Penambahan Template Kitosan dan Albumin pada Sintesis Nanosilika Abu Ketel Industri Gula dengan Metode Kopresipitasi.

PENAMBAHAN TEMPLATE KITOSAN DAN ALBUMIN PADA
SINTESIS NANOSILIKA ABU KETEL INDUSTRI GULA
DENGAN METODE KOPRESIPITASI

MEGA ERIN SETIYAWATI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penambahan Template
Kitosan dan Albumin pada Sintesis Nanosilika Abu Ketel Industri Gula dengan
Metode Kopresipitasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Mega Erin Setiyawati
NIM F34110006

ABSTRAK
MEGA ERIN SETIYAWATI. Penambahan Template Kitosan dan Albumin pada
Sintesis Nanosilika Abu Ketel Industri Gula dengan Metode Kopresipitasi.
Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI dan ANDES ISMAYANA.
Nanosilika memiliki potensi aplikasi pada berbagai bidang. Abu ketel mengandung
silika yang dapat disintesis menggunakan metode presipitasi. Penambahan template
merupakan salah satu modifikasi dari proses presipitasi. Penelitian ini bertujuan
untuk mensintesis nanosilika dari abu ketel industri gula menggunakan metode
presipitasi dengan template, mengetahui pengaruh penambahan jumlah template
kitosan dan albumin terhadap karakteristik nanosilika yang dihasilkan, dan
memberikan informasi terkait aplikasi yang sesuai dengan karakteristik nanosilika
yang dihasilkan. Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu preparasi abu

ketel, ekstraksi silika, pembuatan nanosilika, pengujian bahan, pengujian dan
karakterisasi nanosilika, serta analisis data. Kandungan silika pada abu ketel
49.69% sedangkan pada abu furnace sebesar 78.75%. Peningkatan jumlah template
baik kitosan dan albumin menurunkan jumlah puncak difraksi, intensitas puncak
difraksi, menurunkan rata-rata ukuran kristal, mempersempit distribusi ukuran
kristal, dan mempersempit kurva distribusi ukuran partikel (PDI). Derajat
kristalinitas nanosilika dengan template kitosan memiliki range 34.40-54.69% dan
dengan template albumin memiliki range 39.33-68.79%. Ukuran kristal nanosilika
memiliki range 35.87-61.57 nm. Ukuran partikel nanosilika memiliki range
228.39-1369.23 nm. Nilai PDI nanosilika memiliki range 0.09-0.297. Nanosilika
memiliki potensi aplikasi sebagai komposit lapisan teratas membran ultrafiltrasi,
komposit lapisan penyangga berpori membran ultrafiltrasi, dan komponen
penyangga katalis.
Kata kunci : abu ketel, albumin, kitosan, presipitasi, nanosilika

ABSTRACT
MEGA ERIN SETIYAWATI. Chitosan and Albumin Template in Synthesis
Nanosilica from Boiler Ash Sugar Cane Industry with Co-Precipitation Method.
Supervised by NASTITI SISWI INDRASTI and ANDES ISMAYANA.
Nanosilica has many potential application in widely sectors. Boiler ash has contains

silica that synthesized using precipitation method. Templating was modification
process from precipitation method. The objective of this research was to synthesis
nanosilica with template from boiler ash using precipitation method, determine the
effect of chitosan and albumin templates on the characterization of nanosilica,
determine the potential application based on characterization of nanosilica. This
research consist of several stages, preparation of boiler ash, silica extraction,
synthesis of nanosilica, testing of material, testing and characterization of
nanosilica, and analyze of data. Boiler ash contained 49.69% silica and furnace ash

contained 78.75% silica. Increasing concentration of chitosan and albumin
templates was decrease amount of diffraction peak, diffraction peak intensity,
decrease average of crystal size, narrow of crystal size distribution, and narrow of
particle size distribution (PDI) curve. Degree of crystallinity nanosilica with
chitosan template has ranges 34.40-54.69% and with albumin template has ranges
39.33-68.79%. Crystal size nanosilica has ranges 35.87-61.57 nm. Particle size
nanosilica has ranges 228.39-1369.23 nm. PDI value nanosilica has ranges 0.090.297. Nanosilica has potential application as compose top layer of ultrafiltration
membrane, compose porous support of ultrafiltration membrane, and support
component of catalyst.
Key words : albumin, boiler ash, chitosan, nanosilica, precipitation


PENAMBAHAN TEMPLATE KITOSAN DAN ALBUMIN PADA
SINTESIS NANOSILIKA ABU KETEL INDUSTRI GULA
DENGAN METODE KOPRESIPITASI

MEGA ERIN SETIYAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi
Nama

NIM

: Penambahan Template Kitosan dan Albumin pada Sintesis
Nanosilika Abu Ketel Industri Gula dengan Metode Kopresipitasi
: Mega Erin Setiyawati
: F34110006

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Pembimbing I

Dr Ir Andes Ismayana MT
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen


Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak Januari 2015 sampai April 2015 ini ialah nanopartikel,
dengan judul Penambahan Template Kitosan dan Albumin pada Sintesis Nanosilika
Abu Ketel Industri Gula dengan Metode Kopresipitasi.
Terimakasih kepada ibunda Rini Roesmawati dan ayahanda Eming Agus
Hidayat atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Terimakasih kepada Prof Dr Ir
Nastiti Siswi Indrasti dan Dr Ir Andes Ismayana MT selaku pembimbing, serta Dr
Ir Ika Amalia Kartika MT selaku dosen penguji. Terimakasih kepada Wahyu Kamal
Setiawan atas bimbingannya. Di samping itu teman seperjuangan dalam penelitian
Sasongko Setyo Utomo, Ersyad Mafqoeh, Aji Wibowo, dan Novi Dian Ruri Erlinda
yang selalu mendukung dan memberikan penyemangat kepada penulis. Ucapan
terimakasih juga diucapkan untuk rekan-rekan TIN 48, P1, dan laboran
laboratorium TIN, atas doa dan dukungannya.
Semoga karya ilimiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juli 2015


Mega Erin Setiyawati

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Metode
HASIL DAN PEMBAHASAN
Abu Ketel dan Abu Furnace
Karakteristik Nanosilika
Potensi Aplikasi Nanosilika
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP

vi
vi
1
1
2
2
2
2
5
5
6
18
21
21
22
22
25


DAFTAR TABEL
1.
2.
3.

Kandungan senyawa abu ketel dan abu furnace
Pengaruh penambahan template terhadap ukuran partikel dan nilai PDI
Potensi aplikasi nanosilika

6
12
19

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Diagram alir proses preparasi abu ketel
Diagram alir sintesis silika dari abu furnace
Diagram alir proses pembuatan nanosilika
Difraktogram nanosilika dengan penambahan template kitosan
Difraktogram nanosilika dengan penambahan template albumin
Ukuran kristal nanosilika
Derajat kristalinitas nanosilika
Kurva distribusi ukuran partikel (a) nanosilika dengan penambahan
template kitosan (b) nanosilika dengan penambahan template albumin
Spektra nanosilika dengan penambahan template kitosan (a) sebelum
kalsinasi (b) setelah kalsinasi

Penyalutan nanosilika oleh kitosan
Spektra nanosilika dengan penambahan template albumin (a) sebelum
kalsinasi (b) setelah kalsinasi
Penyalutan nanosilika oleh albumin
Morfologi partikel nanosilika (a) dengan perbesaran 100X (b) dengan
perbesaran 500X (c) dengan perbesaran 5000X (d) dengan perbesaran
10 000X
Lapisan pada membran ultrafiltrasi

3
3
4
7
8
9
11
13
14
15
16
17
18
20

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Silikon oksida (silika) memiliki banyak kegunaan yang diakibatkan sifat
fisiko-kimianya. Silika amorf hasil presipitasi banyak digunakan sebagai material
dielektrik, material elastomer (seperti karet), layar flat, sensor, filter, adsorben,
separator, dan sistem pelepasan obat serta menjadi katalis reaksi kimia dalam dunia
kedokteran (Maurice dan Faouzi 2014). Saat ini, silika dan kalsium yang dibuat
nanokomposit digunakan sebagai bahan bioaktif untuk aplikasi perbaikan jaringan
tulang (Munasir et al. 2013). Silika dapat disintesis dari berbagai sumber seperti
abu sekam padi (Thuadaij dan Nuntiya 2008), abu ketel industri gula (Affandi et al.
2009), pasir deuriet (Trabelsi et al. 2009), lumpur sidoarjo (lusi) (Munasir et al.
2010), pasir slopeng (Munasir et al. 2013), dan fly ash batubara (Retnosari 2013).
Saat ini silika telah banyak dimanfaatkan dalam orde nano. Nanopartikel
adalah partikel terdispersi (partikel padat) yang memiliki ukuran dalam kisaran 101000 nm (Namazi et al. 2012). Ukuran partikel berskala nano menyebabkan
penyusupan partikel lebih cepat dan merata sehingga struktur partikel lebih solid,
luas permukaan interaksi lebih besar, dan partikel-partikel yang berinteraksi
bertambah (Marlina et al. 2012).
Metode pembuatan nanopartikel dapat berupa mikroemulsi, dekomposisi
termal, dan presipitasi. Presipitasi memiliki keunggulan yaitu mudah dilakukan,
murah, dan temperatur proses rendah. Selain itu, metode presipitasi dapat
menghasilkan nanopartikel yang memiliki kemurnian tinggi dan kualitas baik
(Mahdavi et al. 2013). Thuadaij dan Nuntiya (2008), mensintesis nanosilika dari
abu sekam padi dengan kemurnian 98 % menggunakan metode presipitasi. Affandi
et al. (2009), mensintesis nanosilika dari abu ketel industri gula dengan kemurnian
lebih dari 99% menggunakan metode presipitasi. Munasir et al. (2010), mensintesis
nanosilika dari lumpur sidoarjo dengan kemurnian 95.7% menggunakan metode
presipitasi. Permasalahan dalam pengembangan teknologi nanopartikel saat ini
adalah ketidakseragaman ukuran.
Penambahan template merupakan modifikasi dari proses presipitasi.
Template atau cetakan merupakan senyawa yang digunakan untuk mengontrol
ukuran partikel, penstabil, dan mencegah terjadinya penggumpalan pada sintesis
nanopartikel. Penambahan template sangat mempengaruhi ukuran kristal, ukuran
partikel, morfologi, agregasi, dan derajat kristalinitas nanosilika (Mahdavi et al.
2013). Saat ini, nanopartikel banyak disintesis menggunakan template protein
karena protein memiliki luas permukaan dan gugus fungsional yang besar (Nitta
dan Numata 2013). Melalui penambahan molekul protein seperti albumin dan
gelatin, akan mengontrol terjadinya proses kondensasi antar senyawa silika
(Khripin et al. 2010). Selain protein, polisakarida merupakan salah satu polimer
yang banyak digunakan sebagai template dalam sintesis nanopartikel. Keuntungan
proses penyalutan nanopartikel dengan polisakarida memberikan pencegahan
terhadap proses aglomerasi baik aglomerasi saat pertumbuhan partikel (inti kristal)
maupun aglomerasi partikel primer (Uthaman et al. 2013).

2
Albumin merupakan salah satu protein globular (Nitta dan Numata 2013;
Panta et al. 2014). Albumin memiliki karakteristik biodegradabel, tidak beracun,
dan kapasitas ikatan spesifik yang tinggi (Panta et al. 2014). Albumin dapat
ditemukan pada putih telur (ovalbumin), serum darah, susu, hewan, dan jaringan
tumbuhan. Albumin sebagai template akan mengontrol proses nukleasi,
pertumbuhan partikel primer, dan aglomerasi (Mishra dan Nayar 2014).
Kitosan merupakan polisakarida hidrofilik biokompatibel yang banyak
ditemukan melimpah pada crustaceans. Selain itu memiliki sifat biodegradabel dan
tidak beracun. Dengan adannya gugus amino dan hidroksil dalam kitosan
memberikan kecocokan dalam mengenkapsulasi nanopartikel (Uthaman et al.
2013).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan sintesis abu ketel industri gula
menjadi nanosilika melalui metode presipitasi, mengetahui pengaruh jenis dan
jumlah template terhadap karakteristik nanosilika, dan memberikan informasi dan
rekomendasi terkait aplikasi nanosilika yang sesuai berdasarkan karakteristik yang
dihasilkan.

METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah abu ketel yang diperoleh dari Pabrik Gula
Gunung Madu Plantation (GMP), kitosan dari Departemen Teknologi Hasil
Perikanan (THP) FPIK IPB (DD 87%), albumin (ovalbumin) dari putih telur ayam
(kristalisasi dan liofilisasi Sigma Aldrich), natrium hidroksida (Merck/Teknis),
asam sulfat (Merck/PA), amonium hidroksida (Merck/PA), asam klorida
(Merck/PA), dan kertas saring Whatman 42.
Alat yang digunakan yaitu furnace, peralatan refluks, magnetic stirrer,
magnet, pengering oven, PSA (Particle Size Analyzer) Vasco, XRF (X-Ray
Fluorescence) ARL OPTX-2050, XRD (X-Ray Diffraction) GBC Emma, FTIR
(Fourier Transform Infrared) Tensor 37 Bruker Optics dan SEM (Scanning
Electron Microscope).
Metode
Preparasi Abu Ketel
Abu ketel dari industri gula diayak menggunakan saringan kasar. Pengayakan
tersebut bertujuan untuk memisahkan abu dari benda asing. Abu ketel hasil
pengayakan diabukan pada suhu 700 ˚C selama 6 jam menggunakan tanur untuk
menghilangkan komponen organik (Thuadaij dan Nuntiya 2008). Abu ketel setelah
proses pengabuan menggunakan tanur disebut abu furnace. Gambar 1 menunjukkan
diagram alir proses preparasi abu ketel.

3

Mulai
Abu Ketel
Pengayakan
Pengabuan
Abu Furnace
Selesai
Gambar 1 Diagram alir proses preparasi abu ketel
Ekstraksi Silika
Sebanyak 10 g abu furnace diekstrak menggunakan NaOH 2.5 N sebanyak
80 ml. Setelah 3 jam, larutan disaring menggunakan kertas saring biasa. Residu
dicuci menggunakan akuades mendidih sebanyak 20 ml. Filtrat yang diperoleh,
didinginkan pada suhu ruang. Filtrat dititrasi menggunakan H2SO4 5 N hingga pH
2 (terbentuk fase sol) dan dilanjutkan dengan penambahan NH4OH 2.5 N hingga
pH 8.5. Fase sol merupakan koloid yang mempunyai padatan tersuspensi dalam
larutannya. Sol yang terbentuk didiamkan (aging) dalam suhu ruang selama 3 jam
dan dikeringkan pada suhu 105˚C selama 12 jam (Thuadaij dan Nuntiya 2008;
Ismayana 2014; Setiawan 2015). Gambar 2 menunjukkan diagram alir proses
sintesis silika dari abu furnace.

Mulai
Abu Furnace
Ekstraksi

NaOH 2.5 N

Penyaringan
Presipitasi
Aging
Pengeringan
Silika
Selesai
Gambar 2 Diagram alir sintesis silika dari abu furnace

4

Pembuatan Nanosilika
Silika yang diperoleh dihidrolisis menggunakan HCl 3 N. Setelah 6 jam,
larutan disaring menggunakan kertas saring Whatman 42. Residu yang dihasilkan
dicuci dengan air akuades hingga pH netral. Setelah mencapai kondisi netral, residu
tersebut dilarutkan dalam NaOH 2.5 N menggunakan magnetic stirrer. Setelah
larutan homogen, ditambahkan template kitosan dan template albumin. Template
kitosan ditambahkan dengan perbandingan template : nanosilika (v/b) sebesar 1:1,
1:2, 1:4, dan 1:8. Sedangkan template albumin ditambahkan dengan perbandingan
template : nanosilika (b/b) sebesar 1:1, 1:2, 1:4, dan 1:8. Setelah 5 jam, larutan
dititrasi menggunakan H2SO4 hingga pH 8.5 (terbentuk fase sol) dan dibilas dengan
akuades. Sol yang terbentuk didiamkan (aging) pada suhu 60 °C selama 3 jam dan
dikeringkan pada suhu 105 ˚C selama 12 jam (Thuadaij dan Nuntiya 2008;
Ismayana 2014; Setiawan 2015). Gambar 3 menunjukkan diagram alir proses
pembuatan nanosilika.
Mulai
Silika
Hidrolisis

HCl 3 N

Penyaringan
Pengeringan
Template

Pelarutan

NaOH 2.5 N

Presipitasi
Pengeringan
Nanosilika
Selesai
Gambar 3 Diagram alir proses pembuatan nanosilika
Pengujian Bahan (Abu Ketel dan Abu Furnace)
Abu ketel dan abu furnace dianalisis menggunakan XRF (X-Ray
Fluorescence) ARL OPTX-2050 untuk mengetahui kandungan senyawa
didalamnya. Alat ini dioperasikan dengan arus 10 mA tegangan 50 kV. Lima gram
sampel ditimbang dan dipindai dan dikalibrasikan sesuai energi dan intensitasnya.
Unsur yang dianalisis dari Na hingga U dengan detektor Si (Li) (Sintilation).
Pengujian dan Karakterisasi Hasil

5
PSA (Particle Size Analyzer) Vasco menganalisis ukuran partikel dan
distribusi ukuran partikel. Sebanyak 0.002 gram nanosilika didispersikan dalam 100
ml akuades. Larutan diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 20 menit.
Pemindaian partikel nanosilika dilakukan dengan PSA selama 2-10 menit.
XRD (X-Ray Diffraction) GBC Emma menganalisis ukuran kristal, derajat
kristalinitas, dan fase kristal. Alat ini dioperasikan pada 35 kV dan 25 mA dan
radiasi Cu-Kα dengan panjang gelombang ( ) 1.54056 Å. Difraktogram dipindai
mulai 10˚ sampai 80˚ (2θ) dengan laju pemindaian 3˚ per menit. Perhitungan derajat
kristalinitas menggunakan software PowderX dan ukuran kristal menggunakan
persamaan Scherrer.
��
�=
� ����

β merupakan Full Width at Half Maximum (FWHM) artinya lebar puncak
(peak) pada setengah tinggi puncaknya, dan θ adalah sudut fase. adalah panjang
gelombang Cu-Kα (0.154056 nm). K merupakan konstanta Scherrer (0.9). Kartu
PDF (Powder Diffraction File) digunakan dalam menganalisis pola difraksi dan
fase kristal dengan bantuan software Match! 2. PDF [96-900-0076] adalah kartu
PDF fase kuarsa. PDF [96-900-0521] adalah kartu PDF fase tridimit dan PDF [96900-1579] adalah kartu PDF fase kristobalit.
Nanosilika yang terbentuk dianalisis gugus fungsinya menggunakan FTIR
(Fourier Transform Infrared) Tensor 37 (Bruker Optics). Sebanyak 2 mg sampel
nanosilika ditambahkan 200 mg KBr untuk dibentuk menjadi pelet. Pelet yang
terbentuk ini dianalisis menggunakan FTIR.
Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Analisis
deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai suatu data yang
diperoleh agar mudah dipahami dan informatif bagi orang yang membacanya.
Gambaran mengenai data yang diperoleh akan ditampilkan melalui grafik, gambar,
tabel, dan media lainnya yang mendukung. Analisis deskriptif menjelaskan
berbagai karakteristik data seperti rata-rata (mean), jumlah (sum), simpangan baku
(standard deviation), varians (variance), rentang (range), nilai minimum dan
maksimum. Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan diolah dan ditampilkan
berdasarkan karakteristik data yang dihasilkan baik seperti jumlah, rata-rata, dan
rentang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Abu Ketel dan Abu Furnace
Hasil karakterisasi menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence) terhadap abu
ketel dan abu furnace Pabrik Gula Gunung Madu Plantation disajikan pada Tabel 1

6
Tabel 1 Kandungan senyawa abu ketel dan abu furnace
Kandungan senyawa (%)
No
Senyawa
Abu ketel
Abu furnace
1
SiO2
49.69
78.75
2
Al2O3
11.24
10.36
3
K2O
8.76
1.80
4
P2O5
8.14
0
5
Na2O
7.00
0
6
CaO
4.95
0.886
7
MgO
3.59
1.06
8
Fe2O3
3.23
5.37
9
SO3
1.63
0
10
TiO2
0.790
0.622
Hasil karakterisasi diatas membuktikan bahwa kandungan terbesar abu ketel
adalah silika (SiO2) sebesar 49.69%. Hasil ini tidak berbeda jauh dari hasil analisis
abu ketel oleh Affandi et al. (2009) yaitu 50.36%. Besarnya kandungan silika pada
abu ketel ini berpotensi memberikan nilai tambah yang lebih tinggi dengan
disintesis menjadi nanosilika.
Preparasi bahan abu ketel menjadi abu furnace dilakukan untuk membuang
senyawa organik, mineral, dan pengotor lainnya. Abu ketel diabukan pada suhu
700˚C selama 6 jam, sehingga senyawa organik, mineral, dan pengotor lainnya
menurun persentasenya. Tabel 1 menunjukkan bahwa senyawa Al2O3, K2O, MgO,
CaO, dan TiO2 mengalami penurunan persentase. Hal ini disebabkan senyawa
Al2O3, K2O, CaO, dan MgO memiliki titik lebur ketika suhu 660.45 ˚C, 350 ˚C, 840
˚C, dan 64λ ˚C secara berturut-turut (Bauccio 1993). Senyawa P2O5 dan SO3 tidak
terdeteksi pada abu furnace. Hal ini disebabkan senyawa P2O5, Na2O, dan SO3
memiliki titik lebur ketika suhu 44.1λ ˚C, λ7.8 ˚C, dan 115.2 ˚C secara berturutturut (Bauccio 1993). Senyawa silika (SiO2) dan Fe2O3 mengalami peningkatan
persentase karena tidak mengalami kehilangan massa selama proses pengabuan.
Hal ini disebabkan senyawa Fe2O3 memiliki titik lebur ketika suhu 1535 ˚C
sehingga tidak mengalami penurunan jumlah akibat pengabuan suhu 700 ˚C
(Bauccio 1993). Senyawa silika (SiO2) memiliki titik lebur ketika suhu 1414 ˚C
sehingga tidak mengalami penurunan jumlah akibat pengabuan suhu 700 ˚C
(Bauccio 1993).
Kadar silika pada abu furnace akan berpengaruh dalam proses sintesis
nanosilika dengan metode presipitasi. Kadar silika tinggi akan meningkatkan laju
reaksi pembentukan natrium silikat (Na2SiO3) yang merupakan senyawa prekursor
dalam sintesis silika dan nanosilika.

Karakteristik Nanosilika
Pola Difraksi dan Fase Krisal
Setiap senyawa memiliki berbagai jenis fase kristal. Silika memiliki fase
kristal berupa kuarsa (quartz), kristobalit, dan tridimit. Setiap fase kristal dari

7
nanosilika memiliki nilai 2θ yang khas. Puncak difraksi setiap perlakuan akan
dicocokkan dengan kartu PDF (Powder Diffraction File) fase silika. Pola difraksi
dan fase kristal nanosilika dianalisis menggunakan XRD (X-Ray Diffraction).
Pola difraksi merupakan pola yang terbentuk dari difraksi sinar-X pada
bidang kristal. Setiap material mempunyai fase kristal yang berbeda. Setiap fase
kristal mempunyai bidang kristal yang berbeda pula sehingga mendifraksikan sinarX dengan nilai 2θ yang khas dan membentuk pola difraksi khas pula. Pola difraksi
nanosilika dengan penambahan template kitosan dapat dilihat pada Gambar 4.
Tridimit

Kuarsa

Intensitas (counts)

Kristobalit

2θ (degrees)
1:1

1:2

1:4

1:8

Gambar 4 Difraktogram nanosilika dengan penambahan template kitosan
Berdasarkan Gambar 4 nanosilika dengan penambahan template kitosan
memiliki pola difraksi tidak beraturan yang mengindikasikan struktur amorf.
Kitosan merupakan polimer yang bersifat amorf (kristalinitas rendah) (Cai et al.
2009), sehingga nanosilika yang dihasilkan dengan penambahan kitosan sebagai

8
template juga bersifat amorf. Semakin sedikit template yang ditambahkan maka
semakin banyak fase kristal yang ditunjukkan dengan munculnya puncak difraksi
baru. Semakin sedikit template yang ditambahkan juga meningkatkan intensitas
setiap puncak difraksi. Semakin sedikit template yang ditambahkan memungkinkan
semakin sedikit pula nanosilika yang tersalut sehingga meningkatkan reaksi
kondensasi antar senyawa silika. Reaksi kondensasi menyebabkan terjadinya
penguatan struktur kristal dalam suatu senyawa sehingga senyawa tersebut
mengalami peningkatan intensitas puncak difraksi (Smitha et al. 2006). Munculnya
puncak difraksi dan meningkatnya intensitas puncak difraksi akan meningkatkan
derajat kristalinitas. Pola difraksi nanosilika dengan penambahan template albumin
dapat dilihat pada Gambar 5.
Tridimit

Kuarsa

Intensitas (counts)

Kristobalit

2θ (degrees)
1:1

1:2

1:4

1:8

Gambar 5 Difraktogram nanosilika dengan penambahan template albumin
Berdasarkan Gambar 5 nanosilika dengan penambahan template albumin
memiliki struktur kristalin (lebih kristalin dibandingkan nanosilika dengan

9
penambahan template kitosan). Albumin merupakan salah satu protein globular
yang memiliki struktur kristalin (Tanford dan Reynolds 2000), sehingga nanosilika
yang dihasilkan dengan penambahan albumin sebagai template memiliki sifat lebih
kristalin. Semakin sedikit template yang ditambahkan maka semakin banyak fase
kristal dan semakin tinggi intensitas setiap puncak difraksi. Pola difraksi dan fase
kristal nanosilika dengan penambahan template albumin lebih stabil dibandingkan
nanosilika dengan penambahan template kitosan.
Selain dipengaruhi struktur template, perbedaan pola difraksi dan fase kristal
nanosilika dengan penambahan template kitosan dan albumin juga dipengaruhi oleh
gugus fungsi dalam reaksi kondensasi antara template dengan silika. Menurut Fang
dan Yingchun (2011), gugus amina (NH2) dan gugus hidroksil (OH) dari kitosan
yang akan berinteraksi dengan gugus silanol dari silika. Sedangkan menurut (Pondi
et.al 2014), gugus karbonil (C=O) dari albumin yang akan berinteraksi dengan
gugus silanol dari silika. Interaksi antar gugus inilah yang membedakan fase kristal
yang terbentuk. Fase kristal yang berbeda akan mempengaruhi pola difraksi yang
berbeda pula.
Berdasarkan difraktogram pada Gambar 4 dan 5 nanosilika dengan
penambahan template kitosan dan albumin merupakan senyawa multifase. Hal
tersebut ditunjukkan dengan adanya tiga fase dalam satu senyawa, yaitu fase kuarsa,
fase tridimit, dan fase kristobalit.
Ukuran Kristal
Ukuran kristal mempengaruhi derajat kristalinitas pada nanosilika. Semakin
besar ukuran kristal suatu senyawa maka semakin tinggi pula derajat
kristalinitasnya. Pada penelitian ini, ukuran kristal dihitung menggunakan
persamaan Scherrer dan software PowderX. Ukuran kristal nanosilika dapat dilihat
pada Gambar 6.
Kitosan

Albumin

Ukuran Kristal (nm)

70.00

61.57

60.00
50.00
40.00

36.9135.87

41.99
38.24

1:1

1:2

48.59
42.99

52.05
43.99

30.00
20.00
10.00
0.00
1:4

1:8

Kontrol

Gambar 6 Ukuran kristal nanosilika
Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin banyak template yang ditambahkan,
maka semakin kecil ukuran kristal nanosilika yang dihasilkan. Secara umum,
nanosilika dengan penambahan template kitosan memiliki ukuran kristal yang lebih
tinggi dibandingkan nanosilika dengan penambahan template albumin. Hal tersebut
dipengaruhi oleh bobot molekul template yang ditambahkan. Tingginya bobot

10
molekul menunjukkan semakin banyak jumlah n (monomer) suatu senyawa.
Semakin tingginya bobot molekul akan menurunkan laju pertumbuhan primer,
sehingga akan menghasilkan ukuran kristal yang kecil. Selain itu semakin banyak
jumlah penambahan template maka menyebabkan semakin banyak pula nanosilika
yang dapat tersalut oleh template (Sormoli et al 2011). Kitosan yang digunakan
pada penelitian ini berasal dari departemen THP FPIK IPB dengan derajat
deasetilasi sebesar 87%. Menurut Sun et al. (2009), kitosan dengan derajat
deasetilasi 80%-90% memiliki bobot molekul sebesar 40 000 Da. Sedangkan
menurut Nitta dan Numata (2013), albumin memiliki bobot molekul sebesar 65 000
Da. Hal tersebut membuktikan bahwa nanosilika dengan penambahan template
albumin memiliki ukuran kristal lebih kecil dibandingkan nanosilika dengan
penambahan template kitosan. Namun pada penambahan template dengan
perbandingan 1:8, nanosilika dengan penambahan template kitosan memiliki
ukuran partikel yang lebih rendah dibandingkan nanosilika dengan penambahan
template albumin. Menurut (Pondi et al. 2014), hal tersebut disebabkan oleh
rendahnya kereaktifan template albumin yang ditambahkan dalam jumlah sedikit.
Jumlah albumin dalam jumlah sedikit menunjukkan semakin pendeknya rantai
molekul dimiliki oleh albumin. Semakin pendek rantai molekul akan semakin
mengurangi jumlah tempat (sites) interaksi antara albumin dengan silika. Hal ini
akan menyebabkan ukuran kristal yang membesar seiring berkurangnya jumlah
template albumin yang ditambahkan.
Secara umum, nanosilika dengan penambahan template memiliki ukuran
kristal yang lebih kecil dibandingkan nanosilika tanpa penambahan template.
Albumin mampu menahan laju pertumbuhan partikel primer pada perbandingan
1:1, 1:2, dan 1:4. Menurut (Allaedini dan Muhamad 2013), pertumbuhan partikel
primer akan menyebabkan bergabungnya inti kristal dan inti kristal lainnya menjadi
kristal baru atau bergabungnya kristal dengan kristal lainnya untuk membentuk
kristal yang memiliki ukuran lebih besar. Namun pada perbandingan 1:8 ukuran
kristal lebih besar dari kontrol. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya kereaktifan saat
jumlah template yang ditambahkan sedikit (Pondi et al 2014). Kitosan mampu
menahan laju pertumbuhan partikel primer pada perbandingan 1:1 dan 1:2.
Sedangkan pada perbandingan 1:4 dan 1:8 ukuran kristal lebih besar dari kontrol.
Menurut Fang dan Yingchun (2011), jika jumlah penambahan sedikit maka
kereaktifan berkurang akibat tidak tersalutnya nanosilika secara keseluruhan.
Derajat Kristalinitas
Derajat kristalinitas menunjukkan persentase kristal dalam suatu sampel atau
bahan. Perhitungan derajat kristalinitas nanosilika dengan penambahan template
kitosan dan albumin menggunakan software PowderX. semakin banyak jumlah
template (kitosan dan albumin) yang ditambahkan maka semakin rendah derajat
kristalinitas nanosilika yang dihasilkan. Derajat kristalinitas dipengaruhi oleh pola
difraksi, intensitas puncak difraksi dan ukuran kristal. Semakin banyak
penambahan template akan menurunkan reaksi kondensasi antar senyawa silika
(Smitha et al. 2006). Penurunan reaksi kondensasi akan menurunkan intensitas
puncak difraksi dan jumlah puncak difraksi. Penurunan intensitas puncak difraksi
dan jumlah puncak difraksi akan berdampak pada menurunnya derajat kristalinitas

11
sampel. Pengaruh jumlah template yang ditambahkan terhadap derajat kristalinitas
nanosilika dapat dilihat pada Gambar 7.
Kitosan

Albumin

Derajat Kristalinitas (%)

90.00

83.27

80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

68.79

39.33 39.01
34.40

1:1

49.92
41.86 43.86

1:2

1:4

54.69

1:8

Kontrol

Gambar 7 Derajat kristalinitas nanosilika
Berdasarkan data yang diperoleh pada analisis pola difraksi dan fase kristal
dapat terlihat bahwa nanosilika dengan penambahan template kitosan memiliki pola
difraksi dan intensitas yang lebih rendah dibandingkan nanosilika dengan
penambahan template albumin. Hal ini membuktikan bahwa derajat kristalinitas
nanosilika dengan penambahan template kitosan selalu lebih rendah dibandingkan
nanosilika dengan penambahan template albumin.
Ukuran kristal yang semakin semakin kecil akan menurunkan derajat
kristalinitas. Semakin banyaknya template yang ditambahkan akan menurunkan
laju pertumbuhan partikel primer (Allaedini dan Muhamad 2013). Pengontrolan
laju pertumbuhan partikel primer akan menghasilkan ukuran kristal lebih kecil yang
berdampak terhadap menurunnya derajat kristalinitas. Berdasarkan pembahasan
pada ukuran kristal, didapatkan bahwa ukuran kristal dengan penambahan template
kitosan lebih besar dibandingkan dengan template albumin. Namun derajat
kristalinitas nanosilika dengan penambahan template albumin lebih tinggi
dibandingkan nanosilika dengan penambahan template kitosan. Hal ini dipengaruhi
oleh struktur dasar masing-masing template. Kitosan merupakan polimer dengan
struktur amorf (Cai et al. 2009) dan albumin memiliki struktur kristalin (Tanford
dan Reynold 2000). Struktur dasar ini yang berpengaruh terhadap pola difraksi dan
fase kristal.
Ukuran Partikel dan PDI
Partikel dibentuk melalui bergabungnya satu kristal dengan kristal lainnya.
Ukuran partikel berskala nano menyebabkan penyusupan partikel lebih cepat dan
merata sehingga struktur partikel lebih solid, luas permukaan interaksi lebih besar
dan partikel-partikel yang berinteraksi bertambah (Marlina et al. 2012). Hal
tersebut meningkatkan interaksi permukaan total dan kekuatan mekanik material.
Selain itu, ukuran partikel juga berpengaruh pada PDI (Podispersity Index).
Semakin luas range ukuran partikel maka semakin besar nilai PDI yang dihasilkan.
Menurut Nidhin (2008), nilai PDI dalam kisaran 0.01 menunjukkan bahwa

12
nanopartikel memiliki keseragaman yang baik. Nanopartikel dengan nilai PDI 0.50.7 masih dalam batas toleransi penggunaan dalam aplikasi, sedangkan
nanopartikel dengan nilai PDI lebih besar dari 0.7 tidak dapat digunakan dalam
aplikasi. Pengaruh penambahan template terhadap ukuran partikel dan nilai PDI
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Pengaruh penambahan template terhadap ukuran partikel dan nilai PDI
PDI
Range (nm)
Z (nm)
A11
A12
A14
A18
Kontrol
K11
K12
K14
K18

0.09
0.124
0.128
0.297
0.315
0.165
0.231
0.265
0.293

141.29
93.35
89.15
28.19
33.89
537.17
97.75
89.15
46.79

1230.59
1288.59
1349.32
2819.13
2344.85
2819.13
2819.13
2951.99
2951.99

422.12
339.85
307.70
228.39
243.69
1369.23
797.35
655.93
299.82

Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin banyak template yang ditambahkan
baik kitosan maupun albumin maka semakin kecil nilai PDI yang dihasilkan.
Menurut Sormoli et al. (2011), semakin banyak penambahan jumlah template maka
semakin banyak pula nanosilika yang dapat tersalut oleh template. Menurut
Padalkar et al. (2009), penambahan template albumin akan mengontrol proses
nukleasi inti kristal, pertumbuhan partikel primer, dan proses aglomerasi partikel.
Menurut Uthaman et al. (2013) penyalutan nanopartikel dengan polisakarida seperti
kitosan memberikan pencegahan terhadap proses aglomerasi baik aglomerasi saat
pertumbuhan partikel (inti kristal) maupun aglomerasi partikel primer. Polisakarida
memberikan kapasitas spesifik terhadap ikatan dengan nanopartikel. Melalui
karakteristik pencegahan terhadap aglomerasi, maka penambahan template akan
mengontrol keseragaman ukuran yang didapatkan. Semakin kecil nilai PDI maka
semakin kecil pula range (jangkauan) yang dihasilkan (distribusi ukuran partikel
akan semakin sempit).
Nilai PDI juga dapat dilihat melalui kurva distribusi ukuran partikel.
Nanosilika dengan penambahan template yang lebih banyak baik kitosan maupun
albumin akan memberikan kurva distribusi yang lebih sempit. Sempitnya kurva
distribusi ukuran partikel menunjukkan semakin kecil nilai PDI yang dihasilkan.
Banyaknya jumlah template yang ditambahkan akan menyebabkan semakin banyak
pula nanosilika yang dapat tersalut oleh template (Sormoli et al 2011). Hal ini akan
mengakibatkan ukuran nanosilika yang lebih seragam. Semakin seragam ukuran
nanosilika akan mengakibatkan kurva distribusi yang lebih sempit. Kurva distribusi
ukuran partikel dapat dilihat pada Gambar 8.

Intensitas (u.a.)

13

0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
28.19

56.25

112.23 223.93
1:1

1:2

446.8
1:4

891.49 1,778.75
1:8

(a)
0.8

Intensitas (u.a.)

0.7
0.6
0.5
0.4
0.3

0.2
0.1

0
28.19

56.25

112.23

223.93

1:1

1:2

446.8
1:4

891.49 1,778.75
1:8

(b)
Gambar 8 Kurva distribusi ukuran partikel (a) nanosilika dengan penambahan
template kitosan (b) nanosilika dengan penambahan template albumin
Nanosilika dengan penambahan template albumin memiliki kurva distribusi
ukuran yang lebih sempit dibandingkan nanosilika dengan penambahan template
kitosan. Hal tersebut dipengaruhi oleh bobot molekul template yang ditambahkan.
Kitosan memiliki bobot molekul sebesar 40 000 Da (Sun et al. 2009), sedangkan
albumin memiliki bobot molekul sebesar 65 000 Da (Nitta dan Numata 2013).
Bobot molekul yang besar akan memberikan keefektifan yang tinggi dalam
menyalut nanosilika sehingga akan meningkatkan keseragaman ukuran nanosilika
yang dihasilkan.
Spektra Gugus FTIR
FTIR digunakan untuk melihat gugus fungsi pada nanosilika. Nanosilika
memiliki dua gugus fungsi yaitu gugus silanol dan gugus siloksan. Gugus silanol
bersifat hidrofilik, sedangkan gugus siloksan bersifat hidrofobik. Gugus siloksan
terbentuk dari reaksi kondensasi antara dua gugus silanol sehingga menghasilkan

14

Transmitan

gugus siloksan (Si-O-Si) dan melepaskan molekul air. Selain itu, analisa
menggunakan FTIR juga digunakan untuk membuktikan bahwa partikel nanosilika
telah tersalut oleh template yang ditambahkan. Analisis menggunakan FTIR
menghasilkan pita serapan pada bilangan gelombang (wavenumber) tertentu yang
menunjukkan identitas spesifik suatu gugus fungsi. Semakin tinggi intensitas pita
serapan (semakin rendah nilai transmitan) maka semakin banyak gugus fungsi
dalam suatu senyawa. Gambar 9 menunjukkan spektra nanosilika dengan
penambahan template kitosan.

Transmitan

(a)

(b)
Gambar 9 Spektra nanosilika dengan penambahan template kitosan (a) sebelum
kalsinasi (b) setelah kalsinasi

15
Dapat dilihat pada Gambar 9 sekitar pita serapan 1000 merupakan vibrasi SiO-Si (siloksan) pada nanosilika, sedangkan pita serapan 3000-3500 menunjukkan
vibrasi Si-OH (silanol) pada nanosilika. Pita serapan 1623.34 dan 1503.45 pada
Gambar 9 (a) berturut-turut menunjukkan vibrasi ulur NH2 (amina)1 dan NH2
(amina)2 yang menunjukkan ikatan gugus –NH2 pada kitosan dengan gugus silanol
pada nanosilika. Mekanisme penyalutan nanosilika oleh kitosan adalah melalui
ikatan hidrogen antara gugus silanol yang dimiliki silika dengan gugus hidroksil
dan amina yang dimiliki kitosan (Fang dan Yingchun 2011). Gambar 10
menunjukkan penyalutan nanosilika oleh kitosan.

Gambar 10 Penyalutan nanosilika oleh kitosan
(Sumber : Fang dan Yingchun 2011)
Gambar 9 (b) menunjukkan bahwa intensitas gugus silanol mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan oleh hilangnya template kitosan selama proses
kalsinasi. Menurut Cecilia (2011) kitosan memiliki titik lebur sekitar 120 oC.
Meleburnya kitosan pada kalsinasi suhu 700 °C menyebabkan gugus Si-OH
(silanol) bertambah (sudah tidak berikatan dengan template). Gambar 7
menunjukkan spektra nanosilika dengan penambahan template albumin.
Sekitar pita serapan 1000 pada Gambar 11 merupakan vibrasi Si-O-Si
(siloksan) sedangkan pita serapan 3000-3500 menunjukkan vibrasi Si-OH (silanol)
pada nanosilika. Pita serapan 1658.34 pada Gambar 11 (a) merupakan vibrasi ulur
C=O (karbonil) pada albumin yang menunjukkan ikatan antara gugus C=O
(karbonil) pada albumin dengan gugus silanol pada nanosilika, Sedangkan pita
serapan 1626.15 merupakan vibrasi NH2 (amina) yang merupakan backbone pada
albumin. Menurut Pondi et al. (2014) dan Khripin et al. (2010) albumin dan silika
berinteraksi dengan ikatan hidrogen antara gugus silanol yang dimiliki silika
dengan gugus karbonil dan amina yang dimiliki albumin. Melalui ikatan hidrogen
ini, matriks protein akan mencegah proses flokulasi dan penggumpalan antara
senyawa silika (Khripin et al. 2010). Gugus fungsi seperti amina (-NH2), karboksil
(-COOH), dan hidroksil (-OH) tidak hanya sebagai agen penstabil koloid, namun
dapat meningkatkan jumlah dari inti kristal (Mishra dan Nayar 2014). Gambar 12
menunjukkan penyalutan nanosilika oleh albumin.

Transmitan

16

Transmitan

(a)

(b)
Gambar 11 Spektra nanosilika dengan penambahan template albumin (a) sebelum
kalsinasi (b) setelah kalsinasi

17

Gambar 12 Penyalutan nanosilika oleh albumin
(Sumber: Pondi et al. 2014)
Pada Gambar 11 (b) dapat dilihat bahwa intensitas gugus silanol meningkat.
Hal ini disebabkan oleh hilangnya template selama proses kalsinasi. Menurut
Cecilia (2011) albumin memiliki titik lebur sekitar 62 oC. Meleburnya albumin pada
kalsinasi suhu 700 °C menyebabkan gugus Si-OH (silanol) bertambah (sudah tidak
berikatan dengan template).
Morfologi Partikel
Morfologi partikel nanosilika dianalisa menggunakan SEM (Scanning
Electron Microscope). Morfologi partikel diamati dengan perbesaran 100 kali
hingga 10 000 kali. Berdasarkan hasil analisa menggunakan SEM, partikel tunggal
nanosilika yang dihasilkan memiliki bentuk poligonal. Menurut Ismayana (2014),
metode presipitasi cenderung menghasilkan nanosilika dengan morfologi
poligonal. Gambar 13 (a) dan (b) menunjukkan bahwa sebaran ukuran partikel yang
teramati merupakan sebaran partikel tidak seragam. Sedangkan gambar 13 (c) dan
(d) menunjukkan bahwa permukaan partikel nanosilika berpori. Pori-pori ini terjadi
akibat reaksi antara nanosilika dengan template yang hilang pada akhir proses
(template yang ditambahkan hilang setelah proses kalsinasi). Hilangnya template
pada akhir proses menghasilkan pori-pori pada partikel nanosilika. Selain itu
terlihat bahwa dalam satu partikel tunggal masih terdapat beberapa bagian kristal
dalam jumlah sedikit. Hal tersebut menunjukkan bahwa partikel nanosilika yang
dihasilkan memiliki derajat kristalinitas rendah (amorf). Gambar 13 menunjukkan
hasil analisa SEM partikel nanosilika.

18

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 13 Morfologi partikel nanosilika (a) dengan perbesaran 100X (b) dengan
perbesaran 500X (c) dengan perbesaran 5000X (d) dengan perbesaran
10 000X
Analisa EDS (Energy Dispersion X-ray Spectroscopy) merupakan salah satu
fitur pada analisa SEM. Analisa EDS digunakan untuk menganalisa secara
kuantitatif elemen yang terkandung dalam bahan. Selain itu, analisa EDS juga dapat
digunakan untuk elemental mapping (pemetaan elemen) dengan memberikan warna
yang berbeda pada masing-masing elemen.
Hasil analisa EDS menunjukkan bahwa partikel nanosilika memiliki
kandungan terbesar yaitu elemen Si dan O. Kandungan elemen Si sebesar 41.09
(%wt) dan O sebesar 45.41 (%wt). Selain kedua elemen tersebut, partikel nanosilika
mengandung elemen C dan Na. Elemen C (karbon) sebesar 3.14 (%wt) berasal
tempat preparat sampel yang berbahan dasar karbon. Sedangkan elemen Na sebesar
10.35 (%wt) berasal dari produk samping reaksi polimerisasi silika yaitu garam
Na2SO4.

Potensi Aplikasi Nanosilika
Nanosilika memiliki beragam aplikasi dalam berbagai bidang. Setiap aplikasi
membutuhkan nanosilika dengan karakteristik tertentu untuk mendukung kinerja
dari aplikasi tersebut. Tabel 3 menunjukkan variasi perlakuan nanosilika dengan
potensi aplikasi yang sesuai.

19

Kitosan 1:2

Tabel 3 Potensi aplikasi nanosilika
Karakteristik nanosilika
Derajat
Ukuran
PDI
kristalinitas
partikel
(%)
(nm)
39.01
797.35
0.231

Kitosan 1:4

43.86

655.93

0.265

Albumin 1:1

39.33

422.12

0.09

Albumin 1:2

41.86

339.85

0.124

Kitosan 1:8

54.69

299.82

0.293

Albumin 1:4

49.92

307.70

0.128

Albumin 1:8

68.79

228.39

0.297

Kitosan 1:1

34.40

1369.23

0.165

Perlakuan
template :
nanosilika

Potensi
aplikasi
Lapisan
permukaan
tipis membran
ultrafiltrasi dan
komponen
penyangga
katalis
Lapisan
penyangga
berpori
membran
ultrafiltrasi
Tidak dapat
diaplikasikan

Membran Ultrafiltrasi
Membran ultrafiltrasi merupakan teknik pemisahan menggunakan membran
untuk menghilangkan zat terlarut BM (bobot molekul) tinggi, koloid, mikroba, dan
padatan tersuspensi dalam air. Membran ultafiltrasi memiliki ukuran pori 1-100 nm
dan ketebalan mencapai 150 m. Aplikasi dari membran ultrafiltrasi banyak
terdapat pada pemurnian air dalam menghilangkan koloid, mikroba, dan padatan
tersuspensi (Yuniarsih 2013).
Membran ultrafiltrasi terdiri dari 3 lapisan yaitu, lapisan atas (permukaan
tipis), lapisan penyangga berpori, dan lapisan penyangga tambahan. Lapisan atas
berfungsi sebagai media pemisah dengan ketebalan 0.1-0.5 m. Lapisan paling atas
ini memberikan selektivitas, peningkatan rejeksi, dan fluks yang rendah dengan
karakteristik yang sangat rapat dan tipis. Lapisan penyangga berpori memiliki
ukuran pori >100 nm dan ketebalan > 0.5 m. Sedangkan lapisan penyangga
tambahan memiliki karakteristik kristalinitas yang tinggi guna memberikan
ketahanan terhadap tekanan mekanik (Yudhistira et al. 2012). Gambar 14
menunjukkan lapisan dari membran ultrafiltrasi.

20

Gambar 14 Lapisan pada membran ultrafiltrasi
(sumber : Yuniarsih 2013)
Polimer polisulfon merupakan polimer yang umum digunakan dalam
memproduksi membran ultrafiltrasi. Namun masih memiliki beberapa kelemahan
yaitu kurangnya sifat hidrofilitas serta lemahnya ketahanan mekanik dan stabilitas
termal. Oleh karena, itu dibutuhkan material komposit anorganik untuk mengatasi
kelemahan tersebut (Assufi 2014).
Menurut Iolevich (2014), derajat kristalinitas