HUBUNGAN PERSEPSI PESERTA DIDIK TENTANG URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN MOTIVASI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMA NEGERI 10 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

(1)

ABSTRAK

HUBUNGAN PERSEPSI PESERTA DIDIK TENTANG URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN MOTIVASI BELAJAR

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMA NEGERI 10 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN

2012/2013 Oleh

Annisa Ika Lestari

Tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui hubungan persepsi peserta didik tentang urgensi pendidikan karakter dengan motivasi belajar pendidikan kewarganegaraan di SMA Negeri 10 Bandar Lampung. Yang melatar belakangi ketertarikan penulis terhadap pentingnya pendidikan karakter dengan motivasi belajar pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Melihat sisi penting pendidikan karakter terhadap motivasi belajar peserta didik dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan, hal ini menimbulkan pertanyaan adanya hubungan persepsi peserta didik tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode dekriptif dengan sampel sebanyak 88 orang responden peserta didik terdiri dari kelas X, XI IPA, XI IPS, XII IPA, dan XII IPS yang berjumlah 26 kelas. Dengan menggunakan angket, dan teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan rumus persentase.

Didalam indikator pemahaman tentang pendidikan karakter berkategori baik terdapat 25% responden peserta didik yang memahami tentang pendidikan karakter, indikator sikap positif berkategori baik terdapat 22,73% responden peserta didik, indikator aplikasi pendidikan karakter di sekolah berkategori baik 19,32% responden peserta didik, indikator mengerjakan tugas pendidikan kewarganegaraan berkategori baik 19,32% responden peserta didik, indikator usaha belajar siswa berkategori baik 22,73% responden peserta didik, indikator kegigihan belajar siswa berkategori baik 25% responden, dan indikator prestasi belajar berkategori baik 17,02% responden peserta didik. Pada indikator-indikator tersebut bisa dilihat bahwa indikator aplikasi dan mengerjakan tugas peserta didik lebih tinggi dibandingkan dengan sikap positif, usaha belajar proses belajar yang cukup, sedangkan dengan pemahaman tentang pendidikan karakter dan kegigihan belajar para peserta didik masih terlihat kurang.


(2)

Pelajaran 2012/2013. Ini berarti semakin baik pendidikan karakter maka semakin positif pula peserta didik memotivasi belajar dalam pelajaran pendidikan kewarganegaraan.

Kata Kunci : Urgensi Pendidikan Karakter, Motivasi Belajar, Pendidikan Kewarganegaraan


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan mengacu pada berbagai macam aktifitas, mulai dari yang sifatnya produktif-material sampai kreatif-spiritual, mulai dari proses peningkatan kemampuan teknis (skill) sampai pada pembentukan kepribadian yang kokoh dan integral. Sebuah kegiatan yang mampu mengembangkan karakter melalui berbagai macam kegiatan, seperti penanaman nilai, pengembangan budi pekerti, nilai agama, pembelajaran dan pelatihan nilai-nilai modal dan lain-lain. Sebagaimana digariskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas:62) Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.


(4)

Tujuan pendidikan bisa ditentukan oleh tujuan politis sebuah masyarakat. Dalam masyarakat demokratis keberadaan individu yang melek politik merupakan tantangan bagi keberlangsungan sebuah masyarakat, yang mendasarkan tujuan pendidikan dari analisis situasi sosial actual kontemporer dengan cara mendeskripsikan dan menganalisis berbagai macam pekerjaan dan karier yang dikerjakan oleh orang-orang dewasa pada masa kini,yang mendasarkan tujuan pendidikan mereka pada analisis histori lembaga sosial. Yang mereka lakukan pertama-tama adalah menganalisis bagaimana sikap dan perilaku anak-anak di dalam lembaga pendidikan, yaitu di sekolah.

Pendidikan karakter menjadi semakin mendesak untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan kita mengingat berbagai macam perilaku yang non edukatif kini telah menyerambah dalam lembaga pendidikan kita. Pendidikan karakter bukan sekedar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam masyarakat. Situasi sosial yang ada menjadi alasan utama agar pendidikan karakter segera dilaksanakan dalam lembaga pendidikan.

Pendidikan memang tidak dapat melepaskan dirinya dari konteks tempat masyarakat itu hidup, seperti konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Namun, pendidikan tidaklah semata-mata menyertakan matriks sosial dalam kerangka pencapaian tujuan-tujuannya. Pendidikan juga melibatkan matriks lain yang sifatnya lebih personal – individual. Matriks personal ini juga penting sebab pribadi yang belajar adalah individu. (Jacob Teuku 2007).


(5)

Pendidikan karakter merupakan target yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional untuk membentuk insane Indonesia yang cerdas. Menurut Ngajum (2010:1) Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai – nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai – nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insane kamil. Pendidikan karakter yang akan diterapkan di sekolah-sekolah tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. Namun, pendidikan karakter yang akan digencarkan dan diberi perhatian khusus dalam praksis pendidikan nasional ini dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran yang sudah berjalan di sekolah. Selain itu, peserta didik juga harus mempunyai motivasi belajar sehingga mereka bisa mengaplikasikan pendidikan karakter dengan baik dengan motivasi belajar mereka yang baik juga, motivasi belajar timbul karena peserta didik merasakan kebutuhan akan belajar di sekolah.

Motivasi adalah daya penggerak yang menjadikan manusia melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya. Demikian pula halnya peserta didik yang sedang menjalani aktivitas belajar di sekolah, karena didorong oleh motivasi dalam diri masing-masing. Motivasi belajar merupakan daya penggerak dari berbagai motif yang ada pada diri individu dan diarahkan pada tujuan tertentu. Untuk mempelajari suatu ilmu dengan baik dibutuhkan motivasi, sebab motivasi berkaitan dengan semangat dan kegairahan seseorang untuk melakukan sesuatu.


(6)

Motivasi belajar merupakan kondisi psikologis yang mendorong peserta didik untuk melakukan aktivitas belajar. Dalam proses belajar mengajar di sekolah, motivasi belajar ini bisa datang dalam diri peserta didik sendiri maupun dari luar dirinya. Motivasi salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses belajar peserta didik yang datang dari peserta didik menjadi sangat penting.

Motivasi belajar timbul karena peserta didik merasakan kebutuhan akan belajar. Motivasi bisa datang dari dalam diri peserta didik sendiri maupun dari luar peserta didik. Motivasi belajar dari dalam sering disebut dengan motivasi intrinsik, sedangkan motivasi belajar dari luar disebut dengan motivasi ekstrinsik( Abin Syansuddin Makmum, 2004 : 37). Motivasi intrinsic, peserta didik belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari dalam diri sehingga peserta didik belajar atas kesadaran diri sendiri.

Motivasi ekstrinsik tumbuh dari rangsangan luar atau dari pihak luar. Meskipun berasal dari luar, namun motivasi ekstrinsik tidak dapat di abaikan. Kadang kala siswa mengalami perubahan kondisi psikologis yang menyebabkan menurunnya motivasi. Misalnya karena jenuh atau bosan, maka siswa membutuhkan rangsangan dari luar untuk memulihkan dan membangkitkan motivasi belajarnya.

Salah satu faktor yang dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didik adalah tanggapan peserta didik yang baik terhadap pentingnya suatu mata pelajaran dalam hal ini mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan adanya persepsi peserta didik yang baik terhadap pentingnya Pendidikan


(7)

kewarganegaraan, maka akan membangkitkan motivasi belajar mereka. Hal ini berarti termasuk motivasi yang lebih kuat dan lebih tahan lama karena datang dari dalam diri peserta didik sendiri. Oleh karena itu, seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan harus mampu memberikan penjelasan dan menyakinkan kepada peserta didik akan pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan demikian bila peserta didik sudah besar motivasi belajarnya, maka tujuan pendidikan dan pengajaran pun akan tercapai.

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, baik negeri maupun swasta mempunyai andil dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian serius agar tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang merupakan sub sistem dari pendidikan nasional dapat terealisasi.

Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Nilai luhur dan moral tersebut diharapkan dapat diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan meliputi nilai moral dan norma bangsa Indonesia serta perilaku yang diharapkan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang didasarkan kepada nilai-nilai Pancasila. Kehidupan idiologi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan


(8)

dan keamanan di negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan membekali peserta didik dengan budi pekerti, pengetahuan dan kemampuan dasar berkenanaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan tata negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh S. Sumarsono, dkk. (2002 : 3) bahwa pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan agar kita memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap, dan perilaku sebagai pola tindak yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila.

Sekolah telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga sosial yang memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual dan moral bagi peserta didiknya. Pengembangan karakter di tingkat sekolah tidak dapat melalaikan dua tugas khas ini. Menurut Doni Koesoema (2010:115) “Pendidikan karakter di dalam sekolah memiliki sifat bidireksional, yaitu pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan moral”. Dua arah pengembangan ini diharapkan menjadi semacam idealisme bagi para peserta didik agar mereka semakin mampu mengembangkan ketajaman dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat.

Pada kenyataan tidak semua peserta didik mau dan mampu memadukan antara pendidikan karakter dengan motivasi belajar dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan harus mengembangkan anak didik


(9)

agar mampu menolong dirinya sendiri, untuk itu anak didik perlu mendapatkan berbagai pengalaman dalam mengembangkan konsep-konsep, prinsip, generalisasi, intelek, kreativitas, kehendak dan emosi.

Pendidikan karakter di SMA Negeri 10 Bandar Lampung telah diberikan seperti halnya kebiasaan guru sebelum memulai proses pembelajaran untuk memotivasi siswa sehingga di dalam pembelajaran tersebut peserta didik dapat mengikuti pelajaran dengan semangat dan dapat menangkap materi yang disampaikan oleh guru, kegiatan ko dan ekstrakulikuler merupakan kegiatan-kegiatan diluar kegiatan pembelajaran. Meskipun diluar kegiatan pembelajaran, guru dapat juga mengintegrasikannya dalam pembelajaran. Kegiatan-kegiatan ini sebenarnya sudah mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. Namun demikian harus diperlukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang baik atau merevitalisasi kegiatan-kegiatan ko dan ekstrakulikuler tersebut agar dapat melaksanakan pendidikan karakter kepada peserta didik yang belum bisa mengaplikasikan pendidikan karakter dengan motivasi belajar, pendidikan ko dan ekstrakulikuler siswa secara maksimal.

Tabel 1. Hasil Observasi mengenai motivasi belajar peserta didik kelas X, XI , XII di SMA Negeri 10 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013.

No Aspek-aspek yang di amati dari motivasi

belajar

Tinggi Sedang Rendah

1 Minat peserta didik dalam mengerjakan tugas-tugas di sekolah.

2 Usaha peserta didik

dalam menerima pelajaran yang diberikan oleh guru.


(10)

3 Sikap gigih peserta didik yang termotivasi belajar dalam mengerjakan tugas di sekolah.

4 Prestasi peserta didik dalam pelajar di sekolah.

Berdasarkan tabel. 1 di atas dapat dijelaskan bahwa peserta didik kelas X, XI, dan XII SMA Negeri 10 Bandar Lampung menunjukkan bahwa motivasi peserta didik dalam usaha peserta didik, sikap gigih peserta didik, dan prestasi peserta didik masih kurang baik, sedangkan untuk minat peserta didik dalam mengerjakan tugas sudah baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa peserta didik masih kurang termotivasi dalam usaha menerima pelajaran, sikap gigih, dan prestasi peserta didik. Sehingga guru yang mengajar harus bisa memberikan semangat dan memotivasi peserta didik yang berada di kelas pada waktu kegiatan belajar mengajar, agar peserta didik bisa termotivasi belajar dengan baik.

Melihat fenomena di atas penulis tertarik untuk meneliti masalah terkait dengan Hubungan Persepsi Peserta Didik Tentang Urgensi Pendidikan Karakter Dengan Motivasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan di SMA Negeri 10 Bandar Lampung, karena kunci kemajuan dan kepercayaan masyarakat pada sekolah adalah bergantung pada pendidikan karakter di sekolah tersebut. Kunci sukses peserta didik adalah motivasi belajar dan pengembangan diri yang baik melalui pendidikan karakter.


(11)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Peserta didik kurang mengaplikasikan pendidikan karakter dengan motivasi belajar pendidikan kewarganegaraan di sekolah.

2. Kurangnya motivasi belajar pendidikan kewarganegaraan di sekolah.

3. Kurangnya kesadaran peserta didik tentang perannya sebagai calon generasi penerus bangsa.

4. Model-model pembelajaran yang digunakan oleh guru belum optimal dan hanya berorientasi pada pendekatan kognitif, bukan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari, terutama pendidikan karakter.

5. Kurangnya pemahaman peserta didik terhadap urgensi pendidikan karakter.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah, keterbatasan waktu dan kemampuan, serta untuk mempermudah penelitian, penulis membatasi pada: Hubungan Persepsi Peserta Didik Tentang Urgensi Pendidikan Karakter Dengan Motivasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan di SMA Negeri 10 Bandar Lampung.


(12)

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah ;

1. Apakah ada hubungan persepsi peserta didik tentang urgensi pendidikan karakter dengan motivasi belajar pendidikan kewarganegaraan di SMA Negeri 10 Bandar lampung ?

2. Bagaimanakah signifikan hubungan persepsi peserta didik tentang urgensi pendidikan karakter dengan motivasi belajar pendidikan kewarganegaraan di SMA Negeri 10 Bandar lampung ?

E. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitan

Tujuan penelian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis :

a. Hubungan persepsi peserta didik tentang urgensi pendidikan karakter dengan motivasi belajar pendidikan kewarganegaraan di SMA Negeri 10 Bandar lampung.

b. Signifikan hubungan persepsi peserta didik tentang urgensi pendidikan karakter dengan motivasi belajar di SMA Negeri 10 Bandar Lampung.


(13)

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini berguna untuk mengembangkan konsep-konsep ilmu pendidikan khususnya dalam wilayah kajian Pendidikan Kewarganegaraan terkait dengan upaya pembentukan diri warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai serta perilaku nyata dalam kehidupan masyarakat dan negara baik di sekolah maupun di masyarakat. Seperti aplikasi dari aspek-aspek kepedulian, kewargaan, kebersihan, komunikasi, pelestarian, keberanian, empati, pengampunan, kesehatan, kejujuran, keadilan, kepemimpinan, loyalitas, kedamaian, pemecahan masalah, hubungan, penghormatan, tanggung jawab, dan disiplin diri.

b. Kegunaan Praktis

1. Sebagai calon guru hasil penelitian ini dapat dijadikan suplemen materi pokok tentang pembentukan karakter peserta didik.

2. Sebagai suplemen ilmu pendidikan khususnya pembangunan karakter dalam pendidikan karakter yang dikemas dalam beberapa mata pelajaran di sekolah

3. Sebagai bahan pemikiran bagi sekolah khususnya SMA Negeri 10 Bandar Lampung dalam membangun karakter peserta didik yang sesuai dengan pendidikan nasional melalui pendidikan karakter di


(14)

sekolah secara intrakulikuler maupun kegiatan dalam lingkungan sekolah.

F. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Ilmu

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup illmu pendidikan dengan wilayah kajian Pendidikan Kewarganegaraan, terkait dengan upaya pembentukan diri warga negara yang memiliki: pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai serta perilaku nyata dalam kehidupan masyarakat dan negara baik di sekolah maupun di masyarakat.

2. Ruang Lingkup Objek

Objek penelitian ini adalah Hubungan persepsi peserta didik tentang urgensi pendidikan karakter dengan motivasi belajar pendidikan kewarganegaraan di SMA Negeri 10 Bandar lampung tahun pelajaran 2012/2013.

3. Ruang Lingkup Subjek

Subjek penelitiannya adalah peserta didik SMA Negeri 10 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013.

4. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 10 Bandar lampung jalan Gatot Subroto No. 81 Bandar lampung.


(15)

5. Ruang Lingkup Waktu

Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan sejak dikeluarkan izin penelitian pendahuluan dari tanggal 1 febuari 2013 sampai tanggal 2 April 2013 oleh Dekan FKIP Universitas Lampung.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teoritis 1. Pengertian Persepsi

Setiap orang mempunyai persepsi sendiri mengenai apa yang dipikirkan, dilihat, dan dirasakan. Hal tersebut sekaligus berarti bahwa persepsi menentukan apa yang akan diperbuat seseorang untuk memenuhi berbagai kepentingan baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan masyarakat tempat berinteraksi. Persepsi inilah yang membedakan seseorang dengan yang lain. Persepsi dilahirkan dari hasil kongkritisasi pemikiran, kemudian melahirkan konsep atau ide yang berbeda-beda dari masing-masing orang meskipun objek yang dilihat sama.

Dikemukakan oleh Drever (2010:1) “Persepsi adalah suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera.”

Definisi lainnya, “Persepsi merupakan suatu proses dimana seseorang dapat

memilih, mengatur, dan mengartikan informasi menjadi suatu gambar yang

sangat berarti di dunia.”(Kotler dan Armstrong, 2004: 193).

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, persepsi dapat disimpulkan sebagai suatu kesan yang diterima individu melalui panca indera, untuk


(17)

kemudian dipilih, diatur, dan diartikan menjadi sebuah informasi yang berarti. Proses penginderaan seseorang akan berlangsung setiap saat, dimana ia menerima stimulus dari luar melalui alat inderanya. Stimulus dari inderanya kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga seseorang tersebut menyadari dan mengerti tentang apa yang diinderanya. Dengan persepsi seseorang akan mampu mengaitkan objek dan dengan persepsi pula seseorang akan menyadari tentang keadaan di sekitarnya serta keadaan dirinya.

Ma’rat berpendapat mengenai persepsi sebagai berikut: “Persepsi

merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen koqnisi. Persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan. Manusia mengamati suatu objek psikologik dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai oleh nilai diri pribadinya. Sedangkan objek psikologik ini dapat berupa kejadian, ide, atau situasi tertentu. Faktor pengalaman, proses belajar, atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang di lihat. Sedangkan pengetahuannya dan cakrawalanya memberikan arti terhadap objek psikologik tersebut. (Mar’at, 1984: 22)

Berdasarkan pendapat Mar’at, terciptanya persepsi dipengaruhi oleh faktor

pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan. Sehingga memberikan bentuk struktur terhadap objek yang dilihatnya. Persepsi merupakan kemampuan seseorang untuk membedakan suatu objek dengan objek lain melalui proses pengidentifikasian terlebih dahulu menggunakan


(18)

panca indera untuk kemudian dimaknai dan diinferensionalkan (ditarik kesimpulan).

Untuk kepentingan penelitian yang dilakukan, maka peneliti mengartikan persepsi sebagai proses identifikasi objek tertentu melalui panca indera untuk kemudian dipilih, diatur, dan diartikan menjadi sebuah informasi yang berarti. Persepsi peserta didik diartikan sebagai pandangan atau tanggapan peserta didik terhadap objek tertentu melalui panca indera berdasarkan faktor pengalaman dan pengetahuannya sendiri.

a. Faktor, Pengaruh, dan Proses Terjadinya Persepsi

Setelah diberikan penjelasan mengenai apa itu persepsi, maka perlu juga diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi persepsi itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ini akan sangat memungkinkan timbulnya persepsi yang berbeda antara orang yang satu dengan yang lain meskipun objeknya sama. Menurut Mar’at (1984:22) persepsi ini dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor intern dan ekstern, yaitu:

1) faktor intern : pengetahuan dan cakrawala 2) faktor ekstern : pengalaman dan proses belajar

Faktor pengetahuan dan cakrawala berasal dari dalam diri individu (intern), yang memberikan arti terhadap objek yang dilihat. Faktor pengalaman dan proses belajar berasal dari luar diri individu (ekstern), yang memberikan bentuk struktur terhadap objek yang dilihat. Faktor pengetahuan dan cakrawala akan menimbulkan ide yang sebelumnya telah dipadukan dengan pengalaman melalui proses berfikir, memilih, mengambil keputusan, dan


(19)

menarik kesimpulan untuk kemudian menjadi sebuah konsep mengenai objek yang dilihat. Pengaruh pengadaan persepsi yaitu:

1) Objek : adanya objek yang dipersepsikan.

2) Alat indera, saraf, dan pusat susunan saraf : alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Selain itu juga harus ada saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan saraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran.

3) Perhatian: untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian. (Bimo Walgito: 2004: 89-90)

Seorang peserta didik dapat mengadakan persepsi karena pengaruh beberapa faktor ini. Yaitu adanya objek yang dipersepsikan, berfungsinya alat indera dan saraf untuk mengolah informasi, dan perhatian terhadap objek sehingga melahirkan atau menghasilkan persepsi. Mengenai objek yang dipersepsikan, akan menimbulkan stimulus yang mengenai alat pengindera atau reseptor. Alat indera ini berupa mata, telinga, dan hidung. Alat indera atau reseptor ini bertugas untuk menerima stimulus, kemudian direspon oleh saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan saraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran.

Kesadaran yang telah tercipta dalam otak ini memerlukan perhatian. Perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi. Di dalam perhatian, terjadi suatu pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktifitas individu yang ditujukan kepada suatu objek atau sekumpulan objek. Dari keseluruhan proses berangkai tersebut, baru suatu persepsi dapat terlahir atau tercipta. Hal ini bisa diperjelas lagi


(20)

berdasarkan teori Bimo Walgito mengenai bagaimana suatu persepsi yang telah tercipta itu sebelumnya memang diproses terlebih dahulu.

Proses terjadinya persepsi dapat berlangsung jika:

1) Stimulus mengenai alat indera (proses fisik)

2) Stimulus kemudian dilangsungkan ke otak oleh saraf sensoris (proses fisiologis)

3) Di otak terjadilah suatu pemrosesan data yang akhirnya individu dapat menyadari atau mempersepsikan tentang apa yang diterima melalui alat indera (proses psikologis)

(Bimo walgito: 2004: 119)

Dari teori Bimo Walgito tersebut, maka sudah jelas bahwa dalam melakukan suatu persepsi, tidak serta merta terlahir begitu saja, melainkan tercipta melalui suatu rangkaian proses dengan susunannya yang sistematik. Dari rangkaian proses yang tersusun secara sistematik inilah kemudian menghasilkan persepsi.

b. Prinsip Dasar Persepsi

Persepsi tidak serta merta tercipta begitu saja, ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami terkait dengan sifat dari pengadaan persepsi. Menurut Daryanto (2009: 104-106) prinsip dasar persepsi adalah sebagai berikut:

1) Persepsi itu relatif bukan absolut 2) Persepsi itu selektif


(21)

4) Persepsi dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan (penerima rangsangan) 5) Persepsi seseorang dengan yang lain akan berbeda meskipun objeknya

sama.

Mengenai prinsip persepsi yang bersifat relatif, ini dikarenakan manusia bukan instrumen ilmiah yang mampu menyerap segala sesuatu seperti keadaan sebenarnya. Persepsi juga bersifat selektif. Hal ini dikarenakan seseorang hanya mampu memperhatikan beberapa rangsangan dari banyak rangsangan yang ada disekelilingnya pada saat tertentu. Rangsangan yang diterima akan sangat bergantung pada apa yang pernah ia pelajari, apa yang menarik perhatiannya pada suatu saat, dan ke arah mana persepsi itu mempunyai kecenderungan.

Persepsi juga mempunyai tatanan karena seseorang menerima rangsangan tidak dengan cara sembarangan. Ia akan menerimanya dalam bentuk hubungan-hubungan atau kelompok-kelompok. Jika rangsangan yang datang tidak lengkap, ia akan melengkapinya sendiri sehingga hubungan itu menjadi jelas. Selain itu, persepsi dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan penerima pesan. Hal ini akan menentukan pesan mana yang dipilih untuk diterima, disusun, dan diinterpretasikan. Persepsi juga akan berbeda dari masing-masing orang meskipun objek atau situasinya sama. Perbedaan ini dapat ditelusuri melalui adanya perbedaan-perbedaan individual baik kepribadian, sikap dan motivasinya.


(22)

2. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan sebuah kultur dan tat keteraturan dalam diri maupun dalam diri orang lain. Pendidikan juga berarti proses perkembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan akademik, bakat-bakat, talenta yang dimiliki, dan kemapuan fisik.

Menurut Abu Ahmadi (2003:70) menyatakan bahwa: “Pendidikan adalah suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus-menerus”.

Sejalan dengan pernyataan di atas, menurut Umar Tirtarahardja (2005:34)

berpendapat bahwa: “Pendidikan yaitu pengaruh, bantuan, atau tuntutan

yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak didiknya. Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik”. Di mana secara sistematis proses pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap berkesinambungan dan secara sistemik berlangsung dalam semua situasi kondisi, disemua lingkungan yang saling mengisi (lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat).

Sedangkan menurut Doni Koesoema (2010:60), pendidikan mengacu pada setiap bentuk pengembangan dan pembentuk diri yang sifatnya prosesual,


(23)

yaitu sebuah suatu kesinambungan terus-menerus yang tertata rapih, terorganisasi, dan konsolidasi kepribadian serta kehidupan relasional yang menyertainya, secara personal, sosial, komuniter, mondial, dan lain-lain. Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah proses pembelajaran yang dilakukan terus-menerus yang dilakukan secara sadar ditunjukan bagi pengembangan diri manusia tentang banyak hal secara utuh, melalui berbagai macam dimensi yang dimilikinya (moral, religious, sosial, cultural, temporal, institusional, relasional) demi proses penyempurnaan dirinya secara terus-menerus dalam memaknai hidup, yang membuat peserta didik yang mulanya tidak tahu menjadi tahu.

Karakter merupakan kepribadian yang dianggap sebagai ciri, karakter, sikap, khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Dengan begitu jelas bahwa setiap manusia memiliki karakter atau kepribadian yang berbeda satu sama lain.

Karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari pada yang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Andrias Harefa (2010:1) adalah proses mengukir atau

memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga „berbentuk’ unik, menarik, dan

berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alphabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau „berkarakter’ tercela).


(24)

Pendapat ini didukung oleh Bonek Guyup (2010:1) yang sependapat dengan

Sigmund Freud menyatakan bahwa Karakter adalah “Character is a striving

system which underly behavior”, yang artinya sebagai kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu system daya dorong (daya juang) yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku, yang akan ditampilkan secara mantap.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat dikemukakan bahwa karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, perkataan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang. Dengan demikian, karakter dapat disebut sebagai jati diri seseorang yang telah terbentuk dalam proses kehidupan oleh sejumlah nilai-nilai etis dimilikinya, berupa pola pikir, sikap, dan perilakunya.

Pendidikan karakter merupakan keseluruhan dinamika relasional antar pribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat mengahayati kebebasannya, sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Secara singkat, pendidikan karakter dapat diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.

Yani Herliani (2010:1) menjelaskan bahwa “karakter adalah cara berpikir dan berprilaku yang menjadi cirri khas tiap individu untuk hidup dan


(25)

bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan

yang ia buat”. Pengertian ini senada dengan Thomas Lickona diterjemahkan

oleh Yani Herliani (2010:1) bahwa: “Pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk membantu manusia memahami, peduli tentang, dan melaksanakan nilai-nilai etika inti”.

Dengan demikian, proses pendidikan karakter, ataupun pendidikan akhlak dan karakter bangsa sudah tentu harus dipandang sebagai usaha sadar dan terencana, bukan usaha yang sifatnya terjadi secara kebetulan. Dengan kata lain, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga negara secara keseluruhan.

Uraian tersebut sepaham dengan pendapat Doni Koesoema (2010:116)

tentang pendidikan karakter, yaitu “Pendidikan karakter bukan sekedar

memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial”. Pendidikan karakter bias menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam masyarakat. Situasi sosial yang ada menjadi alasan utama agar pendidikan karakter segera dilaksanakan dalam lembaga pendidikan.


(26)

Selain itu, Brook and Goble dalam bukunya yang berjudul “The Case For Character Education” (Doni koesoema 2010:116) menyatakan bahwa, “Pendidikan karakter yang secara sistematis diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh

komunitas”. Para siswa mendapatkan keuntungan dengan memperoleh

perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif.

Pendidikan karakter perlu dikembangan karena akan mendorong kebiasaan dan perilaku yang terpuji sejalan dengan nilai-nilai universal, tradisi budaya, kesepakatan sosial dan religiositas agama. Selain itu mampu memupuk ketegaran dan kepekaan mental anak terhadap situasi sekitarnya, sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang, baik secara individu maupun sosial. Serta meningkatkan kemampuan menghindari sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.

a. Pendidikan Karakter di Sekolah

Pendidikan karakter di sekolah secara sederhana didefinisikan oleh Doni Koesoema (2010:192) sebagai: “pemahaman, perawatan, dan pelaksanaan keutamaan (practice of virtus)”. Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa pendidikan karakter di sekolah mengacu pada proses penanaman


(27)

nilai, berupa pemahaman-pemahaman, tata cara merawat dan menghidupi nilai-nilai itu, serta bagaimana seseorang peserta didik memiliki kesempatan untuk dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata”.

Pendidikan karakter melibatkan didalamnya proyek pendidikan moral dan pendidikan nilai. Pendidikan karakter memiliki tujuan terutama menumbuhkan seorang individu menjadi pribadi yang memiliki integritas moral, bukan hanya sebagai individu, namun sekaligus mampu mengusahakan sebuah ruang lingkup kehidupan yang membantu setiap individu dalam menghayati integritas moralnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena ruang lingkupnya bukan sekedar individual, melainkan sosial, pendidikan karakter melibatkan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak luhur dalam setiap pendekatannya, karena ada nilai-nilai yang meskipun bukan merupakan nilai moral dapat menjadi acuan bagi pengayaan pribadi dan berguna dalam kerangka kehidupan bersama.

Pendidikan karakter lebih dekat maknanya dengan pendidikan kewarganegaraan, sebab pendidikan karakter berurusan bukan hanya dengan pengembangan nilai-nilai moral yang dalam diri individu, melainkan juga memperhatikan corak rasional antar individu dalam relasinya dengan struktur sosial yang ada di dalam masyarakatnya. Di sini pendidikan nilai-nilai demokratis (kesadaran hukum, tanggung jawab politik, keterbukaan, kesediaan untuk bermufakat, dan berdialog, kebebasan berfikir, sikap kritis dan lain-lain) menjadi nilai-nilai yang penting untuk diperjuangkan.


(28)

Untuk menjaga agar akar pertumbuhan pendidikan karakter ini sesuai dengan kultur individu yang ada, pendidikan karakter memiliki dimensi politis-kultural yang sangat tinggi. Dimensi mengandung arti bahwa pendidikan karakter, agar dapat membantu mengembangkan kehidupan moral individu, memperkokoh keyakinan agama seseorang dan untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang stabil di tengah kebhinekaan, memerlukan adanya nilai-nilai bersama yang menjadi dasar hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, pendidikan karakter tidak bisa lepas dari semangat untuk mendidik setiap warga negara secara politis. Pendidikan kewarganegaraan dengan demikian menjadi bagian tidak terpisahkan dari pendidikan karakter.

Pendidikan karakter mempersyaratkan adanya moral. Pendidikan moral memiliki dasar tak tergoyahkan jika dipahami dalam konteks keterkaitan individu atas keyakinan imannya. Oleh karena itu, kultur religious sebuah bangsa akan menjadi dasar yang kokoh bagi sebuah pendidikan karakter. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religious menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.

Selain melalui pelajaran pendidikan kewarganegaraan, pendidikan karakter juga dapat dilaksanakan dengan program-program di sekolah seperti pramuka, drum band, sekolah hijau, olimpiade sains dan seni, serta kesenian tradisional. Tinggal guru yang mampu memunculkan nilai-nilai dalam program itu sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah.

Akhmad Sudarjat (2010:1) menyatakan bahwa “Kegiatan ekstra kurikuler


(29)

potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta

didik”. Kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar

mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensial dan prestasi peserta didik.

Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

b. Indikator Aspek-aspek Dalam Pendidikan Karakter

Menentukan aspek-aspek yang relevan bagi pendidikan karakter tidak dapat dilepas dari situasi dan konteks historis masyarakat tempat pendidikan karakter itu akan diterapkan.

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Barbara A. Lewis dalam bukunya

yang berjudul “Character Building untuk Remaja” dijabarkan bahwa ada


(30)

dirimu sendiri, sikap-sikap positif, kepedulian, pilihan dan akuntabilitas, kewarganegaraan, kebersihan, komunikasi, pelestarian, keberanian, empati, daya tahan, pengampunan, kesehatan, kejujuran, imajinasi, integritas, keadilan, kepemimpinan, loyalitas, kedamaian, pemecahan masalah, huungan, penghormatan, tanggung jawab, keselamatan, dan disiplin diri. Indikator-indikator aspek pendidikan karakter menurut Barbara A. Lewis (2004:3) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2. Aspek-aspek dalam Pendidikan Karakter dan Indikator-indikatornya.

No. Aspek-aspek dalam Pendidikan Karakter

Indikator Perilaku Siswa 1 Sikap-sikap positif Optimisme, penerimaan, sikap

cepat pulih, keceriaan, kepekaan, humor, sportif, kerendahan hati, sikap bersyukur, iman, dan pengharapan.

2 Kepedulian Memberi, pelayanan, berbagi, mengasihi, mau membantu, kebaikan, kemurahan, tidak mementingkan diri sendiri, dan pengorbanan.

3 Pilihan dan Akuntabilitas Mengambil keputusan, menerima konsekuensi, bertanggung jawab atas pilihan-pilihanmu.

4 Kewargaan Aktivisme, partisipasi, pelayanan komunitas, kecintaan akan kebebasan, patriotisme.

5 Kebersihan Tubuh, pikiran, dan kebiasaan yang bersih.

6 Komunikasi Efektif berbicara dan

mendengarkan, dan berbicara dengan baik di depan publik.

7 Pelestarian Pelestarian, hidup hemat, dan sikap tidak berlebihan.

8 Keberanian Keberanian, keyakinan, dan tekat 9 Empati Belas kasih, amal, kepekaan, dan

kepedulian.

10 Daya Tahan Kesabaran, stamina, kekuatan di dalam kesusahan dan penderitaan 11 Pengampunan Kerelaan memaafkan, tenggang


(31)

rasa, belas kasihan, kasih Karunia. 12 Kesehatan Sehat secara fisik, mental, dan

emosional.

13 Kejujuran Sikap apa adanya, ketulusan, kehormatan, keadilan, sikap dapat dipercaya, bersikap tulus.

14 Imajinasi Kreativitas, kesediaan mengambil resiko, sikap inventif.

15 Integritas Konsisten, sikap tidak berubah-ubah, kejujuran, dan kehormatan. 16 Keadilan Ketidak-curangan, kesamaan, dan

toleransi.

17 Kepemimpinan Memberikan teladan, memimpin sesama, dan menjadi pengikut yang baik.

18 Loyalitas Kesetiaan, keteguhan, dan ketaatan. 19 Kedamaian Resolusi konflik, ketenangan, kerjasama, kompromi, dan kesabaran.

20. Pemecahan masalah Banyak akal dan kreatif.

21. Hubungan Dengan keluarga, teman-teman, diri sendiri, dan dengan orang lain. 22. Penghormatan Sopan santun, kesopanan, dan sikap

hormat.

23. Tanggung jawab Sikap dapat diandalkan, ketekunan, terorganisasikan, tepat waktu, menghormati, komitmen,dan perencanaan.

24. Keselamatan Kesadaran, pencegahan, kehati-hatian, dan tindakan

25. Disiplin Diri Penguasaan diri, keterandalan diri, dan kemandirian.

26. Hikmat Intelijensi, pembelajaran,

pengetahuan, pengertian, intuisi, akal sehat, dan menjadi pelajar seumur hidup.

Sumber : Character Building untuk Remaja oleh Barbara A. lewis Tahun 2004

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan di SMA Negeri 10 Bandar Lampung. maka ada beberapa aspek yang sangat berhubungan dengan motivasi peserta didik ketika berinteraksi di kelas dengan teman dan guru dalam mata pelajaran Pendidikan kewarganegaraan. Aspek-aspek ini


(32)

merupakan hasil penyaringan dari aspek-aspek pendidikan karakter menurut Barbara A. Lewis dalam bukunya yang berjudul “Character Building untuk

Remaja”. Aspek-aspek yang berkaitan erat dengan motivasi belajar peserta

didik antara lain kepedulian, komunikasi, empati, pengampunan, penghormatan, tanggung jawab, dan disiplin diri.

3. Pengertian Motivasi

Motivasi adalah suatu proses diinsiasikan dan dipertahankannya aktivitas yang diarahkan pada pencapaian tujuan. Motivasi menyangkut berbagai tujuan yang diberikan daya penggerak dan arah bagi tindakan, berbagai pandangan teori kognitif tentang motivasi memiliki perhatian yang sama pada pentingnya tujuan. Tujuan mungkin tidak dirumuskan dengan baik dan mungkin berubah seiring pengalaman, namun idenya adalah bahwa individu menyadari tentang sesuatu yang ia coba dapatkan atau pun hindari.

Motivasi menuntut dilakukannya aktivitas-fisik atau pun mental. Aktivitas fisik memerlukan usaha, kegigihan, dan tindakan lainnya yang dapat diamati. Aktivitas mental mencakup berbagai tindakan kognitif seperti perencanaan, penghafalan, pengorganisasian, pemonitoran, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, dan penilaian kemajuan. Sebagian besar aktivitas yang dilakukan oleh para murid diarahkan pada pencapaian tujuan-tujan mereka.

Aktivitas yang termotivasi, diinisiasikan dan dipertahankan. Mengawali pencapaian sebuah tujuan merupakan proses penting dan seing kali sulit, karena proses ini melibatkan pembentukan sebuah komitmen dan pelaksanaan langkah pertama. Akan tetapi proses-proses motivasi sangatlah penting dalam


(33)

mempertahankan sebuah gelar pendidikan tinggi, memperoleh sebuah pekerjaan yang baik, dan menanbung untuk masa pension. Banyak diantara hal-hal yang kita ketahui tentang motivasi berasal dari menentukan cara individu-individu merespons kesulitan, masalah, kegagalan, dan kemunduran yang dihadapi ketika diri mereka mengejar pencapaian tujuan jangka panjang. Proses-proses motivasi seperti pengharapan, persepsi penyebab, emosi, dan afek membantu individu mengatasi kesulitan dan mempertahankan motivasi.

Motivasi dapat mempengaruhi apa yang kita pelajari, kapan kita belajar, dan bagaiamana cara kita belajar (Schunk, 1995). Murid yang termotivasi mempelajari sebuah topik cenderung melibatkan diri dalam berbagai aktifitas yang diyakininya akan membantu dirinya belajar, seperti memperhatikan pelajaran secara sesakma, secara mental mengorganisasikan dan menghafal materi yang harus dipelajari, mencatat untuk memfasilitasi aktivitas belajar berikutnya, memeriksa level pemahamannya, dan meminta bantuan ketika dirinya tidak memahami materi tersebut (Zimmerman, 2000). Secara kolektif, berbagai aktivitas ini meningkatkan pembelajaran.

Motivasi dapat juga dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Jadi motivasi itu dapat dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh dalam diri seseorang. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri peserta didik yang menimbulkan kegiatan-kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah


(34)

pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.

Motivasi ini juga dapat dikaitkan dengan persoalan minat. Minat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri.

Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Peserta didik yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.

Peserta didik yang tidak termotivasi untuk belajar, usaha-usaha belajarnya cenderung tidak sistematis Peserta didik yang termotivasi untuk belajar. Motivasi menghasilkan suatu hubungan resiprokal dengan pemelajaran; yakni, motivasi mempengaruhi pemelajaran dan kinerja, dan hal-hal yang dilakukan dan dipelajari oleh peserta didik mempengaruhi motivasinya (Pintrich, 2003; Schunk, 1995). Ketika peserta didik mencapai tujuan pembelajaran, pencapaian tujuan menginformasikan kepadanya bahwa dirinya mempunyai kemampuan prasyarat untuk belajar. Keyakinan ini memotivasinya untuk menetapkan berbagai tujuan menantang yang baru. Para peserta didik yang termotivasi untuk belajar sering kali mendapati bahwa, segera sesudah diri mereka termotivasi untuk belajar, mereka secara intrinsik termotivasi melanjutkan aktivitas belajarnya.


(35)

Sebagian besar guru, Keith, Sara, dan A. K. memiliki teori-teori mengenai hal yang memotivasi para peserta didik. Teori-teori mereka mencerminkan pemahaman intuitif mereka tentang murid-murid mereka dan membantu memandu tindakan mereka. Pemahaman intuitif semacam itu bermanfaat dalam banyak hal.

a. Motivasi Belajar Anak Dalam Proses Belajar Mengajar di Kelas Faktor lain yang menunjang bagi berhasilnya proses pembelajaran adalah motivasi. Motivasi belajar merupakan salah satu faktor yang menimbulkan dasar alasan untuk belajar, keterangan mengenai motivasi belajar seperti dikemukakan oleh Syaiful Bahri ( 2002:73 ) sebagai berikut: “Motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu “.

Sedangkan menurut Nasution ( 1993:8 ) berpendapat: “Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi adalah kondisi yang mendorong siswa untuk belajar “.

Motivasi belajar memegang peranan penting dalam menentukan pencapaian hasil belajar. Pertumbuhan gairah belajar, rasa senang dan semangat untuk belajar merupakan peranan yang khas dalam motivasi belajar sesuai dengan pendapat Sardiman A.M ( 1994:75 ) yaitu: “ Motivasi belajar adalah faktor psikis yang bersifat non intelektual, peranan yang khas adalah dalam hal menimbulkan gairah, merasa senang, dan semangat untuk belajar”.


(36)

Peserta didik yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan selalau memiliki tujuan yang jelas terhadap apa yang akan ia lakukan, untuk lebih jelasnya, mengenai ciri–ciri peserta didik yang memiliki motivasi yang tinggi seperti yang dikemukakan oleh Sardiman AM ( 1994:88 ) adalah sebagai berikut :

1. Tekun menghadapi tugas 2. Ulet menghadapi kesulitan

3. Menunjukkan minat terhadap berbagai macam masalah 4. Lebih senang bekerja mandiri

5. Cepat bosan pada tugas – tugas yang rutin 6. Dapat mempertahankan pendapatnya

7. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakininya 8. Senang mencari dan memecahkan soal–soal.

Berdasarkan hal tersebut, proses pembelajaran di sekolah akan menjadi relatif apabila anak didik memiliki keinginan yang kuat untuk belajar yang ditunjukkan dengan hal – hal seperti : tekun belajar, senang bekerja mandiri, dan sebagainya. Hal ini berarti motivasi memiliki fungsi yang sangat penting dalam proses pembelajaran, bukan hanya bagi peserta didik secara khusus tetapi juga bagi manusia secara umumnya.

Didalam kegiatan belajar mengajar, apabila ada seseorang peserta didik, misalnya tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dikerjakan maka perlu diselidiki sebab-sebabnya. Sebab-sebab itu biasanya bermacam-macam, mungkin ia tidak senang, mungkin sakit, lapar, ada problem pribadi dan lain-lain. Hal ini berarti pada diri anak tidak terjadi perubahan energi, tidak


(37)

terangsang afeksinya untuk melakukan sesuatu, karena tidak memiliki tujuan atau kebutuhan belajar. Keadaan semacam ini perlu dilakukan daya upaya yang dapat menemukan sebab-musababnya kemudian mendorong seseoraang peserta didik itu mau melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan, yakni belajar. Dengan kata lain, peserta didik perlu diberikan rangsangan agar tumbuh motivasi pada dirinya. Atau singkatnya perlu diberikan motivasi dari guru pada saat kegiatan belajar mengajar di kelas.

Kemudian dalam hubungannya dengan kegiatan belajar, yang penting bagaimana menciptakan kondisi atau proses yang mengarahkan peserta didik itu melakukan aktivitas belajar di kelas. Dalam hal ini sudah barang tentu peran guru sangat penting. Bagaimana guru melakukan usaha-usaha untuk dapat menumbuhkan dan memberikan motivasi agar anak didiknya melakukan aktivitas belajar dengan baik.

Memberikan motivasi kepada seseorang peserta didik, berarti menggerakkan peserta didik untuk melakukan sesuatu atau ingin melakukan sesuatu. Pada tahap awalnya akan menyebabkan si subjek belajar merasa ada kebutuhan dan ingin melakukan sesuatu kegiatan belajar.

Demikian pula halnya dengan peserta didik dalam belajar agar hasil belajar peserta didik meningkat dapat diupayakan dengan membangkitkan motivasi belajar peserta didik yang bersangkutan. Kadang-kadang suatu proses belajar tidak dapat mencapai hasil yang maksimal disebabkan oleh karena ketiadaan kekuatan yang mendorong (motivasi). Motivasi menentukan tingakat berhasil


(38)

atau gagalnya perbuatan belajar murid. Belajar tanpa adanya motivasi kiranya sulit untuk berhasil. (Hamalik, 2004: 161)

Motivasi belajar dapat menimbulkan rasa senang dan semangat dalam kegiatan belajar sehingga peserta didik yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan mendorong mereka melakukan kegiatan belajar dengan skala tinggi. Dengan usaha yang tekun dan dilandasi dengan motivasi yang kuat, maka akan menghasilkan prestasi yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sardiman, AM (1994: 85) bahwa: “Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi, adanya motivasi yang baik akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain bahwa dengan usaha yang tekun dan terutama didasarkan pada motivasi maka seseorang yang belajar akan dapat melahirkan prestasi yang baik.”

Adapun ciri-ciri seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi adalah:

a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai);

b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa);

c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah; d. Lebih senang bekerja mandiri;

e. Cepat bosan terhadap tugas-tugas rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif);

f. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu); g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu;


(39)

Apabila seseorang memiliki ciri-ciri seperti di atas berarti orang itu memiliki motivasi yang kuat. Ciri-ciri motivasi seperti itu akan sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar. Jika peserta didik tidak memiliki ciri-ciri motivasi seperti di atas maka menunjukkan motivasi mereka rendah. Ada dua jenis motivasi menurut (Hamalik, 2004: 162-163), yaitu:

a. Motivasi instrinsik

Motivasi instrinsik adalah motivasi yang sebenarnya yang timbul dari dalam diri siswa sendiri seperti keinginan untuk mendapatkan keterampilan tertentu.

b. Motivasi ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar seperti penghargaan, hukuman dan persaingan.

Dan jenis motivasi yang sama juga dapat dikemukakan oleh Sardiman, AM yaitu:

a. Motivasi instrinsik, yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.

b. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif aktif dan berfungsinya karena adanya rangsangan dari luar.

Dalam kegiatan belajar mengajar peran motivasi baik instrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Motivasi bagi peserta didik dapat memelihara ketekunan dalam belajar. Oleh karena itu seorang guru harus mampu menggerakkan atau membangkitkan motivasi belajar peserta didik. Ada


(40)

beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah (Sardiman, AM. 1994: 91-94), antara lain:

a) Memberi angka b) Hadiah

c) Persaingan/kompetisi d) Ego-involvement e) Memberi ulangan f) Mengetahui hasil g) Pujian

h) Hukuman

i) Hasrat untuk belajar j) Minat

k) Tujuan yang diakui

Cara membangkitkan motivasi belajar yang telah diuraikan di atas selain perlu diterapkan kepada peserta didik, juga perlu dikembangkan agar motivasi peserta didik semakin tinggi. Setiap peserta didik mempunyai hambatan dan kesulitan masing-masing dalam belajar. Selama peserta didik memiliki kemauan atau motivasi belajar yang kuat selama itu pula segala hambatan dan kesulitan dalam proses belajar dapat diatasi atau setidaknya dapat dicegah agar tidak sampai menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi peserta didik yang bersangkutan. Sesungguhnya kemauan atau motivasi itu merupakan motor penggerak pertama dan utama dalam proses belajar.


(41)

4. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Untuk lebih memahami mengenai peranan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, maka sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai pengertian pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia.

Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/ potensi anak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu: memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.

Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakat. Kewarganegaraan berasal dari kata civics yang secara etimologis berasal dari kata “Civicus” (bahasa latin) sedangkan dalam bahasa Inggris “Citizens” yang dapat didefinisikan sebagai warga negara, penduduk dari sebuah kota, sesama warga negara, penduduk, orang setanah air bawahan atau kaula.


(42)

Menurut Stanley E. Dimond dan Elmer F. Peliger secara terminologis civics Diartikan studi yang berhubungan dengan tugas-tugas pemerintahan dan hak-kewajiban warganegara (1970:5). Namun dalam salah satu artikel tertua yang merumuskan definisi civics adalah majalah “education”. Menurut Soemantri Pada tahun 1886 Civic adalah suatu ilmu tentang kewarganegaraan yang berhubungan dengan manusia sebagai individu dalam suatu perkumpulan yang terorganisir dalam hubungannya dengan negara (1976:45).

Setelah menganalisis dari pengertian diatas dapat dipaparkan bahwa pendidikan kewarganegaraan terdiri dari dua istilah yaitu “Civic Education” dan “ Citizenship Education “ yang keduanya memiliki peranan masing-masing yang tetap saling berkaitan. Civic Education lebih pada suatu rancangan yang mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat. Sedangkan Citizenship Education adalah lebih pada pendiidkan baik pendidikan formal maupun non formal yang berupa program penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warganegara Indonesia yang cerdas dan baik. Adapun arti warganegara menurut Aristoteles adalah orang yang secara aktif ikut ambil bagian dalam kegiatan hidup bernegara yaitu mereka yang mampu dan berkehendak mengatur dan diatur dengan suatu pandangan untuk menata kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip kebajikan (goodness).

Pendidikan kewarganegaraan sebagai “citizenship education” secara substantif dan

pedagogis didesain untuk mengembangkan warga negara yang cerdas terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan


(43)

merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berfikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Tujuan mata pelajaran Kewarganegaraan adalah untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan ( Depdiknas, 2003 ) sebagai berikut:

1) Berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan masyarakat.

3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri dan pribadi berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya, dan

4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan tekhnologi dan komunikasi.

Selain itu juga tujuan pendidikan kewarganegaraan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yaitu :

• Manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME • Berbudi luhur

• Berkepribadian • Mandiri

• Maju • Tangguh • Cerdas • Kreatif


(44)

• Terampil • Berdisiplin • Beretos kerja • Profesional

• Bertanggung jawab

• Produktif, serta sehat jasmani dan rohani • Menumbuhkan jiwa patriotik

• Mempertebal rasa cinta tanah air • Meningkatkan semangat kebangsaan • Meningkatkan kesetiakawanan sosial • Meningkatkan kesadaran pada sejarah

• Meningkatkan sikap menghargai jasa para pahlawan • Berorientasi ke masa depan.

Visi pendidikan kewarganegaraan yakni menjadikan sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi untuk mengembangkan kepribadian peserta didik sebagai warga negara indonesia dalam menerapkan Ipteks dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan.

Misi pendidikan kewarganegaraan yakni membantu peserta didik agar mampu menanamkan nilai dasar, menjelaskan nilai dasar, mewujudkan nilai dasar dan memupuk nilai dasar kesadaran berbangsa dan bernegara dlm menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) adalah proses pengubah sikap dan tata laku


(45)

seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang cerdas, terampil, kreatif dan inovatif serta mempunyai karakter yang khas dalam sikap dan moral sebagai bangsa Indonesia yang dilandasi nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

a. Konsep Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan sebagai “citizenship education” secara substantif

dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan Negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berfikir dan bertnidak sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan


(46)

sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Kewarganegaraan berasal dari kata civics yang secara etimologis berasal dari

kata “Civicus” (bahasa latin) sedangkan dalam bahasa Inggris “Citizens”yang

dapat didefinisikan sebagai warga negara, penduduk dari sebuah kota, sesama warga negara, penduduk, orang setanah air bawahan atau kaula.

Menurut Stanley E. Dimond dan Elmer F.Peliger (1970:5) secara terminologis civics diartikan studi yang berhubungan dengan tugas-tugas pemerintahan dan hak-kewajiban warganegara. Namun dalam salah satu artikel tertua yang merumuskan definisi civic adalah majalah “education “. Pada tahun 1886 Civic adalah suatu ilmu tentang kewarganegaraan yang berhubungan dengan manusia sebagai individu dalam suatu perkumpulan yang terorganisir dalam hubungannya dengan negara (Somantri 1976:45).

Menurut Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia 2006 Pasal 1 ayat (2), Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Maka setelah menganalisis dari pengertian diatas dapat dipaparkan bahwa pendidikan kewarganegaraan terdiri dari dua istilah yaitu “Civic Education” dan “Citizenship Education” yang keduanya memiliki peranan masing-masing yang tetap saling berkaitan.

Civic Education lebih pada suatu rancangan yang mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat. Sedangkan Citizenship Education adalah lebih pada pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal yang berupa program


(47)

penataran/program lainnya yang sengaja dirancang/sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warganegara Indonesia yang cerdas dan baik. Adapun arti warganegara menurut Aristoteles adalah orang yang secara aktif ikut ambil bagian dalam kegiatan hidup bernegara yaitu mereka yang mampu dan berkehendak mengatur dan diatur dengan suatu pandangan untuk menata kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip kebajikan (goodness).

Maka untuk membentuk warganegara yang baik sangat dibutuhkan konsep pendidikan yang demokratis yang diartikan sebagai tatanan konseptual yang menggambarkan keseluruhan upaya sistematis untuk mengembangkan cita-cita, nilai-nilai, prinsip, dan pola prilaku demokrasi dalam diri individu warganegara,dalam tatanan iklim yang demokratis. Sehingga untuk memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani Indonesia yang demokratis dibutuhkan warganegara yang dapat menjalankan apa yang menjadi kewajibanya dan melaksanakan hak-haknya.

Disinilah perwujudan pendidikan kewarganegaraan yang nyata dari sarana programatik kependidikan yang kasat mata, yang pada hakikatnya merupakan penerapan konsep, prosedur, nilai, dalam pendidikan kewarganegaraan sebagai dimensi politik yang berinteraksi dengan keyakinan, semangat, dan kemampuan yang praktis serta konteks pendidikan kewarganegaraan yang diikat oleh subtansi idiil sebagai dimensi pronesis yakni truth and justice.(Carr dan Kemis :1986)

Maka dapat menghubungkan dalam kehidupan masyarakat. Peranan pendidikan kewarganegaraan dalam memberikan pendidikan tentang


(48)

pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya, tentang rule of law, HAM, penguatan keterampilan partisipasif yang akan memberdayakan masyarakat untuk merespon dan memecahkan masalah-masalah mereka secara demokratis, dan pengembangan budaya demokratis dan perdamaian pada berbagai aspek kehidupan. Begitupun dengan hakikat warganegara dalam pengertian Civics sebagai bagian dari ilmu politik yang mengambil isi ilmu politik yang berupa demokrasi politik (Numan Soemantri 1976:23).

Ilmu kewarganegaran merupakan suatu disiplin yang objek studinya mengenai peranan warganegara dalam bidang spiritual, social, ekonomi, politik, yuridis, cultural sesuai dengan dan sejauh yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dan oleh karena itu diharapkan dengan mempelajari PKn masyarakat menjadi berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menghadapi isu kewarganegaraan dan dapat bertanggung jawab dalam tindakannya sehingga diharapkan tidak terjadi salah mengartikan kata demokrasi yang seharusnya tetap pada kaidah-kaidah hukum,norma yang ada untuk menghargai dan menghormati kewajiban dan hak orang lain.

b. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Mengenal tujuan Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya pada Sekolah Menengah Pertama dan Atas secara utuh telah disajikan pada Bab VI butir B. Yang perlu dibahas dalam uraian ini ialah gambaran yang utuh tentang tujuan tersebut. Mengenal hal tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :

a. Baik tujuan PKn di SMP maupun di SMA sama-sama bertolak dari lima dari Pancasila, oleh karena itu untuk masing-masing kelas selalu ada lima


(49)

tujuan kurikuler yang mencerminkan ide dan nilai yang menjadi masing-masing sila dari kelima sila Pencasila itu.

b. Tujuan-tujuan instruksional umum yang tentunya merupakan jabaran dari tujuan kurikuler, isinya mencerminkan butir-butir nilai Pancasila sebagaimana tertuang dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pencasila.

c. Rumusan tujuan kurikuler mencermnkan proses psikologis yang memadukan ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam konteks materi masing-masing sila Pancasila. Oleh karena itu secara konseptual

rumusan tujuan PMP telah menerapkan ide “Confluent taxonomy” yang

tidak lagi melihat masing-masing ranah sebagai proses psikologis yang dipisah-pisahkan.

d. Tujuan instruksional (umum) telah dirumuskan atas dasar proses psikologis dalam konteks butir-butir nilai Pancasila yang diwadahi oleh proses belajar keterampilan proses, yakni keterampilan intelektual, sosial, dan personal dalam dimensi operasional di masyarakat.

Dengan mempertimbangkan keempat hal tersebut tentu dapat ditarik pernyataan lain yakni terintegrasinya semua ranah proses psikologis dan terintegrasinya isi dan proses psikologis menunjukkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu model “Contfluent education”. Sekurang-kurangnya hal tersebut tersurat dan tersirat dalam kurikulum.

Tujuan PKn tidaklah “Content Free” tetapi “Content based”, dan oleh karena

itu PKn bukan semata-mata pendidikan yang hanya bersifat monodimensional-kognitif atau afektif atau psikomotorik saja tetapi bersifat


(50)

multidimensional atau bermata jamak. Dengan demikian apa yang oleh Mac

Neil (1978) digagaskan dalam “Content Curriculum” secara konseptual

pragmatik telah diadopsi oleh Pendidikan Kewarganegaraan.

Yang memang masih harus dipikirkan lebih jauh ialah perwujudan tujuan yang secara ideal baik itu dalam realitas proses Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah. Untuk mendukung terciptanya keajegan antara tujuan yang telah dirumuskan dengan praktek pengajaran perlu adanya guru-guru dan sarana pendukung PKn yang memadai baik secara kuantitatif maupun dan lebih-lebih secara kualitatif. Jika tidak ada sarana manusiawi dan materiil yang

sengaja dirancang untuk mendukung “Confluent Curriculum” ini maka jurang

antara “Intention” dan “reality” akan tetap menganga. c. Pembelajaran Adaptif Civic Education/ PKn

Model pembelajaran Praktik Kewarganegaraan….. Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI) yang diadaptasi dari model “We the people …. Project Citizen” merupakan model generic atau model dasar pembelajaran demokrasi yang dikembangkan oleh Center for Civic Education (CCE), yang dalam 15 tahun terakhir telah diadaptasi sekitar 50 negara di dunia, termasuk Indonesia. Model ini bersifat generic atau umum dan mendasar yang dapat dimuati materi yang relevan di masing-masing Negara.

Sebagai model dipilih topik generik ”public policy” (kebijakan publik), yang

memang berlaku di negara manapun. Misi dari model ini adalah mendidik peserta didik agar mampu menganalisis berbagai dimensi kebijakan publik,

kemudian dengan kapasitasnya sebagai ”young citizen” atau warganegara


(51)

lingkungannya. Hasil yang diharapkan adalah waraganegara yang ”cerdas, kreatif, partisipatif dan bertanggungjawab”.

Model pembelajaran Praktik Kewarganegaraan….. Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI) memiliki karakteritik subtantif ddan psiko-dedagogis sebagai berikut :

a. Bergerak dalam sustantif dan sosio-kultur kebijakan publik sebagai alah satu koridor demokrasi yang berfungsi sebagai wahana interaksi antara waragengara dengan negara dalam melaksanakan hak, keajiban dan tanggungjawabnya sebagai warganegara Indonesia yang cerdas, partisipatif dan bertanggungjawab yang secara kurikuler dan pedagogis merupakan misi utama PKn.

b. Menerapkan model ”Prtofolio based learning” atau model belajar yang berbasis pengalaman utuh peerta didik, dan ”portofolio asissted asessment” atau penilaian berbantuan hasil belajar utuh memadudkan secara sinergis model-model social problem solving (pemecahan masalah), Social inquiry (penelitian sosial), Social simulated hearing (perlibatan sosial), cooperative learning (belajar bersama), simulated hearing (simulasi dengar pendapat), deep dialoque and critical thingking (dialog mendalam dan berpkir kritis) value clarification ( klarifikasi nilai), democratic teaching (pembelajaran demokratis). Dengan demikian model ini potensial menghasilkan ”Powerfull learning” atau belajar yang berbobot dan bermakna yang secara pedagogis bercirikan prinsip meningfull learning (bermakna), integrative (terpadu), value based


(52)

(berbasis nilai), chalenging (menantang), activating (mengaktifkan) dan joyfull (menyenangkan).

c. Kerangka operasional pedagogis dasar yang digunakan adalah modifikasi langkah strategi pemecahan masalah dengan langkah-langkah : 1) Indentifikasi masalah, 2) Pemilihan masalah, 3) Pengumpulan data, 4) Pembuatan portofolio, 5) Show case 6) Refleksi. Sedangkan kemasan potofolionya mencakup panel sajian dan file dokumentasi dikemas dengan sistematika 1) identifikasi masalah dan pemilihan masalah; 2) alternatif kebijakan; 3) usulan kebijakan dan rencana tindakan. Sementara kegiatan show case didesain sebagai forum dengar pendapat (simulated public hearing).

Fokus perhatian ini adalah pengembangan “civic knowledge (pengetahuan

kearganegaraan), civic disposstions (kebajikan kewarganegaraan), civic skill (keterampilan kewaraganegaraan), civic confident (kepercayaan diri warganegara), civic commitment (komitmen kewarganegaraan), civic competence (kompetensi kewarganegaraan), yang bermuara pada

berkembangnya “welll informed, reasoned, and responsible decision making”

(kemampuan mengambil keputusan berwawasan, bernalar dan bertanggungjawab).

Portofolio adalah tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis yang melukiskan proses berpikir yang didukung oleh seluruh data yang

relevan, yang secara utuh melukiskan “integrated learning experience” atau

pengalaman belajar yang terpadu yang dialami peserta didik dalam kelas sebagai suatu kesatuan.


(53)

Portofolio kelas berisi bahan-bahan seperti pernyataan-pernyataan tertulis, peta, grafik, fotografi, dan karya seni asli. Bahan-bahan ini menggambarkan : 1. hal-hal yang telah dipelajari siswa berkenaan dengan suatu masalah yang

telah mereka pilih;

2. hal-hal yang telah dipelajari siswa berkenaan dengan alternatif-alternatif pemecahan terhadap masalah tersebut;

3. kebijakan publik yang telah dipilih atau dibuat oleh siswa untuk mengatasi masalah tersebut;

4. rencana tindakan yang telah dibuat siswa untuk digunakan dalam mengusahakan agar pemerintah menerima kebijakan yang mereka usulkan. Portofolio merupakan karya terpilih kelas/siswa secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat kebijakan publik untuk membahas pemecahan terhadap suatu masalah kemasyarakatan. Dalam menilai

portofolio, “karya terpilih” merupakan istilah yang sangat penting. Yang

harus menjadi akumulasi dari segala sesuatu yang dapat ditemukan para siswa pada topik mereka bukanlah seksi penayangan dan bukan pula seksi pendokumentasian. Melainkan portofolio harus memuat bahan-bahan yang menggambarkan usaha terbaik peserta didik dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, serta mencakup pertimbangan terbaiknya tentang bahan-bahan mana yang paling penting.

Pembelajaran PKn yang berbasis portofolio memperkenalkan kepada para peserta didik dan mendidik mereka dengan beberapa metode dan langkah-langkah yang digunakan dalam proses politik. Pembelajaran ini bertujuan


(54)

untuk membina komitmen aktif para peserta didik terhadap kewarganegaraannya dan pemerintahannya dengan cara:

1. Membekali pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi secara efektif;

2. Membekali pengalaman praktis yang dirancang untuk mengembangkan kompetensi dan efektifitas partisipasi.

3. Mengembangkan pemahaman akan pentingnya partisipasi warga Negara. Pembelajaran ini akan menambah pengetahuan, meningkatkan keterampilan, dan memperdalam pemahaman peserta didik tentang bagaimana bangsa indonasia, yakni kita semua, dapat bekerja sama mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Pembelajaran ini bertujuan untuk membantu peserta didik belajar bagaimana cara mengungkapkan pendapat, bagaimana cara menentukan tingkat pemerintahan dan lembaga pemerintah manakah yang paling tepat dan layak untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi oleh mereka, dan bagaimana cara mempengaruhi penetapan-penetapan kebijakan pada tingkat pemerintah tersebut. Pembelajaran ini mengajak para siswa untuk bekerja sama dengan teman-temannya dikelas dan dengan bantuan guru serta para relawan, agar tercapai tugas-tugas pembelajaran.

B. Kerangka Pikir

Dalam suatu penelitian diperlukan kerangka pikir yang jelas untuk memudahkan peneliti melaksanakan penelitian. Menurut Soejono Soekanto

(1984; 24) “kerangka pikir adalah proses yang memerlukan abstraksi dari

hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berdimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti”.


(1)

117

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data, pembahasan hasil penelitian, khususnya analisis data seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan mengenai hubungan persepsi peserta didik tentang urgensi pendidikan karakter dengan motivasi belajar pendidikan kewarganegaraan di SMA Negeri 10 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013 maka penulis dapat menyimpulkan :

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, diketahui adanya hubungan persepsi peserta didik tentang urgensi pendidikan karakter dengan motivasi belajar pendidikan kewarganegaraan di SMA Negeri 10 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013, yaitu pendidikan karakter sangat mempengaruhi terbentuknya motivasi belajar pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan peserta didik dibuktikan dengan hasil perhitungan yang menggunakan rumus Chi Kuadrat bahwa hasil penelitian mempunyai derajat keeratan hubungan antar variabel dalam kategori sangat berhubungan dengan koefisien kontingensi dan koefesien kontingensi maksimum.


(2)

118

Dari indikator-indikator soal angket yang diberikan kepada 88 responden, indikator pemahaman tentang pendidikan karakter berkategori baik terdapat 25% responden peserta didik yang memahami tentang pendidikan karakter, indikator sikap positif berkategori baik terdapat 22,73% responden peserta didik, indikator aplikasi pendidikan karakter di sekolah berkategori baik 19,32% responden peserta didik, indikator mengerjakan tugas pendidikan kewarganegaraan berkategori baik 19,32% responden peserta didik, indikator usaha belajar siswa berkategori baik 22,73% responden peserta didik, indikator kegigihan belajar siswa berkategori baik 25% responden, dan indikator prestasi belajar berkategori baik 17,02% responden peserta didik. Pada indikator-indikator tersebut bisa dilihat bahwa indikator aplikasi dan mengerjakan tugas peserta didik lebih tinggi dibandingkan dengan sikap positif, usaha belajar proses belajar yang cukup, sedangkan dengan pemahaman tentang pendidikan karakter dan kegigihan belajar para peserta didik masih kurang.

Berdasarkan perhitungan tersebut maka koefesien kontingensi berada pada kategori sangat berhubungan. Sehingga dari hasil pengujian tersebut dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara urgensi pendidikan karakter dengan motivasi belajar pendidikan kewarganegaraan peserta didik di SMA Negeri 10 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013.


(3)

119

B. Saran

Setelah penulis menyelesaikan penelitian, membahas dan mengambil kesimpulan dari hasil penelitian, maka penulis mengajukan saran sebagai berikut:

1. Guru diharapkan agar lebih memaksimalkan proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dengan pendekatan dialogis, keteladanan, dan dengan pendekatan sebagai usaha pembentukan pendidikan karakter bagi peserta didik.

2. Kepala Sekolah diharapkan dapat mendampingi proses pembelajaran untuk mendukung guru, karyawan, dan peserta didik agar berada dalam suasana pengalaman nilai-nilai pendidikan karakter.

3. Peserta didik diharapkan dapat belajar berfikir kritis, rasional, kreatif, dan bertanggung jawab baik dalam bersikap maupun bertindak.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Munir. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah.Yogyakarta : PT Pustaka Insan Madani.

Abin Syamsuddin Makmun. 2004. Psikologi Kependidikan Remaja Rosdakarva. Bandung

Abu Ahmadi. 2003. Psikologi Sosial. Semarang: Rineka Cipta.

Akhmad Muhaimin Azzet. 2010. Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak. Yogyakarta: Kata Hati.

Akhmad Sudrajat. 2010. Tentang Pendidikan Karakter.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-sekolah/.[28 Desember 2012].

Andrias Harefa. 2009. Pengertian Karakter.

http://kabarmu.blogspot.com/2009/05/pengertian-karakter.html. [28 Desember 2012].

Barbara A. Lewis. 2004. Character Building untuk remaja, Batam: Karisma Publishing Group.

Bimo Walgito. 2004. Persepsi Siswa. Jakarta: Grasindo

Bonek Guyup. 2010. Apakah yang dimaksud dengan karakter?.

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100429192617AA8q m Nn. [29 Desember 2012].

Dale H. Schunk. 2008. Motivasi dalam Pendidikan. Jakarta; Indeks Daryanto. 2009. Persepsi Siswa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Departemen Pendidikan dan Perpustakaan. 2003. Sistem Pendidikan Nasional (Undang-undang RI No.20 Tahun 2003). Jakarta: Fokus Media. Djaali. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.


(5)

Doni Koesoema. 2010. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak Zaman Global. Jakarta: Grasindo.

Drever. 2010. Persepsi Siswa. Bandung: Grafindo

Hamalik. 2004. Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pradyana Paramita. Hadari Nawawi. 1996. Metodologi Penelitian. Bandung: Grafindo Jacob, Teuku. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: Rajawali Kurnia Kotler, Armstrong. 2004. Persepsi Siswa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Manase Malo. 1989. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Kurnia. Mar’at. 1984. Persepsi Siswa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Muhaimin. 1996. Strategi Balajar Mengajar. Surabaya: Citra Media.

Mohammad Ali. 1987. Penelitian Pendidikan Dan Prosedur Strategi. Bandung: Angkasa.

Mohammad Natsir. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nasution. 1993. Motivasi Belajar. Yogyakarta: Kanisius.

Neiny Ratmaningsih. 2003. PPKN untuk Kelas II. Bandung: Grafindo. Ngajum. 2010. Pendidikan Karakter di SMP.

http://www.ngajum.co.cc/2010/10/pendidikan-karakter-di-smp.html. [28 Desember 2012].

Pengantar ke Proses Belajar-Mengajar, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Proyek NKK, 1979. Paryanto. 2009. Prinsip dasar Persepsi Siswa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pintrich, P. R. 2003. A motivational science perspective on the role of student

motivation in learning and teaching contexts. Journal of educational Psychology, 95, 667-686.

Sardiman A. M. 1994. Pendidikan Karakter Berbasis Pancasila. Yogyakarta: Ampera Utama.

Schunk. 1995. Motivasi Belajar. Yogyakarta: Kanisius.

Soemantri. 1976. “Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik”, Yogyakarta: Ampera Utama.


(6)

Soemarno Soedarmo. 2002. Character Building Membentuk Watak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Sudjana. 1996. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Suharsimi Arikunto. 1989. Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.

Sutrisno Hadi. 1986. Metode Research. Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. Sutrisno Hadi. 1989. Metode Research. Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. Syaiful Bahri. 2002. Pancasila Dasar Filsafat Negara. Jakarta: Pancuran Tujuh. Umar Tirtarahardja. 2005. Pendidikan Karakter. Jakarta: Rajawali Kurnia Undang-undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, 2006, pasal 1,

ayat 2.

Yani Herliani. 2010. Pendidikan Karakter.

http://www.smpn8bogor.com/?ttg=idg&11=3&hk=1&guru=Hj.Yani_Her linani,S.Pd[29 Desember 2012].


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN KOMPETENSI PROFESIONAL, MOTIVASI KERJA DAN PERSEPSI GURU TERHADAP KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DENGAN KINERJA GURU MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SMP DI KOTA BANDAR LAMPUNG ( Tesis)

0 23 1

PERANAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MEMBANGUN KARAKTER BUDAYA BANGSA PESERTA DIDIK DI ERA GLOBALISASI PADA SMP NEGERI 21 BANDAR LAMPUNG TAHUN 2011/2012

1 62 72

PENGARUH KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL TERHADAP MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI KELAS X SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK LAMPUNG TENGAH TP 2012/2013

1 11 80

PERSEPSI PESERTA DIDIK TERHADAP OPTIMALISASI PELAYANAN PENDIDIKAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DI SMA YP UNILA BANDAR LAMPUNG

0 13 72

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

HUBUNGAN PERSEPSI PESERTA DIDIK TENTANG URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN MOTIVASI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMA NEGERI 10 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 10 75

PERANAN PEMANFAATAN BLOG SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMP NEGERI 9 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

1 25 87

PENGARUH IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH TERHADAP PERILAKU RELIGIUS PESERTA DIDIK KELAS VII DI SMPNEGERI 12 BANDAR LAMPUNG TP. 2012/2013

0 7 46

HUBUNGAN TINGKAT PENGUASAAN KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR GURU DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DI SMA NEGERI 10 BANDAR LAMPUNG

1 11 89

HUBUNGAN KEMAMPUAN GURU MENGELOLA KELAS DALAM DISKUSI KELOMPOK DENGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KELAS VIII DI SMP NEGERI 1 BANDAR SRIBHAWONO LAMPUNG TIMUR

0 12 103