Studi Pewarisan Karakter Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L ) terhadap Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum)

STUDI PEWARISAN KARAKTER KETAHANAN CABAI
(Capsicum annuum L.) TERHADAP LAYU BAKTERI
(Ralstonia solanacearum)

IZMI YULIANAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Pewarisan Karakter
Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Layu Bakteri (Ralstonia
solanacearum) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.


Bogor, November 2007

Izmi Yulianah
NIM A351030011

ABSTRACT
IZMI YULIANAH. Inheritance of Pepper (Capsicum annuum) Resistance Trait
to Bacterial Wilt (Ralstonia solanacearum). Supervised by SRIANI
SUJIPRIHATI, WIDODO, and KIKIN H MUTAQIN.
Pepper is one of the most important vegetable in Indonesia, whose
productivity (6.49 ton/ha) is still lower than its potential production (12 ton/ha).
One of the limiting factor is bacterial wilt disease caused by Ralstonia
solanacearum. The use of resistant pepper varieties is considered to be the most
effective and efficient disease control program. The breeding for resistant pepper
varieties to bacterial wilt disease would be effective if the information of the
inheritance pattern of resistance is available.
The research involved two activities, i.e. (1) screening for resistant peppers
to bacterial wilt, and (2) study on inheritance of pepper resistance trait to bacterial
wilt.
The objective of the first activity was to obtain parental candidates of

parental pepper for inheritance study. Nine genotypes of pepper from AVRDC
and Laboratory of Genetic and Plant Breeding, Bogor Agricultural University,
were screened by artificial inoculation of with R. solanacearum CHG 7 isolate.
The result of screening showed that five genotypes are resistant (Jatilaba, PBC
1367, ICPN 12#4, PBC 473, and Tit Super), one genotype is slightly resistant
(TM 999), one genotype is slightly susceptible (0209-4) and two genotypes are
susceptible (Randu and PBC 67MC5).
The objective of the second activity was to study inheritance of pepper
resistance traits to bacterial wilt including gene action, number of controlling
genes, heritability value, and the maternal effect. Population used in this
experiment were P1, P2, F1, F1R, BC1P1, BC1P2, and F2 which derived from the
crossing of PBC 473 x PBC 67MC5 and the crossing of Tit Super x PBC 67MC5.
The result of this experiment showed that there is no maternal effect based on ttest of F1 and F1R. The segregation of F2 population had a ratio of 55 : 9 (resistant
: susceptible) which indicated that resistance trait to bacterial wilt is controlled by
three genes with duplicate recessive and dominant epistasis. The degree of
dominance of PBC 473 X PBC 67MC5 and Tit Super X PBC 67MC5 are
complete dominant and overdominant, respectively. Broad-sense and narrowsense heritability values of pepper resistance traits are medium.
Key word : pepper, bacterial wilt, inheritance, resistance

RINGKASAN

IZMI YULIANAH. Studi Pewarisan Karakter Ketahanan Cabai (Capsicum
annuum L.) terhadap Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum). Di bawah
bimbingan SRIANI SUJIPRIHATI, WIDODO, dan KIKIN H MUTAQIN.
Cabai adalah salah satu sayuran penting di Indonesia, yang
produktivitasnya masih rendah (6.39 ton/ha) dan di bawah potensi produksi (12
ton/ha). Salah satu kendala adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh
Ralstonia solanacearum. Penggunaan varietas cabai tahan penyakit merupakan
upaya pengendalian yang efektif dan ekonomis. Perakitan varietas cabai tahan
layu bakteri akan efektif apabila informasi pola pewarisan karakter ketahanan
telah diketahui.
Penelitian dilaksanakan dalam dua kegiatan, yaitu (1) skrining ketahanan
cabai terhadap layu bakteri dan (2) studi pewarisan karakter ketahanan cabai
terhadap layu bakteri. Kegiatan pertama bertujuan mendapatkan tetua untuk studi
pewarisan. Percobaan ini menggunakan 9 genotipe cabai koleksi AVRDC dan
Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman IPB dengan isolat bakteri dari Ciherang
Bogor. Skrining dengan inokulasi buatan menghasilkan 5 tetua tahan yaitu
Jatilaba, PBC 1367, ICPN 12#4, PBC 473, dan Tit Super, satu genotipe agak
tahan (TM 999), satu genotipe agak rentan (0209-4), dan dua genotipe rentan
(Randu dan PBC 67MC5). Kegiatan kedua bertujuan untuk mempelajari
pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap layu bakteri yang meliputi aksi gen,

jumlah gen pengendali, nilai duga heritabilitas, dan ada tidaknya pengaruh tetua
betina yang mengendalikan karakter ketahanan tersebut. Percobaan ini
menggunakan populasi (P1, P2, F1, F1R, BC1P1, BC1P2, dan F2) yang berasal dari
persilangan PBC 473 x PBC 67MC5 dan persilangan Tit Super x PBC 67MC5.
Hasil percobaan menunjukkan kesamaan pada kedua persilangan dimana tidak ada
efek maternal berdasarkan uji t pada F1 dan F1R. Segregasi populasi F2 memiliki
nisbah 55 : 9 (tahan : rentan) yang mengindikasikan bahwa karakter ketahanan
terhadap layu bakteri dikendalikan oleh tiga pasang gen mayor dengan aksi
epistasis dominan dan resesif duplikat. Derajat dominansi persilangan PBC 473 x
PBC 67MC5 adalah dominan sempurna, sedangkan persilangan Tit Super x PBC
67MC5 adalah overdominan. Heritabilitas arti luas dan arti sempit karakter
ketahanan terhadap layu bakteri pada kedua persilangan adalah sedang.
Kata kunci : cabai, layu bakteri, pewarisan, ketahanan

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

STUDI PEWARISAN KARAKTER KETAHANAN CABAI
(Capsicum annuum L.) TERHADAP LAYU BAKTERI
(Ralstonia solanacearum)

IZMI YULIANAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007


Judul Tesis
Nama
NIM

: Studi Pewarisan Karakter Ketahanan Cabai (Capsicum annuum
L.) terhadap Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum)
: Izmi Yulianah
: A351030011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Sriani Sujiprihati, MS.
Ketua

Dr.Ir. Widodo, MS.
Anggota

Dr. Ir. Kikin H Mutaqin, MSi.

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.

Tanggal Ujian: 3 Oktober 2007

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Lulus : 4 Desember 2007

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 27 Juli 1975

sebagai anak


sulung dari pasangan H. Slamet Harun dan Hj. Umroh. Penulis menikah dengan
Abdul Basit pada tahun 2000 dan telah dikaruniai dua putri.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemuliaan Tanaman,
Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, lulus pada tahun 1998. Pada tahun
2003, penulis diterima di Program Studi Agronomi pada sekolah Pascasarjana IPB.
Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari DIKTI.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Pemuliaan
Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya sejak tahun 1999.

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
kasih sayangNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih pada penelitian ini adalah Studi Pewarisan Karakter Ketahanan Cabai
(Capsicum annuum L.) terhadap Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum).
Terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS., Bapak Dr. Ir. Widodo, MS., dan Bapak Dr.
Ir. Kikin H. Mutaqin, MSi., selaku komisi pembimbing yang telah banyak
memberi arahan, bimbingan, saran dan motivasi sejak perencanaan penelitian
sampai penyusunan tesis ini selesai.

2. Bapak Dr. Ir. M. Syukur, MSi, selaku dosen penguji luar komisi yang telah
banyak memberi masukan.
3. Rektor dan Dekan Universitas Brawijaya yang telah memberikan ijin belajar.
4. DIKTI, yang telah memberikan beasiswa BPPS.
5. Tim Program Penelitian Kerjasama Faperta IPB-AVRDC yang diketuai oleh
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat MSc., yang telah memberi dana untuk
penelitian ini.
6. Kepala Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen AGH IPB dan
Kepala Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman
IPB, yang telah memberikan ijin untuk menggunakan fasilitas Laboratorium
selama penelitian.
7. Ibu Dr. Ir. Rahmi Yunianti, MSi., yang telah banyak memberi masukan dan
motivasi melalui diskusi.
8. Ibu Ir. Ivonne Oley Sumarauw, MS., Dr. Ir. Abjad Asih, MSi. dan Bapak Dr.
Ir Giyanto, MSi., yang telah banyak memberi masukan selama proses
penelitian.
9. Ibu Ade, yang telah banyak membantu selama persilangan di Tajur
10. Teman-teman satu tim penelitian cabai : Zahrotul Millah, Agus Riyanto, Yulia
Irawati, Latifah, terima kasih atas kebersamaan dan motivasinya. Temanteman Program Studi Agronomi 2003 (Mba Niken, Apri, Uni Upik, Teh Rini,
Ade, Reni, Imay, Nila), teman-teman di Laboratorium Bakteri, serta adikadik di Turfgrass, terima kasih atas kebersamaannya. Siti Marwiyah dan

Undang, yang telah banyak membantu.
11. Ayahanda H. Slamet Harun (Alm), nasehat bapak untuk terus mencari ilmu
akan selalu ananda kenang. Ibunda Hj. Umroh, yang telah banyak
memanjatkan do’a dan kasih sayangnya.
12. Suami tercinta Abdul Basit, atas kesabaran, pengertian dan banyak membantu
selama penelitian dan tidak bosan memberi dorongan dengan kasih sayang dan
do’anya. Dua putri penyejuk hati Hanin Maulida Fasya dan Nida Shofiya
Fasya, wajah polosnya menjadi peneguh untuk selalu mencari Ridho-Nya.
13. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
Bogor, November 2007
Izmi Yulianah

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………………………….

xi

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….......... xiii

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………….........

xiv

PENDAHULUAN..........................................................................................
Latar Belakang………………………………………………………….
Tujuan Penelitian……………………………………………………….
Hipotesis…………………………………………………………….......
Manfaat Penelitian……………………………………………………...

1
1
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………
Botani dan syarat tumbuh tanaman cabai………………………............
Penyakit layu bakteri……………………………………………………
Gejala penyakit layu bakteri pada cabai………………………………...
Pemuliaan untuk ketahanan tanaman terhadap layu bakteri………........

5
5
7
9
9

BAHAN DAN METODE ………………………………………………….
Waktu dan Tempat……………………………………………………...
Bahan…………………………………………………………………..
Metode…………………………………………………………………
Percobaan1. Skrining ketahanan cabai terhadap layu bakteri……..
Skrining ketahanan cabai terhadap layu bakteri pada lahan
yang terinfestasi alami ......................................................
Skrining ketahanan cabai terhadap layu bakteri dengan
dengan inokulasi buatan.............................................................
Percobaan 2. Studi pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap
Layu bakteri.....................................................................................
Pembentukan populasi dasar .....................................................
Studi pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap layu
bakteri.........................................................................................

13
13
13
14
15

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
Percobaan 1. Skrining ketahanan cabai terhadap layu bakteri..............
Skrining ketahanan cabai terhadap layu bakteri pada lahan
terinfestasi alami............................................................................
Skrining ketahanan cabai terhadap layu bakteri dengan
inokulasi buatan.............................................................................
Percobaan 2. Studi pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap
layu bakteri............................................................................................
Pembentukan populasi dasar..........................................................
Nilai rata-rata, standar deviasi, dan ragam.....................................
Efek maternal.................................................................................

31
31

15
16
20
20
23

31
32
35
35
36
38

Derajat dominansi..........................................................................
Jumlah gen pengendali...................................................................
Analisis model genotipe.................................................................
Heritabilitas....................................................................................

39
40
46
49

SIMPULAN ..................................................................................................

53

SARAN...........................................................................................................

53

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................

54

LAMPIRAN...................................................................................................

59

x

DAFTAR TABEL

No.

Halaman

Pengelompokan
biovar
R.
solanacearum
berdasarkan
kemampuannya menggunakan karbohidrat………………………...

8

Penentuan indeks penyakit pada tanaman cabai yang terserang
penyakit layu bakteri…………………………………………….....

19

Respon ketahanan cabai merah terhadap layu bakteri
(R.solanacearum) berdasarkan kejadian penyakit dan indeks
penyakit ……………………………………………………………

20

Jumlah tanaman dari masing-masing populasi pada setiap
persilangan…....................................................................................

24

5.

Klasifikasi derajat dominansi berdasarkan nilai potensi rasio…......

27

6.

Nisbah fenotipik frekuensi karakter resistensi tanaman terhadap
penyakit yang dikendalikan oleh gen mayor dalam populasi
bersegregasi F2…………………………………………………......

29

Nilai rata-rata kejadian penyakit dan masa inkubasi pada genotipegenotipe cabai dan respon ketahanan terhadap layu bakteri pada
lahan terinfestasi alami…………………………………………......

32

Respon ketahanan 9 genotipe cabai terhadap layu bakteri isolat
CHG7 berdasarkan inokulasi buatan…………………………….....

33

Hasil persilangan pembentukan populasi dasar untuk studi
pewarisan karakter ketahanan terhadap layu bakteri.........................

36

Nilai rata-rata, standar deviasi, dan ragam indeks penyakit pada
setiap populasi persilangan PBC 473 x PBC 67MC5......................

37

Nilai rata-rata, standar deviasi, dan ragam indeks penyakit pada
setiap populasi persilangan Tit Super x PBC 67MC5.......................

37

Nilai rata-rata dan standar deviasi indeks penyakit pada populasi
F1 dan F1R yang diinokulasi R. solanacearum................................

38

1.

2.

3.

4.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Nilai rata-rata dan standar deviasi indeks penyakit pada tetua (P1
dan P2) dan populasi F1 yang diinokulasi R. solanacearum serta
nilai hp pada kedua persilangan .......................................................

40

14.

Hasil uji χ2 pada populasi F2 (PBC 473 x PBC 67MC5)
berdasarkan indeks penyakit dengan beberapa nisbah Mendel ........

15.

Hasil uji χ2 pada populasi F2 (Tit Super x PBC 67MC5)
berdasarkan indeks penyakit dengan beberapa nisbah Mendel ........

45

Jumlah pasangan gen, jumlah gamet pada F1, jumlah genotipe,
jumlah fenotipe, dan jumlah populasi minimum pada F2................

46

16.

42

.

xii

DAFTAR GAMBAR
No.

Halaman
Koloni R. solanacearum CHG 7 pada media TTC (A) dan pada
media King’s B (B).…………………………………………..........

13

2.

Bagan alir penelitian………………………………………………..

14

3.

Tahapan isolasi dan persiapan inokulum R. Solanacearum..............

17

4.

Inokulasi pada cabai dengan metode penyiraman…………..……...

18

5.

Gejala layu yang dimulai pada daun-daun muda sampai layu
permanen……………………………………………………….......

19

6.

Skema persilangan pembentukan populasi dasar…………………..

21

7.

Teknik persilangan buatan pada cabai……………………………..

22

8.

Sungkup individu tanaman pada tanaman F1 dan tetua…………….

23

9.

Skoring (0 – 5) gejala serangan R. solanacearum untuk penentuan
Indeks penyakit ................................................................................

25

Gejala layu mulai minggu ke-3 (kiri) dan minggu ke-8 (kanan)
pada lahan terinfestasi alami.............................................................

31

Gejala pada pangkal batang, aliran massa bakteri, dan suspensi
yang berwarna keruh.........................................................................

33

Skema posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetuanya
berdasarkan indeks penyakit pada dua populasi persilangan............

39

Histogram sebaran frekuensi indeks penyakit pada populasi P1, P2,
F1, BC1P1, BC1P2 dan F2 persilangan PBC 473 x PBC
67MC5...............................................................................................

41

Histogram sebaran frekuensi indeks penyakit pada populasi P1, P2,
F1,
BC1P1, BC1P2 dan F2 persilangan Tit Super x PBC
67MC5...............................................................................................

44

Dugaan genotipe-genotipe pada tanaman BC1P1..............................

48

1.

10.

11.

12.

13.

14.

15

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Halaman

1.

Daftar genotipe-genotipe bahan penelitian………………………….

60

2.

Uji respon hipersensitif, uji Gram, dan uji fluoresensi
R. solanacearum …………………………………….......................

61

Data masa inkubasi 9 genotipe berdasarkan inokulasi buatan
dengan R. solanacearum…………………………………………...

62

Penampilan buah PBC 473, PBC 67MC5, F1(PBC 473 x PBC
67MC5) dan F1R(PBC67MC5 x PBC 473)………………………...

65

Penampilan Tit Super, PBC 67MC5 dan F1R (PBC 67MC5 x Tit
Super).................................................................................................

66

3.

4.

5.

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum annuum) berasal dari Amerika Selatan dan Amerika
Tengah. Saat ini cabai telah dibudidayakan secara luas di berbagai negara.
Tanaman ini masuk ke Indonesia sekitar 450-500 tahun lalu yang dibawa oleh
orang Portugis (Berke 2002). Di Indonesia cabai merupakan sayuran penting,
dengan

luas lahan mencapai 10.96% dibandingkan dengan total luas lahan

sayuran lainnya pada tahun 2005 (Direktorat Jenderal Hortikultura 2006).
Permintaan buah cabai cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring
dengan penggunaan cabai yang cukup banyak oleh masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam bentuk segar maupun sebagai bahan baku industri seperti
makanan, obat-obatan dan kosmetik (Duriat 1995). Cabai mengandung zat-zat
gizi yang sangat penting untuk kesehatan manusia seperti protein, lemak,
karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin C, A dan E serta senyawa-senyawa
alkaloid seperti capsaicin, flavonoid, dan minyak esensial. Vitamin C yang
terkandung pada cabai cukup tinggi yaitu 18 mg/100 g (Wiryanta 2003),
provitamin A pada cabai yaitu carotenoids β-carotene dan β-cryptoxanthin,
keduanya merupakan antioksidan (AVRDC 2004a).

Senyawa capsaicin yang

terkandung di dalam buah cabai menyebabkan rasa pedas dan juga berfungsi
melancarkan sirkulasi peredaran darah (Wiryanta 2003).
Peningkatan permintaan cabai belum diimbangi dengan produktivitas
cabai. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006), pada tahun 2005
produktivitas mencapai 6.39 ton/ha. Produktivitas cabai ini menurun dari dua
tahun sebelumnya yang mencapai 6.49 ton/ha pada tahun 2004 dan 6.72 ton/ha
pada tahun 2003. Produktivitas cabai di Indonesia ini masih jauh dari potensi
produksi yang mencapai 18 ton/ha (Kusandriani 1996a). Rendahnya produktivitas
cabai antara lain disebabkan serangan hama dan patogen, kurang tersedianya
benih berkualitas, teknologi budidaya, dan pasca panen.
Salah satu penyakit penting pada cabai

adalah layu bakteri yang

disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (E.F. Smith) yang dulu dikenal dengan
Pseudomonas solanacearum (E.F. Smith) (Yabuuchi et al. 1995). Penyakit layu

2

bakteri cukup berbahaya, karena pada tingkat serangan berat dapat menyebabkan
kematian tanaman dan kegagalan panen sehingga menimbulkan kerugian atau
penurunan hasil yang relatif besar (Semangun 1994).
Penyakit layu bakteri ini sulit dikendalikan, karena R. solanacearum
merupakan bakteri yang sangat destruktif dan memiliki kisaran inang yang luas
pada tanaman budidaya (tomat, kentang, cabai, kacang tanah, pepaya dll),
tanaman hias, dan

gulma di daerah tropik maupun subtropik. Bakteri ini

tergolong patogen terbawa tanah (soil-borne) dan dapat bertahan hidup pada
tanaman inang alternatif dan gulma (Abdullah & Rahman 1998). Kemampuan
bertahan hidup bakteri di dalam tanah semakin tinggi, terutama pada lahan-lahan
yang terus menerus ditanami inang yang rentan.
Upaya pengendalian penyakit layu bakteri dengan rotasi tanaman dan
tumpangsari hanya mengurangi keparahan penyakit (Hartman & Elphinstone
1994). Pengendalian dengan bakterisida secara terus menerus dan tidak bijaksana
akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan seperti matinya musuh-musuh
alami dan timbulnya resistensi pada patogen. Penggunaan varietas cabai yang
tahan merupakan upaya pengendalian yang efektif dan ekonomis serta ramah
lingkungan.
Varietas cabai yang tahan dapat dihasilkan melalui seleksi plasma nutfah
dan melalui persilangan antara tetua yang terpilih. Hartman & Elphinstone (1994)
telah mengevaluasi 81 genotipe Capsicum annuum dan lima genotipe tergolong
tahan terhadap layu bakteri. Khairul (2005) telah mengevaluasi 23 genotip cabai
dan empat diantaranya tergolong tahan (PBC 473, Cingis Kecil, PBC 743 Chinda
2, dan Randu).
Varietas yang tahan dapat diperoleh antara lain melalui persilangan.
Persilangan merupakan cara untuk menggabungkan gen yang diinginkan. Jika
sumber gen ketahanan terdapat dalam satu spesies maka persilangan akan lebih
mudah dengan keberhasilan yang

cukup tinggi dan sedikit sekali terjadi

inkompatibilitas. Perbaikan karakter yang diinginkan menjadi efektif apabila
informasi mengenai aksi gen dan jumlah gen pengendali telah diketahui.

3

Pewarisan suatu karakter mempunyai arti penting dalam
strategi pemuliaan tanaman yang efektif

menentukan

untuk perbaikan karakter yang

diinginkan. Pengetahuan mengenai aksi gen terkait dengan apakah ketahanan
dikendalikan oleh aksi dominan atau resesif. Demikian juga jumlah gen
pengendali, apakah dikendalikan oleh satu gen (monogenik), sedikit gen
(oligogenik),

banyak

gen

(poligenik),

atau

pewarisan

sitoplasmik

(ekstrakromosom) (Russel 1981). Falconer (1998) mengemukakan bahwa aksi gen
dan jumlah gen pengendali, nilai duga heritabilitas, dan ada tidaknya pengaruh
tetua betina yang mengendalikan karakter tersebut merupakan hal penting dalam
mempelajari sifat genetika karakter ketahanan.
Beberapa hasil penelitian mengenai pewarisan karakter ketahanan terhadap
layu bakteri masih belum konsisten. Monma & Sakata (1993) melaporkan bahwa
karakter ketahanan tomat terhadap layu bakteri dikendalikan oleh aksi gen resesif
dengan karakter kualitatif maupun kuantitatif, sedangkan Osiru et al. (2001)
melaporkan bahwa ketahanan tomat terhadap layu bakteri dikendalikan oleh dua
gen. Lafortune et al (2005), melaporkan karakter ketahanan cabai terhadap layu
bakteri dikendalikan oleh sedikit gen dan dipengaruhi oleh efek aditif.
Berdasarkan hal tersebut studi pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap layu
bakteri masih perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi ketahanan genotipe cabai terhadap layu bakteri.
2. Mempelajari pola pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap penyakit layu
bakteri

yang meliputi aksi gen, jumlah gen pengendali, nilai duga

heritabilitas, dan ada tidaknya pengaruh tetua betina yang mengendalikan
karakter ketahanan tersebut.

4

Hipotesis Penelitian
1. Adanya genotipe cabai yang tahan dan genotipe rentan terhadap layu bakteri
yang dipilih menjadi tetua untuk studi pewarisan.
2. Ketahanan cabai

terhadap layu bakteri dikendalikan oleh sedikit gen

(oligogenik).
3. Tidak adanya pengaruh tetua betina dalam mengendalikan karakter ketahanan
cabai terhadap layu bakteri.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menghasilkan
informasi mengenai pola pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap penyakit
layu bakteri. Informasi ini berguna untuk merancang program pemuliaan yang
efektif dalam merakit kultivar cabai yang tahan terhadap layu bakteri dan berdaya
hasil tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai
Genus Capsicum termasuk ke dalam famili Solanaceae yang terdiri atas 20
-30 spesies. Ahli taksonomi modern mengenalkan lima spesies yang telah
dibudidayakan yaitu: Capsicum annuum L., C.
C.

frutescens L.,

C. chinense,

pubescens dan C. baccatum L. Lima spesies tersebut berasal dari nenek

moyang yang berbeda di tiga pusat daerah penyebaran. Pusat penyebaran primer
untuk Capsicum annuum adalah Meksiko, sedangkan pusat sekunder adalah
Guatemala. Pusat penyebaran primer C. chinense dan C. frutescens adalah daerah
Amazonia, sedangkan untuk C. baccatum dan C. pubescens adalah Peru dan
Bolivia (Greenleaf 1986).
Cabai adalah tanaman herba tropika yang biasanya ditanam sebagai tanaman
setahun (Bosland & Votava 2000). Perakaran tanaman cabai memiliki sistem
perakaran dangkal yang diawali dengan akar tunggang kemudian tumbuh akar
rambut ke samping. Batang utama tanaman tegak, berkayu dan bercabang banyak
dengan tinggi sekitar 45 – 150 cm. Tipe percabangan tegak atau menyebar
tergantung spesiesnya (Rubatzky & Yamaguchi 1997).
Daun cabai merupakan daun tunggal dengan helai daun berbentuk ovate,
elliptic atau lanceolate. Daun cabai mempunyai keragaman ukuran, bentuk dan
warna. Warna daun biasanya hijau muda sampai hijau tua, juga ditemukan warna
ungu, variegata dan agak kekuningan. Cabai mempunyai tangkai daun pendek
sampai panjang bergantung spesies dan kultivarnya. Daun-daun tumbuh pada
tunas-tunas samping tersusun berurutan, sedangkan pada batang utama dan
tunggal secara spiral (Kusandriani 1996b; Bosland & Votava 2000).
Seperti umumnya famili Solanaceae, bunga cabai berbentuk seperti
terompet. Bunga cabai umumnya bersifat tunggal dan tumbuh pada ujung ruas dan
merupakan

bunga sempurna (hermaprodit), dimana bunga jantan dan betina

terdapat pada satu bunga. Mahkota bunga berwarna putih atau ungu tergantung
kultivarnya, helaian mahkota bunga berjumlah lima atau enam helai. Setiap bunga
mempunyai satu putik (stigma), kepala putik berbentuk bulat dan berwarna kuning
kehijauan. Terdapat lima sampai delapan helai benang sari dengan kepala sari

6

berbentuk lonjong berwarna biru keunguan. Pada saat antesis tangkai bunga
umumnya merunduk. Bunga pertama terbentuk pada umur 21-31 hari sesudah
tanam (HST) dan buah pertama mulai terbentuk pada umur 29 – 40 HST
(Greenleaf 1986; Kusandriani 1996b).
Tepung sari berbentuk lonjong, terdiri dari tiga segmen, berwarna kuning
mengkilat. Dalam kotak sari berkembang sekitar 11 000 sampai 18 000 butir
tepung sari. Bunga normal berisi 1 – 1.5 mg tepung sari. Ketika tepung sari
menempel pada stigma, terjadi imbibisi dan ukurannya meningkat dua kali ukuran
normal. Temperatur udara berpengaruh besar pada perkembangan dan viabilitas
tepung sari. Suhu optimal untuk perkecambahan tepung sari yaitu 20 – 25 oC
(Kusandriani 1996b; Bosland & Votava 2000).
Bunga betina terdiri atas bakal buah, tangkai putik dan kepala putik. Bakal
buah bentuknya berubah-ubah, demikian pula warnanya berubah mengikuti warna
buah pada waktu proses pematangan. Posisi dan ukuran stigma

sangat

berpengaruh pada terjadinya penyerbukan silang. Pada bunga yang kepala
putiknya lebih tinggi dari kotak sari memungkinkan terjadi penyerbukan silang.
Pada bunga yang letak kepala putiknya lebih rendah dari kotak sari akan terjadi
penyerbukan sendiri (Kusandriani 1996b).
Cabai merupakan tanaman menyerbuk sendiri ditandai dengan benang sari
dan putik terdapat dalam satu bunga (hermaprodit), akan tetapi penyerbukan
silang dapat juga terjadi secara alami, terutama dengan bantuan lebah.
Penyerbukan silang di lapang mencapai 7.6 – 36.8%, dengan rata-rata 16.5%.
Setelah terjadi penyerbukan, akan terjadi pembuahan. Tanaman cabai mempunyai
jumlah kromosom 2n = 24 (Greenleaf 1986).
Pada saat pembentukan buah, mahkota bunga akan rontok tetapi kelopak
bunga tetap menempel pada buah. Bentuk buah bervariasi mulai dari panjang
lurus, lurus dengan ujung agak melengkung, sampai melintir. Panjang buah
berkisar antara 9 – 18 cm bergantung varietas. Buah matang dalam waktu 34 - 40
hari setelah pembuahan, bentuk ujungnya runcing atau tumpul. Permukaan kulit
dan warna buah bervariasi dari halus sampai bergelombang, warna mengkilat
sampai kusam, hijau, kuning, coklat atau kadang-kadang ungu pada waktu muda
dan menjadi merah waktu matang. Buah berongga, jumlah rongga berbeda

7

menurut kultivarnya. Di dalam rongga buah terdapat placenta sebagai tempat
melekatnya biji.

Biji memiliki kulit biji yang keras. Di dalam biji terdapat

endosperma dan ovul. Warna biji C. annuum kuning jerami, hanya C. pubescens
berwarna hitam (Kusandriani 1996b).
Perkecambahan biji cabai memerlukan suhu optimum sekitar 30

o

C,

sedangkan untuk pertumbuhan optimum tanaman diperlukan suhu rata-rata harian
20 – 30 oC. Pada suhu kurang dari 15 oC atau lebih dari 32 oC, perkecambahan
benih dan pertumbuhan tanaman umumnya terhambat. Tanaman cabai dapat
tumbuh di dataran rendah maupun tinggi hingga 3 000 m di atas permukaan laut
dan dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah (Rubatzky & Yamaguchi 1997).
Cabai tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau cuaca yang basah.
Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah antara 600 –
1 250 mm per tahun. Kondisi tersebut juga menyebabkan tanaman cabai akan
mudah terserang patogen. Cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan
drainase dan aerasi tanah cukup baik. Tanah yang paling ideal adalah yang
mengandung bahan organik sekurang-kurangnya 1.5% dan mempunyai pH 6.0 –
6.5 (Sumarni 1996).

Penyakit layu bakteri
Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum
(E.F.Smith) yang sebelumnya bernama Pseudomonas solanacearum (E.F.Smith)
(Yabuuchi et al. 1995). Menurut Hayward (1985), lebih dari 35 famili dan 200
spesies tanaman baik yang bernilai maupun tidak bernilai ekonomis dapat menjadi
inang. Tanaman dari famili Solanaceae seperti tomat dan cabai merupakan inang
yang rentan terhadap serangan bakteri ini (Machmud 1985).
R. solanacearum merupakan bakteri berbentuk batang, Gram negatif,
aerobik, tidak membentuk spora, tidak berkapsul dan sering bersifat non motil.
Isolat yang virulen umumnya tidak berflagelum dan non motil, sedangkan isolat
yang tidak virulen biasanya mengandung 1- 4 flagela polar dan motil (Kelman
1953).
Bakteri ini mempunyai bentuk koloni yang bervariasi, untuk membedakan
antara strain avirulen dengan strain virulen dapat digunakan medium 2,3,5

8

triphenyl tetrazolium chlorida (TTC). Koloni strain virulen bentuknya tidak
beraturan seperti berair, berwarna putih dengan pusat merah muda. Koloni strain
avirulen berbentuk bundar, ukurannya lebih kecil, warnanya mula-mula merah,
kemudian menjadi merah gelap sesuai umurnya (Hayward 1985).
Klasifikasi R. solanacearum dibagi menjadi dua sistem, yaitu sistem ras dan
biovar. Ras dan biovar merupakan pengelompokan secara informal pada tingkat
intra sub-spesies. Ras 1 mempunyai kisaran inang yang cukup luas di antaranya
famili Solanaceae dan Leguminosae. Ras 2 menyerang Musa spp dan Heliconia
spp. dengan kisaran inang terbatas di Amerika Tropis dan Asia. Ras 3 menyerang
kentang dengan kisaran inang di daerah tropis dan subtropis. Ras 4 menyerang
jahe yang berasal dari Filipina. Ras 5 menyerang mulberry (Persley et al. 1985).
Menurut Semangun (1994), di Indonesia ras yang dominan ditemukan adalah ras
1 (strain Solanaceae) dan ras 3 ( strain kentang).
Sistem biovar didasarkan pada karakteristik biokimia, kemampuan
menggunakan atau menghidrolisa beberapa senyawa alkohol heksosa dan
disakarida. Strain R. solanacearum yaitu biovar 1, 2, 3, 4, dan 5 (Hayward 1964).
Kelima biovar dapat diidentifikasi berdasarkan kemampuannya mengoksidasi tiga
senyawa disakarida (selobiosa, laktosa, dan maltosa) dan tiga alkohol heksosa
(dulsitol, manitol, dan sorbitol) (Tabel 1).
Tabel 1. Pengelompokan biovar R. solanacearum berdasarkan kemampuannya
menggunakan karbohidrat (Hayward 1964)
Reaksi biovar
Sumber karbon

1

2

3

4

5

Selobiosa

-

+

+

-

+

Laktosa

-

+

+

-

+

Maltosa

-

+

+

-

+

Manitol

-

-

+

+

+

Sorbitol

-

-

+

+

-

Dulsitol

-

-

+

+

-

+ = Reaksi positif atau mengubah warna medium dari biru menjadi kuning,
- = Reaksi negatif atau tidak mengubah warna medium.

9

Virulensi R. solanacearum cenderung cepat menurun pada media biakan.
Isolat bakteri yang disimpan pada media cair juga dapat kehilangan virulensi, dan
viabilitasnya dengan cepat, berubah menjadi koloni yang tidak virulen (Hooker
1990).
Bakteri R. solanacearum umumnya masuk ke dalam jaringan tanaman
inang melalui luka yang terjadi pada waktu bercocok tanam, melalui lubanglubang alami (lentisel), melalui pertumbuhan akar sekunder, melalui akar yang
luka akibat tusukan nematoda. Setelah masuk ke tanaman, bergerak secara
sistemik mengikuti aliran cairan dalam pembuluh xilem ke bagian tanaman lain
(AVRDC 2004b).
Gejala Penyakit Layu Bakteri pada Cabai
Gejala penyakit layu bakteri R. solanacearum dapat dilihat pada setiap
fase pertumbuhan tanaman. Menurut Semangun (1994), jenis dan parahnya gejala
penyakit sangat dipengaruhi oleh virulensi bakteri, ketahanan varietas, waktu
terjadinya infeksi, dan kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman.
Gejala serangan biasanya terlihat dengan terjadinya kelayuan. Kadangkadang kelayuan tidak berkembang, tetapi tejadi pengkerdilan pada tanaman
muda, terutama pada varietas yang tahan (Wang 1998). Gejala pertama kali
terlihat pada umur 6-8 minggu. Daun-daun layu biasanya dimulai dari daun-daun
muda, dan masih sukulen. Apabila batang tanaman yang sakit dipotong, akan
terlihat berkas pembuluh yang berwarna coklat. Apabila batang ditekan akan
keluar eksudat berupa lendir yang berwarna putih susu (Hayward 1983). Potongan
batang yang sakit dimasukkan ke dalam tabung yang berisi air steril, akan terlihat
aliran massa bakteri yang berwarna putih yang keluar dari berkas pembuluh.
Aliran massa ini merupakan salah satu ciri khas layu bakteri yang
membedakannya dengan layu yang disebabkan oleh cendawan (Semangun 1994).

Pemuliaan untuk Ketahanan Tanaman terhadap Layu Bakteri
Tahapan yang penting dalam program pemuliaan tanaman untuk
menghasilkan varietas yang tahan terhadap penyakit adalah mendapatkan sumber
ketahanan dan menentukan pola pewarisan ketahanan tanaman serta sifat genetik
dari interaksi antar tanaman dengan patogen (Allard 1960; Russel 1981). Sifat

10

tahan ini dapat berasal dari varietas yang berbeda, varietas komersial, varietas
lokal, spesies liar sekerabat, spesies lain dalam satu genus atau genus lain (Kallo
1988).
Tahapan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik jika pengujian dilakukan
pada lingkungan epidemik bagi patogen, baik di laboratorium, rumah kaca
maupun lapangan. Masalah yang sering dihadapi adalah : 1) penentuan dan
penilaian ketahanan, 2) identifikasi genetik dari sifat ketahanan yang melibatkan
interaksi gen yang tidak sealel, kaitan gen, serta adanya bermacam-macam ras
fisiologi atau biotipe dari patogen. Penentuan dan penilaian ketahanan diperlukan
untuk membedakan antara tanaman yang tahan dan rentan secara tepat. Untuk
keperluan tersebut maka dalam setiap pengujian dan seleksi ketahanan tanaman
perlu diusahakan terciptanya lingkungan yang mampu memberikan kondisi
epifitotik patogen (Allard 1960; Russel 1981).
Ketahanan tanaman terhadap patogen dapat dibedakan sebagai ketahanan
horizontal dan ketahanan vertikal. Ketahanan horizontal dikendalikan oleh banyak
gen sehingga disebut ketahanan poligenik atau multigenik. Setiap gen tersebut
secara sendiri-sendiri tidak efektif mengatasi patogen dan memainkan peranan
yang kecil dari keseluruhan ketahanan horizontal. Gen-gen yang tercakup dalam
ketahanan horizontal memberi pengaruh dengan cara mengontrol tahap-tahap
proses fisiologis tanaman yang menyebabkan mekanisme pertahanan. Ketahanan
horizontal tidak melindungi tumbuhan dari infeksi yang terjadi, tetapi
memperlambat perkembangan patogen sehingga menurunkan penyebaran
penyakit dan perkembangan epidemik di lapangan. Ketahanan vertikal
dikendalikan oleh satu atau sedikit gen (monogenik atau oligogenik). Gen-gen
tersebut mengendalikan tahap-tahap dalam interaksi inang-patogen sehingga besar
peranannya dalam ekspresi ketahanan vertikal (ketahanan gen mayor). Ketahanan
vertikal menghambat perkembangan epidemik dengan membatasi inokulum awal
(Agrios 1997).
Tanaman tahan dan rentan dapat dibedakan dengan mudah jika ketahanan
dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor atau disebut ketahanan kualitatif. Pada
keadaan tersebut ragam ketahanan akan menunjukkan ragam terputus atau
diskontinu. Sebaliknya, ketahanan dikendalikan oleh banyak gen, ragam

11

ketahanan dalam populasi yang bersegregasi bersifat kontinu

dan tidak ada

perbedaan yang jelas antara individu tanaman tahan dan tanaman rentan. Oleh
karena itu pengukuran atau estimasi intensitas serangan dengan sistem pemberian
nilai skor atas gejala serangan diperlukan pada seleksi ketahanan (Russel 1981).
Ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat merupakan sifat kualitatif
yang dikendalikan oleh gen mayor atau sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh
banyak gen minor. Allard (1960) membedakan sifat kualitatif dan sifat kuantitatif
sebagai berikut:
(1) Ciri sifat kualitatif adalah:
a. Adanya ragam terputus pada kurva sebaran frekuensi nilai ketahanan
dengan munculnya kembali ragam kedua tetua di dalam generasi memisah
(F2, BC, dan F3), dan munculnya kembali salah satu ragam tetua bila
terdapat pengaruh dominansi penuh dalam generasi F1.
b. Banyaknya macam fenotipe dalam populasi bersegregasi F2 bila terdapat
pengaruh dominansi penuh adalah p = (2)n dan bila tidak ada dominansi
penuh tetapi terdapat aksi epistasis adalah p = (3)n (p = banyak macam
fenotipe, n = jumlah pasangan yang berbeda alel antar kdua tetua).
(2) Ciri sifat kuantitatif adalah:
a. Adanya ragam kontinu pada kurva sebaran frekuensi dalam generasi
memisah dengan ragam F2 yang lebih besar dari ragam F1.
b. Banyak macam fenotipe dalam populasi generasi F2 adalah p = (2n + 1).
Agar program pemuliaan yang dilakukan menjadi efektif, pola pewarisan
karakter dimaksud terlebih dahulu harus diketahui. Informasi tentang ada tidaknya
efek maternal, aksi dan jumlah gen pengendali, dan nilai heritabilitas adalah
sangat penting. Ada tidaknya efek maternal dapat diuji dengan membandingkan
data pengamatan pada F1 dan F1R.
Petr & Frey (1966) menggunakan pendugaan terhadap nilai potensi rasio
(hp) untuk mengetahui aksi gen yang mengendalikan karakter apakah oleh gen
dominan atau resesif. Potensi rasio adalah selisih nilai tengah kedua tetua (mid
parent) dari rata-rata populasi F1 terhadap nilai tengah kedua tetua dari rata-rata
tetua tertinggi.

12

Analisis genetik untuk karakter yang dikendalikan oleh gen mayor
biasanya dilakukan dengan analisa genetika Mendel, yaitu membandingkan nisbah
frekuensi fenotipik hasil pengamatan pada populasi F2 terhadap nisbah Mendel,
atau nisbah fenotipik tertentu dengan uji Chi-Kuadrat (Crowder 1993). Untuk
keperluan ini fenotipe pada populasi F2 dikelompokkan ke dalam kelas-kelas
tertentu sesuai dengan jumlah kelas dalam nisbah pembanding. Pendekatan ini
menghasilkan dugaan jumlah dan aksi gen yang bersegregasi untuk karakter yang
dipelajari.
Nilai duga heritabilitas adalah parameter yang sangat penting dalam
pemuliaan karena sangat berpengaruh terhadap efektivitas seleksi pada populasi
yang bersegregasi. Populasi dengan heritabilitas tinggi memungkinkan dilakukan
seleksi pada generasi awal, sedangkan heritabilitas rendah yang hampir mendekati
nilai 0, berarti pekerjaan seleksi tidak akan banyak berarti (Poespodarsono 1988)
Heritabilitas

didefinisikan

sebagai

proporsi

total

variabilitas

yang

disebabkan oleh faktor genetik terhadap variabilitas fenotipik suatu karakter
(Allard, 1960; Fehr 1987). Heritabilitas tipe ini dikenal sebagai heritabilitas dalam
arti luas (broad sense heritability)(h2bs).
Heritabilitas dalam arti sempit (‘narrow sense heritability)(h2ns) dihitung
sebagai nisbah varians genetik aditif terhadap varians fenotipik. Varians aditif
merupakan salah satu komponen varians genetik disamping varians dominan dan
varians epistasis. Varians fenotipe adalah varians genetik ditambah varians
lingkungan (Falconer 1989).
Heritabilitas digunakan untuk mengetahui apakah keragaman yang kita
amati pada suatu karakter disebabkan terutama oleh faktor genetik atau faktorfaktor lingkungan. Selain itu konsep heritabilitas berhubungan dengan harapan
kemajuan dalam berbagai metode seleksi terutama heritabilitas dalam arti sempit
yang salah satu komponennya merupakan ragam aditif yang bersifat dapat
difiksasi pada keturunannya. Karakter kualitatif biasanya memiliki heritabilitas
yang tinggi karena dikendalikan oleh gen-gen sederhana, sehingga fenotipe tidak
dikaburkan oleh faktor lingkungan (Poespodarsono 1988).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan April 2005 – Juni 2007. Percobaan
dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan IPB Tajur Bogor, Kebun percobaan
IPB Cikabayan Bogor, Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen
Proteksi Fakultas Pertanian IPB, dan Lahan Turfgrass IPB.

Bahan
Percobaan ini menggunakan 15 genotipe cabai yaitu Randu, Jatilaba, Tit
Super, 0209-4, PBC 67MC5, PBC 1367, ICPN 12#4, PBC 473, TM 999, PBC
932, PBC 066, 0230-8, PBC 495, ICPN 7#3, dan VC211a-3-1-1-1. Genotipegenotipe ini merupakan

koleksi Tim Pemuliaan Cabai Bagian Genetika dan

Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian
IPB dan koleksi Asian Vegetable Research and Development Center (AVRDC)
(Lampiran 1).
Isolat R. Solanacearum

yang digunakan adalah isolat CHG7 koleksi

Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas
Pertanian IPB yang berasal dari Ciherang Bogor. Media yang digunakan untuk
perbanyakan inokulum yaitu King’s B. Koloni R. solanacearum yang berwarna
putih dengan pusat merah muda pada media

TTC dan koloni yang berwarna

putih keruh pada media King’s B (Gambar 1).

A

B

Gambar 1. Koloni R. solanacearum CHG7 pada media TTC (A)
dan pada media King’s B (B).

14

Metode
Penelitian ini meliputi dua percobaan (bagan alir pada Gambar 2) yaitu :
1. Skrining ketahanan cabai terhadap layu bakteri.
2. Studi pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap layu bakteri.
Plasma nutfah cabai
koleksi (lokal, introduksi)

Percobaan 1 :
Skrining ketahanan cabai terhadap layu
bakteri




Tetua tahan
Tetua rentan

Pembentukan populasi dasar untuk studi

P1, P2, F1, F1R, BC1P1, BC1P2, F2

Percobaan 2 :
Studi pewarisan karakter ketahanan
cabai terhadap layu bakteri





Efek maternal
Derajat dominansi
Jumlah gen pengendali
Heritabilitas arti luas dan arti sempit

Kendali genetik pewarisan
karakter ketahanan terhadap
layu bakteri

Metode seleksi yang efektif dan efisien
untuk perakitan cabai unggul tahan
layu bakteri

Gambar 2. Bagan Alir Penelitian

15

Percobaan 1. Skrining Ketahanan Cabai terhadap Layu Bakteri
Percobaan ini mencakup dua kegiatan yaitu skrining ketahanan cabai
terhadap layu bakteri pada lahan yang terinfestasi secara alami dan skrining
ketahanan cabai terhadap layu bakteri dengan inokulasi buatan.

Skrining Ketahanan Cabai terhadap Layu Bakteri pada Lahan yang
Terinfestasi Alami
Percobaan ini bertujuan untuk mengevaluasi kembali genotipe cabai yang
telah diidentifikasi

bersifat tahan. Empat genotipe telah diidentifikasi oleh

AVRDC membawa sifat ketahanan cabai terhadap layu bakteri yaitu PBC 066,
ICPN 12 #4, Tit Super dan Jatilaba. Percobaan ini dilakukan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan genotipe sebagai perlakuan. Masing-masing
perlakuan diulang 4 kali. Jumlah tanaman setiap ulangan berkisar antara 6 – 24
tanaman.

Pelaksanaan percobaan. Benih disemai dalam baki dengan media tanam steril
dengan perbandingan tanah dan pupuk kandang adalah 2 : 1 (v/v). Setelah bibit
telah berumur 35 hari dipindahkan ke lapang dengan jarak tanam 50 cm x 50 cm.
Sebagai pupuk dasar, diberikan NPK dosis 10 g/tanaman pada saat tanam.
Selanjutnya setiap minggu diberikan pupuk berupa larutan NPK konsentrasi 10 g/l
air sebanyak 250 ml/tanaman. Pestisida yang digunakan Curacon 500EC, Dithane
M-45, dan Kelthane 200EC, diaplikasikan setiap minggu.

Pengamatan. Peubah yang diamati adalah :
1. Masa Inkubasi : Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak bakteri
masuk kedalam jaringan tanaman sampai menimbulkan gejala. Masa inkubasi
diamati satu minggu setelah tanam sampai minggu ke-8.
2. Kejadian Penyakit : Pengamatan kejadian penyakit yang diamati mulai umur 1
minggu setelah tanam (MST) sampai umur 8 MST. Kriteria tanaman yang
menunjukkan gejala layu berdasarkan 100% daun layu dan kekonsistenan
pada 1 – 2 minggu setelahnya.

16

Analisa Data. Kejadian penyakit layu dihitung dengan menggunakan rumus
seperti yang dikemukakan Wang (1998):
P = a/b x 100%

......(rumus 1)

Keterangan :
P = Kejadian penyakit
a = Jumlah tanaman yang menunjukkan gejala layu
b = Jumlah tanaman yang diamati

Skrining Ketahanan Cabai terhadap Layu Bakteri dengan Inokulasi Buatan
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 ulangan.
Genotipe sebagai perlakuan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 12
tanaman. Percobaan ini bertujuan untuk mengevaluasi kembali genotipe cabai
yang telah diidentifikasi membawa sifat ketahanan yang telah dilakukan oleh
Khairul (2005) dan menentukan respon ketahanan cabai terhadap layu bakteri
pada genotipe-genotipe yang lain.

Persiapan inokulum. Isolasi dilakukan dengan metode Wang (1998), pangkal
batang tanaman cabai dicuci dengan aquades steril, kemudian disterilkan
permukaannya dengan alkohol 70% setelah itu dibilas lagi dengan akuades steril.
Pangkal batang dipotong-potong dengan pisau steril sepanjang 2 cm, kemudian
potongan batang dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi aquades steril
sebanyak 5 ml dan dibiarkan selama 15 menit. Potongan tersebut akan
mengeluarkan lendir yang berwarna putih kekuningan atau putih kotor. Sebanyak
satu lup suspensi R. solanacearum dipindahkan kedalam cawan petri yang telah
berisi media 2,3,5 Triphenyl Tetrazolium Chlorida (TTC) dan diinkubasi selama
48 jam. Koloni yang menunjukkan ciri-ciri khas R. solanacearum virulen yaitu
yang berwarna putih kotor dengan pusat merah muda atau merah, kemudian
dipindahkan kedalam media TTC dan diulang sampai dua kali sampai kultur
murni R. solanacearum diperoleh. Perbanyakan inokulum R. solanacearum
dengan menggunakan media King’s B yang diinkubasi selama 48 jam. Pembuatan
suspensi R. solanacearum dengan memindahkan massa bakteri ke dalam akuades.

17

Selanjutnya diukur konsentrasinya sampai nilai O.D. mencapai 0.3 pada 600nm
yang setara dengan 108 colony forming unit (cfu)/ml dengan spektrometer
(Gambar 3).
Uji hipersensitif respon (HR) dilakukan pada tanaman tembakau dengan
cara menginfiltrasi pada daun. Pengamatan dilakukan 24 jam setelah infiltrasi
apabila terjadi water soak maka menunjukkan isolat yang digunakan bersifat
patogen (Lampiran 2). Selain uji HR juga dilakukan pengujian gram, fluorescens,
warna koloni pada media King’s B. Penyimpanan isolat dengan menggunakan
aquades steril dalam ependof yang berisi 1 ml dengan 1 lup koloni R.
solanacearum. Penyimpanan dilakukan pada suhu ruang.

Gambar 3. Tahapan isolasi dan persiapan inokulum R.solanacearum. A. Tanaman
cabai yang menunjukkan gejala layu; B. Pangkal batang berwarna
coklat; C. Aliran massa bakteri; D1 dan D2. Koloni R. solanacearum
pada media TTC; E. Uji HR pada daun tembakau; F. perbanyakan R.
solanacearum pada media Kings’B; G. Suspensi inokulum yang
berwarna putih keruh; H. Spektrometer.

18

Pembibitan dan Penanaman. Benih direndam dalam air hangat (50 oC) selama
semalam kemudian disemai di baki. Bibit yang berumur 2 minggu dipindahkan
kedalam polibag. Tanah yang digunakan adalah tanah campuran yang telah
disterilkan secara kimia dengan menggunakan Basamid. Perbandingan tanah dan
pupuk kandang adalah 2 : 1 (v/v). Tanah kemudian dimasukkan dalam polibag
diameter 12 cm.

Inokulasi R. solanacearum. Inokulasi dilakukan pada tanaman cabai umur 30
hari (5-6 daun) dengan cara menyiramkan 30 ml suspensi ba