Seleksi Dan Studi Pewarisan Serta Pengembangan Marka Ssr Penanda Ketahanan Terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia Solanacearum) Pada Tomat

(1)

SELEKSI DAN STUDI PEWARISAN SERTA

PENGEMBANGAN MARKA SSR PENANDA KETAHANAN

TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (

Ralstonia

solanacearum

) PADA TOMAT

EKA JAN VIRGIN HAQUARSUM

A253130091

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Seleksi dan Studi Pewarisan serta Pengembangan Marka SSR Penanda Ketahanan terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat adalah karya saya sendiri dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2016 Eka Jan Virgin Haquarsum A253130091


(4)

(5)

RINGKASAN

EKA JAN VIRGIN HAQUARSUM. Seleksi dan Studi Pewarisan Serta Pengembangan Marka SSR Penanda Ketahanan terhadap Penyakit Layu Bakteri

(Ralstonia solanacearum) pada Tomat. Dibimbing oleh SURJONO HADI

SUTJAHJO, KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan CATUR HERISON.

Tomat yang dimanfaatkan dalam bentuk buah segar ataupun olahan merupakan tanaman sayuran buah penting, baik di Indonesia maupun di dunia. Di Indonesia, kebutuhan tomat masih belum terpenuhi oleh produksi dalam negeri sehingga berpengaruh pada harga yang sering berfluktuasi. Beberapa masalah yang mempengaruhi produksi tomat telah diketahui, salah satunya serangan penyakit layu bakteri. Penyakit yang tersebar luas di area tropis dan subtropis ini disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Bakteri ini bersifat gram negatif

dan merupakan bakteri tular tanah.

Penelitian ini terdiri dari empat percobaan, yang meliputi : (1) seleksi tiga puluh genotipe tomat lokal koleksi terhadap karakter ketahanan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) yang bertujuan untuk menyeleksi ketahanan

genotipe tomat lokal koleksi terhadap penyakit layu bakteri, (2) studi pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat yang bertujuan untuk mempelajari pola pewarisan sifat ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat, dan (3) identifikasi marka SSR (Simple Sequence Repeats) penanda

ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat yang bertujuan untuk mendapatkan marka SSR penanda ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat.

Percobaan pertama dan kedua dilakukan dengan menggunakan isolat bakteri yang berasal dari tanaman sakit di lapang. Tanaman diinokulasi pada saat minggu keempat setelah semai dengan cara pelukaan ujung akar dan direndam pada 20 mL suspensi bakteri selama 30 menit. Kemudian tanaman disiram oleh suspensi bakteri tersebut.

Percobaan ketiga dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: seleksi primer dengan menggunakan dua genotipe tahan dan rentan (hasil dari percobaan pertama), BSA pada populasi F2, dan identifikasi ketahanan tomat koleksi dengan menggunakan primer terpilih.

Setiap genotipe tomat lokal koleksi menunjukkan ketahanan yang berbeda. Dari tiga puluh genotipe tomat lokal koleksi terdapat 1 genotipe sangat tahan (Kudamati 1), 8 genotipe tahan (Gondol Lonjong, Khemir, Kudamati 3, Lombok 3, Makasar 3, Situbondo Bulat Kecil, Situbondo Gelombang, dan Tanah Datar), 3 genotipe agak tahan (Aceh 1, Aceh 5, dan Bajawa), 8 agak rentan (Cherry NTT, Kali Acai, Kefamenanu 3, Kefamenanu 6, Kefamenanu7, Makasar 1, Makasar 2, dan Makasar 4), 1 rentan (Meranti 1) dan 9 genotipe sangat rentan (Aceh 2, Aceh 3, Kefamenanu 9, Kefamenanu 12, Kefamenanu 14, Lombok 1, Lombok 2, Lombok 4, dan Meranti 2). Genotipe Kudamati 1 dan Lombok 4 digunakan untuk merakit populasi F1, F1R, dan F2 pada Percobaan Kedua.

Pengujian pada populasi F1 menunjukkan bahwa pewarisan sifat ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat tidak dipengaruhi efek maternal dan bersifat dominan tidak sempurna. Uji χ2 pada populasi F2 mengarah pada rasio 9:7 (tahan : rentan) yang menandakan bahwa sifat ini merupakan karakter kualitatif


(6)

yang dikendalikan oleh dua pasang gen mayor dengan aksi gen duplikat resesif epistasis.

Tiga tahapan yang dilakukan pada percobaan tiga menunjukkan bahwa primer TOM-144 diduga bersifat polimorfik sebagai penanda ketahanan terhadap penyakit layu bakteri. Hasil pita amplifikasi menunjukkan bahwa genotipe tahan memiliki ukuran yang berkisar pada 144 bp. Primer TOM-144 mampu mengidentifikasi ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri.

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para pemulia untuk dapat mengembangkan varietas tahan berupa galur murni ataupun hibrida. Marka SSR yang didapat juga dapat mengidentifikasi secara cepat ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada genotipe atau varietas lainnya.


(7)

SUMMARY

EKA JAN VIRGIN HAQUARSUM. Selection, Inheritance and Development of SSR Marker to Bacterial Wilt Disease (Ralstonia solanacearum) Resistance on

Tomato. Supervised by SURJONO HADI SUTJAHJO, KIKIN HAMZAH MUTAQIN and CATUR HERISON.

Tomato is an important vegetable which consumed as a fresh or processed product. In Indonesia, the domestic production is still insufficient resulted in prices fluctuation. One of problems which affect the production of tomato is bacterial wilt disease that caused by Ralstonia solanacearum. This disease is

widespread in tropical and subtropical areas. R. solanacearum is gram-negative

and soil borne bacterium.

There were four experiments, i.e. (1) selection of thirty local tomato genotypes to bacterial wilt (R. solanacearum) disease resistance which aimed to

select the bacterial wilt disease resistance on tomato, (2) inheritance of bacterial wilt disease resistance trait on tomato which aimed to study of inheritance to bacterial wilt disease resistance on tomato, and (3) identification of SSR (Simple Sequence Repeats) marker to bacterial wilt disease resistance in tomato which

aimed to identify by SSR marker to bacterial wilt disease resistance on tomato. The first and second experiments were done using field isolated inoculum were collected from the infected plants in the field. Plants were inoculated by wounding the root using scissor at four weeks after seeding. Plants were immersed in 20 mL of bacterial suspension for thirty minutes, planted in soil medium in pot, and then watered by the bacterial suspension.

The third experiment was done by three steps, i.e (1) primer screening used two resistant and susceptible genotypes (from the result of the first experiment), confirm (2) BSA on F2 population, and (3) identification the bacterial wilt disease resistance by selected primer.

Each of local genotypes of tomato showed different resistances. There were 1 highly resistant (Kudamati 1), 8 resistants (Gondol Lonjong, Khemir, Kudamati 3, Lombok 3, Makasar 3, Situbondo Bulat Kecil, Situbondo Gelombang, and Tanah Datar), 3 moderately resistants (Aceh 1, Aceh 5, and Bajawa), 8 moderately susceptibles (Cherry NTT, Kali Acai, Kefamenanu 3, Kefamenanu 6, Kefamenanu7, Makasar 1, Makasar 2, and Makasar 4), 1 susceptible (Meranti 1), and 9 very susceptibles (Aceh 2, Aceh 3, Kefamenanu 9, Kefamenanu 12, Kefamenanu 14, Lombok 1, Lombok 2, Lombok 4, and Meranti 2). Kudamati 1 and Lombok 4 were used for generate F1, F1R, and F2 population.

Testing on F1 population showed that the inheritance of resistance to bacterial wilt disease on tomato is dominant without maternal effect with the degree of dominance is uncomplete. χ2 testing on F2 population had a ratio of 9:7 (resistant : susceptible) which indicated that the character is a qualitative character controlled by two pairs of major genes with duplicate recessive epistasis.

Three steps were done on the third experiment showed that primer TOM-144 was polymorphic and marker to bacterial wilt resistance in tomato. The amplification band showed that the resistant genotypes had sizes that range at 144 bp. And the last, primer TOM-144 can identify of tomato resistance trait to bacterial wilt disease.


(8)

The results of this study can be used by breeders to develop the resistant varietie. The variety will be pure line or hybrid. SSR markers can identify tomato resistance trait to bacterial wilt disease of the other genotypes or varieties quickly. Keywords : tomato, Ralstonia solanacearum, selection, inheritance, SSR, PAGE


(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

SELEKSI DAN STUDI PEWARISAN SERTA

PENGEMBANGAN MARKA SSR PENANDA KETAHANAN

TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (

Ralstonia

solanacearum

) PADA TOMAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(12)

(13)

(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian ini adalah Seleksi dan Studi Pewarisan serta Pengembangan Marka SSR Penanda Ketahanan terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat.

Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS, Dr Ir Kikin Mutaqin, MSi, dan Dr Ir Catur Herison, MSc, selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, saran, dan motivasi sejak perencanaan penelitian sampai penyusunan tesis ini selesai.

2. Dr Desta Wirnas, SP, MS selaku dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberi masukan.

3. DIKTI, yang telah memberikan beasiswa BPPDN.

4. Tim Program Penelitian KKP3N yang diketuai oleh Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS, yang telah memberi dana untuk penelitian ini.

5. Teman-teman seangkatan PBT ’13 dan teman-teman di Laboratorium Plant and Molecular Biology 2.

6. Mama Eliya Wati dan Bapak Abdul Kadir Jailani untuk doa, motivasi, dan omelan yang selalu mengiringi setiap langkahku.

7. Ibu dan Om Ujang yang sudah banyak membantu.

8. Saudara-saudariku: Dwi Lika Shauma Nur Hanifah Haquarsum, Elin Nur Afifah Amatullah Haquarsum, Ahmad Marzuki Haquarsum, dan Tika Hafizhah Haquarsum, untuk warna yang berbeda di tiap harinya.

9. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, November 2016


(16)

(17)

DAFTAR ISI

PRAKATA xi

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR RUMUS DAFTAR GAMBAR

xiv xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 2

1.3 Hipotesis Penelitian 2

1.4 Ruang Lingkup Penelitian 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tomat

2.2 Koleksi Plasma Nutfah Tomat

4 4

2.3 Penyakit Layu Bakteri 5

2.4 Pemuliaan Tanaman 6

2.5 Penanda Molekuler 7

3. SELEKSI TIGA PULUH GENOTIPE TOMAT LOKAL TERHADAP KARAKTER KETAHANAN PENYAKIT LAYU BAKTERI

(Ralstonia solanacearum)

3.1 Pendahuluan 3.2 Bahan dan Metode 3.3 Hasil dan Pembahasan 3.4 Kesimpulan

3.5 Daftar Pustaka

10 10 12 18 18 4. STUDI PEWARISAN KARAKTER KETAHANAN TERHADAP

PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA

TOMAT

4.1 Pendahuluan 4.2 Bahan dan Metode 4.3 Hasil dan Pembahasan 4.4 Kesimpulan

4.5 Daftar Pustaka

22 22 26 32 32


(18)

5. IDENTIFIKASI MARKA SSR PENANDA KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia

solanacearum) PADA TOMAT

5.1 Pendahuluan 5.2 Bahan dan Metode 5.3 Hasil dan Pembahasan 5.4 Kesimpulan

5.5 Daftar Pustaka

34 35 38 46 46

6. PEMBAHASAN UMUM 48

7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 0Kesimpulan

7.2 0Saran

50 50 50

DAFTAR PUSTAKA 51

LAMPIRAN 57


(19)

DAFTAR TABEL

1 Deskripsi tiga puluh genotipe tomat lokal koleksi Laboratorium

Genetik dan Pemuliaan Tanaman IPB 5

2 Respon ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri (R.

solanacearum) berdasarkan kejadian penyakit 12

3 Periode inkubasi (PI), Area Under the Disease Progress Curve

(AUDPC), kejadian penyakit (KP), tanaman hidup (TH), dan

respon ketahanan genotipe tomat yang diuji 13

4 Respon ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri (R.

solanacearum) berdasarkan kejadian penyakit. 24

5 Klasifikasi derajat dominansi berdasarkan nilai potensi rasio (hp) 25 6 Nisbah fenotipik frekuensi karakter resistensi tanaman terhadap

penyakit yang dikendalikan oleh gen mayor dalam populasi

bersegregasi F2. 26

7 Periode Inkubasi (PI), Area Under the Disease Progress Curve

(AUDPC), Kejadian Penyakit (KP), Tanaman Hidup (TH), dan

respon ketahanan populasi tomat yang diuji. 27 8 Hasil uji χ2 pada populasi F2 berdasarkan kejadian penyakit

dengan beberapa nisbah Mendel 30

9 Jenis primer yang digunakan dan urutan basanya 36

DAFTAR RUMUS

1 Kejadian Penyakit 11

2 Area Under the Disease Progress Curve 12

3 Jumlah Minimum Tanaman F2 23

4 Kejadian Penyakit 24

5 Area Under the Disease Progress Curve 24

6 Derajat Dominansi 25


(20)

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan Alir Penelitian 3

2 Grafik kejadian penyakit kelas sangat tahan 13

3 Grafik kejadian penyakit kelas tahan 14

4 Grafik kejadian penyakit kelas agak tahan 14

5 Grafik kejadian penyakit kelas agak rentan 14

6 Grafik kejadian penyakit kelas rentan 15

7 Grafik kejadian penyakit kelas sangat rentan 15 8 A.Respon ketahanan tanaman muda terhadap pemberian

inokulasi R. solanacearum (4 hari setelah inokulasi) B. Gejala

layunya daun muda pada tanaman yang sudah besar (10 hari setelah inokulasi). C. Pembentukan akar adventif pada tanaman dewasa yang terserang (30 hsi). D. Profil browning pada

batang dengan potongan vertikal. E. Ooz bakteri yang keluar dari batang tanaman sakit. F. Koloni R. solanacearum pada

media TTC 16

9 Histogram sebaran frekuensi tanaman hidup pada populasi P1,

P2, F1, dan F2 27

10 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-2 setelah inokulasi 29 11 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-10 setelah inokulasi 29 12 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-20 setelah inokulasi 29 13 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-30 setelah inokulasi 29 14 Hasil elektroforesis 10 primer dengan menggunakan agarose. 39

15 Hasil elektroforesis 5 primer dengan menggunakan PAGE. 40 16 Hasil elektroforesis 5 primer dengan menggunakan PAGE. 40 17 Hasil elektroforesis 10 primer dengan menggunakan agarose. 41

18 Hasil elektroforesis 10 primer dengan menggunakan PAGE. 41 19 Hasil elektroforesis 5 primer dengan menggunakan agarose. 42

20 Hasil elektroforesis 5 primer dengan menggunakan PAGE. 43

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pembuatan Media TTC 58

2 Pembuatan Larutan Stok Ekstraksi DNA 58

3 Pembuatan Larutan Penyangga 58

4 Ethidium bromide 59

5 Pembuatan Larutan Stok Bahan Pembuatan Gel Polyakrilamid 59


(21)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tomat adalah salah satu jenis tanaman sayuran penting di Indonesia selain kentang, cabe, dan bawang. Kebutuhan masyarakat akan tomat tergolong besar, terlihat pada data bahwa hingga Januari 2015 Indonesia masih melakukan impor sebesar 1.117, 348 ton untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut (BPS 2015). Tingkat produksi dalam negeri yang masih rendah disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya faktor genetik varietas yang ditanam masih belum optimal dengan cekaman lingkungan yang ada. Menurut Purwati (2008) budidaya memerlukan varietas unggul yang cocok dengan lokasi penanaman, teknik budidaya yang tepat, pemupukan yang berimbang, dan pengendalian hama dan penyakit yang efektif sehingga hasil produksi yang tinggi dapat dicapai.

Salah satu organisme pengganggu tanaman tomat yang sangat merugikan adalah bakteri Ralstonia solanacearum yang menyebabkan penyakit layu bakteri

dan merupakan salah satu penyakit tanaman paling berbahaya yang tersebar luas di daerah tropis dan subtropis (Hayward 1964). Patogen ini memiliki kemampuan bertahan hidup dalam waktu yang lama di dalam tanah sehingga patogen sulit dikendalikan (Saddler 2005) dan dapat menurunkan hasil sekitar 15-35% (Hayward 1964), serta menyerang tanaman pertanian lainnya, seperti kacang tanah, pisang, kentang, tembakau, dan suku Solanaceae lainnya (Persley et al.

1985).

Kegiatan pemuliaan tanaman diharapkan dapat menghasilkan varietas tahan untuk menanggulangi serangan penyakit layu bakteri. Kegiatan pemuliaan tanaman akan efektif bila memperhatikan pewarisan karakter. Beberapa hasil penelitian mengenai pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri hingga saat ini masih belum konsisten. Menurut Monma dan Sakata (1993) karakter ketahanan tomat terhadap layu bakteri dikendalikan oleh aksi gen resesif dengan karakter kualitatif maupun kuantitatif. Osiru et al. (2001) menyatakan

ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri dikendalikan oleh dua gen, dan Lafortune et al. (2005) menyatakan karakter ketahanan cabai terhadap layu bakteri

dikendalikan oleh sedikit gen dan dipengaruhi oleh efek aditif. Berbagai hasil penelitian tersebut membuat studi pewarisan karakter ketahanan tomat terhadap layu bakteri masih perlu dilakukan.

Menurut Ganapathy et al. (2012), memahami perbedaan genetik antar

individu merupakan hal yang penting dalam pemuliaan. Dalam mempelajari perbedaan genetik Prabakaran et al. (2010) menyatakan bahwa hal tersebut dapat

dievaluasi secara penampakan morfologi, protein pada biji, isozim dan penanda molekuler. Penanda molekuler sangat penting dalam meningkatkan efisiensi pemuliaan tanaman (Moon 2006). Penanda molekuler dapat memberikan karakterisasi komprehensif sumber daya genetik (Sehgal et al. 2012). Berbeda

dengan sifat-sifat morfologi, penanda molekuler dapat memperlihatkan perbedaan antar berbagai genotipe pada tingkat DNA, efisien untuk karakterisasi plasma nutfah, konservasi, manajemen dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Prabakaran et al. 2010; Tommasini et al. 2003). Penanda molekuler sekarang


(22)

Dalam aplikasinya, penanda molekuler semakin efektif dengan adanya teknik Bulk segregant analysis (BSA). BSA adalah langkah acak untuk

mengidentifikasi penanda pada daerah spesifik. Setiap bulk terdiri dari individu

yang identik untuk setiap karakter yang berbeda (misal: tahan dan rentan) (Michelmone et al. 1991). BSA telah digunakan untuk mempermudah kegiatan

molekuler berbasis PCR, di antaranya pada penanda RAPD (Michelmone et al.

1991) dan RAFL (Hämäläinen et al. 1997).

1.2 Tujuan Penelitian

1. Menyeleksi 30 genotipe tomat lokal terhadap ketahanan penyakit layu bakteri (R. solanacearum).

2. Mempelajari pola pewarisan karakter ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum).

3. Memperoleh marka SSR yang polimorfik pada metode BSA.

4. Mengidentifikasi ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri (R.

solanacearum) berdasarkan marka SSR

1.3 Hipotesis Penelitian

1. Terdapat keragaman ketahanan terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum) pada genotipe tomat lokal.

2. Terdapat lebih dari satu gen yang berperan dalam pewarisan karakter ketahanan penyakit layu bakteri (R. solanacearum).

3. Terdapat marka SSR yang spesifik pada metode BSA.

4. Terdapat keragaman ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri (R.

solanacearum) berdasarkan marka SSR.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memiliki ruang lingkup yang saling berkaitan menjadi satu kesatuan dalam mencapai tujuan penelitian yang meliputi: (1) seleksi karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum) pada tomat, (2) studi

pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat, (3) identifikasi marka SSR (Simple Sequence Repeats) penanda ketahanan terhadap

penyakit layu bakteri pada tomat, dan (4) identifikasi ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri berdasarkan marka SSR. Bagan alir penelitian secara rinci disajikan pada Gambar 1.


(23)

Koleksi plasma nutfah tomat

lokal Percobaan 1:

Seleksi 30 genotipe tomat lokal terhadap ketahanan penyakit layu bakteri (R.

solanacearum) pada tomat

 Tetua tahan  Tetua rentan

Pembentukan populasi dasar untuk studi pewarisan P1, P2, F1, F1R, dan F2

Percobaan 2 :

Studi pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat Efek

maternal  Derajat dominansi  Jumlah gen pengendali

Percobaan 3:

Identifikasi marka SSR terhadap ketahanan penyakit layu bakteri

pada tomat

SSR

Skreening primer  Primer polimorfik  Isolasi DNA

 Pengujian kualitas genom DNA

Kendali genetik pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri

Metode seleksi yang efektif dan efisien untuk perakitan tomat tahan penyakit

layu bakteri

Percobaan 4:

Identifikasi ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat berdasarkan marka SSR

Marka SSR terhadap ketahanan penyakit layu

bakteri pada tomat

Gambar 1 Bagan alir penelitian Pemuliaan Tanaman Tomat Terhadap Karakter Ketahanan


(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tomat

Tomat (Lycopersicon esculentum Mill) merupakan tanaman budidaya

penting di seluruh dunia. Menurut Jagatheeswari (2014) tomat memiliki jenis tomat liar dan budidaya yang mana dapat tumbuh dengan baik di daerah mesofit. Tomat memiliki batang yang tidak berkayu dengan cabang utama yang ditutupi oleh rambut epidermis. Daun tomat memiliki kedudukan berselang-seling. Pembungaan bersifat majemuk tak berbatas (inflorescentia racemosa) dengan

bunga yang memiliki ukuran kecil, bewarna kuning, dan bersifat hermafrodit. Tomat mampu tumbuh di berbagai habitat, dari daerah di sekitar permukaan laut hingga 3.300 m di atas permukaan laut (Peralta et al. 2006). Sejak abad

ke-20, telah dilakukan pengelompokkan berbagai kultivar tomat berdasarkan morfologi melalui pemuliaan tanaman. Melalui domestikasi, kegiatan penelitian dan pemuliaan yang dilakukan oleh para ilmuwan dan petani di seluruh dunia, varietas tomat (sebagian besar hibrida) telah dikembangkan dengan berbagai bentuk, warna, dan ukuran (Bai & Lindhout 2007).

Laary dan Joanne (2007) melaporkan ada dugaan bahwa daerah asal tomat adalah Peru atau Meksiko. Meskipun belum ada bukti yang pasti mengenai waktu dan daerah asalnya, Meksiko diduga kuat merupakan daerah asal tomat, sedangkan Peru sebagai pusat keanekaragaman untuk kerabat liar.

2.2 Koleksi Plasma Nutfah Tomat

Syukur et al. (2012) menyatakan bahwa koleksi plasma nutfah merupakan

sumber kekayaan keragaman genetik bagi kegiatan pemuliaan tanaman dimana memiliki tujuan untuk mempelajari tingkat keragaman yang ada dan untuk menyelamatkan keragaman genetik. Menurut Sutjahjo (2013) keragaman yang tinggi pada peubah pertumbuhan vegetatif dan generatif merupakan potensi yang sangat baik sebagai material genetik dalam perakitan tomat unggul.

Koleksi plasma nutfah adalah hasil eksplorasi dari tempat dimana terdapat keragaman genetik yang tinggi (center of origin) atau dari tempat dimana tanaman

itu secara intensif dibudidayakan sejak lama (center of diversity) (Syukur et al.

2012). Keragaman tiga puluh genotipe tomat lokal yang telah dikoleksi terlampir pada Tabel 1 (Sutjahjo, 2013).


(25)

Tabel 1 Deskripsi tiga puluh genotipe tomat lokal koleksi Laboratorium Genetik dan Pemuliaan Tanaman IPB

Nama genotipe Asal Tinggi

tanaman

Bobot buah per tanaman (g)

Bentuk buah

Aceh 1 Aceh 72,239 246,80 2

Aceh 2 Aceh 75,808 258,34 3

Aceh 3 Aceh 103,346 302,85 5

Aceh 5 Aceh 70,083 433,67 3

Bajawa Nusa Tenggara Timur 70,393 90,21 7

Cherry Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Timur 95,681 38,64 3

Gondol Lonjong Pasar/Komersil 79,794 177,23 4

Kali Acai Jayapura 60,102 132,02 2

Kefamenanu 3 Nusa Tenggara Timur 62,067 147,74 5 Kefamenanu 6 Nusa Tenggara Timur 43,750 80,00 5 Kefamenanu 7 Nusa Tenggara Timur 62,648 328,07 5 Kefamenanu 9 Nusa Tenggara Timur 96,467 410,75 3 Kefamenanu 12 Nusa Tenggara Timur 64,260 164,17 3 Kefamenanu 14 Nusa Tenggara TImur 63,667 175,88 3

Kemir Pasar/Komersil 60,167 197,14 3

Kudamati 1 Ambon 91,389 336,31 1

Kudamati 3 Ambon 63,056 184,07 1

Lombok 1 Nusa Tenggara Barat 73,633 301,44 3

Lombok 2 Nusa Tenggara Barat 90,659 345,03 7

Lombok 3 Nusa Tenggara Barat 61,817 218,18 3

Lombok 4 Nusa Tenggara Barat 56,700 449,70 7

Makasar 1 Makassar 51,571 159,57 2

Makasar 2 Makassar 64,143 571,00 2

Makasar 3 Makassar 84,167 134,09 1

Makasar 4 Makassar 67,329 293,65 3

Meranti 1 Pasar/Komersil 91,022 267,88 3

Meranti 2 Pasar/Komersil 92,667 389,08 5

Situbondo Bulat Kecil Situbondo 74,639 160,88 3

Situbondo Gelombang Situbondo 87,658 137,20 1

Tanah Datar Jayapura 78,917 118,33 10

Ket. Bentuk buah nomor 1=flattened, 2=slightly flattened, 3=circular, 4=rectangular,

5=cylindrical, 6=elliptic, 7=heart-shaped, 8=obovate, 9=ovate, 10=pear-shaped. 2.3 Penyakit Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri tular tanah dan air yang bersifat nonfluoresens dari family Ralstonia (Setyari et al. 2013) dan merupakan

penyakit yang sangat merugikan (Hayward 1991; Fujiwara et al. 2008). Bakteri

ini semula termasuk ke dalam genus Pseudomonas, namun Yabuuchi et al. (1992)

menyatakan berdasarkan sebuah penelitian taksonomi spesies nonfluoresens

tertentu dari genus Pseudomonas bahwa genus Burkholderia diusulkan untuk terpisah dan nama Burkholderia solanacearum diusulkan. Penelitian selanjutnya

mengungkapkan bahwa R. solanacearum cukup berbeda dari anggota lain dari

genus tersebut sehingga genus baru diusulkan dengan nama Ralstonia (Yabuuchi


(26)

Ralstonia solanacearum biasanya menyerang area tropis dan subtropis

(Kelman 1998), serta memiliki inang berupa tanaman penting seperti tomat, terong, kentang, tembakau, cabai, pisang, kacang, dan jahe. Inang patogen ini diyakini berkisar 450 spesies (Swanson et al. 2005).

R. solanacearum merupakan patogen dengan kisaran inang yang sangat

luas, tetapi memiliki ras yang beragam yang hanya menyerang inang tertentu. Spesies yang tumbuh di daerah tropis, subtropis, dan daerah dengan temperatur tinggi memiliki kemungkinan rentan terhadap salah satu ras tersebut (James et al.

2003; Chandrashekara & Prasannakumar 2010).

Terserangnya tanaman di areal pertanaman terjadi secara acak tergantung kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi patogen (Nguyen & Ranamukhaarachchi 2010). Infeksi R. solanacearum terjadi melalui luka pada

perakaran tanaman yang disebabkan kesalahan saat pindah tanam, nematoda, atau organisme lainnya (Yulianah 2007). Bakteri masuk ke jaringan tanaman bersamaan dengan terjadinya proses penyerapan hara dan air secara difusi oleh jaringan xylem. Selanjutnya bakteri akan menetap di pembuluh xylem dan merusak sel yang ditempatinya sehingga menyebabkan proses pengangkutan hara dan air terganggu oleh massa bakteri (Agrios 2005). R. solanacearum juga

memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel-sel pembuluh xylem dengan mengeluarkan enzim penghancur yang mengandung selulosa dan pectin yang

dikenal dengan nama enzim selulase dan pektinase. Terganggunya proses angkut hara dan air akan menyebabkan tanaman layu dan mati (Agrios 2005).

Penyakit ini memiliki gejala serangan pertama berupa layunya daun termuda dan kelihatan lemah, terutama pada siang hari (Vanitha et al. 2009). Gejala

selanjutnya yaitu berupa perubahan warna batang menjadi coklat yang disebabkan terganggunya system jaringan angkut tanaman. Tanaman yang telah terserang akan mengeluarkan ooz bakteri apabila potongan batang direndam pada air (Nguyen & Ranamukhaarachchi 2010). Tanaman yang terserang juga cenderung lebih banyak membentuk akar adventif sampai setinggi bunga (Semangun 2007). Gejala umum serangan R. solanacearum adalah tanaman seperti kekurangan air,

daun muda pada pucuk tanaman menjadi layu, dan daun-daun tua menguning (Cavalcante et al. 1995). Secara keseluruhan gejala yang ditimbulkan merupakan

akibat dari terserangnya jaringan pembuluh xylem (Agrios 2005). 2.4 Pemuliaan Tanaman Tomat

Pemuliaan tanaman adalah perpaduan antara seni dan ilmu dalam merakit keragaman genetik suatu populasi tanaman tertentu menjadi lebih baik atau unggul dari sebelumnya. Pada mulanya pemuliaan tanaman dititikberatkan pada pemilihan atau seleksi karena yang memegang peranan adalah kemampuan pemulia tanaman untuk menilai atau meramalkan tanaman yang dapat menjadi varietas lebih unggul (Syukur et al. 2012). Tujuan pemuliaan tanaman secara lebih

luas adalah memperoleh, mengembangkan, dan meningkatkan potensi varietas agar lebih efisien dalam penggunaan unsur hara dan tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik demi mendapatkan pertumbuhan yang normal dan ekspresi yang terbaik dari karakter penting yang dimiliki sehingga memberikan hasil tertinggi per satuan luas dan menguntungkan bagi penanam serta pemakai (Chahal & Gosal 2003; Syukur et al. 2012).


(27)

Dalam mengoptimalkan kegiatan pemuliaan, ada beberapa cabang ilmu yang berkaitan, di antaranya: genetika, botani, fisiologi tanaman, agronomi, entomologi, patologi, biokimia, serta ilmu statistik dan komputer (Chahal & Gosal 2003). Kegiatan pemuliaan tanaman pada dasarnya diawali dengan kegiatan koleksi berbagai genotipe. Setelah dilakukan koleksi, tanaman-tanaman tersebut diseleksi sesuai dengan karakter-karakter yang diinginkan. Demi meningkatkan efektifitas seleksi kegiatan perluasan keragaman genetik perlu dilakukan, yang meliputi hibridisasi, mutasi, ataupun rekayasa genetika. Setelah perluasan genetik dilakukan maka langkah selanjutnya adalah seleksi. Metode seleksi yang dipilih tergantung dari tipe penyerbukan. Hasil seleksi kemudian akan dievaluasi untuk mengetahui kestabilan dari calon varietas tersebut (Syukur et al. 2012).

Tujuan dari program pemuliaan tomat bervariasi tergantung pada lokasi, kebutuhan, dan sumber daya. Secara umum, tujuan pemuliaan dalam tomat telah melalui empat tahap, yaitu pemuliaan untuk peningkatan hasil pada tahun 1970-an, masa simpan produk pada tahun 1980-1970-an, kualitas rasa tahun 1990-1970-an, dan kualitas gizi pada saat ini. Dalam rangka mencapai keuntungan yang memuaskan, petani diharuskan memproduksi buah dalam skala tinggi dengan biaya produksi serendah mungkin sehingga mayoritas tujuan pemuliaan fokus pada karakteristik yang mengurangi biaya produksi atau memastikan produksi dengan hasil dan kualitas yang tinggi (Bai & Lindhout 2007).

Hingga saat ini salah satu bidang pemuliaan tanaman yang masih terus diteliti adalah peningkatan resistensi, baik terhadap cekaman biotik ataupun abiotik. Menurut Bai dan Lindhout (2007) salah satu masalah yang paling menonjol dalam pemuliaan tomat adalah resistensi terhadap hama penyakit dimana tomat memiliki lebih dari 200 spesies hama patogen yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan.

2.5 Penanda Molekuler

Kegiatan pemuliaan tanaman tergantung pada identifikasi dan pemanfaatan

variasi genetik. Penggunaan penanda molekuler untuk mengetahui ‘track loci’ dan

daerah genom tanaman sekarang merupakan kegiatan rutinitas pada kegiatan pemuliaan. Susunan penanda genetik seperti penanda berbasis morfologi, biokimia dan DNA telah digunakan di berbagai bidang, termasuk di bagian pengembangan hasil tanaman. Perbaikan genetik pada tanaman memerlukan informasi sifat ekonomi tanaman tersebut, seperti hasil produksi, ketahanan hama penyakit atau cekaman abiotik untuk menjadi target kegiatan pemuliaan tanaman (Langridge & Chalmers 2004; Jehan & Lakhanpaul 2006). Identifikasi genetik dengan pendekatan molekuler untuk mendapatkan informasi genetik terkait karakter yang diinginkan sangat dibutuhkan dalam kegiatan pemuliaan agar mendapat hasil yang tepat (Nuraida 2012). Selain itu menurut Prabakaran et al.

(2010) penanda molekuler merupakan cara tepat untuk mengetahui variasi genetik dan identitas kultivar. Sehgal et al. (2012) menyatakan bahwa penanda molekuler

dapat meningkatkan karakterisasi sumber genetik dan identifikasi keragaman genetik. Karakterisasi molekuler pada genotipe memberikan informasi yang tepat untuk keragaman genetik secara luas yang dapat membantu perkembangan program pemuliaan tanaman (Sajib et al. 2012).


(28)

Penanda molekuler memiliki peran penting dalam bidang bioteknologi dan studi genetik. Ada berbagai tipe penanda molekuler, yaitu yang tidak berbasis PCR (RFLP) dan yang berbasis PCR (RAPD, AFLP, SSR, SNP, dan lain sebagainya) (Kumar et al. 2009). Berbeda dengan pernyataan Jehan dan

Lakhanpaul (2006) yang mengemukakan penanda molekuler dapat diklasifikasi menjadi 3 kelas, yaitu: penanda berbasis hibridisasi (RFLP), penanda berbasis PCR (RAPD dan modifikasinya), dan penanda yang menggabungkan prinsip hibridisasi dan PCR (SSR, AFLP, dan modifikasi lainnya).

Dewasa ini penanda molekuler menjadi pilihan terdepan untuk studi keragaman genetik tanaman. Penanda molekuler hingga kini merupakan teknik yang menjanjikan, cepat, dan tergolong murah. Penanda molekuler yang ideal harus mampu memenuhi beberapa kriteria, yaitu: tingkat polimorfik yang tinggi, bersifat kodominan, selektif, reprodusibilitas tinggi, murah,dan mudah dilakukan (Kumar et al. 2009).

PCR (Polymerase Chain Reaction) sebagai teknik dasar dalam kegiatan

molekuler sangat membantu penggunaan penanda molekuler. PCR adalah teknik untuk memperbanyak untai DNA secara banyak dengan waktu yang relatif cepat (Innis et al. 1990). Teknik identifikasi berbasis PCR dapat digunakan untuk

mendeteksi keragaman pada tanaman (Jones et al. 1997).

Salah satu teknik penanda molekuler yang berbasis PCR adalah Simple Sequence Repeats (SSR). Menurut Powell et al. (1996) SSR adalah kelompok

urutan DNA berulang yang merupakan bagian yang signifikan dari genom eukariot. Bagian tersebut dapat menyajikan informasi penanda genetik yang sangat penting. SSR telah menjadi penanda yang sangat berguna dalam berbagai aspek studi genetika molekuler dalam dekade terakhir, di antaranya pada bidang: studi keanekaragaman genetik (Ashley et al. 2003), fingerprinting (Rongwen et al. 1995), studi ekologi-genetik (Li et al. 2000), dan marker-assisted selection

(Fazio et al. 2003). Penggunaan SSR semakin meluas dikarenakan penanda ini

bersifat kodominan, reproducible, banyak terdapat pada individu eukariot dan


(29)

3 SELEKSI TIGA PULUH GENOTIPE TOMAT LOKAL

TERHADAP KARAKTER KETAHANAN PENYAKIT

LAYU BAKTERI (

Ralstonia solanacearum

)

Selection of thirty local tomato genotypes to bacterial wilt (R. solanacearum) disease resistance

Abstrak

Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum

merupakan penyakit penting pada tomat yang dapat menurunkan hasil hingga 35%. Budidaya menggunakan varietas tahan adalah langkah awal yang penting dalam pengendalian penyakit ini. Tujuan penelitian adalah untuk menyeleksi ketahanan genotipe tomat lokal koleksi terhadap penyakit layu bakteri. Bahan tanam yang digunakan meliputi tiga puluh genotipe tomat lokal yang dikoleksi dari berbagai daerah di Indonesia. Tanaman diinokulasi dengan menggunakan isolat lapang pada saat bibit berusia empat minggu setelah semai. Pengamatan selama tiga puluh hari pada karakter periode inkubasi, kejadian penyakit, area under the disease curve, dan persentase tanaman hidup menunjukkan bahwa

setiap genotipe memiliki respon ketahanan yang berbeda. Genotipe yang bersifat sangat tahan adalah Kudamati 1 dan yang bersifat sangat rentan adalah Lombok 4. Kata kunci: tomat, Ralstonia solanacearum, inokulasi

Abstract

Bacterial wilt disease caused by Ralstonia solanacearum is an important disease on tomato that could reduce productivity by up to 35%. Cultivate the resistant variety is an important early step in controlling this disease. This research aimed to select collected local tomato genotypes resistance to bacterial wilt. The materials were thirty local genotipes that collected from various regions in Indonesia. Plants were inoculated by field isolated inoculum at four weeks after seeding. A thirty days observation on the characteristics of incubation period, disease incident, area under the disease curve, and living plants percentage revealed that each genotype has different resistance responses. The results showed that the highly resistant and susceptible were Kudamati 1 and Lombok 4, respectively.


(30)

3.1 Pendahuluan

Budidaya tomat hingga saat ini masih memiliki banyak kendala di lapangan, baik gangguan biotik maupun abiotik. Terutama penanaman tomat di dataran rendah yang memiliki permasalahan berupa serangan penyakit layu bakteri yang dapat menyebabkan kerugian yang besar hingga gagal panen (Álvarez et al.

2010). Penyakit ini disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Menurut Agrios

(2005) dan Yamada et al. (2007), R. solanacearum menyerang areal pertanaman

yang memiliki suhu tinggi dan keberadaannya terbatas di daerah yang berhawa panas, sehingga menjadi patogen penting di daerah tropis dan subtropis. Patogen mudah menyebar melalui irigasi dan peralatan pertanian yang telah terkontaminasi (Yamada et al. 2007).

Tingginya tingkat kerusakan akibat patogen ini menjadikannya sebagai patogen paling berbahaya nomor dua di dunia (Mansfield et al. 2012). Patogen

juga memiliki daya tahan hidup yang lama di tanah dan air (Mansfield et al.

2012), serta memiliki kisaran inang lebih dari 200 spesies yang mencakup 50 famili (Aliye et al. 2008). Beberapa inang lain dari patogen ini adalah bunga

cendrawasih (Rodrigues et al. 2011), bunga geranium (Ozaki & Watabe 2009),

terong (Bi-hao et al. 2009), kentang (Zuluaga et al. 2015), cabai (Kumar et al.

2013) dan suku Solanaceae lainnya.

Menurut Ayana et al. (2011) dan Xue et al. (2011), sejauh ini tidak ada

pengendalian penyakit yang efektif secara umum. Beberapa pendekatan untuk mengendalikan serangan R. solanacearum telah dilakukan, seperti penggunaan

agens hayati (Xue et al. 2009) dan bakterisida. Penggunaan agen hayati yang

dapat mengendalikan jumlah populasi patogen ternyata belum mampu bekerja secara optimal menekan populasi patogen hingga akhir masa pertumbuhan (Maharina et al. 2014). Pengendalian dengan menggunakan bakterisida dalam

jangka waktu panjang akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan, seperti timbulnya resistensi patogen. Selain itu, pengendalian secara kimiawi pun juga sebenarnya belum efektif dalam menanggulangi serangan R. solanacearum

ataupun menyembuhkan tanaman yang telah terserang (Young et al. 2012).

Sejauh ini resistensi secara genetik sangat diharapkan demi pengendalian penyakit yang efektif dan ramah lingkungan dibandingkan penggunaan bahan kimia (Mejri

et al. 2012).

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyeleksi genotipe tomat lokal yang tahan terhadap penyakit layu bakteri.

3.2 Bahan dan Metode 3.2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian bertempat di Kebun Percobaan Leuwikopo pada Februari-April 2015. Pembibitan, penanaman, dan pemberian inokulum dilakukan di rumah plastik yang berada di ketinggian 250 m dpl.

3.2.2 Bahan Tanam

Bahan tanam yang digunakan merupakan 30 genotipe tomat lokal (Aceh 1, Aceh 2, Aceh 3, Aceh 5, Bajawa, Cherry NTT, Gelombang 2, Kali Acai, Kefamenanu 3, Kefamenanu 6, Kefamenanu7, Kefamenanu 9, Kefamenanu 12, Kefamenanu 14, Kemir, Kudamati 1, Kudamati 3, Lombok 1, Lombok 2, Lombok


(31)

3, Lombok 4, Makasar 1, Makasar 2, Makasar 3, Makasar 4, Meranti 1, Meranti 2, Situbondo Bulat Kecil, Situbondo Gelombang, dan Tanah Datar). Benih disemai sebanyak lima belas benih dari masing-masing genotipe dalam tray persemaian

yang berisi media campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1 (v/v).

3.2.3 Persiapan Isolat R. solanacearum

Bakteri R. solanacearum yang digunakan merupakan isolat yang diambil

dari tanaman sakit di lapang. Pangkal batang tanaman Solanaceae yang terinfeksi dengan kemiringan 450 dan direndam dengan menggunakan aquades steril selama

24 jam. Tanaman yang mengeluarkan ooz bakteri digunakan sebagai sumber inokulum.

3.2.4 Uji Isolat R. solanacearum

Isolat R. solanacearum diuji dengan menggunakan media TTC (Triphenyl Tetrazolium Chloride). Koloni bakteri R. solanacearum dicirikan berwarna putih

susu dengan bagian tengah yang berwarna merah.

3.2.5 Inokulasi Bakteri R. solanacearum

Tanaman diinokulasi pada saat pindah tanam di usia 4 minggu. Tanaman dilukai dengan cara menggunting ujung akarnya, kemudian direndam dengan suspensi bakteri sebanyak 20 mL selama 30 menit. Selanjutnya tanaman ditanam di polybag berukuran 30 cm. Suspensi bakteri kemudian disiram ke tanaman. 3.2.6 Pengamatan

Pengamatan dilakukan 2 kali seminggu sejak 2 hari setelah inokulasi (hsi) selama 30 hari. Peubah yang diamati adalah :

1. Periode inkubasi

Yaitu waktu yang diperlukan bakteri untuk dapat menimbulkan gejala gangguan terhadap tanaman. Masa inkubasi diamati 2 hari sekali setelah inokulasi.

2. Kejadian penyakit

Yaitu pengamatan kejadian penyakit yang diamati mulai umur 2 HSI sampai usia 30 HSI. Kejadian penyakit diukur dengan menggunakan rumus:

Kejadian Penyakit = n x 100% ... (1) N

Keterangan : n


(32)

3. Area under the disease progress curve (AUDPC)

Yaitu suatu perhitungan kuantitatif untuk mempermudah mengambil kesimpulan mengenai intensitas serangan suatu penyakit (kejadian atau keparahan penyakit) yang berkembang dalam suatu periode waktu.

AUDPC = ∑ ( )

... (2) Keterangan : Xi

ti = =

Nilai kejadian atau keparahan penyakit pada waktu ke-i Waktu ke-i

4. Tanaman Hidup

Persentase tanaman hidup per genotipe dihitung pada hari ketigapuluh setelah inokulasi.

5. Respon Ketahanan

Respon ketahanan setiap genotipe ditunjukkan berdasarkan kejadian penyakit menggunakan metode Peter et al. (1993) yang dimodifikasi

(Tabel 2).

Tabel 2 Respon ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum) berdasarkan kejadian penyakit

Kejadian penyakit (%) Respon ketahanan 0 ≤ X < 5

5 ≤ X ≤ 20 20 < X ≤ 40 40 < X ≤ 60 60 < X ≤ 80 > 80 Sangat Tahan Tahan Agak Tahan Agak Rentan Rentan Sangat Rentan 3.3 Hasil dan Pembahasan

Pengamatan pada peubah menunjukkan bahwa genotipe yang diuji memberikan respon yang berbeda. Hasil pengamatan selama 30 hari menunjukkan bahwa dari 30 genotipe tomat lokal koleksi terdapat 1 genotipe sangat tahan (Kudamati 1), 8 genotipe tahan (Gondol Lonjong, Kemir, Kudamati 3, Lombok 3, Makasar 3, Situbondo Bulat Kecil, Situbondo Gelombang, dan Tanah Datar), dan 9 genotipe sangat rentan (Aceh 2, Aceh 3, Kefamenanu 9, Kefamenanu 12, Kefamenanu 14, Lombok 1, Lombok 2, Lombok 4, dan Meranti 2). Genotipe tahan dicirikan dengan tingkat kejadian penyakit yang rendah dan persentase tanaman hidup yang tinggi.

Pengamatan menunjukkan adanya korelasi antara periode inkubasi dengan kejadian penyakit. Genotipe yang memiliki periode inkubasi cepat cenderung lebih mudah terserang dan mengakibatkan kejadian penyakit lebih besar. Genotipe yang mengalami inkubasi pada kisaran satu minggu setelah inokulasi cenderung mengalami periode kematian di awal masa tanam yang ditunjukkan oleh besarnya nilai AUDPC.


(33)

Tabel 3 Periode inkubasi (PI), Area Under the Disease Progress Curve (AUDPC),

kejadian penyakit (KP), tanaman hidup (TH), dan respon ketahanan genotipe tomat yang diuji.

Nama genotipe PI (hari) AUDPC KP (%) TH (%) ketahanan Respon Aceh 1

Aceh 2 Aceh 3 Aceh 5 Bajawa

Cherry Nusa Tenggara Timur Gondol Lonjong Kali Acai Kefamenanu 3 Kefamenanu 6 Kefamenanu 7 Kefamenanu 9 Kefamenanu 12 Kefamenanu 14 Kemir Kudamati 1 Kudamati 3 Lombok 1 Lombok 2 Lombok 3 Lombok 4 Makasar 1 Makasar 2 Makasar 3 Makasar 4 Meranti 1 Meranti 2

Situbondo Bulat Kecil Situbondo Gelombang Tanah Datar 10 02 02 16 04 04 18 04 04 04 06 02 06 04 16 0- 16 08 02 10 02 02 04 16 04 04 02 14 18 12 028.5 159.0 146.5 033.5 037.0 054.5 011.0 070.5 057.5 071.0 081.0 145.5 134.5 154.5 013.0 000.0 012.0 115.5 139.0 014.0 178.5 084.5 077.5 015.5 089.5 086.5 161.0 020.5 013.5 018.0 020 100 100 040 035 044 016 045 044 040 044 100 100 100 016 000 014 100 100 013 100 040 040 016 040 075 100 016 014 020 080 000 000 060 065 056 084 055 056 060 056 000 000 000 084 100 086 000 000 087 000 060 060 084 060 025 000 084 086 080 AT SR SR AT AT AR T AR AR AR AR SR SR SR T ST T SR SR T SR AR AR T AR R SR T T T

Ket. ST=sangat tahan, T=tahan, AT=agak tahan, AR=agak rentan, R=rentan, SR=sangat rentan.

Gambar 2 Grafik kejadian penyakit kelas sangat tahan tomat

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Ke ja d ian P e n y ak it (% ) Sangat Tahan Kuda 1


(34)

Gambar 3 Grafik kejadian penyakit kelas tahan tomat

Gambar 4 Grafik kejadian penyakit kelas agak tahan tomat

Gambar 5 Grafik kejadian penyakit kelas agak rentan tomat

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Ke ja d ian P e n y ak it (% ) Tahan GL Kemir Kuda 3 Lombok 3 Makassar 3 STB BK STB GL T. Datar 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Ke ja d ian P e n y ak it (% ) Agak Tahan Aceh 1 Aceh 5 Bejawa 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Ke ja d ian P e n y ak it (% ) Agak Rentan Cherry NTT Kali Acai Kefa 3 Kefa 6 Kefa 7 Makassar 1 Makassar 2 Makassar 4


(35)

Gambar 6 Grafik kejadian penyakit kelas rentan tomat

Gambar 7 Grafik kejadian penyakit kelas sangat rentan tomat

Genotipe yang sangat rentan, seperti genotipe Lombok 4 dan Meranti 2 (Tabel 3), kematian dapat terjadi pada hari kedua setelah inokulasi tanpa menunjukkan gejala terlebih dahulu (Gambar 8.A1), sedangkan genotipe sangat tahan (Kudamati 1) tidak menunjukkan gejala apa pun (Gambar 8.A2). Genotipe yang tergolong rentan, agak rentan, dan agak tahan akan menampakkan gejala terhadap infeksi patogen (Gambar 8.B, 8.C, dan 8.D). Gejala awal serangan berupa layunya daun pertama tanaman (Gambar 8.B). Tanaman menunjukkan gejala ini umumnya ketika memasuki hari keempat setelah inokulasi. Layunya daun disebabkan tidak adanya pasokan air yang cukup ke bagian tanaman. Berkurangnya pasokan air terjadi karena patogen telah merusak dan menghambat kerja xylem (Agrios 2005). R. solanacearum secara agresif menyerang pembuluh

xylem. Gejala ini akan semakin terlihat pada saat tengah hari dimana suhu sedang mengalami kenaikan. Layunya daun seringkali dianggap hanya karena faktor kekurangan air, namun gejala tersebut akan dilanjutkan dengan gejala lainnya berupa munculnya akar adventif di sepanjang batang tanaman (Gambar 8.C). Akar adventif yang muncul menandakan bahwa jaringan xylem telah mengalami

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Ke ja d ian P e n y ak it (% ) Rentan Meranti 1 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Ke ja d ian P e n y ak it (% ) Sangat Rentan Aceh 2 Aceh 3 Kefa 9 Kefa 12 Kefa 14 Lombok 1 Lombok 2 Lombok 4


(36)

kerusakan yang berat. Xylem yang telah dirusak oleh patogen akan mengalami

browning (Gambar 8.D). Pada saat gejala telah mencapai tahap browning maka

tanaman telah mengalami serangan yang parah. Tanaman akan mengeluarkan ooz bakteri apabila potongan batang dan akar direndam di air (Gambar 8.E). Ooz bakteri dipastikan merupakan bakteri R. solanacearum dengan menggunakan

media TTC. Menurut Chaudhry dan Rasshid (2011) bakteri R. solanacearum pada

media TTC dicirikan dengan warna pink yang dikelilingi oleh selaput berwarna putih susu (Gambar 8.F).

Gambar 8 A.Respon ketahanan tanaman muda terhadap pemberian inokulasi R.

solanacearum (4 hari setelah inokulasi) B. Gejala layunya daun muda pada

tanaman yang sudah besar (10 hari setelah inokulasi). C. Pembentukan akar

adventif pada tanaman dewasa yang terserang (30 hsi). D. Profil browning pada

batang dengan potongan vertikal. E. Ooz bakteri yang keluar dari batang

tanaman sakit. F. Koloni R. solanacearum pada media TTC

Patogen mulai menyerang tanaman melalui tahapan awal berupa kolonisasi pada perakaran dimana patogen masuk melalui organ perakaran tanaman yang terbuka. Menurut Agrios (2005) kesalahan pindah tanam dan nematoda merupakan hal yang dapat menyebabkan luka pada perakaran tanaman sehingga infeksi R. solanacearum pertama kali akan terjadi pada area tersebut (Zuluaga et al. 2015). Pada Percobaan ini tanaman sampel diberi pelukaan di ujung akar

dengan menggunakan gunting. Pelukaan dilakukan untuk memastikan bahwa patogen dapat menginfeksi tanaman sampel. Berdasarkan fakta bahwa patogen memanfaatkan sistem vascular untuk menyebar ke seluruh bagian tanaman (Agrios 2005) maka tanaman sampel direndam beberapa saat di dalam suspensi bakteri. Proses angkut air dan hara oleh jaringan xylem memungkinkan patogen terdistribusi ke dalam tubuh tanaman.

Setelah patogen berkolonisasi di perakaran maka selanjutnya patogen akan mulai menginfeksi korteks dan memenuhi ruang interseluler tanaman. Patogen dengan cepat mendegredasi sel-sel parenkim dan mulai memperbanyak diri untuk mengisi pembuluh xylem dengan massa bakterinya. Rusaknya sel-sel pada


(37)

pembuluh xylem menyebabkan terputusnya distribusi air dan hara yang dibutuhkan tanaman sehingga mengakibatkan kelayuan.

Cepatnya proses infeksi dan kematian yang ditimbulkan menjadikan patogen ini sebagai patogen penting dunia. Menurut Champoiseau dan Momol (2009) serangan R. solanacearum memang sulit untuk dikendalikan dan belum

ada satu metode tunggal yang menunjukkan tingkat efisiensi 100% dalam menekan serangan patogen ini. Berbagai cara pengendalian telah diusahakan untuk dapat menekan serangannya, namun belum memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa metode pengendalian yang penting sejauh ini meliputi teknik kontrol biologi, pengendalian kimiawi, kultur teknis, dan penanaman varietas tahan (Tahat & Sijam 2010).

Teknik kontrol biologi menggunakan bakteri endofit Staphylococcus epidermidis dan rizobacteria Pseudomonas fluorescens dilaporkan dapat menekan

serangan penyakit layu bakteri pada tomat (Nawangsih & Wardani 2014). Penggunaan kontrol biologi memang belum mampu menanggulangi penyakit ini secara menyeluruh, namun teknik ini juga merupakan kunci penting dalam pertanian berkelanjutan.

Pengendalian kimiawi tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan dalam menekan serangan penyakit layu bakteri karena area serangan patogen yang terletak di dalam jaringan xylem. Patogen juga semakin sulit dikendalikan secara kimiawi mengingat patogen mampu bertahan hidup di tanah (Tahat & Sijam 2010). Pada pengendalian secara kultur teknis juga menghadapi kendala berupa luasnya inang dari patogen ini sehingga cara ini sulit untuk dilakukan.

Pengendalian dengan menggunakan varietas tahan sejauh ini memberikan harapan yang paling menjanjikan. Menurut Tahat dan Sijam (2010) tomat yang memiliki ketahanan mampu menekan perbanyakan patogen dan membatasi penyebaran patogen di dalam jaringan xylem sehingga patogen tidak mampu berpindah dari protoxylem ke bagian xylem primer atau bagian xylem lainnya. Berdasarkan fenomena tersebut maka penting untuk dilakukannya kegiatan seleksi demi mendapatkan varietas yang secara genetik tahan.

Percobaan seleksi dilakukan dengan memanfaatkan genotipe tomat lokal koleksi yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia. Syukur et al. (2012)

menyatakan bahwa genotipe lokal adalah hasil seleksi alam dan petani yang cenderung memiliki sumber gen-gen untuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan dan budidaya yang spesifik. Data menunjukkan bahwa setiap genotipe memberikan respon ketahanan yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa genotipe lokal memiliki sifat-sifat berbeda yang penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Genotipe lokal yang memiliki ketahanan secara genetik dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemuliaan selanjutnya, baik itu dalam rangka pembentukan galur murni atau sebagai dasar perakitan hibrida. Sebagai dasar perakitan varietas tahan maka hasil seleksi dapat dimanfaatkan untuk mempelajari studi pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri, mengingat genotipe lokal lebih mewakili informasi genetik tomat di Indonesia. Berdasarkan informasi pewarisan yang didapat diharapkan kegiatan pemuliaan akan lebih mudah dilakukan untuk mengontrol serangan penyakit ini. Selain itu, dengan didapatnya beberapa genotipe tomat lokal yang diduga tahan terhadap penyakit layu bakteri maka petani dapat memanfaatkan genotipe tersebut untuk


(38)

dibudidayakan. Penggunaan genotipe tahan diharapkan dapat meminimalisir kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan patogen.

3.4 Kesimpulan

Genotipe tomat lokal koleksi memiliki respon ketahanan yang beragam terhadap penyakit layu bakteri. Berdasarkan masa inkubasi dan nilai keparahan penyakit diketahui bahwa genotipe Kudamati 1 merupakan genotipe yang sangat tahan; Gondol Lonjong, Kemir, Kudamati 3, Lombok 3, Makasar 3, Situbondo Bulat Kecil, Situbondo Gelombang, dan Tanah Datar merupakan genotipe tahan; sedangkan genotipe Aceh 2, Aceh 3, Kefamenanu 9, Kefamenanu 12, Kefamenanu 14, Lombok 1, Lombok 2, Lombok 4, dan Meranti 2 merupakan genotipe yang sangat rentan.

3.5 Daftar Pustaka

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. San Diego (US): Academic Press.

Álvarez B, Biosca EG, López MM. 2010. On the life of Ralstonia solanacearum,

a destructive bacterial plant pathogen. A. Méndez-Vilas (Ed.). pp. 267-279.

Aliye N, Fininsa C, Hiskias Y. 2008. Evaluation of rhizosphere bacterial antagonistsvfor their potential to bioprotect potato (Solanum tuberosum)

against bacterial wilt (Ralstonia solanacearum). Biological Control.

47:282-288.

Ayana G, Fininsa C, Ahmed S, Wydra K. 2011. Effects of soil amendment on bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum and tomato yields in

Ethiopia. Journal of Plant Protection Research. 51(1):74-76.

Bi-hao C, Jian-ju L, Yong W, Guo-jo C. 2009. Inheritance and identification of SCAR marker linked to bacterial wilt-resistance in eggplant. African Journal of Biotechnology. 8(20):5201-5207.

Champoiseau PG, Momol TM. 2009. Bacterial wilt of tomato [educational

modules]. Florida (US): University of Florida.

Chaudhry Z, Rashid H. 2011. Isolation and characterization of Ralstonia solanacearum from infected tomato plants of soan skesar valley of Punjab. Pak. J. Bot. 43(6):2979-2985.

Crus APZ, Ferreira V, Pianzzola MJ, Siri MI, Coll NS, Valss M. 2014. A novel, sensitive method to evaluate potato germplasm for bacterial wilt resistance using a luminescent Ralstonia solanacearum reporter strain. Molecular Plant-Microba Interactions. 27(2):277-285.

Grover A, Chakrabarti SK, Azmi W, Khurana AMP. 2012. Rapid method for isolation of PCR amplifiable genomic DNA of Ralstonia solanacearum

infested in potato tubers. Scientific Research. 2:441-446.

Jones JDG, Dangl JL. 2006. The plant immune system. Nature Publishing Group.

444:323-329.

Kumar R, Barman A, Jha G, Ray SK. 2013. Identification and establisment of genomic identify of Ralstonia solanacearum isolated from a wilted chili

plant at Tezpur, North East India. Current Science. 105(11):1571-1578.

Maharina KE, Aini LQ, Wardiyati T. 2014. Aplikasi Agens Hayati Dan Bahan Nabati Sebagai Pengendalian Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum)


(39)

Pada Budidaya Tanaman Tomat. Jurnal Produksi Tanaman.

1(6):506-513.

Mansfield J, Genin S, Magori S, Citovsky V, Sriariyanum M, Ronald P, Dow M, Verdier V, Beer SV, Machado MA, Toth I, Salmond G, Foster GD. 2012. Top 10 plant pathogenic bacteria in molecular plant pathology. Molecular Plant Pathology. 13(6):614-629.

Mejri S, Mabrouk Y, Voisin M, Delavault P, Simier P, Saidi M, Belhadj O. 2012. Variation in quantitative characters of faba bean after seed irradiation and associated molecular changes. African Journal of Biotechnology.

11(33):8383-8390.

Nawangsih AA, Wardani FF. 2014. Interaksi antara bakteri endofit dan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman dalam menekan penyakit layu bakteri pada tomat. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 10(5):145-152.

Ozaki K, Watabe H. 2009. Bacterial wilt of geranium and portulaca caused by

Ralstonia solanacearum in Japan. Bull. Minamikyushu Univ. 39A:67-71.

Peter RA, Gopalakrishnan TR, Rajan S, Kumar SPG. 1993. Breeding for Resistance to Bacterial Wilt in Tomato, Eggplant and Pepper. Di dalam: Hartman GL, Hayward AC, editor. Bacterial Wilt. Proceeding of an International Conference Held at Kaoshiung, 28-31 Okt 1992. AVRDC, ACIAR ICRISAT CIP and Rothamsted Experimental Station. hlm 183-190.

Rodrigues LMR, Destéfano SAL, Diniz MCT, Comparoni R, Neto JR. 2011. Pathogenicity of Brazilian strains of Ralstonia solanacearum in Strelitzia reginae seedlings. Tropical Plant Pathology. 36(6):409-413.

Siri MI, Sanabria A, Pianzzola MJ. 2011. Genetic diversity and aggressiveness of

Ralstonia solanacearum strains causing bacterial wilt of potato in

Uruguay. Plant Disease. 95(10):1292-1301.

Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Bogor

(ID): Penebar Swadaya.

Tahat MM, Sijam K. 2010. Ralstonia solanacearum: the bacterial wilt caused

agent. Asian Journal of Plant Science. 9(7):385-393.

Xue QY, Chen Y, Li SM, Chen LF, Ding GC, Guo DW, Guo JH. 2009. Evaluation of the strains of Acinetobacter and Enterobacter as potential

biocontrol agents against Ralstonia wilt of tomato. Biol. Control.

48:252-258.

Xue QY, Yin YN, Yang W, Heuer H, Prior P, Guo JH, Smalla K. 2011. Genetic diversity of Ralstonia solanacearum strains from China assessed by

PCR-based fingerprints to unravel host plant-and-site-dependent distribution patterns. FEMS. Microbiol. Ecol. 75:507-519.

Yamada T, Kawasaki T, Nagata S, Fujiwara A, Usami S, Fujie M. 2007. New bacteriophages that infect the phytopathogen Ralstonia solanacearum. Mikrobiologi. 153:2630-2639.

Young BJ, Wu J, Lee HJ, Jo EJ, Murugaiyan SK, Chung E, Lee SW. 2012. Biocontrol potential of a lytic bacteriophage PE204 against bacterial wilt of tomato. J. Microbiol. Biotechnol. 22(12):1613-1620.

Zuluaga AP, Solé M, Lu H, Góngora-Castillo E, Vaillancourt B, Coll N, Buell CR, Valss M. 2015. Transcriptome response to Ralstonia solanacearum


(40)

infection in the roots of the wild potato Solanum commersonii. BMC Genomics. 16:1-16.


(41)

4 STUDI PEWARISAN KARAKTER KETAHANAN

TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI

(

Ralstonia solanacearum

) PADA TOMAT

Inheritance of Bacterial Wilt (Ralstonia solanacearum) Disease Resistance Trait on Tomat

Abstrak

Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu bakteri memiliki kisaran

inang yang luas dan susah dikendalikan. Penggunaan varietas tahan merupakan upaya pengendalian penyakit yang efektif, efisien, ekonomis, dan ramah lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pola pewarisan sifat ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat. Percobaan menggunakan Kudamati 1 (genotipe tahan) dan Lombok 4 (genotipe rentan) untuk membentuk populasi F1, F1R, dan F2. Pengamatan pada populasi F1 dan F1R menunjukkan bahwa karakter ini bersifat dominan tanpa dipengaruhi efek maternal dengan derajat dominansi tidak sempurna. Berdasarkan uji χ2 pada populasi F2, segregasi memiliki rasio 9:7 (tahan : rentan) yang menandakan bahwa karakter merupakan karakter kualitatif yang dikendalikan oleh dua pasang gen mayor dengan aksi gen duplikat resesif epistasis.

Kata kunci: tomato, Ralstonia solanacearum, pola pewarisan, dominan Abstract

Ralstonia solanacearum causes of bacterial wilt disease has a wide host range and difficultly controlling. Cultivate the resistant variety is an effective, efficient, economical, and environmentally friendly controlling. The objective this research was to study of inheritance to bacterial wilt disease resistance on tomato. This experiment used Kudamati 1 (resistant genotype) and Lombok 4 (susceptible genotype) for generate F1, F1R, and F2 population. Observation on F1 dan F1R population showed that the character is dominant without maternal effect with the degree of dominance is uncomplete. Based on χ2 testing in F2 population, the rasio segregation was 9:7 (resistant : susceptible) which indicated the character is qualitative character controlled by two genes with duplicate recessive epistasis.


(42)

4.1 Pendahuluan

Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman tomat. Patogen tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, serta memiliki kisaran inang yang luas sehingga sulit untuk dikendalikan. Budidaya menggunakan varietas tahan merupakan langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan budidaya sehingga sangat penting untuk mengetahui informasi pewarisan mengenai karakter ketahanan dalam tujuan mempermudah perakitan varietas tahan tersebut. Mejri et al. (2012)

menyatakan bahwa pengendalian penyakit yang dimulai dari resistensi genetik merupakan pilihan yang tepat. Dengan kata lain budidaya varietas tahan merupakan pengendalian yang efektif.

Varietas tahan dirakit melalui kegiatan pemuliaan tanaman yang mana akan efektif apabila informasi pewarisan karakter telah diketahui. Berbagai penelitian sejauh ini memberikan informasi jumlah gen pengendali yang berbeda. Grimault

et al. (1995) melaporkan bahwa karakter ketahanan tomat terhadap penyakit layu

bakteri dikendalikan oleh satu gen. Berbeda dengan hasil penelitian tersebut, Osiru et al. (2001) menyatakan dikendalikan 2 gen dan Yue et al. (1995) tiga gen.

Selain itu Shou et al. (2006) menyatakan bahwa karakter ketahanan penyakit layu

bakteri pada tomat juga dipengaruhi oleh efek maternal.

Sejauh ini beberapa penelitian mengenai informasi pewarisan karakter ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri telah dilakukan, namun belum memberikan informasi yang konsisten, sehingga masih perlu dilakukan konfirmasi demi mendapatkan informasi yang sesuai dengan varietas tomat yang dibudidayakan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pola pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat.

4.2 Bahan dan Metode 4.2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo dari bulan Mei-Desember 2015. Pembibitan, penanaman, dan pemberian inokulum dilakukan di rumah plastik yang berada di ketinggian 250 m dpl

4.2.2 Pembentukan Populasi Dasar

Pembentukan populasi dasar meliputi F1, F1R, dan F2 dengan memanfaatkan genotipe Kudamati 1 sebagai tetua tahan dan genotipe Lombok 4 sebagai tetua rentan. Benih tetua disemai dalam tray persemaian yang berisi media campuran

tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1 (v/v). Bibit dipelihara hingga berumur 3 minggu dan siap dipindahkan di polybag berukuran 30 x 30 cm.

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemupukan, penyiraman, pengendalian organisme pengganggu tanaman, dan pemberian ajir. Tanaman diajir dan diikat untuk mencegah kemungkinan roboh.

Persilangan dilakukan antar pukul 06.00-09.00 pagi. Bunga yang telah diserbuki diberi tutup dan label yang mencantumkan nama tetua dan tanggal persilangan. Hasil persilangan F1 selanjutnya ditanam kembali untuk membentuk populasi F2 dengan cara membiarkan populasi F1 menyerbuk sendiri.


(43)

4.2.3 Studi Pewarisan Sifat Ketahanan Terhadap Penyakit Layu Bakteri Bahan percobaan yang digunakan adalah populasi dasar yang terdiri dari P1, P2, F1, F1R dan F2. P1, P2, F1, F1R ditanam sebanyak 15 tanaman. Jumlah minimum tanaman F2 ditentukan berdasarkan perhitungan populasi minimum dengan menggunakan rumus:

n = (log F) (log q)

... (3) Keterangan : n

F q

= = =

Jumlah tanaman minimum Taraf kesalahan (α) 0.05

Peluang kegagalan mendapatkan genotipe yang diinginkan

Berdasarkan rumus di atas dengan asumsi bahwa ketahanan terhadap penyakit layu bakteri dikendalikan oleh tiga gen, maka jumlah tanaman minimum pada populasi F2 adalah sebagai berikut:

n = (log F) (log q) = log (63/64) log 0.05 = -1.30103 -0.00684 = 191 Populasi F2 yang digunakan dalam percobaan sebanyak 215 tanaman.

Benih populasi P1, P2, F1, F1R dan F2 disemai dalam tray persemaian yang

berisi media campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1 (v/v). Bibit dipelihara hingga berumur 4 minggu dan dipersiapkan untuk pindah tanam sekaligus inokulasi. Inokulum R. solanacearum yang digunakan merupakan isolat

yang diambil dari tanaman sakit di lapang. Tanaman Solanaceae yang sakit dipotong pangkal batangnya dengan kemiringan 450 dan direndam dengan menggunakan aquades steril selama 24 jam. Tanaman yang mengeluarkan ooz bakteri digunakan sebagai sumber inokulum. Isolat R. solanacearum diuji dengan

menggunakan media TTC (Triphenyl Tetrazolium Chloride). Koloni bakteri R. solanacearum dicirikan berwarna putih susu dengan bagian yang berwarna merah

di tengahnya.

Tanaman yang akan diinokulasi dilukai dengan cara menggunting ujung akarnya, kemudian direndam dengan suspensi bakteri sebanyak 20 mL selama 30 menit. Selanjutnya tanaman ditanam di polybag berukuran 30 cm. Suspensi bakteri kemudian disiram ke tanaman. Pengamatan dilakukan 2 kali seminggu sejak 2 hari setelah inokulasi selama 30 hari. Peubah yang diamati adalah :

1. Periode inkubasi

Yaitu waktu yang diperlukan bakteri untuk dapat menimbulkan gejala gangguan terhadap tanaman. Masa inkubasi diamati 2 hari sekali setelah inokulasi.

2. Kejadian penyakit

Yaitu pengamatan kejadian penyakit yang diamati mulai umur 2 HSI sampai usia 30 HSI. Kejadian penyakit diukur dengan menggunakan rumus:

Kejadian Penyakit = n x 100% ... (4) N

Keterangan : n


(44)

3. Area under the disease progress curve (AUDPC)

Yaitu suatu perhitungan kuantitatif untuk mempermudah mengambbil kesimpulan mengenai intensitas serangan suatu penyakit (kejadian atau keparahan penyakit) yang berkembang dalam suatu periode waktu.

AUDPC = ∑ ( )

... (5) Keterangan : Xi

ti =

= Nilai kejadian atau keparahan penyakit pada waktu ke-i Waktu ke-i 4. Tanaman Hidup

Persentase tanaman hidup per genotipe dihitung pada hari ketigapuluh setelah inokulasi.

5. Respon Ketahanan

Respon ketahanan setiap genotipe ditunjukkan berdasarkan kejadian penyakit menggunakan metode Peter et al. (1993) yang dimodifikasi

(Tabel 4).

Tabel 4 Respon ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum) berdasarkan kejadian penyakit

Kejadian penyakit (%) Respon ketahanan 0 ≤ X < 5

5 ≤ X ≤ 20 20 < X ≤ 40 40 < X ≤ 60 60 < X ≤ 80 > 80 Sangat Tahan Tahan Agak Tahan Agak Rentan Rentan Sangat Rentan Data peubah hasil pengamatan akan dianalisa, yang meliputi:

1. Efek maternal

Pengaruh tetua betina pada pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tomat dianalisis dengan cara membandingkan tanaman F1 dan F1R yang telah diinokulasi. Peubah yang digunakan meliputi periode inkubasi, kejadian penyakit, AUDPC, dan respon ketahanan.

2. Derajat dominansi

Pendugaan aksi gen pengendali karakter ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri dilakukan dengan penghitungan derajat dominansi menggunakan rumus pendugaan potensi rasio (hp) (Petr 1959). Peubah yang digunakan adalah persentase tanaman hidup.

hp = ̅̅̅̅ - ̅̅̅̅ ... (6)

̅̅̅̅ - ̅̅̅̅

Keterangan : hp

̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ = = = = Potensi rasio Rata-rata nilai F1

Rata-rata nilai tetua tertinggi Nilai tengah kedua tetua


(45)

Berdasarkan nilai potensi rasio maka aksi gen diklasifikasikan seperti pada Tabel 5.

Tabel 5 Klasifikasi derajat dominansi berdasarkan nilai potensi rasio (hp) Kisaran nilai hp Derajat dominansi

hp = 0

hp = 1 atau hp = -1 0 < hp < 1

-1 < hp < 0 hp > 1 atau hp < -1

Tidak ada dominansi

Dominan atau resesif sempurna Dominan tidak sempurna

Resesif dengan aksi gen tidak penuh Overdominan

3. Estimasi jumlah gen pengendali

Sebaran frekuensi populasi F2 diuji untuk melihat sebaran yang dimiliki normal atau tidak dengan peubah respon ketahanan. Pendugaan jumlah gen pengendali berdasarkan sebaran frekuensi populasi F2 dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1) Sifat kuantitatif, apabila data menyebar secara kontinyu.

2) Sifat kualitatif, apabila data menyebar secara diskontinyu sehingga pendugaan jumlah gen dilakukan dengan menggunakan uji Chi

Kuadrat (χ2) untuk menguji kesesuaian nilai pengamatan dengan nilai

harapan. Jika nilai χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel, maka sebaran populasi F2 mengikuti nisbah fenotipik yang diharapkan. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2010.

χ2 =

... (7)

Keterangan : Oi

Ei

=

= Nilai pengamatan Nilai harapan

Beberapa nisbah fenotipik yang diperoleh dalam penelitian pewarisan ketahanan terhadap penyakit yang dikendalikan oleh gen mayor pada berbagai tanaman tercantum pada Tabel 6 (Sastrosumarjo 1987).


(46)

Tabel 6 Nisbah fenotipik frekuensi karakter resistensi tanaman terhadap penyakit yang dikendalikan oleh gen mayor dalam populasi bersegregasi F2

No Tipe ketahanan Tahan (T) Agak tahan (AT) Agak rentan (AR) Rentan (R)

1. Ketahanan dikendalikan 1 pasang gen a. Dominan penuh

b. Resesif

c. Tidak ada dominansi

3 1 1 - - 2 - - - 1 3 1

2. Ketahanan dikendalikan 2 pasang gen

a. Dominan penuh pada kedua lokus A dan B 9 3 3 1 b. Resesif epistasis, aa epistatik terhadap B dan b 9 3 - 4 c. Dominan epistasis, A epistatik terhadap B dan b 12 - 3 1 d. Dominan dan resesif epistasis, A epistatik terhadap B

dan b; bb epistatik terhadap A dan a 13 - - 3 e. Duplikat resesif epistasis, aa epistatik terhadap B dan

b; bb epistatik terhadap A dan a 9 - - 7 f. Duplikat dominan epistasis, A epistatik terhadap B; B

epistatik terhadap A dan a 15 - - 1

g. Interaksi duplikat 9 6 - 1

h. Interaksi kompleks 10 3 - 3

3. Ketahanan dikendalikan oleh 3 pasang gen. Interaksi epistasis: a. b. c. d. 37 45 55 27 - - - 9 - - - 9 27 19 9 19

Sumber: Sastrosumarjo 1987.

4.3 Hasil dan Pembahasan

Studi pewarisan dilakukan dengan menggunakan Kudamati 1 (tetua tahan) dan Lombok 4 (tetua rentan). Populasi F1 dan F1R diuji untuk mendapatkan informasi mengenai efek tetua betina dan derajat dominansi sedangkan populasi F2 untuk mengetahui jumlah gen pengendali karakter tersebut.

Tabel 7 menunjukkan populasi F1 dan F1R memiliki respon ketahanan yang sama, yaitu tahan. Periode inkubasi yang lama juga memperkuat dugaan bahwa kedua populasi termasuk ke dalam kategori tahan.

Hasil pengamatan pada populasi F1 dan F1R menunjukkan tidak ada perbedaan yang dapat membuktikan bahwa tidak adanya pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri. Analisis efek tetua betina dilakukan dengan membandingkan hasil pengamatan antara populasi F1 dan F1R tanpa menggunakan uji T dikarenakan data pengamatan tidak memungkinkan untuk dilakukan analisis uji T berdasarkan fakta bahwa tanaman tomat yang terserang penyakit layu bakteri tidak dapat dilakukan pengkelasan (scoring) berdasarkan keparahan penyakit. Ralstonia solanacearum yang mampu

menyerang dengan cepat mengakibatkan tanaman yang terserang mengalami kematian sehingga tanaman tomat hanya dapat dikategorikan dalam kelas hidup (1) atau mati (0).


(47)

Tabel 7 Periode Inkubasi (PI), Area Under the Disease Progress Curve

(AUDPC), Kejadian Penyakit (KP), Tanaman Hidup (TH), dan respon ketahanan populasi tomat yang diuji

Nama genotipe PI (hari) AUDPC KP (%) TH (%) Respon ketahanan Kudamati 1 Lombok 4 F1 F1R - 2 16 14 000.0 178.5 022.5 019.5 000 100 20 20 100 000 80 80 ST SR T T

Ket. ST=sangat tahan, T=tahan, AT=agak tahan, AR=agak rentan, R=rentan, SR=sangat rentan.

Dari pengujian populasi F1 dan F1R juga dapat diduga bahwa karakter ketahanan bersifat dominan. Pendekatan untuk menduga derajat dominansi dilakukan dengan menggunakan hasil pengamatan persentase tanaman hidup, yang meliputi: nilai tengah kedua tetua, rata-rata nilai tetua tertinggi (tetua tahan), dan rata-rata nilai F1. Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Petr (1959) menunjukkan nilai hp= 0.6. Nilai potensi rasio tersebut menggambarkan rata-rata persentase tanaman hidup pada populasi F1 berada pada posisi tetua tahan. Hal ini menunjukkan bahwa karakter ketahanan tomat terhadap penyakit layu bakteri dikendalikan oleh dominansi tidak sempurna.

Frekuensi tanaman hidup yang menunjukkan respon ketahanan pada kedua tetua memiliki sebaran nilai yang besar. Sebaran F1 dan F2 mengarah pada tetua tahan (Gambar 9, 10, 11, 12, dan 13). Hasil pengamatan pada populasi F2 yang berjumlah 215 tanaman menunjukkan dua respon ketahanan, yaitu tahan (hidup) sebanyak 121 tanaman dan rentan (mati) sebanyak 94 tanaman. Sebaran data yang diperolah menunjukkan bahwa karakter ketahanan terhadap penyakit layu bakteri bersifat diskontinyu, yang menandakan bahwa karakter ini merupakan sifat kualitatif.

Pendugaan jumlah gen pengendali dilakukan menggunakan analisis Mendel melalui uji Chi Square mengingat karakter bersifat kualitatif.

15 0 0 15 tahan rentan Populasi P1


(48)

Gambar 9 Histogram sebaran frekuensi tanaman hidup pada populasi P1, P2, F1, dan F2.

Pengelompokan berdasarkan hidup mati sampel pada akhir pengamatan pada hari ke-30 setelah inokulasi

0

15

0 15

tahan rentan

Populasi P2

12

3

0 15

tahan rentan

Populasi F1

121

94

0 215

tahan rentan


(49)

Gambar 10 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-2 setelah inokulasi

Gambar 11 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-10 setelah inokulasi

Gambar 12 Respon ketahanan tanaman pada hari ke-20 setelah inokulasi


(1)

(Capsicum annuum L.) resistance trait to bacterial wilt] [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.


(2)

(3)

Lampiran 1. Pembuatan Media TTC

Media TTC dibuat dengan cara melarutkan 1.0 g casamino acid, 10.0 g peptone, 5.0 g glukosa, dan 17.0 g agar ke dalam 1 L aquades. Selanjutnya larutan tersebut dipanaskan hingga mendidih dan didinginkan di suhu ruang. Pada saat larutan bersuhu ± 550C tambahkan 5 mL 2,3,5-tripheny tetrazolium chloride 1%.

Lampiran 2. Pembuatan Larutan Stok Ekstraksi DNA 1. Buffer ekstraksi CTAB 5%

Buffer ekstraksi CTAB 5% terdiri dari beberapa komponen, yaitu: a. Buffer CTAB dibuat dengan cara melarutkan 2 g CTAB ke dalam 15 mL

ddH2O.

b. Tris 1M sebanyak 8 mL. Tris 1 M dibuat dengan cara melarutkan 121.1 g

Tris ke dalam ± 700 ddH2O. pH diatur sehingga menjadi 8.0 dengan

menambahkan HCL (±50 mL). Tera volume hingga menjadi 1 L dengan ddH2O.

c. NaCl 5 M sebanyak 11.2 mL. NaCl 5 M dibuat dengan cara melarutkan

292.2 g NaCl ke dalam ± 700 ddH2O. Tera volume hingga menjadi 1 L

dengan ddH2O.

d. EDTA sebanyak 1.6 mL. EDTA dibuat dengan cara melarutkan 186.12 g

EDTA ke dalam ± 700 ddH2O. pH diatur sehingga menjadi 8.0 dengan

menambahkan 16-18 g NaOH. Tera volume hingga menjadi 1 L dengan ddH2O.

Semua bahan tersebut dilarutkan menjadi satu dan ditera dengan menggunakan ddH2O hingga mencapai volume 40 mL.

2. Chloroform-isoamylalkohol (CIA)

Chloroform-isoamylalkohol merupakan larutan yang terdiri dari chloroform dan isoamyl alkohol dengan perbandingan 24:1.

Lampiran 3. Pembuatan Larutan Penyangga 1. Tris acetate EDTA (TAE) 0.5%

TAE 0.5 % dibuat melalui pengenceran buffer TAE konsentrasi 50 x dengan menggunakan rumus:

V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 50 % = 1000 mL x 0.5%

V1 = 1000 mL x 0.5%

50%

V1 = 10 mL

Sehingga TAE 0.5% dibuat dengan mencampurkan 10 mL stok TAE 50 x dengan aquades 990 mL.


(4)

Lanjutan Lampiran 3. Pembuatan Larutan Penyangga

2. Tris Boric acetate EDTA (TBE) 0.5%

TBE 0.5 % dibuat melalui pengenceran buffer TAE konsentrasi 50 x dengan menggunakan rumus:

V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 50 % = 1000 mL x 0.5%

V1 = 1000 mL x 0.5%

50%

V1 = 10 mL

Sehingga TBE 0.5% dibuat dengan mencampurkan 10 mL stok TBE 50 x dengan aquades 990 mL.

Lampiran 4. Ethidium bromide

Sebanyak 100 mL ethidium bromide 10 mg.mL-1 dilarutkan ke dalam 1000 mL aquades. Selanjutnya larutan disimpan di dalam wadah gelap dan ditutup rapat.

Lampiran 5. Pembuatan Larutan Stok Bahan Pembuatan Gel Polyakrilamid 1. Larutan Akrilamid 40%

Larutan akrilamid 40% dibuat dengan cara mencampurkan bahan yang terdiri dari: 190 g akrilamid, 10 g bis-akrilamid, dan 350 mL aquades. Semua bahan dicampur hingga larut dan merata, kemudian ditera hingga mencukupi volume 500 mL. Selanjutnya larutan disaring dengan

menggunakan kertas saring 0.45 μM. Larutan disimpan di botol gelap pada

suhu 40C.

2. Larutan Denaturasi Akrilamid 4.5%

Larutan denaturasi akrilamid 4.5% dibuat dengan cara mencampurkan bahan yang terdiri dari: 210 g urea, 325 mL aquades, 100 mL TBE 0.5%, dan 56.8 larutan stok akrilamid 40%. Semua bahan dilarutkan menjadi satu dan kemudian ditera hingga mencukupi volume 500 mL dengan aquades. Selanjutnya larutan disaring dengan

menggunakan kertas saring 0.45 μM. Larutan disimpan di botol gelap pada

suhu 40C.

3. Ammonium Persulfate (APS) 10%

APS dibuat dengan cara melarutkan 1 g APS ke dalam 10 mL aquades. Stok disimpan pada suhu 40C.


(5)

Lanjutan Lampiran 5. Pembuatan Larutan Stok Bahan Pembuatan Gel Polyakrilamid

4. Larutan Bind Silane

Larutan ini dibuat setiap kali akan melakukan vertikal gel karena larutan digunakan dalam keadaan yang masih segar. Larutan terdiri dari

bahan: 4 μL 3-Methacryloxypropyl trimethoxy silane 5 μL asam asetat

glacial, dan 1 mL ethanol 100%.

Lampiran 6. Larutan Pewarnaan Perak Nitrat 1. Larutan Fiksasi

Larutan fiksasi dibuat dengan cara mencampurkan bahan yang terdiri dari: 50mL ethanol 100%, 5 mL asam asetat glacial, dan 455 mL aquades. Larutan dicampur merata dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup.

2. Larutan asam nitrat 1.5%

Larutan asam nitral 1.5% dibuat dengan cara melarutkan 7.5 mL asam nitrat dan 492.5 mL aquades. Larutan dicampur merata dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup.

3. Larutan Perak Nitrat 0.2%

Larutan perak nitrat 0.2% dibuat dengan cara mencampurkan 1 g perak nitrat dan 500 mL aquades. Larutan dicampur merata dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup yang gelap dan disimpan pada suhu 40C.

4. Larutan Developer

 Stok larutan sodium thiosulfat

Stok larutan sodium thiosulfat dibuat dengan cara melarutkan 0.1 g sodium thiosulfat ke dalam aquades 10 mL. Stok disimpan di lemari pendingin.

Larutan developer dibuat dengan melarutkan 24 g sodium karbonat ke dalam aquades 800 mL secara merata. Larutan didinginkan pada lemari

pendingin. Ketika larutan akan digunakan maka tambahkan 540 μL formalin dan 160 μL sodium thiosulfat.

5. Larutan Stop 5%

Larutan stop 5% dibuat dengan cara melarutkan 25 mL asam asetat glacial dan 475 mL aquades. Larutan dicampur merata dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 1 Januari 1991 sebagai putri sulung dari lima bersaudara dari pasangan Abdul Kadir Jailani dan Eliya Wati. Penulis memulai pendidikan fornalnya di Taman Kanak-Kanak Mekar Indah pada tahun 1995. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 41 Kota Bengkulu dan melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 4 Kota Bengkulu. Penulis melanjutkan pendidikannya ke SPP (Sekolah Pertanian Pembangunan) Negeri Bengkulu yang kemudian penulis lulus pada tahun 2008. Penulis selanjutnya diterima sebagai mahasiswi Jurusan Budidaya Pertanian Program Studi Agroekoteknologi Universitas Bengkulu dan tamat pada tahun 2013. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan Magister dengan memperoleh beasiswa dari DIKTI. Selama menjadi mahasiswi IPB, penulis tercatat sebagai anggota dari SABRAO dan ISSAAS. Penulis juga mengikuti dua kali seminar internasional yang diselenggarakan SABRAO dan ISSAAS sebagai pemakalah.