Sintesis Nanosilika dari Abu Ketel Industri Gula Mengguakan Metode Ko-presipitasi dengan Template Pati.

SINTESIS NANOSILIKA DARI ABU KETEL INDUSTRI
GULA MENGGUNAKAN METODE KO-PRESIPITASI
DENGAN TEMPLATE PATI

NOVI DIAN RURI ERLINDA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sintesis Nanosilika dari
Abu Ketel Industri Gula Menggunakan Metode Ko-presipitasi dengan Template
Pati adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Novi Dian Ruri Erlinda
NIM F34110007

ABSTRAK
NOVI DIAN RURI ERLINDA. Sintesis Nanosilika dari Abu Ketel Industri Gula
Mengguakan Metode Ko-presipitasi dengan Template Pati. Dibimbing oleh
NASTITI SISWI INDRASTI dan ANDES ISMAYANA,
Abu ketel merupakan salah satu hasil samping industri gula yang belum
banyak dimanfaatkan. Abu ketel memiliki kandungan silika yang dapat
dimanfaatkan sebagai nanosilika. Tujuan penelitian ini adalah sintesis nanosilika
dari abu ketel menggunakan metode ko-presipitasi dengan template pati,
mengetahui pengaruh template tapioka dan maizena terhadap karakteristik
nanosilika, dan memberikan informasi terkait aplikasi yang sesuai. Tahapan
penelitian terdiri dari empat tahap yaitu preparasi abu ketel, sintesis silika,
sintesis nanosilika, dan karakterisasi nanosilika. Abu ketel mengandung 49,69%
silika dan setelah mengalami proses pengabuan pada suhu 7000 C mengandung
78,75% silika. Nanosilika memiliki karakteristik multifase terdiri dari fase

quarts, tridimit, dan kristobalit dengan fase dominan kristobalit. Kristalinitas
tertinggi nanosilika sebesar 82,070% pada perlakuan tanpa penambahan
template dan terendah 49,063% pada penambahan maizena 33,33% (b/b).
Kandungan amilosa pada pati memberikan kontribusi pada penurunan
kristalinitas nanosilika. Ukuran partikel nanosilika paling homogen diperoleh
dengan penambahan maizena yang ditunjukkan oleh PDI (particle dispertion
index) dibawah 0,1. Pengamatan dengan SEM menunjukkan morfologi partikel
adalah poligonal dan terlihat menyebar. Secara umum penggunaan template pati
mampu menggeser distribusi ukuran partikel semakin kecil, kristalinitas
semakin kecil, dan ukuran kristal yang semakin kecil. Karakter nanosilika yang
dihasilkan dengan penggunaan template pati sesuai untuk aplikasi sebagai silikapolimer nanokomposit dan bahan pengisi untuk penguat keramik.
Kata kunci: abu ketel, ko-presipitasi, nanosilika, pati

ABSTRACT
NOVI DIAN RURI ERLINDA. Synthesis Nanosilica from Boiler Ash of Sugar
Industry using Co-precipitation Method with Starch as a Template. Supervised
by NASTITI SISWI INDRASTI and ANDES ISMAYANA.
Boiler ash is by product of the sugar industry which is not yet widely used.
Boiler ash is highly silica content that can be utilized as nanosilica. The purpose
of this study to synthesis nanosilica using boiler ash with the addition of tapioca

and corn starch as a template. This research aims to know the effect of tapioca
and cornstarch on characteristic of nanosilica, and also give information about
the aplication of nanosilica with starch template. The researchs consist of four
part that is preparation of material, synthesis of silica, synthesis of nanosilica,
and characterization of nanosilica. 49,69% bagasse ash is composed of silica and

after the furnace at a temperature of 7000 C the furnace ash containing 78,75%
silica. Characteristics of nanosilika was multiphase consist of quartz, tridimit,
and krisrobalit phase with cristobalite as the predominant phase.The most high
crystallinity of nanosilika was 82,070% at treatment without addition of the
template and the smallest crystallinity was 49,063% on addition corn starch at
33,33%. Starch contain of amylose that have contributed on decreasing
cristalinity of nanosilica. Particle size of nanosilika was more homegen with the
addition of corn starch when PDI’s number was above 0,1. Observation by SEM
showed that the particle has polygonal form and looks spreads. Commonly, the
effect of starch as a template was decreased the particle size, distrubution of
particle, cristalinity, and cristal size. Characteristic of nanosilika that produced
by starch’s template can aplicate as a silica-polymer nanocomposit and as a filler
for ceramic’s material.
Keywords: boiler ash, co-presipitation, nanosilica, starch


SINTESIS NANOSILIKA DARI ABU KETEL INDUSTRI
GULA MENGGUNAKAN METODE KO-PRESIPITASI
DENGAN TEMPLATE PATI

NOVI DIAN RURI ERLINDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini ialah
pengolahan limbah padat industri gula, dengan judul Sintesis Nanosilika dari
Abu Ketel Industri Gula Menggunakan Metode Ko-presipitasi dengan Template
Pati.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti dan
Dr Ir Andes Ismayana MT selaku pembimbing, serta Dr Ir Titi Candra Sunarti
M Si dan Wahyu Kamal Setiawan S Tp M Si yang telah banyak memberi saran.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap staf
Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Laboratorium
Biomaterial Membran Departemen Fisika, rekan satu pembimbingan, serta
teman-teman TIN 48, yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015
Novi Dian Ruri Erlinda


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN

vi
vi
1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

3

METODE

3

Bahan

3

Alat

3


Prosedur Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Kandungan Senyawa Silika pada Abu Ketel dan Abu Furnace

7

Karakteristik Nanosilika

9

Pola Difraksi Sinar X

9


Derajat Kritalinitas Nanosilika

11

Ukuran Kristal Nanosilika

13

Distribusi Ukuran Partikel Nanosilika

14

Gugus Fungsi Nanosilika

16

Morfologi Nanosilika

18


Perbandingan Nanosilika dengan Template dan Nanosilika Tanpa Template

19

Aplikasi Nanosilika yang Sesuai

20

SIMPULAN DAN SARAN

21

Simpulan

21

Saran

22


DAFTAR PUSTAKA

22

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1. Kandungan senyawa abu ketel dan abu furnace PG Gunung Madu Plantation 8
2. PDI (Particle Dispertion Index) dan rata-rata ukuran partikel nanosilika
15
3. Perbandingan karakteristik nanosilika dengan dan tanpa template
20

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Prosedur preparasi abu ketel
Prosedur ekstraksi silika
Prosedur sintesis nanosilika dengan penambahan template pati
Hasil analisa fase nanosilika dengan template tapioka
Hasil analisa fase nanosilika dengan template maizena
Pengaruh jenis dan bobot template terhadap kristalinitas nanosilika
Pengaruh jenis dan bobot template terhadap ukuran kristal nanosilika
Peran ganda pati dalam produksi nanopartikel (visinescu et al. 2010)
Distribusi ukuran partikel nanosilika menggunakan template (a) pati
(b) maizena
10. Spektra FTIR nanosilika menggunakan template (a) tapioka (b) maizena
11. Morfologi nanosilika dengan perbesaran (a) 100x (b) 500x (c) 10 000x

4
5
6
9
11
12
13
14
(b)
16
17
18

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perkembangan teknologi di era globalisasi sangat pesat, termasuk
diantaranya adalah teknologi nano. Nanosilika sebagai salah satu contoh
produk teknologi nano yang banyak diaplikasikan di industri ban, karet,
bangunan, cat, kosmetik, elektronik, dan keramik ( Izzati at al 2013 ).
Senyawa silika di alam ditemukan dalam beberapa bahan alam seperti pasir,
kuarsa, bebatuan dan sebagainya (Sulastri dan Kristianingrum 2010).
Senyawa silika juga dapat ditemukan pada limbah biomassa seperti abu
sekam padi dan abu ketel. Indonesia merupakan negara penghasil gula tebu
dengan tingkat produksi mencapai 2.554,70 ton pada tahun 2013 ( BPS
2014a ). Tingginya produksi gula tebu akan diikuti oleh tingginya
pembentukan limbah, salah satunya berupa abu ketel.
Abu ketel merupakan hasil dari proses pembakaran ampas tebu. Industri
gula menghasilkan abu ketel kira-kira 1,5-2% dari total berat tebu yang
digiling (Ismayana 2014). Abu ketel terbentuk melalui proses pembakaran
ampas tebu pada suhu 550°-600°C selama 4-8 jam. Saat ini, pemanfaatan
limbah abu ketel masih terbatas pada tambahan pupuk organik, penutup jalan
rusak, dan urugan tanah longsor (Ismayana 2014). Sisa pembakaran ampas
tebu memiliki kandungan mineral yang tinggi dan didominasi oleh silika yaitu
sebanyak 55,5% dan sisanya merupakan oksida logam K, Mg, Na, Fe, dan Al
(Hanafi dan Nandang 2010).
Saat ini telah banyak penelitian yang berhasil mensintesis nanosilika
dengan bahan dasar limbah agroindustri, diantaranya berasal dari limbah abu
ketel industri gula. Harihan dan Sivakumar (2013) berhasil mensintesis
nanosilika dari abu ketel menggunakan metode sol-gel dan menghasilkan
nanosilika yang memiliki struktur amorf dan berukuran 90 nm. Secara garis
besar, sintesis nanopartikel dapat dilakukan dengan metode top down (fisika)
dan bottom up (kimia) (Fernandez 2011).
Sintesis nanosilika yang sering dilakukan adalah menggunakan metode
presipitasi kimia karena efisien dalam penggunaan energi dan waktu, namun
penggunaan metode presipitasi belum mampu menghasilkan nanosilika
dengan ukuran yang homogen (Ismayana 2014). Untuk mengatasi
permasalahan ini, beberapa penelitian memodifikasi proses melalui
penambahan template dan biasa disebut metode ko-presipitasi. Penggunaan
template bertujuan untuk melapisi nanopartikel sehingga mampu mencegah
terjadinya penggumpalan (aglomerasi) secara spontan (Daniel-da-Silva 2007).
Persenyawaan silika tersusun atas gugus silanol bebas (-Si-OH) yang
memiliki kecenderungan untuk bereaksi sesamanya dan menghasilkan
siloksan (Si-O-Si). Penggunaan template dimaksudkan untuk mencegah
kemungkinan terbentuknya gugus siloksan dengan cara mereaksikan silanol
bebas dengan template.

2
Polisakarida merupakan salah satu jenis bahan yang dapat digunakan
sebagai template pada sintesis nanopartikel. Ramimogadham et al. (2013)
berhasil mensintesis nanopartikel ZnO menggunakan template beras dan
mampu menggeser distribusi ukuran partikel menjadi lebih kecil.
Polisakarida lain yang juga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai template
adalah pati. Pati memiliki dua konstituen berbeda yaitu amilosa dan
amilopektin. Amilosa tersusun atas rantai linear di mana monomer glukosa
bergabung melalui ikatan α-1,4 glikosidik dan amilopektin tersusun atas
rantai bercabang dimana unit glukosa dihubungkan oleh α-1,4 dan 1,6-α
ikatan glikosidik. Konstituen amilosa dan amilopektin ini berkontribusi pada
karakteristik ukuran nanopartikel ( Visinescu 2010 ). Salah satu jenis pati
yang banyak ditemui di Indonesia adalah pati ubu kayu ( tapioka ) dan pati
jagung (maizena). Hasil penelitian yang telah dilakukan Zaini at al (2011)
mengenai produksi nanowire adalah penambahan tapioka menghasilkan
nanowire dengan ukuran homogen. Pemilihan tapioka dan maizena sebagai
template dikarena memiliki perbedaan karakteristik cukup besar terkait
viskositas, ukuran granula, serta konsentrasi amilosa, amilopektin, dan
komponen minor.

Perumusan Masalah
Nanosilika sebagai bahan oksida alam memiliki banyak potensi
pemanfaatan, namun masih terkendala dengan ukuran yang tidak homogen.
Oleh sebab itu diupayakan untuk memperoleh nanosilika dengan ukuran yang
homogen melalui penambahan template pati. Konsentrasi template pati
mampu memberikan pengaruh terhadap karakteristik nanosilika.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan sintesis nanosilika dari abu
ketel industri gula melalui metode ko-presipitasi. Mengetahui pengaruh dari
penambahan template tapioka dan maizena terhadap karakteristik nanosilika
yang dihasilkan. Serta menentukan aplikasi yang cocok dari nanosilika yang
dihasilkan.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu memberikan informasi mengenai proses
penambahan template berbasis pati pada produksi nanosilika dari abu ketel

3
industri gula dalam upaya memperbaiki karakteristik nanosilika yang
dihasilkan.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi sintesis partikel nanosilika dari abu ketel industri
gula dengan metode ko-presipitasi template pati dengan skala laboratorium.
Karakterisasi nanosilika meliputi ukuran partikel, polidispersitas, kristalinitas,
dan ukuran kristal, serta gugus fungsi nanosilika.

METODE

Bahan
Bahan yang digunakan adalah abu ketel yang diperoleh dari Pabrik
Gula Gunung Madu Plantation (GMP), natrium hidroksida (Merck/Teknis),
kertas saring, asam sulfat (Merck/PA), amonium hidroksida (Merck/PA),
asam klorida (Merck/PA), kertas saring Whatmaan 42, kertas pH, aquades,
tapioka dan maizena.

Alat
Peralatan yang digunakan meliputi tanur (furnace), peralatan refluks,
magnetic stirrer, magnet, pengering oven, pH meter, penyaring vakum,
kompor listrik. Peralatan analisis terdiri dari PSA (Particle Size Anayzer)
Vasco, XRF (X-Ray Fluorescence) ARL OPTX-2050, XRD (X-Ray
Diffractometer) GBC Emma, FTIR (Fourier Transform Infrared) Tensor 37
(Bruker Optics), SEM (Scanning Elecron Microscopy) ZEISS Type EVO MA
10.

Prosedur Penelitian

Preparasi Abu Ketel
Abu ketel disortasi untuk menghilangkan bahan bukan abu seperti
serabut kayu dan kerikil, kemudian abu disaring menggunakan saringan kasar

4
untuk menyeragamkan ukuran. Abu yang telah disaring kemudian diabukan
pada suhu 700 ˚C selama 6 jam menggunakan tanur (Thuadaij dan Nuntiya
2008). Proses preparasi abu ketel dapat dilihat pada Gambar 1.
Mulai

Abu Ketel
Sortasi dan
Penyaringan

Bahan Bukan Abu

Abu Ketel Seragam
Pengabuan
Abu Furnace

Selesai

Gambar 1 Prosedur preparasi abu ketel

Pengujian Abu Ketel dan Abu Furnace
Kandungan persenyawaan dan unsur dari abu ketel dan abu furnace
dianalisis menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence) ARL OPTX-2050 yang
dioperasikan dengan arus 10 mA dan tegangan 50 kV. Sebanyak 5 g sampel
akan dipindai dan dikalibrasikan sesuai energi dan intensitasnya. Analisis
unsur dari Na hingga U menggunakan detektor Si (Li) (Sintilation).

Ekstraksi Silika
Sebanyak 10 g abu furnace diekstrak menggunakan NaOH 2,5 N 80 ml
selama 3 jam dengan suhu 80-100 oC kemudian didinginkan. Pemisahan
filtrat (silika) dengan ampas dilakukan melalui penyaringan. Selama proses
penyaringan ampas dicuci menggunakan air panas untuk mengoptimalkan
filtrat yang diperoleh. Kemudian dengan menggunakan magnetic stirrer
secara kontinyu ditambahkan dengan H2SO4 5 N hingga pH menjadi 2 dan
dilanjutkan penambahkan NH4OH 2,5 N hingga pH menjadi 8,5. Setelah

5
diperoleh bentuk sol, kemudian dibiarkan dalam suhu ruang selama 3,5 jam
dan dikeringkan pada suhu 105 ˚C selama 12 jam (Thuadaij dan Nuntiya
2008; Ismayana 2014; Setiawan 2015). Proses sintesis silika dari abu furnace
dapat dilihat pada Gambar 2.
Mulai
10 g Abu Furnace
Ekstraksi
Air Panas

Penyaringan

NaOH 2,5 N

Residu

Filtrat
NH4OH 2,5 N

Presipitasi

H2SO4 5 N

Aging
Pengeringan
Silika
Selesai
Gambar 2 Prosedur ekstraksi silika

Sintesis Nanosilika
Silika yang telah diperoleh atau diekstrak dari abu furnace dilakukan
refluks dengan HCl 3 N selama 6 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan
dengan pompa vakum untuk memisahkan filtrat dan padatannya. Padatan
yang diperoleh dicuci dengan akuades hingga netral kemudian dikeringkan.
Setelah kering, padatan dilarutkan dalam NaOH 2,5 N menggunakan
magnetic stirrer selama 8 jam dan 1 jam setelah stirer ditambahkan template
berupa tapioka dan maizena dengan perbandingan template:silika 1:2, 1:4,
1:6 atau setara dengan 33,33; 20,00; 14,29 (%b/b). Setelah itu dilakukan
proses presipitasi dengan ditambahkan H2SO4 5N hingga pH menjadi 8.
Bahan kemudian dicuci dengan akuades hangat. Setelah itu, dibiarkan pada
suhu 60 oC selama 3 jam, kemudian dikeringkan menggunakan oven pada
suhu 105 ˚C. Selanjutnya diabukan dengan tanur 700°C selama 4 jam
(Thuadaij dan Nuntiya 2008; Ismayana 2014; Setiawan 2015). Proses sintesa
nanosilika dapat dilihat pada Gambar 3.

6

Mulai
Silika Murni

Filtrat

Reflux

HCl 3N

Penyaringan

Aquades

Residu

Pelarutan
Tapioka/Maizena
33,33; 20,00;
14,29 (%b/b)

Pencampuran
dan
Pengadukan
Presipitasi

Akuades

NaOH 2,5N

H2SO4 5N

Pencucian
Aging
Pengeringan
Nanosilika
Kalsinasi
Selesai

Gambar 3 Prosedur sintesis nanosilika dengan penambahan template pati

Karakterisasi Nanosilika
Pengujian terhadap ukuran dan distribusi ukuran partikel nanosilika
dilakukan menggunakan Vasco Particle Size Analyzer. Sebanyak 0,02 g
bubuk nanosilika didispersikan dalam akuades dan diputar dengan magnetic
stirrer selama 15 menit. Pemindaian partikel nanosilika dilakukan dengan
PSA selama 2-5 menit.
Analisis XRD (X-Ray Diffraction) dilakukan untuk mengetahui pola
difraksi, ukuran kristal, fase kristal, dan derajat kristalinitas. XRD (X-Ray
Diffraction) GBC Emma dioperasikan pada 35 kV dan 25 mA. Radiasi
menggunakan Cu-Kα dengan panjang gelombang (λ) 1,54056 Å.
Difraktogram dipindai mulai 10˚ sampai 80˚ (2θ) dengan laju pemindaian 3˚
per menit. Pengujian gugus fungsi nanosilika dilakukan menggunakan FTIR

7
(Fourier Transform Infrared). Sebanyak 2 mg sampel ditambahkan 200 mg
KBr untuk dibentuk menjadi pellet dan dianalisis menggunakan FTIR Tensor
37 (Bruker Optics). Pengujian morfologi partikel dan unsur penyusun bahan
dilakukan menggunakan SEM ZEISS Type EVO MA 10. Sedikit sampel
diambil dan diletakkan pada plat logam dan dilakukan pemompaan, untuk
selanjutnya dilapisi emas dan dipindai dengan perbesaran mulai 100 kali
hingga 10 000 kali.

Analisis dan Pengolahan Data
Analisis dan pengolahan data yang diperoleh dilakukan menggunakan
metode deskriptif terhadap hasil uji PSA, FTIR, dan XRD. Perhitungan
derajat kristalinitas menggunakan software PowderX dan ukuran kristal
menggunakan persamaan Scherrer.
�=

��
� ����

Dimana k merupakan konstanta Scherrer (0,9), λ adalah panjang
gelombang Cu-Kα (0,154056 nm), β merupakan Full Width at Half Maximum
(FWHM) dan θ adalah sudut fase. Fase kristal diidentifikasi dan dihitung
kemurniannya dengan kartu PDF (Powder Diffraction File) menggunakan
software Match! 2. PDF [96-900-0076] merupakan kartu PDF dari fase quartz.
PDF [96-900-0521] merupakan kartu PDF dari fase tridimit dan PDF [96900-1579] merupakan kartu PDF dari fase kristobalit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Senyawa Silika pada Abu Ketel dan Abu Furnace
Abu ketel merupakan hasil perubahan kimiawi akibat pembakaran
ampas tebu murni. Ampas tebu dapat digunakan sebagai bahan bakar ketel
dan dapat memanaskan hingga mencapai suhu 5500 – 6000 C selama 4-8 jam
(Hernawati dan Indarto 2010). Pada proses pembakaran ampas tebu semua
bahan organik diubah menjadi gas CO2 dan H2O serta meninggalkan abu
sebagai residu. Abu sisa pembakaran ampas tebu tinggi kandungan silika
amorf yaitu sebanyak 55,5% dan sisanya merupakan oksida logam K, Ca, Ti,
V, Mn, Fe, Cu, Zn dan P (Hanafi dan Nandang 2010). Banyak potensi
pemanfaatan silika diantaranya sebagai bahan utama industri gelas dan kaca,
bahan baku pembuatan sel surya, produksi pigmen, dan katalis (Munasir et al.
2012).

8
Abu ketel diperoleh dari Pabrik Gula Gunung Madu Plantation (GMP).
Pabrik GMP menghasilkan ampas tebu sebesar 30–34% dari total tebu yang
digiling dan sebagian besar dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan pakan
ternak, serta sebanyak 27% bagasse digunakan sebagai bahan bakar ketel
(boiler). Pembakaran abu ketel di pabrik ini menghasilkan 1,5–2% abu ketel
dari total tebu yang digiling. Abu ketel yang dihasilkan ini belum
dimanfaatkan secara optimal dan hanya digunakan sebagai bahan tambahan
pupuk organik. Hasil uji terhadap abu ketel dan abu furnace pabrik GMP
menggunakan XRF disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan senyawa abu ketel dan abu furnace PG Gunung Madu
Plantation
No
Senyawa
Abu Ketel (%)
Abu Furnace (%)
1
SiO2
49,69
78,75
2
Al2O3
11,24
10,36
3
K2O
8,76
1,80
4
P2O5
8,14
0
5
Na2O
7,00
0,206
6
CaO
4,95
0,886
7
MgO
3,59
1,06
8
Fe2O3
3,23
5,37
9
SO3
1,63
0
10
TiO2
0,790
0,622
Kandungan senyawa tertinggi pada abu ketel pabrik GMP hasil uji XRF
adalah silika (SiO2) yaitu sebesar 49,69%. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan
hasil penelitian Hanafi dan Nandang (2010), dimana kandungan silika abu
ketel mencapai 55,5%. Tingginya silika pada abu ketel ini dapat ditingkatkan
nilai tambahnya melalui pemanfaatan untuk produksi nanosilika.
Upaya peningkatan kemurnian silika pada abu ketel ini dilakukan
melalui pembakaran menggunakan tanur pada suhu ±700°C selama 6 jam.
Melalui pembakaran suhu tinggi maka komponen organik pada abu ketel akan
hilang sehingga hanya akan tersisa komponen mineral. Beberapa komponen
anorganik dengan titik lebur kurang dari 7000C akan mengalami penurunan
jumlah atau bahkan hilang. Karakteristik abu ketel berubah setelah dilakukan
pembakaran. Secara visual abu ketel pabrik GMP adalah berwarna hitam
dengan tekstur kasar dan setelah mengalami proses pengabuan warna abu
berubah menjadi coklat keputihan dengan tekstur halus. Hal ini menandakan
telah hilangnya unsur karbon pada bahan.
Hasil karakterisasi abu furnace menunjukkan terjadi peningkatan
kandungan silika sebesar 29,06 %. Hal ini mengindikasi penurunan dan
hilangnya komponen lain yang menyebabkan kadar silika meningkat.
Senyawa Fe2O3 dan SiO2 memiliki titik lebur tinggi yaitu pada suhu 1535 ˚C
dan 1414 ˚C sehingga tidak mengalami penurunan jumlah akibat pengabuan
suhu 700 ˚C (Bauccio 1993). Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa
senyawa Al2O3, K2O, MgO, CaO, dan TiO2 mengalami penurunan persentase.
Sedangkan senyawa P2O5, SO3 dan Na2O tidak terdeteksi pada abu furnace.
Hal ini disebabkan P2O5, SO3 dan Na2O memiliki titik lebur rendah yaitu pada

9
44.19 ˚C, 115,2 ˚C, 97,8 ˚C secara berturut-turut (Bauccio 1993). Senyawa
Al2O3, K2O, CaO, dan MgO memiliki titik lebur pada 660,45 ˚C, 350 ˚C , 840
˚C, dan 649 ˚C secara berturut-turut (Bauccio 1993).
Karakteristik Nanosilika

Pola Difraksi Sinar X
Analisa menggunakan XRD menghasilkan pola difraksi lengkap
dengan intensitas pada 2θ. Besar intensitas pada 2θ digunakan untuk
menentukan pola difraksi dan fase kristal. Setiap senyawa memiliki
kemunculan di 2θ yang khas akibat spesifitas bidang pantul pada setiap fase
berbeda. Silika dengan sifat kristalin memiliki banyak fase dengan fase
dominan quartz, kristobalit, dan tridimit. Di alam silika terdapat dalam fase
amorf terhidrat yang dapat menyusun atom atomnya menjadi silika kristalin.
Pola difraksi nanosilika dengan penambahan template tapioka 33,33%
menunjukkan intensitas tertinggi pada 2θ 22,0110. Intensitas tertinggi pada
template tapioka 20,00% berada pada 2θ 22,0580. Perlakuan penambahan
template tapioka 14,29% menghasilkan intensitas tertinggi pada 2θ 21,9660.
Berdasarkan uraian ini terlihat bahwa perlakuan konsentrasi template tapioka
memberikan trend yang sama terhadap 2θ tertinggi yaitu berada pada kisaran
22,000. Hasil analisa fase nanosilika dengan template tapioka lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hasil analisa fase nanosilika dengan template tapioka

10
Nilai 2θ tertinggi dari ketiga jenis perbandingan template dan silika
menunjukkan fase kristobalit dengan kemurnian fase diatas 99%.. Fase
kristobalit mendominasi multifase nanosilika dari semua perlakuan
konsentrasi, hal ini juga ditunjukkan oleh peak tertinggi pada 2θ 22,000 yang
pada kartu PDF menunjukkan fase kristabolit. Dominasi fase kristobalit
menunjukkan bahwa nanosilika memiliki kestabilan termal yang baik secara
kualitatif (Sembiring dan Karo-Karo 2007). Fase kristobalit tertinggi
dihasilkan pada perlakuan penambahan template tapioka 33,33% yang
menunjukkan kestabilan termal terbaik. Pola difraksi nanosilika pada tiap
taraf perlakuan konsentrasi template tapioka menghasilkan intensitas
tertinggi pada penambahan template 33,33%, intensitas di 2θ menurun seiring
dengan penurunan jumlah penambahan template. Hal ini disebabkan
penambahan tapioka akan menyebabkan adanya modifikasi permukaan pada
nanosilika, dimana gugus silanol akan berikatan dengan gugus hidroksil pada
amilosa. Proses modifikasi ini menyebabkan adanya kontribusi amilosa
terhadap kristalinitas nanosilika dan menyebabkan intensitas yang
ditunjukkan semakin menurun seiring meningkatnya jumlah gugus silanol
yang berikatan dengan gugus hidroksil dari pati.
Nanosilika hasil ko-presipitasi dengan penambahan template maizena
menunjukkan fase silika memiliki karakter multifase yang terdiri dari fase
kristobalit, quartz, tridimit (Gambar 5). Perlakuan perbandingan template
maizena 33,33% menghasilkan peak 2θ tertinggi terdapat pada 22,4750 dan
berdasarkan kecocokan dengan kartu PDF menunjukkan fase kristabolit
mendominasi fase kristal dengan presentase 83,353 fase kristal silika.
Penggunaan perbandingan template maizena 20,00% menghasilkan peak 2θ
tertinggi terdapat pada 22,0770 dimana pada kartu PDF menunjukkan fase
kristobalit. Fase kristal dominan pada perlakuan ini adalah fase kristobalit
dengan prosentase 62,630% kristal silika. Sedangkan pada perlakuan
perbandingan template maizena 14,29% dihasilkan intensitas 2θ tertinggi
pada 22,0090 yang menunjukkan fase kristobalit dengan presentase 79,877%
kristal silika. Berdasarkan ketahan termal maka perlakuan perbandingan
maizena terbaik adalah 33,33% dan 14,29% dengan fase dominan kristobalit
tertinggi. Pola difraksi nanosilika pada tiap taraf perlakuan konsentrasi
template maizena menghasilkan intensitas tertinggi pada penambahan
template 14,29%, intensitas di 2θ meningkat seiring dengan penurunan
jumlah penambahan template.
Secara umum penambahan template tapioka dan maizena pada
nanosilika mengasilkan pola difraksi dengan intensitas tertinggi pada 2θ 220
dengan fase dominan kristobalit. Intensitas pada 2θ nanosilika dengan
penambahan maizena lebih kecil dibandingkan nanosilika dengan
penambahan tapioka pada taraf yang sama. Hal ini disebabkan kandungan
amilosa pada maizena lebih tinggi dibandingkan tapioka. Tapioka terdiri dari
17% amilosa (Syamsir et al. 2011), sedangkan maizena komersil terdiri dari
27% amilosa (Alam dan Nurhaeni 2008). Kandungan amilosa pada pati
berperan pada sifat amorf dan menyebabkan penurunan kristalinitas partikel.
Tingginya intensitas pada 2θ ini secara visual menunjukkan tingginya derajat
kristalinitas nanosilika yang dihasilkan.

11

Gambar 5 Hasil analisa fase nanosilika dengan template maizena

Derajat Kritalinitas Nanosilika
Derajat kristalinitas menunjukkan presentase fase kristalin didalam
suatu bahan. Derajat kristalinitas dihitung menggunakan software PowderX
untuk mengetahui data ketinggian dan FWHM (Full Width at Half Maximum)
pada peak masing-masing 2θ. Kedua data ini digunakan untuk menghitung
luas keseluruhan fase dan luas fase kristalin sehingga presentase fase kristalin
dapat diperoleh. Pati memiliki dua konstituen berbeda yaitu amilosa dan
amilopektin. Granula pati akan mengembang dalam air serta struktur
semikristalin pati akan berubah menjadi amilosa yang lebih kecil. Gugus –
OH pada amilosa dapat berikatan dengan gugus –OH pada siloksan (Si-OH).
Perhitungan derajat kristalinitas nanosilika yang dihasilkan tersedia pada.
Metode ko-presipitasi template tapioka menunjukkan bahwa semakin
rendah konsentrasi tapioka maka kristalinitas nanosilika semakin menurun
(Gambar 6). Kristalinitas tertinggi pada perlakuan ini senilai 71,069% dan
terendah 66,966%. Amilosa berperan pada sifat amorf pati, sedangkan
amilopektin berperan pada sifat kristalin pati (Syamsir et al. 2012). Tapioka
memiliki ukuran granula yang lebih besar bila dibandingkan maizena dan
menjadikan tapioka memiliki swelling power dan viskositas yang juga lebih

12
besar. Viskositas tapioka yang tinggi yaitu 1200 BU menyebabkan
penambahan tapioka dalam jumlah banyak akan mengurangi reaktivitas
H2SO4 terhadap natrium silikat. H2SO4 pada larutan akan mengurangi
viskositas larutan dengan cara memotong rantai amilosa secara acak atau
menyebabkan hidrolisi pati menjadi monomer yang lebih kecil, sehingga
amilosa tidak banyak yang berikatan dengan silanol. Namun seiring dengan
penurunan jumlah penambahan tapioka maka viskositas larutan juga semakin
rendah dan pengaruhnya terhadap H2SO4 menurun. Hal ini ditunjukkan pada
penambahan tapioka 14,29% memberikan pengaruh yang besar terhadap
kristalinitas nanosilika, dimana gugus amilosa diindikasi berikatan dengan
gugus silanol yang menyebabkan kristalinitas paling rendah.
80
Derajat Kristalinitas (%)

70
60

71,272

71,609

68,772
66,966
62,049

50
49,063

40
30

Kristalinitas
Template
Tapioka
Kristalinitas
Template
Maizena

20
10
0
14,29

20,00
Bobot Template % (b/b)

33,33

Gambar 6 Pengaruh jenis dan bobot template terhadap kristalinitas nanosilika
Hal berbeda dihasilkan pada perlakuan penambahan maizena, dimana
penambahan 14,29% menghasilkan derajat kristalinitas nanosilika yang
terbesar yaitu 68,772%. Penambahan maizena dalam jumlah lebih besar akan
mengakibatkan amilosa yang berikatan dengan silanol semakin banyak.
Amilosa yang berperan pada fase amorf akan banyak mempengaruhi
kristalinitas silika sehingga pada konsentrasi penambahan maizena yang
rendah menghasilkan derajat kristalinitas nanosilika yang besar. Tapioka
terdiri dari 17% amilosa (Syamsir et al. 2011), sedangkan maizena komersil
terdiri dari 27% amilosa (Alam dan Nurhaeni 2008). Secara umum
penggunaan template maizena menghasilkan kristalinitas lebih rendah
dibandingkan penggunaan template tapioka pada konsentrasi yang sama. Hal
ini telah sesuai dengan Atichokudomchai et al. (2010) serta Cheetham dan
Tao et al. (2010) yang menyebutkan bahwa peningkatan kadar amilosa
mengakibatkan penurunan kristalinitas.

13
Ukuran Kristal Nanosilika
Ukuran kristal diperoleh dengan menghitung rata-rata ukuran kristal
pada intensitas tinggi. Ukuran kristal dihitung menggunakan persamaan
Scherrer (Nawawi et al. 2013). Ukuran kristal nanosilika yang dihasilkan
pada masing-masing perlakuan konsentrasi template dapat dilihat pada
Gambar 7.
Template Tapioka

38,387

37,852
Ukuran Kristal (nm)

Template Maizena

37,346
36,098

35,951

35,260

14,29

20,00

33,33

Bobot Template %(b/b)
Gambar 7 Pengaruh jenis dan bobot template terhadap ukuran kristal
nanosilika
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa penggunaan template
tapioka menunjukkan penambahan template tapioka menghasilkan ukuran
kristal rata-rata nanosilika yang semakin besar seiring dengan bertambanya
konsentrasi template. Sedangkan pada penambahan template maizena, ukuran
kristal nanosilika semakin kecil seiring bertambahnya konsentrasi template.
Hidrolisis asam yang dilakukan akan memutus struktur ikatan kimia pada
kristal silika yang mengakibatkan strukturnya menjadi lebih kecil (Ismayana
2014). Pembentukan kristal silika terjadi pada saat penambahan H2SO4.
Menurut Happy et al. (2007), proses pertumbuhan kristal dimulai dari
pembentukan nuklei (inti kristal) dan diikuti penambahan molekul inti kristal
lainnya untuk membentuk partikel kecil (partikel primer). Setelah terbentuk
partikel primer, maka partikel primer ini dapat beraggregasi dengan partikel
primer lainnya membentuk partikel sekunder yang lebih besar. Berdasarkan
data yang dihasilkan, ukuran rata-rata kristal nanosilika terkecil diperoleh
pada penambahan template dimana gugus amilosa berikatan dengan gugus
silanol terbanyak.

14
Distribusi Ukuran Partikel Nanosilika
Matriks karbon berbentuk heliks pada amilosa memiliki peran dalam
memberikan bentuk morfologi serta keseragaman ukuran nanopartikel
(Ramimogadham et al. 2013). Sedangkan amilopektin dan amilosa berperan
penting pada agregasi partikel. Hal ini terkait dengan adanya gugus hidroksil
pada keduanya. Gugus hidroksil memiliki kemampuan untuk berasosiasi ke
dalam intra ataupun intermolekul sehingga dapat menyelaraskan transisi ion
Si2+ dan menjaga adanya agregasi yang tinggi antar partikel silika.
Mekanisme peran pati dalam studi ukuran nanopartikel dapat dilihat pada
Gambar 8.

Gambar 8 Peran ganda pati dalam produksi nanopartikel (Visinescu et al.
2010)
Distribusi ukuran partikel terkait dengan indeks polidispersitas, yaitu
hasil perhitungan massa rata-rata molekul dibagi dengan jumlah rata-rata
massa molekul. Indeks polidispersitas semakin mendekati titik nol maka
distribusinya semakin baik (Haryono et al. 2012). Nilai indeks polidispersitas
yang lebih kecil dari 0,3 menunjukkan bahwa sampel memiliki distribusi baik
(mono dispers) dan ukuran nanopartikel yang seragam (Dewandari et al.
2013). Secara umum, perlakuan penambahan konsentrasi template tapioka
dan maizena menghasilkan nanopartikel dengan distribusi ukuran yang baik
dengan PDI kurang dari 0,3 (Tabel 2). Penambahan tapioka dengan
konsentrasi 14,29% merupakan perlakuan yang memberikan hasil
nanopartikel silika yang heterogen dan ditunjukkan oleh nilai PDI lebih dari
0,3. Hal ini menunjukkan terjadinya aglomerasi antar partikel silika yang
menyebabkan rentang ukuran partikel melebar.

15
Tabel 2 PDI (particle dispertion index) dan rata-rata ukuran partikel
nanosilika
Bobot Template
(%b/b)

PDI (Particle Dispertion
Index)

Z average (nm)

Tapioka 33,33%

0,148

447,02

Tapioka 20,00%

0,294

353,47

Tapioka 14,29%

0,416

356,14

Maizena 33,33%

0,068

348,22

Maizena 20,00%

0,023

524,54

Maizena 14,29%

0,033

655,22

Penggunaan template maizena pada semua taraf konsentrasi mampu
menggeser ukuran partikel lebih homogen bila dibandingkan penambahan
tapioka, dimana nilai PDI yang dihasilkan kurang dari 0,1. Maizena memiliki
kandungan amilosa lebih tinggi dibandingkan tapioka, sehingga pada
konsentrasi yang sama jumlah amilosa yang berikatan dengan gugus silanol
pada penambahan maizena akan lebih banyak. Hal ini menyebabkan partikel
silika yang dihasilkan lebih seragam. Distribusi ukuran partikel nanosilika
menggunakan template dapat dilihat pada Gambar 9(a) untuk tapioka dan
Gambar 9(b) untuk maizena. Rentang ukuran partikel silika dengan
penambahan template tapioka memiliki rentang paling lebar dari 68 nm
hingga 2139 nm, sedangkan pada penambahan maizena rentang ukuran
nanosilika yang dihasilkan lebih sempit (Gambar 9b) yang menunjukkan
nanopartikel lebih homegen.
Penggunaan template tapioka memberikan hasil PDI dan rentang
ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan pada penambahan template
maizena disebabkan tapioka memiliki jumlah amilosa yang lebih sedikit
sehingga pada konsentrasi yang sama gugus amilosa yang berikatan dengan
silanol lebih sedikit. Tapioka juga memiliki kandungan senyawa minor lebih
kecil dibandingkan maizena, sehingga kompleks ikatan heliks-lipid pada
amilosa lebih banyak dan menjadikan kelarutan tapioka lebih rendah. Hal ini
mengakibatkan kompleks amilosa-silanol pada penambahan tapioka lebih
banyak yang lepas pada saat dilakukan proses pencucian dan menyebabkan
terjadinya aglomerasi partikel sehingga rentang ukuran partikel nanosilika
dengan penambahan tapioka menjadi lebar. Sarungallo et al (2010)
menyatakan nilai swelling power (16,38%) dan ukuran granula tapioka (3-40
µm) lebih besar dibandingkan maizena yang memiliki swelling power
(5,66%) dan ukuran granula (5-25 µm). Hal ini menyebabkan ukuran partikel
nanosilika yang tersalut menjadi lebih beragam.

16

0,7

Tapioka 33,33%

Tapioka 20,00%

Tapioka 14,29%

0,6
Intensitas

0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0

0

500

1000
1500
Ukuran Partikel (nm)

2000

2500

(a)
0,7

Maizena 33,3%

Maizena 20,00%

Maizena 14,29%

0,6
Intensitas

0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
0

500

1000
1500
Ukuran Partikel (nm)

2000

2500

(b)
Gambar 9 Distribusi ukuran partikel nanosilika menggunakan template
(a) pati (b) maizena

Gugus Fungsi Nanosilika
Gugus fungsi pada nanosilika yang diperoleh melalui penambahan
template pati digunakan untuk mengetahui keberhasilan template menyalut
nanosilika. Sebelum dilakukan proses kalsinasi pada Gambar 10(a)
memperlihatkan spektrum pada beberapa puncak yang khas untuk silika
dengan penambahan template tapioka dan maizena (Gambar 10(b) ). Spektra
FTIR yang dihasilkan pada penggunaan maizena dan tapioka sebelum
kalsinasi sama, yang menunjukkan gugus fungsi penyusun pada nanosilika
untuk penambahan kedua jenis template adalah sama. Puncak utama yang

17
mengindikasi sebagai puncak khas silika berada pada peak 3438,67 cm-1 dan
3436,67 cm-1 Puncak ini merupakan puncak untuk vibrasi ulur –OH (gugus
hidroksil), yang pada silika menunjukkan gugus silanol Si-OH dan gabungan
dari serapan –OH air (Lin et al. 2001). Gugus fungsi silika juga ditemukan
pada panjang gelombang 467,86 cm-1 dan 468,81 cm-1 yang menunjukkan
vibrasi tekuk gugus siloksan Si-O-Si. Gugus fungsi siloksan ini diperkuat
dengan adanya serapan pada panjang gelombang 800,83 cm-1 dan 798,04
cm-1 yang merupakan vibrasi ulur simetri Si-O dari Si-O-Si, serta panjang
gelombang 1101,65 cm-1 dan 1102,98 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur
asimetri Si-O dari Si-O-Si (Silverstein et al. 1991). Peak yang mengindikasi
adanya komponen organik (gugus C-H) terdapat pada bilangan gelombang
2950-2850 cm-1 (Van Hai Le 2013). Adanya peak pada bilangan gelombang
2928,85 cm-1 dan 2929,79 cm-1 membuktikan komponen organik dalam hal
ini pati tersalut dalam nanosilika yang dihasilkan.
Sebelum Kalsinasi
Sesudah Kalsinasi

Transmitance
Wavenumber (cm-1)

(a)
Sebelum Kalsinasi
Sesudah Kalsinasi
Transmitance
Wavenumber (cm-1)

(b)
Gambar 10 Spektra FTIR nanosilika menggunakan template (a) tapioka
(b) maizena

18
Proses kalsinasi yang dilakukan pada nanosilika menyebabkan
perubahan gugus fungsi yang ditunjukkan oleh perbedaan spektra hasil FTIR .
Gugus C-H tidak lagi ditemukan pada sampel sesudah kalsinasi, yang
mengindikasi keberadaan template pati telah hilang. Selain itu pada bilangan
gelombang 1630 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur –OH oleh air juga tidak
ditemukan pada penambahan tapioka, namun pada penambahan maizena
masih dihasilkan serapan pada bilangan gelombang 1631,59 cm-1 dengan
intensitas lebih kecil yang menunjukkan kandungan air pada nanosilika
berkurang. Pada perlakuan setelah kalsinasi gugus silanol dan siloksan tetap
muncul dengan bilangan gelombang 3430,09 cm-1 dan 3433,46 cm-1 untuk
silanol, 1094,84 cm-1 dan 1104,75 cm-1 , 795,08 cm-1 dan 798,95 cm-1, 487,06
cm-1 dan 469,85 cm-1 untuk siloksan. Terdapat perbedaan pada spektra FTIR
setelah kalsinasi untuk sampel dengan penambahan tapioka dan maizena.
Penggunaan maizena menghasilkan serapan pada bilangan gelombang 2300
cm-1 yang menunjukkan adanya gugus Si-H pada nanosilika. Penambahan
template maizena menyebabkan munculnya gugus silane pada nanosilika
setelah kalsinasi.

Morfologi Nanosilika
Penggunaan polisakarida sebagai template pada proses pembuatan
nanosilika mampu memodifikasi morfologi nanosilika yang dihasilkan.
Bentuk nanosilika cenderung poligonal ( Ismayana, 2014) dan memiliki
rongga akibat hasil interaksi antara silika dan polisakarida yang digunakan
(Gambar 11(c) ). Morfologi nanosilika diamati secara random dengan
perbesaran 100 kali, 500 kali, dan 10 000 kali. Perbesaran 100 kali digunakan
untuk mengetahui sebaran ukuran partikel. Terlihat pada Gambar 11(a)
partikel nanosilika memiliki distribusi yang baik atau tersebar merata. Sampel
yang digunakan untuk pengujian SEM adalah nanosilika dengan template
maizena 20%. Perbesaran 500 kali digunakan untuk mengamati morfologi
tunggal partikel, dan pada Gambar 11(b) terlihat bahwa nanosilika yang
dihasilkan berbentuk poligonal. Sedangkan perbesaran 10 000 kali digunakan
untuk melihat bentuk permukaan partikel.

(a)

(b)

(c)

Gambar 11 Morfologi nanosilika dengan perbesaran (a) 100x (b) 500x
(c) 10 000x
Berdasarkan pengamatan EDX (Energy Dispersion X-ray
spectroscopy) dan mapping terlihat bahwa partikel nanosilika tersusun atas

19
kandungan unsur dominan yaitu Si dan O. Unsur Si sebanyak 49,65% (wt)
dan unsur O sebanyak 35,54% (wt). Namun pada bahan juga terdeteksi
adanya unsur C dan Na. Unsur C (karbon) berasal plat preparat sampel yang
terbuat dari karbon. Sedangkan elemen Na berasal dari garam Na2SO4
(produk samping dari produksi silika) yang masih menempel pada partikel
nanosilika.

Perbandingan Nanosilika dengan Template dan Nanosilika Tanpa
Template
Tahapan sintesis nanosilika menggunakan metode presipitasi pada pH
8 dan waktu aging 3 jam sama dengan tahapan metode ko-presipitasi
menggunakan template. Analisa yang dilakukan untuk menentukan
karakteristik dari nanosilika yang dihasilkan juga tidak berbeda. Nanosilika
tanpa perlakuan penambahan template digunakan sebagai kontrol dan
pembanding keberhasilan penelitian ini.
Nanosilika yang diperoleh tanpa penambahan template menghasilkan
derajat kristalinitas tinggi yaitu 82,070%. Nilai ini merupakan nilai
kristalinitas tertinggi dari nanosilika yang dihasilkan selama penelitian.
Nanosilika dengan penambahan template memiliki kristalinitas lebih kecil
karena kontribusi amilosa yang menyebabkan penurunan kristalinitas
(Atichokudomchai et al. 2010), dan (Cheetham dan Tao et al. 2010).
Kristalinitas terendah dihasilkan oleh penambahan template maizena karena
memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi bila dibandingkan tapioka.
Nanosilika yang dihasilkan tanpa penambahan template memiliki karakter
multifase yang terdiri dari fase quartz, tridimit, dan kristobalit, sama halnya
dengan nanosilika dengan penambahan template. Presentase dominan
nanosilika tanpa penambahan template adalah fase kristobalit sebesar
54,953%. Penambahan template tidak mempengaruhi fase dominan
nanosilika, hal ini dibuktikan oleh penambahan template maizena ataupun
tapioka pada semua konsentrasi menghasilkan fase dominan kristobalit
dengan presentase fase kristal dominan lebih tinggi. Proses kalsinasi pada
suhu 700 0c menyebabkan perubahan fase kristal quartz menjadi tridimit dan
kristobalit. Ukuran kristal nanosilka pada perlakuan tanpa template sangat
beragam yaitu pada rentang 36-61 nm dengan rata-rata ukuran kristal 42,128.
Berbeda dengan nanosilika yang menggunakan template, pada masingmasing konsentrasi diperoleh ukuran kristal yang lebih seragam dengan
ukuran lebih kecil dibandingkan nanosilika tanpa template. Hal ini
membuktikan bahwa template dapat digunakan untuk memperbaiki karakter
ukuran nanosilika lebih homogen. Berdasarkan distribusi ukuran partikel,
nanosilika dengan penambahan template mampu menggeser distribusi ukuran
partikel yang lebih kecil yang dibuktikan oleh nilai PDI yang lebih kecil
dengan rentang ukuran partikel yang lebih pendek. Perbandingan
karakteristik nanosilika dengan dan tanpa template secara umum dapat dilihat
pada Tabel 3.

20
Tabel 3 Perbandingan karakteristik nanosilika dengan dan tanpa template
Karakteristik

Non Template

Template
Tapioka 20,00%

Maizena 33,33%

Kristobalit

Kristobalit

Kristobalit

% Fase Dominan

54,953%

82,441%

83,353%

Derajat Kristalinitas

82,070%

71,272%

49,063%

36,098

35,951

34,388-44,494

33,968-39,335

77,65-1778,75

154,92-776,45

0,294

0,068

Fase Dominan

Ukuran Kristal rata42,820
rata (nm)
Rentang Ukuran
36,026 -61,126
Kristal (nm)
Rentang ukuran
33,89-2344,85
partikel (nm)
PDI

0,315

Aplikasi Nanosilika yang Sesuai
Nanosilika hasil dari proses ko-presipitasi template pati secara umum
menghasilkan karakteristik nanosilika yang memiliki polidispersitas kurang
dari 0,3. Menurut Dewandari et al. (2013) partikel dengan polidispersitas
kurang dari 0,3 merupakan partikel dengan karakter mono dispers atau
berukuran seragam. Karakteristik nanosilika ini cocok digunakan sebagai
filler pada polimer nanokomposit yang dapat berguna dalam bidang otomotif,
aerospace, dan aplikasi teknis lainnya. Matriks polimer yang dapat
digunakan adalah epoxy, polierethane, dan polipropilene. Karakteristik
nanosilika dengan penambahan tapioka 14,29%, maizena 14,29%, dan
maizena 20,00% cocok digunakan sebagai silika-nanokomposit dikarenakan
memiliki PDI dibawah 0,3 dan kristalinitas yang bersifat semi kristalin (45nm