Preparasi Nanosilika Dari Abu Ketel Dengan Metode Kopresipitasi Sebagai Aditif Membran Elektrolit Berbasis Kitosan

PREPARASI NANOSILIKA DARI ABU KETEL DENGAN
METODE KOPRESIPITASI SEBAGAI ADITIF MEMBRAN
ELEKTROLIT BERBASIS KITOSAN

WAHYU KAMAL SETIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Preparasi Nanosilika dari
Abu Ketel dengan Metode Kopresipitasi sebagai Aditif Membran Elektrolit
Berbasis Kitosan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Wahyu Kamal Setiawan
F351124051

RINGKASAN
WAHYU KAMAL SETIAWAN. Preparasi Nanosilika dari Abu Ketel dengan
Metode Kopresipitasi sebagai Aditif Membran Elektrolit Berbasis Kitosan.
Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI dan SUPRIHATIN.
Abu ketel merupakan salah satu jenis limbah padat industri gula yang
memiliki kandungan senyawa anorganik tinggi terutama silika. Nanosilika
merupakan persenyawaan silika dengan ukuran berskala nano yang dapat
diproduksi dari abu ketel. Salah satu metode produksi nanosilika adalah
presipitasi. Presipitasi umumnya menghasilkan partikel nano dengan distribusi
ukuran yang heterogen sehingga perlu dilakukan modifikasi proses agar partikel
nanosilika yang dihasilkan memiliki ukuran yang lebih homogen. Sel bahan bakar
sangat baik sebagai alternatif penghasil energi saat ini. Inovasi penggunaan
polimer yang murah dan ramah lingkungan sedang aktif dilakukan. Kitosan
memiliki karakteristik yang kurang baik saat digunakan sebagai membran
elektrolit pada sistem sel bahan bakar sehingga perlu ditambahkan senyawa aditif.

Salah satu aditif yang dapat digunakan adalah silika berukuran nano. Ukuran
partikel dalam skala nano dapat meningkatkan reaktivitas silika sehingga kinerja
membran elektrolit dapat ditingkatkan.
Penelitian ini berupaya untuk mengolah abu ketel menjadi nanosilika yang
dapat digunakan sebagai aditif membran elektrolit berbasis kitosan. Penelitian
terbagi menjadi dua tahap, tahap pertama fokus pada produksi dan karakterisasi
nanosilika dengan teknik kopresipitasi sedangkan tahap kedua fokus pada sintesis
dan karakterisasi membran kitosan dengan aditif nanosilika. Tahap pertama
berhasil memproduksi nanosilika dari tiga metode berbeda, yakni presipitasi,
kopresipitasi dengan tepung beras dan kopresipitasi dengan bubuk agar.
Presipitasi menghasilkan nanosilika dengan ukuran partikel 269.42 nm dengan
indeks polidispersitas 0.9190. Kristalinitas nanosilika presipitasi diketahui sebesar
33.22% dengan fase kristal dominan kristobalit. Pengamatan dengan SEM
(Scanning Elecron Microscopy) menunjukkan bahwa partikel nanosilika hasil
presipitasi memiliki ukuran yang tidak seragam dan cenderung menyatu satu sama
lain. Penggunaan agen pendispersi dalam presipitasi mampu menurunkan ukuran
partikel dan mengontrol agregasi antar partikel nanosilika. Selain itu kopresipitasi
juga diketahui mampu mengubah kristalinitas dan ukuran kristal nanosilika.
Penggunaan agen pendispersi agar dalam proses presipitasi mampu menurunkan
ukuran partikel nanosilika hingga 225.22 nm dengan indeks polidispersitas

0.6520. Kristalinitas nanosilika meningkat menjadi 59.53% dengan fase kristal
dominan kristobalit. Nanosilika yang diproduksi menggunakan metode presipitasi
dengan penambahan tepung beras memiliki karakteristik yang paling baik dilihat
dari parameter ukuran, distribusi ukuran, ukuran kristal, struktur/fase kristal,
kristalinitas dan morfologi. Nanosilika hasil kopresipitasi beras memiliki ukuran
partikel rata-rata 185.45 nm dengan indeks polidispersitas 0.2540 dengan
kristalinitas 28.76% dan fase kristal dominan kristobalit. Analisis morfologi
dengan SEM (Scanning Elecron Microscopy) menunjukkan partikel nanosilika
hasil kopresipitasi beras memiliki penampakan yang seragam, terlihat menyebar
dan ukuran yang lebih kecil.

Nanosilika hasil kopresipitasi beras dipilih sebagai aditif membran elektrolit
berbasis kitosan karena memiliki ukuran yang paling kecil dan distribusi ukuran
partikel yang lebih baik. Struktur silika yang amorf dapat meningkatkan sifat fisik
mekanik membran kitosan. Produksi membran kitosan-nanosilika dilakukan
dengan teknik pencetakan dengan pelat kaca. Karakteristik membran yang diamati
adalah gugus fungsi, daya serap air/metanol, kapasitas penukar ion, dan
konduktivitas ionik. Berdasarkan karakterisasi yang telah dilakukan, aditif berupa
nanosilika dengan konsentrasi 3% memberikan efek yang positif terhadap
karakteristik membran kitosan. Daya serap air/metanol diketahui sebesar

28.40%/25.95% dengan kapasitas penukar ion 1.06 meq/gram dan konduktivitas
ionik 1.02×10-4 S/cm. Semakin tinggi konsentrasi nanosilika yang ditambahkan
pada membran kitosan maka daya serap air/metanol, kapasitas penukar ion dan
konduktivitas ionik akan turun. Dengan karakteristik tersebut membran kitosan
dengan aditif nanosilika 3% dapat diaplikasikan sebagai membran elektrolit pada
sistem sel bahan bakar.
Kata kunci: abu ketel, nanosilika, kopresipitasi, aditif membran kitosan

SUMMARY
WAHYU KAMAL SETIAWAN. Preparation of Nanosilica from Boiler Ash by
Co-Precipitation Method as Additive for Electrolyte Membrane Based Chitosan.
Supervised by NASTITI SISWI INDRASTI and SUPRIHATIN.
Boiler ash known as solid waste of sugar industry which has high silica
content. Nanosilica can be produced from boiler ash by precipitation method.
Precipitation generally produce nanoparticles with a heterogeneous size
distribution so that the process needs to be modified. Fuel cells as an good
alternative energy producers today. The use of polymers which are cheaper and
more environmental friendly for ion exchange membrane being actively carried
out. Chitosan has unfavorable characteristics when used as an electrolyte
membrane fuel cell systems so that it needs to be added additive compound. One

of the additives that can be used is nano-sized silica. Nano sized of particle can
improve the reactivity of the silica so that the performance of membrane can be
improved.
This study aims to produce nanosilica from boiler ash in order to apply it as
an additive for electrolyte membrane based chitosan. The study was divided into
two stages, the first stage focused on the synthesis and characterize nanosilica
with co-precipitation method while the second stage focused on the synthesis and
characterize chitosan membranes with additives nanosilica. The first stage
successfully synthesize nanosilica with three different methods, namely
precipitation, co-precipitation with rice flour and co-precipitation with agar
powder. Precipitation produces nanosilica with average particle size 269.42 nm
with polydispersity index 0.9190. Nanosilica crystallinity of precipitation was
known by 33.22% with a dominant crystalline phase cristobalite. Observation by
SEM (Scanning Electron Microscopy) showed that the particle precipitation
nanosilica were not uniform in size and tend to blend with each other. The use of
dispersing agents in precipitation was able to reduce particle size and control
inter-particle aggregation nanosilica. In addition co-precipitation also known to
alter the crystallinity and crystal size nanosilica. Agar powder on the precipitation
process was able to reduce the particle size of nanosilica to 225.22 nm with
polydispersity index of 0.6520. Nanosilica crystallinity increased to 59.53% with

predominant crystalline phase cristobalite. Nanosilica were synthesized using
precipitation method with the addition of rice flour had characteristics that were
best seen from the parameters of size, size distribution, crystal size, structure/
crystalline phase, crystallinity and morphology. Nanosilica of rice co-precipitation
process had an average particle size of 185.45 nm with a polydispersity index of
0.2540 with 28.76% crystallinity and crystalline phases cristobalite dominant.
Analysis of particle morphology by SEM (Scanning Electron Microscopy)
showed nanosilica of rice co-precipitation had uniform appearance, spread seen
and tiny size.
Nanosilica from co-precipitation process with rice flour was chosen as
additive for chitosan membrane because it had the smallest size and particle size
distribution most good. The structure of amorphous silica could improve the
mechanical physical properties of chitosan membrane. Synthesis of chitosan
membrane-nanosilica done by casting technique with the glass plate. The

observed characteristics of the membrane were functional groups, water
absorption/methanol, ion exchange capacity, and ionic conductivity. Based on the
characterization has been done, additive of nanosilica a concentration of 3% gave
a positive effect on the characteristics of chitosan membrane. Absorptive capacity
of water/methanol was known by 28.40% / 25.95% with an ion exchange capacity

of 1.06 meq/g and an ionic conductivity of 1.02×10-4 S/cm. High concentration of
nanosilica on chitosan membrane would reduce absorption of water/methanol, ion
exchange capacity and ionic conductivity. Based on the analysis, the chitosan
membrane with the addition of 3% chitosan can be applied as an electrolyte
membrane on fuel cell system.
Keywords: boiler ash, nanosilica, co-presipitation, additive of chitosan membrane

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PREPARASI NANOSILIKA DARI ABU KETEL DENGAN
METODE KOPRESIPITASI SEBAGAI ADITIF MEMBRAN
ELEKTROLIT BERBASIS KITOSAN


WAHYU KAMAL SETIAWAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc.Agr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah

Penanganan Limbah Padat Industri Gula, dengan judul Preparasi Nanosilika dari
Abu Ketel dengan Metode Kopresipitasi sebagai Aditif Membran Elektrolit
Berbasis Kitosan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti dan
Prof. Dr. Ir. Suprihatin Dipl Ing selaku pembimbing, serta Dr. Ir. Meika Syahbana
Rusli, M.Sc.Agr dan Dr. Ir. Andes Ismayana, STP, MT yang telah banyak
memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
segenap staf Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Laboratorium Biomaterial Membran Departemen Fisika, Laboratorium Balitbang
Kehutanan Gunung Batu Bogor dan Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong yang
telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Wahyu Kamal Setiawan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1

1
2
3
3
3
3

2 METODE
Bahan Penelitian
Peralatan Penelitian
Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Prosedur Penilitian

4
4
4
4
5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Transformasi Abu Ketel-Silika-Nanosilika
Distribusi Ukuran Partikel Nanosilika
Pola Difraksi Nanosilika
Derajat Kristalinitas Nanosilika
Ukuran Kristal
Morfologi Nanosilika
Nanosilika sebagai Aditif Membran Elektrolit
Membran Kitosan-Nanosilika
Struktur Membran
Daya Serap Air/Metanol
Kapasitas Penukar Ion
Konduktivitas Ionik

7
7
9
12
14
15
16
17
18
19
20
22
23

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

24
24
24

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

39

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Karakteristik abu ketel
Karakteristik silika abu ketel
Karakteristik nanosilika abu ketel
Ukuran kristal nanosilika dengan teknik produksi berbeda
Karakteristik nanosilika hasil kopresipitasi dengan tepung beras
Karakteristik membran kitosan-nanosilika
Analisis gugus fungsi membran kitosan-nanosilika

7
8
8
15
18
18
20

DAFTAR GAMBAR
1 Distribusi ukuran partikel nanosilika dengan teknik produksi berbeda
2 Peran ganda pati dalam produksi nanopartikel (Visinescu et al. 2010)
3 Mekanisme kerja agarosa dan agaropektin dalam produksi nanosilika
4 Pola difraksi nanosilika hasil presipitasi
5 Pola difraksi nanosilika hasil kopresipitasi dengan bubuk agar
6 Pola difraksi nanosilika hasil kopresipitasi dengan tepung beras
7 Morfologi nanosilika dengan metode produksi yang berbeda
8 Penampakan membran kitosan dengan aditif nanosilika
9 Spektrum FTIR membran kitosan dengan aditif nanosilika
10 Daya serap air/metanol membran kitosan dengan aditif nanosilika
11 Kapasitas penukar ion membran kitosan dengan aditif nanosilika
12 Konduktivitas ionik membran kitosan dengan aditif nanosilika

9
10
11
12
13
14
16
19
20
21
22
23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Proses produksi silika dari abu ketel
2 Proses produksi nanosilika dan membran kitosan-nanosilika
3 Hasil analisis distribusi ukuran nanosilika dengan PSA
4 Penentuan daya serap air membran kitosan-nanosilika
5 Penentuan daya serap metanol membran kitosan-nanosilika
6 Penentuan kapasitas penukar ion membran kitosan-nanosilika
7 Penentuan konduktivitas ionik membran kitosan-nanosilika
8 Analisis varian dan uji lanjut data daya serap air/metanol
9 Analisis varian dan uji lanjut data kapasitas penukar ion
10 Analisis varian dan uji lanjut data konduktivitas ionik

27
28
29
32
33
34
35
36
37
38

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Abu ketel merupakan salah satu bentuk limbah padat yang dihasilkan oleh
aktivitas produksi industri gula. Abu ketel merupakan hasil perubahan kimiawi
dari pembakaran ampas tebu murni pada suhu 550°-600°C selama 4-8 jam. Abu
ketel banyak mengandung unsur mineral anorganik yang masih dapat
dimanfaatkan kembali. Unsur mineral anorganik yang paling dominan dalam abu
ketel adalah silika (SiO2) dengan kadar maksimum hingga 70.97% (Hernawati dan
Indarto 2010). Jumlah abu ketel yang dihasilkan dari proses produksi gula
tergantung pada efektivitas pembakaran dalam boiler. Industri gula skala besar
dapat menghasilkan 1.5-2% dari total batang tebu giling atau sekitar 1.7-2.3 juta
ton per tahun (Ismayana 2014). Pemanfaatan abu ketel yang telah dilakukan
industri adalah tambahan pupuk organik, penutup jalan rusak, dan urugan tanah
longsor (Ismayana 2014).
Produksi partikel nanosilika dapat menggunakan perlakuan fisik dengan
penghancuran disertai panas tinggi (Paul et al. 2007; Khalil et al. 2011) ataupun
menggunakan proses kimiawi (Pukird et al. 2009; Siswanto et al. 2012; Rafiee
dan Shahebrahimi 2012; Music et al. 2011; Hariharan dan Sivakumar 2013; Le et
al. 2013). Metode produksi nanosilika yang sering digunakan adalah presipitasi
kimia dengan keunggulan efisiensi dalam penggunaan energi dan waktu proses.
Namun penggunaan metode presipitasi belum menghasilkan partikel nanosilika
yang homogen karena reaksi berlangsung spontan sehingga sangat sulit untuk
mengontrol proses kristalisasi (Ismayana 2014). Selain itu, presipitasi untuk
fabrikasi nanosilika diketahui menghasilkan partikel dengan derajat kristalinitas
yang rendah (Thuadaij dan Nuntiya 2008; Music et al. 2011; Hariharan dan
Sivakumar 2013; Le et al. 2013; Ismayana 2014). Upaya yang dapat dilakukan
untuk menghasilkan partikel nanosilika dengan distribusi ukuran yang seragam
adalah dengan menambahkan agen pendispersi berbasis surfaktan anionik,
polimer sintetik, ataupun polimer alami seperti polisakarida. Polisakarida
merupakan salah satu jenis agen pendispersi yang memiliki ketersediaannya yang
relatif tinggi dan mudah dalam hal penanganan residu. Polisakarida yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tepung beras dan tepung agar.
Ramimogadham et al. (2013) menggunakan tepung beras sebagai pengontrol
ukuran dalam produksi nano ZnO. Dalam penelitiannya disebutkan beras sebagai
soft biotemplate mampu menggeser distribusi ukuran partikel menjadi lebih kecil.
Nawawi et al. (2013) mampu memproduksi nanoalumina dengan agen pendispersi
agarose. Agarosa terbukti mampu mencegah terjadinya aglomerasi partikel
alumina dengan ukuran 8-16 nm. Konsentrasi polisakarida yang digunakan dalam
proses produksi akan sangat berpengaruh pada kemampuannya dalam mengontrol
ukuran partikel. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nidhin et al. (2013) untuk
beberapa jenis agen pendispersi berbasis polisakarida, konsentrasi terbaik untuk
penggunaan polisakarida adalah sebesar 25% (b/b).
Jumlah ketersediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis menuntut para
penggunanya untuk mengembangkan bahan bakar alternatif yang bersumber dari
alam. Salah satu bahan bakar alternatif yang dapat digunakan adalah sel bahan

2
bakar. Sel bahan bakar dikenal sebagai perangkat alat yang dapat menghasilkan
listrik langsung melalui proses elektrokimia, dimana gas hidrogen (H2) akan
digunakan sebagai bahan bakar dan oksigen akan digunakan sebagai oksidator.
Salah satu jenis sel bahan bakar yang sering digunakan adalah Direct Methanol
Fuel Cells (DMFC). Membran merupakan salah satu komponen utama pada sel
bahan bakar, yang berfungsi memisahkan reaktan dan juga sebagai sarana
transportasi ion hidrogen yang dihasilkan anoda. Karakteristik yang diharapkan
dari membran DMFC antara lain konduktivitas ionik tinggi, stabilitas kimia dan
mekanik yang baik, kompatibilitas dengan lapisan katalis serta mudah dalam
perakitan.
Isu lingkungan yang berkembang saat ini mendorong penggunaan bahan
alam untuk berbagai bidang. Membran elektrolit berbasis polimer alam saat ini
juga banyak dikembangkan. Polimer alam seperti kitosan cukup berpotensi dalam
aplikasi membran sel bahan bakar. Kitosan mudah didapat, dan memiliki stabilitas
termal yang tinggi, namun modifikasi pada bahan tersebut perlu dilakukan agar
menghasilkan material yang bermuatan sehingga dapat digunakan sebagai
membran polimer elektrolit (Pramono et al. 2012). Kitosan memiliki
konduktivitas yang rendah sehingga sering digunakan aditif berbahan metal
oksida untuk meningkatkan konduktivitasnya sehingga dapat diaplikasikan pada
sistem sel bahan bakar berbasis metanol.
Aditif memiliki peran penting untuk meningkatkan karakteristik dan kinerja
membran elektrolit. Salah satu aditif yang dapat digunakan adalah silika dalam
bentuk nanopartikel. Zulfikar et al. (2009) menggunakan silika dalam bentuk
TEOS (tetraortosilikat) sebagai aditif membran kitosan. Hartanto et al. (2007)
berhasil memproduksi membran polieter eter keton dengan aditif silika.
Penambahan 3% SiO2 ke dalam membran elektrolit berbasis polieter eter keton
terbukti dapat menaikkan konduktivitas dan menurunkan permeabilitas. Silika
dengan konsentrasi 3% juga diaplikasikan pada membran akrilonitril stiren
butadiena (Dewi 2008) dan membran polistiren akrilonitril (Suka 2010).
Penggunaan silika dalam bentuk nanopartikel diharapkan mampu meningkatkan
karakteristik membran yang lebih baik daripada silika pada umumnya.

Perumusan Masalah
Abu ketel memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki
ketersediaan yang cukup tinggi dan pemanfaatan yang belum maksimal. Silika
dari abu ketel masih memiliki kemurnian yang rendah sehingga perlu dilakukan
peningkatan karakteristik melalui proses produksi menjadi partikel nanosilika.
Metode presipitasi masih memiliki kelemahan dalam hal kontrol ukuran partikel
nano sehingga perlu dilakukan modifikasi proses produksi menggunakan agen
pendispersi berbahan polisakarida. Penggunaan aditif menjadi salah satu upaya
untuk meningkatkan kinerja membran elektrolit. Silika merupakan salah satu
aditif yang sering digunakan. Perubahan ukuran menjadi skala nano akan
meningkatkan reaktivitas nanosilika. Kitosan menjadi salah satu polimer alam
yang memiliki keunggulan fisik mekanik sebagai membran namun perlu
ditambahkan aditif untuk meningkatkan karakteristik dan kinerja membran
elektrolit pada sistem sel bahan bakar.

3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Produksi nanosilika dari abu ketel industri gula.
2. Modifikasi teknik presipitasi dengan agen pendispersi polisakarida sehingga
dapat menghasilkan partikel nanosilika dengan karakteristik yang lebih baik.
3. Aplikasi nanosilika abu ketel sebagai senyawa aditif pada membran
elektrolit berbasis kitosan.
4. Meningkatkan kinerja membran elektrolit berbasis kitosan dengan
penambahan aditif nanosilika abu ketel.
Hipotesis Penelitian
1.
2.
3.
4.

Hipotesis penelitian ini adalah:
Nanosilika dapat diproduksi dari abu ketel industri gula.
Kopresipitasi mampu menghasilkan nanosilika dengan karakteristik lebih
baik daripada nanosilika hasil presipitasi dilihat dari distribusi ukuran
partikel, polidispersitas, kristalinitas, ukuran kristal, dan morfologi.
Nanosilika dengan karakteristik terbaik hasil produksi dapat diaplikasikan
pada membran kitosan sebagai aditif.
Nanosilika yang ditambahkan dengan konsentrasi tertentu mampu
memperbaiki karakteristik membran kitosan sebagai membran elektrolit
dilihat dari parameter daya serap air/metanol, kapasitas penukar ion, dan
konduktivitas ionik.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan stimulus bagi industri gula untuk
mengembangkan limbah abu ketel menjadi nanosilika yang bernilai tambah tinggi.
Nanosilika yang diproduksi dapat diaplikasikan pada sistem sel bahan bakar
berbasis metanol dan sangat potensial untuk lebih dikembangkan.

Ruang Lingkup Penelitian
1.
2.
3.
4.

Ruang lingkup penelitian ini meliputi:
Produksi partikel nanosilika dari abu ketel industri gula dilakukan dengan
metode presipitasi dan kopresipitasi.
Karakteristik nanosilika yang dianalisis meliputi distribusi ukuran partikel,
pola difraksi, kristalinitas, ukuran kristal dan morfologi.
Produksi membran kitosan dilakukan dengan teknik solvent casting
sedangkan konsentrasi nanosilika yang divariasikan.
Karakterisasi membran kitosan-nanosilika meliputi analisis gugus fungsi,
daya serap air/metanol, kapasitas penukar ion dan konduktivitas ionik.

4

2 METODE
Abu ketel merupakan material potensial yang sangat baik dikembangkan
karena mengandung silika yang relatif tinggi hingga ± 70 persen. Silika yang
diproduksi dari abu ketel industri gula masih memiliki kemurnian rendah sehingga
perlu dilakukan preparasi menjadi partikel nano untuk meningkatkan sifat dan
karasteristiknya. Nanosilika yang dihasilkan dapat diaplikasikan menjadi
komponen membran dalam Direct Methanol Fuel Cell (DMCF). Penelitian ini
bertujuan untuk mengaplikasikan nanosilika yang dipreparasi dari abu ketel
industri gula sebagai aditif membran elektrolit berbasis kitosan. Penelitian terdiri
atas dua tahap yaitu produksi nanosilika dan aplikasi nanosilika sebagai aditif
membran. Metode produksi nanosilika yang digunakan menggunakan metode
presipitasi (Thuadaij dan Nuntiya 2008; Hariharan dan Sivakumar 2013) dengan
modifikasi menggunakan agen pendispersi berbasis polisakarida. Penggunaan
teknik kopresipitasi terbukti mampu memproduksi partikel nano metal oksida
dengan agregasi yang baik (Manful et al. 2008). Polisakarida yang digunakan
adalah beras (Ramimogadham et al. 2013) dan agar (Nawawi et al. 2013) dengan
konsentrasi 25% (b/b) silika (Nidhin et al. 2007). Metode produksi membran
elektrolit menggunakan metode pencetakan. Metode ini dipilih karena relatif
mudah dalam perakitannya serta menggunakan bahan-bahan yang mudah
diperoleh. Konsentrasi nanosilika yang digunakan yakni 0, 3, 5, 10, 15 % (b/b)
kitosan.

Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi abu ketel yang
diperoleh dari PT Gunung Madu Plantation (GMP), natrium hidroksida
(Merck/teknis), asam sulfat (Merck/PA), amonium hidroksida (Merck/PA) untuk
produksi silika, kitosan dari Departemen THP FPIK IPB (DA 87%), asam asetat
(Merck/PA), metanol (Merck/PA), beras dan agar diperoleh dari pasar Dramaga
Bogor.

Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan meliputi peralatan refluks, peralatan analisis
nanosilika meliputi PSA Vasco Particle Size Analyzer, SEM Jeol JSM-5000 dan
Shimadzu XRD-7000 X-Ray Diffractometer Maxima X, pelat kaca untuk cetakan
membran ukuran 10 cm × 15 cm, Sonic Waterbath Branson 500, LCR-meter
HIOKI 3325 LCR Hitester, FTIR ABB MB3000.

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik dan Manajemen Lingkungan
TIP Fateta IPB. Beberapa analisis dilakukan di Laboratorium Biomaterial,
Laboratorium Biomaterial Membran, Laboratorium Analisis Bahan Departemen

5
Fisika FMIPA IPB; Laboratorium Terpadu Balitbang Kehutanan Gunung Batu
Bogor; Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong. Penelitian dilakukan dari bulan
Mei-November 2014.

Prosedur Penilitian
Preparasi Bahan
Abu ketel dicuci dengan akuades kemudian dikeringkan dalam oven 105°C
selama 5 jam. Abu kering diabukan pada suhu 700°C selama 6 jam untuk
menghilangkan mineral-mineral dan senyawa pengotor lain. Abu ketel yang telah
diabukan disimpan pada desikator untuk mempertahankan kadar air (Thuadaij dan
Nuntiya 2008).
Produksi Nanosilika
Sebanyak 10 gram abu ketel diekstrak dalam 80 ml NaOH selama 3 jam.
Larutan disaring dan dicuci menggunakan air panas 20 ml. Filtrat didinginkan
sampai mencapai suhu ruang kemudian ditambahkan H2SO4 5 N sampai pH 2 dan
ditambahkan NH4OH sampai pH 7. Sol yang terbentuk selanjutnya melalui proses
aging selama 3.5 jam pada suhu ruang kemudian dikeringkan pada suhu 105°C
selama 12 jam (Thuadaij dan Nuntiya 2008; Hariharan dan Sivakumar 2013,
Ismayana 2014).
Silika murni hasil produksi dihidrolisis pada larutan HCl 3 N selama 6 jam.
Selanjutnya disaring dan dipisahkan padatan yang mengendap, dicuci dengan
akuades berulang-ulang sampai pH netral. Padatan hasil refluks selanjutnya
dilarutkan dalam NaOH 2.5 N dan diputar dengan magnetic stirrer. Setelah 1 jam,
ditambahkan agen pendispersi secara perlahan 25% (b/b) silika (Nidhin et al.
2013). Pengadukan dilakukan selama 8 jam, kemudian dititrasi dengan H2SO4 5
M sampai pH netral. Sol yang terbentuk kemudian dicuci dengan air hangat,
kemudian dicuci kembali dengan akuades. Sol dikeringkan selanjutnya diabukan
dengan tanur 700°C selama 4 jam.

Karakterisasi Nanosilika
Distribusi ukuran partikel nanosilika diamati dengan Vasco Particle Size
Analyzer. Sebanyak 0.1 gram bubuk nanosilika didispersikan dalam akuades dan
diputar dengan magnetic stirrer selama 10 menit, kemudian disonikasi selama 1-2
menit. Pemindaian partikel nanosilika dilakukan dengan PSA selama 2-5 menit
(Ismayana 2014).
Analisis XRD dilakukan dengan Shimadzu XRD-7000 Maxima X
menggunakan radiasi Cu-Ka I dan dioperasikan pada 40 kV, 30 mA, dan λ=1.54
Å. Difraktogram dipindai mulai 10° sampai 60° (2θ) dengan laju pemindaian 2°
per menit pada suhu ruang. Perhitungan derajat kristalinitas menggunakan
software XRD-7000 sedangkan perhitungan ukuran kristal menggunakan
persamaan Sherrer (Nawawi et al. 2013).

6
SEM Jeol JSM 5000 digunakan untuk karakterisasi morfologi nanosilika.
Sedikit sampel diambil dan dilapis dengan emas, untuk selanjutnya dipindai
dengan perbesaran mulai 150-7500 kali. Perbesaran rendah digunakan untuk
mengamati keseragaman ukuran agregasi partikel sedangkan perbesaran tinggi
digunakan untuk mengamati bentuk partikel.

Preparasi Membran Elektrolit Kitosan-Nanosilika
Kitosan dilarutkan dalam larutan asam asetat 2% (b/b) dengan konsentrasi
3 % (b/b). Nanosilika sebanyak 0, 3, 5, 10 dan 15 % (b/b) kitosan (Hartanto et al.
2007) ditambahkan ke dalam larutan kitosan dan diaduk sampai tercampur
sempurna selanjutnya disonikasi selama 45 menit. Larutan kemudian dicetak pada
pelat kaca ukuran 10 cm × 15 cm dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50°C
selama 24 jam. Membran yang telah kering selanjutnya disimpan dalam desikator
sebelum digunakan.

Karakterisasi Membran Elektrolit Kitosan-Nanosilika
Analisis gugus fungsi membran
Membran kitosan-silika diletakkan pada cell holder kertas uji FTIR
selanjutnya diamati spektrumnya dengan FTIR ABB 3000 dengan rentang
panjang gelombang 400-4000 nm dengan 10 kali pemindaian. Pembacaan panjang
gelombang didasarkan pada library yang terdapat pada alat. Analisis gugus fungsi
mengacu pada beberapa hasil penelitian sebelumnya.

Daya serap air dan metanol
Sampel membran dipotong ukuran 1 cm × 1 cm selanjutnya dikeringkan
dalam oven, kemudian ditimbang, didapat berat kering membran (Wkering).
Kemudian sampel membran tersebut direndam dalam air/metanol 1M selama 24
jam pada suhu kamar. Kemudian sampel membran yang telah direndam
air/metanol 1 M ditimbang dan didapatkan berat basah (Wbasah) membran
(Hartanto et al. 2007). Daya serap terhadap air/metanol dihitung menggunakan
persamaan:
Daya serap=

Wbasah -Wkering
×100%
Wkering

Kapasitas penukar ion
Kapasitas penukar ion diukur dengan prinsip titrasi asam-basa. Membran
0.25 gram direndam dalam akuades 50 ml dan dioven pada suhu 60°C selama 1
jam kemudian ditambahkan NaCl 0.5 M. Campuran disimpan selama 24 jam pada
suhu ruang. Larutan diambil selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0.05 N dengan
indikator PP (Pramono et al. 2012). Perhitungan kapasitas tukar kation mengikuti
rumus berikut:

7

KPI=

MNaOH ×VNaOH
bobot membran

Konduktivitas ionik
Sampel membran dipotong ukuran 4 cm × 1 cm selanjutnya diukur
ketebalannya menggunakan mikrometer. Pengukuran konduktivitas dilakukan
dengan LCR-meter HIOKI 3255. Membran dijepit di antara 2 elektrode karbon
dan dihubungkan dengan kutub positif dan negatif sehingga dapat terbaca nilai
konduktannya. Perhitungan konduktivitas mengikuti persamaan:
σ=G

L
A

� merupakan konduktivitas (S/cm), G besarnya konduktans (S) dengan L tebal
(cm) membran dan A luasan membran (cm2). L/A dianggap sebagai tetapan
karena bernilai sama untuk masing-masing sampel.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Transformasi Abu Ketel-Silika-Nanosilika
Abu ketel sebagai bahan baku produksi nanosilika dibakar pada suhu
±700°C selama 6 jam untuk menghilangkan senyawa organik dan pengotor lain.
Perubahan karakteristik abu ketel terjadi setelah dilakukan pembakaran suhu
tinggi (Tabel 1). Secara fisik, warna abu berubah dari hitam menjadi putih yang
mengindikasikan hilangnya unsur karbon. Analisis XRD yang dilakukan
menunjukkan adanya kenaikan kristalinitas abu setelah proses pembakaran dari
50.26% menjadi 97.56%. Rendemen silika juga meningkat akibat hilangnya
komponen organik dari 82.76% menjadi 99.00%. Selain perubahan rendemen,
terjadi pula perubahan fase kristal silika yang terkandung dalam abu ketel dari
kuarsa menjadi kristobalit. Fase kristobalit akan muncul pada saat pembakaran
suhu tinggi 700-1100 °C.
Tabel 1 Karakteristik abu ketel
Parameter
Bentuk
Warna
Kandungan silika (%)
Kristalinitas (%)
Fase kristal dominan

Abu ketel segar
bubuk kasar
hitam
82.76
50.26
kuarsa

Abu ketel hasil pengabuan 700°C
bubuk halus
putih kecoklatan
99.00
97.56
kristobalit

8
Ekstraksi silika dilakukan dengan hidrolisis abu ketel dalam natrium
hidroksida pada suhu 90-100°C selama 3.5 jam. Silika dalam abu ketel akan
bereaksi dengan natrium hidroksida membentuk natrium silikat. Silikon dioksida
dipisahkan dari sistem larutan natrium silikat dengan teknik presipitasi. Keasaman
larutan diatur sehingga diperoleh sistem sol. Sol yang diperoleh melalui proses
penuaan untuk menyempurnakan proses pembentukan droplet. Sol dikeringkan
dan diperoleh silika dengan penampakan serpihan berwarna putih (Tabel 2).
Kristalinitas silika hasil produksi lebih rendah dibandingkan abu ketel. Penurunan
kristalinitas diakibatkan oleh proses pembentukan silika dengan presipitasi yang
cenderung spontan dan menghasilkan partikel yang lebih amorf. Fase kristal silika
masih didominasi kristobalit serupa dengan analisis yang dilakukan pada abu ketel
hasil pembakaran.
Tabel 2 Karakteristik silika abu ketel
Parameter
Bentuk
Warna
Kristalinitas (%)
Fase kristal dominan
Ukuran partikel (nm)
a)Ismayana

Spesifikasi
serpih
putih
76.34
kristobalit
2000-3000 a)

(2014)

Produksi partikel nanosilika menggunakan teknik presipitasi dan kopresipitasi. Dalam beberapa riset produksi nanosilika dari bahan abu umumnya
digunakan asam kuat dalam proses hidrolisis silika mencapai 6 N. Dalam
penelitian ini, digunakan konsentrasi asam kuat lebih rendah 3 N terkait dengan
efisiensi biaya, minimalisasi cemaran dan kemudahan dalam penanganannya.
Kopresipitasi merupakan modifikasi proses presipitasi. Modifikasi yang dilakukan
adalah dengan menambahkan agen pendispersi berbasis polisakarida. Polisakarida
memiliki beberapa peranan dalam produksi nanopartikel yaitu mengontrol ukuran
partikel, mencegah aglomerasi secara spontan, menyediakan struktur yang stabil
dari degradasi kimia, dan berperan sebagai pembentuk pori (Nawawi et al. 2013).
Karakteristik nanosilika abu ketel hasil proses produksi dengan teknik presipitasi
dan kopresipitasi tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik nanosilika abu ketel
Parameter
Bentuk
Warna
Kristalinitas (%)
Struktur
Fase kristal dominan
Ukuran partikel rata-rata (nm)
Morfologi

Spesifikasi
bubuk
putih
29-60%
mesokristal-semikristal
kristobalit
185-280
nanoflake, nanoflower, nanoprism

9
Nanosilika yang berhasil diproduksi memiliki penampakan fisik berupa
bubuk halus berwarna putih. Kristalinitas nanosilika cenderung lebih rendah
daripada silika akibat penggunaan teknik presipitasi dan agen pendispersi dalam
proses produksi. Kristalinitas yang rendah pada nanosilika ini membuat
strukturnya menjadi mesokristal hingga semikristal. Fase kristal masih didominasi
kristobalit yang menunjukkan tidak adanya efek proses produksi terhadap fase
kristal silika. Ukuran partikel yang ditunjukkan oleh nanosilika jauh lebih kecil
daripada silika berkurang hingga 90%. Secara umum perubahan karakteristik yang
terjadi akibat produksi silika menjadi nanosilika lebih pada ukuran partikel,
kristalinitas, struktur dan ukuran kristal dan morfologi.

Distribusi Ukuran Partikel Nanosilika
Distribusi ukuran partikel berkaitan dengan nilai indeks polidispersitas.
Indeks polidispersitas merupakan ukuran dari distribusi massa molekul dalam
sampel. Nilai ini menunjukkan hasil perhitungan dari massa rata-rata molekul
dibagi dengan jumlah rata-rata massa molekul. Semakin mendekati titik nol maka
distribusinya semakin baik (Haryono et al. 2012). Indeks polidispersitas lebih
kecil dari 0.3 menunjukkan bahwa sampel memiliki distribusi sempit dan formula
nanopartikel yang seragam (Dewandari et al. 2013). Indeks polidispersitas dapat
diamati dengan menggunakan media pendispersi. Nanosilika menggunakan media
pendispersi air untuk amatan polidipersitas.
1

Intensitas (u.a.)

0,8
0,6

Kopresipitasi beras
Presipitasi

0,4

Kopresipitasi agar
0,2
0
0

200

400

600

800 1000 1200 1400 1600 1800 2000
Ukuran partikel (nm)

Gambar 1 Distribusi ukuran partikel nanosilika dengan teknik produksi berbeda
Penggunaan metode produksi berpengaruh pada homogenitas ukuran
partikel nanosilika. Pada Gambar 1 terlihat bahwa terjadi pergeseran nilai
distribusi ukuran partikel. Ukuran rata-rata dan polidispersitas partikel nanosilika
menurun mulai dari penggunaan metode presipitasi, agen pendispersi agar-agar
sampai pada agen pendispersi beras. Lebar kurva semakin sempit dengan

10
penggunaan polisakarida dalam poses presipitasi menunjukkan turunnya rentang
ukuran dan dispersitas partikel dalam media pendispersi. Nanosilika hasil
presipitasi memiliki ukuran maksimum 9774.96 nm dan ukuran minimum 28.19
nm. Rentang ukuran partikel nanosilika bergeser dan lebih sempit pada saat
digunakan agar sebagai agen pendispersi dengan ukuran partikel terbesar 4676.59
nm dan terkecil 23.45 nm. Kurva distribusi ukuran makin bergeser dan makin
sempit saat digunakan beras sebagai agen pendispersi dengan ukuran partikel
terbesar 1288.58 nm dan terkecil 29.52 nm.
Presipitasi/sol-gel dapat memproduksi nanosilika dengan ukuran rata-rata
partikel 269.42 nm dengan indeks polidispersitas 0.9190. Nilai indeks
polidispersitas yang tinggi mengindikasikan partikel nanosilika yang dihasilkan
dengan teknik presipitasi memiliki distribusi ukuran partikel yang kurang baik.
Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain reaksi kimia yang
berlangsung spontan, kondisi proses penuaan dan pengeringan. Proses penuaan
sol silika cenderung menghasilkan ukuran droplet yang tidak seragam sehingga
bila dikeringkan dengan udara kering akan menghasilkan serbuk nanosilika
dengan keberagaman ukuran partikel yang tinggi. Perubahan ukuran partikel silika
dari skala mikron menjadi skala nano diakibatkan proses pemutusan ikatan-ikatan
silika menjadi ukuran yang lebih kecil oleh asam klorida dan panas yang
digunakan dalam proses refluks. Ekstraksi dengan asam klorida mampu
memperkecil ukuran nanosilika namun belum mampu mencegah terjadinya
aglomerasi partikel secara spontan (Ismayana 2014).

Gambar 2 Peran ganda pati dalam produksi nanopartikel (Visinescu et al. 2010)
Penggunaan polisakarida dalam proses presipitasi mampu memproduksi
nanosilika dengan distribusi ukuran partikel yang lebih baik daripada hasil
produksi dengan presipitasi biasa. Tepung beras sebagai agen pendispersi dalam
proses presipitasi menghasilkan partikel nanosilika dengan ukuran rata-rata
185.45 nm dengan indeks polidispersitas 0.2540. Ukuran partikel nanosilika yang
dihasilkan lebih kecil dibandingkan ukuran partikel nanosilika hasil produksi

11
dengan teknik lainnya. Indeks polidispersitas yang cukup rendah kurang dari 0.3
menunjukkan bahwa nanosilika yang telah diproduksi memiliki keseragaman
ukuran yang baik. Indeks polidispersitas yang rendah pada nanosilika juga
menunjukkan bahwa proses agregasi partikel oleh beras sebagai agen pendispersi
pada proses produksi berjalan baik sehingga aglomerasi antar partikel dapat
dicegah. Polidispersitas yang rendah juga dapat digunakan sebagai pertimbangan
dalam hal penggunaan dan aplikasi karenan nanosilika hasil produksi ini
terdispersi sangat baik dalam media air.
Beras memiliki granula pati yang tersusun atas molekul amilosa dan
amilopektin. Dalam produksi nanosilika, matriks karbon berbentuk heliks pada
amilosa memiliki peran dalam memberikan bentuk morfologi serta keseragaman
ukuran nanopartikel (Ramimogadham et al. 2013). Sedangkan amilopektin
berperan penting pada agregasi partikel. Hal ini terkait dengan adanya gugus
hidroksil pada amilopektin. Gugus hidroksil amilopektin memiliki kemampuan
untuk berasosiasi ke dalam intra ataupun intermolekul sehingga dapat
menyelaraskan transisi ion Si2+ dan menjaga adanya agregasi yang tinggi antar
partikel silika (Gambar 2).
Ukuran rata-rata nanosilika hasil produksi dengan agen pendispersi agar
adalah 252.22 nm dengan indeks polidispersitas 0.6520. Nanosilika yang
terbentuk masih belum memiliki distribusi ukuran yang baik. Faktor penting yang
berpengaruh adalah karakteristik dan sifat polisakarida yang digunakan dalam
proses presipitasi. Agar dan beras termasuk polisakarida dengan susunan granula
berbeda. Agar memiliki granula yang tersusun atas agarosa dan agaropektin
(Gambar 3). Agarosa memiliki peran yang hampir sama dengan amilosa.
Agaropektin memiliki kemampuan kembang dalam air yang cukup tinggi. Pada
saat digunakan sebagai agen pendispersi produksi nanosilika, agar mampu
mengikat struktur ikatan silika namun pada saat pemanasan, granula mengembang
sehingga ukuran partikel meningkat. Pengembangan granula agar ini mengganggu
terbentuknya sol silika dengan ukuran droplet yang seragam sebelum proses
pengeringan.

Gambar 3 Mekanisme kerja agarosa dan agaropektin dalam produksi nanosilika

12
Pola Difraksi Nanosilika
Posisi puncak yang ditunjukkan pola difraksi nanosilika akan menunjukkan
struktur dan fase kristal. Terdapat beberapa fase kristal silika yaitu kuarsa,
kristobalit dan tridimit. Kuarsa adalah mineral utama dari silika, dengan struktur
atom tetrahedral, dimana satu atom silikon dikelilingi empat atom oksigen. SiO2
dengan fasa kuarsa memiliki nilai koefisien ekspansi termal 11×10-6/°C. Pada
kondisi suhu kamar, silika tersusun bentuk heksagonal namun pada suhu 875°C
kestabilan susunan tertrahedral silika berubah. Fase kristal silika pada suhu rendah
disebut kuarsa, sedangkan pada suhu tinggi terbentuk fase kristal yang disebut
kristobalit. Perubahan fase kuarsa ke fase tridimit memerlukan perubahan besar
dalam susunan kristalnya. Sedangkan kristobalit mengalami suatu perubahan
struktur yang lebih baik tetapi bukan pematahan. Sedangkan tridimit mengalami
dua perubahan pada jangkauan metastabilnya, yaitu yang pertama pada temperatur
117°C dan temperatur 163°C. Masing-masing fase kristal silika memiliki posisi
puncak yang berbeda. Berdasarkan NIOSH Manual of Analytical Methods edisi
keempat, puncak fase kuarsa dapat teridentifikasi pada sudut 2θ 26.66°, 20.85°
dan 50.16°. Fase kristobalit dapat teramati pada titik puncak 21.93°, 36.11° dan
31.16° sedangkan fase tridimit memiliki puncak 21.63°, 20.50° dan 23.38°.
Pola difraksi nanosilika hasil presipitasi memiliki nilai 2θ dengan intensitas
tinggi pada 32.03°, 33.90°, 19.06°, dan 28.07° (Gambar 4). Intensitas tertinggi
terletak pada titik 32.03° yang mengindikasikan fase krital kristobalit (Ismayana
2014). Titik 2θ 19.06° dan 28.07° menujukkan adanya fase tridimit (Ismayana
2014) sedangkan titik puncak 33.90° menunjukkan adanya fase mullit (Popovic
2007). Adanya dominasi fase kristobalit menunjukkan bahwa nanosilika hasil
produksi dengan teknik presipitasi memiliki kestabilan termal yang baik secara
kualitatif (Sembiring dan Karo-Karo 2007).

Gambar 4 Pola difraksi nanosilika hasil presipitasi

13
Nanosilika yang dihasilkan dengan teknik kopresipitasi dengan agen
pendispersi bubuk agar memiliki pola difraksi yang serupa dengan nanosilika
presipitasi dengan intensitas yang lebih tinggi. Titik puncak dengan intensitas
tertinggi terdapat pada 31.99°, 33.86°, 19.01°, dan 28.04° (Gambar 5). Fase kristal
dominan adalah kristobalit, ditambah dengan fase kristal silika lainnya seperti
tridimit dan mullit. Tidak ditemukannya karakter titik puncak persenyawaan agar
pada difraktogram menunjukkan bahwa agen pendispersi telah hilang akibat
adanya proses pembakaran suhu 700°C. Proses pengecilan ukuran silika dengan
teknik kopresipitasi-agen pendispersi agar terbukti tidak mengubah fase kristal
silika. Pengecilan ukuran dengan teknik ini hanya mengubah intensitas difraksi
partikel menjadi lebih tinggi.

Gambar 5 Pola difraksi nanosilika hasil kopresipitasi dengan bubuk agar
Sedangkan nanosilika hasil produksi dengan agen pendispersi beras
memiliki peak terkuat pada sudut 2θ 22-23° (Gambar 6) yang mengindikasikan
fase silika amorf. Fase silika amorf dapat berupa opal-A, opal CT ataupun opal C.
Nanosilika hasil produksi dengan agen pendispersi beras juga menunjukkan pola
difraksi kristobalit ditunjukkan adanya intensitas tinggi pada 2θ 31.58°, tridimit
pada 19.16° dan mullite pada 33.97°. Dalam difraktogram juga tidak
menunjukkan karakter peak persenyawaan beras. Hal ini berarti bahwa agen
pendispersi beras yang digunakan dalam teknik kopresipitasi telah dapat
dihilangkan serupa dengan penjelasan sebelumnya.
Presipitasi dan kopresipitasi menghasilkan partikel nanosilika dengan fase
kristal yang serupa dengan silika murni. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi
perubahan fase kristal silika akibat adanya perubahan ukuran partikel. Perubahan
fase kristal muncul akibat adanya pembakaran dan pemanasan suhu tinggi.
Munculnya fase amorf pada nanosilika hasil kopresipitasi-agen pendispersi beras

14
dipengaruhi oleh komposisi amilosa dalam beras. Presentase amilosa dalam bubuk
beras yang digunakan rendah dan amorf sehingga berpengaruh pada aktivitasnya
sebagai agen pendispersi dalam proses kopresipitasi.

Gambar 6 Pola difraksi nanosilika hasil kopresipitasi dengan tepung beras
Derajat Kristalinitas Nanosilika
Derajat kristalinitas menunjukkan proporsi fase kristalin yang ada dalam
bahan. Produksi nanosilika menggunakan metode presipitasi menghasilkan
partikel dengan kristalinitas 33.22% dengan fase silika dominan kristobalit.
Tepung beras yang digunakan sebagai agen pendispersi mampu menurunkan
kristalinitas partikel hingga 28.76%. Sedangkan tepung agar justru mampu
menaikkan kristalinitas partikel hingga 59.53%. Besar kecilnya kristalinitas ini
akan berpengaruh pada fungsi nanosilika untuk aplikasi tertentu.
Naik turunnya kristalinitas ini terkait dengan karakteristik fisiokimia dari
agen pendispersi yang digunakan. Tepung beras secara kimiawi tersusun atas
gugus amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan senyawa mayor yang
membentuk kristalinitas beras. Manful et al. (2008) menyatakan bahwa tepung
beras memiliki kristalinitas relatif rendah sebesar 24%. Granula beras
mengembang dalam air dan struktur semikristalinnya berubah menjadi molekul
amilosa yang lebih kecil. Molekul amilosa yang lebih kecil dapat membentuk
kompleks dengan Si2+ karena tingginya keberadaan gugus fungsional. Ion Si2+
yang berasosiasi dengan amilosa akan memacu pertumbuhan kristal. Ketika
molekul amilosa dihilangkan, gaya Van der Walls antar molekul silika akan
mendorong terbentuknya nanokristal dengan sendirinya menyerupai kristalinitas
beras.
Nawawi et al. (2013) menyatakan bahwa agarose dengan konsentrasi
tertentu dapat meningkatkan kristalinitas metal oksida dengan struktur kristal yang
sama. Agar memiliki struktur kimia yang didominasi agarose dan agaropektin.

15
Sama halnya dengan amilosa, agarose memiliki peran dalam pembentukan kristal
agar. Dengan mekanisme yang sama, molekul agarose dalam air akan berikatan
dengan ion Si2+ membentuk struktur kristal. Kuantitas agarosa dalam komposisi
kimia agar akan berpengaruh pada kristalinitas metal oksida yang terbentuk.

Ukuran Kristal
Walaupun memiliki derajat kristalinitas yang cukup rendah, namun kristal
yang terbentuk dari proses produksi memiliki ukuran yang relatif kecil. Ukuran
kristal diperoleh dengan menghitung rata-rata ukuran kristal dengan intensitas
tinggi. Ukuran kristal dihitung menggunakan persamaan Scherrer (Nawawi et al.
2013):
D=


βcosθ

dimana D ukuran kristal (nm), k adalah konstanta Scherrer (0.9), λ panjang
gelombang Cu (0.154 nm), β full width at half maximum (FWHM), θ sudut
difraksi. Semakin sempit sudut yang dibentuk oleh peak dalam difraktogram maka
ukuran kristalnya akan semakin kecil.
Jika ukuran kristal dirata-ratakan maka ukuran kristal tertinggi dimiliki oleh
nanosilika presipitasi dengan ukuran kristal rata-rata 27.17 nm diikuti oleh
nanosilika kopresipitasi agar 26.80 nm dan nanosilika kopresipitasi beras 22.44
nm. Ukuran kristal ketiga sampel nanosilika lebih kecil daripada ukuran kristal
silika sebesar 91.53 nm. Secara umum ketiga metode produksi nanosilika mampu
memperkecil ukuran kristal silika sebesar 70-75%.
Tabel 4 Ukuran kristal nanosilika dengan teknik produksi berbeda
Silikaa
2θ (deg)

D (nm)


(deg)
19.06
22.65
23.58
28.07
29.02
32.03
33.90

Presipitasi
β
(rad)
0.0053
0.0056
0.0038
0.0047
0.0049
0.0079
0.0051

D
(nm)
26.28
25.05
36.50
30.00
28.99
18.87
28.33

Nanosilika
Kopresipitasi-beras

β
D
(deg)
(rad)
(nm)
19.16 0.0126 10.81
20.06 0.0181 7.49
23.42 0.0154 8.90
28.01 0.0045 30.42
29.16 0.0021 66.07
31.85 0.0113 12.28
33.97 0.0066 21.11

Kopresipitasi-agar

β
D
(deg)
(rad)
(nm)
19.01 0.0050 27.05
22.60 0.0073 18.63
23.11 0.0068 20.08
28.04 0.0038 36.45
28.98 0.0036 38.85
31.99 0.0080 17.46
33.86 0.0048 29.06

19.17
64.64
23.56
105.36
28.23
92.15
29.19
97.33
b
108.48
32.34
34.04
98.34
38.79
74.41
a
Ismayana (2014)
b
Angka yang bercetak tebal menunjukkan puncak 2θ dan ukuran kristal dengan intensitas tertinggi

Terdapat hubungan antara ukuran partikel nanosilika terhadap ukuran kristal.
Pengecilan ukuran dengan metode produksi presipitasi dan kopresipitasi mampu
memotong kristal silika menjadi ukuran yang lebih kecil. Hidrolisis asam yang
dilakukan akan memutus struktur ikatan kimia pada kristal silika yang
mengakibatkan strukturnya menjadi lebih kecil (Ismayana 2014).

16
Morfologi Nanosilika
Adanya polisakarida dalam proses presipitasi mampu membentuk partikel
nanosilika yang unik sesuai jenis polisakarida yang digunakan. Bentuk partikel
nanosilika hasil produksi dengan metode presipitasi, agen pendispersi tepung
beras, dan tepung agar berturut-turut adalah poligonal, serpih, dan bunga (Gambar
6). Morfologi yang teramati merupakan satu atau beberapa partikel nanosilika
yang diambil secara acak dengan perbesaran 150 kali dan 7500 kali. Perbesaran
150 kali digunakan untuk mengamati sebaran ukuran partikel sedangkan
perbesaran 7500 kali digunakan untuk mengamati morfologi partikel tunggal.

(a) Presipitasi

(b) Kopresipitasi dengan tepung beras

(c) Kopresipitasi dengan bubuk agar

Gambar 7 Morfologi nanosilika dengan metode produksi yang berbeda

17
Presipitasi cenderung menghasilkan nanosilika dengan morfologi poligonal
(Ismayana 2014). Bentuk nanoflake pada nanosilika hasil kopresipitasi-beras
sejalan dengan Ramimogadham et al. (2013) yang menghasilkan partikel nano
ZnO dengan morfologi serpih dengan bubuk beras sebagai pengontrol ukuran.
Berdasarkan tampilan gambar hasil amatan SEM, partikel nanosilika presipitasi
tampak memiliki ukuran yang tidak seragam dan cenderung bergabung satu sama
lain. Partikel nanosilika hasil kopresipitasi beras memiliki penampakan dengan
agregasi partikel yang baik dan ukuran partikel cenderung lebih kecil. Sedangkan
partikel nanosilika hasil kopresipitasi agar masih tampak bergabung namun
dengan ukuran partikel yang lebih kecil.
Hasil pengamatan dengan SEM ini memperkuat analisis distribu