Sintesis dan Pencirian Nanosilika Berbahan Dasar Abu Ketel Industri Gula dengan Variasi Waktu Aging dan pH Presipitasi.

 

SINTESIS DAN PE
ENCIRIAN NANOS
SILIKA BERBAHA
B
AN DASAR
R
ABU KETEL
K
IN
NDUSTRI GULA DE
ENGAN VARIASI
V
W
WAKTU
A
AGING
DA
AN pH PR
RESIPITA

ASI

SASONGK
KO SETY
YO UTOM
MO

DE
EPARTEM
MEN TEKN
NOLOGI INDUSTRII PERTAN
NIAN
FAK
KULTAS TE
EKNOLOG
GI PERTA
ANIAN
IN
NSTITUT PERTANIIAN BOGO
OR

BOGOR
R
2015

 
 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sintesis dan Pencirian
Nanosilika Berbahan Dasar Abu Ketel Industri Gula dengan Variasi Waktu Aging dan
pH Presipitasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Sasongko Setyo Utomo
NIM F34110010

 

ABSTRAK
SASONGKO SETYO UTOMO. Sintesis dan Pencirian Nanosilika Berbahan Dasar
Abu Ketel Industri Gula dengan Variasi Waktu Aging dan pH Presipitasi. Dibimbing
oleh NASTITI SISWI INDRASTI dan ANDES ISMAYANA.
Abu ketel industri gula mengandung silika yang dapat disintesis menjadi nanosilika
menggunakan metode presipitasi. Paramater pH presipitasi dan waktu aging adalah
parameter yang sangat berpengaruh terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis nanosilika dari abu ketel industri gula
melalui metode presipitasi, mengetahui pengaruh dari variasi pH presipitasi dan
waktu aging terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan, dan memberikan
informasi terkait potensi aplikasi yang sesuai dengan sifat dan ciri nanosilika yang
dihasilkan. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu preparasi abu ketel,
ekstraksi silika dari abu furnace, dan sintesis nanosilika. Kandungan silika pada abu
ketel dan abu furnace secara berturut-turut adalah 49.69% dan 78.75%. Nanosilika
merupakan senyawa dengan sifat dan ciri multifase. Peningkatan pH presipitasi akan

meningkatkan jumlah fase kristal, puncak difraksi, dan intensitas puncak difraksi.
Peningkatan waktu aging akan meningkatkan intensitas puncak difraksi dan fase
kristal. Derajat kristalinitas memiliki range 66.397–93.530%, rata-rata ukuran kristal
memiliki range 37.772–56.867 nm, rata-rata ukuran partikel memiliki range 214.04–
698.24 nm, dan nilai PDI memiliki range 0.207–0.833. Peningkatan pH presipitasi
dan waktu aging akan meningkatkan jumlah gugus siloksan dan menurunkan jumlah
gugus silanol. Nanosilika memiliki beberapa potensi aplikasi yaitu sebagai komposit
membran elektrolit DMFC (Direct Methanol Fuel Cell), filler lapisan penyangga
tambahan membran komposit ultrafiltrasi, filler kompon karet rubber air bag
peluncur kapal dari galangan, filler resin komposit, dan sebagai SCM (Supplementary
Cementitious Material) untuk beton. 
Kata kunci : abu ketel, nanosilika, pH presipitasi, presipitasi, waktu aging

ABSTRACT

SASONGKO SETYO UTOMO. Synthesis and Characterization Nanosilica from
Boiler Ash Sugar Cane Industry with Aging Time and Precipitation pH Variation.
Supervised by NASTITI SISWI INDRASTI and ANDES ISMAYANA.
Boiler ash from sugar cane industry contains silica that was synthesized to nanosilica
using precipitation method. Precipitation pH and aging time are parameters that have

influenced to nanosilica characterization. The purpose of this research was to

 
 

synthesis nanosilica from boiler ash using precipitation method, determine the effect
of precipitation pH and aging time variation on the characterization of nanosilica,
determine the potential application based on characterization of nanosilica. The
research was consist of three stages, preparation of boiler ash, extraction silica from
furnace ash, and synthesis nanosilica. Boiler ash from sugar cane industry contained
49.69% silica and furnace ash contained 78.75% silica. Nanosilica was material or
compound that have multifase characterization. Increase precipitation pH would
increase amount of crystal phase, diffraction peak, and intensity of diffraction peak.
Increase aging time would increase intensity of diffraction peak and amount of crystal
phase. Degree of crystallinity has ranges 66.397–93.530%, average of crystal size has
ranges 37.772–56.867 nm, average of particle size has ranges 214.04–698.24 nm, and
PDI value has ranges 0.207–0.833. Increase precipitation pH and aging time would
increase amount of siloksane groups and decrease amount of silanol groups.
Nanosilica has potential application as a composit of electrolyte membrane DMFC
(Direct Methanol Fuel Cell), composit of addition support layer membrane

ultrafiltration, filler in ship rubber air bag, filler of composit resin, and SCM
(Supplementary Cementitious Material) for concrete.  
Key words : aging time, boiler ash, nanosilica, precipitation, precipitation pH

 

SINTESIS DAN PENCIRIAN NANOSILIKA BERBAHAN DASAR
ABU KETEL INDUSTRI GULA DENGAN VARIASI WAKTU
AGING DAN pH PRESIPITASI

SASONGKO SETYO UTOMO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

 
 

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Sintesis dan Pencirian Nanosilika Berbahan Dasar Abu Ketel
Industri Gula dengan Variasi Waktu Aging dan pH Presipitasi
: Sasongko Setyo Utomo
: F34110010
 

 
 


Disetujui oleh

Dr Ir Andes Ismayana MT
Pembimbing II

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Pembimbing I

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

 

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak Januari 2015 sampai April 2015 ini ialah nanopartikel,
dengan judul Sintesis dan Pencirian Nanosilika Berbahan Dasar Abu Ketel Industri
Gula dengan Variasi Waktu Aging dan pH Presipitasi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti dan
Bapak Dr Ir Andes Ismayana MT selaku pembimbing. Mega Erin Setiyawati sebagai
motivator dan penyemangat penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Di
samping itu teman seperjuangan dalam penelitian Ersyad Mafqoeh, Aji Wibowo, dan
Novi Dian Ruri Erlinda yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada
penulis. Ucapan terimakasih juga diucapkan untuk rekan-rekan TIN 48, Golongan P1,
ayah, ibu, serta keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilimiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2015

Sasongko Setyo Utomo

 
 


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat
Bahan
Prosedur Penelitian
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Abu Ketel dan Abu Furnace
Silika dari Abu Ketel
Sifat dan Ciri Nanosilika
Hasil Pencirian Nanosilika
Potensi Aplikasi Nanosilika
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
1
1
2
3
3
3
3
3
7
8
8
9
10
24
25
34
34
34
34
39

 

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kandungan senyawa abu ketel dan abu furnace PG Gunung
Madu Plantation
Sifat dan ciri silika presipitasi
Rata-rata dan range ukuran kristal nanosilika
Nilai PDI dan range ukuran partikel nanosilika
Rangkuman sifat dan ciri nanosilika presipitasi
Potensi aplikasi nanosilika

8
10
16
19
24
25

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Diagram alir proses preparasi abu ketel
Diagram alir ekstraksi silika dari abu furnace
Diagram alir sintesis nanosilika
Difraktogram nanosilika pH 7, pH 8, pH 9,dan pH 10 saat waktu aging
3 jam
5. Difraktogram nanosilika pH 7, pH 8, pH 9,dan pH 10 saat waktu aging
6 jam
6. Derajat kristalinitas nanosilika
7. Rata-rata ukuran partikel nanosilika
8. Distribusi ukuran partikel nanosilika pH 7, pH 8, pH 9,dan pH 10
saat waktu aging 3 jam
9. Distribusi ukuran partikel nanosilika pH 7, pH 8, pH 9,dan pH 10
saat waktu aging 6 jam
10. Spektra FTIR nanosilika (A) pH 10 dengan waktu aging 3 jam,

4
5
6
11
12
14
17
19
20
22

(B) pH 10 dengan waktu aging 6 jam, (C) pH 7 dengan waktu aging 3 jam,
(D) pH 7 dengan waktu aging 6 jam

11. Morfologi partikel nanosilika perbesaran (a) 100x , (b) 1000x, (c) 5000x,
dan (d) 10 000x

23

1
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan partikel berskala nano (nanopartikel) menjadi objek perhatian
bagi para peneliti (Hui et al. 2003). Melalui ukuran yang lebih kecil (orde nano),
proses penyusupan partikel-partikel akan lebih cepat dan merata sehingga struktur
partikel menjadi lebih solid, luas permukaan interaksi menjadi lebih besar, dan
partikel-partikel yang berinteraksi bertambah. Partikel nano akan memberikan
peningkatan interaksi permukaan dan berdampak pada meningkatnya kekuatan
mekanik, fisik, dan kimia dari material (Marlina et al. 2012). Salah satu nanopartikel
yang menjadi objek penelitian saat ini adalah nanosilika. Dalam beberapa aplikasi,
nanosilika digunakan sebagai adsorber, material pendukung katalis, semikonduktor,
insulasi panas, dan filler keramik (Adam et al. 2011). Setiap aplikasi membutuhkan
bahan penyusun (nanopartikel) dengan sifat dan ciri yang berbeda satu sama lain
tergantung dari kebutuhan untuk mendukung kinerja aplikasi-aplikasi tersebut.
Silika dapat disintesis dari berbagai sumber seperti abu sekam padi (Kalapathy
et al. 2000), fly ash batubara (Retnosari 2013), abu tongkol jagung (Okoronkwo et al.
2013), lumpur sidoarjo (Munasir et al. 2010), fly ash industry sawit (Utama et al.
2010), dan pasir alam (Munasir et al. 2013). Sumber lainnya adalah abu ketel industri
gula (Affandi et al. 2009). Silika yang terdapat pada abu ketel industri gula memiliki
potensi untuk disintesis menjadi nanosilika.
Ukuran partikel berskala nano akan mengubah sifat fisik, kimia, dan termal
partikel (Rahman dan Padavettan 2012). Transformasi ukuran dari silika menjadi
nanosilika akan memberikan dampak khusus seperti ketahanan termal, warna, dan
sifat tidak tembus cahaya pada plastik (Midhun et al. 2013). Silika digunakan dalam
pembuatan produk ban kendaraan untuk meningkatkan kinerja wet traction, wear
resistance, dan mengurangi dampak rolling resistance permukaan ban. Perubahan
ukuran silika menjadi nanosilika akan lebih meningkatkan kinerja ban kendaraan
(Siswanto et al. 2012). Nanosilika akan memiliki keuntungan yang lebih baik dari
silika ketika sebagai filler dalam adonan keramik. Semakin kecil ukuran filler akan
memberikan luas permukaan interaksi yang tinggi antara filler dengan bahan lainnya
dalam pori-pori keramik. Filler yang semakin kecil akan berdampak pada
peningkatan nilai kuat patah dari keramik (Hanafi dan Nandang 2010). Peningkatan
kekuatan dari perekatan semen disebabkan oleh nanosilika. Nanosilika yang memiliki
keseragaman ukuran yang baik akan terdispersi di dalam cairan semen. Nanopartikel
yang berada di cairan semen akan meningkatkan aktivitas hidrasi dari semen dan
akan meningkatkan kekuatan dari beton yang dihasilkan (Hui et al. 2003). Selain itu
perubahan silika menjadi nanosilika akan meningkatkan nilai jual. Harga silika
presipitasi berkisar $0.7–$1.2 per 1 kg dan harga nanosilika presipitasi $156 per 1 kg
(USRN 2015).


 

Abu ketel merupakan hasil perubahan secara kimiawi dari pembakaran ampas
tebu untuk memanaskan boiler dengan temperatur mencapai 550–600 ˚C (Dwiyanty
2011). Biasanya abu ketel hanya dibiarkan saja pada area terbuka dan tidak
dimanfaatkan lebih lanjut. Hasil pencirian abu ketel menggunakan XRF (X-Ray
Fluorescence), menunjukkan bahwa kandungan terbesar dari abu ketel yaitu silika
(SiO2) sebesar 50.36 % (Affandi et al. 2009). Oleh karena itu, abu ketel dari industri
gula berpotensi sebagai bahan dasar dalam mensintesis nanosilika.
Metode untuk mendapatkan nanopartikel dapat berupa mikroemulsi,
dekomposisi termal, dan presipitasi. Presipitasi merupakan metode potensial karena
memiliki keunggulan yaitu mudah dilakukan, murah, dan temperatur proses rendah.
Selain itu metode presipitasi dapat menghasilkan nanopartikel yang memiliki
kemurnian tinggi dan kualitas baik (Mahdavi et al. 2013). Metode presipitasi
merupakan metode yang aman dan ramah terhadap lingkungan (Shahmiri et al. 2013).
Parameter pH presipitasi dan waktu aging adalah parameter yang sangat
berpengaruh terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan pada metode
presipitasi. Menurut Singh et al. (2012), pengaruh pH pada struktur sintesis
nanopartikel memberikan hasil bahwa peningkatan pH akan meningkatkan ukuran
kristal. Allaedini dan Muhammad (2013) mensintesis Co3O4 dengan metode
presipitasi. Ukuran kristal saat pH 8 ke 9 adalah 20 nm dan saat pH 9 ke 10 adalah 30
nm. Ukuran kristal dari suatu nanopartikel berhubungan erat dengan pola difraksi,
fase kristal, ukuran partikel, dan derajat kristalinitas.
Proses aging akan mengarahkan pemutusan dan represipitasi dari monomer
silika menjadi struktur gel yang lebih kuat. Waktu aging yang semakin lama
menyebabkan kristalinitas sampel yang semakin tinggi (Smitha et al. 2006). Jalilpour
dan Fathalilou (2012) mensintesis nanopartikel ceria menggunakan metode presipitasi
dengan variasi waktu aging. Semakin lama waktu aging mengakibatkan
meningkatnya kristalinitas dari nanopartikel. Selain itu, Happy et al. (2007)
mensintesis nanopartikel dysprosium menggunakan metode presipitasi dengan hasil
terjadi peningkatan ukuran partikel dari 50 nm menjadi 150 nm saat waktu aging 10
menit dan 90 menit. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan melihat pengaruh
variasi pH presipitasi dan waktu aging terhadap sifat dan ciri nanosilika yang
dihasilkan dan mengetahui potensi nanosilika yang dihasilkan pada berbagai aplikasi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mensintesis nanosilika dari abu ketel industri gula
melalui metode presipitasi, mengetahui pengaruh dari variasi pH presipitasi dan
waktu aging terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan, dan memberikan
informasi potensi-potensi aplikasi yang sesuai dengan sifat dan ciri nanosilika yang
dihasilkan.

3
 

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik dan Manajemen Lingkungan,
Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Pengawasan Mutu, dan
Laboratorium Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB.
Analisis dan pencirian dilakukan di Laboratorium Analisis Bahan Departemen Fisika
FMIPA IPB, Laboratorium Nanotech Herbal Indonesia, dan Laboratorium Pusat
Studi Biofarmaka IPB. Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga April 2015.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanur, neraca analitik,
peralatan refluks, magnetic stirrer, magnet, pengering oven, pH meter, dan penyaring
vakum. Peralatan analisis meliputi PSA (Particle Size Analyzer) Vasco, XRF (X-Ray
Fluorescence) ARL OPTX-2050, XRD (X-Ray Diffraction) GBC Emma, dan FTIR
(Fourier Transform Infrared) Tensor 37 (Bruker Optics).

Bahan
Bahan yang digunakan adalah abu ketel yang diperoleh dari Pabrik Gula
Gunung Madu Plantation (GMP), natrium hidroksida (Merck/Teknis), kertas saring,
asam sulfat (Merck/PA), amonium hidroksida (Merck/PA), asam klorida (Merck/PA),
kertas saring Whatmaan 42, dan aquades.

Prosedur Penelitian
Preparasi Abu Ketel
Abu ketel dicuci menggunakan air aquades dan selanjutnya dikeringkan dalam
blower selama 5 jam. Setelah kering, abu ketel disaring menggunakan saringan kasar
dan diabukan pada suhu 700 ˚C selama 6 jam menggunakan tanur (Thuadaij dan
Nuntiya 2008). Gambar 1 menunjukkan diagram alir proses preparasi abu ketel.


 

Mulai

Abu Ketel
Pencucian
Pengeringan
Penyaringan
Pengabuan
Abu Furnace

Selesai
Gambar 1 Diagram alir proses preparasi abu ketel

Ekstraksi Silika dari Abu Furnace
Sepuluh gram sampel abu furnace diekstrak dengan NaOH 2.5 N sebanyak 80
ml selama 3 jam. Larutan disaring dan residu dicuci menggunakan 20 ml air aquades
mendidih. Filtrat hasil penyaringan didinginkan sesuai suhu ruang. Filtrat
ditambahkan H2SO4 5 N hingga pH menjadi 2 dilanjutkan penambahkan NH4OH 2.5
N hingga pH menjadi 8.5 menggunakan magnetic stirrer. Larutan dibiarkan (aging)
dalam suhu ruang selama 3.5 jam. Setelah didiamkan 3.5 jam, larutan dikeringkan
pada suhu 105 ˚C selama 12 jam (Thuadaij dan Nuntiya 2008; Ismayana 2014;
Setiawan 2015). Gambar 2 menunjukkan diagram alir ekstraksi silika dari abu
furnace.

5
 

Mulai
10 Gram Abu Furnace
Ekstraksi

NaOH 2.5 N

Penyaringan
NH4OH 2.5 N 

Presipitasi

H2SO4 5 N 

Aging
Pengeringan

Silika

Selesai

Gambar 2 Diagram alir ekstraksi silika dari abu furnace
Sintesis Nanosilika
Silika dihidrolisis menggunakan HCl 3 N selama 6 jam. Setelah dihidrolisis
selama 6 jam, larutan disaring dan residu dicuci dengan air aquades untuk membuang
sisa asam hingga pH netral. Residu yang sudah netral dilarutkan dalam NaOH 2.5 N
menggunakan magnetic stirrer selama 8 jam. Larutan ditambahkan H2SO4 5 N
hingga pH presipitasi 7, 8, 9, atau 10. Larutan didiamkan (aging) pada suhu ruang
selama 3 atau 6 jam. Larutan dikeringkan dalam suhu 105 ˚C selama 12 jam di oven
(Thuadaij dan Nuntiya 2008; Jalilpour dan Fathalilou 2012; Singh et al. 2012;
Allaedini dan Muhammad 2013; Ismayana 2014; Setiawan 2015). Gambar 3
menunjukkan diagram alir proses sintesis nanosilika.


 

Mulai
 

Silika

 

Hidrolisis

 

HCl 3 N

 

Penyaringan
 
 

Pencucian

 

Pelarutan

NaOH 2.5 N 

 

H2SO4 5 N 

Presipitasi
 
 

pH 7

pH 9

pH 8

pH 10

 

3  jam

6 jam

3 jam

3 jam

6 jam

6 jam

3 jam

6 jam

 
 
 

Pengeringan
Nanosilika

 

 

Selesai
Gambar 3 Diagram alir sintesis nanosilika 
Pengujian Abu Ketel dan Abu Furnace
Kandungan senyawa dan elemen dari abu ketel dan abu furnace dianalisis
menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence) ARL OPTX-2050 yang dioperasikan
dengan arus 10 mA tegangan 50 kV. Sebanyak 5 gram sampel dipindai dan

7
 

dikalibrasikan sesuai energi dan intensitasnya. Analisis unsur dari Na hingga U
dengan detektor Si (Li) (Sintilation).

Pengujian dan Pencirian Nanosilika
Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel diamati dengan PSA (Particle
Size Analyzer) Vasco. Sebanyak 0.002 gram nanosilika didispersikan dalam 100 ml
aquades. Selanjutnya larutan diputar menggunakan magnetic stirrer selama 20 menit.
Pemindaian partikel nanosilika dilakukan dengan PSA selama 2–10 menit.
Ukuran kristal, derajat kristalinitas, dan fase kristal diamati dengan XRD (XRay Diffraction) GBC Emma yang dioperasikan pada 35 kV dan 25 mA. XRD GBC
Emma menggunakan radiasi Cu-Kα dengan panjang gelombang (λ) 1.54056 Å.
Difraktogram dipindai mulai 10˚ sampai 80˚ (2θ) dengan laju pemindaian 3˚ per
menit. Perhitungan derajat kristalinitas menggunakan software PowderX dan ukuran
kristal menggunakan persamaan Scherrer.

Konstanta k merupakan konstanta Scherrer (0.9), λ adalah panjang gelombang
Cu-Kα (0.154056 nm), β merupakan Full Width at Half Maximum (FWHM) artinya
lebar puncak (peak) pada setengah tinggi puncaknya, dan θ adalah sudut fase.
Pola difraksi dan fase kristal akan diidentifikasi melalui pencocokkan dengan
kartu PDF (Powder Diffraction File) menggunakan software Match! 2. PDF [96-9000076] merupakan kartu PDF dari fase quartz. PDF [96-900-0521] merupakan kartu
PDF dari fase tridimit dan PDF [96-900-1579] merupakan kartu PDF dari fase
kristobalit.
Pembentukan gugus fungsi pada sintesis nanosilika akan dianalisis
menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared) Tensor 37 (Bruker Optics). Sampel
nanosilika sebanyak 2 mg ditambahkan 200 mg KBr untuk dibentuk menjadi pelet.
Pelet yang sudah terbentuk dianalisis gugus fungsinya menggunakan FTIR (Fourier
Transform Infrared) Tensor 37 (Bruker Optics) dalam rentang wavenumber 400–
4000 cm-1.

Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan alat, teknik, atau prosedur yang
digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kumpulan data, fakta, dan
hasil pengamatan yang telah dilakukan. Analisis deskriptif ini memiliki tujuan untuk
memberikan gambaran (deskripsi) mengenai suatu data agar data yang tersaji menjadi
mudah dipahami dan informatif bagi orang yang membacanya.


 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Abu Ketel dan Abu Furnace
Abu ketel yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Pabrik Gula Gunung
Madu Plantation (GMP). Pabrik Gula Gunung Madu Plantation (GMP) memiliki
kapasitas produksi sebesar 12 000 TCD (Ton Cane Per Day). Bagasse (ampas tebu)
yang dihasilkan pabrik ini sebesar 30–34% dari total tebu yang digiling namun hanya
sekitar 27% ampas tebu yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler (ketel).
Sisanya sekitar 73% dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan pakan ternak. Abu
ketel yang dihasilkan pabrik ini sebesar 1.5–2% dari total tebu yang digiling. Abu
ketel yang dihasilkan dari proses pembakaran bagasse sebagai bahan bakar boiler
dimanfaatkan sebagai bahan tambahan untuk pupuk organik.
Hasil analisis menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence) terhadap abu ketel dan
abu furnace Pabrik Gula Gunung Madu Plantation disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan senyawa abu ketel dan abu furnace PG Gunung Madu
Plantation
No
Senyawa
Abu Ketel (%)
Abu Furnace (%)
1
SiO2
49.69
78.75
2
Al2O3
11.24
10.36
3
K2O
8.76
1.80
4
P2O5
8.14
0
5
Na2O
7.00
0
6
CaO
4.95
0.886
7
MgO
3.59
1.06
8
Fe2O3
3.23
5.37
9
SO3
1.63
0
10
TiO2
0.790
0.622
Melalui analisis XRF terhadap abu ketel Pabrik Gula GMP, membuktikan
bahwa kandungan terbesar dari abu ketel adalah silika (SiO2). Kandungan silika dari
abu ketel PG GMP ini mencapai 49.69%. Persentase kandungan silika abu ketel PG
GMP tidak berbeda jauh dari hasil penelitian oleh Affandi et al. (2009) yang
mendapatkan kandungan silika sebesar 50.36%. Melalui kandungan silika 49.69%,
abu ketel memiliki potensi sebagai bahan dasar dalam mensintesis nanosilika.
Pemanfaatan abu ketel sebagai bahan dasar sintesis nanosilika akan meningkatkan
nilai tambah yang lebih dibandingkan dengan pemanfaatan sebagai bahan tambahan
pupuk organik.
Hasil pengujian kandungan abu furnace menghasilkan kadar silika sebesar
78.75%. Kadar silika pada abu furnace lebih tinggi dari kadar silika pada abu ketel.
Peningkatan kadar silika ini akibat proses normalisasi jumlah. Normalisasi jumlah
akan meningkatkan persentase silika pada abu furnace karena menurunnya jumlah

9
 

senyawa selain silika akibat proses pengabuan suhu 700 ˚C. Hal ini membuktikan
bahwa senyawa organik dan mineral lainnya menurun atau hilang saat suhu 700 ˚C.
Senyawa P2O5, Na2O, dan SO3 memiliki titik lebur ketika suhu 44.19 ˚C, 97.8 ˚C, dan
115.2 ˚C secara berturut-turut (Bauccio 1993). Hal inilah yang menyebabkan ketiga
senyawa tersebut sudah tidak terdeteksi lagi pada abu furnace. Sedangkan senyawa
Al2O3, K2O, CaO, dan MgO memiliki titik lebur ketika suhu 660.45 ˚C, 350 ˚C , 840
˚C, dan 649 ˚C secara berturut-turut (Bauccio 1993). Hal inilah yang menyebabkan
keempat senyawa tersebut mengalami penurunan jumlah yang akan berdampak pada
penurunan persentase. Senyawa Fe2O3 memiliki titik lebur ketika suhu 1535 ˚C
sehingga tidak mengalami penurunan jumlah akibat pengabuan suhu 700 ˚C (Bauccio
1993). Senyawa silika (SiO2) memiliki titik lebur ketika suhu 1414 ˚C sehingga tidak
mengalami penurunan jumlah akibat pengabuan suhu 700 ˚C (Bauccio 1993).
Tingginya titik lebur senyawa Fe2O3 dan SiO2 yang menyebabkan senyawa tersebut
mengalami peningkatan persentase
Kadar silika yang tinggi pada abu furnace sangat penting dalam rangkaian
proses sintesis nanosilika dengan metode presipitasi. Kadar silika tinggi akan
mempengaruhi reaksi antara SiO2 dengan NaOH untuk membentuk natrium silikat
(Na2SiO3). Na2SiO3 merupakan senyawa prekursor untuk membentuk silika dalam
ukuran nano.

Silika dari Abu Ketel
Ekstraksi silika dilakukan dengan hidrolisis abu ketel dalam natrium hidroksida
pada suhu 90–100°C selama 3 jam. Silika dalam abu ketel akan bereaksi dengan
natrium hidroksida membentuk natrium silikat dan air. Semakin banyak persentase
silika di dalam abu ketel akan berdampak pada semakin tinggi kemurnian silika yang
dihasilkan. Oleh sebab itu fungsi dari preparasi abu ketel menjadi abu furnace adalah
untuk meningkatkan persentase silika di dalam abu ketel. Persamaan reaksi antara
silika dengan natrium hidroksida dapat dilihat dibawah ini

2NaOH

+

SiO2

Æ

Na2SiO3

+

H2O

Silika dipisahkan dari larutan natrium silikat dengan teknik presipitasi.
Penambahan senyawa asam akan mengubah keadaan larutan menjadi supersaturated
(superjenuh). Keadaan larutan superjenuh akan mengakibatkan terbentuknya inti
kristal dari senyawa silika. Pengendapan selanjutnya dapat terjadi pada partikel yang
mula-mula terbentuk ini. Ukuran inti akan meningkat karena terdapat penambahan
inti kristal lainnya sehingga membentuk partikel primer. Partikel primer akan
mengendap ke dasar wadah (Utama et al. 2010). Proses aging akan mengarahkan
pemutusan dan represipitasi dari monomer silika menjadi struktur gel yang lebih kuat

10 
 

(Smitha et al. 2006). Tabel 2 menunjukkan sifat dan ciri dari silika presipitasi. Silika
presipitasi memiliki penampakan berwarna putih dan memiliki bentuk serpih jarum.
Fase kristal silika didominasi oleh fase kristal kristobalit. Derajat kristalinitas dari
silika presipitasi sebesar 76.34% dan tergolong ke dalam golongan semi kristalin.
Silika presipitasi memiliki ukuran berkisar 2000–3000 nm.

Parameter
Warna
Bentuk
Kristalinitas (%)
Fase kristal dominan
Ukuran Partikel (nm)

Tabel 2 Sifat dan ciri silika presipitasi
Spesifikasi
Putih
Serpih Jarum
76.34%
Kristobalit
2000–3000 nm

Sifat dan Ciri Nanosilika
Pola Difraksi dan Fase Krisal
Pola difraksi dihasilkan dari analisis menggunakan XRD (X-Ray Diffraction).
Pola difraksi dari setiap senyawa akan memiliki sifat yang khas pada nilai 2θ yang
terbentuk. Setiap senyawa memiliki berbagai jenis fase kristal. Silika memiliki fase
kristal berupa quartz, kristobalit, dan tridimit. Setiap fase kristal dari nanosilika
memiliki nilai 2θ yang khas. Puncak difraksi setiap perlakuan akan dicocokkan
dengan kartu PDF (Powder Diffraction File) fase silika. PDF [96-900-0076]
merupakan kartu PDF dari fase quartz. PDF [96-900-0521] merupakan kartu PDF
dari fase tridimit dan PDF [96-900-1579] merupakan kartu PDF dari fase kristobalit.
Pola difraksi nanosilika dengan waktu aging 3 jam dapat dilihat pada Gambar
4. Peningkatan pH akan memberikan peningkatan intensitas pada beberapa puncak
difraksi walaupun peningkatannya tidak terlalu tinggi. Selain itu peningkatan pH saat
waktu aging 3 jam akan menghasilkan beberapa puncak difraksi baru pada
difraktogram yang dihasilkan. Pola difraksi nanosilika dengan waktu aging 6 jam
dapat dilihat pada Gambar 5. Sama halnya dengan waktu aging 3 jam, peningkatan
pH saat waktu aging 6 jam akan meningkatkan intensitas pada beberapa puncak
difraksi walaupun peningkatannya tidak terlalu tinggi. Selain itu peningkatan pH saat
waktu aging 6 jam akan menimbulkan puncak difraksi baru. Bila membandingkan
pola difraksi ketika pH yang sama dalam waktu aging 3 dan 6 jam dapat terlihat
bahwa terjadi peningkatan intensitas yang cukup tinggi pada beberapa puncak
difraksi namun tidak terdapat kemunculan puncak difraksi baru.

11
1100 
1000

= tridimit
= quartz
= kristobalit

800
600
400
200
10
1100
1000

20

30

40

50

60

20

30

40

50

60

20

30

40

50

60

20

30

40

50

60

800
600

Intensitas (counts)

400
200
10

1100
1000
800
600
400
200
10
1100
1000
800
600
400
200
10

2θ (degrees)

Gambar 4 Difraktogram nanosilika pH 7( ), pH 8( ), pH 9(
saat waktu aging 3 jam

), dan pH 10(

)

12 
 

1200

= tridimit
= quartz
= kristobalit

1000
800
600
400
200
10
1200

20

30

40

50

60

20

30

40

50

60

20

30

40

50

60

20

30

40

50

60

), dan pH 10(

)

1000
800
600

Intensitas (counts)

400
200
10

1200
1000
800
600
400
200
10
1200
1000
800
600
400
200
10

2θ (degrees)
Gambar 5 Difraktogram nanosilika pH 7( ), pH 8(
saat waktu aging 6 jam

), pH 9(

13
 

Berdasarkan analisis pola difraksi dan fase kristal, peningkatan pH presipitasi
baik saat waktu aging 3 jam maupun 6 jam memberikan peningkatan jumlah puncak
difraksi dan intensitas puncak difraksi. Menurut Allaedini dan Muhamad (2013),
reaksi kondensasi senyawa nanopartikel terjadi ketika peningkatan nilai pH, sehingga
terjadi pertumbuhan partikel primer. Hal ini disebabkan, saat pH tinggi laju nukleasi
lebih rendah dibandingkan pertumbuhan partikel primer. pH tinggi menyebabkan
peningkatan laju dari pertumbuhan partikel primer. Pertumbuhan partikel primer
inilah yang menyebabkan terjadinya pembentukan kristal-kristal baru dari inti kristal
yang sudah ada. Kristal-kristal baru yang terbentuk saat peningkatan pH presipitasi
menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah puncak difraksi dan akan berdampak
pada bertambahnya fase kristal yang terbentuk. Selain meningkatan jumlah puncak
difraksi, kristal baru yang terbentuk akan meningkatkan intensitas puncak difraksi
akibat bertambahnya jumlah fase kristal pada suatu nilai 2θ yang sudah ada.
Berdasarkan analisis pola difraksi dan fase kristal bahwa peningkatan waktu
aging akan memberikan peningkatan intensitas puncak difraksi. Menurut Smitha et
al. (2006), proses aging akan mengarahkan pemutusan dan represipitasi dari
monomer silika menjadi struktur gel yang lebih kuat. Waktu aging yang semakin
lama menyebabkan kristalinitas sampel yang semakin tinggi. Selama proses aging,
kekuatan dan kekakuan dari gel meningkat. Hal ini mengindikasikan meningkatnya
derajat reaksi kondensasi dan ikatan silang siloksan di dalam pemutusan dan
represipitasi silika. Hal inilah yang menyebabkan intensitas puncak difraksi menjadi
meningkat saat peningkatan waktu aging akibat penguatan struktur bidang kristal
yang terbentuk.
Dari hasil analisis fase kristal waktu aging 3 dan 6 jam, maka dapat
disimpulkan bahwa nanosilika merupakan senyawa yang memiliki sifat dan ciri
multifase. Hal ini dibuktikan bahwa terdapat 3 jenis fase kristal pada setiap perlakuan
pH presipitasi, yaitu fase quartz, tridimit, dan kristobalit. Kemunculan puncak
difraksi baru dan peningkatan intensitas puncak difraksi akan berpengaruh terhadap
derajat kristalinitas dari nanosilika. Setiap perlakuan akan menghasilkan sifat dan ciri
yang berbeda satu sama lain. Tidak ada perlakuan yang terbaik dalam konteks ini.
Setiap perlakuan akan memiliki sifat dan ciri yang khas untuk menunjang suatu
aplikasi tertentu. Pola difraksi dengan intensitas tinggi dan jumlah puncak difraksi
banyak akan berdampak terhadap derajat kristalinitas yang tinggi. Sebaliknya, bila
semakin rendah intensitas puncak difraksi dan sedikit jumlah puncak difraksi akan
mengakibatkan derajat kristalinitas yang rendah. Menurut Ismayana (2014), derajat
kristalinitas yang tinggi cocok untuk aplikasi filler penguat beton dan derajat
kristalinitas rendah cocok untuk aplikasi adsorben.
Derajat Kristalinitas
Derajat kristalinitas menunjukkan jumlah atau proporsi fase kristal didalam
suatu sampel atau bahan. Perhitungan menggunakan software PowderX. Perlakuan
pH presipitasi dan waktu aging sangat mempengaruhi derajat kristalinitas dari bahan.
Gambar 6 menunjukkan derajat kristalinitas nanosilika pada setiap perlakuan.
Peningkatan pH presipitasi akan meningkatan derajat kristalinitas nanosilika yang

14 
 

ddihasilkan. Peningkatan
P
n waktu aginng dari 3 jaam ke 6 jam
m menunjukkkan terjadinnya
p
peningkatan
n derajat kristalinitas.
W
Waktu
Aging
g 3 Jam

W
Waktu
Aging 6 Jam
92.794%

86.076%
82.377%

83.275%

86.5003%

89.652%

9
93.530%

66.387
7%

pH 7

pH 8

p 9
pH

pH 100

Gambar 6 Deerajat kristaliinitas nanosiilika
Derajaat kristalinittas berhubunngan erat dengan
d
pola difraksi daan fase krisstal
n
nanosilika.
Peningkatan
P
n pH presipiitasi akan meningkatkan
m
n derajat kriistalinitas. Hal
H
i berhubun
ini
ngan dengann kemunculann puncak diffraksi baru akibat
a
prosess pertumbuhhan
p
partikel
prim
mer saat pH
H tinggi. Paada hasil annalisis pola difraksi daan fase kristal
m
menjelaskan
n bahwa peningkatan
p
pH presiipitasi akann berpengaaruh terhaddap
p
peningkatan
n jumlah puuncak difrakksi. Peninggkatan jumlaah puncak difraksi akkan
b
berdampak
terhadap
t
penningkatan juumlah fase kristal
k
yang terbentuk.
t
P
Peningkatan
i
ini
a
akibat
muncculnya kristaal-kristal baaru saat penningkatan pH
H presipitasii. Peningkattan
j
jumlah
kristtal dan fase kristal
k
akan berdampak pada peninggkatan derajaat kristalinitaas.
S
Selain
itu seemakin menningkat intennsitas puncaak difraksi akkan meninggkatkan deraj
ajat
k
kristalinitas.
. Peningkataan intensitas disebabkaan bertambaahnya jumlaah fase kristal
p
pada
nilai 2θθ yang sudahh ada.
Waktu
u aging akaan mempenggaruhi terhadap kekuataan struktur bidang kristal
y
yang
terben
ntuk. Semakkin lama waaktu aging akan meninngkatkan sttruktur bidaang
k
kristal
yang
g kuat. Strukktur bidang kristal yangg kuat akann meningkattkan intensittas
p
puncak
difrraksi yang dihasilkan. Intensitas puncak difraksi yangg tinggi akkan
m
meningkatka
an derajat krristalinitas.

15
 

Dari hasil yang diperoleh dapat terlihat bahwa derajat kristalinitas terendah
terdapat pada perlakuan waktu aging 3 jam dan pH 7 sebesar 66.387%. Hal ini
membuktikan bahwa saat pH 7 laju pertumbuhan partikel primer rendah sehingga
jumlah puncak-puncak difraksi dan intensitas puncak difraksi rendah. Selain itu
waktu aging 3 jam memberikan tingkat intensitas puncak difraksi yang lebih rendah
dibandingkan waktu aging 6 jam sehingga berdampak terhadap rendahnya derajat
kristalinitas. Derajat kristalinitas tertinggi terjadi saat waktu aging 6 jam dan pH 10
sebesar 93.530%. Hal ini membuktikan bahwa saat pH 10 laju pertumbuhan partikel
primer sangat tinggi yang dibuktikan oleh munculnya puncak-puncak difraksi baru
dan tingginya intensitas puncak difraksi. Puncak difraksi baru dan tingginya
intensitas puncak difraksi mengakibatkan peningkatan derajat kristalinitas. Selain itu
waktu aging 6 jam memberikan tingkat intensitas puncak difraksi yang tinggi akibat
penguatan struktur bidang kristal sehingga berdampak langsung terhadap peningkatan
derajat kristalinitas.
Ukuran Kristal
Ukuran kristal dihitung menggunakan persamaan Scherrer dan software
PowderX. Analisis Full Width at Half Maximum (FWHM) artinya lebar puncak
(peak) pada setengah tinggi puncaknya dilakukan menggunakan software PowderX.
Perubahan ukuran kristal merupakan indikasi terjadinya proses kristalisasi. Tabel 3
memperlihatkan bahwa pH presipitasi dan waktu aging mempengaruhi rata-rata dan
range ukuran kristal nanosilika yang dihasilkan. Terlihat bahwa semakin tinggi pH
presipitasi akan menghasilkan rata-rata ukuran kristal yang semakin meningkat dan
range ukuran yang semakin meluas. Waktu aging 6 jam memberikan rata-rata ukuran
kristal yang lebih besar dan range yang lebih luas dibandingkan rata-rata ukuran
kristal 3 jam.
Peningkatan pH presipitasi akan memberikan peningkatan terhadap rata-rata
ukuran kristal yang diperoleh. Hal ini berkaitan dengan proses pertumbuhan partikel
primer saat pH tinggi. Pertumbuhan partikel primer akan menghasilkan ukuran kristal
yang besar akibat bergabungnya (agregasi) antara inti kristal dengan inti kristal
lainnya. Menurut Allaedini dan Muhamad (2013), reaksi kondensasi senyawa
nanopartikel terjadi ketika peningkatan nilai pH sehingga terjadi pertumbuhan
partikel primer. Hal ini disebabkan bahwa saat pH tinggi laju nukleasi lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan partikel primer. pH tinggi menyebabkan peningkatan laju
dari pertumbuhan partikel primer. Hal inilah yang menyebabkan rata-rata ukuran
kristal yang dihasilkan lebih besar saat pH tinggi. Peningkatan rata-rata ukuran kristal
saat peningkatan pH presipitasi akan berbanding lurus dengan peningkatan derajat
kristalinitas. Hal ini terbukti bahwa rata-rata ukuran kristal saat pH 7 merupakan ratarata ukuran kristal terkecil dan derajat kristalinitas terendah. Sedangkan saat pH 10,
rata-rata ukuran kristal merupakan yang terbesar dan derajat kristalinitas yang
terbesar.
Faktor lain peningkatan rata-rata ukuran kristal dan range ukuran kristal adalah
proses aglomerasi. Peningkatan ukuran kristal akan terjadi ketika kondisi pH
presipitasi tinggi. Kondisi pH presipitasi yang tinggi akan memudahkan partikel

16 
 

primer untuk beragregasi dengan partikel primer lainnya untuk membentuk partikel
sekunder. Kondisi ini disebut dengan proses aglomerasi partikel primer. Hal inilah
yang menyebabkan peningkatan rata-rata ukuran kristal dan range ukuran meluas.
Menurut Happy et al. (2007), proses pertumbuhan pada proses aglomerasi dimulai
oleh pembentukan nuklei (inti kristal) dan diikuti penambahan molekul inti kristal
lainnya untuk membentuk partikel kecil (partikel primer). Setelah terbentuk partikel
primer, maka partikel primer ini akan beraggregasi dengan partikel primer lainnya
membentuk partikel sekunder yang lebih besar. Proses ini didukung oleh gerak
Brown, gaya Van Der Walls, atau perubahan kondisi larutan. Peningkatan pH
presipitasi atau menaikkan kekuatan ionik larutan dapat mengurangi penghalang
elektrostatik disekitar partikel primer dan memudahkan untuk beraglomerasi. Proses
agglomerasi akan berhenti ketika kestabilan partikel sekunder sudah dicapai.
Tabel 3 Rata-rata dan range ukuran kristal nanosilika
Waktu Aging (Jam)
3

6

pH
7
8
9
10
7
8
9
10

Range (nm)
33.359–40.325
38.752–48.396
41.570–53.668
46.487–61.113
39.401–59.717
43.919–64.666
44.469–68.398
44.491–78.827

Rata-rata (nm)
37.772
43.993
47.024
52.048
45.651
51.856
53.849
56.867

Peningkatan waktu aging akan menyebabkan proses aglomerasi partikel primer.
Proses aglomerasi ini menyebabkan peningkatan rata-rata ukuran kristal yang
terbentuk dan range ukuran kristal yang meluas. Menurut Jarvenin (2013),
aglomerasi menjelaskan kencenderungan partikel kecil di dalam larutan suspensi
untuk bergabung satu sama lain menjadi agregat yang lebih besar. Istilah aging
mengenai suatu proses yang mengubah kondisi presipitat setelah terbentuk. Hukum
Ostwald mengenai kencenderungan pembentukan partikel besar (sekunder) dari
partikel kecil (primer) setelah terjadi nukleasi dan pertumbuhan partikel primer.
Kondisi ini terjadi ketika ukuran kurang dari 1 mikron. Peningkatan rata-rata ukuran
kristal saat waktu aging berbanding lurus dengan peningkatan derajat kristalinitas.
Hal ini terbukti bahwa derajat kristalinitas waktu aging 3 jam selalu lebih rendah
dibanding waktu aging 6 jam.
Dari hasil yang diperoleh dapat terlihat bahwa rata-rata ukuran kristal dan
range ukuran terkecil terdapat pada perlakuan waktu aging 3 jam dan pH 7 sebesar
37.772 nm. Hal ini membuktikan bahwa saat pH 7 laju pertumbuhan partikel primer
dan tingkat aglomerasi masih rendah. Selain itu, saat waktu aging 3 jam proses
aglomerasi partikel primer masih rendah. Rata-rata ukuran dan range ukuran kristal
terbesar terjadi saat waktu aging 6 jam dan pH 10 sebesar 56.867 nm. Hal ini
membuktikan bahwa saat pH 10 laju pertumbuhan partikel primer dan tingkat

17
 

aaglomerasi tinggi. Selaain itu, saat waktu aginng 6 jam proses aglom
merasi partikkel
p
primer
tingg
gi.
U
Ukuran
dan
n Distribusii Ukuran Paartikel
Ukuraan partikel memiliki
m
defi
finisi yang beerbeda denggan ukuran kristal.
k
Ukurran
ppartikel merrupakan hassil proses agglomerasi dari partikel primer (kriistal) sehinggga
d
dalam
satu partikel terddapat lebih dari satu kristal.
k
Hal inilah
i
yang menyebabkkan
u
ukuran
partikel lebih besar
b
dibanddingkan ukuuran kristal. Ukuran paartikel sanggat
m
menentukan
n sifat dann karakteristik dari suuatu bahan. Ukuran partikel akkan
yang dimilliki oleh suaatu
m
mempengaru
uhi secara langsung
l
keppada sifat fisiko-kimia
f
m
material.
Menurut
M
Nam
mazi et al. (2012),
(
nanoopartikel addalah definissi dari partikkel
t
terdispersi
atau
a
partikell padat yanng memiliki ukuran dalam kisaran 10–1000 nm.
M
Menurut
Marlina
M
et all. (2012), melalui
m
ukuuran yang lebih kecil (nano) prosses
p
penyusupan
partikel-parrtikel akan lebih
l
cepat dan
d merata sehingga strruktur partikkel
m
menjadi
leb
bih solid, luuas permukaaan interakssi menjadi lebih
l
besar, dan partikelp
partikel
yan
ng berinterakksi bertambah. Melaluii ukuran dallam skala nano,
n
interakksi
p
permukaan
total akan meningkat dan berdaampak padaa meningkattnya kekuattan
m
mekanik
maaterial. Gam
mbar 7 menuunjukkan baahwa waktu aging dan pH presipitaasi
m
mempengaru
uhi rata-rata ukuran parttikel yang dihasilkan.
W
Waktu
Aging 3 Jam

W
Waktu
Aging 6 Jam
698.24 nm

529.14 nm

331.95 nm
214.04
4 nm

pH 7

411.05 nm
345.89
n
nm
338.669 nm
2
243.69
nm

pH 8

p 9
pH

pH 10

Gam
mbar 7 Rata--rata ukuran partikel nannosilika
Param
meter pH prresipitasi meempengaruhhi terhadap rata-rata ukkuran partikkel
n
nanosilika
yang
y
terbenntuk. Hal inni didasari saat terjadiinya proses pertumbuhhan
p
partikel
prim
mer (kristal).. Menurut Allaedini
A
dann Muhamad (2013),
(
saat pH presipitaasi

18 
 

tinggi laju nukleasi lebih rendah dibandingkan pertumbuhan partikel primer. pH
presipitasi tinggi menyebabkan peningkatan laju dari pertumbuhan partikel primer.
Hal ini menyebabkan ukuran kristal yang dihasilkan lebih besar. Ukuran kristal yang
besar akan mempengaruhi secara langsung kepada ukuran partikel yang dihasilkan.
Peningkatan ukuran kristal akan berdampak langsung terhadap peningkatan ukuran
partikel nanosilika. Hal ini terbukti bahwa semakin meningkatnya pH presipitasi akan
meningkatkan rata-rata ukuran kristal yang dihasilkan (Tabel 3). Selain itu, semakin
meningkatnya pH presipitasi akan meningkatkan juga rata-rata ukuran partikel
nanosilika yang terbentuk (Gambar 7).
Menurut Happy et al. (2007), setelah terbentuk partikel primer, maka partikel
primer ini akan beragregasi dengan partikel primer lainnya membentuk partikel
sekunder yang lebih besar. Peningkatan pH atau menaikkan kekuatan ionik larutan
dapat mengurangi penghalang elektrostatik disekitar partikel primer dan
memudahkan untuk beraglomerasi. Proses agglomerasi akan berhenti ketika
kestabilan partikel sekunder sudah dicapai. Melalui proses aglomerasi ini ukuran
partikel yang dihasilkan akan semakin membesar (partikel sekunder). Partikel
sekunder inilah yang akan terbaca ukurannya oleh PSA (Particle Size Analyzer).
Parameter waktu aging akan mempengaruhi rata-rata ukuran partikel nanosilika
yang dihasilkan. Peningkatan waktu aging akan menyebabkan proses aglomerasi
partikel primer membentuk partikel sekunder yang lebih besar ukurannya. Proses
aglomerasi akan menyebabkan peningkatan ukuran kristal yang dihasilkan.
Peningkatan ukuran kristal akan berdampak langsung terhadap peningkatan ukuran
partikel nanosilika. Hal ini terbukti bahwa semakin meningkatnya waktu aging akan
meningkatkan rata-rata ukuran kristal yang dihasilkan (Tabel 3). Selain itu, semakin
meningkatnya waktu aging akan meningkatkan juga rata-rata ukuran partikel
nanosilika yang terbentuk (Gambar 7). Menurut Jarvenin (2013), aglomerasi
menjelaskan kencenderungan partikel kecil di dalam larutan suspensi untuk
bergabung satu sama lain menjadi agregat yang lebih besar. Hukum Ostwald
menjelaskan mengenai kencenderungan pembentukan partikel besar (sekunder) dari
partikel kecil (primer) setelah terjadi nukleasi dan pertumbuhan partikel primer.
Kondisi ini terjadi ketika ukuran kurang dari 1 mikron.
PDI (Podispersity Index) adalah parameter yang menjelaskan mengenai
distribusi ukuran partikel nanopartikel. Kisaran nilai PDI 0.01 adalah nanopartikel
monodispersi. Nilai PDI hingga sekitar 0.7 masih dalam batas toleran nanopartikel
yang dapat digunakan sebagai bahan pendukung pada berbagai aplikasi. Nanopartikel
dengan distribusi ukuran yang sangat luas akan memiliki nilai PDI lebih besar dari
0.7 (Nidhin 2008). Nilai PDI dipengaruhi oleh range ukuran partikel suatu sampel.
Semakin luas range ukuran partikel maka akan mengakibatkan peningkatan nilai PDI.
Tabel 4 menunjukkan nilai PDI dan range ukuran partikel nanosilika. Dari tabel
tersebut, peningkatan pH presipitasi dan waktu aging akan mengakibatkan range
ukuran meluas. Range ukuran yang meluas akan berdampak terhadap peningkatan
nilai PDI. Nilai PDI yang tinggi menunjukkan bahwa sampel nanosilika yang
dihasilkan memiliki ukuran yang tidak seragam.

19
 

Tabel 4 Nilai PDI dan range ukuran partikel nanosilika
Waktu Aging (Jam)
3

6

pH
7
8
9
10
7
8
9
10

Range (nm)
32.37–1622.24
33.89–2344.85
51.30–2819.13
64.58–7081.33
61.68–1950.36
64.58–3549.07
67.63–5129.97
85.14–9774.96

PDI
0.207
0.315
0.348
0.756
0.216
0.416
0.556
0.833

Intensitas (u.a.)

Selain itu dalam kurva distribusi ukuran partikel, semakin lebar kurva
mengindikasikan nilai PDI semakin besar. Gambar 8 memperlihatkan kurva distribusi
ukuran saat waktu aging 3 jam. Semakin meningkat pH maka nilai PDI akan semakin
meningkat. Nilai PDI meningkat akan mengakibatkan kurva distribusi ukuran akan
semakin melebar. Hal ini diakibatkan proses pertumbuhan partikel primer yang tidak
stabil dan proses aglomerasi seiring peningkatan pH presipitasi. Proses pertumbuhan
partikel primer dan aglomerasi yang membuat ketidakseragaman ukuran dari
nanosilika. Hal ini didukung dengan hasil analisis pada parameter pola difraksi, ratarata ukuran kristal, dan rata-rata ukuran partikel. Pola difraksi saat pH presipitasi
tinggi akan memunculkan kristal–kristal baru akibat pertumbuhan partikel primer.
Selain akan meningkatkan ukuran kristal dan partikel, proses aglomerasi dan
pertumbuhan partikel primer akan membuat ketidakseragaman ukuran yang
dihasilkan. Ketidakseragaman ini dibuktikan dengan kurva distribusi ukuran partikel
nanosilika yang semakin melebar.

Ukuran Partikel (nm)
Gambar 8 Distribusi ukuran partikel nanosilika pH 7( ), pH 8( ), pH 9( ),
dan pH 10 ( ) saat waktu aging 3 jam

20 
 

Intensitas (u.a.)

Gambar 9 memperlihatkan kurva distribusi ukuran saat waktu aging 6 jam.
Sama halnya saat waktu aging 3 jam, semakin meningkat pH presipitasi maka nilai
PDI akan semakin meningkat. Selain itu bila membandingkan Gambar 8 dan 9, maka
semakin meningkat waktu aging, nilai PDI akan semakin meningkat dan kurva
distribusi ukuran partikel akan semakin melebar. Hal ini disebabkan proses
aglomerasi saat peningkatan waktu aging. Proses aglomerasi tersebut membuat
ketidakseragaman ukuran dari nanosilika. Hal ini didukung dengan hasil analisis pada
parameter rata-rata ukuran kristal dan rata-rata ukuran partikel. Proses aglomerasi
akan membuat partikel primer beragregasi dengan partikel primer lainnya membentuk
partikel sekunder. Selain meningkatkan ukuran kristal dan partikel, proses aglomerasi
akan membuat ketidakseragaman ukuran yang dihasilkan. Ketidakseragaman ini
dibuktikan dengan kurva distribusi ukuran partikel nanosilika yang semakin melebar.

Ukuran Partikel (nm)
Gambar 9 Distribusi ukuran partikel nanosilika pH 7( ), pH 8( ), pH 9( ),
dan pH 10 ( ) saat waktu aging 6 jam
Dari hasil yang diperoleh dapat terlihat bahwa rata-rata ukuran partikel terkecil
terdapat pada perlakuan waktu aging 3 jam dan pH 7 sebesar 214.04 nm. Hal ini
membuktikan bahwa saat pH 7 laju pertumbuhan partikel primer dan tingkat
aglomerasi masih rendah. Selain itu, saat waktu aging 3 jam proses aglomerasi
partikel primer masih rendah. Selain itu distribusi ukuran tersempit juga terdapat pada
perlakuan waktu aging 3 jam dan pH 7. Hal ini dibuktikan dengan nilai PDI yang
terendah dan range ukuran partikel yang terkecil. Rata-rata ukuran partikel terbesar
terdapat pada perlakuan waktu aging 6 jam dan pH 10 sebesar 698.24 nm. Hal ini
membuktikan bahwa saat pH 10 laju pertumbuhan partikel primer dan tingkat
aglomerasi tinggi. Selain itu, saat waktu aging 6 jam proses aglomerasi partikel
primer tinggi. Selain itu distribusi ukuran terluas juga terdapat pada perlakuan waktu
aging 6 jam dan pH 10. Hal ini dibuktikan dengan nilai PDI yang tertinggi dan range
ukuran yang terluas.

21
 

Spektra FTIR (Fourier Transform Infrared)
Nanosilika yang disintesis dari abu ketel dengan metode presipitasi dianalisis
dengan FTIR. Analisis FTIR dapat menunjukkan gugus-gungsi yang terdapat di
dalam sampel. Pita serapan akan muncul pada bilangan gelombang (wavenumber)
tertentu. Bilangan gelombang ini akan menunjukkan identitas bagi gugus fungsi
tertentu di dalam suatu sampel. Selain itu intensitas dari suatu gugus fungsi tertentu
menunjukkan banyak dan sedikitnya gugus fungsi tersebut di dalam suatu sampel
Semakin kuat intensitas menunjukkan semakin banyak dan kuat gugus fungsi tersebut
di dalam suatu sampel.
Gambar 10 A dan C menunjukkan spektra FTIR waktu aging 3 jam. Pita
serapan gelombang kedua sampel memiliki kesamaan, namun dengan intensitas yang
berbeda. Pada perlakuan pH 10 terbentuk pita serapan pada 3398.39, 1626.15,
1060.64, 986.45, dan 794.45. Menurut Sriyanti et al (2005), pita serapan pada
bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1 menunjukkan vibrasi gugus –OH (hidroksil)
dari gugus silanol (Si-OH). Pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 1600 cm-1
menunjukkan vibrasi tekuk –OH dari gugus silanol. Pita serapan pada bilangan
gelombang sekitar 1100 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur dari gugus siloksan (Si-O-Si).
Sedangkan pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 900 cm-1 dan 700 cm-1
menunjukkan vibrasi ulur dari Si-OH (silanol) dan Si-O-Si (siloksan) secara berturut.
Pada perlakuan pH 7 memiliki spektra FTIR yang tidak berbeda jauh dengan
pH 10. Pita serapan muncul pada bilangan gelombang 3423.56, 1603.34, 1104.54,
990.87, dan 786.45. Pita serapan tersebut menunjukkan vibrasi –OH (hidroksil) dari
silanol (Si-OH), vibrasi tekuk –OH dari air, vibrasi ulur gugus siloksan (Si-O-Si),
vibrasi ulur dari silanol (Si-OH), dan vibrasi ulur siloksan (Si-O-Si) secara berturut.
Pada pita serapan bilangan gelombang 3400 cm-1 pada pH 7, intensitasnya lebih
tinggi dibandingkan pita serapan pH 10. Hal mengindikasikan bahwa gugus silanol
pada pH 10 lebih rendah dibandingkan gugus silanol pada pH 7. Pada pita serapan
bilangan gelombang 1100 cm-1