Nanosilika Abu Ketel Industri Gula Sebagai Aditif Membran Polisulfon Untuk Menangani Air Sungai Tercemar

NANOSILIKA ABU KETEL INDUSTRI GULA SEBAGAI
ADITIF MEMBRAN POLISULFON UNTUK MENANGANI
AIR SUNGAI TERCEMAR

ELSA WINDIASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Nanosilika Abu Ketel
Industri Gula sebagai Aditif Membran Polisulfon untuk Menangani Air Sungai
Tercemar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Elsa Windiastuti
NIM F351140121

RINGKASAN
ELSA WINDIASTUTI. Nanosilika Abu Ketel Industri Gula sebagai Aditif
Membran Polisulfon untuk Menangani Air Sungai Tercemar. Dibimbing oleh
SUPRIHATIN, NASTITI SISWI INDRASTI dan UDIN HASANUDIN.
Unsur mineral anorganik yang paling dominan dalam abu ketel adalah silika
(SiO2) dengan kadar maksimum hingga 70.97%. Silika pada abu ketel dapat
dimanfaatkan sebagai bahan aditif pembuatan membran polisulfon. Membran
polisulfon umumnya digunakan sebagai media pengolahan air dan air limbah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik dan kinerja membran
polisulfon dengan aditif nanosilika dan mengkaji pengaruh penambahan
nanosilika pada membran polisulfon terhadap kualitas air yang dihasilkan. Pada
penelitian ini dilakukan pembuatan membran nanosilika dari abu ketel dengan
variasi massa nanosilika yaitu 0%, 1%, 3% dan 5% (b/b).
Hidrofilisitas dan porositas membran diuji menggunakan metode water
uptake, analisis gugus fungsi dilakukan menggunakan spektrofotometer Fourier

Transform Infrared (FTIR) pada daerah bilangan gelombang 500-3500 cm-1.
Karakterisasi morfologi membran pada permukaan dan penampang melintang
membran dianalisis dengan Scanning Electron Microscope (SEM). Kinerja
membran diukur dengan parameter uji berupa Fluks, COD, warna, kekeruhan,
logam berat, dan total mikroorganisme.
Nilai hidrofilisitas terbaik ditunjukkan oleh membran nanosilika 3% dengan
nilai 183.33%. Hasil FTIR menunjukkan bahwa penambahan nanosilika tidak
mempengaruhi gugus fungsi membran Polisulfon. Hasil SEM menunjukan
membran dengan penambahan nanosilika 5% memiliki pori-pori yang seragam
dan merata. Pengukuran COD menunjukkan membran dengan penambahan
nanosilika sebanyak 3% mampu menurunkan kadar COD pada sampel hingga
8mg/l. Membran dengan penambahan nanosilika 5% mampu merejeksi warna dan
kekeruhan masing-masing sebesar 95.90% dan 67.57%. Pengujian logam berat
dilakukan menggunakan atomic absorption spectroscopy dengan parameter uji
berupa Mn, Fe dan Zn menunjukkan membran polisulfon dengan penambahan
nanosilika sebanyak 3% dan 5% memiliki hasil terbaik. Pengukuran kandungan
mikroba dengan parameter uji e-coli dan total coliform menunjukan sampel yang
telah melewati membran tidak mengandung mikroba.
Kata kunci: aditif nanosilika, membran, polisulfon, air sungai tercemar


SUMMARY
ELSA WINDIASTUTI. Nanosilica of boiler ash Sugar Industry as polysulfone
membrane additive to Treat Polluted River Water. Supervised by Suprihatin,
Nastiti Siswi Indrasti and Udin Hasanudin.
Most dominant inorganic mineral element in the boiler ash is silica
(SiO2) with maximum concentration of up to 70.97%. Silica in boiler ash can be
used as additives for polysulfone membrane manufacturing. Polysulfone
membrane is generally used as a medium for water and wastewater treatment. The
observation of this study was proposseid to assess the characteristics and
performances of polysulfone membrane with nanosilica addition and examine the
effect of adding nanosilica on polysulfone membrane on the quality of treated
water. In this research, the manufacturing process of nanosilica membranes of
boiler ash is done by performing nanosilica mass variations of 0%, 1%, 3%, and
5%.
Hydrophilicity and porosity of the membrane was tested using water
uptake method, functional group was analyzed using a Fourier Transform Infrared
(FTIR) spectrophotometer in wave range of 500-3500 cm-1. Morphological
characterization of membrane on the surface and the cross section was analyzed
by Scanning Electron Microscope (SEM). Membrane Performance was measured
with test parameters such as Flux, COD, color, turbidity, heavy metals, and total

microorganisms.
Best number of hydrophilicity membrane shown by 3% nanosilica with
a value of 183.33%. FTIR results showed that the nanosilica addition did not
affect polysulfone membrane’s functional group. SEM results showed membrane
with the addition of 5% nanosilica had uniform size pores and evenly spread pore.
COD measurement showed nanosilika membrane with the addition of 3% could
reduce levels of COD in the sample up to 8 mg/l. Membranes with the addition of
5% nanosilika was able to reduce color and turbidity 95.90% and 67.57%
respectively. Heavy metals testing was performed using atomic absorption
spectroscopy with test parameters such as Mn, Fe and Zn showed polysulfone
membrane with nanosilika addition of 3% and 5% have the best results.
Measurements of microbial content of the test parameters of e-coli and total
coliform indicated samples that had passed through the membrane did not contain
microbes.
Keywords: additive nanosilica, membranes, polysulfone, river water polluted

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

NANOSILIKA ABU KETEL INDUSTRI GULA SEBAGAI
ADITIF MEMBRAN POLISULFON UNTUK MENANGANI
AIR SUNGAI TERCEMAR

ELSA WINDIASTUTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Mohammad Yani, M. Eng

Judul Penelitian

: Nanosilika Abu Ketel Industri Gula sebagai Aditif
Membran Polisulfon untuk Menangani Air Sungai
Tercemar

Nama

: Elsa Windiastuti

NRP

: F35140121

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

'

Prof Dr. -Ing. Ir.Suprihatin
Ketua

� lj
i Indrasti

Pro. Dr. Ir. N

Prof Dr. Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.T.

Anggota

Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Pro. Dr. Ir. Machfud, MS
P. 195103211978031 0 03

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

1 6 FER 2017

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2016 ini ialah
pemanfaatan limbah abu ketel industri gula, dengan judul Nanosilika Abu Ketel
Industri Gula sebagai Aditif Membran Polisulfon untuk Menangani Air Sungai
Tercemar.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Suprihatin, Ibu Prof

Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti dan Bapak Prof Dr Ir Udin Hasanudin M.T selaku
pembimbing. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bakrie Center
Foundation yang telah memberikan beasiswa melalui Program Bakrie Graduate
Fellowship. Terima kasih kepada LPPM-IPB dan KEMENRISTEKDIKTI karena
telah mendukung penelitian ini melalui skema Hibah Kompetensi. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada teknisi Laboratorium DIT dan TML
Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB yang telah membantu proses
penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, dan dengan ini penulis melimpahkan
seluruh hak cipta kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Februari 2017
Elsa Windiastuti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
3

3

2 METODE
Waktu dan Tempat
Alat
Bahan
Metode penelitian
Rancangan Percobaan
Prosedur Penelitian
Pembuatan Membran Polisulfon
Karakterisasi Membran
Analisis Gugus Fungsi

4
4
4
4
4
5
5
5
6
6

Morfologi Membran

7

Hidrofilisitas Membran dan Porositas

7

Pengujian Kinerja Membran
Pengoperasian Reaktor Dengan Aliran Cross Flow

7
7

Penentuan Fluks Air dan Koefisien Permeabilitas

8

Analisis Kadar COD Air Sungai

9

Pengukuran Rejeksi Zat Warna dan Kekeruhan

9

Analisis Logam Berat

10

Analisis Mikroorganisme Air

10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Membran Polisulfon
Pengaruh Konsentrasi Aditif Nanosilika Terhadap KarakteristikMembran
Pengaruh Konsentrasi Aditif Nanosilika terhadap Kinerja Membran
Fluks

11
11
13
15
16

Penurunan Kadar COD Air Sungai Tercemar

20

Warna dan Kekeruhan

21

Logam Berat

24

Mikrobiologi (total coliform dan total E.coli)

26

Rekomendasi Industri Gula

26

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

28
28
28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1 Komposisi larutan cetak (dope)
2 Karakterisasi air sungai sebelum filtrasi
3 Hasil pengukuran kadar COD (mg/l)
4 Kelas baku mutu air sungai COD (batas maksimum dalam mg/l)
5 Hasil Penurunan Koefesien Rejeksi Warna dan Kekeruhan
6 Hasil Penurunan Logam Berat
7 Kelas baku mutu air sungai pada parameter logam berat
8 Hasil Uji Mikrobiologi

6
16
20
20
22
24
24
26

DAFTAR GAMBAR
1 Ilustrasi tahapan penelitian
5
2 Alat filtrasi aliran silang (cross-flow filtration)
8
3 Penampakan larutan dope (a) tanpa aditif (b) dengan aditif nanosilika
11
4 Penampakan membran
12
5 Hasil SEM membran (a) tanpa aditif (b) dengan aditif 1% (c) dengan
aditif 3% (d) dengan aditif 5%
12
6 Pengujian FTIR Polisulfon dengan aditif nanosilika
14
7 Pengaruh konsentrasi nanosilika terhadap water uptake
14
8 Ilustrasi aliran Cross Flow
16
9 Hubungan waktu filtrasi pada tekanan 0.8 bar dengan fluks yang dihasilkan 16
10 Hubungan waktu filtrasi pada tekanan 1.6 bar dengan fluks yang dihasilkan 18
11 Hubungan waktu filtrasi pada tekanan 2.4 bar dengan fluks yang dihasilkan 18
12 Skema pembentukan lapisan gel dan fouling
19
13 Perubahan warna membran (a) sebelum filtrasi (b) setelah filtrasi
20
14 Hubungan konsentrasi nanosilika dengan koefesien rejeksi warna
22
15 Hubungan konsentrasi nanosilika dengan koefesien rejeksi warna
23

16 Regresi Logam Berat

25

DAFTAR LAMPIRAN
1 Proses pembuatan nanosilika dengan metode hidrotermal
2 Nilai Total Suspended Solid
3 Perhitungan water uptake dan analisis ragam water uptake pada
selang kepercayaan 95% dan 99%
4 Perhitungan Fluks dan analisis ragam fluks dengan tekanan 0.8 bar,
1.6 bar dan 2.4 bar pada selang kepercayaan 95% dan 99%
5 Perhitungan COD dan analisis ragam COD pada selang kepercayaan
95% dan 99%
6 Perhitungan warna, Koefesien rejeksi warna dan analisis ragam
warna serta analisis ragam koefesien rejeksi warna pada selang
kepercayaan 95% dan 99%
7 Perhitungan logam berat dan analisis ragam logam berat pada selang
kepercayaan 95% dan 99%

30
31
32
33
35

36
38

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam sangat
besar dan potensi yang tinggi bila dikembangkan. Salah satu komoditas
pertanian yang menjadi unggulan di Indonesia adalah tebu (Saccharum
officinarum L). Produksi gula di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 2 551
026 ton dengan luas areal lahan 469 227 ha, pada tahun 2014 produksi gula
Indonesia mencapai 2 632 242 ton dengan luas area lahan sebesar 477 881
ha ( Dirjen perkebunan 2014). Perkebunan tebu tersebut tersebar di
Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
(Witono 2003). Proses produksi gula menghasilkan produk utama berupa
gula pasir serta produk sampingan berupa tetes tebu yang menjadi ba han
baku untuk memproduksi alkohol, spirtus, dan penyedap masakan. Selain
itu, produksi gula akan menghasilkan berbagai limbah cair, padat, dan gas
yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Salah satu limbah yang dihasilkan dari produksi gula adalah bagasse.
Bagasse merupakan limbah padat yang dihasilkan dari produksi gula pada
unit penggilingan tebu atau dikenal dengan ampas tebu. Jumlah bagasse
yang semakin meningkat di area pabrik mengakibatkan pencemaran
lingkungan. Saat ini industri gula di Indonesia telah memanfaatkan bagasse
sebagai bahan bakar boiler untuk menghasilkan steam selama proses
produksi. Namun, baggase yang telah dimanfaatkan tetap menghasilkan
limbah dari proses pembakaran tersebut yang disebut abu ketel. Abu ketel
yang dihasilkan dari proses pembakaran sekitar 3% dari berat tebu perhari
(Huda 2012). Berdasarkan data dari Dirjen Perkebunan tentang produksi
tebu tahun 2014, bila seluruh industri di Indonesia pada tahun 2014
memanfaatkan bagasse sebagai bahan bakar boiler akan menghasilkan abu
ketel sebanyak 929 026.6 ton dari berat tebu yang diolah.
Pemanfaatan abu ketel saat ini terbatas sebagai bahan dasar
pembuatan pupuk organik dan urugan (Paramita, 2002). Anggelina et al
(2015), Hutasoit (2011) memanfaatkan abu ketel sebagai bahan pengganti
semen dalam pembuatan batako. Prianti et al (2015) memanfaatkan abu
ketel sebagai pengganti parsial pasir pada pembuatan batako. Hanafi dan
Nandang (2010) memanfaatkan abu ketel sebagai bahan dalam pembuatan
keramik. Unsur mineral anorganik yang paling dominan dalam abu ketel
adalah silika (SiO2) dengan kadar maksimum hingga 70.97% (Hernawati
dan Indarto 2010). Ukuran partikel yang seragam dan homogen dalam skala
nano sangat penting, baik dalam bidang sains maupun dalam aplikasi
industri, seperti: katalis, pigmen, farmasi, (Zawrah et al. 2009), obat-obatan,
kosmetik, dan makanan (Nabeshi et al. 2011). Salah satu material yang
menjadi perhatian mendalam para peneliti adalah nanopartikel silika (SiO2).
Hal ini disebabkan karena nanopartikel silika memiliki kestabilan yang baik,
inert secara kimia, bersifat biokompatibel yang mampu bekerja selaras
dengan sistem kerja tubuh, dan membentuk sperik tunggal (Yuan et al.
2010). Proses sintesis nanosilika abu ketel industri gula menggunakan

2
metode hidrotermal dengan temperatur 152.67oC dan waktu sintesis selama
6 jam menghasilkan ukuran partikel sebesar 276.288nm dan nilai PDI
sebesar 0.189642 (Qisti et al. 2016).
Selain itu, isu pencemaran lingkungan menjadi perhatian besar
terutama masalah air. Sumber utama pencemaran air umumnya berasal dari
domestik berupa sisa buangan dari rumah tangga maupun limbah industri,
serta sumber pencemaran lainnya. Pertumbuhan penduduk dan ekspansi
industri membuat pencemaran lingkungan menjadi perhatian serius,
terutama di negara berkembang seperti
Indonesia. Seiring dengan
perkembangan teknologi, pemisahan air dengan membran filtrasi
berkembang pesat pada berbagai industri dikarenakan konsumsi energi yang
rendah dan faktor lingkungan. Teknologi membran dapat menggantikan
pengolahan air limbah secara kimia dalam mengurangi biaya dan
penggunaan bahan kimia, serta menghasilkan efluen yang lebih bersih untuk
pembuangan ataupun untuk daur ulang.
Membran yang umum diaplikasikan dalam pengolahan air dan air
limbah adalah membran polisulfon (Psf). Membran polisulfon dipilih karena
memiliki stabilitas mekanik, termal, dan kimia yang baik. Karakteristik Psf
yang hidrofobik menyebabkan partikel atau molekul hidrofobik dapat
teradsorb pada permukaan membran. Dalam penelitian ini dilakukan
pemanfaatan nanosilika abu ketel sebagai bahan aditif membran filtrasi.
Membran filtrasi nanosilika yang dihasilkan digunakan sebagai alat filter air.

Perumusan Masalah
Abu ketel memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki
ketersediaan yang cukup tinggi dan pemanfaatan yang belum maksimal.
Kandungan silika pada abu ketel dapat dimanfaatkan sebagai membran
filtrasi nanosilika. Membran filtrasi nanosilika dari abu ketel dapat
dimanfaatkan untuk memfilter air sungai yang tercemar berbagai unsur yang
dapat berpotensi menghambat pemanfaatannya serta mengganggu kesehatan
manusia.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji karakteristik membran polisulfon dengan aditif nanosilika.
2. Mengkaji pengaruh aditif nanosilika pada membran polisulfon
terhadap kinerja membran untuk aplikasi penanganan air sungai
tercemar. Parameter uji kinerja membran adalah fluks, kadar COD,
warna dan kekeruhan, kandungan logam berat serta kandungan
mikroba e-coli dan coliform.

3
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Diperoleh kondisi proses pembuatan membran dengan penambahan
nanosilika.
2. Diketahui kinerja membran untuk penanganan air sungai tercemar.
3. Menjadi sumber referensi baru bagi peneliti yang ingin memperdalam
kajian tentang membran nanosilika.
4. Memberikan stimulus kepada industri gula untuk memanfaatkan
limbah abu ketel menjadi membran nanosilika sebagai upaya
terciptanya industri gula terpadu dan sustainable.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Produksi membran nanosilika secara inversi fasa dengan penambahan
aditif nanosilika pada larutan dope polisulfon-dimetilformamida.
Membran yang dihasilkan berbentuk flat (lembaran).
2. Karakterisasi membran nanosilika meliputi analisis gugus fungsi
membran (Uji FTIR), daya serap air, dan uji SEM (Scanning Electron
Microscope).
3. Pengujian membran dengan aliran cross flow meliputi fluks, kadar
COD, warna, kekeruhan, logam berat, dan mikroba e-coli dan
coliform

4

2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan dari bulan Maret – Mei 2016 Laboratorium
Teknik dan Manajemen Lingkungan TIP Fateta IPB. Laboratorium Studi
Biofarmaka IPB untuk analisis FTIR, Laboratorium Zoologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia-Cibinong untuk analisis SEM.

Alat
Alat-alat yang digunakan adalah neraca analitik, hotplate yang
dilengkapi dengan pengaduk magnetik (magnetic stirrer), mikrometer
sekrup, modul penyaringan aliran silang (crossflow filtration), alat
pengering (oven), spektrofotometer Hach, spektrofotometer Fourier
Transform Infrared (FTIR) Brucker Tensor 27, Scanning Electron
Microscope (SEM) JSM-5000, peralatan gelas serta peralatan membuat
membran.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah Polisulfon (Psf) dengan berat
molekul 35 kDa dari Sigma-Aldrich digunakan sebagai polimer dasar (base
polymer) membran. Dimetilformamida (DMF) dari Merck, Jerman
digunakan sebagai pelarut dalam larutan cetak (dope). Akuades, nanosilika
dari abu ketel yang diproduksi menggunakan metode hidrotermal (Lampiran
1), air sungai, dan bahan-bahan analisis lainnya.

Metode penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pembuatan
membran polisulfon dengan tambahan aditif nanosilika, tahap karakterisasi
dan uji kinerja membran. Kinerja membran diukur dengan parameter uji
berupa fluks, penurunan nilai COD, penurunan logam berat, warna dan total
mikroba e-coli dan coliform. Air sungai yang digunakan adalah air Sungai
Cihideung. Air sungai ini biasa digunakan oleh warga sekitar sebagai
sumber air. Tahapan penelitian yang dilakukan diilustrasikan pada Gambar
1.

5
Pembuatan membran
secara inversi fasa

Nanosilika
(0, 1, 3, 5%)

Membran
polisulfon

Karakterisasi membran

Pengujian kinerja membran

Pengolahan data
Gambar 1 Ilustrasi tahapan penelitian

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap (RAL). Faktor yang diteliti adalah konsentrasi
nanosilika, terdiri atas empat taraf perlakuan yaitu penambahan konsentrasi
nanosilika sebanyak 0%, 1%, 3%, dan 5% (b/b nanosilika).
Model linier dari percobaan adalah sebagai berikut:

Yij     i   ij
dengan i = 0, 1, 3, 5% dan j = 1, 2
Yij

=


τi
ij

=
=
=

Hasil pengamatan karakteristik membran pada konsentrasi
nanosilika ke-i dan ulangan ke-j
Rataan umum
Pengaruh konsentrasi nanosilika ke-i
Pengaruh acak pada konsentrasi nanosilika ke-i dan ulangan kej

Prosedur Penelitian
Pembuatan Membran Polisulfon
Membran polisulfon dibuat secara inversi fasa. Polisulfon
dilarutkan dengan Dimetilformamida (DMF) di dalam erlenmeyer tertutup
dan dibiarkan selama ± 16 jam sampai kristal polisulfon larut sempurna.
Dalam mengkaji pengaruh dari aditif, maka nanosilika ditambahkan pada

(1)

6
larutan DMF 85% untuk menjaga konsentrasi pelarut dan aditif tetap seperti
ditunjukkan pada Tabel 1. Selanjutnya, larutan diaduk dengan pengaduk
magnetik hingga homogen dan transparan selama 3 jam pada suhu kamar.
Kemudian nanosilika dimasukan kedalam larutan dan diaduk dengan
pengatuk magnetik hingga homogen selama 30 menit.

Kode membran
Psf-N0
Psf-N1
Psf-N3
Psf-N5

Tabel 1 Komposisi larutan cetak (dope)
Komposisi larutan dope (% b/b)
Polisulfon
Dimetilformamida
Nanosilika
15
85
0
14
85
1
12
85
3
10
85
5

Larutan dibiarkan selama 2 jam pada kondisi kamar sebelum
pencetakan membran (casting) untuk menghilangkan gelembung udara.
Larutan dituangkan ke plat kaca kemudian diratakan dengan batang
pengaduk dengan ketebalan ± 200-300 μm. Pelarut dibiarkan menguap
selama 30 detik dalam ruang dengan kelembaban terkontrol. Selanjutnya,
membran direndam dalam bak koagulasi yang berisi non pelarut yaitu air
pada suhu kamar (proses demixing).
Setelah beberapa menit, membran akan terpisah dari plat kaca dan
membentuk lembaran membran. Membran yang telah dicetak, dicuci dengan
air mengalir dan dikeringkan. Selanjutnya dipotong berbentuk lingkaran
dengan diameter 5 cm dan diukur ketebalannya. Membran disimpan dalam
akuades sebelum dikarakterisasi. Karakterisasi membran meliputi
pengukuran fluks air dan permeabilitas, hidrofilisitas, SEM, FTIR dan uji
kinerja membran.

Karakterisasi Membran
Analisis Gugus Fungsi
Analisis gugus fungsi dilakukan menggunakan spektrofotometer
Fourier Transform Infrared (FTIR) pada daerah bilangan gelombang 4004000 cm-1. Sebelum dianalisis, sampel dikeringkan dalam oven pada 60 oC
selama 24 jam. Kemudian sampel dijadikan serbuk dan dihomogenkan
dalam KBr sehingga terbentuk pelet KBr.
Sebelumnya spektrofotometer FTIR dinyalakan dan dibiarkan
selama beberapa saat terlebih dahulu. Langkah awal yang dilakukan adalah
mencari spektrum dari udara atau pelarut yang digunakan yang difungsikan
sebagai background. Setelah mendapatkan background, data tersebut
disimpan sebagai acuan. Kemudian preparat yang telah diolesi sampel
dimasukkan ke dalam sample holder pada alat FTIR. Selanjutnya alat
dioperasikan sampai didapatkan suatu spektrum dari sampel (Purwanto
2013).

7
Morfologi Membran
Karakterisasi morfologi membran pada permukaan dan penampang
melintang membran dianalisis dengan Scanning Electron Microscope
(SEM) tipe JSM-5000. Sampel membran dipotong berukuran 0.5 x 0.5 cm2,
kemudian dicelupkan dengan nitrogen cair selama 60 sampai 90 detik
sehingga membran menjadi beku. Selanjutnya membran yang membeku
dipatahkan dan ditempelkan pada wadah cuplikan (brass disk) dengan
bantuan selotip. Membran dilapisi dengan emas dan dimasukkan ke dalam
chamber. Setelah itu permukaan membran dapat diamati melalui electron
microscopy dan diambil fotonya. Gambar yang diambil adalah gambar pada
bagian permukaan dan penampang lintang dengan pembesaran 1000 kali,
tegangan 20 kV dan arus sebesar 30 mA.
Hidrofilisitas Membran dan Porositas
Hidrofilisitas membran dapat diketahui dari hasil pengukuran water
uptake. Pada pengujian water uptake, sampel membran dipotong berukuran
1 x 1 cm2. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 24 jam
kemudian ditimbang sebagai Wkering. Setelah kering, sampel direndam dalam
air deionisasi pada suhu ruang selama 24 jam. Selanjutnya, membran
dikeluarkan dan dikeringkan dengan kertas saring lalu ditimbang sebagai
Wbasah (Handayani 2008). Perhitungan water uptake menggunakan rumus:
(2)
basah
kering
a
a
kering

dengan Wbasah adalah berat membran setelah direndam dalam air dan Wkering
adalah berat membran setelah dikeringkan.
Pada pengukuran porositas membran, membran basah dan
membran kering ditimbang masing-masing sebanyak tiga kali. Kemudian
diukur diameter dan ketebalan masing-masing membran dengan mikrometer
sekrup (Saiful et al. 2013). Porositas membran (ε) ditentukan menggunakan
persamaan:
(3)
basah - kering
Porositas (ε) =
basah

Pengujian Kinerja Membran
Pengoperasian Reaktor Dengan Aliran Cross Flow
Membran yang akan digunakan untuk pengujian diletakkan di
dalam reaktor cross flow. Berikutnya air sungai tercemar dialirkan ke dalam
reaktor. Sebanyak 10 L air sungai tercemar dipompa menuju ke membran,
kemudian tekanan ditambahkan dengan menutup valve dengan perlahan
sampai tekanan pada pressure gauge menunjukkan angka 0.8, 1.6 dan 2.4
atm. Tekanan diperbesar dengan memperkecil permukaan pada pipa yang
dilewati air sungai dengan cara memutar valve. Maka tekanan sebelum
membran lebih besar dari pada tekanan setelah membran, sehingga air
limbah akan mengalir ke bawah menembus membran dan aliran yang lain
melewati membran sehingga polutan yang tidak tersaring mengalir menjadi

8
konsentrat dan kembali ke bak awal penampung. Pengujian membran dalam
reaktor dilakukan selama 30 menit untuk setiap variasi dan permeat diambil
setiap 5 menit.
Penentuan Fluks Air dan Koefisien Permeabilitas
Pada pengukuran fluks, dilakukan proses kompaksi dengan
mengalirkan akuades melewati membran selama 30-40 menit yang
bertujuan agar struktur pori dalam membran menjadi lebih rapat dan stabil.
Setelah proses kompaksi, akuades diganti dengan air sungai tercemar.
Perlakuan tersebut diulangi pada masing-masing membran. Penentuan fluks
air dilakukan dengan filtrasi akuades melalui alat filtrasi crossflow (Gambar
2). Membran berbentuk lingkaran dimasukkan ke dalam modul penyaringan
aliran silang dengan luas efektif membran 12.56 cm2 dan bekerja pada
tekanan trans membran (TMP) 0.6, 1.8, dan 2.4 bar. Permeat ditampung
dalam gelas ukur, kemudian diukur volumenya setiap 5 menit. Fluks adalah
jumlah volume permeat yang melewati tiap satuan luas permukaan
membran dalam waktu tertentu dengan adanya gaya dorong tekanan.
Perhitungan fluks menggunakan rumus:
J=

(4)
t

dengan J adalah fluks (L/m2.jam), V adalah volume permeat (L), A adalah
luas permukaan membran (m2), dan t adalah waktu (jam).

Gambar 2 Alat filtrasi aliran silang (cross-flow filtration)
Permeabilitas membran merupakan ukuran kecepatan dari suatu
spesi atau konstituen menembus membran. Hasil uji fluks yang dialurkan
terhadap tekanan (∆P) dipakai untuk menentukan permeabilitas (Mulder
1996), seperti persamaan di bawah ini:
(5)
p ∆P

9
dengan Lp = koefisien permeabilitas (L/m2.jam.atm); dan ΔP perubahan
tekanan. Nilai permeabilitas membran (Lp) ditentukan dengan cara membuat
grafik antara nilai fluks ( ) sebagai sumbu Y dan TMP (ΔP) sebagai sumbu
X. Kemiringan atau slope dari grafik adalah permeabilitas membran.
Analisis Kadar COD Air Sungai
Sampel sebanyak 10 mL dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250 mL,
kemudian ditambahkan 0.2 gram serbuk HgSO4. Selanjutnya ditambahkan 5
mL larutan kalium dikromat 0.25 N dan 15 mL pereaksi asam sulfat – perak
sulfat perlahan-lahan sambil didinginkan dalam air pendingin. Dipanaskan
menggunakan oven selama 2 jam pada suhu 150oC. Didinginkan sampai
temperatur kamar, ditambahkan indikator ferroin sebanyak 2 hingga 3 tetes,
dititrasi dengan larutan FAS (Ferro Ammonium Sulfat) 0.1 N hingga warna
merah kecoklatan, dan dicatat kebutuhan larutan FAS. Selanjutnya
dilakukan langkah yang sama terhadap air suling sebagai blanko. Catat
kebutuhan larutan FAS (SNI 06-6989.15-2004).
(6)

Pengukuran Rejeksi Zat Warna dan Kekeruhan
Koefisien rejeksi adalah fraksi konsentrasi zat terlarut yang tidak
menembus membran. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan koefisien
rejeksi terhadap parameter warna dan kekeruhan agar dapat diketahui
membran yang memiliki kinerja terbaik. Efisiensi penyisihan warna dan
kekeruhan dilihat dari besarnya kemampuan membran dalam merejeksi
konsentrasi warna dan kekeruhan yang terkandung dalam sampel yang
dinyatakan dalam koefisien rejeksi. Semakin besarnya nilai koefisien rejeksi
maka semakin besar pula kemampuan membran untuk melakukan
penyisihan warna (Rachmawati dan Alia 2013). Menurut Mulder (1996)
koefisien rejeksi dihitung dengan rumus:
(7)
dengan R = Koefisien rejeksi (%) Cp = Konsentrasi zat terlarut dalam
permeat Cf = Konsentrasi zat terlarut dalam umpan.
Penentuan koefisien rejeksi dilakukan dengan menentukan
konsentrasi variasi limbah yang ditampung dengan menggunakan
spektrofotometer hach pada panjang gelombang 455 nm. Penentuan
koefisien rejeksi dilakukan dengan menentukan konsentrasi sebelum dan
sesudah melewati membran.
Kekeruhan dilihat pada konsentrasi ketidaklarutan, keberadaan
partikel pada suatu cairan yang diukur dalam satuan Formazin Turbidity
Units (FTU). Air sungai sebelum perlakuan dan permeat yang dihasilkan
dalam pengujian membran dengan reaktor cross flow kemudian diuji
kekeruhannya menggunakan alat turbidimeter. Dari konsentrasi awal dan
konsentrasi permeat dapat diketahui koefisien rejeksi dari kekeruhan dengan
persamaan (7).

10

Analisis Logam Berat
Pengujian logam berat dilakukan menggunakan Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS). Prinsip pengujian menggunakan AAS adalah
penentuan kadar Fe, Mn dan Zn didasarkan pada absorbsi cahaya oleh atom,
atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu,
tergantung pada sifat unsurnya. Spektrometri Serapan Atom (AAS) adalah
alat yang digunakan untuk menganalisis unsur-unsur logam dan metalloid
yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang
gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog et al.
2000).
Analisis Mikroorganisme Air
Metode yang digunakan untuk menghitung E.coli pada penelitian ini
adalah metode hitung cawan. Metode hitungan cawan merupakan salah satu
metode yang dapat digunakan untuk menguji kualitas air. Metode ini
merupakan metode yang paling sensitif untuk menentukan jumlah E.coli,
dengan prinsip jika sel mikroorganisme yang masih hidup ditumbuhkan
pada medium agar maka sel tersebut akan berkembang biak dan membentuk
koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung tanpa menggunakan
mikroskop (Fardiaz, 1992). Media yang digunakan pada metode ini adalah
agar EMB (Eosin Metylen Blue), bila terdapat bakteri E. coli pada sampel
akan terbentuk warna hijau terang pada media agar EMB.
Metode yang digunakan untuk menghitung bakteri Coliform ( Total
Colifrom) adalah metode MPN. Perhitungan MPN berdasarkan pada jumlah
tabung reaksi yang positif, yakni yang ditumbuhi oleh mikroba setelah
diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Pengamatan tabung yang positif
dapat dilihat dengan mengamati timbulnya kekeruhan atau terbentuknya gas
di dalam tabung kecil (tabung durham) yang diletakan terbalik, yaitu
mikroba yang membentuk gas (Waluyo, 2008). Untuk menguji sifat itu
diperlukan beberapa tahap pengujian yaitu uji pendugaan dan uji penegasan.

11

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Membran Polisulfon
Proses pembuatan membran polisulfon (Psf) dilakukan menggunakan
metode inversi fasa yang mencakup teknik presipitasi imersia dengan
presipitasi terendam. Teknik ini dipilih karena memiliki kelebihan berupa
mudah, murah dan reprodusibel (Panda dan De 2014). Pada proses
presipitasi, larutan polimer yang homogen akan membentuk lapisan padat
yang terdiri dari dua bagian lapisan yaitu, terbentuk lapisan dense pada
permukaan membran disebabkan karena struktur rapat tak berpori dan
struktur berpori yang membentuk lapisan pendukung di bagan bawah
membran (Setiawan 2015). Membran yang dihasilkan tersebut merupakan
membran asimetrik (Setiawan 2015). Proses pembuatan larutan dope
dilakukan dengan cara melarutkan polimer Psf kedalam erlenmeyer tertutup
yang berisi pelarut dimetilformamida. Polimer Psf larut selama ±16 jam
dalam pelarut pada suhu ruang. Pengadukan menggunakan magnetik stirer
tanpa pemanasan dilakukan selama ±3 jam hingga polimer Psf larut
sempurna. Larutan dope yang telah larut sempurna didiamkan selama 1 jam
untuk menghilangkan gelembung udara yang terperangkap didalam larutan.
Setelah polimer Psf larut sempurna, larutan ditambahkan nanosilika sesuai
variasi perlakuan dan diaduk selama ± 30 menit hingga larutan homogen.

(a)
(b)
Gambar 3 Penampakan larutan dope (a) tanpa aditif (b) dengan aditif
nanosilika
Penambahan nanosilika dan pengadukan dilakukan sangat hati-hati
untuk menghindari terbentuknya gelembung udara didalam larutan.
Penghilangan gelembung udara bertujuan agar tidak terbentuk lubang pada
membran yang dihasilkan. Terjadi perubahan warna pada larutan dope
setelah dilakukan penambahan nanosilika, perubahan warna tersebut dari
bening menjadi putih keruh seperti ditunjukan pada Gambar 3. Peningkatan

12
konsentrasi nanosilika mengakibatkan kekeruhan larutan dope semakin
meningkat pula, namun berbanding terbalik dengan viskositas larutan dope.
Larutan dope yang telah homogen dituangkan pada plat kaca yang
telah diberi cetakan pada ujung-ujungnya, kemudian diratakan
menggunakan batang pengaduk dengan ketebalan ± 200-3 μm. Pelarut
dibiarkan menguap selama 30 detik dalam ruangan dengan kelembaban
terkontrol. Selanjutnya, membran direndam dalam bak koagulasi yang berisi
non pelarut yaitu air pada suhu kamar (proses demixing). Setelah beberapa
menit, membran akan terpisah dari plat kaca dan membentuk lembaran
membran. Membran yang telah dicetak, dicuci dengan air mengalir dan
dikeringanginkan . Selanjutnya dipotong berbentuk lingkaran dengan
diameter 4.5 cm dan diukur ketebalannya. Membran disimpan dalam
akuades sebelum dikarakterisasi.

Gambar 4 Penampakan membran
Membran yang dihasilkan berwarna putih (Gambar 4) tetapi terdapat
perbedaan pada membran tanpa aditif dan membran dengan aditif nanosilika.
Membran tanpa aditif bersifat lebih kaku sedangkan membran dengan aditif
lebih fleksibel. Lapisan aktif dan lapisan penyangga (pasif) pada membran
lebih mudah dibedakan pada membran dengan aditif nanosilika. Membran
tanpa aditif pada kondisi kering, sisi pasif pada membran lebih mengkilap
dan licin dibandingkan sisi aktif. Sedangkan membran dengan aditif
nanosilika pada sisi aktif membran dapat dirasakan butiran-butiran
nanosilika yang ditambahkan. Perbedaan sisi aktif dan pasif juga dilaporkan
pada penggunaan aditif lain seperti carbon nanotube (Celik et al. 2011;
Vatanpour et al. 2011) dan Lithium hidroksida (Saputra 2015). Pada proses
demixing, aditif secara spontan berpindah ke lapisan interfasa antara
polimer-air untuk mengurangi energi interfasa. Sebagian aditif akan
terperangkap pada lapisan interfasa sehingga menganggu proses difusi
pelarut-air dan memberikan kesempatan pada pembentukan lapisan tipis
mengkilap pada sisi pasif.

13
Pengaruh Konsentrasi Aditif Nanosilika Terhadap Karakteristik
Membran
Karakteristik membran sangat dipengaruhi oleh konsentrasi aditif
yang digunakan. Pori membran tanpa aditif yang terbentuk sangat
ditentukan dengan konsentrasi polimer yang digunakan (Mulder 1996;
Rosnelly 2010). Hasil yang didapat dari analisis SEM pada membran
polisufon tanpa penambahan nanosilika (Psf-N0) memiliki ukuran pori
3.08μm, untuk membran dengan aditif nanosilika 1% (Psf-N1) memiliki
ukuran 3.17μm, membran dengan aditif nanosilika 3% (Psf-N3) memiliki
ukuran 3.36μm, dan membran dengan aditif nanosilika 5% (Psf-N5)
memiliki ukuran 3.59μm.

(a)

(b)

(c)
(d)
Gambar 5 Hasil SEM membrane (a) Psf-N0 (b) Psf-N1 (c) Psf-N3 (d) Psf-N5
Hasil SEM pada permukaan membran Polisulfon dengan aditif
nanosilika menunjukkan aditif berpengaruh terhadap ukuran dan distribusi
pori. Gambar 5 menunjukkan ukuran pori tidak seragam, distribusi pori
pada lapisan intermediat, dan penumpukan polimer yang lebih sedikit. Pada
membarn Psf-N0 terlihat adanya penumpukan polimer yang disebabkan
karena proses casting membran yang dilakukan secara manual, serta proses
melarutkan polimer tidak terjadi secara sempurna. Membran Psf-N5

14
memiliki ukuran pori yang lebih besar dan distribusi pori lebih merata. Pada
Gambar 5d dapat dilihat bahwa distribusi nanosilika pada pori membran
sangat merata, sehingga menyebabkan pori bagian dalam tertutupi
nanosilika. Hal ini senada dengan laporan penelitian yang dilakukan oleh
Saputra (2015) dan Suprtihatin et al. (2015) bahwa penambahan aditif
berkontribusi terhadap ukuran dan distribusi pori pada membran. Selain itu,
nanosilika menyebar merata pada pori-pori membran. Semakin rapat dan
teratur pori-pori membran maka semakin bagus membran tersebut untuk
peoses penyisihan warna (Rachmawati dan Alia 2013) hal ini dikarenakan
penambahan nanosilika mempengaruhi sifat fisik membran. Hasil tersebut
didukung dengan hasil pengujian FTIR yang menunjukan tidak terdapat
perubahan gugus fungsi antara membran tanpa aditif dengan membran
dengan aditif nanosiika. Analisis gugus fungsi membran polisulfon
menunjukan adanya gugus sulfon yang teridentifikasi pada bilangan
1169.73cm-1 menunjukan gugus asimetrik O=S=O dari gugus tersulfonasi
dan pada bilangan 1903.71cm-1 menunjukan gugus CH3 dari pelarut
Dimetilformamid. Menurut sulastri (2010) gugus silika terdapat pada pita
serapan 400cm-1, namun pada Gambar 6 tidak terdapat pita dengan panjang
gelombang 400cm-1.

Gambar 6 Hasil uji FTIR membran Psf-N5
Penambahan aditif nanosilika meningkatnya jumlah dan distribusi
pori pada lapisan selektif (Gambar 5). Hal ini mengakibatkan air lebih
mudah melewati membran sehingga fluks dan permeabilitas yang dihasilkan
semakin tinggi. Hidrofilisitas yang rendah pada membran tanpa aditif
seperti ditunjukan pada Gambar 7 disebabkan karena polisulfon memiliki
gugus aromatik pada struktur kimianya sehingga polisulfon bersifat
hidrofobik. Sedangkan pada membran dengan aditif nanosilika memiliki

15
hidrofilisitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan nanosilika memiliki sifat yang
hidrofilik. Penambahan nanosilika menyebabkan perubahan sifat
hidrofilisitas pada membran. Porositas yang rendah pada membran Psf-N0
seperti ditunjukkan Gambar 7 disebabkan adanya jeda waktu saat membran
setelah dicetak dan sebelum dimasukkan ke dalam bak koagulasi. Hal ini
didukung hasil SEM pada Gambar 5a, terdapat penumpukan polimer pada
permukaan membran dan pori tidak terlihat jelas. Porositas yang rendah
terutama pada lapisan selektif, menyebabkan fluks air yang dihasilkan
rendah. Nilai hidrofilisitas dan porositas berbanding lurus karena nilai
hidrofilik dipengaruhi oleh sebaran pori yang terdapat pada membran.

Gambar 7 Pengaruh konsentrasi nanosilika terhadap water uptake
Pada konsentrasi di atas 5%, terjadi penurunan nilai water uptake
yang disebabkan karena pori pada membran terlalu besar sehingga pada saat
pengeringan dengan kertas saring air yang terikat oleh nanosilika menguap.
Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 99% menunjukkan bahwa
konsentrasi aditif nanosilika berpengaruh nyata terhadap nilai water uptake
(Lampiran 3). Rata-rata water uptake tertinggi dengan penambahan
konsentrasi nanosilika 3% sebesar 183.3% sedangkan rata-rata water uptake
terendah pada penambahan konsentrasi 0% yaitu 33.3%. Dari hasil water
uptake, membran dengan penambahan nanosilika baik digunakan untuk
proses filtrasi karena water uptake-nya lebih dari 50% (Saputra 2015).
Berbeda dengan membran tanpa aditif nanosilika yang lebih cocok untuk
membran fuel cell dikarenakan water uptake-nya kurang dari 50% (Saputra
2015).

Pengaruh Konsentrasi Aditif Nanosilika terhadap Kinerja Membran
Membran yang digunakan untuk pengujian diletakkan di dalam
reaktor cross flow. Berikutnya air sungai tercemar dialirkan ke dalam
reaktor. Sebanyak 10 L air sungai tercemar dipompa menuju ke membran,

16
kemudian tekanan ditambahkan dengan menutup valve dengan perlahan
sampai tekanan pada pressure gauge menunjukkan angka 0.8, 1.6 dan 2.4
atm. Proses fitrasi diilustrasikan pada Gambar 8.
Tekanan diperbesar dengan memperkecil permukaan pada pipa yang
dilewati air sungai dengan cara memutar valve. Maka tekanan sebelum
membran lebih besar dari pada tekanan setelah membran, sehingga air
limbah akan mengalir ke bawah menembus membran dan aliran yang lain
melewati membran sehingga polutan yang tidak tersaring mengalir menjadi
konsentrat dan kembali ke bak awal penampung.
Pengujian membran dalam reaktor dilakukan selama 30 menit
untuk setiap variasi dan permeat diambil setiap 5 menit. Sebelum dilakukan
proses filtrasi, air sungai terlebih dahulu dikarakterisasi. Karakterisasi air
sungai sebelum filtrasi tersaji pada Tabel 2.

Membran

Pompa cross flow

Permeat
Air Sungai Tercemar

Gambar 8 Ilustrasi aliran Cross Flow
Tabel 2 Karakterisasi air sungai sebelum filtrasi
Parameter
Nilai
36mg/l
306 PtCo
56 FTU

COD
Warna
Kekeruhan
Logam Berat
- Fe
- Mn
- Zn
Mikroorganisme
- Ecoli
- Coliform

1.199 mg/l
0.209 mg/l
0.709mg/l
15 koloni
25 koloni

Fluks
Untuk mengetahui pengaruh aditif nanosilika terhadap kinerja
membran pada proses filtasi air sungai tercemar maka dilakukan variasi

17
TMP. Tekanan yang digunakan adalah 0.8 bar, 1.6 bar, dan 2.4 bar. Fluks
dapat diketahui dari jumlah volume permeat yang dihasilkan tiap satuan
luas permukaan membran dalam waktu tertentu dengan adanya gaya dorong
tekanan. Perhitungan fluks menggunakan rumus:
(8)
J=
t

dengan J adalah fluks (L/m2.jam), V adalah volume permeat (L), A adalah
luas permukaan membran (m2), dan t adalah waktu (jam).

Gambar 9 Hubungan waktu filtrasi pada tekanan 0.8 bar dengan fluks
yang dihasilkan
Pada tekanan 0.8 bar, fluks yang dihasilkan membran tanpa aditif
pada lima menit pertama sama dengan nol (Gambar 9). Artinya pada saat
pengukuran tidak ada retentat yang keluar dari membran. Pada menit
selanjutnya nilai fluks membran tanpa penambahan aditif sangat rendah.
Fluks tertinggi yang dihasilkan tidak mencapai 1 L/m2h pada menit ke-20.
Membran dengan aditif nanosilika 5% memperoleh nilai fluks tertinggi pada
menit ke-25, yaitu sebesar 19.1 L/m2h. Hasil analisis ragam selang
kepercayaan 95% menunjukan bahwa aditif nanosilika pada membran
polisulfon berbeda nyata terhadap pengukuran fluks pada tekanan 0.8 bar
(Lampiran 4).
Gambar 10 menunjukan bahwa fluks yang dihasilkan membran
pada tekanan 1.6 bar dengan penambahan aditif nanosilika, lima menit
pertama memiliki nilai diatas 5 L/m2h. Berbeda dengan fluks yang
dihasilkan membran tanpa aditif pada lima menit pertama, yaitu 0.09 L/m2h.
Fluks tertinggi yang didapat membran tanpa aditif adalah 1.62 L/m2h pada
menit ke-30. Membran dengan aditif nanosilika 5% memperoleh nilai fluks
tertinggi pada menit ke-20, yaitu sebesar 21.87 L/m2h kemudian menurun
pada menit ke-25 sebesar 21.78 L/m2h. Hasil analisis ragam selang
kepercayaan 95% menunjukan bahwa aditif nanosilika pada membran
polisulfon berbeda nyata terhadap pengukuran fluks pada tekanan 1.6 bar
(Lampiran 4).

18

Gambar 10 Hubungan waktu filtrasi pada tekanan 1.6 bar dengan fluks yang
dihasilkan

Gambar 11 Hubungan waktu filtrasi pada tekanan 2.4 bar dengan fluks
yang dihasilkan
Perbandingan fluks pada tekanan 2.4 bar dapat dilihat pada Gambar
11. Fluks yang dihasilkan membran dengan penambahan aditif nanosilika
pada lima menit pertama diatas 5 L/m2h. Berbeda dengan fluks yang
dihasilkan membran tanpa aditif pada lima menit pertama, yaitu 0.28 L/m2h.
Fluks meningkat hingga menit ke-20 dengan nilai 1.71 L/m2h. Fluks
tertinggi yang didapat membran tanpa aditif adalah 1.91 L/m2h pada menit
ke-30. Membran dengan aditif nanosilika 5% memperoleh nilai fluks
tertinggi pada menit ke-25, yaitu sebesar 23.88 L/m2h kemudian menurun
pada menit ke-30 sebesar 8.21 L/m2h. Hasil analisis ragam selang
kepercayaan 99% menunjukan bahwa aditif nanosilika pada membran
polisulfon berbeda nyata terhadap pengukuran fluks pada tekanan 2.4 bar
(Lampiran 4).
Dari gambar 9, 10 dan 11 dapat dilihat bahwa semakin tinggi
tekanan yang diberikan pada membran, fluks yang dihasilkan semakin
tinggi pula. Pada pengukuran fluks, semakin tinggi tekanan yang diberikan

19
maka fluks akan meningkat. Menurut Mulder (1996), setelah mencapai
tekanan tertentu maka fluks tidak lagi meningkat meskipun tekanan
dinaikan. Fluks maksimum saat tekanan dinaikan namun fluks tidak
meningkat disebut limiting flux. Menurut Krawczyk et al.( 2011), perilaku
fluks yang non-linier sering terjadi pada proses ultrafiltrasi dan biasanya
berhubungan dengan terbentuknya lapisan gel. Transportasi zat terlarut dan
foulant terhadap permukaan membran meningkat akibat tekanan yang lebih
tinggi, hal tersebut memberikan kontribusi terhadap cepatnya pembentukkan
lapisan konsentrasi polarisasi. Pada saat yang sama, ketebalan lapisan
meningkat akibat peningkatan tekanan yang melibatkan koefisien
perpindahan massa dari tekanan transmembran yang mengatur proses filtrasi
(Sarkar et al. 2009).
Perubahan sifat hidrofobik menjadi hidrofilik pada membran
disebabkan karena penambahan aditif nanosilika. Perubahan hidrofilisitas
tersebut mempengaruhi peningkatan fluks dan permeabilitas membran.
Membran yang bersifat hidrofobik menyebabkan fluks dan permeabilitas
rendah karena air lebih sulit untuk masuk dan tidak terserap pada membran.
Peningkatan tekanan dari 0.8 bar sampai 2.4 bar menunjukan peningkatan
signifikan nilai fluks akibat gaya dorong. Hal ini disebabkan oleh
terbentuknya lapisan polarisasi konsentrasi, akumulasi kontaminan yang
dipertahankan pada permukaan membran mengakibatkan peningkatan
ketahanan terhadap perpindahan massa (Tahri et al. 2012). Menurut Hassani
et al. (2008), koefisien perpindahan massa akan meningkat pesat pada
tekanan tinggi dan konstan pada tekanan rendah. Akumulasi polutan pada
permukaan membran dapat mengakibatkan difusi padatan (makromolekul)
menurun dan meningkatkan tahanan sehingga terbentuk lapisan gel (Wenten
1999; Sharma dan Sarkar 2012). Skematik pembentukkan lapisan gel dan
mekanisme fouling yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Skema pembentukan lapisan gel dan fouling

20

Gambar 13 Perubahan warna membran (a) sebelum filtrasi (b) setelah filtrasi
Fouling membran disebabkan karena adanya adsorpsi polutan pada
permukaan membran, yang ditandai dengan perubahan warna membran
setelah filtrasi (Gambar 13). Adsorpsi terjadi karena adanya interaksi antara
polutan dengan gugus fungsional (fenil) dari polisulfon, serta adanya
adsorpsi dari nanosilika. Hal tersebut mengakibatkan terbentuknya lapisan
foulant yang meningkatkan resistansi (ketahanan) hidrolik dan
menyebabkan penurunan fluks. Hal ini juga terjadi pada penelitian yang
dilakukan Saputra (2015), Koyuncu (2002), Van der Bruggen et al. (2005),
Hassani et al. (2008) dan Wang et al. (2013). Pore blocking pada internal
pori membran disebabkan ukuran molekul
(b) polutan yang lebih kecil
dibandingkan
dengan
pori
membran.
Hal
ini
mengubah keefektifan dari
a)
diameter pori yang berakibat pada penurunan fluks pada membran.
Penurunan Kadar COD Air Sungai Tercemar
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen (mg O2)
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat dan organik yang terkandung
dalam air (mg/l) (Boyd 1990). Bahan organik yang terdapat pada sampel
sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium
bikromat (K2Cr2O7) pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak
sulfat (Boyd 1990; Metcalf dan Eddy 1991), sehingga bahan organik yang
terdapat pada sampel akan terurai.
Kode Membran
Tanpa Filtrasi
Psf-N1
Psf-N2
Psf-N3
Psf-N4

Tabel 3 Hasil pengukuran kadar COD (mg/l)
COD
% Penurunan COD
36
24
33,33
12
66,67
8
77,78
12
66,67

Tabel 4 Nilai COD berdasarkan kelas baku mutu air sungai (batas maksimum
dalam mg/l)
Kelas I
10
Kelas II
25
Kelas III
50
Kelas IV
100
Sumber: PP No 82 tahun 2001

21
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat
organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologis
dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Proses
penurunan kadar COD dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengalirkan air sungai tercemar pada membran dengan aliran cross flow.
Proses filtrasi menggunakan membran dilakukan untuk menyaring atau
menghalangi senyawa organik pada air sungai tercemar yang memiliki
ukuran molekul lebih besar dibanding ukuran pori-pori membran. Permeat
yang didapatkan ditampung dalam gelas ukur untuk diuji kadar CODnya.
Hasil analisis pengukuran kadar COD air sungai tercemar disajikan
pada Tabel 3. Penurunan kadar COD air sungai tercemar pada Tabel 3,
menurun sebanding dengan kenaikan massa nanosilika yang digunakan
sebagai bahan aditif membran Polisulfon. Penambahan massa silika
sebanyak 3% memiliki hasil penurunan COD terbaik dengan nilai 77.78%.
Sedangkan pada penambahan nanosiika sebanyak 5% penurunan kembali
meningkat, hal ini diseababkan karena pori-pori membran yang terbentuk
pada penambahan nanosilika 5% lebih besar dibandinkan dengan
penambahan 3%. Membran tanpa aditif nanosilika hanya mampu
menurunkan COD sebesar 33.33%. Hasil analisis ragam pada selang
kepercayaan 99% menunjukkan bahwa konsentrasi aditif nanosilika
berpengaruh nyata terhadap penurunan COD. Uji lanjut Tuckey dengan
selang kepercayaan 99% menunjukkan penurunan COD tidak berbeda nyata
dengan konsentrasi nanosiika.
Menurut Anwar dan Untung (2013), senyawa humik didalam air
memiliki ukuran antara 2 nm-2 mm. Penurunan nilai COD disebabkan
karena ukuran pori pada membran lebih kecil dibandingkan dengan ukuran
polutan pada air sungai sehingga polutan tidak dapat melewati membran.
Penambahan nanosilika mampu mempengaruhi ukuran dan sebaran pori
(Suprihatin et al 2015). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 82 (2001)
tentang kelas baku mutu air sungai (Tabel 4), dapat dilihat bahwa air sungai
awal masuk kedalam kelas III. Setelah diakukan filtrasi menggunakan
membran Psf-N3, air sungai berada pada kelas I untuk parameter COD.
Warna dan Kekeruhan
Koefisien rejeksi adalah fraksi konsentrasi zat terlarut yang tidak
menembus membran. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan koefisien
rejeksi terhadap pa