Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya
jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan
kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-
tuntutan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak,
teori ini salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar
kebenaran.[12]
Teori pragmatisme the pragmatic theory of truth menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan utility dapat dikerjakan workobility dan akibat yagn memuaskan satisfaktor consequence. Oleh karena
itu tidak ada kebenaran yang mutak tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah : 1. Sesuai dengan
keinginan dan tujuan, 2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen, 3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis ada.
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha Charles S. Pierce 1914-1939 dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey 1852-1859.
Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu
sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung teori korepondensi atau cara tak langsung
melalui kesan-kesan dari pada realita teori konsistensi. Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.[13]
4. Kebenaran Religius Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar. kebenaran obyektifitas tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran
bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah
kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :
1. C. Konsep kebenaran Objektivitas Dalam Ilmu Pengetahuan
Secara bahasa objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan
lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan. Dalam konteks keilmuan objektivitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika melalui prosedur yang
absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai dengan syarat dan prosedur metode
ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut objektif dan jika tidak maka disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan karenanya dianggap nisbi. Selanjutnya dengan metode ilmiah
itu sebuah ilmu benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu berubah-
ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan teknologi. Bukankah semestinya, sesuatu yang objektif di masa lalu juga objektif di masa sekarang dan
yang akan datang.[14]
Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu betul-betul nihil atau justru eksis dan sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya
kita kaji lebih dulu apa itu ada atau apa itu ontologi.Karena objektif itu seringkali dipahami identik dengan ada, maka bahasan ontologi menjadi perlu untuk dijadikan bahasan awal
dalam pemaparan mengenai objektifitas itu sendiri. Masalah ontologi adalah bagian dari filsafat ilmu yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah.
Termasuk dalam pandangan terhadap hakikat ilmu ini adalah pandangan terhadap sifat ilmu itu sendiri. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial misalkan, khususnya dalam kajian perbandingan
antara pandangan ilmiah dan ajaran Islam dapat dilihat dalam beberapa bahasan. Pertama mengenai pandangan terhadap ilmu sosial itu sendiri, kedua tentang sifat pengetahuan ilmiah,
dan ketiga, masalah kebenaran obyektifitas dan nilai dalam ilmu-ilmu sosial.
Selain itu, secara historis kajian ontologi merupakan bahasan filsafat yang paling tua. Hal ini dikarenakan rasa ingin tahu manusia terhadap hakikat segala sesuatu yang ada termasuk
eksistensinya sebagai manusia. Secara faktual, keberadaan manusia bukanlah sesuatu yang lahir dari kesadaran dirinya, namun disebabkan oleh suatu kehendak di luar dirinya yang
mengharuskan manusia itu sendiri secara pribadi menerima dirinya apa adanya. Manusia sama sekali tidak mengerti mengapa dia berjenis kelamin pria atau wanita dan lahir dari
wanita bangsawan ataupun wanita biasa. Maka dengan kondisi demikian, kajian ontologi dengan sendirinya akan memberikan dampak positif dalam pemaknaan diri dan kehidupan
manusia itu sendiri.[15]
Pengamatan yang mendalam terhadap kehidupan ini secara otomatis akan mengantarkan manusia pada satu kesadaran dimana dia akan mencari sang pencipta yang tidak lain adalah
Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara alamiah konsep kebetulan tidaklah dapat diterima logika sehat. Sebab secara faktual, pengalaman kehidupan, tidak ada yang ada secara sendiri,
demikian juga halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan, karena yang disebut kebetulan itu pada dasarnya ada oleh adanya proses yang ada di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga
ia mengatakan ada itu, ada secara kebetulan, kesimpulan semacam ini tentu keliru, karena telah menegasikan hakikat fakta yang merealita.[16]
Berbeda dengan Barat, bagi mereka yang ada adalah fakta dan kebenaran. Mengenai hal-hal lain yang diluar fakta itu sendiri dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah maka hal tersebut
tidaklah menjadi satu bahasan yang esensial meskipun memiliki peran yang sangat menentukan. Mulyadhi Kartanegara, seorang doktor study Islam dari Chicago AS
menjelaskan bahwa apa yang ada atau ontologi yang diakui oleh peradaban Barat hanya sebatas pada realitas yang bersifat observeable. Dengan kata lain segala hal yang tidak
observeable dianggap nisbi dan karenanya manusia yang masih meyakini hal-hal yang berada jauh diluar jangkauan indera disebut sebagai ilusi semata. Oleh karena itu, positivisme yang
selanjutnya dipopulerkan oleh Auguste Comte menjadi alternatif utama Barat dalam menentukan kriteria ilmiah dan benar dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan.
Afirmasi terhadap ontologi yang bersifat observeable ini bukan tanpa alasan. Jika ditinjau dari sisi historis, hal ini bisa dianggap sebagai kewajaran dan memang sudah selayaknya
Barat dalam kondisi tersebut. Dengan kata lain sekularisasi yang kini mewabah dan menjangkiti sebagian sarjana muslim, relevan bagi Barat namun tidak bagi Islam. Sejarah
Barat yang sangat traumatik terhadap hegemoni gereja pada abad pertengahan menjadi satu alasan kuat akan keniscayaan sekularisasi dan pada akhirnya liberalisasi. Dalam fislafat ilmu,
Auguste Comte 1789 – 1857 memandang tahap berpikir teologis sebagai tahap paling primitif dalam perkembangan pemikiran masyarakat. Menurutnya, cara berpikir teologis
berusaha mencari jawaban absolut dari masalah-masalah yang dihadapi, speerti sebab pertama dan terakhir segala sesuatu. Oleh karena itu Comte pun dalam penjelasan berikutnya
menjelaskan bahwa perkembangan terbaik ketika manusia berpikir positivistis dengan menolak yang absolut dan menerima yang relatif. [17]
Sekularisasi tersebut selanjutnya menjadi wajar dalam dunia kristen. Bernard Lewis menjelaskan bahwa sejak awal mula, kaum kristen diajarkan – baik dalam persepsi maupun
praktis – untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antaa keduanya. Sekularisasi ternyata masih dianggap kurang dan
pada akhirnya sampailah Barat pada diskursus yang sangat mengkhawatirkan yakni Liberalisme. Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto Revolusi Prancis 1789 –
kebebasan, kesetaraan, persaudaraan liberte, egalite, fraternite sebagai piagam agung magna charta liberalisme modern. Lebih jelas H. Gruber menjabarkan bahwa prinsip
liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas – aapapun namanya –a adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia – yakni
otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya. [18]
Sekularisme dan Liberalisme ini sejatinya bentuk lain dari pengakuan bahwa kebenaran obyektifitas yang benar objektif itu adalah apa yang terkandung dalam kedua konsep
tersebut. Dan oleh karena itu, agama pun dinilai nisbi bahkan candu dan membahayakan kehidupan manusia. Pada akhirnya lahirlah satu konsep bahwa objektifitas atau objektif
dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat alamiah mengindentifikasi sebuah objek yang sedang diteliti dipelajari dengan suatu cara dimana hasilnya tidak
tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya.[19] Keobjektifan, pada dasarnya, tidak berpihak, dimana sesuatu secara ideal dapat diterima oleh semua pihak,
karena pernyataan yang diberikan terhadapnya bukan merupakan hasil dari asumsikira-kira, prasangka, ataupun nilai-nilai yang dianut oleh subjek tertentu.
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan intelektual muslim kontemporer yang menggagas Islamisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib Al Attas menegaskan bahwa objektifitas sains
merupakan satu-satunya ilmu yang otentik; bahwa ilmu hanya persangkut-paut dengan fenomena; bahwa sains ini, termasuk pernyataan-pernyataan dasar dan kesimpulan-
kesimpulan umum sain dan filsafat yang diturunkan darinya. Pengakuan kebenaran yang terbatas pada jangkauan indera menjadikan objektif yang ditempuh dengan metode ilmiah
dapat dikatakan absah jika memenuhi syarat prosedural yang meliputi pengamatan percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi, dan analisis. Selain itu juga kebenaran
objektif bebas nilai harus memenuhi standar empiris, sistematis, objektif, analitis, dan verifikatif.
Namun berbeda dengan konsep ada, realitas dan kebenaran atau tataran ontologi dalam cara pandang worldview Islam. Dalam Islam konsep realitas dan kebenaran tidak sebatas pada
dimensi duniawi yang bersifat kedisini-kinian. Tetapi juga meliputi alam akhirat yang bersifat
hakiki. Hakiki disini berasal dari kata haqq yang maknanya mencakup dua pengertian sekaligus yakni tentang realitas dan kebenaran itu sendiri. Berbeda dengan cara pandang
Barat yang partikular sehingga memisahkan pengertian kata, realitas, kebenaran dan fakta sebagai pendukungnya. Lawan dari haqq adalah bathil, yang artinya bukan-realitas atau
kepalsuan. Haqq berarti suatu kesesuaian dengan syarat-syarat kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, ketepatan, realitas dan kepantasan moral. Ia merupakan suatu keadaan, kualitas,
atau sifat yang ditemukan dalam kebijakan, keadlan, ketepatan, kebenaran, realitas, dan kepantasan. Ia merupakan suatu keadaan keniscayaan, sesuatu yang tak terhindarkan, wajib,
hak yang mesti diberikan. Ia merupakan keadaan eksistensi dan mencakup segalanya. [20]
Selain kata haqq, umum kita mengenal kata sidhq, yang berarti kebenaran atau kejujuran, yang lawannya adalah kidzb, yang berarti ketidakjujuran atau kepalsuan. Namun, sidhq hanya
menunjuk kepada kebenaran yang berkaitan dengan pernyataan atau kata-kata yang diucapkan; sementara kata haqq tidak hanya mengacu kepada pernyataan tetapi juga
tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian, serta hal-hal dan kejadian-kejadian dalam eksistensi. Hal-hal dan kejadian-kejadian yang ditunjuk oleh haqq bukan hanya berkaitan
dengan kondisinya sekarang, tetapi juga kondisi yang lalu dan yang akan datang. Dalam hubungannya dengan kondisi yang adkan datang, haqq artinya verifikasi, realisasi, dan
aktualisasi. Sebenarnya, haqq di sini dipahami sebagai mencakup realitas maupun kebenaran yang berkaitan dengan keadaan eksistensi, karena ia merupakan satu dari nama-nama Tuhan
yang menggambarkan-Nya sebagai eksistensi mutlak yang merupakan realitas, dan bukan konsep, eksistensi. [21] Dalam salah satu pandangan yang mencoba memahami secara
partikular tentang eksistensi, eksistensi dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya murni konseptual, sedangkan esensi adalah yang real; esensi adalah realitas yang terwujud di luar
pikiran. Padahal selain konsep eksistensi, ada kenyataan lain, yaitu realitas eksistensi; dan melekatnya eksistensi sebagai suatu konsep murni dalam pikiran merupakan salah satu akibat
dari realitas eksistensi ini.Sebab eksistensi sebagai realitas, berbeda dengan sebagai konsep, dan eksistensi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Ia terus-menerus terlibat dalam suatu
gerakan ekspresi-diri ontologis yang dinamis, ang mengungkapkan kemungkinan- kemungkinan terpendamnya yang tak terhingga, secara bertahap, dari yang kurang pasti
hingga yang lebih pasti, sampai ia muncul pada tingkat entuk yang konkret, sedemikian ingga eksistensi-eksistensi partikular yang kita anggap sebagai “sesuatu”, yang banyak dan
beragam, yang memiliki “esensi” individual yang terpisah-pisah, tidak lain merupakan modus dan aspek-aspek dari realitas eksistensi itu. Dari perspektif ini, esensi sesuatu tidak lebih dari
kenyataan yang ada dalam konsep saja, sedangkan eksistensisesuatu adalah real. Sesungguhnya, esensi sejati sesuatu adalah eksistensi sebagaimana yang diindividuasi ke
dalam suatu bentuk peartikular. Realitas eksistensi inilah yang kita nyatakan sebagai Realitas dan Kebenaran al-haqq yang melingkupi semuanya; dengan ini pula Tuhan, yang bersifat
mutlak dalam segala bentuk perwujudan, disebut. [22]
situs: www.rangkumanmakalah.com DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton dan Achmad Chairis Zubair. 1994. Pustaka Filsafat : Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Kanisius.
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
Iman, M. Shohibul. Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, dalam Seminar Islamisasi IPTEK. Bogor: 13 Juli 1996.
Kuhn, Thomas S.1993. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Suriasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-11. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Syam, Muhammad Noo, 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Woodhose, Mark B. 1983. A Preface to Philosopy. 3rd ed. Wadsworth Publishing Company
[1] Anton Bakker, dan Achmad Chairis Zubair. Pustaka Filsafat : Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Kanisius. 1994., 23
[2] K Bertens,.. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius, 1976, 57 [3] M. Shohibul Iman, Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, dalam Seminar Islamisasi
IPTEK. Bogor: 13 Juli 1996.
[4] Ibid, Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1993. 76
[5] Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1994, 90
[6] Ibid, Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, 76 [7] Ibid, Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. 95
[8] Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-11. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998. 19
[9] Ibid, Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
[10] Ibid, K Bertens,.. Ringkasan Sejarah Filsafa, 65 [11] Ibid, Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 74
[12] Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1988. `197
[13] Woodhose, Mark B. 1983. A Preface to Philosopy. 3rd ed. Wadsworth Publishing Company
[14] Ibid, M. Shohibul Iman, Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, 96. [15] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, 100
[16] Ibid, Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. 189 [17] Ibid, K Bertens,.. Ringkasan Sejarah Filsafa, 65
[18] Ibid, Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 36 [19] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, 112
[20] ibid, Bakker, Anton dan Achmad Chairis Zubair. 76 [21] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, 112
[22] Ibid, Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Ahmad seorang
manusia dan si Ahmad pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan
begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari
keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu
situasi lingkungan tertentu. Teori kebenaran ini termasuk teori kebenaran tradisional. Kelemahan dari teori
koherensi ini terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada
kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran.
2. Teori Korespondensi Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima
secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif fidelity to objective reality. Kebenaran adalah persesuaian
antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan judgement dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena
kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi berhubungan dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
5 Misalnya jika seseorang mengatakan “kota Kediri
terletak di Jawa Timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Kediri memang benar-benar berada
di Jawa Timur. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Kediri berada di 5
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 57 7
Jawa Barat” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota
Kediri bukan berada di Jawa Barat melainkan di Jawa Timur”. Menurut teori korespondensi yang dipelopori Bertrand Russel 1872-1970 ini,
ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi
yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Teori korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional, karena
Aristoteles sejak awal sebelum abad modern mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.
6 Akan tetapi teori korespondensi juga mempunyai kelemahan, karena dengan
mensyarakatkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan, maka dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah bagaimana dengan penginderan yang kurang cermat
atau bahkan indra tidak normal lagi? Disamping itu juga bagaimana dengan objek yang tidak dapat diindra atau non empiris? Maka dengan teori korespondensi objek
non empiris tidak dapat dikaji kebenarannya. 3. Teori Pragmatis
Teori ini dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce 1839-1914, kemudian dikembangkan oleh ahli filsafat yang berkebangsaan Amerika seperti William James
1842-1910, Jhon Dewey 1859-1952, George Herbert Mead 1863-1931, dan C.I. Lewis.
Teori pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan
kebenaran. Dimana kebenaran suatu pernyataan diukur dengan apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu penyataan adalah
benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
7 6
H.M. Abbas, “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997, hlm. 87. 7
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 59 8
BAB I PENDAHULUAN