BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dampak Kebakaran Hutan Kebakaran hutan, secara langsung mempengaruhi seluruh kelompok

  organisme tanah dan mengalami penurunan. Pengaruh langsung ini akibat panas yang dihasilkan dari pembakaran, sehingga organisme tanah banyak yang mengalami kematian. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro.

  Abidin (2004) menyatakan bahwa penurunan organisme tanah setelah kebakaran, baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan makanan untuk organisme kecil dan tersedianya makanan bagi predator.

  Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun (Sutedjo dan Kartasapoetra , 2005).

  Kebakaran hutan mempengaruhi tekstur tanah. Komponen tekstur tanah (pasir, debu, dan liat) memiliki ambang batas suhu tinggi dan biasanya tidak dipengaruhi oleh api kecuali mengalami pengaruh suhu tinggi di permukaan mineral tanah (horizon A). Fraksi tekstur tanah yang paling sensitif adalah tanah liat, yang mulai berubah pada suhu tanah sekitar 400 C ketika hidrasi tanah liat dan struktur kisi tanah liat mulai runtuh. Pada suhu dari 700 sampai 800 C

  Ulery dan Graham (1993) melaporkan bahwa setelah kebakaran lapisan tanah memerah dan kandungan liat secara signifikan berkurang dari tanah tidak terbakar. Lapisan hitam dan ukuran agregat pasir terbentuk di permukaan tanah selama pembakaran mengubah distribusi ukuran partikel dan menghasilkan tekstur lebih kasar lebih besar dari pasir. Pembakaran menghasilkan tekstur yang lebih halus di satu lokasi karena peningkatan dalam fraksi debu, hasil dari dekomposisi partikel pasir kaolinized. pH tanah umumnya meningkat setelah kebakaran hutan. Namun peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada suhu yang lebih tinggi (450-500

  C). Keberadaan debu dapat meningkatkan pH tanah karena pH debu yang tinggi.

  Berdasarkan tipe kebakaran, kebakran dapat dibagi kedalam tiga tipe kebakaran yaitu:

  1. Kebakaran Bawah (Ground Fire) Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada umumnya berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan dan tidak dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan kontrol. Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling merusak lingkungan (Soemardi dan Widyastuti, 2002).

  2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire) Api pada kebakaran ini membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah pembakaran dan bahan bakar lainnya yang terdapat di lantai hutan. Energi kebakaran dapat rendah sampai tinggi. Dalam penjalarannya, dipengaruhi oleh angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga ke tajuk pohon (crowning out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan (Soemardi dan Widyastuti, 2002).

  3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire) Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon berikutnya. Arah dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin, sehingga api menjalar dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya terjadi pada tegakan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin. Disamping itu kebakaran tipe ini juga dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin dan menimbulkan kebakaran baru di tempat lain (De Bano et al., 1998).

B. Sifat Kimia Tanah

  Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah pada

umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Pertumbuhan tanaman sangat

dipengaruhi oleh pH tanah. Setiap kelompok jenis tanaman membutuhkan pH tertentu

untuk pertumbuhan dan produksinya yang maksimum. pH tanah (reaksi tanah) adalah

  suatu hal yang penting untuk mempelajari tanah, sebab salah satu fisiologi yang khas dari larutan tanah adalah reaksinya. Dan bagi organisme tanah (mikroorganisme dan tanaman tingkat tinggi) dalam menanggapi lingkungan kimianya begitu nyata (Yuliprianto, 2010).

  Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah antara lain dekomposisi bahan organik, pengendapan, kedalaman tanah, penggenangan. Bahan organik tanah yang diuraikan oleh mikroorganisme menjadi bentuk-bentuk asam-asam organik, karbon dioksida, dan air, senyawa pembentuk asam karbonat. Selanjutnya asam karbonat ini akan bereaksi dengan unsur Mg dan Ca yang ada dalam tanah, untuk membentuk bikarbonat yang lebih mudah larut dalam tanah yang bisa tercuci ke luar yang akhirnya akan meninggalkan tanah yang lebih masam. Curah hujan yang tinggi akan mencuci kation-kation basa yang ada di tapak jerapan tanah yang kemudian akan digantikan oleh kation-kation masam seperti Al, H dan Mn. Oleh karena itu tanah yang terbentuk biasanya lebih masam dibandingkan dengan tanah-tanah pada lahan kering. Pengaruh keseluruhan dari penggenangan adalah penurunan pH tanah (Winarso, 2005).

  Keasaman tanah merupakan salah satu sifat yang penting, sebab terdapat beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat hubungan antara pH dan semua pembentukan tanah serta sifat-sifat tanah. Sejumlah organisme memiliki toleransi yang agak kecil terhadap variasi pH, tetapi beberapa organisme lain dapat toleran terhadap kisaran pH yang besar (Foth, 1988).

  Pengaruh pH tempat tumbuh terhadap sifat mikrobia sangat bervariasi. Beberapa tidak berbeda, seperti halnya sejumlah besar jamur. Umumnya jamur toleran terhadap kemasaman (pH 4.0-6.5). Sedangkan untuk bakteri lebih menyukai kondisi netral (pH 6.0-7.5). Sebagian bersifat neutrofil (Azotobacter,

  

Nitrobacter ) yang lain bersifat acidicil (Thiobacillus thiooxidans)

(Hanafiah et al., 2009).

  Hubungan pH dengan KTK sangat erat yaitu pada pH rendah, hanya muatan permanen liat, dan sebagian muatan koloid organik memegang ion yang dapat digantikan melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan tempat pertukaran kation koloid organik dan

  • beberapa fraksi liat, H dan mungkin hidroksi-Al terikat kuat, sehingga sukar
dipertukarkan. Dengan meningkatnya pH, hidrogen yang diikat koloid organik dan liat berionisasi dan dapat digantikan. Demikian pula ion hidroksi-Al yang

  3

  terjerap akan dilepaskan dan membentuk Al(OH) . Dengan demikian terciptalah tapak-tapak pertukaran baru pada koloid liat. Beriringan dengan perubahan- perubahan itu KTK pun meningkat (Hakim et al., 1986).

  Fosfor memiliki peranan yang sangat penting untuk semua aktifitas biokimia dalam sel hidup. Masalah utama dalam pengambilan fosfor dari tanah oleh tanaman adalah kelarutan yang rendah dari sebagian besar campuran fosfor dan konsentrasi fosfor yang dihasilkan sangat rendah dalam lapisan tanah pada setiap waktu tertentu (Foth, 1988).

  Api mempengaruhi biologi organisme baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung menyebabkan perubahan dalam jangka pendek. Pada efek langsung setiap organisme tertentu terpapar langsung ke dalam api, sinar pembakaran, uap panas, atau terjebak di lingkungan tanah dan lainnya di mana cukup banyak panas ditransfer langsung ke lingkungan organisme dan menaikkan suhu yang cukup untuk membunuh atau merusak organisme. Efek tidak langsung biasanya menyebabkan perubahan jangka panjang dalam lingkungan yang mempengaruhi kehidupan dari organisme biologis (biota tanah). Efek tidak langsung ini dapat melibatkan persaingan untuk habitat, persediaan makanan dan perubahan yang lebih halus lain yang mempengaruhi pembentukan kembali dan suksesi tanaman dan hewan (Verma dan Jayakumar, 2012).

C. Mengenal Mikoriza

  Kata mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu

  

Mykes (fungi) dan Rhiza (akar). Kata mikoriza pertama kali dikemukakan oleh

  Frank (1885) dalam Armson (1977) yang melihat fungi di dalam sel akar tumbuhan yang ditelitinya di Jawa antara lain akar jati. Mikoriza secara harfiah berarti fungi akar. Dalam konteks ini merupakan kandungan simbiotik dan mutualistik menguntungkan antara fungi non patogen dengan sel-sel akar yang hidup, terutama sel epidermis dan korteks. Frank membedakannya menjadi dua golongan yakni ekto dan endomikoriza. Kebanyakan simbiosis yang tersebar luas

  

diantara tanaman adalah mikoriza yang meliputi berbagai macam fungi yang menempati

akar dan akar penyerap (Fakuara, 1988; Suhardi, 1989).

  Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan salah satu tipe fungi endomikoriza

yang masuk dalam kelas zygomycetes dengan ordo Glomales. Terdiri dari dua sub ordo

yaitu sub ordo satu Gigasporineae famili Gigasporaceae dengan dua genus yaitu

Gigaspora dan Scuttellospora, sub ordo dua yaitu Glomineae dan terdiri dari dua famili

yaitu Glomaceae dengan genus Sclerocytis dan Glomus, famili Acaulosporaceae dengan

genus Acaulospora dan Entrophospora (Kramadibrata, 1999).

  Fungi mikoriza arbuskula yang membentuk asosiasi simbiotik dengan akar tanaman inangnya yang dapat hidup di dalam dan di luar jaringan akar (dalam tanah), fenomena ini dapat secara langsung berinteraksi dengan mikrobia tanah lainnya atau melalui fisiologi inang (akar dan pola eksudasi). Selain itu juga dipengaruhi oleh inang dan faktor edafik seperti pH tanah, kelembapan, komposisi nutrisi, bahan organik dan sifat fisik inang (Lestari, 1998).

  Fungi mikoriza memelihara kesehatan hutan secara keseluruhan. Fungi ini perlindungan terhadap patogen akar. Stendell et al. (1999) mempelajari bahwa total biomassa ektomikoriza di plot tidak terbakar tidak berbeda untuk setiap lapisan inti, sementara di lokasi dibakar, kerusakan lapisan organik serasah mengakibatkan pengurangan delapan kali lipat total biomassa ektomikoriza.

  Biomassa mikoriza dalam dua lapisan mineral tidak berkurang secara signifikan oleh api. Kebakaran hutan dapat mempengaruhi fungi mikoriza arbuskula dengan mengubah kondisi tanah dan dengan langsung mengubah penyebaran fungi mikoriza arbuskula. Bila dibandingkan dengan daerah kontrol terdekat, lokasi kebakaran memiliki jumlah yang sama dari total spora tetapi jumlah yang lebih rendah dari propagul fungi mikoriza arbuskula (Verma dan Jayakumar, 2012).

  Menurut Verma dan Jayakumar (2012) sifat biologi tanah sangat terpengaruh oleh terjadinya kebakaran. Hal ini karena sensitivitas mikro- organisme dan invertebrata terhadap suhu tinggi. Api mengurangi jumlah dan diversitas dari invertebrata dan mikro-organisme tanah. Tapi dibandingkan dengan mikro-organisme, hunian invertebrata tanah kurang terpengaruh karena mobilitas tinggi dan kebiasaan menggali.

  Menurut Nelson dan Safir (1982) bahwa keadaan tergenang akan mengurangi infeksi mikoriza karena menyebabkan suasana anaerob yang tidak sesuai bagi jamur untuk bertahan dan berkembang sedangkan pada kelembaban tinggi akan menghambat perkembangan spora. Kekeringan tidak menghambat pertumbuhan mikoriza namun meningkatkan perkembangan akar lateral dan setelah kolonisasi membantu laju pemanjangan akar dan jumlah mikoriza meningkat dengan cepat.

  Ketersediaan unsur P dalam tanah memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan derajat infeksi mikoriza pada akar tanaman dan kelimpahan spora (Gianinazi-Pearson dan Diem, 1982). Mosse (1981) menyatakan bahwa kadar P yang tinggi dapat menyebabkan permeabilitas dan eksudasi akar menurun. Hal ini diduga menjadi penyebab terhambatnya perkecambahan spora dan infeksi mikoriza pada akar tanaman inang.

  Infeksi bibit pohon oleh fungi pembentuk mikoriza terjadi pada masa pertumbuhan pertama setelah daun primer telah dihasilkan. Infeksi bisa dari akar mikoriza atau dari spora. Tidak semua akar pohon akan terinfeksi dan bentuk akar yang terinfeksi akan beragam. Menyebar, berbentuk piramida, coralloid, dan nodular adalah istilah yang mendeskripsikan bentuk tertentu dari akar yang terinfeksi oleh fungi mikoriza. Endomikoriza biasanya tidak memiliki lapisan luar dan hifa ditemukan dalam sel tanaman. Seringkali vesikel besar dihasilkan di dalam atau di luar akar (Armson, 1977).

D. Struktur Umum Fungi Mikoriza Arbuskula

  Struktur FMA meliputi hifa eksternal, hifa internal, spora, arbuskula atau vesikula. Infeksi fungi hanya pada korteks primer sehingga tidak menyebabkan kerusakan pada jaringan akar. Proses infeksi dimulai dengan pembentukan apresorium pada permukaan akar oleh hifa eksternal, dan selanjutnya hifa akan menembus sel-sel korteks akar melalui rambut akar atau sel epidermis. Hifa dari FMA tidak bersekat, hifa ini terdapat diantara sel-sel korteks akar dan bercabang- cabang di dalamnya, tetapi tidak sampai masuk ke jaringan stele. Di dalam sel-sel yang terinfeksi terbentuk gelung hifa atau cabang-cabang hifa kompleks yang

  Endomikoriza dicirikan oleh hifa yang intraseluler, yaitu hifa yang menembus ke dalam sel-sel korteks dan dari sel yang satu ke sel yang lain.

  Diantara sel-sel terdapat hifa yang membelit atau struktur hifa yang bercabang- cabang yang disebut arbuskula dan pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang mengandung minyak yang disebut vesikular sehingga struktur ini adalah dasar untuk menunjukkan endomikoriza sebagai mikoriza vesikuler-arbuskular. Vesikel berfungsi sebagai tempat penyimpanan yang diameternya lebih kecil dari 1 mm. Sedangkan arbuskula berfungsi menyediakan unsur hara atau mentransfer hara dari tanah ke tanaman sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Armson, 1977).

  Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis funginya.

  Perkecambahan spora sangat sensitif tergantung kandungan logam berat di dalam tanah dan juga kandungan Al, kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai beberapa tahun. Namun untuk perkembangan FMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu lama sebelum digunakan lagi (Mosse, 1981).

  Kebanyakan penelitian menangani keanekaragaman FMA bergantung pada identifikasi morfologi spora FMA yang diperoleh baik secara langsung dari lapangan atau dari budaya perangkap. Spora dari lapangan yang dikumpulkan, namun, dalam beberapa keadaan, kekurangan informasi karakteristik taksonomi mempengaruhi identifikasi yang lebih akurat. Pembuatan budaya perangkap merupakan strategi untuk menghasilkan spora yang sehat yang dapat dengan mudah diidentifikasi dan mempermudah mengetahui keanekaragaman spesies FMA (Leal et al., 2009).

E. Hasil Penelitian pada Berbagai Ekosistem

  Hasil identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah gambut bekas terbakar dengan mengambil sampel tanah sebanyak 250 g, di tiga lokasi yaitu lokasi I yaitu jalan Arengka 2, Payung sekaki, lokasi II di jalan Tuanku Tambusai, Payung Sekaki dan lokasi III di Jalan Delima Ujung, Tampan Pekanbaru, menunjukkan hasil yang berbeda dari setiap lokasi identifikasi FMA berdasarkan Manual for The Identification of VA Mychorrizal (VAM) dengan pengamatan secara mikrokopis berdasarkan karekteristik yang dilihat dari hiasan, wama, bentuk dan ukuran dari spora. Adapun hasil pengamatan tersebut yang jenis FMA yang ditemukan adalah Glomus proliferum, Glomus intraradices,

  Glomus sp.l., Glomus sp. 2., dan Acaulospora tuberculata (Sayuti et al., 2011) F.

   Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pangururan

  Lokasi penelitian dilaksanakan pada areal terbakar di desa Siogung-ogung dan desa Sosor Dolok, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2012 di kawasan Hutan Lindung desa Siogung-ogung mencapai 0.5 Ha. Pada tahun 2013, kebakaran di lahan masyarakat dan kawasan hutan desa Sosor Dolok mencapai 60 Ha.

  Data curah hujan di daerah Kecamatan Simanindo menurut Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Angka curah hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Samosir tergolong yang beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 17

  C-

  29 C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04% termasuk Kecamatan Pangururan yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Samosir. Sebaran jenis tanah di wilayah Pangururan didominasi oleh jenis tanah litosol, podsolik, dan regosol (Badan Pusat Statistik, 2013).

  Kecamatan Simanindo

  Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar di desa Sijambur Nabolak dan Curaman Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera. Sedangkan untuk lokasi penelitian pada areal yang tidak terbakar (kontrol) dilaksanakan di desa Tolping, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2010 di kawasan Hutan Lindung desa Sijambur Nabolak mencapai 93 Ha. Pada tahun 2011 dan tahun 2014, kebakaran di kawasan Hutan Lindung desa Curaman Tomok mencapai 3 Ha.

  Kecamatan Simanindo berada di hamparan dataran dan struktur tanahnya labil berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik. Wilayah Kabupaten Samosir memiliki angka curah hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Data curah hujan di daerah Kecamatan Simanindo menurut Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dan curah hujan terendah terjadi bulan Februari. Seperti halnya Kecamatan Pangururan, Kecamatan Simanindo juga tergolong beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 17 C-29 C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04% termasuk. Sebaran jenis tanah di wilayah Simanindo didominasi oleh jenis tanah litosol dan podsolik (Badan Pusat Statistik, 2013)