Pengembangan Diri ETIKA ARISTOTELES

Ada dua paham Yunani dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kebijaksanaan, yaitu Sophia dan phronesis. Shopia adalah kebijaksanaan dalam kemampuan manusia untuk memandang yang ilahi, yang abadi. Sedangkan phronesis adalah kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan memecahkan permasala han dengan “bijaksana” dan sebagainya. 40 Menurut Plato dalam ajarannya tentang idea, shopia tumbuh dari perhatian pada idea-idea, kemampuan untuk memahami hakekat realitas dan tidak terikat kesan lahiriah saja sehingga manusia dapat memahami tatanan yang seharusnya. Sedangkan phronesis adalah akibat adanya shopia. Akan tetapi pendapat itu ditolak oleh Aristoteles, bahwa, tidak ada alam ideal di belakang alam pengalaman. Realitas abadi bukan idea-idea, melainkan alam ilahi; alam lain daripada alam duniawi yang kita alami dalam hidup sehari-hari. Karena itu, phronesis tidak berkaitan dengan shopia dan Negara jangan dipimpin oleh seorang filosof. Kebijaksanaan dalam arti phronesis amat penting bagi manusia, kita menjadi biasa bertindak dengan tepat dalam berbagai macam situasi. Membuat manusia menjadi pandai dan benar dalam membawa diri dan berkomunikasi dengan orang lain, serta menjadi tahu bagaimana bertindak dengan tepat dan etis. 40 Franz Magnis- Suseno,…… h. 37

F. Manusia Utama

Kebijaksanaan phronesis merupakan wawasan intelektual. Wawasan ini baru bisa efektif dalam mendukung hidup mengarah pada kebahagiaan apabila ditunjang oleh keutamaan etis. Kebijaksanaan yang tidak tertanam kepribadian etis, lama-kelamaan akan merosot menjadi oportunisme belaka. Dan tidak akan cukup untuk mendukung terciptanya kepribadian yang kuat, mantap dan dapat diandalkan. Ketertanaman sikap etis dalam kepribadian sesorang itulah yang dimaksud Aristoteles untuk menjadi manusia yang utama.

G. Persahabatan

Dalam ajaran etika Aristoteles, kita akan menemukan kesan bahwa pendekatannya sangat egosentris. Namun kesan seperti itu tidaklah tepat. Aristoteles tidak mengatakan bahwa kita hendaknya selalu berusaha untuk menjadi bahagia. Kita sudah melihat bahwa kebahagiaan justru tidak dapat diusahakan secara langsung. Kebahagiaan tercapai dengan mengambil cara hidup yang mengembangkan kerohanian dan keterlibatan social manusia dan bukan dengan sikap egois. Kebahagiaan adalah suatu yang dialektis. Apabila langsung diusahakan, kebahagian akan menghindar, tetapi orang yang tanpa pamrih melibatkan diri dalam memajukan atau menyelamatkan sesama, dialah yang akan bahagia. Jadi etika kebahagiaan, eudemonisme Aristoteles tidak egosentris.