TINJAUAN PUSTAKA Analisis Nilai Tambang, Kelembagaan Dan Kebijakan Yang Terkait Penambangan Pasir Besi Di Kabupaten Cianjur (Studi Kasus: Perusahaan Pemegang Iup Dan Upr).

tambang mine plan design Edward, 2012. Ijin usaha pertambangan mineral logam menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di bagi menjadi tiga bentuk yaitu: 1. Ijin usaha pertambangan rakyat UPR; 2. Ijin usaha eksplorasi dan produksi IUP dan; 3 Ijin usaha eksplorasi dan produksi khusus IUPK. Menurut Pasal 1 ayat 32 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara UU Minerba, Wilayah Pertambangan Rakyat WPR adalah bagian dari Wilayah Pertambangan dimana kegiatan usaha pertambangan rakyat dilakukan. WPR ditetapkan oleh bupatiwalikota setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota. Pasal 22 UU Minerba mencantumkan beberapa kriteria untuk menetapkan WPR yang diumumkan kepada masyarakat secara terbuka oleh bupatiwalikota setempat, yakni: Adanya cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai danatau di antara tepi dan tepi pantai; Adanya cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 dua puluh lima meter; Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; Luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 dua puluh lima hektar; Ijin Usaha Pertambangan IUP eksplorasi adalah izin yang diberikan untuk kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan dalam rangka pertambangan. Menurut Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara PP 232010, IUP eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan WIUP. Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP. Ijin Usaha Pertambangan IUP Operasi Produksi diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi. Pasal 46 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara UU Minerba mengatur bahwa setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. Menurut Pasal 22 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara bahwa salah satu bagian dari IUP produksi adalah IUP produksi mineral logam, termasuk pasir besi. Menurut Pasal 1 ayat 33 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Wilayah Pencadangan Negara WPN adalah bagian dari Wilayah Pertambangan yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR, dengan memperhatikan aspirasi daerah, menetapkan WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. Di dalam Pasal 27 ayat 4 UU Minerba diatur bahwa WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu atau untuk konservasi dapat diusahakan dengan jenis Ijin Usaha Pertambangan Khusus, dengan persetujuan DPR, yang statusnya nanti berubah menjadi Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus WIUPK. Ijin usaha pertambangan khusus terdirin atas ijin usaha ekplorasi khusus dan ijin usaha produksi khusus Ijin Usaha Pertambangan Khusus IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan dalam rangka pertambangan. Menurut Pasal 62 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara PP Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, IUPK Eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari Badan Usaha Milik Negara BUMN, Badan Usaha Milik Daerah BUMD, atau badan usaha swasta yang telah mendapatkan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus WIUPK. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, memuat puraturan turunan yang akan mengatur mekanisme peningkatan nilai tambah dari hasil tambang. Salah satu aturan turunan tersebut adalah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 111 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Aktor dan mekanisme Hubungan dalam Praktek Pertambangan Mineral Logam di Indonesia Terdapat 2 dua mekanisme hubungan antar aktor dalam praktik pertambangan di Indonesia, yaitu hubungan formal danatau prosedural; dan hubungan informal. Hubungan formal danatau prosedural antar lembaga di dalam lingkungan birokrasi pemerintahan baik pusat atau daerah, antara pemerintah dengan dunia usaha baik pemodal dalam negeri PMDN atau pemodal asing PMA dan masyarakat yang mekanismenya diatur di dalam suatu peraturan formal, antara institusi lokal kecamatan dan desa dengan masyarakat dalam konteks kewenangan formalnya, serta antara dunia usaha dengan masyarakat dalam konteks aturan formal. Hal ini terjadi ketika terdapat aturan yang jelas dan transparan dalam berinteraksi, baik melalui mekanisme regulasi formal, hubungan struktural, maupun regulasi di tingkat lokal atau di dalam internal lembaga itu sendiri. Hubungan formal danatau struktural terjadi di dalam konteks kelembagaan formal. Hubungan seperti ini dapat dengan mudah diidentifikasi, baik melalui wawancara maupun kajian dokumen legal karena prosedurnya sudah jelas dan transparan. Hubungan formal ini memiliki keterbatasan dalam memfasilitasi dan menyelesaikan isu dan permasalahan dalam situasi berkonflik karena sifatnya yang prosedural Suhirman, et al., 2013 Situasi yang terjadi dalam kasus pertambangan mineral logam merupakan situasi yang kompleks, berbagai kelompok aktor melakukan tindakan untuk memaksa dan mempengaruhi aktor lain agar sejalan dengan kepentingannya. Munculnya kelompok kepentingan di luar konteks kelembagaan formal seperti Ormas, LSM, dan media difasilitasi oleh lingkungan membuat situasi semakin cair dan dinamis. Hubungan informal yang terjadi dalam praktik pertambangan pasir besi, sebagian besar didorong oleh kepentingan ekonomi. Dalam hal ini dunia usaha menjadi aktor yang memiliki power besar untuk mempengaruhi sikap aktor lain. Namun, tidak semua aktor bergerak atas nilai ekonomi, beberapa aktor yang meskipun tidak dominan, bergerak karena nilai-nilai lingkungan Suhirman, et al., 2013. Pasir Besi Pasir besi merupakan salah satu mineral logam yang tersedia cukup banyak di Indonesia, selain itu mineral ini merupakan jenis mineral yang paling umum kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pasir besi merupakan bahan utama dalam pembuatan besi baja. Penggunaan baja terutama dalam aplikasi teknik struktural dan dalam tujuan keteknikan, mobil, dan aplikasi industri Australian Mines Atlas, 2013. Karakter dari endapan besi berupa endapan logam yang berdiri sendiri namun sering ditemukan berasosiasi dengan mineral logam lainnya. Kadang besi terdapat sebagai kandungan logam tanah, namun jarang yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Endapan senyawa besi yang ekonomis umumnya berupa magnetite, hematite, limnite, dan siderite. Kadang kala berupa mineral: pyrite, pyrhotite, marcasite dan chamosite. Senyawa magnetit adalah mineral dengan kandungan Fe paling tinggi dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang lain, tetapi terdapat dalam jumlah kecil. Sementara hematit merupakan mineral biji utama yang dibutuhkan dalam industri besi. Berdasarkan proses terjadinya sedimentasi, besi dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis. Pertama sedimentasi besi primer, terjadi karena proses hidrotermal, kedua sedimentasi besi laterit terbentuk akibat proses pelapukan, dan ketiga sedimentasi pasir besi terbentuk karena proses rombakan dan sedimentasi secara kimia dan fisika Bambang, 2007. Proses pengolahan pasir besi menjadi besibaja dengan prinsip reduksi, yaitu mereaksikan konsentrat bijih besi yang terbenefisiasi dengan reduktor seperti karbon C yang dapat diperoleh dari batubara atau arang kayu, baik dalam bentuk padat maupun cair pada temperatur yang tinggi, akan diperoleh logam besi Fe. Dalam sejarah, teknologi pembuatan besi yang kemudian berkembang dengan semakin meningkatnya kemampuan tanur peleburan untuk melebur logam pada temperatur yang semakin tinggi karena ditemukannya kokas batubara, memberi manfaat dengan ditemukannya baja Djamaludin, 2012. Teori Pemanfaatan Sumberdaya Mineral Tujuan utama dalam pemanfaatan sumberdaya mineral adalah memaksimumkan keuntungan. Tujuan ini dicapai dengan memilih tingkat ekstraksi optimal selama masa ijin. Jika ada komponen biaya yang dapat dihindari dan dibebankan kepada pihak lain, maka tanpa regulasi yang efektif komponen biaya tersebut tidak akan ditanggung oleh perusahaan. Hal seperti ini dapat menghasilkan kondisi dimana pemanfaatan sumberdaya minerba menguntungkan secara finansial tetapi merugikan secara ekonomi. Untuk sederhananya, jika present value dari hasil penjualan hasil tambang adalah S dan present value dari biaya eksplorasi, eksploitasi, dan reklamasi adalah C, maka present value dari pemanfaatan sumberdaya minerba adalah: W=S-C Jika W0, maka pemanfaatan sumberdaya minerba secara finansial layak atau menguntungkan bagi pelakunya. Tetapi apakah hal ini juga menguntungkan secara sosial masih perlu dikaji lebih jauh karena biaya yang diperhitungkan masih belum tentu mencakup seluruh biaya pemanfaatan sumberdaya minerba tersebut Edward 2012. Deplesi dan Degradasi Lingkungan Dalam kegiatan pertambangan pasir besi pasti terjadi penyusutan atau depresiasi cadangan. Depresiasi dalam kegiatan pertambangan ini berupa deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan. Volume deplesi fisik pasir besi sama dengan volume poduksi pasir besi. Tetapi nilai deplesi tidak sama dengan nilai produksi, karena nilai deplesi pasir besi harus mencerminkan nilai sumber daya alam tersebut sewaktu ditempatnya. Jadi nilai produksi harus dikurangi dengan biaya produksi dan balas jasa investasi pasir besi, dan hasilnya baru sama dengan nilai pasir besi. Cara menghitung nilai deplesi adalah dengan menggunakan unit rent atau unit price, yaitu harga sumber daya alam di pasar dikurangi biaya produksi per unit dan balas jasa investasi per unit atau yang disebut laba layak Dhewanti, L. et al. 2011. Degradasi lingkungan atau menurunnya kualitas lingkungan biasanya mengiringi kegiatan pertambangan. Pada kegiatan penambangan pasir besi di pantai akan diikuti dengan kegiatan pengerukan pasir pantai yang menyebabkan hilangnya hamparan pasir pantai, penurunan kualitas udara akibat debu kendaraan pengangkut pasir besi, hilangnya vegetasi pantai, kerusakan ekosistem biota laut, hilangnya potensi pariwisata dan kerusakan jalan akibat pengangkutan hasil tambang. Nilai keberadaan dan pilihan juga akan hilang pada kegiatan penambangana pasir besi. Permasalahan Kerusakan Jalan Secara umum peran jalan dapat dilihat dalam dua dimensi utama yaitu jalan sebagai penyedia akses menuju suatu persil lahan dan jalan sebagai penyedia layanan pergerakan orang dan barang. Dalam perspektif yang lebih luas jalan mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam pertumbuhan suatu wilayah baik secara fisik maupun ekonomi dengan keberadaan jalan yang baik. Akibat dari pemanfaatan jalan oleh sekelompok orang untuk kepentingan ekonomi telah menimbulkan kerusakan jalan yang parah. Akibat dari kerusakan jalan orang harus mengeluarkan biaya lebih apabila akan melewati jalan tersebut, misalnya melonjaknya biaya bahan bakar, meningkatnya resiko kecelakaan, berkurangnya kenyamanan dalam berkendara dan lain-lain Edward, 2012. Pemeliharaan jalan meliputi tiga kegiatan utama yaitu pemeliharaan rutin, pemeliharaan periodik dan kegiatan rehabilitasi jalan, kegiatan ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, disebabkan karena kurangnya dana untuk menunjang kegiatan operasi dan pemeliharaan ADB, 2003. Ketiadaan kegiatan operasi dan pemeliharaan jalan yang berjalan sebagaimana mestinya menyebabkan kondisi perkerasan jalan makin menurun dan bahkan terkadang hilang karena tergerus limpasan air. Kurangnya perhatian karena aspek operasi pada bagian pemeliharaan jalan akan memberikan dampak yang kurang bagus bagi pengguna jalan. Karena hal ini akan mendorong peningkatan biaya untuk kegiatan pemeliharaan, karena kerusakan jalan akan semakin parah, bahka jalan yang semula rusak ringan, karena ketiadaan pemeliharaan sacara rutin akan cepat berubah menjadi rusak total. Pada kasus kerusakan jalan, biasanya perusahaan pelaku kerusakan akan melakukan pembiaran sehingga biaya dibebankan oleh mereka kepada masyarakat atau pemerintah sebagai pemangku kepentingan pembangunan. Pada kasus penambangan pasir besi yang menyebabkan kerusakan jalan, masyarakat mengalami kerugian berupa kehilangan waktu tempuh yang berimplikasi pada hilangnya pendapatan selama waktu yang hilang tersebut dan bertambahnya konsumsi BBM kendaraan yang mereka tumpangi. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini. Harga Gambar 1. Dampak Eksternalitas Negatif Sumber: Kahn 1998 Gambar di atas menunjukkan kurva permintaan dan kurva penawaran dalam suatu unit usaha yang dalam proses produksinya menghasilkan biaya eksternalitas negatif bagi orang lain. Mula-mula usaha tersebut memproduksi output sebesar X 1 dengan harga sebesar P 1 maka kurva penawarannya sepanjang kurva S. Dengan adanya biaya eksternalitas yaitu diwajibkannya membayar kompensasi oleh pemerintah untuk setiap eksternalitas yang ditimbulkan maka industri tersebut mengurangi produksi outputnya menjadi X 2 dan menaikkan harga yang mula-mula sebesar P 1 sekarang harga outputnya menjadi P 2 . Oleh karena itu kurva penawarannya bergeser ke kiri atas di sepanjang kurva MC Kahn, 1998. S=MC X 1 Biaya eksternalitas P 2 MC D P 1 X 2 Pendekatan Kelembagaan dalam Pengelolaan Penambangan Pasir Besi Masalah pengelolaan sumber daya mineral logam berupa pasir besi bersifat kompleks karena tidak hanya berkaitan dengan isu ekstraksi, managemen, kepemilikan, dan kelembagaan tetapi terkait dengan faktor yang lebih luas seperti sosial, lingkungan dan pilihan-pilihan politik. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh aspirasi masyarakat, pembangunan dan kesejahteraan manusia Ostrom, 1990. Kita perlu mengetahui tata kelola penambangan pasir besi yang tepat sebagai bagian dari sumber daya alam tersebut. Karakteristik ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai Common Pool Resources CPRs. Penggunaan istilah Common Pool Resources CPRs diperkenalkan oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom 1990, mereka menyebutkan bahwa CPRs merujuk pada sumber daya buatan manusia atau alami yang cukup luas dan untuk membuatnya membutuhkan biaya yang besar serta dibuat untuk tujuan terbatas dengan pengguna sumber daya yang terbatas pula. CPRs dicirikan dengan sifatnya yang rivalnesssubstractable dan non excludable. Lembaga dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan working rules yang digunakan untuk menentukan siapa yang berhak untuk membuat keputusan dalam beberapa arena, tindakan apa yang diikuti atau dibatasi, aturan agregasi apa yang akan digunakan, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang harus atau tidak harus diberikan, dan hadiah apa yang akan diberikan kepada individu tergantung pada tindakan mereka Ostrom 1986. Aturan working rules adalah pengetahuan umum dan dipantau dan ditegakkan E. Ostrom, 1990. Aturan ini mungkin bersifat informal atau mungkin sangat mirip dengan hukum formal yang disajikan dalam peraturan perundang- undangan, peraturan administratif, dan keputusan pengadilan. Gambar 2 . Pendekatan Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam Ostrom, 1990 Analisis Stakeholder Stakeholder adalah semua yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan atau tindakan Reed et al. 2009. Sedangkan analisis stakeholder merupakan suatu proses pengumpulan secara sistematis dan analisis informasi secara kualitatif untuk menentukan kepentingan siapa yang harus diperhitungkan ketika mengembangkan danatau menerapkan suatu kebijakan atau program. Penggunaan analisis stakeholder akan memungkinkan para pembuat kebijakan mendasarkan keputusan mereka pada pemahaman riil tentang bagaimana stakeholder yang berbeda-beda itu dapat memperoleh keuntungan atau kerugian dari kebijakan atau proyek. Menurut Reed et al. 2009 analisis stakeholder dilakukan dengan cara, antara lain: melakukan identifikasi stakeholder, mengklasifikasikan stakeholder dan menyelidiki hubungan antar stakeholder menurut tingkat pengaruh dan kepentingannya. Analisis SWOT Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi kebijakan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan Strenghts dan peluang Opportunities, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan Weakness dan ancaman Treats. Pengambilan keputusan strategis selalu terkait dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan Rangkuti 2013. Analisis ini dapat dikombinasikan dengan analisis AHP untuk menentukan kebijakan strategis yang lebih baik Ishizaka, A. et al. 2012 Analisis AHP Analisis AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah Marimin el al. 2013. Penilaian setiap tingkat hierarki dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty 1983, untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Skala 1-9 ditetapkan sebagai pertimbangan dalam membandingkan pasangan elemen di setiap tingkat hierarki terhadap suatu elemen yang berada di tingkat atasnya. Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pemikiran terhadap aspek keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam pada dasarnya muncul karena adanya kesadaran terhadap dampak lingkungan yang merugikan manusia. Banyak literatur yang berusaha untuk menemukan definisi terbaik yang jika dioperasionalisasikan ke dalam konsep kebijakan akan mengarah pada manfaat outcome yang diharapkan Rydin, 2003. Perkembangan isu dan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara global juga telah mempengaruhi kelembagaan pengelolaan SDA di Indonesia, terutama setelah era reformasi yang terjadi dalam kurun waktu tahun 1998 – 2008. Dalam konteks nasional, terjadi transisi kelembagaan di sektor pertambangan secara fundamental semenjak era otonomi daerah. Hal ini dicirikan dengan digantikannya UU No.11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan yang bersifat sentralistik dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang bersifat desentralistik serta mengadopsi paradigma baru dalam pengelolaan pertambangan. Berdasarkan UU No.4 Tahun 2009, daerah kabupaten memiliki peran dan kewenangan yang besar untuk mengelola pertambangan di daerah otonomnya. Di sisi lain, pemerintah kabupaten memiliki keterbatasan kapasitas SDM dan pengalaman dalam mengelola pertambangan. Hal ini telah menimbulkan berbagai persoalan seperti tumpang tindih kepentingan sektoral, tumpang tindih ijin pertambangan, kerusakan lingkungan, praktik pertambangan ilegal dan konflik sosial di masyarakat Edward 2012. Adanya kekosongan hukum pada peraturan yang lebih teknis mengakibatkan lemahnya kerangka aturan formal dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat daerah. Oleh karena itu, dinamika kelembagaan dalam proses pengambilan keputusan secara utama dipengaruhi oleh jejaring dan wacana aktor yang terbentuk dari pola relasi dan sistem nilai yang melekat pada aktor. Jejaring aktor ini sebagian besar adalah jejaring informal yang terbentuk di dalam konteks kerangka aturan informal dan bersifat dinamis dan cair dan sebagian besar didasari oleh kepentingan ekonomi. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang dikeluarkan dalam pertambangan pasir besi sebagian besar mendukung kepentingan ekonomi, baik pengusaha, masyarakat lokal, maupun perekonomian daerah. Kebijakan Pembangunan di Tingkat Daerah Otonomi Daerah telah mengubah sistem tata pengaturan dan pemerintahan di Indonesia secara mendasar. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah merupakan produk hukum yang membuka kesempatan pada penegakan kedaulatan lokal, keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat, sekaligus penetrasi kapital dari aktor ekonomi global ke aktor lokal secara langsung melalui sistem politik yang mengkondisikan ekslpoitasi SDA. Lahirnya undang-undang tentang pemerintahan daerah ini dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah PKPD diharapkan memiliki dampak signifikan bagi pendapatan daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral. Daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang signifikan akan memiliki alokasi yang besar dari penerimaan negara yang diatur dalam undang-undang tersebut dan Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB dan penerimaan dari sumberdaya alam. Untuk sektor pertambangan umum di bagi dengan imbangan 20 Pemerintah Pusat, 16 Propinsi, 32 KabupatenKota Penghasil dan 32 KabupatenKota dalam Propinsi. Di dalam proses pembangunan, kelestarian pembangunan memerlukan prasyarat berupa kelestarian daya dukung lingkungan dan sosial. Prasyarat tersebut terpenuhi dengan cara pengelolaan SDA yang berefisiensi tinggi. Efisiensi ini diharapkan dapat terwujud melalui kebijakan otonomi daerah, karena kebijakan ini mendekatkan akses para aktor pembangunan daerah terhadap potensi daerahnya. Namun ada sisi lain dari OTDA ini yang menimbulkan masalah bagi proses pembangunan, sebagaimana yang diutarakan Kartodiharjo 2006, menurutnya masalah-masalah mendasar ekonomi politik SDA di Indonesia sejak pemberlakuan otonomi daerah adalah: 1. Substansi peraturan perundang-undangan cenderung bersifat eksploitatif terhadap SDA. 2. Tindakan eksploitasi SDA secara ilegal menjadi instrumen pembenaran bagi pemerataan pemanfaatan SDA oleh masyarakat di kawasan SDA yang dimaksud. 3. Proses-proses politik, terutama di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada eksploitasi SDA. Usaha penambangan yang eksploitatif lebih sering menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat sekitarnya, terutama kerusakan lingkungan.

3. KERANGKA PEMIKIRAN

Hampir semua eksploitasi sumberdaya alam menimbulkan dampak lingkungan baik eksternalitas positif maupun negatif. Tahap awal penelitian ini adalah menghitung besarnya nilai ekonomi penambangan pasir besi dengan mempertimbangkan aspek kerusakan lingkungan. Kerangka Penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini. Keterangan: Metode Analisis Bagian dari Penelitian Bagian yang tidak tercakup dalam penelitian Gambar 3. Skema Alur Kerangka Pemikiran Penelitian Kerusakan ekosistem pantai Pencemaran udara Kerusakan lahan pertanian Kerusakan lahan bekas tambang Kerusakan sarana prasarana Hilangnya potensi wisata Kerusakan habitat biota laut Manfaat yang hilang karena illegal mining Struktur Aturan Main Tambang Pasir Besi Pola Pengelolaan Penambangan Kegiatan Ekstraksi Pasir Besi Kelembagaan Stakeholder Manfaat Biaya Kerusakan Jalan Nilai tambang pasir besi dengan memperhatikan biaya kerusakan lingkungan O perasional Kebijakan Baru Penambangan Pasir besi Analisis Benefit dan cost Analisis Stakeholder Analisis SWOT dan AHP Aspek kelembagaan juga dikaji sehingga stakeholder yang berperan dalam kegiatan penambangan dapat identifikasi dengan jelas peran dan kontribusinya serta pengaruh dan kepentingan mereka. Pengkajian antara analisis biaya dan kelembagaan akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan penambangan yang tepat dengan menggunakan metode SWOT dan AHP.

4. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cidaun Kabupaten Cianjur dan di ruas jalan yang dilalui angkutan pasir besi yaitu ruas Sindangbarang-Cianjur; dan ruas Warungdanas-Cinangsi, kedua ruas jalan ini juga berada di Kabupaten Cianjur. Pemilihan lokasi ini dilakukan karena potensi cadangan pasir besi yang telah dieksploitasi cukup besar, namun proses penambangannya masih menimbulkan masalah lingkungan. Perusahaan penambangan pasir besi yang diteliti adalah perusahaan yang mendapatkan legalitas perijinan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur. Waktu penelitian dilaksanaakan pada bulan Juni-September 2014. Jenis dan Sumber Data Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi kunci dari informan yang memiliki kompetensi untuk menjelaskan mengenai keberadaan penambangan pasir besi di Kabupaten Cianjur dan kebijakan yang lebih tepat yang bisa diambil. Wawancara dengan penambang, UPR dan perusahaan pemegang ijin usaha penambangan IUP untuk mendapatkan gambaran nilai biaya dan manfaat. Adapun survei terhadap pengendara motor, mobil dan angkutan umum untuk memperoleh nilai kerusakan jalan. Jumlah sampel tersebut merupakan 10 dari populasi menurut Gay 1987. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Rincian Informan dan Sampel No. Informasi Kunci dan Sampel Jumlah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Pejabat Dinas Bina Marga Pejabat BAPPEDA Pejabat Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air dan Pertambangan Tokoh Pertambangan LSM Pejabat Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Pejabat Kantor Lingkungan Hidup Pejabat Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Pemerintah Desa Tokoh masyarakat sekitar pertambangan Pengusaha tambang UPR dan pemegang IUP Produksi Pekerja tambang Pengendara mobil, motor dan angkutan umum 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 3 orang 50 Pekerja 289 pengendara Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan sekunder. Tabel 4 dibawah ini adalah matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini :