Ecological Characteristics of Tropical Montane Forest in Lore Lindu National Park Central Sulawesi
KARAKTERISTIK EKOLOGI HUTAN TROPIS
PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL
LORE LINDU SULAWESI TENGAH
HARDIANTO MANGOPO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Ekologi Hutan Tropis Pegunungan di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Hardianto Mangopo
(3)
(4)
RINGKASAN
HARDIANTO MANGOPO. Karakteristik Ekologi Hutan Tropis
Pegunungan di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan SULISTIJORINI
Ekosistem hutan tropis pegunungan menutupi sekitar 21 persen hutan tropis dunia. Ekosistem ini memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dan memiliki fungsi ekologis, antara lain sebagai daerah tangkapan air habitat berbagai tumbuhan dan hewan endemik dan terancam punah. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menginventarisasi keanekaragaman jenis tumbuhan, 2) serta mempelajari komposisi komunitas vegetasi dan struktur hutan pegunungan di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Penelitian ini dilakukan pada tiga tipe hutan pegunungan, yaitu hutan subpegunungan (900 m dpl) di Watukilo, hutan pegunungan bawah ( 1 500 m dpl) di Torongkilo, dan hutan pegunungan atas (2 300 m dpl) di Torenali sekitar 1.5 km dari puncak gunung Rorekatimbu. Inventarisasi dan identifikasi jenis tumbuhan dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Juli 2012, dengan ukuran plot pengamatan seluas 40 m x 60 m (0.24 ha) pada setiap tipe hutan yang dibagi menjadi 24 subplot berukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran pohon (termasuk palm dan paku pohon) dengan diameter setinggi dada (dbh) ≥10 cm (pada tinggi 1.3 m). Setiap subplot 10 m x 10 m terdapat subplot berukuran 5 m x 5 m untuk pengukuran pancang (2 cm ≤ dbh < 10 cm), dan pengamatan semai
(tinggi ≤1.5 m) dan tumbuhan bawah dilakukan pada subplot berukuran 2 m x 2 m yang terdapat dalam setiap subplot 5 m x 5 m.
Total jenis yang dijumpai pada seluruh plot sebanyak 310 jenis, tergolong dalam 129 marga dan 106 famili. Plot di hutan pegunungan bawah memiliki jumlah jenis terbanyak (61 jenis pohon, 51 jenis pancang, 57 jenis semai, dan 56 jenis tumbuhan bawah), diikuti hutan subpegunungan dan pegunungan atas. Hasil analisis indeks keanekaragaman Shannon menunjukkan bahwa seluruh tipe hutan yang diteliti memiliki keanekaragaman jenis sedang sampai tinggi (2 < H' < 4), serta memiliki indeks kesamaan Sørensen yang rendah (<10%). Seluruh jenis yang dijumpai, hanya Lithocarpus celebicus (Fagaceae) yang terdapat pada tiga tipe hutan.
Hutan subpegunungan didominasi jenis Castanopsis buruana (Fagaceae),
Gironniera subaequalis (Cannabaceae), dan Santiria apiculata (Burseraceae),
pancang didominasi C. buruana, S. apiculata, dan Praravinia mindanaensis
(Rubiaceae), semai didominasi Antidesma riparium subsp. riparum
(Phyllanthaceae), Cryptocarya densiflora (Lauraceae), dan S. apiculata, dan tumbuhan bawah didominasi jenis Calamus sp.1 (Arecaceae), Ziziphus
angustifolia (Rhamnaceae), dan Dioscorea kingii (Dioscoreaceae). Jenis Platea
excelsa var. borneensis (Icacinaceae), Elaeocarpus sp.1 (Elaeocarpaceae), dan
Magnolia carsonii var. carsonii (Magnoliaceae) merupakan jenis dominan di
hutan pegunungan bawah, pancang didominasi Lophopetalum beccarianum
(Celastraceae), Ardisia forbesii (Primulaceae), dan Cyathea contaminans
(Cyatheaceae), semai didominasi Calophyllum soualattri (Calophyllaceae),
(5)
Calamus spp. (Arecaceae), sedangkan hutan pegunungan atas didominasi jenis
Phyllocladus hypophylla (Podocarpaceae) diikuti Dacrycarpus steupii
(Podocarpaceae) dan Lthocarpus havilandii (Fagaceae), pancang didominasi
Trimenia papuana (Trimeniaceae), Tasmannia piperita (Winteraceae), dan
Myrsine minutifolia (Primulaceae), semai didominasi M. minutifolia, Q. apoensis
(Paracryphiaceae), dan T. piperita, dan tumbuhan bawah didominasi Sonerilla
pumila (Melastomataceae), Blechnum sp. (Blechnaceae), dan Davalliaceae
non det.
Seluruh tipe hutan yang diteliti juga disusun oleh famili dominan yang berbeda. Pohon dan pancang didominasi Fagaceae, sedangkan semai dan tumbuhan bawah masing-masing didominasi Lauraceae dan Arecaceae. Pohon, pancang, semai, dan tumbuhan bawah di hutan pegunungan bawah masing-masing didominasi Icacinaceae, Lauraceae, Calophyllaceae, dan Arecaceae, sedangkan hutan pegunungan atas masing-masing didominasi Podocarpaceae, Trimeniaceae, Primulaceae, dan Melastomataceae. Lauraceae merupakan famili dengan jumlah jenis tertinggi (18 jenis), diikuti Myrtaceae (16 jenis), dan Fagaceae (11 jenis).
Kerapatan pohon mengalami peningkatan dengan bertambahnya ketinggian tempat. Hutan pegunungan atas memiliki kerapatan pohon dan pancang tertinggi, diikuti hutan pegunungan bawah, dan hutan subpegunungan, namun berbeda halnya dengan semai dan tumbuhan bawah. Selain itu, hutan pegunungan atas memiliki rata-rata tinggi pohon yang lebih rendah dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya (15 m), sedangkan antara hutan subpegunungan dan pegunungan bawah memiliki rata-rata tinggi pohon yang hampir sama (20 m).
Individu pohon dengan kelas diameter lebih kecil memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan diameter yang lebih besar, khususnya di hutan subpegunungan dan pegunungan atas. Selain hal tersebut, tidak dijumpai individu pohon dengan diameter lebih dari 70 cm di hutan pegunungan atas dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya. Secara keseluruhan, basal area tertinggi dijumpai di hutan subpegunungan (46.76 m2/ha), diikuti hutan pegunungan bawah (44.42 m2/ha), dan hutan pegunungan atas (38.28 m2/ha).
Kata kunci: Hutan pegunungan, keanekaragaman jenis, komposisi komunitas, struktur hutan, Sulawesi
(6)
SUMMARY
HARDIANTO MANGOPO. Ecological Characteristics of Tropical Montane Forest in Lore Lindu National Park Central Sulawesi. Supervised by IBNUL QAYIM and SULISTIJORINI
Tropical montane forest ecosystem making up 21 percent of the total area of
the world’s tropical forest. This ecosystem has high level of species diversity,
constributes positively to the water catchment, and provides an essential habitat for many endemic and threatened plant and animal species. The objectives of this research were 1) to determine plant species diversity, 2) to study composition of vegetation community and tropical montane forest structures.
This study was conducted at three primary forest sites were located in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. The first site was located in Watukilo at 900 m asl, the second site was in Torongkilo at 1 500 m asl, and the third site was in Torenali at 2 300 m asl around 1.5 km to peak of Mount Rorekatimbu. All sites are submontane forest, lower montane forest, and upper montane forest respectively. Plot-based plant inventory and identification were carried out in the period of July 2011 to July 2012. Plot size was 40 m x 60 m (0.24 ha) devided up into a 10 m x 10 m grid. All trees of diameter at breast height (dbh) ≥10 cm (at 1.3 m). Within each of the 10 m x 10 m, one 5 m x 5 m-sized subplot was surveyed
(0.06 ha per plot) to study saplings (2 cm ≤ dbh < 10 cm), and one 2 m x 2 m-sized subplot (0.024 ha) to additionaly study understorey vegetation in each of the 5 m x 5 m subplot.
We recorded a total 310 plant species belonging to 129 genera and 106 families in all forest types. Lower montane forest has the highest species richness (61 tree species, 51 sapling species, 57 seedling species, and 56 understorey plant species), followed by submontane forest and upper montane forest. Shannon diversity index showed that all forest types in this study has moderate to high in species diversity (2 < H' < 4), and has low similarity in species composition with the similarity <10% (Sørensen index). Among the species recorded, only one species that found in all three forest types, i.e. Lithocarpus celebicus (Fagaceae).
In submontane forest, the most dominant tree species were Castanopsis
buruana (Fagaceae), Gironniera subaequalis (Cannabaceae) and Santiria
apiculata (Burseraceae), while the most dominant saplings were C. buruana, S.
apiculata and Praravinia mindanaensis (Rubiaceae). For seedlings and
understorey, the most dominant species were Antidesma riparium subsp. riparum
(Phyllanthaceae) and Calamus sp.1 (Arecaceae), respectively. In lower montane forest, the most dominant tree species were Platea excelsa var. borneensis
(Icacinaceae), Elaeocarpus sp.1 (Elaeocarpaceae) and Magnolia carsonii var.
carsonii (Magnoliaceae), while the most dominant saplings were Lophopetalum
beccarianum (Celastraceae), Ardisia forbesii (Primulaceae) and Cyathea
contaminans (Cyatheaceae). For seedlings and understorey, the most dominant
species were Calophyllum soualattri (Calophyllaceae) and Calamus sp.5,
respectively. In upper montane forest, the most dominant tree species were
Phyllocladus hypophylla (Podocarpaceae), Dacrycarpus steupii (Podocarpaceae)
and Lithocarpus havilandii (Fagaceae), while the most dominant saplings were
Trimenia papuana (Trimeniaceae), Tasmannia piperita (Winteraceae) and
(7)
dominant species were Myrsine minutifolia (Primulaceae) and Sonerilla pumila
(Melastomataceae), respectively.
There was major differences of community composition at the family level among all three forest types. Trees and saplings in submontane was dominated by Fagaceae. Seedlings and understorey plants were dominated by Lauraceae and Arecaceae. Trees, sapling, seedlings, and understorey plants in lower montane forest were dominated by Icacinaceae, Lauraceae, Calophyllaceae and Arecaceae respectively, while upper montane forest Podocarpaceae was the most dominant family, whereas saplings, seedlings, and understorey dominated by Trimeniaceae, Primulaceae and Melastomataceae respectively. Lauraceae has highest number of species (18 species), followed by Myrtaceae (16 species), and Fagaceae (11 species).
Tree density increased with increasing elevation. Upper montane forest had highest tree density, followed by lower montane and submontane forest. The difference was found in the average tree height, escpecially in upper montane that had lowest tree height (15 m), however submontane and lower montane forest had similar average tree height (20 m).
Trees with smaller stem diameter had higher density than trees with larger stem diameter, especially in submontane and upper montane forest. Moreover, there were no trees more than 70 cm stem diameter in upper montane forest than two others forest types. The highest basal area of stem found in submontane (46.76 m2/ha), followed by lower montane forest (44.42 m2/ha), and upper montane forest (38.28 m2/ha).
Keywords: Community composition, forest structure, montane forest, species diversity, Sulawesi
(8)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
(9)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
KARAKTERISTIK EKOLOGI HUTAN TROPIS
PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL
LORE LUNDU SULAWESI TENGAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
(10)
(11)
Judul Tesis : Karakteristik Ekologi Hutan Tropis Pegunungan di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah
Nama : Hardianto Mangopo
NIM : G353090321
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Ibnul Qayim Ketua
Dr Ir Sulistijorini, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan
Dr Ir Miftahudin, MSi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
(12)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekologi tumbuhan, dengan judul Karakteristik Ekologi Hutan Tropis Pegunungan di Sulawesi Tengah. Penelitian ini dibiayai oleh
German Research Foundation (DFG) melalui proyek Environment and Land Use
Change (ELUC) yang merupakan kerjasama penelitian antara Universitas
Göttingen Jerman dan Universitas Tadulako Palu.
Karya ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Juli 2012 di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Dengan diselesaikannya karya ilmiah ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing atas konstribusinya terhadap karya ilmiah ini.
Penelitian ini terlaksana berkat kerjasama penelitian antara Universitas Tadulako dan Universitas Göttingen yang dibiayai oleh German Research
Foundation (DFG) mulai dari penelitian pengumpulan data di lapangan dan
identifikasi spesimen tumbuhan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan ini.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi tentang eksosistem hutan pegunungan, khususnya di Sulawesi Tengah, dan dapat bermanfaat bagi semua pihak, serta perkembangan ilmu pengetahun.
Bogor, Januari 2013
(13)
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Dr Ir Ibnul Qayim, selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr Ir Sulistijorini, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis, sejak penelitian sampai dengan penulisan tesis ini.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf atas pelayanan akademik yang telah diberikan sejak masuk hingga akhir studi.
3. Dr Ir Miftahudin, MSi, selaku Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan atas bantuan dan arahannya.
4. Kepala dan staff Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah di Palu, atas bantuan dan fasilitasnya selama penelitian.
5. Dr Aiyen Tjoa dari Universitas Tadulako Palu, Dr Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, MSc dari Institut Pertanian Bogor, dan Prof Dr Christoph Leuschner, serta Dr Heike Culmsee dari Universitas Göttingen, atas bantuannya selama penelitian.
6. Dr Max van Balgooy dan Dr F. Adema, atas bantuan identifikasi spesimen tumbuhan.
7. Fabian Brambach, Mathias Faber, Rikson P. Tiranda, Firdaus, dan Sahar Sabir, serta asisten lokal atas kerjasamanya yang baik selama pelaksanaan penelitian.
8. Rekan-rekan Angkatan 2009 di Program Studi Biologi Tumbuhan atas kebersamaan dan kerjasamanya sejak awal perkuliahan sampai akhir studi. 9. Ibundaku tercinta (Hamidja) dan kakakku tersayang (Fatmawati Mangopo
dan Hadyanti Mangopo), serta seluruh keluarga yang turut memberi bantuan dan motivasi.
10. Teman-teman di Pondok Tana Doang dan Asrama Mahasiswa Sulawesi Tengah atas semua bantuannya, serta seluruh pihak yang turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
(14)
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Taman Nasional Lore Lindu 3
Hutan Tropis Pegunungan 4
Struktur dan Komposisi Hutan 7
Keanekaragaman Jenis 8
3 KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN HUTAN TROPIS PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU
SULAWESI TENGAH 9
Abstrak 9
Abstract 9
Pendahuluan 9
Bahan dan Metode 10
Hasil 15
Pembahasan 27
Simpulan 29
4 KOMPOSISI DAN STRUKTUR HUTAN TROPIS PEGUNUNGAN
DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU SULAWESI TENGAH 31
Abstrak 31
Abstract 31
Pendahuluan 32
Bahan dan Metode 32
Hasil 35
Pembahasan 48
Simpulan 52
5 PEMBAHASAN UMUM 55
6 SIMPULAN DAN SARAN 59
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN 67
(15)
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Karakteristik umum zonasi vegetasi hutan hujan tropis
pegunungan di Indonesia 6
3.1 Lokasi dan karakteristik tiga tipe hutan pegunungan yang diteliti di
TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah 11
3.2 Jumlah jenis, marga, dan suku seluruh jenis tumbuhan yang
dijumpai pada setiap tipe hutan pegunungan 15
3.3 Daftar jenis pohon, pancang, dan semai serta distribusinya pada
tiga plot penelitian 17
3.4 Daftar jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta serta
distribusinya pada tiga plot penelitian 21
3.5 Jumlah jenis masing-masing suku pohon, pancang, dan semai pada
tiga tipe hutan pegunungan 25
3.6 Jumlah jenis masing-masing suku tumbuhan bawah pada tiga tipe
hutan pegunungan 26
4.1 Kelas penutupan yang dimodifikasi dari Daubenmire (1959) dan
Wildi (2010) 34
4.2 Indeks kesamaan dan ketidaksamaan jenis (indeks Sørensen)
antara tiga tipe hutan pegunungan 35
4.3 Sepuluh jenis pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 37 4.4 Sepuluh jenis pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 38 4.5 Sepuluh jenis semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 39 4.6 Sepuluh jenis tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan
pegunungan 40
4.7 Struktur hutan pada plot seluas 0.24 ha (± se) pada tiga tipe hutan
pegunungan 43
5.1 Rangkuman hasil yang diperoleh selama penelitian pada plot
(16)
2.1 Kondisi hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah 4 2.2 Zonasi vegetasi berdasarkan ketinggian pada beberapa
pegunungan tropis di dunia 5
3.1 Sulawesi dan lokasi penelitian di TN. Lore Lindu, Sulawesi
Tengah 11
3.2 Kondisi hutan pada tiga plot penelitian di TN. Lore Lindu. (A) hutan subpegunungan (900 m dpl), (B) hutan pegunungan atas
(1 500 m dpl), (C) hutan pegunungan atas 12
3.3 Bentuk dan ukuran plot penelitian 13
3.4 Kurva kumulatif jenis pohon dan pancang pada tiga plot penelitian. ̶●̶ hutan subpegunungan ̶■̶ hutan subpegunungan
̶▲̶ hutan subpegunungan 15 3.5 Jumlah jenis pohon, pancang, dan semai di hutan subpegunungan
(HSP), hutan pegunungan bawah (HPB), dan hutan pegunungan
atas (HPA) 16
3.6 Jumlah jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta 17 3.7 Indeks kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan jenis pohon
(A), pancang (B), semai (C), dan tumbuhan bawah (D) 24 4.1 Persentase jumlah jenis tumbuhan bawah setiap tipe hutan
pegunungan 41
4.2 Suku pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 42 4.3 Suku pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 42 4.4 Suku semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 42 4.5 Suku tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 43 4.6 Kerapatan dan basal area pohon dan pancang (± sd) berdasarkan
kelas diameter antara tiga tipe hutan pegunungan 44 4.7 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis
pohon dominan di hutan subpegunungan (a) C. buruana,
(b) G. subaequalis, (c) S. apiculata, dan (d) I. petiolaris 45
4.8 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon dominan di hutan pegunungan bawah (a) P. excelsa var.
borneensis, (b) Elaeocarpus sp.1, (c) M. carsonii var. carsonii,
dan (d) P.firma 45
4.9 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon dominan di hutan pegunungan atas (a) P. hypohylla,
(b) D. steupii, (c) L. havilandii, dan (d) Q. apoensis 46
4.10 Persentase penutupan semai (a), semak (b), herba (c), liana (d),
dan pteridophyta (e) (± sd) antara tiga tipe hutan pegunungan 46 4.11 Persentase jumlah individu berdasarkan kelas tinggi (± sd) antara
tiga tipe hutan pegunungan 47
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan subpegunungan 69 2 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan subpegunungan 70 3 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan subpegunungan 71 4 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan
subpegunungan 72
5 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan pegunungan
bawah 73
6 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan pegunungan
bawah 75
7 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan pegunungan
bawah 77
8 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan
pegunungan bawah 79
9 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan pegunungan atas 81 10 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan pegunungan
atas 82
11 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan pegunungan atas 83 12 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan
pegunungan atas 84
13 Nilai penting suku (NPS) pohon di hutan subpegunungan (HSP),
hutan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas (HPA) 85 14 Nilai penting suku (NPS) pancang di hutan subpegunungan
(HSP) 86
15 Nilai penting suku (NPS) semai di hutan subpegunungan (HSP) 87 16 Nilai penting suku (NPS) tumbuhan bawah di hutan
subpegunungan (HSP) 88
17 Diagram profil hutan subpegunungan di Watukilo (900 m dpl)
pada areal seluas 40 m x 10 m 89
18 Diagram profil hutan pegunungan bawah di Torongkilo
(1 500 m dpl) pada areal seluas 40 m x 10 m 90 19 Diagram profil hutan pegunungan atas di Torenali (2 300 m dpl)
pada areal seluas 40 m x 10 m 91
(18)
1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem hutan tropis pegunungan (tropical montane forest) menutupi sekitar 21 persen hutan tropis di dunia (Scatena et al. 2010), yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (Göltenboth et al. 2006; Glatzel 2009), dan habitat berbagai spesies tumbuhan dan hewan endemik, serta terancam punah (Hostettler 2002). Berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut, hutan tropis pegunungan di dunia secara umum dikelompokkan dalam zona hutan subpegunungan, pegunungan bawah, pegunungan atas, hutan subalpin (Ashton 2003; Kapelle 2004). Setiap zona memiliki stratifikasi, life-form, struktur, biomassa dan fisiognomi, termasuk didalamnya arsitektur, pola pertumbuhan, dan karakteristik daun, juga komposisi jenis yang berbeda (Ashton 2003).
Ekosistem hutan pegunungan di seluruh dunia biasanya memiliki perbedaan komunitas biologi dan tingkat endemisitas akibat pengaruh topografi dan sejarah geologi (Gerold 2008). Oleh karena itu, adanya perbedaan tipe hutan merupakan indikasi adanya perbedaan iklim dan faktor edafik. Altitude, lereng, latitude, curah hujan dan kelembaban juga memiliki peranan penting dalam formasi komunitas tumbuhan dan komposisinya (Tarner et al. 1998; Aiba & Kitayama 1999; Kharkwal et al. 2005; Körner 2007).
Sulawesi merupakan bagian dari wilayah biogeografi Wallacea, dan termasuk salah satu dari 25 biodiversity hotspots di dunia (Myers et al. 2000; Brooks et al. 2002; Olson & Dinerstein 2002). Kawasan ini memiliki keanekaragaman dan endemisitas tumbuhan pada tingkat menengah (Roos et al. 2004) dan sebagai bagian dari wilayah ekologi Asia Tenggara yang belum banyak diketahui karena jika dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia, jumlah koleksi dari Sulawesi hanya sekitar 25 koleksi per 100 km2 (Cannon et al. 2007).
Tingginya keanekaragaman dan endemitas disebabkan oleh sejarah geologi yang kompleks (Hall 2009), dan terisolasinya pulau-pulau di kawasan Wallacea dari paparan Sunda selama periode kuarter (Primarck & Corlett 2006) sehingga membentuk karakteristik tumbuhan dan hewan dengan komposisi yang unik (Sodhi et al. 2004; Welzen & Silk 2009). Diperkirakan dari 5 000 jenis tumbuhan berbunga yang telah dikumpulkan (terdiri lebih dari 2 100 jenis tumbuhan berkayu), hampir 15 persen diantaranya endemik (Kessler et al. 2002).
Sebagian besar daratan di Sulawesi berada pada ketinggian 500 m dpl dan sekitar 20 persen terletak di atas 1 000 m dpl (Cannon et al. 2007), beberapa pegunungan dengan ketinggian lebih dari 3 000 m dpl terletak di Selatan dan Sulawesi Tengah (Vane-Wright & de Jong 2003). Menurut Cannon et al. (2005) bahwa secara umum zona hutan pegunungan di Sulawesi terdiri atas hutan pegunungan bawah (1 500-2 400 m dpl), hutan pegunungan atas (2 400-3 000 m dpl), dan zona hutan subalpin (>3 000 m dpl). Di Sulawesi Tengah, sebagian besar hutan pegunungan terletak antara 1 000 - 2 400 m dpl (Culmsee et al. 2011). Penelitian terkait komunitas vegetasi berdasarkan zona vegetasi pada ekosistem hutan pegunungan Sulawesi Tengah, khususnya Taman Nasional (TN.) Lore Lindu belum banyak dilakukan terkait struktur dan komposisinya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan, antara lain komposisi dan keanekaragaman
(19)
2
jenis pohon (Kessler et al. 2005; Gradstein et al. 2007; Culmsee & Pitopang 2009, Culmsee et al. 2010, 2011), tumbuhan bawah, termasuk paku-pakuan (Schulze et al. 2004; Ramadhanil et al. 2008; Cicuzza et al. 2010; Kessler et al. 2011; Willinghöfer 2011), dan struktur hutan (Dietz et al. 2007), sebagian besar dilakukan pada zona hutan subpegunungan dan pegunungan bawah. Selain itu, penelitian sebagian besar penelitian hanya difokuskan pada jenis-jenis pohon (dbh
≥10 cm). Oleh karena itu, penelitian secara lebih komprehensif masih sangat diperlukan untuk mengungkap karakteristik ekologi pada setiap zona hutan pegunungan di Sulawesi Tengah, sebagai upaya perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana keanekaragaman jenis vegetasi di hutan pegunungan TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah?
2. Bagaimana komposisi komunitas vegetasi di hutan pegunungan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah?
3. Bagaimana struktur hutan pegunungan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menginventarisasi keanekaragaman jenis vegetasi hutan pegunungan. 2. Mempelajari komposisi komunitas vegetasi penyusun hutan pegunungan. 3. Mempelajari struktur tegakan hutan pegunungan di TN. Lore Lindu, Sulawesi
Tengah.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data tambahan tentang ekosistem hutan pegunungan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah sebagai salah satu kawasan konservasi terbesar di Sulawesi, serta informasi kepada pihak-pihak terkait dalam upaya pengelolaan dan pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
(20)
2. TINJAUAN PUSTAKA
Taman Nasional Lore Lindu Letak dan Luas
Taman Nasional Lore Lindu secara resmi dikukuhkan oleh sebagai taman nasional pada tanggal 23 Juni 1999 berdasarkan SK. Menhutbun No. 464/Kpts-II/1999 dengan luas kawasan 217.991,18 ha, sedangkan untuk pengelolaannya, sejak tanggal 1 Februari 2007 diserahkan kepada Balai Besar TN. Lore Lindu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 (TNC/BTNLL 2002). Taman Nasional Lore Lindu juga ditunjuk oleh UNESCO sebagai salah satu dari tujuh cagar biosfer di Indonesia pada tahun 1977 dan selanjutnya ditetapkan pada tahun 1993 (http://www.mab-indonesia.org/cagar.php).
Secara geografis, Taman Nasional Lore Lindu terletak antara 119o58' – 120o16' Bujur Timur dan 01o8 – 01o3' Lintang Selatan, dan secara secara administratif terletak di wilayah Kabupaten Poso dan Sigi. Bagian utara, taman nasional ini berbatasan dengan dataran lembah Palu dan Palolo, sebelah selatan berbatasan dengan dataran lembah Bada, sebelah timur berbatasan dengan dataran lembah Napu dan sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lariang dan dataran lembah Kulawi (TNC/BTNLL 2002).
Karakteristik Ekologi
Taman Nasional Lore Lindu memiliki topografi yang bervariasi mulai dari datar, landai agak curam, curam hingga sangat curam, dengan kawasan hutan pegunungan yang tersebar antara ketinggian 500 sampai dengan 2 600 m dpl (Erasmi et al. 2004). Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Fergusson, bagian utara kawasan TN. Lore Lindu memiliki tipe iklim C/D dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 855-1200 mm per tahun; bagian timur bertipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 344-1400 mm per tahun; dan bagian barat bertipe iklim A dengan curah hujan rata-rata 1200 mm per tahun (TNC/BTNLL 2002). Secara umum, rata-rata suhu udara di kawasan ini berkisar antara 25-26oC, dengan rata-rata curah hujan di atas 2500 mm per tahun dan dan memiliki kelembapan yang tinggi (85-95%) (Whitten et al. 1987).
Lapisan tanah di daerah pegunungan umumnya berasal dari batuan asam seperti gneisses, shists dan granit yang memiliki sifat peka terhadap erosi. Formasi lakustrin banyak ditemukan pada danau di bagian timur kawasan dengan bahan endapan dari campuran batuan sedimen, metaforik dan granit. Sedangkan di bagian barat ditemukan formasi aluvium yang umumnya berbentuk kipas aluvial. Sumber bahan aluvial ini berasal dari batuan metamorfik dan granit. Jenis tanah di kawasan TN. Lore Lindu juga bervariasi, dari entisol, inseptisol, alfisol dan sebagian kecil ultisol (TNC/BTNLL 2002).
Cannon et al. (2005) melaporkan bahwa tipe hutan di TN. Lore Lindu tersebar dari hutan daratan rendah sampai hutan pegunungan atas. Sebagian besar kawasan hutan dalam kondisi baik (Cannon et al. 2007) (Gambar 2.1), dengan kekayaan jenis pohon dapat yang hampir sama jika dibandingkan dengan Kalimantan dan kawasan hutan lain di Sulawesi (Culmsee & Pitopang 2009).
(21)
4
Hutan Tropis Pegunungan
Pola geografis zonasi vegetasi, komposisi floristik, dan struktur hutan hujan tropis pegunungan ditemukan pada sepanjang gradien garis lintang (latitude) di Asia selatan dan timur (Ohsawa 1991). Hutan tropis pegunungan terletak pada ketinggian yang berkisar antara 500 dan 4 000 m dpl pada tiga wilayah tropis (Afrika, Amerika dan Asia) (Gambar 2.2), namun ada beberapa wilayah di dunia, khususnya pulau-pulau vulkanik kemungkinan berada pada ketinggian 300 m dpl (Kapelle 2004).
Secara umum, hutan hujan tropis pegunungan di daerah khatulistiwa (equator) terdapat pada ketinggian di atas 1 000 m dpl yang dibagi ke dalam empat tipe, yaitu hutan subpegunungan (submontane forest) hutan pegunungan bawah (lower montane forests), hutan pegunungan atas (upper montane forests), dan hutan subalpine (subalpine forests) (Ohsawa 1991; Kapelle 2004; Göltenboth
et al. 2006; Moore & Garant 2008). Komposisi dan struktur hutan pegunungan
memiliki perbedaan dengan hutan dataran rendah akibat adanya faktor pembatas, antara lain curah hujan, berkurannya fotosintesis akibat kurangnya radiasi matahari, rendahnya evapotranspirasi, paparan angin kencang, dan terbatasnya unsur hara (Kapelle 2004).
Gambar 2.1 Kondisi hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah (dimodifikasi dari Cannon et al. 2007).
(22)
Iklim
Menurut Körner (2007), terdapat empat perubahan atmosfer utama yang berhubungan dengan ketinggian, yaitu: 1) penurunan tekanan atmosfer total dan tekanan parsial dari semua gas atmosfer (O2 dan CO2), 2) penurunan suhu
atmosfer, yang berimplikasi pada kelembaban, 3) meningkatkan radiasi di bawah langit tak berawan, baik radiasi matahari sebagai radiasi termal yang masuk dan keluar pada malam hari, dan 4) fraksi radiasi ultraviolet lebih tinggi yang diberikan setiap radiasi matahari total. Sehubungan dengan meningkatnya ketinggian, iklim diurnal khas daerah tropis terjadi penurunan tekanan udara dan suhu, pengurangan evapotranspirasi, dan meningkatnya awan, kabut dan intensitas radiasi ultraviolet. Perubahan ini berkorelasi dengan, antara lain berkurangnya ketinggian pohon dan pohon-pohon emergen, ukuran daun, dan peningkatan scleromorfi dan epifit (Gerold 2008).
Hutan tropis pegunungan memiliki curah hujan yang tinggi (Ashton 2003), dengan curah hujan rata-rata tahun lebih dari 2 000 mm per tahun (Aiba & Kitayama 1999; Kessler et al. 2005; Gomez-Peralta et al. 2008; Richter 2008). Pada ketinggian di atas 2 000 m dpl suhu udara dapat mencapai kurang dari 10º C pada malam hari, dengan suhu harian rata-rata 15-20ºC (Göltenboth et al. 2006). Laju perubahan suhu terhadap ketinggian secara umum diketahui sekitar 0.6º C per 100 m, tetapi hal ini tergantung pada faktor-faktor seperti penutupan awan, waktu, dan jumlah uap air di udara (Whitten et al. 1987).
Gambar 2.2 Zonasi vegetasi berdasarkan ketinggian pada beberapa pegunungan tropis di dunia (dimodifikasi dari Kapelle 2004).
(23)
6
Tanah
Tanah pegunungan mengalami perubahan dengan bertambahnya ketinggian, dimana tanah menjadi lebih asam dan miskin hara. Hal ini lebih disebabkan oleh lambatnya dekomposisi bahan organik. Perbedaan komposisi batuan batuan dan iklim merupakan faktor utama yang mempengaruhi formasi tanah di pegunungan, termasuk juga kelerengan dan penutupan vegetasi (Whitten et al. 1987).
Menurut Göltenboth et al. (2006), perbedaan komposisi batuan induk dan iklim merupakan faktor utama yang mempengaruhi formasi tanah di pegunungan, juga kelerengan dan penutupan vegetasi. Karakteristik tanah di hutan tropis pegunungan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya ketinggian, yaitu: 1) keasaman tanah semakin tinggi, 2) berkurangnya unsur hara, 3) berkurangnya kelimpahan organisme tanah, 4) struktur dan tekstur tanah kurang baik, 5) akumulasi gambut lebih sering pada daerah yang lebih lembab, 6) proses dekomposisi dan pelapukan rendah, 7) erosi dan pencucian hara sering terjadi, terutama pada daerah-daerah dengan kelerengan yang terjal atau dengan penutupan vegetasi yang kurang, 8) tanah miskin hara akibat sering terjadi pencucian, dan 9) defisiensi kalsium banyak ditemukan pada tanah pegunungan.
Vegetasi
Hutan pada ketinggian di bawah 1 000 m dpl memiliki karakteristik vegetasi yang hampir sama dengan hutan dataran rendah. Dengan bertambahnya ketinggian, pohon-pohon menjadi lebih pendek, dan berdiameter kecil, serta epifit seperti anggrek menjadi lebih melimpah (Whitten et al. 1987).
Vegetasi hutan tropis pegunungan dibagi dalam beberapa zonasi berdasarkan ketinggian tempat. Ashton (2003) dan Göltenboth et al. (2006) mengelompokkan zonasi vegetasi hutan tropis pegunungan (Tabel 2.1), sebagai berikut:
Tabel 2.1 Karakteristik umum zonasi vegetasi hutan hujan tropis pegunungan di Indonesia (dimodifikasi dari Ashton 2003; Göltenboth et al. 2006)
Zonasi vegetasi Karakteristik vegetasi
Kurang dari 1 200 m dpl Memiliki karakter vegetasi yang hampir sama dengan di hutan hujan dataran rendah.
Hutan pegunungan bawah (level terendah)
1 200-1 800 m dpl
Pohon cenderung lebih pendek (15-33 m); diameter pohon kurang besar; banyak epifit; sekitar 280-586 jenis pohon diameter ≥10 cm per ha.
Hutan pegunungan bawah (level tertinggi)
Memiliki kelimpahan lumut yang tinggi; kanopi pohon lebih seragam.
Hutan pegunungan atas 1 800-3 000 m dpl
Pohon lebih pendek (1.5-18 m); daun kecil dan tebal; sekitar 1 500 pohon kecil per ha; terdapat banyak lichen, lumut, bakteri, dan fungi pada daun.
Hutan subalpine
sekitar 2 000- >3 000 m dpl
Pohon-pohon lebih pendek dibandingan dengan hutan pegunungan atas (1.5-9 m), didominasi oleh semak, herba dan rumput, memiliki kelimpahan epifit yang tinggi.
(24)
Menurut Gerold (2008), berkurangnya tinggi pohon berdasarkan ketinggian disebabkan oleh: 1) kurangnya udara di pegunungan, mengurangi serapan hara dan air; 2) menurunnya irradiasi dan suhu, serta meningkatnya tutupan awan dan kelembaban, berdampak pada transpirasi dan aktivitas fotosintesis; 3) meningkatnya radiasi UV-B menyebabkan kerusakan fotosintesis; 4) tanah kekurangan oksigen karena tingginya kandungan air; 5) tingginya serapan aluminium (Al) dan konsentrasi senyawa fenolik dalam bahan organik tanah.
Struktur dan Komposisi Hutan
Hutan dapat dideskripsi berdasarkan komposisi, fungsi, dan strukturnya (Franklin et al. 1981). Komposisi hutan merupakan kumpulan organisme (hidup dan tidak hidup) yang terdapat di dalam hutan yang sering digambarkan menurut kehadiran atau dominansi jenis, dan seringkali menggunakan deskripsi relatif (seperti indeks keanekaragaman). Fungsi hutan mengacu pada tipe dan tingkat proses (misalnya produksi karbon) dan interaksi antara komponen biotik dan abiotik hutan. Meskipun menarik untuk dipelajari, fungsi hutan jarang digunakan untuk menggambarkan struktur tegakan karena tidak bisa terlihat secara langsung. Sebaliknya, struktur hutan adalah karakteristik dan penataan secara fisik, dan mudah terlihat (Stone & Porter 1998).
Pengetahuan tentang struktur dan komposisi floristik hutan sangat penting untuk mengetahui dinamika hutan, interaksi antara tumbuhan dan hewan, siklus nutrisi (Nadkarni 1999). Unsur utama dari struktur adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi, dan penutupan. Struktur vegetasi hutan dalam ekologi tumbuhan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu fisiognomi tumbuhan, struktur biomassa, struktur bentuk tumbuh, struktur floristik, dan struktur tegakan (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Menurut Spies (1998), komponen penting dari struktur hutan, meliputi 1) distribusi ukuran/umur pohon, 2) distribusi vertikal, 3) distribusi tajuk horizontal, dan 4) pohon mati (dead wood).
Menurut Whitmore (1984), tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil. Diagram ini merupakan suatu sketsa semua pohon pada areal yang biasanya berukuran panjang 60 meter dan lebar 7.5 meter. Profil diagram biasanya hanya dibatasi pada pohon dewasa dari siklus pertumbuhan hutan, namun seringkali pohon yang masih dalam fase pertumbuhan juga dimasukkan.
Susunan tumbuhan secara vertikal biasanya dikenal dengan istilah stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi terjadi karena dua hal penting yang dimiliki atau dialami oleh tumbuhan dalam persekutuan hidupnya dengan tumbuhan lain, yaitu (1) akibat adanya persaingan antar tumbuhan dan (2) akibat sifat toleransi jenis pohon terhadap intensitas radiasi matahari (Indriyanto 1998).
Stratifikasi di hutan hujan tropis dataran rendah terdiri atas lima stratum, yaitu statum A-E. Stratum A lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada stratum tersebut tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama. Statum B merupakan lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Stratum C merupakan tegakan terendah dari pohon yang tingginya 4-20 m. Stratum D terdiri atas lapisan tajuk yang dibentuk oleh jenis tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m, dan Stratum E adalah lapisan tajuk yang dibentuk oleh jenis
(25)
8
tumbuhan penutup tanah dan semai yang tingginya 0-1 m (Whitmore 1984). Pada hutan tropis pegunungan, stratifikasi hutan sebagian besar hanya mencapai stratum B, dan terus terjadi penurunan tinggi pohon seiring dengan ketinggian (Holzman 2008; Gerold 2008).
Komposisi floristik, struktur dan fungsi hutan hujan tropis pegunungan ditentukan oleh faktor-faktor abiotik dan biotik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan stratifikasi hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas terutama disebabkan oleh radiasi iklim yang berbeda. Pada hutan pegunungan atas dan subalpine terjadi peningkatan curah hujan yang menyebabkan kondisi terus jenuh, keasaman tanah dan pencucian hara yang tinggi (Gerold 2008).
Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis (species diversity) banyak digunakan untuk merepresentasikan keanekaragaman ekologi, namun hal ini bukan merupakan satu-satunya ukuran. Lebar relung (niche) dan keanekaragaman habitat (habitat
diversity) juga merupakan komponen utama dalam keanekaragaman ekologi
(Hamilton 2005). Secara umum, terdapat dua pendekatan untuk mengukur keanekaragaman jenis, yaitu kekayaan jenis (species richness), dan kemerataan jenis (species evenness) yang mengarah pada kelimpahan jenis (species
abundance) seperti jumlah individu, biomass, penutupan, dan sebagainya (Lugwig
& Reynolds 1988; Hamilton 2005)
Terdapat beberapa indeks yang digunakan untuk mengukur keanekaragaman jenis, yaitu indeks kekayaan (richness indices), indeks kemerataan (evennes
indices), dan indeks keanekaragaman (diversity indices). Indeks kekayaan yang
digunakan, antara lain indeks Margalef, indeks Menhinick; indeks kemerataan, seperti indeks Pielou, indeks Hill; dan indeks keanekaragaman merupakan kombinasi antara keduanya, seperti indeks Shannon, dan indeks Simpson (Ludwig & Reynolds 1988; Maguran 2004; Laps 2005).
Menurut Stohlgren (2007), secara umum telah diketahui bahwa keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh: 1) perbedaan latitude; 2) stres; 3) perbedaan produktivitas; 4) perbedaan altitude; 5) heterogenitas; 6) fertilisasi jangka panjang; 7) area; 8) umur substrat; 9) evolusi, endemisitas, dan efek lag; 10) jarang gangguan yang besar; dan 11) adanya gangguan kecil namun sering terjadi.
(26)
3. KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN HUTAN
TROPIS PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL
LORE LINDU SULAWESI TENGAH
Abstrak
Pulau Sulawesi telah menjadi kawasan konservasi penting secara global, namun studi keanekaragaman jenis tumbuhan di pulau ini masih sangat terbatas khususnya di areal hutan pegunungan. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari keanekaragaman jenis tumbuhan pada tiga tipe hutan pegunungan di TN. Lore Lindu. Inventarisasi jenis tumbuhan, meliputi pohon (dbh ≥10 cm),
pancang (2 cm ≤ dbh < 10 cm), semai dan tumbuhan bawah, termasuk pteridophyta dilakukan pada tiga plot kuadrat (masing-masing 0.24 ha) di hutan pegunungan pada ketinggian 900 m, 1 500 m, dan 2 300 m dpl (hutan subpegunungan sampai hutan pegunungan atas). Dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan (129 marga, 106 suku) termasuk 121 jenis tumbuhan bawah. Hutan pegunungan bawah memiliki kekayaan jenis tertinggi (150 jenis), diikuti hutan subpegunungan (98 jenis), dan hutan pegunungan atas (82 jenis). Indeks Shannon
(H’) menunjukkan bahwa seluruh plot penelitian memiliki keanekaragaman jenis sedang sampai tinggi (2 < H' < 4) untuk semua kategori (pohon, pancang, semai dan tumbuhan bawah).
Kata kunci: hutan pegunungan, keanekaragaman tumbuhan, Lore Lindu, Sulawesi
Abstract
The island of Sulawesi has been highlighted as a globally important conservation area, but detailed study of plant species diversity in this island still limited especially in montane primary forest. The aim of this study was to determine plant species diversity of tropical montane forest in Lore Lindu National Park. Inventory of plant species comprises of trees (dbh ≥10 cm),
saplings (2 cm ≤ dbh < 10 cm), seedlings and understorey plant, including pteridophyta were conducted on three plots (each 0.24 ha) in montane primary forest at 900 m, 1 500 m, and 2 300 m asl (sub-montane to upper montane forest) Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. Out of 310 plant spesies (129 genera, 106 families) including 121 species of understorey plants. Lower montane forest has high species richness (150 species), followed by submontane forest (98 species), and upper montane forest (82 species). The value of Shannon diversity index (H') in three study plots were medium to high (2< H' <4) for all categories (trees, saplings, seedlings, and understorey plant).
Key words: Lore Lindu, montane forest, plant diversity, Sulawesi
Pendahuluan
Eksosistem hutan tropis memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang paling tinggi (Jacob 1988), dan kawasan Malesia dianggap sebagai kawasan dengan keanekaragaman jenis tertinggi di dunia yang memiliki lebih dari 40 000 jenis
(27)
10
tumbuhan berpembuluh (vascular plants) (Bass et al. 1990; Roos 1993). Salah satu gambaran yang paling mencolok adalah perbedaan floristik dari pulau-pulau di kawasan ini yang disebabkan oleh sejarah geologi dan palaeoekologi masa lampau (Lohman et al. 2011).
Sulawesi merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea yang terletak di antara garis biogeografi Wallaceae dan Weber (van Welzen 2011) dan antara daratan Laurasia dan Gondwana (Primarck & Corlett 2006) memiliki kekayaan jenis pada tingkat menengah (Roos et al. 2004). Cannon et al. (2007) mengungkapkan bahwa hal ini kemungkinan disebabkan jumlah koleksi tumbuhan yang sangat rendah (kurang dari 25 koleksi per 100 km2) jika dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia dan kurangnya studi taksonomi (Cannon et al. 2007). Selain itu, Sulawesi memiliki geologi yang kompleks, dan isolasi yang sangat lama telah memungkinkan terjadinya evolusi sehingga menghasilkan tumbuhan dan hewan yang khas, dengan tingkat endemisitas yang tinggi (Roos et al. 2004; Cannon et al. 2007). Diperkirakan dari terdapat sekitar 5 000 jenis tumbuhan berpembuluh, termasuk lebih dari 2 100 jenis tumbuhan berkayu dan hampir 15% merupakan endemik di Sulawesi (Whitten et al. 1987; Kessler et al. 2002).
Penelitian terkait keanekaragaman jenis tumbuhan khususnya di hutan pegunungan TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah masih sangat terbatas. Keanekaragaman jenis tumbuhan hubungannya dengan perubahan ketinggian hanya diketahui dari hasil penelitian Culmsee & Pitopang 2009; Culmsee et al. 2011; Stiegel et al. 2011; Willinghöfer et al. 2011), sehingga penelitian ini ditujukan untuk mempelajari keanekaragaman jenis tumbuhan antara hutan subpegunungan, hutan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas.
Bahan dan Metode Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan pada tiga lokasi di kawasan hutan primer TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah, pada ketinggian 900 m, 1 500 m, dan 2 300 m di atas permukaan laut (dpl) (Gambar 3.1). Ketiga lokasi penelitian masing-masing termasuk dalam zona hutan subpegunungan, hutan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas (Cannon et al. 2005). Kondisi hutan pada tiga lokasi penelitian ini telah dikelompokkan ke dalam hutan primer dengan kondisi baik (Cannon et al. 2007) (Gambar 2.1). Karakteristik masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.1. Hutan pegunungan atas dalam penelitian ini memiliki kelimpahan lumut yang tinggi dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya (Gambar 3.2)
(28)
Tabel 3.1 Lokasi dan karakteristik tiga tipe hutan pegunungan yang diteliti di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah
Karakteristik Tipe hutan
HSP HPB HPA
Ketinggian (m dpl) 900 1 500 2 300
Lokasi Watukilo Torongkilo Torenali
Koordinat GC-WGS 84
01°61.5' S 120°07.4' E
01°41.5' S 120°27.9' E
01°28.6' S 120°31.2' E
Kemiringan (o) 0-10 0-10 0-10
Arah plot W 280o N W 290o N E 140o S
Batuan induk Granit Metamorfik Granit
Curah hujan
(mm/tahun) 1 782 1 959 2 129
Suhu (oC) 25.5 21.0 14.1
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas Gambar 3.1 Sulawesi dan lokasi penelitian di TN. Lore Lindu,
(29)
12
Gambar 3.2 Kondisi hutan pada tiga di plot penelitian di TN. Lore Lindu. (A) hutan subpegunungan (900 m dpl), (B) hutan pegunungan bawah (1 500 m dpl), (C) hutan pegunungan atas (2 300 m dpl).
(30)
Pengumpulan data vegetasi
Inventarisasi jenis tumbuhan dilakukan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Juli 2012 menggunakan plot penelitian dengan metoda kuadrat (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Pada setiap tipe hutan pegunungan dibuat plot berukuran 40 m x 60 m (0.24 ha) (Culmsee et al. 2011). Setiap plot dibagi menjadi 24 subplot, masing-masing berukuran 10 m x 10 m untuk pengumpulan data pohon (termasuk palem dan paku pohon) dengan diameter setinggi dada (dbh) ≥10 cm (dbh diukur pada tinggi 1.3 m), dan pengumpulan data pancang (2 cm ≤ dbh <10 cm) dilakukan dalam subplot 5 m x 5 m (0.06 ha) yang terdapat pada setiap subplot 10 m x 10 m, sedangkan data semai dan tumbuhan bawah (semak, herba, liana, dan paku-pakuan) di lakukan pada subplot berukuran 2 m x 2 m (0.096 ha) yang terdapat pada setiap subplot 5 m x 5 m (Gambar 3.3).
Setiap individu pohon dan pancang ditandai menggunakan label permanen dan dilakukan pencatatan nama jenis dan suku (jika diketahui) serta karakter morfologi, antara lain kulit batang dan getah (jika ada). Contoh daun, bunga dan buah (jika ada) dari jenis tumbuhan yang dijumpai di plot penelitian, dikoleksi untuk diidentifikasi dan koleksi herbarium.
Gambar 3.3 Bentuk dan ukuran plot penelitian (subplot 10 m x 10 m = untuk pengumpulan data pohon (dbh
≥10 cm); subplot 5 m x 5 m = untuk pengumpulan data pancang (2 cm ≤ dbh < 10 cm); dan subplot 2 m x 2 m = untuk pengumpulan data semai dan tumbuhan bawah).
(31)
14
Identifikasi jenis tumbuhan
Identifikasi dilakukan pada 310 jenis tumbuhan, meliputi pohon dan pancang, semai, dan tumbuhan bawah (semak, herba, liana, dan paku-pakuan) yang dijumpai dalam plot penelitian, serta koleksi tambahan bagi jenis yang memiliki bunga dan/atau buah. Setiap koleksi spesimen dibuat duplikat untuk disimpan di Herbarium Celebense Palu (CEB), Göttingen (GOET), Bogoriense (BO), dan Leiden (L). Identifikasi jenis menggunakan koleksi di Herbarium Bogoriense, Herbarium Göettingen, dan Herbarium Leiden sebagai referensi, dengan sistem tata nama (nomenclature) jenis mengikuti International Plant
Name Index (IPNI) (2012). Spesimen yang tidak dapat diidentifikasi (non det.)
sampai marga atau jenis, seperti Myrtaceae, Arecaceae, dan beberapa suku lain dipisahkan berdasarkan karakter morfologi.
Analisis data
Nilai keanekaragaman jenis tumbuhan dihitung berdasarkan indeks kekayaan jenis (species richness index), indeks keanekaragaman jenis (species
diversity index), dan indeks kemerataan jenis (species evenness index) (Magurran
2004) dengan formula, sebagai berikut:
Indeks kekayaan jenis dihitung menggunakan indeks Margalef (Margalef
index):
N ) S ( DMg
ln 1
dimana:
S = Jumlah jenis yang teramati
N = Jumlah total individu yang teramati
Indeks keanekaragaman jenis dihitung menggunakan indeks Shannon (Shannon index):
s
1 i
iln P
P i
H' ;
N Ni Pi dimana:
s = Jumlah jenis Ni = Nilai penting jenis
N = Nilai penting seluruh jenis
Indeks kemerataan jenis dihitung dengan menggunakan indeks Pielou (Pielou index):
) (
ln S
H' E dimana:
H' = Indeks keanekaragaman Shannon
(32)
Hasil Kekayaan jenis
Hasil penelitian pada tiga plot berdasarkan tipe hutan, dengan luas masing-masing 0.24 ha, dijumpai sebanyak 117 jenis pohon dan 96 jenis pancang, 116 jenis semai, dan 121 jenis tumbuhan bawah, meliputi semak, herba, liana, dan paku-pakuan. Secara keseluruhan, dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan (129 marga dan 106 suku) (Tabel 3.2). Lebih dari 65% dari spesimen yang dikoleksi, dapat identifikasi sampai pada tingkat jenis, 20% pada tingkat marga, 5% pada tingkat suku, dan 2% tidak teridentifikasi.
Kurva kumulatif jenis pohon dan pancang pada tiga plot berdasarkan luas area yang diamati (Gambar 3.4), menunjukkan bahwa jumlah total jenis pohon dan pancang di hutan subpegunungan dan pegunungan atas memiliki jumlah yang sama pada area seluas 0.12 ha di hutan pegunungan bawah. Terlihat juga bahwa jumlah jenis di plot hutan pegunungan bawah masih terus mengalami peningkatan pada luas area 0.24 ha.
Tabel 3.2 Jumlah jenis, marga, dan suku seluruh jenis tumbuhan yang dijumpai pada setiap tipe hutan pegunungan
Tipe hutan Jumlah
Jenis Marga Suku
Hutan subpegunungan 98 69 49
Hutan pegunungan bawah 150 97 52
Hutan pegunungan Atas 82 57 44
Total 310 129 106
Gambar 3.4 Kurva kumulatif jenispohon dan pancang pada tiga plot penelitian. ̶●̶ hutan subpegunungan ,
̶■̶ hutan pegunungan bawah , ̶▲̶ hutan pegunungan atas
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 0.04 0.08 0.12 0.16 0.2 0.24 0.28
Jum
lah
jeni
s
(33)
16
Setiap tipe hutan yang diteliti memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang bervariasi. Kekayaan jenis tertinggi dijumpai di hutan pegunungan bawah, diikuti hutan subpegunungan, dan terendah di hutan pegunungan atas. Jika ditinjau berdasarkan tingkat pertumbuhan, hutan pegunungan bawah memiliki jumlah jenis pohon, pancang, dan semai tertinggi, masing-masing 61, 50, dan 57 jenis, sedangkan hutan pegunungan atas memiliki jumlah jenis pohon dan semai terendah (29 dan 31 jenis). Perbedaan terlihat pada jumlah jenis pancang, dimana hutan subpegununan memiliki jumlah jenis terendah (27 jenis).
Setiap tipe hutan memperlihatkan penurunan jenis dari pohon ke pancang dan meningkat kembali pada jenis semai. Secara keseluruhan, dijumpai sebanyak 13 dan 15 jenis tambahan untuk pancang dan semai di hutan subpegunungan; 21 dan 20 jenis pancang dan semai di hutan pegunungan bawah, dan 7 dan 12 jenis tambahan masing-masing untuk pancang dan semai di hutan pegunungan atas (Gambar 3.5).
‘
Hutan pegunungan bawah juga memiliki kekayaan jenis tertinggi untuk tumbuhan bawah (semak, herba, liana, dan paku-pakuan) dibandingkan dua tipe hutan lainnya. Jumlah jenis herba dan liana terendah dijumpai di hutan pegunungan atas, sedangkan jenis paku-pakuan terendah dijumpai di hutan subpegunungan. Perbedaan lainnya terlihat pada jenis semak yang hanya dijumpai di hutan pegunungan bawah (Gambar 3.6).
0 20 40 60 80 100 120
1 2 3
Jum
lah
jeni
s
Tipe hutan
Pohon (DBH ≥ 10 cm) Pancang (2 cm ≤ DBH < 10 cm) Semai
Total
HSP HPB HPA
Gambar 3.5 Jumlah jenis pohon, pancang, dan semai di hutan subpegunungan (HSP), hutan pegunungan bawah (HPB), dan hutan pegunungan atas (HPA).
(34)
Gambar 3.6 juga memperlihatkan jumlah jenis tertinggi di hutan subpegunungan dijumpai pada kelompok liana. Berbeda halnya dengan di hutan pegunungan bawah, dimana jumlah jenis tertinggi dijumpai pada kelompok herba dan paku-pakuan dengan jumlah yang sama. Sedangkan di hutan pegunungan atas, jumlah jenis tertinggi dijumpai pada kelompok paku-pakuan.
Jenis-jenis tumbuhan yang dijumpai dan distribusinya pada masing-masing tipe hutan yang diteliti disajikan pada Tabel 3.3 dan 3.4, sebagai berikut:
Tabel 3.3 Daftar jenis pohon, pancang, dan semai dan distribusinya pada tiga plot penelitian
No. Jenis
Distribusi
HSP HPB HPA
1 2 3 1 2 3 1 2 3 Adoxaceae
1 Viburnum sambucinum Bl. +
Anacardiaceae
2 Mangiferafoetida Lour. +
Annonaceae
3 Mitrephoramacrocarpa (Miq.) Weerasooriya & R.M.K.Saunders
+
4 Phaeanthus ebracteolatus (Presl.) Merr. + +
5 Annonaceae non det 1 +
6 Annonaceae non det 2 +
Apocynaceae
7 Alstonia spectabilis R.Br. + +
8 Tabernaemontana sphaerocarpa Bl. +
Aquifoliaceae
9 Ilex cymosa Blume + + +
10 Ilex celebensis Capit. + +
Araliaceae
11 Polyscias nodosa (Bl.) Seem. + + +
Arecaceae
12 Areca vestiaria Giseke + + +
13 Areca sp. + +
0 10 20 30 40 50 60
1 2 3
Jum
lah
jeni
s
Tipe hutan
Semak Herba Liana Pteridophyta Total
HSP HPB HPA
Gambar 3.6 Jumlah jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta. Hutan subpegunungan (HSP), hutan pegunungan bawah (HPB) bawah, hutan pegunungan atas (HPA)
(35)
18
No. Jenis
Distribusi
HSP HPB HPA
1 2 3 1 2 3 1 2 3
14 Arenga undulatifolia Merr. +
15 Pinanga caesia Blume + +
16 Oncosperma horridum (Griff.) Scheff. + +
Burseraceae
17 Canarium balsamiferum Willd. + +
18 Santiria apiculata A.W.Benn. + + +
Calophyllaceae
19 Calophyllum soualattri Burm.f. + + + +
Cannabaceae
20 Gironniera subaequalis Planch. + +
Cardiophyllaceae
21 Citronella suaveolens (Bl.) Howard +
Celastraceae
22 Lophopetalum beccarianum Pierre + + +
Clusiaceae
23 Garciniaparvifolia (Miq.) Miq. + +
24 Garcinia lateriflora Bl. + + +
25 Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz +
Cunnoniaceae
26 Weinmannia sp. +
Cyatheaceae
27 Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.) Hopel + + +
28 Cyathea sp. +
Daphniphyllaceae
29 Daphniphyllum gracile Gage +
Dicksoniaceae
30 Dicksonia blumei (Kunze) Moore + + + +
Elaeocarpaceae
31 Elaeocarpusmacropus Warb. ex R.Knuth subsp. thenui
Coode
+ +
32 Elaeocarpusangustifolius Blume +
33 Elaeocarpusmultiflorus (Turcz.) Fern.-Vill. + + +
34 Elaeocarpus sp.1 + + +
35 Elaeocarpus musseri Coode + + +
36 Elaeocarpus erdinii Coode + + +
37 Elaeocarpus steupii Coode + +
38 Elaeocarpus teysmannii Koord. & Valeton + +
39 Elaeocarpustrichopetalus Merr. & Quisumb. +
40 Elaeocarpus sp.2 +
Ericaceae
41 Vaccinium laurifolium Miq. + + +
42 Vaccinium sp.1 +
43 Vaccinium sp.2 +
44 Rhododendronkochii Stein + + +
45 Rhododendron sp. +
Escalloniaceae
46 Polyosma integrifolia Bl. +
47 Polyosma sp.1 +
48 Polyosma sp.2 + +
Euphorbiaceae
49 Macarangacostulata Pax & K.Hoffm. +
50 Homalanthus populneus (Geiseler) Pax +
51 Macaranga allorobinsonii Whitmore + +
52 Trigonopleura malayana Hook.f. + +
Fabaceae
53 Archidendronhavilandii (Ridley) L.C. Nielsen + +
54 Archidendron clyperia (Jack) I.C. Nielsen + +
55 Lithocarpuselegans (Bl.) Hatus. ex Soepadmo + +
56 Lithocarpusglutinosus (Bl.) Soepadmo + + +
57 Lithocarpuscaudatifolius (Merr.) Rehder +
58 Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder + + + + +
59 Lithocarpushavilandii (Stapf) Barnett + + +
60 Lithocarpusindutus Rehder +
61 Lithocarpusluteus Soepadmo + +
62 Lithocarpus sp.1 +
63 Lithocarpus sp.2 +
64 Castanopsisburuana Miq. + +
65 Trigonobalanus verticillata Forman +
Gentianaceae
66 Fagraea sp. + +
67 Fagraea racemosa Jack +
68 Fagraea blumei G.Don +
Gnetaceae
69 Gnetum gnemon L. + + +
(36)
No. Jenis
Distribusi
HSP HPB HPA
1 2 3 1 2 3 1 2 3 Ixonanthaceae
70 Ixonanthes petiolaris Bl. +
Icacinaceae
71 Platea excelsa Bl. var. borneensis (Heine) Sleum. + + +
72 Platea latifolia Bl. +
Lamiaceae
73 Callicarpa longifolia Lam. +
Lauraceae
74 Alseodaphne oblanceolata (Merr.) Kosterm + +
75 Cinnamomum subaveniopsis Kosterm. + + +
76 Cryptocaryacrassinerviopsis Kosterm. +
77 Cryptocarya densiflora Bl. + + +
78 Cryptocarya microcos Kosterm. + +
79 Cryptocarya sp. + +
80 Endiandra sulavesiana Kosterm. + +
81 Lindera novoguineensis Kosterm. +
82 Litsea ochracea (Bl.) Boerl. + +
83 Litsea firma Hook.f +
84 Litsea grandis Hook.f. + +
85 Litsealancifolia (Roxb. ex Ness) Benth. & Hook.f. Ex Villar
+
86 Litsea timoriana Span. +
87 Litsea formanii Kosterm. + +
88 Litsea furfuracea (Ness) Kosterm. +
89 Litsea ferruginea Blume + +
90 Neolitsea javanica (Bl.) Backer + + + + +
91 Persea rimosa Zoll. ex Meissn. +
Malvaceae
92 Sterculia insularis R.Br. +
Magnoliaceae
93 Magnoliacandollii (Bl.) H. Keng var. candollii + +
94 Magnolia carsonii Dandy ex Noot. var. carsonii +
Melastomataceae
95 Memecyon paniculatum Jack +
Meliaceae
96 Aglaiaangustifolia (Miq.) Miq. + +
97 Aglaia sp.1 + +
98 Dysoxylum alliaceum (Blume) Blume +
99 Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq. + + +
100 Dysoxylum sp. + +
Moraceae
101 Artocarpus teysmannii Miq. ssp. teysmannii + +
102 Ficus sp.1 +
103 Ficus crassiramea (Miq.) Miq. +
104 Ficus sp.2 +
105 Ficus sp.3 + +
106 Ficus sp.4 +
107 Ficus sp.5 +
108 Ficus hispida L.f. +
109 Ficussubulata Blume +
110 Ficus virgata Reinw. ex Blume + +
111 Ficus sp.6 +
Myristicaceae
112 Horsfieldia costulata (Miq.) Warb. + + +
Myrtaceae
113 Leptospermum recurvum Hook.f. +
114 Syzygiumacuminatissimum (Blume) DC. + +
115 Syzygium benjaminum Diels + +
116 Syzygium sp.1 +
117 Syzygium sp.2 + + +
118 Syzygium sp.3 + + +
119 Syzygium sp.4 +
120 Syzygium sp.5 + +
121 Syzygium sp.6 + + +
122 Syzygium sp.7 + + +
123 Syzygium sp.8 +
124 Syzygium sp.9 + +
125 Syzygium sp.10 +
126 Syzygium sp.11 +
127 Syzygium sp.12 +
128 Xanthomyrtus angustifolia A.J. Scott + + +
Oleaceae
129 Chionanthus pluriflorus (Knobl.) Kiew + + +
130 Chionanthus polygamus (Roxb.) Kiew + + +
(37)
20
No. Jenis
Distribusi
HSP HPB HPA
1 2 3 1 2 3 1 2 3
131 Oleaceae non det +
Pandaceae
132 Pandanussarasinorum Warb. + +
Paracryphiaceae
133 Quintinia apoensis Schltr. + + +
134 Sphenostemon papuanum (Lauterb.) Steenis & Erdtman
+ Pentaphylacaceae
135 Adinandra celebica Koord +
136 Adinandra sp.1 +
137 Adinandra sp.2 +
138 Ternstroemia sp. + + +
Phyllanthaceae
139 Antidesma riparium Airy Shaw ssp. riparium + +
140 Antidesma sp. +
141 Aporosalucida (Miq.) Airy Shaw +
Podocarpaceae
142 Dacrycarpusimbricatus (Bl.) de Laub. + + +
143 Dacrycarpussteupii (Wasscher) de Laub. + +
144 Phyllocladus hypophylla Hook.f. + + +
145 Podocarpus neriifolius D.Don + + +
146 Podocarpus pilgeri Foxw. +
Primulaceae
147 Ardisia copelandii Mez. +
148 Ardisiaelliptica Thunb. +
149 Ardisiaforbesii S.Moore + +
150 Ardisia sp. +
151 Myrsine involucrata (Mez) Pipoly + +
152 Myrsine minutifolia (Knoester, Wijn & Sleumer ) Pipoly
+ + +
153 Myrsine sp. +
Proteaceae
154 Helicia celebica Sleumer + +
155 Macadamia hildebrandii Steenis + +
Rosaceae
156 Prunusgrisea ( Blume ex Müll.Berol. ) Kalkman + + + + + +
157 Prunusarborea ( Blume ) Kalkman var. arborea + +
Rubiaceae
158 Lasianthusbiflorus (Blume) M.G.Gangop. & Chakrab. +
159 Lasianthus lucidus Blume +
160 Lasianthus reticulatus Blume +
161 Lasianthus rhinocerotis Blume +
162 Praraviniamindanaensis (Elmer) Bremek. + +
163 Psychotria celebica Miq. + + +
164 Psychotriamalayana Jack + + +
165 Psychotria sp. +
166 Timonius stipulosus Valeton +
167 Urophyllumarboreum (Reinw. ex Blume) Korth. + +
Rutaceae
168 Acronychiapedunculata (L.) Miq. + + + + +
169 Acronychiatrifoliolata Zoll. & Mor. + + +
170 Melicopeconfusa (Merr.) P.S. Liu + +
171 Tetractomia tetrandra (Roxb.) Merr. + + +
Sabiaceae
172 Meliosma sumatrana (Jack) Walp. + +
Sapindaceae
173 Acer laurinum Hassk. ex Miq. + +
174 Guioa hirsuta Welzen + +
175 Dictyoneura acuminata Blume +
176 Sapaindaceae non det + +
Sapotaceae
177 Palaquium obovatum (Griff.) Engl. var. orientale
H.J.Lam
+ +
178 Planchonella chartacea (F.Muell. Ex Benth.) H.J.Lam +
179 Pouteria firma (Miq.) Baehni + +
Simaroubaceae
180 Ailanthus sp. +
Salicaceae
181 Homalium foetidum Kurz. +
Staphyleaceae
182 Turpinia sphaerocarpa Hassk. +
Symplocaceae
183 Symplocos cochinchinensis (Lour.) S.Moore + +
184 Symplocos sp.1 +
(38)
No. Jenis
Distribusi
HSP HPB HPA
1 2 3 1 2 3 1 2 3
185 Symplocos sp.2 +
186 Symplocos sp.3
187 Symplocos sp.4 +
Trimeniaceae
188 Trimenia papuana Ridley + + +
Winteraceae
189 Tasmannia piperita Miers + +
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas; 1: pohon (dbh ≥10 cm); 2: pancang (2 cm ≤ dbh <10 cm); 3: semai; (+) = lokasi distribusi.
Tabel 3.4 Daftar jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta serta distribusinya pada tiga plot penelitian
No. Jenis Distribusi Kelompok
HSP HPB HPA
Alangiaceae
1 Alangium sp. + liana
Annonaceae
2 Fissistigma sp. + liana
Apocynaceae
3 Alyxia celebica DC. Middleton + liana
Araceae
4 Araceae non det 1 + herba
5 Anadendrum latifolium Hook.f + herba
6 Araceae non det 2 + herba
7 Araceae non det 3 + herba
8 Colocasia sp. + herba
9 Homalomenahumilis var. major (Hassk.) Furtado + herba
10 Pothos sp. + herba
11 Raphidophora sp.1 + herba
12 Raphidophora sp.2 + herba
13 Raphidophora sp.3 + herba
Araliaceae
14 Scheffleraserrata (Miq.) R.Vig. + herba
15 Schefflera sp. + herba
Arecaceae
16 Calamus sp.1 + herba
17 Calamus ornatus var. ornatus + herba
18 Calamuszollingeri Becc. + liana
19 Calamus sp.2 + herba
20 Calamus sp.3 + herba
21 Calamus sp.4 + herba
22 Calamus sp.5 + liana
23 Calamus sp.6 + liana
24 Calamus sp.7 + liana
25 Calamus sp.8 + liana
26 Korthalsia celebica Becc. + liana
Aristolochiaceae
27 Aristolochiaceae non det + liana
Asclepiadaceae
28 Hoya medium leaf + herba
29 Hoya mirophylla Schltr + herba
Aspleniaceae
30 Asplenium nidus L. + pteridophyta
31 Asplenium sp.1 + pteridophyta
32 Asplenium sp.3 + pteridophyta
33 Asplenium sp.4 + pteridophyta
34 Asplenium sp.2 + pteridophyta
35 Alsophilla sp. + pteridophyta
36 Aspleniaceae non det 1 + pteridophyta
37 Aspleniaceae non det 2 + pteridophyta
38 Asplenium sp.5 + pteridophyta
39 Asplenium sp.6 + pteridophyta
40 Asplenium sp.7 + pteridophyta
41 Asplenium polyodon G. Forst. + pteridophyta
42 Pyroscia sp. + pteridophyta
43 Asplenium sp.8 + pteridophyta
44 Asplenium sp.9 + pteridophyta
Asteraceae
45 Asteraceae non det + herba
Blechnaceae
46 Blechnum sp. + pteridophyta
(39)
22
No. Jenis Distribusi Kelompok
HSP HPB HPA
Chloranthaceae
47 Chloranthus elatior Link + semak
Cucurbitaceae
48 Trichosanthes sp. + herba
Cyatheaceae
49 Alsophila celebica (Blume) Mett. + pteridophyta
Davalliaceae
50 Davalliaceae non det + pteridophyta
Dennstaedtiaceae
51 Lindsaea sp.1 + pteridophyta
52 Lindsaea sp.2 + pteridophyta
53 Lindsaea sp.3 + pteridophyta
54 Lindsaea sp.4 + pteridophyta
55 Lindsaea sp.5 + pteridophyta
56 Lindsaea sp.6 + pteridophyta
57 Dennstaedtiaceae non det + pteridophyta
Dioscoreaceae
58 Dioscorea sp. + herba
59 Dioscoreakingii R.Knuth + herba
Fabaceae
60 Desmodiummegaphyllum Zoll. + liana
Gesneriaceae
61 Aeschynanthus sp.1 + herba
62 Aeschynanthus sp.2 + herba
63 Gesneriaceae non det 1 + herba
64 Gesneriaceae non det 2 + herba
65 Aeschynanthus burttii Mendum + liana
66 Agalmyla brownii (Koord.) B.L. Burtt + herba
Grammitidaceae
67 Grammitis sp. + pteridophyta
Hydrangeaceae
68 Dichroa febrifuga Lour. + semak
Hymenophyllaceae
69 Hymenophyllum sp. + pteridophyta
70 Hymenophyllumcavillare Desv. + pteridophyta
Lomariopsidaceae
71 Elaphoglossum sp. + pteridophyta
Lycopodiaceae
72 Huperzia sp. + pteridophyta
Maratheaceae
73 Ptisania sylvatica (Blume) Murdock. + pteridophyta
Melastomataceae
74 Medinilla sp. + liana
75 Sonerila pumila + herba
76 Melastomataceae non det + herba
Menispermaceae
77 Tinomisciumpetiolare Hook. f. & Thomson + liana
Moraceae
78 Ficus sp. + liana
Oleandraceae
79 Oleandraneriiformis Cav. + pteridophyta
Ophioglossaceae
80 Helminthostachys sp. + pteridophyta
Orchidaceae
81 Anoectochilus sp. + + herba
82 Arundina sp. + herba
83 Bulbophyllum sp. + herba
84 Goodyeralanceolate Ridl. + herba
Pandanaceae
85 Freycinetiadistigmata B.C. Stone + + liana
86 Freycinetiaciliris Martelli + liana
87 Freycinetiainermis Ridl. + liana
88 Freycinetia sp.1 + liana
89 Freycinetia sp.2 + liana
Piperaceae
90 Pipercanicum Blume + herba
91 Piper sp.1 + + herba
92 Piper sp.2 + herba
93 Piper sp.3 + herba
94 Piper sp.4 + herba
Poaceae
95 Dinochloabarbata S.Dransf. + liana
96 Racemobambos hirsuta Holttum + liana
97 Poaceae non det + + herba
Polypodiaceae
(1)
92
Lampiran 20 Topografi plot masing-masing tipe hutan pegunungan
Hutan subpegunungan
10-12 8-10 6-8 4-6 2-4 0-2 -2-0
Hutan pegunungan bawah
6-8 4-6 2-4 0-2 -2-0 -4--2 -6--4 -8--6
Hutan pegunungan atas
3-4 2-3 1-2 0-1 -1-0 -2--1 -3--2 -4--3
U
U
(2)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Popidolon pada tanggal 7 September 1981 dari ayah Hamarun K. Mangopo (Alm.) dan ibu Hamidja Lamuni. Penulis merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Hutan, Universitas Tadulako Palu, lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan studi di Program Studi Biologi Tumbuhan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009.
(3)
RINGKASAN
HARDIANTO MANGOPO. Karakteristik Ekologi Hutan Tropis
Pegunungan di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan SULISTIJORINI
Ekosistem hutan tropis pegunungan menutupi sekitar 21 persen hutan tropis dunia. Ekosistem ini memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dan memiliki fungsi ekologis, antara lain sebagai daerah tangkapan air habitat berbagai tumbuhan dan hewan endemik dan terancam punah. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menginventarisasi keanekaragaman jenis tumbuhan, 2) serta mempelajari komposisi komunitas vegetasi dan struktur hutan pegunungan di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Penelitian ini dilakukan pada tiga tipe hutan pegunungan, yaitu hutan subpegunungan (900 m dpl) di Watukilo, hutan pegunungan bawah ( 1 500 m dpl) di Torongkilo, dan hutan pegunungan atas (2 300 m dpl) di Torenali sekitar 1.5 km dari puncak gunung Rorekatimbu. Inventarisasi dan identifikasi jenis tumbuhan dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Juli 2012, dengan ukuran plot pengamatan seluas 40 m x 60 m (0.24 ha) pada setiap tipe hutan yang dibagi menjadi 24 subplot berukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran pohon (termasuk palm dan paku pohon) dengan diameter setinggi dada (dbh) ≥10 cm (pada tinggi 1.3 m). Setiap subplot 10 m x 10 m terdapat subplot berukuran 5 m x 5 m untuk pengukuran pancang (2 cm ≤ dbh < 10 cm), dan pengamatan semai
(tinggi ≤1.5 m) dan tumbuhan bawah dilakukan pada subplot berukuran 2 m x 2 m
yang terdapat dalam setiap subplot 5 m x 5 m.
Total jenis yang dijumpai pada seluruh plot sebanyak 310 jenis, tergolong dalam 129 marga dan 106 famili. Plot di hutan pegunungan bawah memiliki jumlah jenis terbanyak (61 jenis pohon, 51 jenis pancang, 57 jenis semai, dan 56 jenis tumbuhan bawah), diikuti hutan subpegunungan dan pegunungan atas. Hasil analisis indeks keanekaragaman Shannon menunjukkan bahwa seluruh tipe hutan yang diteliti memiliki keanekaragaman jenis sedang sampai tinggi (2 < H' < 4), serta memiliki indeks kesamaan Sørensen yang rendah (<10%). Seluruh jenis yang dijumpai, hanya Lithocarpus celebicus (Fagaceae) yang terdapat pada tiga tipe hutan.
Hutan subpegunungan didominasi jenis Castanopsis buruana (Fagaceae),
Gironniera subaequalis (Cannabaceae), dan Santiria apiculata (Burseraceae), pancang didominasi C. buruana, S. apiculata, dan Praravinia mindanaensis
(Rubiaceae), semai didominasi Antidesma riparium subsp. riparum
(Phyllanthaceae), Cryptocarya densiflora (Lauraceae), dan S. apiculata, dan tumbuhan bawah didominasi jenis Calamus sp.1 (Arecaceae), Ziziphus angustifolia (Rhamnaceae), dan Dioscorea kingii (Dioscoreaceae). Jenis Platea excelsa var. borneensis (Icacinaceae), Elaeocarpus sp.1 (Elaeocarpaceae), dan
Magnolia carsonii var. carsonii (Magnoliaceae) merupakan jenis dominan di hutan pegunungan bawah, pancang didominasi Lophopetalum beccarianum
(Celastraceae), Ardisia forbesii (Primulaceae), dan Cyathea contaminans
(Cyatheaceae), semai didominasi Calophyllum soualattri (Calophyllaceae),
(4)
Calamus spp. (Arecaceae), sedangkan hutan pegunungan atas didominasi jenis
Phyllocladus hypophylla (Podocarpaceae) diikuti Dacrycarpus steupii
(Podocarpaceae) dan Lthocarpus havilandii (Fagaceae), pancang didominasi
Trimenia papuana (Trimeniaceae), Tasmannia piperita (Winteraceae), dan
Myrsine minutifolia (Primulaceae), semai didominasi M. minutifolia, Q. apoensis
(Paracryphiaceae), dan T. piperita, dan tumbuhan bawah didominasi Sonerilla pumila (Melastomataceae), Blechnum sp. (Blechnaceae), dan Davalliaceae non det.
Seluruh tipe hutan yang diteliti juga disusun oleh famili dominan yang berbeda. Pohon dan pancang didominasi Fagaceae, sedangkan semai dan tumbuhan bawah masing-masing didominasi Lauraceae dan Arecaceae. Pohon, pancang, semai, dan tumbuhan bawah di hutan pegunungan bawah masing-masing didominasi Icacinaceae, Lauraceae, Calophyllaceae, dan Arecaceae, sedangkan hutan pegunungan atas masing-masing didominasi Podocarpaceae, Trimeniaceae, Primulaceae, dan Melastomataceae. Lauraceae merupakan famili dengan jumlah jenis tertinggi (18 jenis), diikuti Myrtaceae (16 jenis), dan Fagaceae (11 jenis).
Kerapatan pohon mengalami peningkatan dengan bertambahnya ketinggian tempat. Hutan pegunungan atas memiliki kerapatan pohon dan pancang tertinggi, diikuti hutan pegunungan bawah, dan hutan subpegunungan, namun berbeda halnya dengan semai dan tumbuhan bawah. Selain itu, hutan pegunungan atas memiliki rata-rata tinggi pohon yang lebih rendah dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya (15 m), sedangkan antara hutan subpegunungan dan pegunungan bawah memiliki rata-rata tinggi pohon yang hampir sama (20 m).
Individu pohon dengan kelas diameter lebih kecil memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan diameter yang lebih besar, khususnya di hutan subpegunungan dan pegunungan atas. Selain hal tersebut, tidak dijumpai individu pohon dengan diameter lebih dari 70 cm di hutan pegunungan atas dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya. Secara keseluruhan, basal area tertinggi dijumpai di hutan subpegunungan (46.76 m2/ha), diikuti hutan pegunungan bawah (44.42 m2/ha), dan hutan pegunungan atas (38.28 m2/ha).
Kata kunci: Hutan pegunungan, keanekaragaman jenis, komposisi komunitas, struktur hutan, Sulawesi
(5)
SUMMARY
HARDIANTO MANGOPO. Ecological Characteristics of Tropical Montane Forest in Lore Lindu National Park Central Sulawesi. Supervised by IBNUL QAYIM and SULISTIJORINI
Tropical montane forest ecosystem making up 21 percent of the total area of the world’s tropical forest. This ecosystem has high level of species diversity, constributes positively to the water catchment, and provides an essential habitat for many endemic and threatened plant and animal species. The objectives of this research were 1) to determine plant species diversity, 2) to study composition of vegetation community and tropical montane forest structures.
This study was conducted at three primary forest sites were located in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. The first site was located in Watukilo at 900 m asl, the second site was in Torongkilo at 1 500 m asl, and the third site was in Torenali at 2 300 m asl around 1.5 km to peak of Mount Rorekatimbu. All sites are submontane forest, lower montane forest, and upper montane forest respectively. Plot-based plant inventory and identification were carried out in the period of July 2011 to July 2012. Plot size was 40 m x 60 m (0.24 ha) devided up into a 10 m x 10 m grid. All trees of diameter at breast height (dbh) ≥10 cm (at 1.3 m). Within each of the 10 m x 10 m, one 5 m x 5 m-sized subplot was surveyed
(0.06 ha per plot) to study saplings (2 cm ≤ dbh < 10 cm), and one 2 m x 2
m-sized subplot (0.024 ha) to additionaly study understorey vegetation in each of the 5 m x 5 m subplot.
We recorded a total 310 plant species belonging to 129 genera and 106 families in all forest types. Lower montane forest has the highest species richness (61 tree species, 51 sapling species, 57 seedling species, and 56 understorey plant species), followed by submontane forest and upper montane forest. Shannon diversity index showed that all forest types in this study has moderate to high in species diversity (2 < H' < 4), and has low similarity in species composition with the similarity <10% (Sørensen index). Among the species recorded, only one species that found in all three forest types, i.e. Lithocarpus celebicus (Fagaceae).
In submontane forest, the most dominant tree species were Castanopsis buruana (Fagaceae), Gironniera subaequalis (Cannabaceae) and Santiria apiculata (Burseraceae), while the most dominant saplings were C. buruana, S. apiculata and Praravinia mindanaensis (Rubiaceae). For seedlings and understorey, the most dominant species were Antidesma riparium subsp. riparum
(Phyllanthaceae) and Calamus sp.1 (Arecaceae), respectively. In lower montane forest, the most dominant tree species were Platea excelsa var. borneensis
(Icacinaceae), Elaeocarpus sp.1 (Elaeocarpaceae) and Magnolia carsonii var.
carsonii (Magnoliaceae), while the most dominant saplings were Lophopetalum beccarianum (Celastraceae), Ardisia forbesii (Primulaceae) and Cyathea contaminans (Cyatheaceae). For seedlings and understorey, the most dominant species were Calophyllum soualattri (Calophyllaceae) and Calamus sp.5,
respectively. In upper montane forest, the most dominant tree species were
Phyllocladus hypophylla (Podocarpaceae), Dacrycarpus steupii (Podocarpaceae) and Lithocarpus havilandii (Fagaceae), while the most dominant saplings were
Trimenia papuana (Trimeniaceae), Tasmannia piperita (Winteraceae) and
(6)
dominant species were Myrsine minutifolia (Primulaceae) and Sonerilla pumila
(Melastomataceae), respectively.
There was major differences of community composition at the family level among all three forest types. Trees and saplings in submontane was dominated by Fagaceae. Seedlings and understorey plants were dominated by Lauraceae and Arecaceae. Trees, sapling, seedlings, and understorey plants in lower montane forest were dominated by Icacinaceae, Lauraceae, Calophyllaceae and Arecaceae respectively, while upper montane forest Podocarpaceae was the most dominant family, whereas saplings, seedlings, and understorey dominated by Trimeniaceae, Primulaceae and Melastomataceae respectively. Lauraceae has highest number of species (18 species), followed by Myrtaceae (16 species), and Fagaceae (11 species).
Tree density increased with increasing elevation. Upper montane forest had highest tree density, followed by lower montane and submontane forest. The difference was found in the average tree height, escpecially in upper montane that had lowest tree height (15 m), however submontane and lower montane forest had similar average tree height (20 m).
Trees with smaller stem diameter had higher density than trees with larger stem diameter, especially in submontane and upper montane forest. Moreover, there were no trees more than 70 cm stem diameter in upper montane forest than two others forest types. The highest basal area of stem found in submontane (46.76 m2/ha), followed by lower montane forest (44.42 m2/ha), and upper montane forest (38.28 m2/ha).
Keywords: Community composition, forest structure, montane forest, species diversity, Sulawesi