Kemampuan Memangsa Rhynocoris Fuscipes F. (Hemiptera:Reduviidae) Terhadap Larva Erionota Thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidae) Dan Spodoptera Litura F. (Lepidoptera : Noctuidae) Di Laboratorium

(1)

KEMAMPUAN MEMANGSA

Rhynocoris fuscipes

F. (Hemiptera:Reduviidae)

TERHADAP LARVA

Erionota thrax

L. (Lepidoptera:Hesperiidae) DAN

Spodoptera litura

F.

(Lepidoptera : Noctuidae) DI LABORATORIUM

SKRIPSI

Oleh:

RIFAI FAUZI 080302019

AGROEKOTEKNOLOGI

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEMAMPUAN MEMANGSA

Rhynocoris fuscipes

F. (Hemiptera:Reduviidae)

TERHADAP LARVA

Erionota thrax

L. (Lepidoptera:Hesperiidae) DAN

Spodoptera litura

F.

(Lepidoptera : Noctuidae) DI LABORATORIUM

SKRIPSI

Oleh: RIFAI FAUZI

080302019

AGROEKOTEKNOLOGI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Meraih Gelar Sarjana Di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing Skripsi

Ketua Anggota

(Prof.Dr.Ir. Darma Bakti, MS) (Ir. Fatimah Zahara)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRACT

Rifai Fauzi, “The potential of Rhynocoris fuscipes F. (Hemiptera:Reduviidae) as a predator of Larvae Erionota thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidae) and Spodoptera litura F. (Lepidoptera:Noctuidae) in the Laboratory” under supervised by Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS. and Ir. Fatimah Zahara. The research was to knew the potential of R. fuscipes as a predator of larvae E. thrax and S. litura. The research was held at the Insect Laboratory, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara, Medan from September to November 2012. The method of this research was randomized complete design factorial with 2 factors, the first is stadia of predator (without predator, nymph, male, and female) and the second is stadia of larvae (larvae of E. thrax, S. litura, 2nd and 4th instar, and combination both of them, the each 6/media) with 2 replications. The parameter are percentage of mortality (%), long consumed (hour) and how to consumed. The results showed that the highest percentage of mortality was P3L3 (female to S. litura 2nd instar) is

100% and the lowest was P0L1, P0L2, P0L3, P0L4, P0L5, P0L6 (Control) dan P1L2,

P1L4, P1L6 (Nymph to larvae 4th instar) is 0%. The highest long consumed, was

P3L4 (Female to S. litura 4th instar) is 3,33 hour and the lowest was P0L1, P0L2,

P0L3, P0L4, P0L5, P0L6 (Control), P1L2, P1L4, P1L6 (Nymph to larvae 4thinstar) is 0

hour.


(4)

ABSTRAK

Rifai Fauzi, “Kemampuan Memangsa Rhynocoris fuscipes F. (Hemiptera:Reduviidae) Terhadap Larva Erionota thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidaae) dan Spodoptera litura F. (Lepidoptera:Noctuidae) di Laboratorium” di bawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS. dan Ibu Ir. Fatimah Zahara. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat pemangsaan R. fuscipes terhadap larva E. thrax dan S. litura. Penelitian dilakukan pada bulan September sampai November 2012 di Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu stadia predator (kontrol, nimfa, imago jantan, imago betina) dan stadia larva (larva E. thrax, S. litura, instar 2 dan 4 serta gabungan keduanya masing-masing 6 ekor/ media) dengan 2 ulangan. Parameter yang diamati meliputi persentase mortalitas larva (%), lama memangsa (jam) dan cara memangsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase mortalitas larva tertinggi pada perlakuan P3L3 (imago betina terhadap S. litura

instar 2) yaitu 100% dan terendah pada perlakuan P0L1, P0L2, P0L3, P0L4, P0L5,

P0L6 (Kontrol) dan P1L2, P1L4, P1L6 (Nimfa terhadap larva instar 4) sebesar 0%.

Lama pemangsaan tertinggi pada perlakuan P3L4 (Imago betina terhadap S. litura

instar 4) yaitu 3,33 jam dan terendah pada perlakuan P0L1, P0L2, P0L3, P0L4, P0L5,

P0L6 (Kontrol), P1L2, P1L4, P1L6 (Nimfa terhadap larvainstar 4) yaitu 0 jam.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Adapun judul skripsi ini adalah “Kemampuan Memangsa

Rhynocoris fuscipes F. (Hemiptera:Reduviidae) Terhadap Larva

Erionota thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidae) dan Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae) di Laboratorium” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M. S., selaku Ketua dan Ir. Fatimah Zahara, selaku Anggota yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna maka penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan di masa mendatang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2013


(6)

RIWAYAT HIDUP

Rifai Fauzi lahir pada tanggal 08 April 1990 di Afdeling B Sidamanik Kecamatan Sidamanik Kabupaten Simalungun, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, putra dari Ayahanda Jumadi dan Ibunda Sudarmina.

Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut: - Tahun 2002 lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 095181 Sidamanik

- Tahun 2005 lulus dari Madrasah Tsanawiyah (MTs) Dharma Pertiwi Bahbutong

- Tahun 2008 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Sidamanik - Tahun 2008 lulus dan diterima di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMB Penulis pernah aktif dalam organisai kemahasiswaan yaitu:

- Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman (IMAPTAN) sebagai Anggota (2008-2012)

- Komunikasi Muslim Hama dan Penyakit Tumbuhan (KOMUS HPT) sebagai Anggota (2008-2012) dan Wakil Ketua (2011/2012)

- Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Beladiri-PPS Betako Merpati Putih sebagai Anggota (2010-2012) dan Ketua (2011)

- Paguyuban Karya Salemba Empat (KSE) Universitas Sumatera Utara sebagai Anggota (2012)

- Mengikuti seminar Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan pada tahun 2011


(7)

- Mengikuti seminar nasional dan rapat tahunan BKS – PTN wilayah barat bidang ilmu pertanian tahun 2012

- Asisten Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman 2011/2012

- Asisten Laboratorium Ekologi Organisme Pengganggu Tanaman pada tahun 2012/2013

- Asisten Laboratorium Hama dan Penyakit Hutan Sub-Hama tahun 2012/2013 - Melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PTP Nusantara III Kebun

Tanah Raja, Sei Rampah pada Juni - Juli 2011.

- Melaksanakan penelitian di Laboratorium Hama, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan pada September-November 2012.


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penulisan ... 3

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penulisan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Erionota thrax L. ... 5

Biologi Spodoptera litura F. ... 8

Biologi Predator Rhynocoris fuscipes F. ... 10

Cara Predator Memangsa ... 13

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Metode Penelitian ... 15

Pelaksanaan Penelitian ... 17

Persiapan Media Perbanyakan ... 17

Penyediaan Larva Serangga Uji ... 17

Penyediaan Predator ... 18

Pengaplikasian ... 18

Parameter pengamatan ... 18

Persentase Mortalitas Larva (%) ... 18

Lama Memangsa (jam) ... 19


(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Mortalitas Larva (%) ... 20 Lama Memangsa (jam) ... 25 Cara Memangsa ... 28 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 30 Saran ... 30 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hlm

1. Tabel 1. Stadia predator ... 20 2. Tabel 2. Persentase mortalitas larva (%) ... 21 3. Tabel 3. Persentase interaksi stadia predator dan stadia

larva (%) ... 23 4. Tabel 4. Lama memangsa (jam) ... 25 5. Tabel 5. Stadia larva ... 26 6. Tabel 6. Lama pemangsaan dari interaksi stadia predator


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hlm

1. Gambar 1. Telur Erionota thrax ... 6

2. Gambar 2. Larva Erionota thrax ... 6

3. Gambar 3. Pupa Erionota thrax ... 7

4. Gambar 4. Imago Erionota thrax ... 7

5. Gambar 5. Telur Spodoptera litura ... 8

6. Gambar 6. Larva Spodoptera litura ... 9

7. Gambar 7. Pupa Spodoptera litura ... 9

8. Gambar 8. Imago Spodoptera litura ... 10

9. Gambar 9. Telur Rhynocoris fuscipes ... 11

10. Gambar 10. Nimfa Rhynocoris fuscipes ... 12

11. Gambar 11. Imago Rhynocoris fuscipes ... 13


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Hlm

1. Bagan Penelitian ... 34

2. Data mortalitas larva (%) untuk setiap perlakuan ... 35

3. Data lama memangsa (jam) pada setiap perlakuan ... 40


(13)

ABSTRACT

Rifai Fauzi, “The potential of Rhynocoris fuscipes F. (Hemiptera:Reduviidae) as a predator of Larvae Erionota thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidae) and Spodoptera litura F. (Lepidoptera:Noctuidae) in the Laboratory” under supervised by Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS. and Ir. Fatimah Zahara. The research was to knew the potential of R. fuscipes as a predator of larvae E. thrax and S. litura. The research was held at the Insect Laboratory, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara, Medan from September to November 2012. The method of this research was randomized complete design factorial with 2 factors, the first is stadia of predator (without predator, nymph, male, and female) and the second is stadia of larvae (larvae of E. thrax, S. litura, 2nd and 4th instar, and combination both of them, the each 6/media) with 2 replications. The parameter are percentage of mortality (%), long consumed (hour) and how to consumed. The results showed that the highest percentage of mortality was P3L3 (female to S. litura 2nd instar) is

100% and the lowest was P0L1, P0L2, P0L3, P0L4, P0L5, P0L6 (Control) dan P1L2,

P1L4, P1L6 (Nymph to larvae 4th instar) is 0%. The highest long consumed, was

P3L4 (Female to S. litura 4th instar) is 3,33 hour and the lowest was P0L1, P0L2,

P0L3, P0L4, P0L5, P0L6 (Control), P1L2, P1L4, P1L6 (Nymph to larvae 4thinstar) is 0

hour.


(14)

ABSTRAK

Rifai Fauzi, “Kemampuan Memangsa Rhynocoris fuscipes F. (Hemiptera:Reduviidae) Terhadap Larva Erionota thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidaae) dan Spodoptera litura F. (Lepidoptera:Noctuidae) di Laboratorium” di bawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS. dan Ibu Ir. Fatimah Zahara. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat pemangsaan R. fuscipes terhadap larva E. thrax dan S. litura. Penelitian dilakukan pada bulan September sampai November 2012 di Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu stadia predator (kontrol, nimfa, imago jantan, imago betina) dan stadia larva (larva E. thrax, S. litura, instar 2 dan 4 serta gabungan keduanya masing-masing 6 ekor/ media) dengan 2 ulangan. Parameter yang diamati meliputi persentase mortalitas larva (%), lama memangsa (jam) dan cara memangsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase mortalitas larva tertinggi pada perlakuan P3L3 (imago betina terhadap S. litura

instar 2) yaitu 100% dan terendah pada perlakuan P0L1, P0L2, P0L3, P0L4, P0L5,

P0L6 (Kontrol) dan P1L2, P1L4, P1L6 (Nimfa terhadap larva instar 4) sebesar 0%.

Lama pemangsaan tertinggi pada perlakuan P3L4 (Imago betina terhadap S. litura

instar 4) yaitu 3,33 jam dan terendah pada perlakuan P0L1, P0L2, P0L3, P0L4, P0L5,

P0L6 (Kontrol), P1L2, P1L4, P1L6 (Nimfa terhadap larvainstar 4) yaitu 0 jam.


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah kerusakan tanaman akibat serangan hama telah merupakan bagian budidaya pertanian sejak manusia mengusahakan pertanian ribuan tahun yang lalu. Manusia menanam tanaman untuk dipungut hasilnya serta untuk pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan. Oleh karena keberadaannya di pertanaman yang merugikan dan tidak diinginkan, sejak semula manusia selalu berusaha untuk membunuh dan memusnahkan hama yang dengan cara apapun yang diciptakan oleh manusia (Untung, 1996).

Ternyata cara kimia atau pestisida yang paling sering digunakan petani di lapangan. Bahkan biasanya, diaplikasikan secara berjadwal. Penggunaan pestisida hampir menjadi satu-satunya cara pengendalian karena pestisida bekerja sangat efektif, praktis serta cepat membunuh patogen dan hama. Namun, ternyata penggunaan pestisida mengakibatkan dampak yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Pestisida dapat menyebabkan terjadinya resistensi pada patogen tumbuhan dan hama, populasi hama dapat meningkat setelah disemprot pestisida berkali-kali, bahkan dapat terjadi ledakan hama yang dulunya dianggap tidak penting. Dan yang lebih penting lagi adalah dampak negatif pestisida terhadap kesehatan manusia dan pelestarian lingkungan (Abadi, 2005).

Pengendalian terpadu yang tepat guna dapat mengatasi keberadaan hama dari berbagai tanaman pangan. Jauh dari ketidakcocokan antara pengendalian biologis dan kimiawi, maka pengendalian terpadu yang menggunakan pengendalian biologis sebagai komponennya yang utama, dilihat oleh banyak


(16)

entomologi sebagai pendekatan yang penting memberikan harapan baik kepada pengendalian hama di dalam produksi tanaman pangan yang berbentuk moderen (Hufaker dan Mesenger, 1989).

Pentingnya serangga-serangga dan tungau-tungau pemangsa juga telah terbukti dengan cara memberikan makanan-makanan tambahan dengan tujuan untuk memelihara, menangkap, atau menarik mereka, dan bagi beberapa predator untuk meningkatkan oviposisi mereka. Tepung sari yang ditaburkan pada tanaman-tanaman telah meningkatkan efektivitas tungau-tungau tertentu yang meningkat karena adanya peningkatan pada tungau-tungau bukan hama yang hidupnya dari tepung sari tersebut dan yang bertindak sebagai mangsa pengganti (Huffaker dan Mesenger, 1989).

Predator menggunakan berbagai stimulus untuk menemukan mangsanya. Beberapa mungkin mencoba untuk menangkap dan makan apapun yang bergerak dalam kisaran ukuran tertentu dan menggunakan isyarat visual atau mekanis sederhana untuk mendeteksi mangsa. Sebagian besar spesies, relatif mencari mangsa-spesifik (memakan hanya beberapa atau satu spesies mangsa) (Gillot, 1982).

Penggunaan serangga predator dalam pengendalian biologis umumnya dari ordo Dermaptera, Mantidae, Hemiptera, Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera dan Diptera, dengan Hemiptera, Coleoptera, Diptera dan Hymenoptera yang paling penting. Lebih dari 30 famili serangga adalah predator. Predator paling tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada satu host, tetapi harus menemukan, menaklukkan, dan mengonsumsi serangkaian host untuk tumbuh dewasa dan perkembangan telurnya. Mencari habitat mangsa biasanya


(17)

dilakukan oleh betina dewasa reproduktif yang juga mencari lokasi bertelur. Predator yang hidup di tanaman tahunan mungkin perlu pindah untuk mencari mangsa jika lokasi tidak lagi cocok. Pemberantasan hama dengan predator dapat dipengaruhi oleh makanan lain yang dimangsa oleh predator. Predator terkadang beralih dari memangsa hama target menjadi pemangsa hama/mangsa alternatif (Driesche et al, 2008).

Di Indonesia salah satu spesies Reduviidae yaitu Rhynocoris fuscipes

adalah kepik yang berwarna hitam dan merah dengan abdominal strip yang berwarna putih, kepik ini merupakan predator larva Spodoptera litura, Hellothis dan Aphid di pertanaman tembakau. Di india diketahui sebagai predator kumbang

Epilachna spp. dan Chrysomelid. Dysdercus, coccid, dan laron juga diserangnya (Kalshoven, 1981).

Penggunaan predator untuk mengendalikan hama tanaman menjadi sangat penting dalam upaya mewujudkan teknik pengendalian hama terpadu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ambrose et al (2010) bahwa

Rhynocoris marginatus dapat mengendalikan Corcyra cephalonica, lebih lanjut lagi dikemukakan oleh Saharayaj and Vinothkanna (2011) bahwa R. fuscipes

dapat mengendalikan Spodoptera litura, dan selanjutnya Sujatha et al (2012) mengemukakan bahwa Rhynocoris fuscipes Fabricus dapat mengendalikan Achea janata, S. litura dan Disdercus cingulatus.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tingkat pemangsaan R. fuscipes terhadap larva E. thrax


(18)

Hipotesis Penelitian

1. Predator R. fuscipes dapat mengendalikan larva S. litura dan E. thrax

2. Larva pada instar muda akan lebih cepat dan lebih banyak dimangsa oleh

R. fuscipes

Kegunaan Penelitian

1. Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai pengendali dari populasi hewan yang dimakan. Ketiga, predator berperan dalam menjaga kondisi dari populasi mangsa. Dan keempat, predator bertindak sebagai agen selektif dalam evolusi mangsanya (Price, 1984).

Biologi Erionota thrax L.

Menurut (Deptan, 2012) Erionota thrax L. Diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Family : Hesperiidae Genus : Erionota

Spesies : Erionota thrax L.

Perkawinan kupu – kupu ini dilakukan pada sore dan pagi hari. Kupu-kupu ini bertelur pada waktu malam hari. Telurnya di lekatakan pada daun

bergerombol sebanyak 25 butir pada daun pisang yang masih utuh (Gambar 1) (Praputra et al, 2011).


(20)

Gambar 1. Telur E. thrax

Sumber : Deptan, 2012

E. thrax termasuk ke dalam famili Hesperiidae, Ordo Lepidoptera. Telur berwarna kuning dan menetas setelah mencapai umur 5-8 hari setelah diletakkan. Imago meletakkan telur secara berkelompok kira-kira 25 butir pada permukaan bawah daun yang utuh pada malam hari (Kalshoven, 1981).

Larva yang masih muda warnanya sedikit kehijauan dan tubuhnya tidak dilapisi lilin. Larva yang ukurannya lebih besar berwarna putih kekuningan dan tubuhnya dilapisi lilin (Gambar 2).

Gambar 2. Larva E. thrax

Sumber : Foto Langsung

Larva muda yang baru menetas memotong daun pisang secara miring mulai dari bagian tepi daun lalu menggulung potongan tersebut. Stadium larva berlangsung selama 28 hari. Larva makan dari bagian dalam gulungan tersebut, kemudian membentuk gulungan yang lebih besar sesuai dengan perkembangan larva sampai instar akhir. Mortalitas larva cukup tinggi pada larva muda karena pada


(21)

permukaan tubuhnya belum ditutupi lilin dan gulungan daunnya masih terbuka (Kalshoven, 1981).

Stadium prapupa lamanya adalah tiga hari, sedangkan stadium pupa 7 hari. Memasuki stadium pupa, warna tubuh menjadi kuning terang. Sesuai perkembangan, lambat laun tubuh pupa akan berubah warna menjadi agak gelap dan akhirnya menjadi agak gelap dan akhirnya menjadi coklat agak gelap. Pupa berada di dalam gulungan daun, dan dilapisi lilin. Panjang pupa ± 6 cm dan mempunyai probosis. Stadium pupa berlangsung selama 8-12 hari (Gambar 3) (Capinera, 2008 dalam Puspasari, 2010).

Gambar 3. Pupa E. thrax

Sumber : Foto Langsung

Imago E. thrax adalah kupu-kupu berwarna coklat dengan bintik kuning pada kedua sayapnya. Panjang rentangan sayapnya kira-kira 7.5 cm. Imago menghisap madu atau nektar bunga pisang. Imago aktif pada sore hari dan pagi hari (Gambar 4) (Kalshoven, 1981).

Gambar 4. Imago E. thrax


(22)

Biologi Spodoptera litura F.

Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili : Noctuidae Genus : Spodoptera

Spesies : Spodoptera litura F.

Perkembangan hama ini dimulai dari peletakkan koloni telur pada helaian daun sebelah bawah dengan jumlah 250-300 butir. Telur ditutupi jaringan halus warna putih kekuningan. Koloni telur berwarna cokelat kekuningan Telur akan menetas setelah berumur 3-5 hari (Gambar 5) (Purnama, 2003).

Gambar 5. Telur S. litura

Sumber: Foto Langsung

Larva yang baru keluar dari kelompok telur pada mulanya bergerombol sampai instar ketiga. Larva berwarna hijau kelabu hitam. Larva terdiri 5-6 instar. (BPTD, 2004) (Gambar 6).


(23)

Gambar 6. Larva S. litura

Sumber : Foto Langsung

Lama stadia larva 17-26 hari, yang terdiri dari larva instar 1 antara 5-6 hari, instar 2 antara 3-5 hari, instar 3 antara 3-6 hari, instar 4 antara 2-4 hari,

dan instar 5 antara 3-5 hari (Cardona et al, 2007).

Pupa berada di dalam tanah atau pasir. Pupa berbentuk oval memanjang dan berwarna cokelat mengkilat. Tubuh pupa memiliki panjang dan lebar antara

22,29 + 0,7 mm dan 7,51 + 0,36 mm. Lama stadia pupa 9-14 hari (Cardona et al, 2007) (Gambar 8).

Gambar 7. Pupa S. litura

Sumber : Foto Langsung

Ngengat aktif pada malam hari dan serangga betina bila meletakkan telur dalam bentuk paket dan satu paket bisa mencapai 200-300 butir. Seekor betina bisa meletakkan telur mencapai 800-1000 butir. Dan lama masa hidup imago 5-9 hari. (Gambar 8) (Subandrijo et al, 1992).


(24)

Gambar 8. Imago S. litura

Sumber: Foto Langsung

Biologi Predator Rhynocoris fuscipes Fabricius

Menurut Djamin et al (1998), R. fuscipes F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta Order : Hemiptera Family : Reduviidae Genus : Rhynocoris Spesies : R. fuscipes F.

Kebanyakan spesies di Amerika Utara memiliki sayap yang terbuka sempurna dan beberapa spesies memiliki bulu-bulu pada sisi kakinya. Nimfa dari spesies tertentu mengeluarkan zat yang lengket diatas dorsum, yang dilakukan diantara dedaunan dan ranting-ranting, asalkan hewan tersebut dapat melakukan penyamaran dengan baik. Telur diletakkan sendiri atau berkelompok, menempel pada tanaman atau benda lain. Kepik pembunuh, termasuk Peduvius personatus,


(25)

terkadang menyerang manusia, menimbulkan luka bakar yang menyakitkan. Semua Reduviidae hidup diatas permukaan tanah (Ross et al, 1982).

R. fuscipes meletakkan telurnya yang lonjong, ujungnya datar, tegak lurus pada permukaan daun tembakau sebelah bawah. Telur diletakkan berkelompok, kurang lebih 37 butir/kelompok dengan daya tetas 96,11 persen. Panjang telur

0,16 kurang lebih 0,002 mm, lebarnya 0,03 kurang lebih 0,001 mm (Djamin et al, 1998).

Telur diletakkan dalam kelompok, seekor betina dapat meletakkan 80 telur dalam 6 minggu (Gambar 9)

Gambar 9. Telur R. fuscipes

Sumber : Foto Langsung

Perkembangan dilaboratorium dari telur sampai dewasa adalah 7,5 sampai 9,5 minggu, sementara di India 5-8 minggu. Lama hidup imago adalah 3 bulan. Pada musim hujan, kepik dewasa bisa mati karena disebabkan bakteri (Kalshoven, 1981).

Nimfa yang baru menetas hidup berkelompok, berwarna kuning keputihan. Kemudian nimfa berwarna orange. Nimfa mempunyai masa stadia 36,5 hari. Imago berwarna merah orange, kepala berwarna hitam, antena filiform. Pada


(26)

mesoscutellum terdapat dua benjolan yang bulat, besar dan berwarna orange. Sayap berwarna hitam. Tepi luar corium berwarna orange dan pada ujung sayap belakang terdapat sebuah noktah hitam (Djamin et al, 1998).

Nimfa dari beberapa spesies memilii kelenjar yang melekat menyelimuti tubuhnya dengan kotoran sebagai kamuflase. Nimfa bergerak secara lamban secara berburu dan jika sudah mendekati mangsa, mangsa akan ditangkap dengan gerakan yang mematikan. Mangsa yang sudah ditangkap akan segera lumpuh akibat toksin yang dikeluarkan melalui stilet (Gambar 10)

Gambar 10. Nimfa R. fuscipes instar 3 Sumber : Foto Langsung

Seekor mangsa yang besar seringkali dihisap beberapa nimfa secara bersama-sama. Nimfa dapat bertahan hidup tanpa adanya pakan untuk waktu yang cukup lama. Karena perkembangannya yang lambat, Reduviidae kurang berperan dalam mengendalikan hama yang sedang bergerak (Kalshoven, 1981).

Serangga dari famili Reduviidae merupakan salah satu serangga yang anggotanya sebagian besar adalah predator serangga, ada juga yang menyerang burung dan mamalia. Tergolong sebagai predator generalis dengan kisaran inang yang agak sempit dan terbatas. Pada beberapa spesies mempunyai raptorial untuk


(27)

menangkap mangsanya. Spesies yang memangsa laba-laba, memanfaatkan jaring laba-laba untuk mendapatkan mangsanya (Bellow dan Fisher, 1999).

Kepik Reduviidae mempunyai empat ruas antena, dua oceli, dan tarsi tiga ruas, stiletnya terdiri dari tiga ruas, pendek dan kokoh. Pada beberapa spesies terdapat duri di bagian dorsal toraksnya (Gambar 11) (Bellow dan Fisher, 1999).

Gambar 11. Imago R. fuscipes

Sumber : Foto Langsung

Kepik Reduviidae hidup pada berbagai habitat. Beberapa aktif pada siang hari dan biasanya berwarna cerah, yang lainnya ada yang aktif pada malam hari. Beberapa hidup berkamuflase menyerupai kulit pohon (Bellow dan Fisher, 1999).

Cara predator memangsa

Kepik pembunuh (Hemiptera:Reduviidae) beragam dan merupakan kelompok serangga yang tersebar luas. Pada umumnya disebutkan, sebagian besar reduviids adalah predator, mangsa mereka biasanya terdiri dari serangga-serangga lain. Reduviids memiliki adaptasi morfologi yang baik sebagai pemangsa. Adaptasi tersebut seperti kaki anterior yang liar, serta bagian mulut penusuk yang digunakan untuk menghisap cairan mangsanya (Borror et al, 1976).


(28)

Lebih dari 4000 spesies Reduviidae berada pada satu family yaitu Reduviidae, umumnya dikenal sebagai “kepik pembunuh”. Kebanyakan spesies memasukkan bisa untuk melumpuhkan jaringan dan dapat membantu proses pencernaannya, menjadi parah dan gigitan yang menyakitkan. Spesies dari Triatoma dan Rhodnius porolixus, serangga yang biasa digunakan untuk percobaan, membawa Trypanosoma cruzi, yang memyebabkan bentuk fatal dari kematian (penyakit chagas) pada manusia. Pada banyak spesies memiliki kaki depan yang liar (Gillot, 1982).


(29)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Hama Tanaman Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

September sampai November 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rhynocoris fuscipes, larva Erionota thrax dan Spodoptera litura instar 2 dan 4, dan bahan pendukung lainnya.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah toples berukuran 19cm x 19cm x 19cm, kain kasa, karet gelang, tisu, kertas label, handsprayer dan alat pendukung lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu :

Faktor 1 : stadia predator yang di infestasikan P0 : Kontrol

P1 : Nimfa

P2 : Imago jantan


(30)

Faktor 2 : larva yang di uji

L1 : Larva E. thrax instar 2 sebanyak 6 ekor

L2 : Larva E. thrax instar 4 sebanyak 6 ekor

L3 : Larva S. litura instar 2 sebanyak 6 ekor

L4 : Larva S. litura instar 4 sebanyak 6 ekor

L5 : Larva E. thrax dan S. litura instar 2 masing-masing 3 ekor

L6 : Larva E. thrax dan S. litura instar 4 masing-masing 3 ekor

Jumlah kombinasi perlakuan sebanyak 24 kombinasi perlakuan yaitu :

P0L1 P1L1 P2L1 P3L1

P0L2 P1L2 P2L2 P3L2

P0L3 P1L3 P2L3 P3L3

P0L4 P1L4 P2L4 P3L4

P0L5 P1L5 P2L5 P3L5

P0L6 P1L6 P2L6 P3L6

Dengan jumlah ulangan diperoleh dari rumus : t (r-1) > 15

24 (r-1) > 15 24r - 24 > 15 24r > 15 + 24 24r > 39

r > 1,6

Jumlah kombinasi perlakuan : 24 Perlakuan

Jumlah ulangan : 2 Ulangan


(31)

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam berdasarkan model linier sebagai berikut :

Yijk = µ + αi + βj +(αβ)ij +∑ijk Dimana :

Yij : data dari hasil pengamatan µ : nilai tengah

αi : pengaruh stadia predator pada perlakuan ke –i

βj : Pengaruh stadia larva pada perlakuan ke- j

(αβ)ij : Pengaruh interaksi stadia predator pada perlakuan ke-i dengan stadia larva pada pelakuan ke-j

∑ijk : Pengaruh galat dari stadia predator pada perlakuan ke-i dan stadia larva pada perlakuan ke-j pada ulangan ke-k

Pelaksanaan penelitian

a. Persiapan media perlakuan

Media yang digunakan berupa stoples berukuran sedang yang telah diisi pakan berupa daun tembakau untuk S. litura dan daun pisang untuk E. thrax. Stoples yang digunakan sebanyak 48 buah. Selanjutnya stoples ditutup dengan menggunakan kain kasa dan diikat dengan menggunakan karet gelang.

b. Penyediaan larva serangga uji

Larva E. thrax dan S. litura yang akan diuji diambil langsung dari lapangan, karena memang keberadaannya di lapangan sangat banyak. Di pilih dan dipisahkan antara instar 2 dan instar 4.


(32)

c. Penyediaan predator

Predator R. fuscipes diambil langsung dari lapangan, yaitu dari sekitar pertanaman tembakau dan dipisahkan antara nimfa, imago jantan dan imago betina.

d. Pengaplikasian

Pengaplikasian dilakukan dengan memasukkan larva E. thrax dan S. litura

instar 2 dan 4 sebanyak 6 ekor pada setiap stoples yang telah berisi pakan dan diberi larutan madu. Selanjutnya predator dimasukkan ke dalam stoples yang telah diisi larva E. thrax dan S. litura tersebut.

Parameter Pengamatan

a. Persentase Mortalitas Larva E. thrax dan S. litura

Pengamatan pada larva E. thrax dan S. litura yang mati dilakukan setiap hari, dimulai pada sehari setelah aplikasi. Persentase mortalitas dilakukan dengan menghitung larva yang mati dengan menggunakan formula dari Fayone dan Lauge, 1981 dalam Ginting, 1996), yaitu :

P = Keterangan :

P = Persentase mortalitas larva a = Jumlah larva yang mati b = Jumlah larva yang diamati

% 100 ×

b a


(33)

b. Lama memangsa (jam)

Pengamatan terhadap lama memangsa dilakukan dengan mengamati seberapa lama predator memangsa larva, dimulai pada saat predator menemukan larva sampai predator memangsa larva tersebut hingga selesai.

c. Cara memangsa

Cara memangsa diamati dengan melihat dan mengamati perilaku dari R. fuscipes pada saat memangsa larva.


(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Persentase mortalitas larva (%)

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa stadia predator sangat berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva (%). Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1 dan Lampiran 1.

Tabel 1. Stadia predator terhadap persentase mortalitas larva (%)

Perlakuan Rataan

P0 (Kontrol) 0.00c

P1 (Nimfa) 9.72b

P2 (Imago jantan) 61.11a

P3 (Imago betina) 63.89a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan data berbeda nyata pada taraf 5%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa stadia predator yang paling tinggi dalam memangsa larva terdapat pada perlakuan P3 (Imago Betina) yaitu sebesar 63,89%

dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (Imago Jantan) yaitu sebesar

61,11%, selanjutnya perlakuan P1 (Nimfa) yaitu sebesar 9,72%, dan yang terendah

terdapat pada perlakuan P0 (Kontrol) yaitu sebesar 0%. Perlakuan P3 (Imago

Betina) memiliki nilai tertinggi walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (Imago Jantan) karena imago betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar

dibandingkan imago jantan, sedangkan nimfa hanya memiliki nilai sebesar 9,72%. Karena dengan semakin besarnya ukuran suatu serangga maka semakin besar pula kemampuannya dalam memangsa. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Prasetyo (2000) dalam Yuliati (2009), bahwa perbedaan kemampuan memangsa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain oleh tingkat stadia, karena semakin


(35)

besar ukuran tubuh maka semakin besar daya mangsa suatu predator. Selain itu, dengan ukuran tubuhnya yang lebih besar, imago betina memiliki kemampuan dan kekuatan yang lebih dalam memangsa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Untung (1996) bahwa predator harus memiliki daya cari yang tinggi juga harus memiliki kelebihan sifat fisik seperti kecepatan bergerak, kekuatan dan ukuran tubuh yang lebih besar, dan cara penangkapan yang lebih baik daripada cara pertahanan mangsa.

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa stadia larva yang diaplikasikan sangat berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva (%). Hal ini dapat dilihat dari Tabel 2 dan Lampiran 1.

Tabel 2. Stadia larva terhadap persentase mortalitas larva (%)

Perlakuan Rataan

L1 (E. thrax instar 2) 45.83b

L2 (E. thrax instar 4) 14.58e

L3 (S. litura instar 2) 52.08a

L4 (S. litura instar 4) 27.08d

L5 (E. thrax dan S. litura instar 2) 37.50c

L6 (E. thrax dan S. litura instar 4) 25.00d

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan data berbeda nyata pada taraf 5 %.

Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase mortalitas larva tertinggi pada perlakuan L3 (Larva S. litura instar 2) yaitu sebesar 52,08%, selanjutnya

perlakuan L1 (Larva E. thrax instar 2) sebesar 45,83%, L5 (E. thrax dan S. litura

instar 2) sebesar 37,50%, L4 (S. litura instar 4) sebesar 27,08% dan persentase

terendah terdapat pada perlakuan L2 (Larva E. thrax instar 4) yaitu 14,58%.


(36)

dikarenakan larva instar 2 ini ukuran tubuhnya lebih kecil, sehingga lebih mudah untuk dimangsa dan dimangsa dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sands dan Simpson (1972) dalam Yuliati (2009) bahwa makin kecil mangsa makin banyak yang dikonsumsi dan makin besar predator maka semakin banyak nimfa yang dimangsa. Selain itu perlakuan L3 (Larva S. litura

instar 2) mengalami mortalitas tertinggi dikarenakan S. litura merupakan mangsa utama dari R. fuscipes. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Kalshoven (1981) bahwa di Indonesia salah satu spesies Reduviidae yaitu R. fuscipes adalah kepik yang berwarna hitam dan merah dengan abdominal strip yang berwarna putih, kepik ini merupakan predator larva S. litura, Heliothis dan Aphid di pertanaman tembakau. Sedangkan perlakuan L2 (Larva E. thrax instar 4) mengalami tingkat

mortalitas terendah dikarenakan larva E. thrax instar 4 merupakan larva instar tua yang memiliki ukuran yang besar sehingga memiliki kemampuan yang besar juga dalam melakukan perlawanan terhadap predator. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Hagen et al (1989) bahwa umur predator dan ukuran tubuh suatu mangsa sangat mempengaruhi penangkapan atau penyusupan mangsa. Selain itu juga dikarenakan larva E. thrax bukan merupakan mangsa utama tetapi merupakan mangsa alternatif, predator akan memangsa mangsa alternatif ketika keberadaan mangsa utama kurang atau tidak ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Driesche et al (2008) bahwa predator yang hidup di tanaman tahunan mungkin perlu pindah untuk mencari mangsa jika lokasi tidak lagi cocok. Pemberantasan hama dengan predator dapat dipengaruhi oleh makanan lain yang dimangsa oleh predator. Predator terkadang beralih dari memangsa hama target menjadi pemangsa hama/mangsa alternatif.


(37)

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa interaksi antara stadia predator dengan stadia larva sangat berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 3 dan Lampiran 1.

Tabel 3. Interaksi stadia predator dan stadia larva terhadap persentase mortalitas larva (%)

Perlakuan Rataan

P0L1 (Kontrol) 0.00j

P0L2 (Kontrol) 0.00j

P0L3 (Kontrol) 0.00j

P0L4 (Kontrol) 0.00j

P0L5 (Kontrol) 0.00j

P0L6 (Kontrol) 0.00j

P1L1 (Nimfa terhadap E. thrax instar 2) 25.00h

P1L2 (Nimfa terhadap E. thrax instar 4) 0.00j

P1L3 (Nimfa terhadap S. litura instar 2) 25.00h

P1L4 (Nimfa terhadap S. litura instar 4) 0.00j

P1L5 (Nimfa terhadap E. thrax dan S. litura instar 2) 8.33i

P1L6 (Nimfa terhadap E. thrax dan S. litura instar 4) 0.00j

P2L1 (Imago jantan terhadap E. thrax instar 2) 75.00c

P2L2 (Imago jantan terhadap E. thrax instar 4) 33.33g

P2L3 (Imago jantan terhadap S. litura instar 2) 83.33b

P2L4 (Imago jantan terhadap S. litura instar 4) 58.34e

P2L5 (Imago jantan terhadap E. thrax dan S. litura instar 2) 66.67d

P2L6 (Imago jantan terhadap E. thrax dan S. litura instar 4) 50.00f

P3L1 (Imago betina terhadap E. thrax instar 2) 83.33b

P3L2 (Imago betina terhadap E. thrax instar 4) 25.00h

P3L3 (Imago betina terhadap S. litura instar 2) 100.00a

P3L4 (Imago betina terhadap S. litura instar 4) 50.00f

P3L5 (Imago betina terhadap E. thrax dan S. litura instar 2) 75.00c

P3L6 (Imago betina terhadap E. thrax dan S. litura instar 4) 50.00f

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan data berbeda nyata pada taraf 5 %.

Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase mortalitas tertinggi dari interaksi stadia predator dengan stadia larva terdapat pada perlakuan P3L3 (Imago betina

terhadap larva S. litura instar 2) sebesar 100%, dan yang terendah pada perlakuan P0L1, P0L2, P0L3, P0L4, P0L5, P0L6 (Kontrol) dan P1L2, P1L4, P1L6 (Nimfa terhadap

larva E. thrax dan S. litura instar 4) sebesar 0%. Pada perlakuan P3L3 terjadi


(38)

betina yang lebih besar dari predator lainnya sehingga memerlukan nutrisi yang lebih besar dan larva yang dimangsa yaitu S. litura instar 2, dimana larva ini merupakan larva pada instar muda yang berukuran kecil sehingga perlu dikonsumsi dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya dan juga

S. litura merupakan mangsa utama dari R. fuscipes. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Tarumingkeng (2001) bahwa keefektifan predator dalam pengaturan populasi mangsa dipengaruhi oleh kemampuan berkembang biak, kemampuan mencari mangsa, dan kisaran toleransi terhadap habitat dan instar mangsa.

Tabel 3 menunjukkan bahwa mortalitas larva E. thrax tertinggi terdapat pada perlakuan P3L1 (Imago betina terhadap E. thrax instar 2) sebesar 83,33%.

Selain karena ukuran imago betina yang lebih besar, ini karena ukuran larva yang kecil, sehingga perlu dikonsumsi lebih banyak. Namun tidak setinggi mortalitas dari larva S. litura karena larva E. thrax bukan mangsa utama dari R. fuscipes, dan tingkat pemangsaan dipengaruhi oleh kualitas mangsanya. Hal ini sesuai pernyataan Manti (1981) dalam Oktarina (2009) bahwa ada lima komponen utama yang mempengaruhi pemangsaan oleh predator yaitu (1) kerapatan populasi mangsa, (2) kerapatan populasi predator, (3) sifat mangsa itu sendiri seperti reaksinya terhadap predator, (4) jumlah dan kualitas makanan pengganti yang tersedia untuk predator, dan (5) sifat predator seperti jenis makanan yang disukai dan efisiensi dalam menyerang.

Pada perlakuan P1L2, P1L4, P1L6 (Nimfa terhadap larva instar 4) tidak

terjadi pemangsaan dikarenakan ukuran larva yang jauh lebih besar daripada ukuran nimfa R. fuscipes, sehingga nimfa tidak dapat memangsa larva tersebut.


(39)

Hal ini sesuai pernyataan Hagen et al (1989) yang menyatakan bahwa diterima atau tidaknya suatu mangsa di samping masalah kekhususan mangsa, umur predator yang bersangkutan dan ukuran tubuh mangsa tersebut dapat berpengaruh terhadap serangan predator tersebut.

2. Lama Memangsa (jam)

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa stadia predator yang diaplikasikan sangat berpengaruh nyata terhadap lama memangsa (jam). Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4 dan Lampiran 2.

Tabel 4. Stadia predator terhadap lama memangsa (jam)

Perlakuan Rataan

P0 (Kontrol) 0.00b

P1 (Nimfa) 0.18b

P2 (Imago jantan) 1.76a

P3 (Imago betina) 1.91a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan data berbeda nyata pada taraf 5%.

Tabel 4 menunjukkan bahwa lama memangsa R. fuscipes tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (Imago betina) yaitu 1,91 jam dan tidak berbeda nyata dengan

perlakuan P2 (Imago Jantan) yaitu 1,76 jam, selanjutnya perlakuan P1 (Nimfa)

yaitu 0,18 jam dan terendah pada perlakuan P0 (Kontrol) yaitu 0 jam. Perlakuan P3

(Imago betina) memangsa lebih lama daripada perlakuan P2 (Imago Jantan) dan

perlakuan P1 (Nimfa) karena berukuran lebih besar sehingga membutuhkan sumber makanan lebih besar, oleh karena itu setiap mendapatkan mangsa, predator tersebut menghisap cairan mangsanya sebanyak mungkin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hagen et al (1989) bahwa jumlah atau biomassa dari mangsa yang dibutuhkan untuk berjalannya fungsi pertahanan, pencarian mangsa,


(40)

pertumbuhan dan perkembangan predator tergantung pada ukuran/besarnya predator.

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa stadia larva sangat berpengaruh nyata terhadap lama memangsa (jam). Ini dapat dilihat dari tabel 5 dan lampiran 2. Tabel 5. Stadia larva terhadap lama memangsa (jam)

Perlakuan Rataan

L1 (E. thrax instar 2) 0.45c

L2 (E. thrax instar 4) 1.20b

L3 (S. litura instar 2) 0.50c

L4 (S. litura instar 4) 1.64a

L5 (E. thrax dan S. litura instar 2) 0.45c

L6 (E. thrax dan S. litura instar 4) 1.53a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan data berbeda nyata pada taraf 5 %.

Tabel 5 menunjukkan bahwa lama pemangsaan terhadap larva yang tertinggi terdapat pada perlakuan L4 (S. litura instar 4) yaitu 1,64 jam tetapi tidak

berbeda nyata dengan perlakuan L6 (E. thrax dan S. litura instar 4) yaitu 1,53 jam,

selanjutnya perlakuan L2 (E. thrax instar 4) yaitu 1,20 jam dan terendah terdapat

pada perlakuan L1 (E. thrax instar 2) dan L5 (E. thrax dan S. litura instar 2) yaitu

0,45 jam yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan L3 (S. litura instar 2) yaitu

0,50 jam. Pada perlakuan L4, larva paling lama dimangsa oleh predator karena

ukuran larva yang besar sehingga waktu yang dibutuhkan untuk memangsa lebih lama dibandingkan dengan larva instar 2, selain itu karena larva S. litura

merupakan mangsa utama sehingga lebih disukai oleh R. fuscipes dibandingkan dengan larva E. thrax yang merupakan mangsa alternatif. Sedangkan yang paling singkat waktu memangsanya pada larva E. thrax instar 2, selain karena ukurannya


(41)

yang lebih kecil, juga karena larva E. thrax merupakan mangsa alternatif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wagiman (2006) dalam Yuliati (2009) bahwa Banyaknya mangsa yang diperlukan predator ditentukan oleh ukuran tubuh predator, lamanya memburu mangsa, aktivitas lain dari predator, ukuran tubuh mangsa, dan kualitas mangsa.

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa interaksi antara stadia predator dengan stadia larva sangat berpengaruh nyata terhadap lama pemangsaan (jam). Hal ini dapat dilihat dari Tabel 6 dan Lampiran 2.

Tabel 6. Interaksi stadia predator dan stadia larva terhadap lama memangsa (jam)

Perlakuan Rataan

P0L1 (Kontrol) 0.00k

P0L2 (Kontrol) 0.00k

P0L3 (Kontrol) 0.00k

P0L4 (Kontrol) 0.00k

P0L5 (Kontrol) 0.00k

P0L6 (Kontrol) 0.00k

P1L1 (Nimfa terhadap E. thrax instar 2) 0.32j

P1L2 (Nimfa terhadap E. thrax instar 4) 0.00k

P1L3 (Nimfa terhadap S. litura instar 2) 0.39i

P1L4 (Nimfa terhadap S. litura instar 4) 0.00k

P1L5 (Nimfa terhadap E. thrax dan S. litura instar 2) 0.40i

P1L6 (Nimfa terhadap E. thrax dan S. litura instar 4) 0.00k

P2L1 (Imago jantan terhadap E. thrax instar 2) 0.72g

P2L2 (Imago jantan terhadap E. thrax instar 4) 2.36e

P2L3 (Imago jantan terhadap S. litura instar 2) 0.73g

P2L4 (Imago jantan terhadap S. litura instar 4) 3.23b

P2L5 (Imago jantan terhadap E. thrax dan S. litura instar 2) 0.61h

P2L6 (Imago jantan terhadap E. thrax dan S. litura instar 4) 2.89c

P3L1 (Imago betina terhadap E. thrax instar 2) 0.78g

P3L2 (Imago betina terhadap E. thrax instar 4) 2.45d

P3L3 (Imago betina terhadap S. litura instar 2) 0.87f

P3L4 (Imago betina terhadap S. litura instar 4) 3.33a

P3L5 (Imago betina terhadap E. thrax dan S. litura instar 2) 0.79g

P3L6 (Imago betina terhadap E. thrax dan S. litura instar 4) 3.24b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan data berbeda nyata pada taraf 5 %.


(42)

Tabel 6 menunjukkan bahwa lama pemangsaan tertinggi dari interaksi antara stadia predator dengan stadia larva yaitu pada perlakuan P3L4 (Imago betina

terhadap S. litura instar 4) yaitu 3,33 jam dan terendah pada perlakuan P0L1, P0L2,

P0L3, P0L4, P0L5, P0L6 (Kontrol), P1L2, P1L4, P1L6 (Nimfa terhadap larvainstar 4)

yaitu 0 jam. Ini dikarenakan pada perlakuan P3L4, imago betina berukuran besar

dan membutuhkan jumlah makanan yang besar pula, juga dikarenakan larva instar

4 memiliki ukuran yang lebih besar sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memangsanya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Flinn et al (1985) bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menangkap dan

mengkonsumsi adalah proporsional terhadap ukuran tubuh hama sebab predator membutuhkan waktu lebih lama untuk memakan inang yang lebih besar.

3. Cara Memangsa

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa proses pemangsaan R.fuscipes terhadap larva diawali dengan R. fuscipes berjalan menuju larva, mendekati dan menyentuh larva menggunakan kaki depannya, lalu menjauh sesaat kemudian mendekat lagi dan kembali menyentuh menggunakan kaki nya, kemudian R. fuscipes diam sesaat lalu mencengkeram tubuh larva menggunakan kaki depannya, jika larva masih melakukan perlawanan juga, kaki yang lain ikut melakukan cengkeraman hingga larva tidak mampu melakukan perlawanan lagi. Perlawanan yang dilakukan S. litura lebih besar daripada perlawanan E. thrax.

setelah itu R. fuscipes menusukkan stiletnya, dan menghisap cairan dari tubuh larva.

Kemudian larva ditarik menggunakan stiletnya dan dibawa ke tempat yang agak tertutup untuk melanjutkan menghisap cairan larva tersebut. Larva dihisap


(43)

pada bagian tengah ke arah kepala, dan selanjutnya ke arah bawah. Pada saat melakukan penghisapan cairan pada larva, kaki R. fuscipes tetap melakukan cengkeraman karena larva masih tetap melakukan perlawanan, walaupun semakin lama perlawanan dari larva semakin lemah. Pada bagian tubuh larva yang terkena

tusukan tampak menghitam seperti terkena bisa. Hal ini sesuai pernyataan Cade et al (1978) bahwa perilaku makan Reduviid sama pada seluruh

pengamatan. Dalam mendekati semut, sebelumnya Reduviid bergerak mendorong pasangan kaki yang kedua dan ketiga, dan mengangkat anterior tubuhnya. Kaki anterior digunakan untuk menangkap mangsanya. Selanjutnya, kaki anterior merubah posisi semut dimana kepala semut tepat dibawah alat penusuk dari reduviid tersebut.

Gambar 12. Cara predator memangsa Sumber : Foto Langsung

Stilet ditusukkan ke tubuh larva

Bekas tusukan menghitam

Kaki melakukan cengkraman


(44)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Mortlitas larva tertinggi yaitu pada perlakuan P3L3 (Imago betina pada larva S.

litura instar 2) yaitu sebesar 100 %.

2. Lama pemangsaan dari R. fuscipes yang paling lama terdapat pada perlakuan P3L4 (Imago betina pada larva S. litura instar 4) yaitu 3,33 jam.

3. Cara memangsa R. fuscipes diawali dengan menyentuh, lalu mencengkeram dan menusuk mangsanya dengan stilet, lalu menghisap cairan tubuh dari mangsanya.

4. Kemampuan memangsa R. fuscipes terhadap E. thrax yang tertinggi yaitu pada perlakuan P3L1 (imago betina pada larva instar 2) yaitu sebesar 83,33%.

5. Selain memangsa S. litura, R. fuscipes juga memangsa E. thrax sebagai mangsa alternatifnya.

Saran

1. Sebaiknya dalam percobaan dengan menggunakan media yang sempit jangan meletakkan R. fuscipes lebih dari satu ekor karena dapat bersifat kanibal.

2. Perlu dilakukan penelitian mengenai tehnik rearing yang baik terhadap predator R. fuscipes.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, A. L. 2005. Permasalahan Dalam Penerapan Sistem Pengendalian Hama Terpadu Untuk Pengelolaan Penyakit Tumbuhan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Penyakit Tumbuhan pada Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.

Ambrose, D. P., S. J. Rajan, and J. M. Raja. 2010. Impacts of Synergy-505 on the Functional Respons and Behavior of the Reduviid bug, Rhynocoris marginatus. J. of Insect Science. 10:187.

Bellow, T. S. and F. W., Fisher. 1999. Biological Control. Principles and Aplications of Biological Control. Academic Press.

Borror, D. J., D. M. De Long, and C. A. Triplehon. 1981. An Introduction To The Study of Insects. Saunders Collage Publishing. Washington.

BPTD. 2004. Strategi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Tembakau. BPTD PTP Nusantara II. Medan.

Cade, W. H., P. H. Simpson, and O. P. Breland. 1978. Apiomerus spissipes

(Hemiptera : Reduviidae) : A Predator of Harvester Ants in Texas. The Southwestern Entomologist. 3 (3).

Cardona, E. V., C. S. Ligat., dan M. P. Subang. 2007. Life History Of Common

Cutworm, Spodoptera litura Fabricius (Noctuidae : Lepidoptera) In Benguet. Progress Report. BSU Research In- House Review.

Deptan. 2012. Ulat Penggulung daun pisang Erionota thrax L.. diunduh pada tanggal 15 september 2012.

Ditlin Hortikultura. 2012. Ulat Penggulung daun pisang Erionota thrax L.. diunduh pad tanggal 15 September 2012.

Djamin, A., E. Ma’aruf, dan H.R. Siregar. 1998. Biologi dan daya predasi Rhinocoris fuscipes (F.) (Hemiptera : Reduviidae) pada berbagai umur larva Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera : Noctuidae) pada tembakau (Nicotiana tabacum L.). J. Penelitian Pertanian. 17(1) : 1-6.

Driesche, R. V., M. Hoddle and T. Center. 2008. Control of Pests and Weeds by Natural Enemis, an Introduction to Biological Control. Blackwell Publishing. Australia.


(46)

Flinn, P.W., A. A. Hoer and R. Taylor. 1985. Preference of Rediuviolus mericoferus (Hemiptera: Nabidae) for Potato Leaf Hopper Nymphs and Pea Aphids. Can. Entomol. 117: 1503-1508.

Gillott, C. 1982. Entomology. Plenum Press. New York and London.

Hagen, K. S., S. Bombosch, dan J. A. McMurthy. 1989. Biologi dan Dampak Predator dalam Huffaker, C. B. Dan P. S. Messenger. 1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis. Penerjemah Mangoendihardjo, S. UI Press. Jakarta.

Huffaker, C. B. dan P.S. Messenger. 1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis. Diterjemahkan oleh Mangoendiharjo, S. UI Press. Jakarta.

Kalshoven, L. G. E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta.

Oktarina, R. 2009. Tanggap Fungsional Predator cyrtorhinus lividipennis Reuter (hemiptera: miridae) Terhadap Hama Wereng Batang Cokelat nilaparvata lugens Stal. (hemiptera: delphacidae) Rita. Skripsi.Institut Pertanian Bogor.

Praputra, P. W., W. Harianja, R. Irmaulana, S. N’doy, and J. Haro. 2011.Ekologi Ulat Penggulung Daun Erionota thrax L. UKI. Jakarta.

Price, P. W. 1984. Insect Ecology. John Willey and Sons. New York.

Purnama, H. A. 2003. Hama dan Penyakit Tembakau Deli. BPTD PTPP Nusantara II. Medan.

Ross, H. H., C. A. Ross, and J. R. P. Ross. 1982. A Textbook of Entomology. John Wiley & Sons. Canada.

Saharayaj, K and A. Vinothkanna. 2011. Insecticidal activity of venomous saliva from Rhynocoris fuscipes (Reduviidae) against Spodoptera litura and

Helicoverpa armigera by microinjection and oral administration. J. of Venomous Animals and Toxins including Tropical Diseases. 17(4) : 486-490.

Subandrijo, S. H., Istdijoso., dan Suwarso. 1992. Pengendalian Serangga Hama Tembakau Besuki Oogst. Badan Penelitian dan Pengembangan Tembakau dan Tanaman Serat. Malang.

Sujatha, S., L. S. Vidya and G. Sumi. 2012. Prey-predator Interaction and Info-chemical Behavior of Rhynocoris fuscipes (Fab.) on Three Agricultural Pests. J. Entomology.


(47)

Tarumingkeng. 2001. Serangga dan Lingkungan. IPB. Diunduh pada tanggal 28 November 2012.

Untung, K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Yuliati, M. N. 2009. Kajian Aspek Biologi dan Daya Mangsa Harmonia axyridis Pallas Terhadap Kutu Daun Myzus persicae Sulz Pada Tanaman Jeruk (Citrus sp). Skripsi. Universitas Islam Negeri Malang.


(48)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data mortalitas larva (%) untuk setiap perlakuan

Mortalitas (%)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II

P0L1 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L3 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L5 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L1 33,33 16,67 50,00 25,00

P1L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L3 33,33 16,67 50,00 25,00

P1L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L5 0,00 16,67 16,67 8,33

P1L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P2L1 83,33 66,67 150,00 75,00

P2L2 33,33 33,33 66,67 33,33

P2L3 83,33 83,33 166,67 83,33

P2L4 66,67 50,00 116,67 58,34

P2L5 83,33 50,00 133,33 66,67

P2L6 66,67 33,33 100,00 50,00

P3L1 83,33 83,33 166,67 83,33

P3L2 33,33 16,67 50,00 25,00

P3L3 100,00 100,00 200,00 100,00

P3L4 50,00 50,00 100,00 50,00

P3L5 83,33 66,67 150,00 75,00

P3L6 50,00 50,00 100,00 50,00

Total 883,34 733,33 1616,67 808,33


(49)

Transformasi

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II

P0L1 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L3 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L5 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L1 35,26 24,09 59,36 29,68

P1L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L3 35,26 24,09 59,36 29,68

P1L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L5 0,00 24,09 24,09 12,05

P1L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P2L1 65,91 54,74 120,64 60,32

P2L2 35,26 35,26 70,53 35,26

P2L3 65,91 65,91 131,81 65,91

P2L4 54,74 45,00 99,74 49,87

P2L5 65,91 45,00 110,91 55,45

P2L6 54,74 35,26 90,00 45,00

P3L1 65,91 65,91 131,81 65,91

P3L2 35,26 24,09 59,36 29,68

P3L3 90,00 90,00 180,00 90,00

P3L4 45,00 45,00 90,00 45,00

P3L5 65,91 54,74 120,64 60,32

P3L6 45,00 45,00 90,00 45,00

Total 760,06 678,19 1438,25 719,12

Rataan 31,67 28,26 29,96

Tabel Dwi Kasta Total Stadia

predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

P1 50,00 0,00 50,00 0,00 16,67 0,00 116,67 19,44

P2 150,00 66,67 166,67 116,67 133,33 100,00 733,34 122,22

P3 166,67 50,00 200,00 100,00 150,00 100,00 766,67 127,78

Total 366,67 116,67 416,67 216,67 300,00 200,00 1616,67


(50)

Tabel Dwi Kasta Total Stadia

predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

P1 59,36 0,00 59,36 0,00 24,09 0,00 142,81 23,80

P2 120,64 70,53 131,81 99,74 110,91 90,00 623,62 103,94

P3 131,81 59,36 180,00 90,00 120,64 90,00 671,81 111,97

Total 311,81 129,89 371,17 189,74 255,64 180,00 1438,25

Rataan 77,95 32,47 92,79 47,43 63,91 45,00 59,93

Tabel Dwi Kasta Rataan Stadia

predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

P1 25,00 0,00 25,00 0,00 8,33 0,00 58,33 9,72

P2 75,00 33,33 83,33 58,34 66,67 50,00 366,67 61,11

P3 83,33 25,00 100,00 50,00 75,00 50,00 383,33 63,89

Total 183,33 58,33 208,33 108,34 150,00 100,00 808,33

Rataan 45,83 14,58 52,08 27,08 37,50 25,00 33,68

Tabel Dwi Kasta Rataan Stadia

predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

P1 29,68 0,00 29,68 0,00 12,05 0,00 71,41 11,90

P2 60,32 35,26 65,91 49,87 55,45 45,00 311,81 51,97

P3 65,91 29,68 90,00 45,00 60,32 45,00 335,91 55,98

Total 155,91 64,94 185,58 94,87 127,82 90,00 719,12


(51)

Daftar Sidik Ragam

Sumber Keragaman Db JK KT F.Hit F 0.05 F 0.01

Perlakuan 23 36369,80

Stadia predator 3 28624,32 9541,44 216,51 ** 3,01 4,72

Stadia larva 5 5107,16 1021,43 23,18 ** 2,62 3,90

P X L 15 2638,32 175,89 3,99 ** 2,13 2,93

Error 24 1057,67 44,07

Total 47 37427,47

FK = 43094,84

KK = 0,22 %

Ket : tn = tidak nyata

* = Nyata ** = sangat nyata

Uji Jarak Duncan Stadia Predator

SY 2,35

-6,85 2,52 53,72 56,33

A 2 3 4 5

SSR 0,05 2,92 3,07 3,15 3,22

LSR 0,05 6,85 7,21 7,39 7,56

Perlakuan P0 P1 P2 P3

Rataan 0,00 9,72 61,11 63,89

a.

b.

c.

Uji Jarak Duncan Stadia Larva

SY 1,56

10,01 20,20 22,15 32,46 40,70 46,90

A 2 3 4 5 6 7

SSR 0,05 2,92 3,07 3,15 3,22 3,28 3,31

LSR 0,05 4,57 4,80 4,93 5,04 5,13 5,18

Perlakuan L2 L6 L4 L5 L1 L3

Rataan 14,58 25,00 27,08 37,50 45,83 52,08

a. b.

c.

d.


(52)

Lampiran 2. Data lama memangsa (jam) pada setiap perlakuan

Lama Pemangsaan (Jam)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II

P0L1 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L3 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L5 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L1 0,32 0,32 0,63 0,32

P1L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L3 0,47 0,32 0,78 0,39

P1L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L5 0,37 0,43 0,80 0,40

P1L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P2L1 0,86 0,58 1,43 0,72

P2L2 2,21 2,51 4,72 2,36

P2L3 0,77 0,69 1,46 0,73

P2L4 3,35 3,10 6,45 3,23

P2L5 0,70 0,52 1,21 0,61

P2L6 2,59 3,19 5,79 2,89

P3L1 0,71 0,84 1,55 0,78

P3L2 2,15 2,75 4,90 2,45

P3L3 0,82 0,93 1,75 0,87

P3L4 3,48 3,19 6,67 3,33

P3L5 0,76 0,83 1,58 0,79

P3L6 3,43 3,05 6,48 3,24

Total 22,97 23,24 46,20 23,10


(53)

Transformasi

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II

P0L1 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L3 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L5 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L1 3,23 3,23 6,45 3,23

P1L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L3 3,92 3,23 7,14 3,57

P1L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L5 3,47 3,77 7,25 3,62

P1L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P2L1 5,32 4,35 9,66 4,83

P2L2 8,55 9,11 17,66 8,83

P2L3 5,04 4,78 9,81 4,91

P2L4 10,55 10,14 20,69 10,34

P2L5 4,79 4,12 8,91 4,45

P2L6 9,27 10,29 19,56 9,78

P3L1 4,84 5,25 10,09 5,05

P3L2 8,43 9,55 17,98 8,99

P3L3 5,18 5,54 10,72 5,36

P3L4 10,74 10,29 21,03 10,52

P3L5 5,00 5,21 10,21 5,10

P3L6 10,67 10,06 20,72 10,36

Total 98,98 98,91 197,89 98,95

Rataan 4,12 4,12 4,12

Tabel Dwi Kasta Total

Stadia predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

P1 0,63 0,00 0,78 0,00 0,80 0,00 2,22 0,37

P2 1,43 4,72 1,46 6,45 1,21 5,79 21,06 3,51

P3 1,55 4,90 1,75 6,67 1,58 6,48 22,92 3,82

Total 3,62 9,62 3,99 13,12 3,60 12,26 46,20


(54)

Tabel Dwi Kasta Rataan Stadia

predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

P1 0,32 0,00 0,39 0,00 0,40 0,00 1,11 0,18

P2 0,72 2,36 0,73 3,23 0,61 2,89 10,53 1,76

P3 0,78 2,45 0,87 3,33 0,79 3,24 11,46 1,91

Total 1,81 4,81 2,00 6,56 1,80 6,13 23,10

Rataan 0,45 1,20 0,50 1,64 0,45 1,53 0,96

Tabel Dwi Kasta Rataan Stadia

predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

P1 3,23 0,00 3,57 0,00 3,62 0,00 10,42 1,74

P2 4,83 8,83 4,91 10,34 4,45 9,78 43,15 7,19

P3 5,05 8,99 5,36 10,52 5,10 10,36 45,38 7,56

Total 13,10 17,82 13,84 20,86 13,18 20,14 98,95

Rataan 3,28 4,45 3,46 5,22 3,30 5,04 4,12

Tabel Dwi Kasta Total

Stadia predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

P1 6,45 0,00 7,14 0,00 7,25 0,00 20,84 3,47

P2 9,66 17,66 9,81 20,69 8,91 19,56 86,29 14,38

P3 10,09 17,98 10,72 21,03 10,21 20,72 90,76 15,13

Total 26,21 35,64 27,68 41,72 26,36 40,28 197,89


(55)

Daftar Sidik Ragam

Sumber Keragaman Db JK KT F.Hit F 0.05 F 0.01

Perlakuan 23 710,51

Stadia predator 3 527,28 175,76 1480,95 ** 3,01 4,72

Stadia larva 5 31,82 6,36 53,62 ** 2,62 3,90

P X L 15 151,40 10,09 85,05 ** 2,13 2,93

Error 24 2,85 0,12

Total 47 713,36

FK = 815,84

KK = 0,08 %

Ket : tn = tidak nyata

* = Nyata

** = sangat nyata

Uji Jarak Duncan Stadia Larva

SY 0,08

0,21 0,20 0,24 0,94 1,27 1,37

A 2 3 4 5 6 7

SSR 0,05 2,92 3,07 3,15 3,22 3,28 3,31

LSR 0,05 0,24 0,25 0,26 0,26 0,27 0,27

Perlakuan L1 L5 L3 L2 L6 L4

Rataan 0,45 0,45 0,50 1,20 1,53 1,64

a.

b.

c.

Uji Jarak Duncan Stadia Predator

SY 0,12

-0,36 -0,19 1,37 1,52

A 2 3 4 5

SSR 0,05 2,92 3,07 3,15 3,22

LSR 0,05 0,36 0,37 0,38 0,39

Perlakuan P0 P1 P2 P3

Rataan 0,00 0,18 1,76 1,91

a.


(56)

FOTO PENELITIAN

Media pemeliharaan serangga Media percobaan: a. S. litura,

b. E. thrax, c. campuran

Media pemeliharaan serangga Media percobaan: a. S. litura,

b. E. thrax, c. campuran

R. fuscipes tampak dorsal R. fuscipes tampak ventral

R. fuscipes tampak dorsal R. fuscipes tampak ventral

Percobaan penelitian: a. Ulangan 1, b. Ulangan 2

a b b


(57)

Tahapan kondisi larva yang dimangsa

Pemangsaan R. fuscipes terhadap : a. E. thrax, b. S. litura

Stilet R. fuscipes R. fuscipes

Stilet R. fuscipes R. fuscipes

4 x 10


(1)

Lampiran 2. Data lama memangsa (jam) pada setiap perlakuan

Lama Pemangsaan (Jam)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II

P0L1 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L3 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L5 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L1 0,32 0,32 0,63 0,32

P1L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L3 0,47 0,32 0,78 0,39

P1L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L5 0,37 0,43 0,80 0,40

P1L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P2L1 0,86 0,58 1,43 0,72

P2L2 2,21 2,51 4,72 2,36

P2L3 0,77 0,69 1,46 0,73

P2L4 3,35 3,10 6,45 3,23

P2L5 0,70 0,52 1,21 0,61

P2L6 2,59 3,19 5,79 2,89

P3L1 0,71 0,84 1,55 0,78

P3L2 2,15 2,75 4,90 2,45

P3L3 0,82 0,93 1,75 0,87

P3L4 3,48 3,19 6,67 3,33

P3L5 0,76 0,83 1,58 0,79

P3L6 3,43 3,05 6,48 3,24

Total 22,97 23,24 46,20 23,10


(2)

Transformasi

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II

P0L1 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L3 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L5 0,00 0,00 0,00 0,00

P0L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L1 3,23 3,23 6,45 3,23

P1L2 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L3 3,92 3,23 7,14 3,57

P1L4 0,00 0,00 0,00 0,00

P1L5 3,47 3,77 7,25 3,62

P1L6 0,00 0,00 0,00 0,00

P2L1 5,32 4,35 9,66 4,83

P2L2 8,55 9,11 17,66 8,83

P2L3 5,04 4,78 9,81 4,91

P2L4 10,55 10,14 20,69 10,34

P2L5 4,79 4,12 8,91 4,45

P2L6 9,27 10,29 19,56 9,78

P3L1 4,84 5,25 10,09 5,05

P3L2 8,43 9,55 17,98 8,99

P3L3 5,18 5,54 10,72 5,36

P3L4 10,74 10,29 21,03 10,52

P3L5 5,00 5,21 10,21 5,10

P3L6 10,67 10,06 20,72 10,36

Total 98,98 98,91 197,89 98,95

Rataan 4,12 4,12 4,12

Tabel Dwi Kasta Total

Stadia predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 P1 0,63 0,00 0,78 0,00 0,80 0,00 2,22 0,37 P2 1,43 4,72 1,46 6,45 1,21 5,79 21,06 3,51 P3 1,55 4,90 1,75 6,67 1,58 6,48 22,92 3,82 Total 3,62 9,62 3,99 13,12 3,60 12,26 46,20 Rataan 0,90 2,40 1,00 3,28 0,90 3,07 1,93


(3)

Tabel Dwi Kasta Rataan Stadia

predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 P1 0,32 0,00 0,39 0,00 0,40 0,00 1,11 0,18 P2 0,72 2,36 0,73 3,23 0,61 2,89 10,53 1,76 P3 0,78 2,45 0,87 3,33 0,79 3,24 11,46 1,91 Total 1,81 4,81 2,00 6,56 1,80 6,13 23,10 Rataan 0,45 1,20 0,50 1,64 0,45 1,53 0,96 Tabel Dwi Kasta Rataan

Stadia predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

P1 3,23 0,00 3,57 0,00 3,62 0,00 10,42 1,74 P2 4,83 8,83 4,91 10,34 4,45 9,78 43,15 7,19 P3 5,05 8,99 5,36 10,52 5,10 10,36 45,38 7,56 Total 13,10 17,82 13,84 20,86 13,18 20,14 98,95

Rataan 3,28 4,45 3,46 5,22 3,30 5,04 4,12

Tabel Dwi Kasta Total

Stadia predator

Stadia larva

Total Rataan

L1 L2 L3 L4 L5 L6

P0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

P1 6,45 0,00 7,14 0,00 7,25 0,00 20,84 3,47

P2 9,66 17,66 9,81 20,69 8,91 19,56 86,29 14,38 P3 10,09 17,98 10,72 21,03 10,21 20,72 90,76 15,13 Total 26,21 35,64 27,68 41,72 26,36 40,28 197,89 Rataan 6,55 8,91 6,92 10,43 6,59 10,07 8,25


(4)

Daftar Sidik Ragam

Sumber Keragaman Db JK KT F.Hit F 0.05 F 0.01

Perlakuan 23 710,51

Stadia predator 3 527,28 175,76 1480,95 ** 3,01 4,72

Stadia larva 5 31,82 6,36 53,62 ** 2,62 3,90

P X L 15 151,40 10,09 85,05 ** 2,13 2,93

Error 24 2,85 0,12

Total 47 713,36

FK = 815,84

KK = 0,08 %

Ket : tn = tidak nyata * = Nyata ** = sangat nyata

Uji Jarak Duncan Stadia Larva

SY 0,08

0,21 0,20 0,24 0,94 1,27 1,37

A 2 3 4 5 6 7

SSR 0,05 2,92 3,07 3,15 3,22 3,28 3,31

LSR 0,05 0,24 0,25 0,26 0,26 0,27 0,27

Perlakuan L1 L5 L3 L2 L6 L4

Rataan 0,45 0,45 0,50 1,20 1,53 1,64

a.

b.

c.

Uji Jarak Duncan Stadia Predator

SY 0,12

-0,36 -0,19 1,37 1,52

A 2 3 4 5

SSR 0,05 2,92 3,07 3,15 3,22

LSR 0,05 0,36 0,37 0,38 0,39

Perlakuan P0 P1 P2 P3

Rataan 0,00 0,18 1,76 1,91

a.

b.


(5)

FOTO PENELITIAN

Media pemeliharaan serangga Media percobaan: a.

S. litura,

b.

E. thrax,

c. campuran

Media pemeliharaan serangga Media percobaan: a.

S. litura,

b.

E. thrax,

c. campuran

R. fuscipes

tampak dorsal

R. fuscipes

tampak ventral

R. fuscipes

tampak dorsal

R. fuscipes

tampak ventral

Percobaan penelitian: a. Ulangan 1, b. Ulangan 2

a

b

b


(6)

Tahapan kondisi larva yang dimangsa

Pemangsaan

R. fuscipes

terhadap : a.

E. thrax

, b.

S. litura

Stilet

R. fuscipes

R. fuscipes

Stilet

R. fuscipes

R. fuscipes

4 x 10


Dokumen yang terkait

Kemampuan memangsa Rhynocoris fuscipes F. (Hemiptera : Reduviidae) terhadap Larva A Erionota thrax L. (Lepidoptera : Hesperiidae) dan Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae)di Laboratorium

4 77 57

Pengaruh Biopestisida Dalam Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tabacum L.) Di Rumah Kasa

0 42 47

Uji Efektivitas Pestisida Nabati Terhadap Hama Spodoptera litura (Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum L.)

2 34 58

Efektivitas Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill Terhadap Spodoptera litura F (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Tanaman Kelapa Sawit

0 47 43

Kemampuan memangsa Rhynocoris fuscipes F. (Hemiptera : Reduviidae) terhadap Larva A Erionota thrax L. (Lepidoptera : Hesperiidae) dan Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae)di Laboratorium

0 1 10

Kemampuan memangsa Rhynocoris fuscipes F. (Hemiptera : Reduviidae) terhadap Larva A Erionota thrax L. (Lepidoptera : Hesperiidae) dan Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae)di Laboratorium

0 0 14

KEMAMPUAN MEMANGSA Rhynocoris fuscipes F. (Hemiptera:Reduviidae) TERHADAP LARVA Erionota thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidae) DAN Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae) DI LABORATORIUM

0 1 12

Kemampuan Memangsa Rhynocoris Fuscipes F. (Hemiptera:Reduviidae) Terhadap Larva Erionota Thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidae) Dan Spodoptera Litura F. (Lepidoptera : Noctuidae) Di Laboratorium

0 0 10

Kemampuan Memangsa Rhynocoris Fuscipes F. (Hemiptera:Reduviidae) Terhadap Larva Erionota Thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidae) Dan Spodoptera Litura F. (Lepidoptera : Noctuidae) Di Laboratorium

0 3 15

Kemampuan Memangsa Rhynocoris Fuscipes F. (Hemiptera:Reduviidae) Terhadap Larva Erionota Thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidae) Dan Spodoptera Litura F. (Lepidoptera : Noctuidae) Di Laboratorium

0 0 12