TINJAUAN PUSTAKA Ecological Characteristics of Tropical Montane Forest in Lore Lindu National Park Central Sulawesi
Hutan Tropis Pegunungan
Pola geografis zonasi vegetasi, komposisi floristik, dan struktur hutan hujan tropis pegunungan ditemukan pada sepanjang gradien garis lintang latitude di
Asia selatan dan timur Ohsawa 1991. Hutan tropis pegunungan terletak pada ketinggian yang berkisar antara 500 dan 4 000 m dpl pada tiga wilayah tropis
Afrika, Amerika dan Asia Gambar 2.2, namun ada beberapa wilayah di dunia, khususnya pulau-pulau vulkanik kemungkinan berada pada ketinggian 300 m dpl
Kapelle 2004.
Secara umum, hutan hujan tropis pegunungan di daerah khatulistiwa equator terdapat pada ketinggian di atas 1 000 m dpl yang dibagi ke dalam
empat tipe, yaitu hutan subpegunungan submontane forest hutan pegunungan bawah lower montane forests, hutan pegunungan atas upper montane forests,
dan hutan subalpine subalpine forests Ohsawa 1991; Kapelle 2004; Göltenboth et al
. 2006; Moore Garant 2008. Komposisi dan struktur hutan pegunungan memiliki perbedaan dengan hutan dataran rendah akibat adanya faktor pembatas,
antara lain curah hujan, berkurannya fotosintesis akibat kurangnya radiasi matahari, rendahnya evapotranspirasi, paparan angin kencang, dan terbatasnya
unsur hara Kapelle 2004. Gambar 2.1 Kondisi hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah
dimodifikasi dari Cannon et al. 2007.
Iklim
Menurut Körner 2007, terdapat empat perubahan atmosfer utama yang berhubungan dengan ketinggian, yaitu: 1 penurunan tekanan atmosfer total dan
tekanan parsial dari semua gas atmosfer O
2
dan CO
2
, 2 penurunan suhu atmosfer, yang berimplikasi pada kelembaban, 3 meningkatkan radiasi di bawah
langit tak berawan, baik radiasi matahari sebagai radiasi termal yang masuk dan keluar pada malam hari, dan 4 fraksi radiasi ultraviolet lebih tinggi yang
diberikan setiap radiasi matahari total. Sehubungan dengan meningkatnya ketinggian, iklim diurnal khas daerah tropis terjadi penurunan tekanan udara dan
suhu, pengurangan evapotranspirasi, dan meningkatnya awan, kabut dan intensitas radiasi ultraviolet. Perubahan ini berkorelasi dengan, antara lain berkurangnya
ketinggian pohon dan pohon-pohon emergen, ukuran daun, dan peningkatan scleromorfi dan epifit Gerold 2008.
Hutan tropis pegunungan memiliki curah hujan yang tinggi Ashton 2003, dengan curah hujan rata-rata tahun lebih dari 2 000 mm per tahun Aiba
Kitayama 1999; Kessler et al. 2005; Gomez-Peralta et al. 2008; Richter 2008.
Pada ketinggian di atas 2 000 m dpl suhu udara dapat mencapai kurang dari 10º C pada malam hari, dengan suhu harian rata-rata 15-20ºC Göltenboth et al. 2006.
Laju perubahan suhu terhadap ketinggian secara umum diketahui sekitar 0.6º C per 100 m, tetapi hal ini tergantung pada faktor-faktor seperti penutupan awan,
waktu, dan jumlah uap air di udara Whitten et al. 1987. Gambar 2.2 Zonasi vegetasi berdasarkan ketinggian pada beberapa
pegunungan tropis di dunia dimodifikasi dari Kapelle 2004.
Tanah
Tanah pegunungan mengalami perubahan dengan bertambahnya ketinggian, dimana tanah menjadi lebih asam dan miskin hara. Hal ini lebih disebabkan oleh
lambatnya dekomposisi bahan organik. Perbedaan komposisi batuan batuan dan iklim merupakan faktor utama yang mempengaruhi formasi tanah di pegunungan,
termasuk juga kelerengan dan penutupan vegetasi Whitten et al. 1987.
Menurut Göltenboth et al. 2006, perbedaan komposisi batuan induk dan iklim merupakan faktor utama yang mempengaruhi formasi tanah di pegunungan,
juga kelerengan dan penutupan vegetasi. Karakteristik tanah di hutan tropis pegunungan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya ketinggian,
yaitu: 1 keasaman tanah semakin tinggi, 2 berkurangnya unsur hara, 3 berkurangnya kelimpahan organisme tanah, 4 struktur dan tekstur tanah kurang
baik, 5 akumulasi gambut lebih sering pada daerah yang lebih lembab, 6 proses dekomposisi dan pelapukan rendah, 7 erosi dan pencucian hara sering terjadi,
terutama pada daerah-daerah dengan kelerengan yang terjal atau dengan penutupan vegetasi yang kurang, 8 tanah miskin hara akibat sering terjadi
pencucian, dan 9 defisiensi kalsium banyak ditemukan pada tanah pegunungan.
Vegetasi
Hutan pada ketinggian di bawah 1 000 m dpl memiliki karakteristik vegetasi yang hampir sama dengan hutan dataran rendah. Dengan bertambahnya
ketinggian, pohon-pohon menjadi lebih pendek, dan berdiameter kecil, serta epifit seperti anggrek menjadi lebih melimpah Whitten et al. 1987.
Vegetasi hutan tropis pegunungan dibagi dalam beberapa zonasi berdasarkan ketinggian tempat. Ashton 2003 dan Göltenboth et al. 2006
mengelompokkan zonasi vegetasi hutan tropis pegunungan Tabel 2.1, sebagai berikut:
Tabel 2.1 Karakteristik umum zonasi vegetasi hutan hujan tropis pegunungan di Indonesia dimodifikasi dari Ashton 2003; Göltenboth et al. 2006
Zonasi vegetasi Karakteristik vegetasi
Kurang dari 1 200 m dpl Memiliki karakter vegetasi yang hampir sama
dengan di hutan hujan dataran rendah. Hutan pegunungan bawah
level terendah 1 200-1 800 m dpl
Pohon cenderung lebih pendek 15-33 m; diameter pohon kurang besar; banyak epifit;
sekitar 280-586 jenis pohon d iameter ≥10 cm
per ha. Hutan pegunungan bawah
level tertinggi Memiliki kelimpahan lumut yang tinggi;
kanopi pohon lebih seragam. Hutan pegunungan atas
1 800-3 000 m dpl Pohon lebih pendek 1.5-18 m; daun kecil
dan tebal; sekitar 1 500 pohon kecil per ha; terdapat banyak lichen, lumut, bakteri, dan
fungi pada daun.
Hutan subalpine sekitar 2 000- 3 000 m dpl
Pohon-pohon lebih pendek dibandingan dengan hutan pegunungan atas 1.5-9 m,
didominasi oleh semak, herba dan rumput, memiliki kelimpahan epifit yang tinggi.
Menurut Gerold 2008, berkurangnya tinggi pohon berdasarkan ketinggian disebabkan oleh: 1 kurangnya udara di pegunungan, mengurangi serapan hara
dan air; 2 menurunnya irradiasi dan suhu, serta meningkatnya tutupan awan dan kelembaban, berdampak pada transpirasi dan aktivitas fotosintesis; 3
meningkatnya radiasi UV-B menyebabkan kerusakan fotosintesis; 4 tanah kekurangan oksigen karena tingginya kandungan air; 5 tingginya serapan
aluminium Al dan konsentrasi senyawa fenolik dalam bahan organik tanah.
Struktur dan Komposisi Hutan
Hutan dapat dideskripsi berdasarkan komposisi, fungsi, dan strukturnya Franklin et al. 1981. Komposisi hutan merupakan kumpulan organisme hidup
dan tidak hidup yang terdapat di dalam hutan yang sering digambarkan menurut kehadiran atau dominansi jenis, dan seringkali menggunakan deskripsi relatif
seperti indeks keanekaragaman. Fungsi hutan mengacu pada tipe dan tingkat proses misalnya produksi karbon dan interaksi antara komponen biotik dan
abiotik hutan. Meskipun menarik untuk dipelajari, fungsi hutan jarang digunakan untuk menggambarkan struktur tegakan karena tidak bisa terlihat secara langsung.
Sebaliknya, struktur hutan adalah karakteristik dan penataan secara fisik, dan mudah terlihat Stone Porter 1998.
Pengetahuan tentang struktur dan komposisi floristik hutan sangat penting untuk mengetahui dinamika hutan, interaksi antara tumbuhan dan hewan, siklus
nutrisi Nadkarni 1999. Unsur utama dari struktur adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi, dan penutupan. Struktur vegetasi hutan dalam ekologi tumbuhan
dibagi dalam lima tingkatan, yaitu fisiognomi tumbuhan, struktur biomassa, struktur bentuk tumbuh, struktur floristik, dan struktur tegakan Mueller-Dumbois
Ellenberg 1974. Menurut Spies 1998, komponen penting dari struktur hutan, meliputi 1 distribusi ukuranumur pohon, 2 distribusi vertikal, 3 distribusi tajuk
horizontal, dan 4 pohon mati dead wood.
Menurut Whitmore 1984, tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil. Diagram ini merupakan suatu sketsa semua pohon pada areal
yang biasanya berukuran panjang 60 meter dan lebar 7.5 meter. Profil diagram biasanya hanya dibatasi pada pohon dewasa dari siklus pertumbuhan hutan,
namun seringkali pohon yang masih dalam fase pertumbuhan juga dimasukkan.
Susunan tumbuhan secara vertikal biasanya dikenal dengan istilah stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi terjadi karena dua hal penting yang
dimiliki atau dialami oleh tumbuhan dalam persekutuan hidupnya dengan tumbuhan lain, yaitu 1 akibat adanya persaingan antar tumbuhan dan 2 akibat
sifat toleransi jenis pohon terhadap intensitas radiasi matahari Indriyanto 1998.
Stratifikasi di hutan hujan tropis dataran rendah terdiri atas lima stratum, yaitu statum A-E. Stratum A lapisan tajuk kanopi hutan paling atas yang
dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada stratum tersebut tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk
pohon lainnya dalam stratum yang sama. Statum B merupakan lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Stratum C
merupakan tegakan terendah dari pohon yang tingginya 4-20 m. Stratum D terdiri atas lapisan tajuk yang dibentuk oleh jenis tumbuhan semak dan perdu yang
tingginya 1-4 m, dan Stratum E adalah lapisan tajuk yang dibentuk oleh jenis
tumbuhan penutup tanah dan semai yang tingginya 0-1 m Whitmore 1984. Pada hutan tropis pegunungan, stratifikasi hutan sebagian besar hanya mencapai
stratum B, dan terus terjadi penurunan tinggi pohon seiring dengan ketinggian Holzman 2008; Gerold 2008.
Komposisi floristik, struktur dan fungsi hutan hujan tropis pegunungan ditentukan oleh faktor-faktor abiotik dan biotik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perbedaan stratifikasi hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas terutama disebabkan oleh radiasi iklim yang berbeda. Pada hutan pegunungan atas
dan subalpine terjadi peningkatan curah hujan yang menyebabkan kondisi terus jenuh, keasaman tanah dan pencucian hara yang tinggi Gerold 2008.
Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis species diversity banyak digunakan untuk merepresentasikan keanekaragaman ekologi, namun hal ini bukan merupakan
satu-satunya ukuran. Lebar relung niche dan keanekaragaman habitat habitat diversity
juga merupakan komponen utama dalam keanekaragaman ekologi Hamilton 2005. Secara umum, terdapat dua pendekatan untuk mengukur
keanekaragaman jenis, yaitu kekayaan jenis species richness, dan kemerataan jenis species evenness yang mengarah pada kelimpahan jenis species
abundance
seperti jumlah individu, biomass, penutupan, dan sebagainya Lugwig Reynolds 1988; Hamilton 2005
Terdapat beberapa indeks yang digunakan untuk mengukur keanekaragaman jenis, yaitu indeks kekayaan richness indices, indeks kemerataan evennes
indices , dan indeks keanekaragaman diversity indices. Indeks kekayaan yang
digunakan, antara lain indeks Margalef, indeks Menhinick; indeks kemerataan, seperti indeks Pielou, indeks Hill; dan indeks keanekaragaman merupakan
kombinasi antara keduanya, seperti indeks Shannon, dan indeks Simpson Ludwig Reynolds 1988; Maguran 2004; Laps 2005.
Menurut Stohlgren 2007, secara umum telah diketahui bahwa keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh: 1 perbedaan latitude; 2 stres; 3
perbedaan produktivitas; 4 perbedaan altitude; 5 heterogenitas; 6 fertilisasi jangka panjang; 7 area; 8 umur substrat; 9 evolusi, endemisitas, dan efek lag;
10 jarang gangguan yang besar; dan 11 adanya gangguan kecil namun sering terjadi.