilai itu dalam silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini:


(27)

a. mengkaji Standar Komptensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum itu sudah tercakup di dalamnya;

b. menggunakan 18 nilai karakter dan mengaikan antara SK dan KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan

c. mencantumkankan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang 18 ke dalam silabus;

d. mencantumkan nilai-nilai yang sudah tertera dalam silabus ke dalam RPP;

e. mengembangkan proses pembelajaran peserta didik secara aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai; dan

f. memberikan bantuan kepada peserta didik, baik yang mengalami kesulitan untuk menginternalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.

g. Budaya Sekolah

Budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan


(28)

sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilainilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah.

2.1.1.10. Pengembangan Proses Pembelajaran

Menurut Mansur Muslih (2011 : 12), Pembelajaran pendidikan budaya dan karakter bangsa menggunakan pendekatan proses belajar peserta didik secara aktif dan berpusat pada anak; dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah, dan masyarakat.

1. Kelas, melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan yang dirancang sedemikian rupa. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu, tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada pendidikan budaya dan karakter bangsa. Meskipun


(29)

demikian, untuk pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru. Untuk pegembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengkondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai-nilai itu.

2. Sekolah, melalui berbagai kegiatan sekolah yang diikuti seluruh peserta didik, guru, kepala sekolah, dan tenaga administrasi di sekolah itu direncanakan sejak awal tahun pelajaran, dimasukkan ke Kalender Akademik dan yang dilakukan sehari-hari sebagai bagian dari budaya sekolah. Contoh kegiatan yang dapat dimasukkan ke dalam program sekolah adalah lomba vocal group antarkelas tentang lagu-lagu bertema cinta tanah air, pagelaran seni, lomba pidato bertema budaya dan karakter bangsa, pagelaran bertema budaya dan karakter bangsa, lomba olah raga antarkelas, lomba kesenian antarkelas, pameran hasil karya peserta didik bertema budaya dan karakter bangsa, pameran foto hasil karya peserta didik bertema budaya dan karakter bangsa, lomba membuat tulisan, lomba mengarang lagu, melakukan wawancara kepada tokoh yang berkaitan dengan budaya dan karakter bangsa, mengundang berbagai narasumber untuk berdiskusi, gelar wicara, atau berceramah yang berhubungan dengan budaya dan karakter bangsa.

3. Luar sekolah, melalui kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang diikuti oleh seluruh atau sebagian peserta didik, dirancang sekolah sejak


(30)

awal tahun pelajaran, dan dimasukkan ke dalam Kalender Akademik. Misalnya, kunjungan ke tempat-tempat yang menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air, menumbuhkan semangat kebangsaan, melakukan pengabdian masyarakat untuk menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial (membantu mereka yang tertimpa musibah banjir, memperbaiki atau membersihkan tempat-tempat umum, membantu membersihkan atau mengatur barang di tempat ibadah tertentu).

2.1.1.11. Penilaian Hasil Belajar

Penilaian pencapaian pendidikan nilai budaya dan karakter didasarkan pada indikator. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur di suatu semester dirumuskan dengan “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat, diamati, dipelajari, atau dirasakan” maka guru mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik itu jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat guru berada di kelas atau di sekolah. Model anecdotal record (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan guru. Selain itu, guru dapat pula memberikan tugas yang


(31)

berisikan suatu persoalan atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan nilai yang dimilikinya. Sebagai contoh, peserta didik dimintakan menyatakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal yang dapat mengundang konflik pada dirinya.

2.1.2. Tinjauan tentang Konsep Diri 2.1.2.1. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.

Slameto (1995: 182) berpendapat bahwa konsep diri adalah persepsi keseluruhan yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri, konsep diri tumbuh diri interaksi seseorang dengan orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya, biasanya orang tua guru dan teman-teman.

Sedangkan menurut Jacinta F. Rini (2002: 1) bahwa konsep diri didefinisikan sebagai keyakinan, pandangan, penilaian seseorang terhadap dirinya.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah berdasarkan pandangan, keyakinan seseorang terhadap dirinya yang timbul dari dirinya dan dapat pula terjadi karena ada pengaruh dari pihak luar yang mempengaruhi dirinya.


(32)

Menurut Jacinta F. Rini (2002: 1) bahwa “konsep diri dikategorikan dalam 2 kelompok dasar yakni: (1) konsep diri positif, (2) konsep diri negatif”.

Yang dimaksud dengan konsep diri positif adalah pandangan atau keyakinan terhadap diri yang lebih optimis dan penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu juga termasuk kegagalan yang dialaminya.

Yang dimaksud dengan konsep diri negatif adalah pandangan atau keyakinan terhadap diri yang cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapi.

Konsep diri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah konsep diri dalam belajar, konsep diri sebagai mahasiswa. Kemandirian sebagai mahasiswa, disiplin dan konsentrasi belajar dan prestasi belajar.

2.1.2.2. Konsep Diri Dalam Belajar

Seorang siswa dalam belajar memiliki unsur-unsur atau sifat-sifat ingin tahu tentang segala sesuatu dalam dirinya. Setiap siswa sebagai individu memiliki dasar mental meliputi dorongan ingin tahu, dorongan ingin menemukan sendiri hal-hal dan gejala kehidupan, dorongan ingin melihat kenyataan. Sifat ingin tahu sesuatu itu tidak hanya terjadi oleh satu unsur saja dalam tubuh, namun seluruh sifat yang terdapat pada semua anggota tubuh.

Belajar dapat terjadi karena semua unsur yang ada sifat-sifat dalam anggota badan kita bekerja sama untuk mewujudkan sesuatu. Unsur hati berkeinginan untuk


(33)

belajar kemudian diteruskan oleh unsur otak untuk berfikir dan dikerjakan bersama-sama oleh anggota tubuh yang lain, sehingga akan terwujud aktivitas belajar, konsep seperti ini yang bisa dikategorikan konsep diri dalam belajar.

Siswa yang memiliki konsep diri untuk mempelajari materi pelajaran berarti memiliki unsur-unsur yang timbul dari seluruh anggota tubuh berinisiatif melaksanakan sesuatu aktivitas. Karena aktivitas ini dilakukan dengan rasa penuh kesabaran dan penuh tanggung jawab atas dirinya, sehingga aktivitas ini dapat identik dengan kemandirian dalam belajar. Bila konsep diri siswa dalam belajar rendah, maka dapat mengakibatkan segala sesuatu yang berhubungan dengan belajar kurang dilaksanakan. Untuk meningkatkan akitivitas dalam konsep diri yang masih rendah itu, harus dilakukan perlakuan tindakan oleh guru, dan kepala sekolah agar konsep diri siswa dapat berkreativitas yang optimal dalam belajar. Dengan demikian peningkatan kualitas siswa melalui pendidikan ini selain bobot kurikulum, kualitas siswa, juga menyangkut kemampuan guru untuk membimbingnya. Seperti dikemukakan oleh Nursyid (1997) bahwa sampai saat ini, untuk hari-hari mendatang faktor guru tetap menunjang kunci keberhasilan. Oleh karena itu, dari pihak guru selalu dituntut kepedulian untuk selalu mengaktualisasikan diri dengan berbagai hal yang berhubungan dengan tugasnya.

Dengan demikian guru merupakan orang yang sangat berperan sebagai motor penggerak untuk memajukan siswa meningkatkan kualitas konsep diri untuk belajar. Sehingga diharapkan masa mendatang siswa akan memiliki sumber daya manusia yang berguna bagi masyarakat dan bangsa dan negara.


(34)

2.1.2.3. Konsep Diri Sebagai siswa

Konsep diri merupakan suatu kepercayaan mengenai keadaan pada diri sendiri yang relatif sulit berubah. Namun demikian jika ada pengaruh perubahan-perubahan yang menetap pada prestasinya akan membawa sikap terhadap dirinya sendiri, hal ini berarti konsep diri siswa itu pun dapat berubah jika ada pengaruh-pengaruh dari orang lain yang dipercaya dan pengaruh-pengaruh itu cocok dengan kehendak hatinya.

Seperti diungkapkan studi dari Meichenbaum membuktikan bahwa siswa dibantu menyatakan hal-hal yang positif mengenai dirinya dan diberikan penguatan (reinforcement), maka hal ini akan menghasilkan suatu konsep diri yang positif (Slameto, 1995: 184). Selain itu dikemukakan pula bahwa konsep diri tumbuh dari interaksi seseorang dengan orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya (Pardeson dalam Slameto, 1995: 148).

Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang guru/pendidik mempunyai pengaruh yang kuat terhadap terbentuknya konsep diri siswa terutama dalam kegiatan proses pembelajaran.

Seorang guru yang dipercaya oleh siswa/mahasiswa akan mudah untuk mempengaruhi aspirasi siswa dan penampilan siswa guru harus memberikan semangat, dorongan maupun motivasi agar siswa dapat melakukan hal-hal yang bersifat positif dalam pembelajaran di sekolah. Dan jangan sampai seorang guru itu merendahkan konsep diri siswa oleh karena itu hubungan yang harmonis


(35)

antara guru dan siswa/mahasiswa merupakan suasana yang sangat membantu siswa untuk mengembangkan konsep diri siswa/mahasiswa.

2.1.2.4. Kemandirian Sebagai Siswa

Salah satu tujuan pengajaran adalah agar siswa dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kurikulum sekolah yang merupakan syarat mutlak yang harus dikuasai peserta didik. Tanpa penguasaan yang mantap terhadap kompetensi tersebut sudah barang tentu ilmu-ilmu yang lain tidak dapat dikuasai. Karena itu kebijakan memantapkan sekolah sebagai tempat belajar.

Dihubungkan dengan pesan pembangunan tentang percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat diperlukan dalam pembangunan, maka penguasaan dan kecakapan, baca, hitung dan tulis amat strategis sifatnya. Ilmu pengetahuan dasar terus ditumbuhkembangkan agar dapat memberikan landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan alam memberikan landasan bagi pengembangan alam dan sosial, demikian pula humaniora yang kesemuanya bersifat dinamik dan terbuka. Oleh karena itu siswa yang muda usia agar berkembang intelektualnya harus mendapat bimbingan secara formal dari gurunya.

Fungsi guru di sekolah tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran atau mengajar tetapi harus mendidik tentang perilaku tentang kepribadian anak didiknya. Guru di sekolah selain mengajar sebagai pelaksanaan tugas, ia juga bertanggung jawab atas kemajuan prestasi siswanya. Sebagaimana kita ketahui bahwa guru adalah orang tua siswa kedua setelah orang tuanya sendiri. Karena itu guru harus berupaya keras untuk memahami dan mengerti masalah


(36)

masing-masing siswa, sehingga guru dapat mudah untuk membantu mengatasi permasalahan dalam belajar.

Guru harus dapat membina mental anak didik sehingga menjadi insan yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dalam belajar dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan berpikir dalam arti luas meliputi peningkatan pengetahuan dan teknologi yang harus dirintis sejak dini melalui pendidikan untuk membangun agar siswa memiliki konsep diri yang matang dalam belajar, maka guru harus memberikan perlakuan tindakan berupa pelayanan bimbingan yang bersifat pelayanan secara kelompok dan perorangan, karena tiap diri siswa mempunyai potensi yang berbeda dengan siswa lain untuk dikembangkan.

Bimbingan pengembangan diri berupa sikap mental yang baik sangat perlu untuk pembentukan sikap cara belajar yang baik. Sikap mental yang diusahakan setiap siswa adanya tujuan belajar, minat terhadap pelajaran, percaya pada diri sendiri dan keuletan (The Lianggi, 1982: 9).

2.1.2.5. Disiplin dan Konsentrasi Belajar

Memperoleh prestasi belajar yang baik bagi siswa yang tidak tergolong jenius, maka harus belajar dengan waktu yang teratur seperti dikemukakan oleh The Lianggi, (1982: 49), bahwa pokok pangkal yang pertama dari cara belajar yang baik adalah keteraturan.


(37)

Keteraturan menepati waktu belajar, belajar dapat membantu meringankan beban pikiran siswa, karena dalam otak manusia tidak bisa diisi dengan pengetahuan sekaligus yang banyak, maka memperoleh pengetahuan harus diisi secara sesuai dengan waktu untuk belajar.

Proses pembelajaran siswa di dalam kelas dapat dilaksanakan dengan baik jika penyampaian pelajaran oleh guru dapat menarik minat siswa. Pengajaran yang menarik akan menimbulkan minat siswa, dan minat itu merupakan motor yang kuat untuk menimbulkan perhatian seperti yang dikemukakan oleh Slameto

(1995: 105) “bahwa perhatian adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan pemilihan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Seorang guru harus dapat mengajar dengan menciptakan lingkungan ynag menarik perhatian siswa dan menjaga perhatian itu selama dalam proses pembelajaran. Demikian pula siswa yang sedang belajar di kelas harus berusaha memusatkan perhatian pada waktu guru sedang menerangkan materi pelajaran dan perhatian itu harus dipelihara hingga pelajaran itu selesai.

2.1.2.6. Penguasaan dan Penyesuaian Diri

Untuk menunjang keberhasilan suatu proses belajar dan meningkatkan penyesuaian diri mahasiswa di dalam lingkungan belajar diperlukan beberapa syarat antara lain diperlukan adanya penguasaan konsep diri yang baik dimana konsep diri itu diperlukan karena merupakan pengetahuan yang mendasar bagi


(38)

siswa untuk lebih mengenali dirinya agar dapat menyesuaikan diri dengan baik, di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah mapun lingkungan masyarakat.

Penyesuaian diri merupakan hal penting dalam kehidupan agar seseorang dapat terus menerus bertahan hidup dilingkungannya. Penyesuaian diri terhadap orang lain dan lingkungan sangat diperlukan oleh setiap orang, terutama dalam usia remaja.

Penyesuaian diri ialah suatu proses dimana individu dapat menerima dan mengatasi perubahan dalam keadaan yang tidak dapat diduga sebelumnya. Proses penyesuaian diri terus berlangsung seiring dengan kehidupan seseorang. Penyesuaian diri ini berubah-ubah sesuai dengan pengalaman dan tujuan hidup yang senantiasa berubah sesuai keadaan tertentu.

Habber dan Runyan (1984) berpendapat bahwa “penyesuaian diri merupakan

suatu proses yang berlangsung seiring dengan kehidupan seseorang. Sedangkan menurut Fernald, penyesuaian diri merupakan suatu proses yang konstan untuk mencapai kepuasan dan keinginan yang seringkali muncul dalam kehidupan dan tidak dapat dicapai hanya dalam jangka waktu yang singkat, melainkan melalui proses yang panjang dan berkesinambungan. (http://www.psikologis.Untar.com)

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses dimana individu dapat menerima dan mengatasi perubahan dalam setiap keadaan tertetu yang terus berlangsung seiring dengan kehidupan seseorang melalui proses panjang dan berkesinambungan.


(39)

2.2.Kerangka Pikir

Setelah dilakukan penguraian terhadap beberapa pengertian dan konsep yang akan membatasi penelitian ini, maka kerangka fikir merupakan instrumen yang memberikan penjelasan bagaimana upaya penulis memahami pokok masalah, maka penulis menetapkan beberapa indikator dari penerapan model imunisasi dalam pendidikan karakter yang diduga berpengaruh pada pembentukan konsep diri siswa.

Bagan Kerangka Pikir :

Variabel X

Penerapan Pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter

a. 1. Perancangan b. 2. Proses

Variabel Y

Pembentukan konsep diri 1. Berpengaruh

2. Kurang berpengaruh 3. Tidak berpengaruh


(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif karena dalam penelitian ini mendeskripsikan keadaan yang terjadi pada saat sekarang. Menurut penulis penggunaan metode deskriptif sangat tepat sebab sasaran kajian penelitian ini berupa pengaruh penerapan Pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter terhadap pembentukan konsep diri siswa SMA Negeri Karya Penggawa. Krui Pesisir Barat 2013.

3.2 Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik di kelas X dan XI SMA Negeri Karya Penggawa tahun 2013 yang berjumlah 270 orang peserta didik.


(41)

2. Sampel

Jumlah sampel diambil 10% dari populasi (270 siswa) yaitu 27 orang siswa, dan ditetapkan dengan menggunakan teknik proporsional random Sampling, sebagai berikut :

No KELAS JUMLAH SAMPEL

1 X.1 42 4

2 X.2 43 4

3 X.3 43 4

4 X.4 44 4

5 XI.1 48 6

6 XI.2 47 5

JUMLAH 270 27

3.3. Variabel Penelitian

Di dalam suatu variabel penelitian terkandung konsep yang dapat dilihat dan diukur. Variabel adalah suatu penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian (Suharsimi Arikunto 1986: 91).

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel bebas adalah variabel yang dapat mempengaruhi disebut dengan variabel X, yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerapan Pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter..


(42)

2. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi disebut dengan variabel Y yang menjadi variabel Y dalam penelitian ini adalah pembentukan konsep diri peserta didik..

3.4. Definisi Operasional

Untuk memahami objek permasalahan dalam penelitian ini secara jelas maka diperlukan pendefinisian varibel secara operasional:

1. Penerapan Pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter (Variabel X), adalah serangkaian kegiatan pembelajaran dimana anak didekatkan kepada realitas, diberikan pemahaman konsekuensi atau akibat kalau dia melakukan suatu kesalahan, maka anak akan berpikir baik dan buruk setiap perilakunya dan akhirnya anak menjadi kokoh dan punya benteng pertahanan diri yang kuat. Indikator dalam variabel ini adalah penerapan dalam perancangan pembelajaran, penerapan dalam proses pembelajaran, dan penerapan dalam evaluasi pembelajaran.

2. Pembentukan konsep diri (Variabel Y), adalah upaya memberi pandangan, keyakinan dan kepercayaan diri seseorang yang dapat timbul dari dirinya dan dapat pula terjadi karena ada pengaruh dari pihak luar yang mempengaruhi dirinya. Indikator dari variabel ini ditentukan dari besaran pengaruh yang diakibatkan oleh penerapan dalam pendidikan karakter.


(43)

3.5. Rencana Pengukuran Variabel

Pengukuran variabel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan indikator.

Variabel X yang diukur adalah indicator dari penerapan Pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter, yaitu besaran dari muatan Pendekatan imunisasi dalam nilai karakter, baik melalui perancangan pembelajaran, proses pembelajaran, maupun penilaian pembelajaran.

Sedangkan Variabel Y yang diukur adalah tingkat pemahaman dan kepercayaan diri siswa yang dipengaruhi oleh penerapan Pendekatan imunisasi, ukuran pengaruh adalah berpengaruh, kurang berpengaruh, tidak berpengaruh.

3.6. Teknik Pengumpulan data 1. Teknik pokok

a. Angket

Teknik angket atau kuisioner merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara membuat sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan maksud menjaring data dan informasi langsung dari responden yang bersangkutan secara tertutup.Sasaran angket adalah


(44)

peserta didik di kelas X dan XI SMA Negeri 1 Karya Penggawa Krui tahun pelajaran 2012-2013.

2. Teknik Penunjang

a. Wawancara

Teknik wawancara dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi-informasi yang dirasakan perlu untuk menunjang data penelitian. Wawancara dilakukan terhadap siswa dan sebagian guru serta Kepala SMA Negeri 1 Karya Penggawa Krui.

b. Dokumentasi

Teknik dokumentasi dipergunakan untuk mendapatkan data melalui arsip-arsip sekolah, baik yang berkaitan dengan keberadaan sekolah, guru maupun siswa.

3.7. Uji Validitas dan uji Reliabilitas

1.Validitas

Untuk menentukan item soal di lakukan control langsung terhadap teori – teori yang melahirkan indicator yang di pakai,dalam penelitian ini validitas yang di gunakan logical validity, yaitu dengan mengkonsultasikan dengan dosen pembimbing berdasarkan konsultasi tersebut di adakan revisi.


(45)

2. Reliabilitas

Kemudian untuk menguji tingkat reliabilitas angket diadakan uji coba angket dengan teknik belah dua yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Uji coba dengan 10 orang di luar responden b. Mengelompokkan item ganjil dan item genap

c. Kemudian hasil item ganjil dan item genap dikorelasikan ke dalam rumus Product Moment yaitu:

rxy =

 

 

                  

N Y Y N X X N Y X XY 2 2 2 2 Keterangan :

rxy = Hubungan variabel X dan Y X = Variabel bebas

Y = Variabel terikat N = Jumlah responden (Sutrisno Hadi, 1989:318)

d. Untuk mengetahui koefisien reliabilitas seluruh angket digunakan rumus Sperman Brown sebagai berikut:


(46)

rxy =

 

 

rgg rgg  1 2 Keterangan:

Rxy : Koefisien reliabilitas seluruh tes

Rgg : Koefisien korelasi item ganjil dan genap (Sutrisno Hadi, 1989:37)

e. Hasil analisis kemudian dibandingkan dengan tingkat reliabilitas sebagai berikut:

0,90 – 1,00 : Reliabilitas Tinggi 0,50 – 0,89 : Reliabilitas Sedang 0,00 – 0,49 : Reliabilitas Rendah (Manasse Malo, 1985:139)

3.8. Teknik analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan disajikan dalam bentuk tabel persentase, kemudian dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan rumus Chi Kuadrat, sebagai berikut:



B 1 : i k 1 : d 2 2

Eij

)

Eij

Oij

(

x

Keterangan :


(47)

X² = Chi Kuadrat baris jumlah B 1 : ii

k

1 : d

m jumlahkolo

Oij = Banyaknya data yang diharapkan terjadi Eij = Banyaknya data hasil pengamatan

Kemudian data di uji dengan menggunakan rumus koefisien korelasi kontingensi sebagai berikut:

n x x c 2 2   Keterangan:

C = Koefisien Kontingensi X² = Chi Kuadrat

n = Jumlah sampel

c = M

1 M


(48)

M = Harga minimum antara banyaknya baris dan kolom dengan kriteria Uji hubungan makin dekat harga

c

maxmakin besar derajat asosiasi antara faktor. (Sutrisno Hadi, 1981: 276).


(49)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pengujian hipotesis, disimpulkan sebagai berikut :

1. Bahwa penerapan pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri peserta didik SMA Negeri Karya Penggawa Krui tahun pelajaran 2012-2013

2. Berdasarkan perhitungan dalam pengujian hipotesis disimpulkan, bahwa penerapan pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter dengan pembentukan konsep diri peserta didik SMA Negeri Karya Penggawa tahun pelajaran 2012-2013 memiliki tingkat keeratan yang cukup tinggi, yaitu X2 = 34,01 adalah positif.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan, disarankan :

1. Agar guru selalu dapat mencari kesempatan mengikuti kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pembinan professional dengan cara mengakses informasi dari kantor dinas pendidikan dan atau dari organisasi guru mata pelajaran (MGMP), sehingga upaya memaksimalkan kemampuan


(50)

mengajar termasuk kemampuan menerapkan pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter guna membentuk konsep diri siswa diharapkan dapat berpengaruh pada hasil belajar siswa.

2. Kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan di daerah diharapkan dapat mengaktifkan dan memfasilitasi kegiatan yang mengarah pada proses penerapan model-model pembelajaran berkarakter melalui pelatihan atau penataran pada guru-guru.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Adi W. 2003. Born to be a Genius. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hamalik, Oemar, 2002, Psikologi Belajar Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung.

Hery Wibowo, 2010, Psikologi untuk pengembangan diri : Bandung, Widya

Kementerian Pendidikan Nasional, 2010, Pengembang Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Jakarta

Manase Malo. 1985. Metodologi Penelitian Pendidikan. Ghanesa, Jakarta.

Mulyadi, Agus. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Departemen Pendidikan Nasional. Diroktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Tenaga Kependidikan. Jakarta.

Prayitno, dkk. 1997. Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah: Buku I Pel ayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar. PT. Bina Sumber Daya MIPA.

Sriwati Bukit. 2010. Pendidikan Karakter.


(52)

Sumadi Surya Brata, 1990, Psikologi kepribadian: Jakarta, Rajawali

Sutrisno Hadi. 1981. Statistik. Psikologi UGM, Yogyakarta.

Udin S. 1992. Konsep dan Masalah PMP. Ditjen Dikti, Jakarta.


(1)

X² = Chi Kuadrat baris jumlah B 1 : ii

k

1 : d

m jumlahkolo

Oij = Banyaknya data yang diharapkan terjadi Eij = Banyaknya data hasil pengamatan

Kemudian data di uji dengan menggunakan rumus koefisien korelasi kontingensi sebagai berikut:

n x x c 2 2   Keterangan:

C = Koefisien Kontingensi X² = Chi Kuadrat

n = Jumlah sampel

c =

M 1

M


(2)

Uji hubungan makin dekat harga

c

maxmakin besar derajat asosiasi antara faktor. (Sutrisno Hadi, 1981: 276).


(3)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pengujian hipotesis, disimpulkan sebagai berikut :

1. Bahwa penerapan pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri peserta didik SMA Negeri Karya Penggawa Krui tahun pelajaran 2012-2013

2. Berdasarkan perhitungan dalam pengujian hipotesis disimpulkan, bahwa penerapan pendekatan imunisasi dalam pendidikan karakter dengan pembentukan konsep diri peserta didik SMA Negeri Karya Penggawa tahun pelajaran 2012-2013 memiliki tingkat keeratan yang cukup tinggi, yaitu X2 = 34,01 adalah positif.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan, disarankan :

1. Agar guru selalu dapat mencari kesempatan mengikuti kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pembinan professional dengan cara mengakses informasi dari kantor dinas pendidikan dan atau dari organisasi guru mata pelajaran (MGMP), sehingga upaya memaksimalkan kemampuan


(4)

pendidikan karakter guna membentuk konsep diri siswa diharapkan dapat berpengaruh pada hasil belajar siswa.

2. Kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan di daerah diharapkan dapat mengaktifkan dan memfasilitasi kegiatan yang mengarah pada proses penerapan model-model pembelajaran berkarakter melalui pelatihan atau penataran pada guru-guru.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Adi W. 2003. Born to be a Genius. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hamalik, Oemar, 2002, Psikologi Belajar Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung.

Hery Wibowo, 2010, Psikologi untuk pengembangan diri : Bandung, Widya

Kementerian Pendidikan Nasional, 2010, Pengembang Pendidikan Budaya dan

Karakter Bangsa: Jakarta

Manase Malo. 1985. Metodologi Penelitian Pendidikan. Ghanesa, Jakarta.

Mulyadi, Agus. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Departemen Pendidikan Nasional. Diroktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,

Direktorat Tenaga Kependidikan. Jakarta.

Prayitno, dkk. 1997. Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah: Buku I Pel ayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar. PT. Bina Sumber Daya MIPA.

Sriwati Bukit. 2010. Pendidikan Karakter.


(6)

Sumadi Surya Brata, 1990, Psikologi kepribadian: Jakarta, Rajawali

Sutrisno Hadi. 1981. Statistik. Psikologi UGM, Yogyakarta.

Udin S. 1992. Konsep dan Masalah PMP. Ditjen Dikti, Jakarta.