KOMPOSISI DAN STRUKTUR HUTAN TROPIS PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL

Pendahuluan Ekosistem hutan pegunungan memiliki peranan penting, antara lain sebagai daerah tangkapan air Göltenboth et al. 2006, dan habitat berbagai jenis tumbuhan dan hewan endemik dan terancam punah Hostettler 2002. Eksosistem hutan ini termasuk salah satu ekosistem yang sangat terancam dengan luas area yang semakin menurun Doumenge et al. 1995. Sebagai akibat deforestasi, Sulawesi kehilangan sekitar 80 hutan primer, dan saat ini tersisa hanya sekitar 20 yang tersebar di pegunungan dan areal konservasi Cannon et al. 2007. Sulawesi merupakan bagian dari wilayah biogeografi Wallaceae, salah satu biodiversity hotspots di Palaeotropik Myers et al. 2000; Sodhi et al. 2004. Hasil survei keanekaragaman jenis dan endemisitas tumbuhan pada lima pulau besar di kawasan Malesia, menempatkan Sulawesi pada tingkat menengah Roos et al. 2004. Cannon et al. 2007 mengungkapkan bahwa hal ini berkaitan dengan rendahnya jumlah koleksi tumbuhan yang dari pulau ini dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia, serta terbatasnya studi taksonomi. Penelitian terkait hutan tropis pegunungan di Sulawesi masih sangat terbatas. Komposisi jenis vegetasi dan struktur hutan tropis pegunungan di Sulawesi Tengah, khususnya di TN. Lore Lindu hubungannya dengan perubahan ketinggian hanya diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan Culmsee Pitopang 2009, Culmsee et al 2010; 2011, pada ketinggian 1 050 m, 1 400 m, 1 800 m, dan 2 400 m dpl. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mempelajari komposisi komunitas vegetasi dan struktur hutan subpegunungan, pegunungan bawah, dan pegunungan atas pada ketinggian 900 m, 1 500 m, dan 2 300 m dpl. Bahan dan Metode Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan primer TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah, masing-masing di Watukilo S 01°61.5, E 120°07.4, Torongkilo S 01°41.5, E 120°27.9, dan Torenali S 01°28.6, E 120°31.2. Peta lokasi dan letak plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1. Ketiga plot penelitian masing-masing berada pada zona hutan subpegunungan pada ketinggian 900 m dpl di Watukilo, hutan pegunungan bawah pada ketinggian 1 500 m dpl di Torongkilo, dan hutan pegunungan atas pada ketinggian 2 300 m dpl di Torenali, yang dipilih pada areal dengan kondisi topografi cukup yang datar dan belum ada tanda-tanda aktivitas manusia. Menurut Cannon et al. 2007, kondisi hutan di lokasi penelitian tergolong dalam hutan primer dengan kondisi baik. Karakteristik dan topografi masing-masing plot penelitian disajikan pada Tabel 3.1 dan Lampiran 20. Pengumpulan data vegetasi Pengamatan vegetasi dilakukan pada plot penelitian dengan menggunakan metoda kuadrat Mueller-Dumbois Ellenberg 1974. Pada setiap tipe hutan pegunungan dibuat plot berukuran 40 m x 60 m 0.24 ha Culmsee et al. 2011. Setiap plot dibagi dalam 24 subplot, masing-masing berukuran 10 m x 10 m untuk pengumpulan data pohon termasuk palem dan paku pohon dengan diameter setinggi dada dbh ≥10 cm yang diukur pada tinggi 1.3 m. Pengumpulan data pancang 2 cm ≤ dbh 10 cm dilakukan pada subplot berukuran 5 m x 5 m yang terdapat dalam setiap subplot 10 m x 10 m, sedangkan data semai tinggi total ≤1.5 m dan tumbuhan bawah termasuk paku-pakuan dilakukan dalam subplot berukuran 2 m x 2 m yang terdapat dalam setiap subplot 5 m x 5 m. Bentuk dan ukuran plot penelitian disajikan pada Gambar 3.3. Diameter pohon dan pancang diukur menggunakan pita diameter diameter tape, dan tingginya diukur menggunakan vertex III dengan transpoder T360° Harglöf, Långsele, Sweden. Setiap individu pohon dan pancang ditandai menggunakan label permanen, dan dilakukan pencatatan nama jenis dan suku jika diketahui serta karakter morfologi, antara lain kulit batang dan getah jika ada. Contoh daun, bunga dan buah jika ada dikoleksi sebanyak tujuh duplikat untuk kepentingan identifikasi dan koleksi herbarium yang disimpan di Herbarium Celebense CEB, Herbarium Bogoriense BO, Herbarium Göttingen GOET, dan Herbarium Leiden L. Identifikasi jenis tumbuhan Identifikasi dilakukan pada 310 jenis tumbuhan, meliputi pohon dan pancang, semai, dan tumbuhan bawah semak, herba, liana, dan paku-pakuan yang dijumpai dalam plot penelitian. Identifikasi jenis dilakukan menggunakan buku identifikasi, antara lain Flora Malesiana, dan Flora of Java, serta koleksi spesimen tumbuhan di Herbarium Bogoriense, Herbarium Göettingen, dan Herbarium Leiden sebagai referensi, dengan sistem tata nama nomenclature jenis mengikuti International Plant Name Index IPNI 2012. Spesimen yang tidak terdentifikasi sampai tingkat marga atau jenis, seperti Myrtaceae, Arecaceae, dan beberapa suku lain dipisahkan berdasarkan karakter morfologi. Analisis data Setiap jenis tumbuhan dihitung nilai kerapatan K, kerapatan relatif KR, frekuensi F, frekuensi relatif FR, dominasi D, dominasi relatif DR, basal area BA, dan indeks nilai penting INP menggunakan formula Cox 1996, sebagai berikut: Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis Luas plot Kerapatan relatif = Kerapatan suatu jenis Kerapatan seluruh jenis x 100 Frekuensi = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah seluruh plot x 100 Frekuensi relatif = Frekuensi suatu jenis Frekuensi seluruh jenis x 100 Dominasi = Basal area suatu jenis Luas plot ; Basal area = 1 4 π dbh 2 Dominasi relatif = Dominasi suatu jenis Dominasi seluruh jenis x 100 Dominasi setiap jenis pohon dan pancang diperoleh dari perbandingan basal area dan luas plot, sedangkan untuk semai dan tumbuhan bawah iperoleh dari perbandingan persentase penutupan dan luas plot contoh Tabel 4.1. Kelas penutupan Kisaran penutupan Nilai tengah 1 0.0 – 0.5 0.25 2 0.5 – 1.5 1.00 3 1.5 – 3.0 2.25 4 3.0 – 5.0 4.00 5 5.0 – 12.5 8.75 6 12.5 – 25.0 18.75 7 25.0 – 50.0 37.50 8 50.0 – 75.0 62.50 9 75.0 – 100.0 87.50 Perhitungan penutupan: penutupan jenis A = ≠ subplot kelas penutupan 1 0.25 + ≠ subplot kelas penutupan 2 1.00 + ≠ subplot kelas penutupan 3 2.25 + ≠ subplot kelas penutupan 4 4.00 + ≠ subplot kelas penutupan 5 8.75 + ≠ subplot kelas penutupan 6 18.75 + ≠ subplot kelas penutupan 7 37.50 + ≠ subplot kelas penutupan 8 62.50 + ≠ subplot kelas penutupan 9 87.50 ÷ jumlah total subplot Indeks nilai penting INP untuk setiap jenis tumbuhan diperoleh dari penjumlahan kerapatan relatif KR, frekuensi relatif FR, dan dominasi relatif DR. Selain nilai penting jenis, dilakukan pula perhitungan nilai penting suku NPS berdasarkan formula Mori et al. 1983, sebagai berikut: Keanekaragaman relatif = Jumlah jenis suatu suku Jumlah total jenis x 100 Kerapatan relatif = Jumlah individu suatu suku Jumlah total individu x 100 Dominasi relatif = Jumlah basal area suatu suku Jumlah total basal area x 100 Nilai penting setiap suku diperoleh dari penjumlahan keanekaragaman relatif, kerapatan relatif, dan dominasi relatif. Kesamaan jenis antara setiap tipe hutan yang diteliti dihitung menggunakan indeks Sørensen berdasarkan formula Wildi 2010, sebagai berikut: Tabel 4.1 Kelas penutupan yang dimodifikasi dari Daubenmire 1959 dan Wildi 2010 Ss = 2a 2a + b + c dimana: Ss = Indeks kesamaan Sørensen a = Jumlah jenis yang sama terdapat pada plot 1 dan 2 b = Jumlah jenis yang hanya terdapat pada plot 1 c = Jumlah jenis yang hanya terdapat pada plot 2 Diameter pancang dan pohon dikelompokkan dalam sembilan kelas diameter, terdiri dari kelas diameter 2.0-9.9 cm, 10.0-19.9 cm, 20.0-29.9 cm, 30.0- 39.9 cm, 40.0-49.9 cm, 50.0-59.9 cm, 60.0-69.9 cm, 70.0- 79.9 cm, ≥80 cm untuk mengetahui tipe regenerasi setiap tipe hutan yang diteliti. Selain itu, dilakukan pula perhitungan persentase jumlah individu berdasarkan kelas tinggi, terdiri dari kelas tinggi 10.0 m, 10.0-19.9 m, 20.0-29.9 m, 30.0- 39.9 cm, dan ≥40 m. Hasil Komposisi komunitas Dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 129 marga dan 106 suku, masing-masing 117 jenis pohon, 96 jenis pancang, 116 jenis semai, dan 121 jenis tumbuhan bawah pada seluruh tipe hutan yang diteliti. Jumlah jenis dan suku tertinggi diperoleh di hutan pegunungan bawah pada ketinggian 1 500 m dpl, dan terendah di hutan pegunungan atas pada ketinggian 2 300 m dpl Bab 3. Hasil analisis kesamaan jenis Sørensen antara tiga tipe hutan pada setiap kategori pohon, pancang, semai, dan tumbuhan bawah diperoleh indeks kesamaan jenis dengan nilai berkisar dari 0.000 sampai 0.086 Tabel 4.2. I n d e k s k e s a m a a n Tipe hutan HSP HPB HPA Pohon HSP ̶ 0.085 0.008 HPB 0.915 ̶ 0.044 HPA 0.992 0.956 ̶ Pancang HSP ̶ 0.080 0.000 HPB 0.092 ̶ 0.052 HPA 1.000 0.948 ̶ Semai HSP ̶ 0.062 0.000 HPB 0.938 ̶ 0.023 HPA 1.000 0.977 ̶ Tumbuhan bawah HSP ̶ 0.086 0.000 HPB 0.914 ̶ 0.000 HPA 1.000 1.000 ̶ I n d e k s k e t i d a k s a m a a n a HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas. Tabel 4.2 Indeks kesamaan dan ketidaksamaan jenis indeks Sørensen antara tiga tipe hutan pegunungan Secara keseluruhan, ketiga tipe hutan yang diteliti hanya disusun oleh satu jenis yang sama, yaitu L. celebicus Fagaceae, 15 jenis yang sama antara hutan subpegunungan dan pegunungan bawah, yaitu Elaeocarpus erdinii Elaeocarpaceae, L. celebicus, Archidendron clyperia Fabaceae, Cryptocarya densiflora Lauraceae, Chionanthus pluriflorus, C. polygamus Oleaceae, Podocarpus neriifolius Podocarpaceae, Prunus grisea Rosaceae, Psychotria malayana Rubiaceae, Acronychia pedunculata Rutaceae, Acer laurinum Sapindaceae, Anoestochilus sp. Orchidaceae, Piper sp.1 Piperac., Smilax perfoliata Smilaxaceae, dan Cayratia corniculata Vitaceae, dan dua jenis yang sama antara hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas, yaitu Neolitsea javanica Lauraceae dan L. celebicus. Sepuluh jenis pohon, pancang, semai, dan tumbuhan bawah dominan penyusun tiga tipe hutan pegunungan disajikan pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5, dan 4.6. Jenis pohon di hutan subpegunungan di Watukilo di dominasi C. buruana Fagaceae dengan nilai penting sebesar 23.3 dari total INP. Jenis dominan lainnya, yaitu Gironniera subaequalis Cannabaceae dan Santiria apiculata Burseraceae. Jenis C. buruana juga masih merupakan jenis dominan utama pada kategori pancang 26.9 dari total INP, diikuti S. apiculata, dan Gnetum gnemon Gnetaceae. Semai didominasi jenis A. riparium subsp. riparium Phyllanthaceae, diikuti Cryptocarya densiflora, dan Litsea formanii Lauraceae, sedangkan jenis tumbuhan bawah didominasi jenis Calamus sp.1 Arecaceae, Ziziphus angustifolius Rhamnaceae, dan Dioscorea kingii Dioscoreaceae Lampiran 1, 2, 3, dan 4. Hutan pegunungan bawah di Torongkilo didominasi jenis P. excelsa var. borneensis Icacin. dengan nilai penting 12.9 dari total INP, diikuti Elaeocarpus sp.1 Elaeocarpaceae, dan Magnolia carsonii var. carsonii Magnoliaceae pada kategori pohon, sedangkan kategori pancang didominasi jenis L. beccarianum, Ardisia forbesii Primulaceae, dan Cyathea contaminans Cyath.. Kategori semai didominasi jenis C. soualattri Calophyllaceae, diikuti P. excelsa var. borneensis, dan A. forbesii, dan kategori tumbuhan bawah didominasi jenis Calamus sp.5, C. zollingeri, dan Calamus sp.6 Arecaceae Lampiran 5, 6, 7, dan 8. Hutan pegunungan atas di Torenali didominasi jenis P. hypophylla Podocarpaceae, dengan nilai penting 23.4 dari total INP, diikuti Dacrycarpus steupii Podocarpaceae, dan Lithocarpus havilandii Fagaceae pada kategori pohon, sedangkan pancang didominasi jenis T. papuana Trimeniaceae, Tasmannia piperita Winteraceae, dan Myrsine minutifolia Primulaceae. Semai didominasi jenis M. minutifolia, diikuti Quintinia apoensis Parachrypiaceae, dan Areca sp. Arecaceae, dan kategori tumbuhan bawah didominasi jenis S. pumila Melast. , Blechnum sp. Blechnaceae, dan Davalliaceae non det. Lampiran 9, 10, 11, dan 12 Tabel 4.3 Sepuluh jenis pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan No. Jenis KR FR DR INP Hutan subpegunungan 900 m dpl 1 Castanopsis buruana Miq. 24.84 13.92 31.08 69.83 2 Gironniera subaequalis Planch. 9.80 9.57 5.67 25.04 3 Santiria apiculata A.W.Benn. 11.11 9.57 4.15 24.83 4 Ixonanthes petiolaris Bl. 3.92 5.22 15.31 24.45 5 Trigonopleura malayana Hook.f. 6.54 8.7 5.31 20.54 6 Gnetum gnemon L. 7.19 8.7 1.77 17.66 7 Litsea formanii Kosterm. 3.27 4.35 9.92 17.54 8 Trigonobalanus verticillata Forman 3.92 2.61 6.36 12.89 9 Syzygium sp.3 3.27 4.35 1.94 9.56 10 Artocarpus teysmannii Miq. subsp. teysmannii 1.96 2.61 4.78 9.35 Jenis lain 23 jenis 154.2 30.45 13.69 68.3 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 Hutan pegunungan bawah 1 500 m dpl 1 Platea excelsa Bl. var. borneensis Heine Sleum. 14.19 10.42 14.03 38.64 2 Elaeocarpus sp.1 4.52 4.17 9.47 18.15 3 Magnolia carsonii Dandy ex Noot. var. carsonii 2.58 2.08 12.14 16.80 4 Pouteria firma Miq. Baehni 3.87 4.17 5.59 13.63 5 Tetractomia tetrandra Roxb. Merr. 4.52 4.86 2.12 11.49 6 Calophyllum soulattri Burm. f. 3.23 3.47 4.02 10.72 7 Pandanus sarasinorum Warb. 3.87 4.17 0.97 9.01 8 Syzygium acuminatissimum Blume 1.94 1.39 5.14 8.47 9 Platea latifolia Bl. 3.23 2.78 2.42 8.43 10 Syzygium sp.2 1.94 2.08 3.92 7.93 Jenis lain 51 jenis 56.28 60.30 40.18 156.74 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 Hutan pegunungan atas 2 300 m dpl 1 Phyllocladus hypophylla Hook.f. 23.42 14.03 32.75 70.20 2 Dacrycarpus steupii Wasscher 10.81 9.76 19.33 39.90 3 Lithocarpus havilandii Stapf Barnett 6.76 7.93 12.73 27.41 4 Quintinia apoensis Schltr. 8.11 8.54 4.49 21.13 5 Trimenia papuana Ridley 7.21 6.10 2.62 15.93 6 Syzygium sp.5 5.86 5.49 4.24 15.59 7 Neolitsea javanica Bl. Backer 5.41 6.71 1.48 13.59 8 Dacrycarpus imbricatus Bl. de Laub. 3.60 4.27 5.16 13.03 9 Xanthomyrtus angustifolia A.J. Scott 4.95 6.10 1.89 12.95 10 Elaeocarpus steupii Coode 4.05 4.27 2.29 10.62 Jenis lainnya 19 jenis 19.80 26.84 13.01 59.65 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 a KR: kerapatan relatif ; FR: frekuensi relatif ; DR: dominasi relatif ; INP: indeks nilai penting . Tabel 4.4 Sepuluh jenis pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan No. Jenis KR FR DR INP Hutan subpegunungan 900 m dpl 1 Castanopsis buruana Miq. 34.58 7.94 38.08 80.59 2 Santiria apiculata A.W.Benn. 11.21 15.87 7.21 34.30 3 Praravinia mindanaensis Elmer Bremek. 13.08 14.29 5.45 32.82 4 Gnetum gnemon L. 6.54 9.52 10.00 26.07 5 Horsfieldia costulata Miq. Warb. 4.67 4.76 6.26 15.69 6 Gironniera subaequalis Planch. 3.74 6.35 4.39 14.48 7 Oncosperma horridum Griff. Scheff. 2.80 3.17 7.66 13.64 8 Lindera novoguineensis Kosterm. 3.74 4.76 4.69 13.19 9 Syzygium sp.3 2.80 4.76 3.23 10.79 10 Lithocarpus elegans Bl. Hatus. ex Soepadmo 1.87 3.17 0.54 5.58 Jenis lain 15 jenis 14.89 25.43 12.53 52.86 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 Hutan pegunugan bawah 1 500 m dpl 1 Lophopetalum beccarianum Pierre 10.74 10.19 10.46 31.39 2 Ardisia forbesii S.Moore 8.26 7.41 5.28 20.95 3 Cyathea contaminans Wall. ex Hook. 4.13 3.70 10.68 18.52 4 Calophyllum soualattri Burm. f. 7.44 4.63 5.51 17.58 5 Dicksonia blumei Kunze Moore 4.13 4.63 8.35 17.11 6 Urophyllum arboreum Reinw. ex Blume 6.61 5.56 3.46 15.63 7 Platea excelsa Bl. var. borneensis Heine 4.96 5.56 2.98 13.50 8 Tetractomia tetrandra Roxb. Merr. 3.31 3.70 3.59 10.60 9 Macadamia hildebrandii Steenis 2.48 2.78 5.30 10.56 10 Litsea ochracea Bl. Boerl. 1.65 1.85 4.77 8.27 Jenis lain 40 jenis 43.88 47.32 35.61 127.61 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 Hutan pegunungan atas 2 300 m dpl 1 Trimenia papuana Ridley 18.91 15.45 22.17 56.52 2 Tasmannia piperita Miers 18.91 12.20 11.87 42.97 3 Myrsine minutifolia Knoester. Wijn Sleumer Pipoly 5.97 8.13 8.29 22.39 4 Myrsine involucrata Mez Pipoly 7.46 8.13 6.69 22.28 5 Quintinia apoensis Schltr. 7.46 8.13 6.18 21.78 6 Lithocarpus havilandii Stapf Barnett 6.97 6.50 7.75 21.22 7 Phyllocladus hypophylla Hook.f. 6.47 7.32 6.03 19.81 8 Neolitsea javanica Bl. Backer 6.47 7.32 5.85 19.64 9 Xanthomyrtus angustifolia A.J. Scott 3.98 4.88 5.50 14.36 10 Psychotria celebica Miq. 3.98 3.25 4.05 11.28 Jenis lain 17 jenis 13.48 18.67 15.64 47.76 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 a KR: kerapatan relatif ; FR: frekuensi relatif ; DR: dominasi relatif ; INP: indeks nilai penting . Tabel 4.5 Sepuluh jenis semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan No. Jenis KR FR DR INP Hutan subpegunungan 900 m dpl 1 Antidesma riparium Airy Shaw subsp. riparium 9.19 6.29 16.36 31.84 2 Cryptocarya densiflora Blume 15.19 10.06 3.01 28.27 3 Santiria apiculata A.W.Benn. 9.89 8.81 6.85 25.55 4 Calophyllum soualattri Burm.f. 0.71 1.26 15.00 16.97 5 Annonaceae non det 1 0.71 1.26 14.83 16.79 6 Litsea formanii Kosterm. 8.13 6.92 0.83 15.87 7 Archidendron clypearia Jack I.C.Nielsen 3.89 3.14 6.50 13.53 8 Litsea fulva Blume VILLAR 5.65 5.66 0.53 11.85 9 Cryptocarya microcos Kosterm. 6.36 4.40 0.59 11.35 10 Dictyoneura acuminata Blume 2.47 3.14 5.67 11.29 Jenis lain 29 jenis 37.78 49.07 29.86 116.68 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 Hutan pegunugan bawah 1 500 m dpl 1 Calophyllum soualattri Burm.f. 40.92 8.00 12.15 61.07 2 Platea excelsa Blume 9.08 8.45 5.42 22.94 3 Ardisia forbesii S.Moore 4.88 6.23 9.44 20.54 4 Syzygium sp.7 8.67 9.34 2.32 20.33 5 Lasianthus rhinocerotis Blume 2.98 3.56 13.51 20.05 6 Lasianthus biflorus Blume M.G.Gangop. Chakrab. 3.52 3.56 10.75 17.83 7 Syzygium sp.2 7.05 6.23 2.94 16.21 8 Areca vestiaria Giseke 3.12 7.11 4.77 15.00 9 Pandanus sarasinorum Warb. 1.63 3.11 7.48 12.22 10 Podocarpus neriifolius D.Don 1.90 4.45 2.91 9.26 Jenis lain 47 jenis 16.25 39.87 28.33 84.61 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 Hutan pegunungan atas 2 300 m dpl 1 Myrsine minutifolia Knoester. Wijn Sleumer Pipoly 25.57 10.95 15.59 52.10 2 Quintinia apoensis Elmer Schltr. 7.01 5.97 18.87 31.85 3 Tasmannia piperita Hook. f. Miers 9.28 6.97 8.08 24.32 4 Areca sp. 4.52 6.97 10.31 21.80 5 Psychotria celebica Miq. 7.01 7.96 6.80 21.77 6 Lithocarpus havilandii Stapf Barnett 2.94 3.48 9.22 15.64 7 Dacrycarpusimbricatus Blume 3.62 4.48 6.08 14.18 8 Acronychia trifoliata Zoll. Moritzi 3.17 4.98 4.42 12.56 9 Podocarpus pilgeri Foxw. 2.04 3.48 5.66 11.17 10 Phyllocladus hypophyllus Hook.f. 5.66 4.48 1.00 11.13 Jenis lain 21 jenis 29.19 40.33 13.99 83.42 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 a KR: kerapatan relatif ; FR: frekuensi relatif ; DR: dominasi relatif ; INP: indeks nilai penting . No. Jenis KR FR DR INP Hutan subpegunungan 900 m dpl 1 Calamus sp.1 18.32 12.66 41.22 72.20 2 Ziziphus angustifolia Miq. Hatus. ex Steenis 12.31 8.86 18.47 39.64 3 Dioscorea kingii R.Knuth 10.81 5.70 2.58 19.09 4 Desmodium megaphyllum Zoll. 7.81 10.13 1.07 19.01 5 Asplenium sp.1 9.91 3.80 2.92 16.63 6 Dinochloa barbata S.Dransf. 5.41 5.70 4.97 16.07 7 Diplazium sp.2 5.11 5.70 2.73 13.53 8 Smilax perfoliata Lour. 5.41 6.33 1.32 13.05 9 Araceae non det 3 3.30 6.33 0.63 10.27 10 Thelypteridaceae non det 3 1.20 1.90 5.12 8.22 Jenis lain 27 jenis 20.40 32.89 18.96 72.27 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 Hutan pegunugan bawah 1 500 m dpl 1 Calamus sp.5 9.20 8.57 28.82 46.59 2 Calamus zollingeri Becc. 5.17 5.10 22.77 33.05 3 Calamus sp.6 2.87 2.65 10.91 16.43 4 Elatostema acuminatum Poir. Brogn 6.32 3.47 3.42 13.21 5 Psychotria laxiflora 5.17 5.10 1.04 11.31 6 Smilax perfoliata Lour 5.17 4.29 1.19 10.65 7 Chloranthus elatior Link 5.17 2.65 2.87 10.69 8 non det 3 4.02 5.10 0.80 9.92 9 Piper sp.3 4.02 3.47 1.59 9.08 10 Freycinetia distigmata B.C. Stone 4.60 0.82 3.03 8.44 Jenis lain 46 jenis 48.12 58.86 23.63 130.60 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 Hutan pegunungan atas 2 300 m dpl 1 Sonerila pumila 64.76 12.24 6.65 83.66 2 Blechnum sp. 8.59 11.73 30.44 50.77 3 Davalliaceae non det 3.85 5.61 21.35 30.82 4 Alpinia sp. 2.17 5.10 22.86 30.14 5 Aeschynanthus burttii Mendum 2.37 6.63 7.81 16.82 6 Selliguea sp.2 2.76 8.16 2.51 13.44 7 Hoya mirophylla Schltr 1.68 6.63 0.62 8.93 8 Thelypteridaceae non det 2 1.58 5.61 0.89 8.08 9 Agalmyla brownii Koord. B.L. Burtt 1.78 5.10 0.50 7.38 10 Freycinetia sp.1 1.18 4.08 1.43 6.70 Jenis lain 24 jenis 9.30 29.07 4.92 43.3 Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00 a KR: kerapatan relatif ; FR: frekuensi relatif ; DR: dominasi relatif ; INP: indeks nilai penting . Tabel 4.6 Sepuluh jenis tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan pegunungan Ditinjau dari segi persentase jumlah jenis tumbuhan bawah, jenis herba lebih banyak di jumpai di hutan pegunungan atas 35.29 dan terendah di hutan pegunungan bawah 33.93. Persentase jenis liana tertinggi dijumpai di hutan subpegunungan 37.84 dan terendah di hutan pegunungan atas 17.65, berbeda halnya dengan kelompok paku-pakuan dimana jumlah jenis tertinggi di jumpai di hutan pegunungan atas 47.06 dan terendah di hutan subpegunungan 27.03, sedangkan kelompok semak hanya dijumpai di hutan pegunungan bawah Gambar 4.1. Suku dominan pada tiga tipe hutan pegunungan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah disajikan pada Gambar 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5. Berdasarkan suku penyusun, dijumpai tujuh suku dominan yang sama pada seluruh tipe hutan yang diteliti, yaitu Fagaceae, Myrtaceae, Lauraceae, Rubiaeae, Rutaceae, Arecaceae, dan Aspleniaceae. Pohon di hutan subpegunungan lebih didominasi Fagaceae diikuti Lauraceae dan Ixonanthaceae. Pancang didominasi suku Fagaceae, Rubiaceae, dan Arecaceae, sedangkan semai didominasi Lauraceae, Phyllanthaceae, dan Rubiaceae. Kategori tumbuhan bawah didominasi Arecaceae, diikuti Rhamnaceae, dan Aspleniaceae Lampiran 13, 14, dan 15. Hutan pegunungan bawah didominasi suku Icacinaceae, Myrtaceae, dan Elaeocarpaceae pada kategori pohon, dan pancang didominasi Lauraceae, Elaeocarpaceae, dan Celastraceae, sedangkan semai didominasi Calophyllaceae, Rubiaceae, dan Myrtaceae. Sama halnya dengan tumbuhan bawah di hutan subpegunungan, pada tipe hutan ini juga didominasi Arecaceae, diikuti Aspleniaceae, dan Rubiaceae Lampiran 13, 14, dan 15. Hutan pegunungan atas didominasi Podocarpaceae, diikuti Myrtaceae, dan Fagaceae pada kategori pohon, dan pancang didominasi Trimeniaceae, Myrtaceae, dan Primulaceae, sedangkan semai didominasi Primulaceae, Podocarpaceae, dan Paracryphiaceae. Kategori tumbuhan bawah didominasi suku Melastomataceae, diikuti Aspleniaceae, dan Polypodiaceae Lampiran 13, 14, dan 15. Fagaceae, Lauraceae, dan Myrtaceae merupakan suku pohon dominan penyusun tiga tipe hutan yang diteliti, sedangkan Rubiaceae dijumpai dominan namun hanya pada kategori pancang dan semai. Suku tumbuhan bawah yang dijumpai dominan pada tiga tipe hutan adalah Aspleniaceae dari kelompok paku- pakuan, sedangkan Arecaceae Calamus spp. juga ditemukan pada tiga tipe hutan namun hanya dominan di hutan subpegunungan dan hutan pegunungan bawah. semak 3.57 herba 33.93 liana 28.57 paku- pakuan 33,93 Hutan pegunungan bawah 1 500 m dpl semak 0.00 herba 35.29 liana 17.65 paku- pakuan 47.06 Hutan pegunungan atas 2 300 m dpl semak 0.00 herba 35.13 liana 37.84 paku- pakuan 27.03 Hutan subpegunungan 900 m dpl Gambar 4.1 Persentase jumlah jenis tumbuhan bawah setiap tipe hutan pegunungan. Gambar 4.2 Suku pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan. Gambar 4.3 Suku pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan. Gambar 4.4 Suku semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan. 87. 40. 9 22. 3 18. 5 18. 3 14. 9 14. 4 12. 9 12. 10. 4. 44. 9 14. 4 20. 2 2. 8 5. 15. 9 2 5 .9 11. 1 37. 2 25. 5 19. 6 10. 8 10. 4 6. 3 95. 30. 1 10. 3 42. 9 14. 8 8. 2 105. 4 16. 13. 3 10. 7 8. 40. 2 20 40 60 80 100 120 N il a i Pe n ti n g S u k u Suku Hutan subpegunungan Watukilo, 900 m Hutan pegunungan bawah Torongkilo, 1500 m Hutan pegunungan atas Torenali, 2300 m 88. 4 2 7 .6 2 7 .0 22. 4 20. 5 17. 8 14. 9 12. 1 10. 9 10. 7 6. 7 4 .9 6. 8 12. 1 3. 32. 8 3. 11. 9 26. 1 23. 2 22. 7 16. 8 15. 14. 5 13. 3 11. 6 87. 3 25. 8 11. 7 20. 4 4. 4 44. 8 41. 7 34. 5 2 9 .9 17. 4 15. 8 53. 6 20 40 60 80 100 N il a i Pe n ti n g S u k u Suku Hutan subpegunungan Watukilo, 900 m Hutan pegunungan bawah Torongkilo, 1500 m Hutan pegunungan atas Torenali, 2300 m 50. 1 28. 24. 5 19. 2 18. 2 18. 15. 13. 7 12. 9 11. 1 6. 9 3 .3 9. 6 69. 8 12. 1 1. 9 50. 4 54. 9 2. 3 3. 8 2. 3 2 .1 12. 4 29. 16. 3 11. 6 10. 9 7. 1 18. 1 6 .6 5 8 .2 10. 17. 15. 4 1 3 .7 16. 7 18. 1 5. 2 58. 5 33. 7 32. 8 2 .6 16. 42. 4 20 40 60 80 N il a i Pe n ti n g S u k u Suku Hutan subpegunungan Watukilo, 900 m Hutan pegunungan bawah Torongkilo, 1500 m Hutan pegunungan bawah Torenali, 2300 m atas Gambar 4.5 Suku tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan pegunungan. Struktur hutan Struktur hutan pada tiga tipe hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah disajikan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Struktur hutan pada plot seluas 0.24 ha ± se pada tiga tipe hutan pegunungan Parameter struktur Tipe hutan HSP HPB HPA Jumlah individu pohon 0.24 ha 153 155 222 Jumlah individu pancang 0.06 ha 107 121 201 Jumlah individu semai 0.01 ha 285 738 442 Jumlah individu tumbuhan bawah 0.01 ha 333 177 1 013 Jumlah individu gymnosperm dbh ≥10 cm 0.24 ha 11 4 84 Jumlah individu angiosperm dbh ≥10 cm 0.24 ha 142 145 137 Jumlah individu paku pohon dbh ≥10 cm 0.24 ha 6 1 Kerapatan pohon indha 638 646 925 Kerapatan pancang indha 1 783 2 017 3 350 Kerapatan semai indha 29 688 76 875 46 042 Kerapatan tumbuhan bawah indha 34 688 18 438 105 521 Rata-rata tinggi pohon dbh ≥10 cm m 20.9 ± 0.7 20.5 ± 0.7 15.5 ± 0.4 Rata-rata tinggi angiosperm dbh ≥10 cm m 20.9 ± 0.7 20.6 ± 0.7 14.2 ± 0.5 Rata-rata tinggi gymnosperm dbh ≥10 cm m 14.8 ± 1.6 18.9 ± 3.4 17.5 ± 0.6 Rata-rata tinggi paku pohon dbh ≥10 cm m 8.0 ± 0.5 5.5 Rata-rata diameter pohon cm 25.5 ± 1.4 23.3 ± 1.2 21.9 ± 0.8 Basal area pohon m²ha 46.75 38.28 44.42 Basal area pancang m²ha 3.95 3.71 5.49 Penutupan semai 18.37 42.08 22.83 Penutupan tumbuhan bawah 22.27 12.56 28.05 a HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas. 92. 33. 5 27. 4 20. 2 19. 2 16. 8 11. 6 10. 5 9. 5 9. 4 3. 1 4. 1 9. 5 3. 4 3. 1 26. 9 90. 21. 2 21. 1 6. 8 2. 7 8. 1 16. 4 16. 12. 11. 5 9. 8 9 .0 3. 3 2. 7 6 .8 62. 5 3. 2 13. 2 3. 4 9. 9 3. 3 11. 5 76. 1 42. 2 28. 3 27. 4 21. 5 8. 4 7. 9 43. 7 20 40 60 80 100 N il a i Pe n ti n g S u k u Suku Hutan subpegunungan Watukilo, 900 m Hutan pegunungan bawah Torongkilo, 1500 m Hutan pegunungan atas Torenali, 2300 m Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa kerapatan individu pohon, pancang, dan tumbuhan bawah tertingi dijumpai di hutan pegunungan atas, sedangkan kerapatan semai tertinggi ditemukan di hutan pegunungan bawah. Persentase penutupan semai juga terlihat tinggi di hutan pegunungan bawah, namun memiliki persentase penutupan tumbuhan bawah yang rendah. Selain itu, hutan pegunungan bawah memiliki jumlah individu paku pohon tree fern tertinggi dan tidak dijumpai di hutan subpegunungan pada areal seluas 0.24 ha, namun jumlah individu angiosperm terlihat sangat tinggi di hutan pegunungan atas dibandingkan dua tipe hutan lainnya. Perbedaan juga terlihat pada rata-rata tinggi pohon yang lebih rendah di hutan pegunungan atas, dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya. Hutan pegunungan bawah memiliki rata-rata diameter pohon yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan pegunungan atas, namun basal area terlihat tinggi di hutan pegunungan atas dibandingkan dengan hutan pegunungan atas. Perbedaan kerapatan dan basal area pohon dan pancang berdasarkan kelas diameter dapat dilihat pada Gambar 4.6. Gambar 4.6 Kerapatan dan basal area pohon dan pancang ± sd berdasarkan kelas diameter antara tiga tipe hutan pegunungan. Gambar 4.6 menunjukkan bahwa individu pohon dengan diameter lebih kecil memiliki kerapatan lebih tinggi dibandingkan dengan pohon berdiameter lebih besar, khususnya di hutan subpegunungan dan pegunungan atas, sedangkan di hutan pegunungan bawah juga terlihat penurunan kerapatan namun kembali meningkat pada kelas diameter 50 cm sampai lebih dari 70 cm. Selain itu, tidak dijumpai pohon dengan diameter lebih dari 70 cm, dibandingkan dengan tipe hutan lainnya. Namun, secara keseluruhan kerapatan individu pohon pada setiap 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 2 -9 .9 10 -… 20 -… 30 -… 40 -… 50 -… 60 -… 70 -… ≥ 80 Hutan pegunungan atas 2 300 m dpl 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 2 -9 .9 10 -1 9 .9 20 -2 9 .9 30 -3 9 .9 40 -4 9 .9 50 -5 9 .9 60 -6 9 .9 70 -7 9 .9 ≥ 80 Hutan pegunungan bawah 1 500 m dpl 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 2 -9 .9 10 -1 9 .9 20 -2 9 .9 30 -3 9 .9 40 -4 9 .9 50 -5 9 .9 60 -6 9 .9 70 -7 9 .9 ≥ 80 Ker a p a ta n in d h a Hutan subpegunungan 900 m dpl 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 Kelas diameter cm 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 B a sa l a r e a m ² ha tipe hutan termasuk dalam bentuk tipe J-terbalik atau membentuk grafik tegakan tidak seumur. Basal area pohon tertinggi di hutan subpegunungan dijumpai pada kelas diameter 30 cm sampai dengan 39.9 cm sebesar 21.4 dari total basal area, di hutan pegunungan bawah ditemukan pada kelas diameter 60 cm sampai dengan lebih dari 70 cm 21.0 dari total basal area, sedangkan kelas diameter 20 cm sampai dengan 39.9 cm di hutan pegunungan atas sebesar 20.8 dari total basal area. Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis dominan pada setiap tipe hutan yang diteliti Gambar 4.7, 4.8, dan 4.9 menunjukkan bahwa sebagian besar 9 jenis termasuk dalam tipe J-terbalik, yaitu C. buruana, G. subaequalis, S. apiculata, P. excelsa var. borneensis, Elaeocarpus sp.1, P. hypophylla, D. steupii, L. havilandii, dan Q. apoensis, namun jenis S. apiculata dan Q. apoensis tidak dijumpai pada kelas diameter ≥30 cm. Jenis I. petiolaris dan M. carsonii var. carsonii termasuk dalam tipe emergen, sedangkan jenis P. firma termasuk dalam tipe sporadis. Gambar 4.7 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon dominan di hutan subpegunungan. a C. buruana, b G. subaequalis, c S. apiculata, dan d. I. petiolaris. Gambar 4.8 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon dominan di hutan pegunungan bawah. a P. excelsa var. borneensis, b Elaeocarpus sp.1, c M. carsonii var. carsonii, dan d P. firma. 100 200 300 400 500 600 700 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 Ker a p a ta n in d h a a 10 20 30 40 50 60 70 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 b 50 100 150 200 250 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 c 2 4 6 8 10 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 d 5 10 15 20 25 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 b 20 40 60 80 100 120 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 Ker a p a ta n in d h a a 2 4 6 8 10 12 14 2- 9 .9 10 -1 9 .9 20 -2 9 .9 30 -3 9 .9 40 -4 9 .9 50 -5 9 .9 60 -6 9 .9 70 -7 9 .9 ≥ 80 c 2 4 6 8 10 12 14 16 2- 9 .9 10 -1 9 .9 20 -2 9 .9 30 -3 9 .9 40 -4 9 .9 50 -5 9 .9 60 -6 9 .9 70 -7 9 .9 ≥ 80 d Kelas diameter cm Kelas diameter cm Gambar 4.9 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon dominan di hutan pegunungan atas. a P. hypophylla, b D. steupii, c L. havilandii, dan d Q. apoensis. Hutan subpegunungan memiliki kerapatan individu dan persentase penutupan tertinggi pada kelompok liana dan terendah di hutan pegunungan atas, berbeda dengan kelompok paku-pakuan, sedangkan semai, semak dan herba ditemukan tinggi di hutan pegunungan bawah Gambar 4.10. Gambar 4.10 Kerapatan dan persentase penutupan semai a, semak b, herba c, liana d, dan paku-pakuan e ± sd antara tiga tipe hutan pegunungan. 20000 40000 60000 80000 100000 a b c d e Hutan pegunungan atas 2 300 m dpl 10 20 30 40 50 a b c d e 20000 40000 60000 80000 100000 a b c d e Hutan pegunungan bawah 1 500 m dpl 20000 40000 60000 80000 100000 a b c d e Ker a p a ta n in d h a Hutan subpegunungan 900 m dpl 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 a b c d e Kategori 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 a b c d e Pe n u tu p a n 50 100 150 200 250 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 Ker a p a ta n in d h a a 10 20 30 40 50 60 70 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 b 50 100 150 200 250 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 c 50 100 150 200 250 300 2- 9. 9 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 40- 49. 9 50- 59. 9 60- 69. 9 70- 79. 9 ≥ 80 d Kelas diameter cm Kelas tinggi berdasarkan persentase jumlah individu Gambar 4.11 terlihat bahwa hutan subpegunungan memiliki persentase jumlah individu yang lebih tinggi pada kelas tinggi lebih dari 30 meter, dan terendah di hutan pegunungan atas, sedangkan hutan pegunungan atas memiliki persentase jumlah individu yang lebih tinggi pada kelas tinggi kurang dari 10 meter 56.1, dan 99 individu terdapat pada kelas tinggi kurang dari 30 meter, serta tidak ditemukan individu pohon pada kelas tinggi lebih dari 40 meter. Gambar 4.11 Persentase jumlah individu berdasarkan kelas tinggi ± sd antara tiga tipe hutan pegunungan. Profil diagram tiga tipe hutan pegunungan di TN. Lore Lindu Lampiran 17, 18, dan 19 memperlihatkan bahwa lapisan tajuk utama tinggi 30 m di hutan subpegunungan ditempati jenis-jenis, antara lain C. buruana, T. malayana Euphorbiaceae, I. petiolaris, L. formanii, Planchonella chartacea, T. verticillata Fagaceae, dan A. teysmanii subs. teysmanii. Lapisan tajuk kedua 20 m tinggi ≤30 m ditempati jenis-jenis, antara lain G. subaequalis, G. gnemon, S. apiculata, C. densiflora , Litsea timoriana, Chionanthus polygamus, dan Palaquium obovatum . Lapisan tajuk ketiga 4 m ≤ tinggi 20 m ditempati jenis-jenis, antara lain Cryptocarya microcos, S. apiculata, G. subaequalis, Polyosma integrifolia, G. gnemon . Lapisan tajuk keempat 1 m ≤ tinggi 4 m ditempati jenis-jenis, antara lain P. mindanaensis, D. blumei, dan A. riparium subsp. riparium, sedangkan beberapa jenis-jenis semai dan tumbuhan bawah, antara lain beberapa jenis-jenis liana Calamus spp., herba, dan paku-pakuan menempati lapisan tajuk kelima tinggi 1 m. Hutan pegunungan bawah ditempati jenis-jenis, antara lain C. soualattri, Elaeocarpus sp1., P. latifolia, M. carsonii var. carsonii, Ficus sp., Ficus crassiramea , Syzygium sp., S. acuminatissimum, M. hildebrandii, Prunus grisea, dan P. firma menempati lapisan tajuk utama. Lapisan tajuk kedua ditempati jenis- jenis, antara lain Platea excelsa var. borneensis, Lithocarpus luteus, Ilex celebensis, T. tetrandra, Litsea ochracea, dan Syzygium sp. Lapisan tajuk ketiga ditempati jenis-jenis, antara lain Phaeanthus ebracteolatus, T. tetrandra, Ilex celebensis, Polyscias nodosa , Tabernaemontana sphaerocarpa, Garcinia lateriflora, Pinanga caesea, L. beccarianum, P. sarasinorum, C. contaminans, dan D. blumei. Lapisan tajuk keempat di hutan pegunungan ditempati jenis-jenis, 56.2 33.6 9.5 0.7 20 40 60 80 100 10 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 ≥40 Hutan pegunungan atas 2 300 m dpl 44.9 26.4 22.5 3.6 2.5 20 40 60 80 100 10 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 ≥40 Kelas tinggi m Hutan pegunungan bawah 1 500 m dpl 40.8 30.4 19.2 6.9 2.7 20 40 60 80 100 10 10- 19. 9 20- 29. 9 30- 39. 9 ≥40 J u m la h i n d iv id u Hutan subpegunungan 900 m dpl antara lain C. contaminans, D. blumei, P. sarasinorum, Urophyllum arboreum, Lasianthus lucidus , dan L. biflorus, sedangkan beberapa jenis-jenis semai dan tumbuhan bawah, antara lain beberapa jenis-jenis semak, liana Calamus spp., herba, dan paku-pakuan menempati lapisan tajuk kelima tinggi 1 m. Berbeda dengan dua tipe hutan lainnya, lapisan tajuk utama di hutan pegunungan atas di Torenali hanya ditempati jenis P. hypophylla dan Lithocarpus havilandii. Lapisan tajuk kedua ditempati jenis-jenis, antara lain D. steupii, D. imbricatus , Syzygium sp., Q. apoensis, dan Prunus arborea. Lapisan tajuk ketiga ditempati jenis-jenis, antara lain A. trifoliolata, D. imbricatus, Adinandra sp., Q. apoensis, X. angustifolia, dan N. javanica. Lapisan tajuk keempat ditempati jenis- jenis, antara lain Vaccinium lauriflorum, Rhododendron sp., M. involucrata, dan T. piperita, sedangkan lapisan tajuk kelima ditempati jenis-jenis herba, antara lain S. pumila , Alpinia sp., dan paku-pakuan. Pembahasan Komposisi Komunitas Hutan pegunungan yang diteliti pada ketinggian 900 m dpl hutan subpegunungan, 1 500 m dpl hutan pegunungan bawah, dan 2 300 m dpl hutan pegunungan atas disusun oleh jenis pohon, pancang, semai, maupun tumbuhan bawah dominan yang berbeda. Hal tersebut juga diperkuat hasil analisis indeks kesamaan dengan nilai kurang dari 10 atau tergolong dalam kategori rendah Crabs 1978. Hasil ini memperkuat simpulan Aiba dan Kitayama 1999; Ashton 2003; Culmsee et al. 2010 bahwa komposisi komunitas vegetasi, akan mengalami perubahan dengan bertambahnya ketinggian tempat. Berdasarkan nilai penting suku, pohon di hutan subpegunungan sangat didominasi oleh suku Fagacae C. buruana, Lithocarpus spp. dan T. verticillata serta Lauraceae. Hasil yang sama juga dilaporkan Culmsee dan Pitopang 2009 dan Culmsee et al. 2010. Fagaceae juga dijumpai sangat dominan pada kategori pancang, dan mengalami penurunan pada kategori semai. Menurut Manos Stanford 2001, dominansi Fagaceae merupakan fenomena yang umum di kawasan Malesia serta di belahan bumi bagian utara northern hemisphere. Jenis pohon dan pancang di hutan subpegunungan didominasi jenis C buruana , namun jenis ini tidak dijumpai lagi di hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas. Menurut Soepadmo 1972, jenis ini tumbuh di hutan primer atau maupun hutan sekunder di hutan perbukitan sampai pada ketinggian lebih dari 1 000 m dengan wilayah distribusi di Kalimantan Sabah, Sulawesi dan Maluku. Lemmens et al. 1995 mengungkapkan bahwa jenis-jenis dari marga Castanopsis dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, kecuali pada tanah kapur limestone dan jarang toleran pada iklim musiman. Soepadmo 1972 dan Lemmens et al. 1995 melaporkan bahwa marga Castanopsis terdiri dari dua jenis di Sulawesi, yaitu C. acuminatissima dan C. buruana , namun sebaran jenis C. buruana di Sulawesi Tengah belum pernah dilaporkan sebelumnya Kessler et al. 2002; Kessler et al. 2005; Gradstein et al. 2007; Culmsee Pitopang 2009; Culmsee et al. 2010; 2011. Selain C. buruana, tipe hutan ini juga disusun oleh jenis empat jenis dari marga Lithocarpus L. celebicus, L. elegans, L. glutinosus, dan Lithocarpus sp. dan T. verticillata. Gradstein et al. 2007 dan Culmsee et al. 2009 melaporkan bahwa L. celebicus merupakan salah satu dari beberapa jenis dominan penyusun hutan subpegunungan di TN. Lore Lindu. Jenis ini juga dijumpai di hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas dalam penelitian ini, sedangkan T. verticillata belum pernah dilaporkan sebelumnya di kawasan ini. Meskipun jenis C. buruana dijumpai sangat dominan pada kategori pohon dan pancang, namun jenis ini tidak ditemukan pada kategori semai. Berbeda dengan hasil penelitian Lestari 2010 di Cagar Alam Lamedai, Kolaka, Sulawesi Tenggara yang menemukan tingginya kelimpahan semai jenis ini dengan INP mencapai 31.5. Hal ini diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat toleransi jenis terhadap naungan Bustamante Simonetti 2000 karena sebagian besar wilayah di plot penelitian ini tertutupi tajuk pohon, sehingga cahaya matahari tidak sampai ke lantai hutan, atau dapat juga disebabkan oleh angin serta pemangsaan biji oleh predator seperti hewan vertebrata dan insekta seperti semut yang membawa biji jauh dari pohon inang Willson Traveset 2000. Oleh karena itu, tingginya dominansi jenis C. buruana khususnya pada kategori pohon dan pancang karena jenis ini mampu berkembang biak secara vegetatif melalui batang bawah multi- stemmed sprouts . Berdasarkan hal tersebut, Tredici 2001 mengungkapkan bahwa tingginya dominansi jenis yang dapat berkembang biak secara vegetatif akan berdampak pada kurangnya jumlah semai. Suku Icacinaceae merupakan suku dominan di hutan pegunungan bawah pada ketinggian 1 500 m dpl yang disusun oleh dua jenis dari marga Platea jenis P. excelsa var. borneensi dan P. latifolia, namun dominasi Icacinaceae di tipe hutan ini lebih dua kali lebih rendah jika dibandingkan Fagaceae di hutan subpegunungan 900 m, sedangkan Fagaceae dijumpai tidak cukup dominan di tipe hutan ini yang hanya disusun jenis Lithocarpus spp. Dominasi Icacinaceae di kawasan ini belum pernah dilaporkan sebelumnya Kessler et al. 2005; Gradstein et al . 2007; Culmsee Pitopang 2009; Culmsee et al. 2010 dan 2011, namun Culmsee Pitopang 2009 melaporkan bahwa suku Icacinaceae merupakan jenis penyusun hutan subpegunungan dan pegunungan bawah, namun bukan merupakan suku dominan. Hutan subpegunungan bawah yang diteliti didominasi jenis P. excelsa var. borneensis, namun dominansi jenis ini lebih rendah dibandingkan C. buruana di hutan subpegunungan. Jenis ini juga cukup dominan pada kategori pancang dan semai, namun jenis L. beccarianum dan C. soualattri merupakan jenis dominan utama masing-masing pada kategori pancang dan semai. Selain itu, tidak dijumpai jenis dari marga Castanopsis, namun beberapa individu C. acuminatissima dapat dijumpai di luar plot penelitian. Berbeda dengan hasil penelitian Culmsee Pitopang 2009 pada tipe hutan yang sama pada ketinggian 1 400 m dpl yang lebih didominasi jenis C. acuminatissima. Menurut Sleumer 1971 bahwa jenis P. excelsa var. borneensis tumbuh di hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan pada ketinggian 2 000 m dpl, dan pada tanah-tanah yang lembab dan relatif datar. Jenis ini juga cukup dominan pada kategori pancang, dan memiliki kelimpahan individu semai yang tinggi. Lebih lanjut Sleumer 1971 melaporkan bahwa selain di Sulawesi, jenis ini juga tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Kalimantan, Filipina, Maluku, Papua Nugini, dan New Britania. Suku Podocarpaceae merupakan suku dominan di hutan pegunungan atas dengan basal area 57.2 dari total basal area pada kategori pohon menggantikan Fagaceae di hutan subpegunungan. Podocarpaceae pada tipe hutan ini terdiri dari jenis P. hypophylla, D. steupii, dan D. imbricatus, serta jenis Podocarpus pilgerii yang hanya dijumpai pada kategori semai. Suku dominan lainnya adalah Myrtaceae dan Lauraceae. Hasil yang sama juga dilaporkan Culmsee et al. 2011 pada ketinggian 2 500 m dpl di kawasan yang sama. Satu jenis lainnya dari suku ini, yaitu Podocarpus neriifolius juga dijumpai di hutan subpegunungan dan pegunungan bawah. Podocarpaceae juga dilaporkan dominan pada hutan pegunungan di Kalimantan dan Papua Nugini Aiba Kitayama 1999; Johns et al . 2007. Menurut Morley 2011 bahwa Podocarpaceae merupakan komponen penting di hutan tropis basah dan sebelah bumi bagian selatan southern hemisphere yang berpusat di Australia, Amerika Selatan dan Malesia. Jenis P. hypophylla merupakan jenis penyusun utama dari suku Podocarpaceae di hutan pegunungan atas menggantikan C. buruana di hutan subpegunungan dengan basal area yang sama 14.5 m 2 ha. Dua jenis lain dari suku ini juga dijumpai cukup dominan, yaitu D. steupii dan D. imbricatus. Namun, dominansi jenis ini digantikan oleh jenis T. papuana pada kategori pancang, dan jenis M. minutifolia pada kategori semai. Hasil yang sama dilaporkan Culmsee et al. 2011 pada ketinggian 2 400 m dpl. Menurut Kitayama et al . 2011, dominansi yang tinggi pada jenis-jenis dari suku Podocarpaceae khususnya P. hypophylla dan Dacrycarpus spp. di hutan pegunungan atas diduga karena suhu udara yang rendah serta kondisi tanah yang miskin hara akibat lambatnya proses dekomposisi. Jenis T. papuana merupakan jenis dominan untuk tingkat pancang, juga merupakan salah satu jenis yang dapat berkembang secara vegetatif seperti halnya C. buruana di hutan subpegunungan, dengan jumlah semai ditemukan cukup melimpah. Hasil penelitian diperoleh bahwa jenis ini hanya menempati lapisan tajuk ketiga, seperti halnya M. minutifolia yang dominan pada kategori semai. Menurut Philipson 1986 bahwa jenis T. papuana merupakan semak atau pohon dengan tinggi dapat mencapai 20 meter atau lebih dengan wilayah penyebaran di hutan pegunungan Sulawesi Tengah, Maluku pulau Seram dan Bacan dan Papua Nugini pada ketinggian 1 000 m sampai dengan 2 700 m dpl. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian pohon di kawasan hutan TN. Lore Lindu yang pernah dilakukan, hutan pegunungan atas pada ketinggian 2 300 m dpl memiliki kemiripan pada tiga suku dominan utama dengan hutan pada ketinggian 2 400 m dpl, dan hutan subpegunungan pada ketinggian 900 m dpl memiliki kemiripan dengan hutan pada ketinggian 1 050 m dpl, khususnya pada dua suku dominan utama, sedangkan hutan pada ketinggian 1 500 m dpl memiliki kemiripan dengan hutan pada ketinggian 1 400 m dpl, khususnya pada suku dominan kedua dan ketiga. Selain itu, Fagaceae dijumpai tersebar di seluruh tipe hutan pada ketinggian 900 m dpl sampai dengan 2 400 m dpl, namun Lauraceae hanya dijumpai dominan pada hutan subpegunungan, sedangkan Myrtaceae pada hutan pegunungan bawah sampai pegunungan atas Culmsee Pitopang 2009; Culmsee et al. 2010 dan 2011. Secara umum, Culmsee et al 2011 mengungkapkan bahwa secara biogeografi, hutan pegunungan atas di Sulawesi memiliki kemiripan dengan PapuasiaMalesia bagian selatan yang kemungkinan disebabkan oleh pernah bersatunya daratan ini dimasa lampau. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa hutan pegunungan di Sulawesi memiliki perbedaan komposisi jenis pohon dengan hutan pegunungan di Jawa, khususnya di kawasan G. Gede Pangrango, Jawa Barat yang lebih didominasi jenis Schima wallichii spp. noronhae Theaceae sampai pada ketinggian 2 300 m dpl Yamada 1975; 1977, Hasil berbeda juga dilaporkan Aiba dan Kitayama 1999 di G. Kinabalu, Kalimantan bahwa hutan pada ketinggian di atas 700 m dpl telah didominasi Myrtaceae Leptospermum, Syzygium, dan Tristaniopsis dan Podocarpaceae Dacrycarpus dan Dacrydium. Liana merupakan komponen utama penyusun hutan subpegunungan dan hutan pegunungan bawah di TN. Lore Lindu yang disusun oleh jenis-jenis rotan dari marga Calamus Arecaceae dengan persentase penutupan masing-masing 72.5 dan 62.6 dari total penutupan, sedangkan di hutan pegunungan atas dominasi liana berkurang yang lebih didominasi oleh jenis-jenis herba dan paku-pakuan. Schnitzer dan Bongers 2002 dan Siebert 2005 mengungkapkan bahwa liana merupakan penting hutan tropis yang menutupi lantai hutan atau kanopi jika memanjat. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dominansi liana mengalami penurunan seiring bertambahnya ketinggian. Hasil yang sama juga dilaporkan Schnitzer Bongers 2002. Ramadhanil et al. 2008 juga melaporkan bahwa hutan subpegunungan di TN. Lore Lindu pada kategori tumbuhan bawah lebih didominasi jenis-jenis liana khususnya rotan di bandingkan kelompok herba dan paku-pakuan. Hal tersebut lebih disebabkan oleh faktor curah hujan, kesuburan tanah, dan gangguan Balfour Bond 1993. Menurut Siebert 2005 bahwa tingginya kelimpahan rotan kemungkinan juga disebabkan oleh tinggi kanopi pohon, dimana kanopi yang lebih tinggi memiliki kelimpahan yang lebih dibandingkan dengan yang lebih rendah. Stiegel et al. 2011 yang melakukan penelitian di TN. Lore Lindu pada ketinggian yang berbeda melaporkan bahwa komposisi dan kelimpahan rotan mencapai titik maksimum pada ketinggian pada ketinggian sekitar 1 000 m dpl. Hal yang sama ditemukan dalam penelitian ini, bahwa jenis-jenis rotan penyusun mengalami penurunan dari segi jumlah jenis, dimana hanya dijumpai satu jenis Calamus sp. di hutan pegunungan atas. Berbeda halnya dengan kelompok liana, pada kelompok herba dijumpai melimpah di hutan pegunungan atas dengan persentase penutupan masing-masing 54.5 dari total penutupan. Begitupula dengan kelompok paku-pakuan, walaupun memiliki persentase penutupan yang sama dengan liana namun memiliki jumlah jenis yang lebih banyak. Poulsen dan Pendry 2005 mengungkapkan bahwa terjadinya kelimpahan yang tinggi untuk kelompok herba di hutan pegunungan karena kondisinya yang lebih basah. Struktur hutan Selain memiliki perbedaan komposisi komunitas vegetasi, hutan pegunungan di TN. Lore Lindu yang diteliti juga berbeda ditinjau dari struktur hutannya. Kerapatan individu pohon dan pancang mengalami peningkatan dengan bertambahnya ketinggian. Hasil yang yang sama juga diperoleh Culmsee et al. 2010 pada ketinggian 1 050 m, 1 400 m, 1 800, dan 2 400 m dpl. Slik et al. 2010 mengungkapkan bahwa kerapatan individu berkorelasi positif dengan suhu udara serta input energi, namun pola berbeda diperoleh pada kategori semai dan tumbuhan bawah. Selain itu, jumlah individu gymnosperm dbh ≥10 cm di hutan pegunungan atas yang diperoleh dalam penelitian ini 84 individu lebih banyak jika dibandingkan hasil penelitian Culmsee et al. 2011 pada tipe hutan yang sama 60 individu, namun lebih rendah dari segi jumlah paku pohon dbh ≥10 cm. Kerapatan individu pohon sebesar 638 individu per ha di hutan subpegunungan 900 m dpl yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa penelitian di kawasan hutan yang sama, antara lain 478 dan 508 individu per ha pada ketinggian 1 050 m dan 1 400 m dpl Culmsee et al . 2010, 543 individu per ha pada ketinggian 1 100 m dpl Kessler et al. 2005. Basal area pohon yang diperoleh pada tiga tipe hutan, hampir sama dengan hasil yang diperoleh Gradstein et al. 2007, Culmsee dan Pitopang 2009, Culmsee et al. 2010; 2011 antara 35.4 dan 56.7 m 2 ha, namun lebih rendah dengan hasil yang diperoleh Kessler et al. 2007 sebesar 139.8 m 2 ha pada ketinggian 1 100 m dpl di TN. Lore Lindu. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa hutan subpegunungan memiliki basal area pohon dan pancang tertinggi dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya. Tingginya basal area di tipe hutan ini lebih disebabkan oleh banyak individu pohon yang memiliki diameter 30 cm sampai dengan 39.9 cm. Hasil penelitian ini diperoleh adanya kemiripan rata-rata tinggi pohon antara hutan subpegunungan dan pegunungan bawah, namun tinggi pohon mengalami penurunan di hutan pegunungan atas. Adanya kemiripan rata-rata tinggi pohon di hutan subpegunungan dan pegunungan bawah lebih disebabkan masih terdapatnya beberapa jenis vegetasi sekunder seperti Elaeocarpus spp. Sosef et al. 1998 yang dengan tinggi total mencapai lebih dari 40 meter. Meningkatnya kerapatan individu pohon seiring dengan bertambahnya ketinggian serta berkurangnya diameter dan tinggi pohon telah banyak dilaporkan, antara lain Aiba dan Kitayama 1999 di Gunung Kinabalu, Kalimantan, Lovett et al . 2006 di Tanzania, Homeier et al. 2010 di hutan pegunungan Ekuador, Culmsee et al. 2010 di TN. Lore Lindu, dan Hernandes et al. 2012 di Venezuella. Homeier et al. 2010 bahwa berkurangnya pertumbuhan pohon seiring dengan bertambahnya ketinggian disebabkan oleh berkurangnya suhu udara, serta kurangnya unsur hara. Kerapatan individu pohon dan pancang berdasarkan kelas diameter pada tiga tipe hutan termasuk dalam tipe J-terbalik, yang berarti bahwa kelas diameter yang lebih kecil memiliki jumlah individu yang lebih banyak dan semakin berkurang dengan bertambahnya diameter Ohsawa 1991. Simpulan Terdapat perbedaan komposisi komunitas vegetasi dominan antara tiga tipe hutan yang diteliti. Antara hutan subpegunungan dan pegunungan atas hanya disusun satu jenis yang sama, dua jenis yang sama antara hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas, sedangkan antara antara hutan subpegunungan dan pegunungan bawah disusun 15 jenis yang sama. Kerapatan pohon dan pancang mengalami peningkatan dengan bertambahnya ketinggian tempat. Kerapatan tertinggi diperoleh di hutan subpegunungan dan terendah di hutan pegunungan atas, namun berbeda halnya pada kategori semai dan tumbuhan bawah. Basal area pohon tertinggi diperoleh di hutan subpegunungan 46.76 m 2 ha, diikuti hutan pegunungan atas 44.42 m 2 ha, dan terendah di hutan pegunungan bawah 38.28 m 2 ha, sedangkan persen penutupan semai dan tumbuhan bawah tertinggi diperoleh di hutan pegununungan bawah dan hutan pegunungan atas, masing-masing 42.08 dan 28.05 dan terendah di hutan subpegunungan dan pegunungan atas bawah masing-masing 18.37 dan 12.56.

5. PEMBAHASAN UMUM

Hutan tropis pegunungan merupakan ekosistem yang memiliki fungsi penting secara ekologis sangat penting. Keberadaan hutan pegunungan di Sulawesi saat ini menjadi sangat penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati, mengingat kawasan hutan dataran rendah di pulau ini yang terus mengalami degradasi akibat aktivitas perambahan hutan illegal loging , pembukaan areal perkebunan skala besar, serta aktivitas pertambangan. Hasil survei keanekaragaman tumbuhan di Sulawesi dan pulau-pulau besar laiinya di Indonesia berdasarkan spesimen yang tersimpan di Herbarium Leiden, Sulawesi memiliki keanekaragaman dan endemisitas tumbuhan pada tingkat menengah Roos et al. 2004, terdapat sekitar 5 000 jenis tumbuhan berbunga, dan 15 diantaranya endemik Sulawesi Whitten et al. 1987; Roos et al. 2004, namun penelitian botani yang dilakukan di pulau ini masih sangat kurang. Diperkirakan hanya terdapat 25 koleksi per 100 km 2 Cannon et al. 2007. Secara global, luas hutan tropis pegunungan diperkirakan 3 257 275 km 2 atau sekitar 21 persen dari luas hutan tropis dunia Scatena et al. 2010, namun belum banyak dipelajari dari segi struktur dan komposisinya Homeier et al. 2010. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi keanekaragaman tumbuhan, serta mempelajari komposisi dan struktur hutan pegunungan sebagai data dasar dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah dipilih sebagai lokasi penelitian karena Taman Nasional ini merupakan kawasan konservasi terbesar di pulau Sulawesi dengan luas 217 991.18 ha, dan telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1977. TN, serta telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai “World Heritage Site”. Kawasan ini memiliki nilai konservasi tinggi, dan sebagai daerah tangkapan air bagi lima sungai utama di Sulawesi Tengah. Selain itu, kawasan hutan di TN. Lore Lindu merupakan habitat 225 jenis burung 78 endemik Sulawesi, 77 jenis mamalia, 26 reptil endemik TNCBTNLL 2002. Penelitian ini mengkaji beberapa aspek, meliputi: keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan pegunungan Bab 3, serta komposisi komunitas dan struktur hutan pegunungan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah Bab 4. Rangkuman hasil dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5.1, sebagai berikut: Tabel 5.1 Rangkuman hasil yang diperoleh selama penelitian pada plot penelitian seluas 0.24 ha Parameter Tipe hutan HSP HPB HPA Jumlah jenis Pohon 33 61 29 Jumlah jenis pancang 25 50 27 Jumlah jenis semai 39 57 31 Jumlah jenis tumbuhan bawah 37 56 34 Jumlah marga pohon 22 45 22 Jumlah marga pancang 24 40 18 Jumlah marga semai 31 31 26 Jumlah marga tumbuhan bawah 22 40 27 Jumlah suku pohon 18 34 18 Parameter Tipe hutan HSP HPB HPA Jumlah suku pancang 17 32 14 Jumlah suku semai 26 26 19 Jumlah suku tumbuhan bawah 21 31 24 Indeks kekayaan Margalef pohon; pancang; semai; tumbuhan bawah 5.96; 5.14; 6.91; 6.20 11.9; 10.22; 8.48; 10.66 5.18; 4.90; 4.93; 4.77 Indeks keanekaragaman Shannon pohon; pancang; semai; tumbuhan bawah 2.85; 2.61; 3.23; 2.85 3.68; 3.53; 3.13; 3.48 2.72; 2.70; 2.94; 2.51 Indeks kemerataan Pielou pohon; pancang; semai; tumbuhan bawah 0.82; 0.81; 0.88; 0.79 0.89; 0.90; 0.77; 0.86 0.81; 0.81; 0.70; 0.71 INP tertinggi pohon, pancang, semai, tumbuhan bawah C. buruana 69.83, C. buruana 80.59, A. riparium subsp. riparium 31.84, Calamus sp.1 72.20 P. excelsa var. borneensis 38.64, L. beccarianum 31.39, C. soualattri 61.07, Calamus sp.5 46.59 P. hypophylla 70.20, T. papuana 56.52, M. minutifolia 52.10, S. pumila 83.66 NPS tertinggi pohon, pancang, semai, tumbuhan bawah Fagaceae 86.97, Fagaceae 88.40, Lauraceae 50.05, Arecaceae 91.98 Icacinaceae 37.15, Lauraceae 32.84, Calophyllaceae 54.94, Arecaceae 90.01 Podocarpaceae 105.42, Trimeniaceae 44.78, Primulaceae 58.53, Melastomataceae 76.06 Persentase jenis tumbuhan bawah semak 0.00, herba 35.13, liana 37.84, paku-pakuan 27.03 semak 3.57, herba 33.93, liana 28.57, paku-pakuan 33.93 semak 0.00, herba 35.29, liana 17.65, paku-pakuan 47.06 Jumlah individu pohon 0.24 ha 153 155 222 Jumlah individu pancang 0.06 ha 107 121 201 Jumlah individu semai 0.01 ha 285 738 442 Jumlah individu tumbuhan bawah 0.01 ha 333 177 1 013 Jumlah individu angiosperm dbh ≥10 cm 0.24 ha 11 4 84 Jumlah individu gymnosperm dbh ≥10 cm 0.24 ha 142 145 137 Jumlah individu paku pohon dbh ≥10 cm 0.24 ha 6 1 Kerapatan Pohon indha 638 646 925 Lanjutan Tabel 5.1 Parameter Tipe hutan HSP HPB HPA Kerapatan pancang indha 1 783 2 017 3 350 Kerapatan semai indha 29 688 76 875 46 042 Kerapatan tumbuhan bawah indha 34 688 18 438 105 521 Rata-rata tinggi pohon dbh ≥10 cm m 20.9 ± 0.7 20.5 ± 0.7 15.5 ± 0.4 Rata-rata tinggi angiosperm dbh ≥10 cm m 20.9 ± 0.7 20.6 ± 0.7 14.2 ± 0.5 Rata-rata tinggi gymnosperm dbh ≥10 cm m 14.8 ± 1.6 18.9 ± 3.4 17.5 ± 0.6 Rata-rata tinggi paku pohon dbh ≥10 cm m 8.0 ± 0.5 5.5 Rata-rata diameter pohon cm 25.5 ± 1.4 23.3 ± 1.2 21.9 ± 0.8 Basal area pohon m²ha 46.75 38.28 44.42 Basal area pancang m²ha 3.95 3.71 5.49 Penutupan semai 18.37 42.08 22.83 Penutupan tumbuhan bawah 22.27 12.56 28.05 a HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas; INP: indeks nilai penting; NPS: nilai penting suku. Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa kekayaan dan keanekaragaman jenis tumbuhan mengalami penurunan dengan bertambahnya ketinggian tempat Bab 3. Tingginya keanekaragaman jenis di hutan subpegunungan yang diteliti tidak hanya didominasi oleh satu jenis, seperti pada dua tipe hutan lainnya. Selain itu, areal hutan di plot penelitian ini kemungkinan masih dalam tahap perkembangan, karena jenis dominan utama P. excelsa var. borneensis yang dijumpai dalam penelitian ini bukan merupakan jenis yang menempati lapisan tajuk utama berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya di kawasan TN. Lore Lindu Kessler et al. 2005; Gradstein et al. 2007; Culmsee Pitopang 2009; Culmsee et al. 2010 dan 2011. Sleumer 1971 melaporkan bahwa jenis ini memiliki tinggi maksimal kurang dari 40 meter. Menurut Barbour et al. 1987 bahwa indeks keanekaragaman jenis merupakan informasi penting tentang suatu komunitas. Semakin luas plot yang diamati dan semakin banyak jenis yang dijumpai, maka nilai indeks keanekaragaman jenis cenderung akan semakin tinggi. Nilai indeks keanekagaman yang relatif rendah umum dijumpai pada komunitas yang telah mecapai klimaks. Indeks keanekaragaman Shannon menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan pada tiga tipe hutan yang diteliti tergolong sedang sampai tinggi Barbour et al. 1987 Bab 3. Terlepas dari faktor di atas, McCain dan Grytnes 2010 mengungkapkan bahwa terdapat empat pola kekayaan jenis hubungannya dengan ketinggian tempat, yaitu 1 menurun decreasing, 2 kekayaan jenis tinggi dan selanjutnya menurun low plateau, 3 seperti pola kedua tapi terdapat puncak kekayaan jenis pada ketinggian menengah low plateau with a mid-elevational peak, dan 4 kekayaan jenis tertinggi pada ketinggian menengah mid-elevational peak Gambar 5.1. Berdasarkan hal tersebut, pola kekayaan jenis yang ditemukan dalam penelitian ini mengikuti pola yang keempat, dimana kekayaan jenis tumbuhan sebagian besar mengikuti pola ini McCain 2005. Lanjutan Tabel 5.1

Dokumen yang terkait

Explaining Agricultural Land Use in Villages surrounding the Lore Lindu National Park in Central Sulawesi, Indonesia

0 8 27

Floristic and phytosociology of bryophytes of the Lore Lindu National Park, Sulawesi

1 27 121

Function Of Some Ecosystem Components At Natural Forest And Cacao Agroindustry Sustem At The Margin Of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi

0 16 121

Structure and composition of vegetation in six land use types in the lore lindu national park, Central Sulawesi, Indonesia

0 28 219

Structure and composition of vegetation in six land use types in the lore lindu national park, Central Sulawesi, Indonesia

0 21 418

Estimating Above Ground Trees Biomass Of Forest Cover Using Field Measurement And QuickBird Image In Lore Lindu National Park-Central Sulawesi

0 7 200

Floristic and phytosociology of bryophytes of the Lore Lindu National Park, Sulawesi

0 5 233

Bird Diversity on Several Type of Habitat in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi Province

1 35 139

KAJIAN KOMUNITAS RAYAP AKIBAT ALIH GUNA HUTAN MENJADI AGROFORESTRI DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU, SULAWESI TENGAH (Termites Community Impact of Forest Conversion to Agroforestry in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi) | Zulkaidhah | Jurnal Manusia d

0 0 7

KARAKTERISTIK TANAH DAN MIKROKLIMAT HABITAT BURUNG MALEO (MACROCEPHALON MALEO) DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU SULAWESI TENGAH (Soil Characteristics and Microclimate of Habitat Maleo Bird (Macrocephalon Maleo) in Lore Lindu National Park Central Sulawesi | H

0 0 6