Kadar Air dan Total Mikroba pada Daging Sapi di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Bandar Lampung

(1)

ABSTRAK

KADAR AIR DAN TOTAL MIKROBA PADA DAGING SAPI DI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN (TPH) BANDAR LAMPUNG

Oleh

Deni Hernando Siadari

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengetahui kadar air pada daging sapi di Tempat Pemotongan Hewan Bandar Lampung ; 2) mengetahui total mikroba pada daging sapi di Tempat Pemotongan Hewan Bandar Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 dari Tempat Pemotongan Hewan di Bandar Lampung. Analisis kadar air dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Jurusan Peternakan dan pengujian total mikroba dilaksanakan di Laboratorium Penguji Balai Veteriner Lampung. Penelitian ini menggunakan metode sensus. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisa deskriptif kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kadar air daging sapi di TPH Ibu Mul adalah 71,92% dan 71,55%. Total mikroba daging sapi di TPH Ibu Mul adalah 0,67 x105CFU/gram dan 1,2 x105CFU/gram. Kadar air daging sapi di TPH H. Bustomi adalah 74,84% dan 74,43%. Total mikroba daging sapi TPH H. Bustomi adalah 0,46x105CFU/gram dan 5,9 x105CFU/gram. Kadar air daging sapi di TPH H. Udin adalah 74,24% dan 73,14%. Total mikroba daging sapi di TPH H. Udin adalah 4,9x 105CFU/gram dan 0,088x105CFU/gram. Kadar air daging sapi di TPH Bapak Ampan adalah 72,22% dan 72,65%. Total mikroba daging sapi di TPH Bapak Ampan adalah 4,4x105CFU/gram 0,075x105CFU/gram.

Berdasarkan kadar air dan total mikroba daging sapi di TPH Bandar Lampung masih layak untuk dikonsumsi.


(2)

KADAR AIR DAN TOTAL MIKROBA PADA DAGING SAPI DI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN (TPH) BANDAR LAMPUNG

Oleh

Deni Hernando Siadari

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

Pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(3)

(4)

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tanggal 12 Mei 1991, sebagai anak keempat dari 5 bersaudara dari Bapak Joharudin Siadari (Alm) dan Ibu Lastinauli Silalahi

Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Xaverius Panjang pada tahun 1997, sekolah dasar di SD Xaverius Panjang pada tahun 2003; sekolah menengah pertama di SMP Xaverius Pahoman pada tahun 2006; sekolah

menengah atas di SMAK BPK Penabur pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas

Pertanian, Universitas Lampung.

Selama masa studi penulis aktif di HIMAPET (Himpunan Mahasiswa Peternakan) sebagai Anggota Bidang 4 Dana dan Usaha di periode kepengurusan 2010-2011, sebagai anggota GMKI pada tahun 2011-2012 dan sebagai Sekertaris Komisariat Pertanian-Teknik di Bandar Lampung di periode 2011-2012.


(6)

Dengan penuh rasa syukur dan sukacita yang mendalam kepada

Tuhan Yesus Kristus

Saya persembahkan maha karya ini sebagai

bentuk bakti dan terima kasih kepada :

Kedua orang tua, kak Nina, Kak Juliana, Kak Elia, Dedi ,dan ketiga

keponakanku atas segala cinta kasih dan doa yang senantiasa

mengiringi dalam setiap langkah dan perjalanan hidup saya

orang-orang yang selalu memotivasi saya, membantu saya, sehingga

saya dapat menjalani proses pembelajaran hingga akhir

Serta

Almamater terkasih yang saya banggakan dan turut serta membentuk

diri dan mendewasakanku dalam bersikap, berpikir dan bertindak.


(7)

Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam

kesesakan, dan bertekunlah dalam doa

( Roma 12 : 12 )

Masa depan seperti permata yang terkubur oleh sebab itu

kita harus rajin dan sabar untuk menggalinya karena

masa depan itu di tangan kita sendiri

( My Mother )

Hiduplah sesuai dengan keinginan, kesabaran, ketulusan

dengan harapan yang penuh kasih dan kebahagian yang

penuh cinta


(8)

x

SANWACANA

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan berkat dan karuniaNya penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi

Skripsidengan judul “Kadar Air dan Total Mikroba pada Daging Sapi di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) BandarLampung”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Ibu Dian Septinova, S. Pt., M.T.A.-- selaku Dosen Pembimbing Utama--atas bimbingan, motivasi, serta nasehatnya;

2. Bapak Dr. Kusuma Adhianto, S. Pt., M.P.--selaku Dosen Pembimbing anggota--atas bimbingan, saran, dan motivasinya;

3. Bapak drh. Madi Hartono, M.P .--selaku Dosen Penguji—atas kritik, saran, perbaikan dan motivasinya;

4. Bapak Liman, S. Pt., M.Si. --selaku Pembimbing Akademik--atas bimbingan, motivasi, dan dukungan selama kuliah;

5. Prof. Dr. Ir. H. Wan Abbas Zakaria, M.S.--selaku Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung--atas izin yang diberikan;

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S.--selaku Ketua Jurusan Peternakan--atas izin untuk melaksanakan penelitian;

7. Ibu Sri Suharyati, S. Pt., M.P.--selaku Sekertaris Jurusan Peternakan--atas izin dan bimbingannya;


(9)

xi

8. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan Peternakan atas bimbingan, saran, dan motivasi yang diberikan;

9. Bapak (Alm), Mama, Kakak-adikku tersayang Nina Mariana Siadari, Juliana Siadari,Elia Nora Siadari dan Dedi Hernando Siadari, keponakanku,Juan Farrel Manurung, Joice Manurung , Steven Simanungkalit atas kebersamaan, keceriaan, bantuan, dan kasih sayang selama ini;

10. Allda, Nikodemus, dan Sugioto selaku sahabat seperjuangan dalam penelitian atas kerjasama, bantuan, dan motivasi;

11. Saudara seangkatan, Fadilah, Sadam, I Nyoman, Dhimas, Zulfi, Dani P, Tias, Darwin, Rahdian, Alden,dan semua angkatan ‘09 Jurusan Peternakan atas dukungan dan kebersamaannya;

12. Seluruh kakanda serta adinda baik yang masih menyelesaikan studinya di Jurusan Peternakan dan yang sudah menyelesaikan masa studinya atas dukungan dan arahan yang diberikan;

13. Seluruh pihak yang telah ikut andil dalam menyelesaikan skripsi ini akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi yang membacanya. Amin.

Semoga semua yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dan Tuhan Yang Maha Esa, dan semoga karya ini dapat bermanfaat. Amin.

Bandar lampung, September 2014 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Kegunaan Penelitian ... 3

D. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Tempat Pemotongan Hewan (TPH) ... 7

B. Fungsi Tempat Pemotongan Hewan ... 9

C. Tipe Tempat Pemotongan Hewan ... 10

D. Teknik Pemotongan pada Sapi di TPH ... 15

1. Pengistirahatan ... 16

2. Proses karkas sapi ... 17


(11)

2.2 Penyembelihan ... 18

2.3 Pengulitan ... 18

2.4 Eviservasi ... 19

2.5 Pembelahan ... 20

2.6 Pendinginan ... 20

3. Potongan pada karkas sapi ... 20

C. Daging ... 22

D. Kadar Air ... 25

E. Cemaran Mikroba pada Daging ... 26

F. Bakteri ... 29

III. BAHAN DAN METODE ... 31

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 31

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 31

1. Alat penelitian ... 31

2. Bahan penelitian ... 31

C. Peubah yang Diamati ... 32

D. Metode Penelitian ... 32

E. Pengumpulan dan Analisis Data ... 32

F. Prosedur Penelitian ... 33

1. Penentuan dan pengambilan sampel daging ... 33

2. Pengujian TPC... 33

2.1 Cara Kerja ... 33

2.2 Cara Uji ... 34


(12)

3. Uji kadar air ... 35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Gambaran Umum Tempat Pemotongan Hewan ... 36

B. Kadar Air Daging Sapi dan Total Mikroba daging sapi di Tempat Pemotongan Hewan ... 44

1. Kadar air daging sapi TPH Ibu Mul ... 44

2. Total mikroba daging sapi TPH Ibu Mul ... 46

3. Kadar air daging sapi TPH H. Bustomi ... 47

4. Total mikroba daging sapi TPH H. Bustomi ... 48

5. Kadar air daging sapi TPH H. Udin ... 50

6. Total mikroba daging sapi TPH H. Udin ... 51

7. Kadar air daging sapi TPH Bapak Ampan ... 51

8. Total mikroba daging sapi TPH Bapak Ampan ... 52

C. Pembahasan Umum ... 53

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perbandingan Spesifikasi Persyaratan Mutu

Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) ... 28 2. Nama TPH di Bandar Lampung... 36 3. Kadar air daging sapi dan total mikroba daging sapi dari TPH

di Bandar Lampung... 44 4. Kuisioner TPH di Bandar Lampung ... 64


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar . Halaman

1. Bagan alir proses produksi daging di RPH ... 15

2. Potongan Karkas Sapi ... 22

3. Proses pemotongan di TPH Ibu Mul ... 64

4. Proses pemotongan di TPH Haji Udin ... 64


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

menimbulkan gangguan bagi yang memakannya. Daging digunakan sebagai penganekaragaman sumber pangan karena daging dapat menimbulkan kepuasaan dan kenikmatan bagi yang memakannya. Kandungan gizi dari daging sangat lengkap sehingga keseimbangan gizi dapat terpenuhi. Salah satu daging yang banyak dikonsumsi oleh manusia adalah daging sapi (Soeparno, 2005).

Kebutuhan daging sapi untuk masyarakat semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di berbagai daerah. Hal ini

menyebabkan produsen daging sapi harus memperhatikan kualitas daging sapi saat daging akan dipasarkan sehingga daging sapi aman dan sehat saat

dikonsumsi. Daging sapi mengandung zat gizi yang tinggi terutama proteinnya dengan komposisi asam amino yang seimbang dan bermanfaat bagi tubuh manusia (Soeparno, 2005).

Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan hewani yang dibutuhkan bagi tubuh manusia karena kaya akan protein dan asam amino lengkap yang diperlukan oleh tubuh. Selain protein, daging sapi juga kaya akan air, lemak, dan komponen


(16)

2 organik lainnya. Kandungan gizi yang baik di dalam daging ini sangat

mempengaruhi perkembangan mikroorganisme.

Penyediaan daging sapi yang kandungan mikrobanya tidak melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) sangat diharapkan dalam memenuhi persyaratan untuk mendapatkan daging sapi yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH). Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan tempat yang rawan dan berisiko cukup tinggi terhadap cemaran mikroba patogen. Setelah ternak

dipotong, mikroba yang terdapat pada hewan mulai merusak jaringan sehingga bahan pangan hewani cepat mengalami kerusakan bila tidak mendapat

penanganan yang baik (Rahayu, 2006).

Fardiaz (1992) mengatakan bahwa daging sapi mudah rusak dan merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba, karena tingginya kandungan air dan zat gizi seperti protein. Hal ini sesuai dengan pendapat Hedrick (1994) yang menyatakan bahwa daging dan olahannya dapat dengan mudah menjadi rusak atau busuk, oleh karena itu penanganan yang baik harus dilakukan selama proses berlangsung. Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging adalah

escherichia coli, salmonella sp,danstaphylococcus sp. Mukartiniet al.(1995), menyatakan kontaminasi mikroba pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang tidak higienis, begitu juga sumber air dan

lingkungan tempat diolahnya daging tersebut sebelum sampai kepada konsumen.

Pertumbuhan mikroba pada daging sangat dipengaruhi oleh kadar air daging, karena kandungan air dalam bahan makanan memengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba. Kandungan air tersebut dinyatakan dengan


(17)

3

water activity, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Kelembaban dan kadar air biasanya berpengaruh

terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Kasmadiharja (2008) menyatakan bahwa kadar air yang meningkat dipengaruhi oleh jumlah air bebas yang terbentuk sebagai hasil samping dari aktivitas bakteri.

Berdasarkan uraian yang ada di atas maka perlu ditelaah lebih jauh mengenai cemaran mikroba dan kadar air pada daging sapi dari Tempat Pemotongan Hewan (TPH) yang ada di Bandar Lampung.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. mengetahui kadar air pada daging sapi di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Bandar Lampung;

2. mengetahui total mikroba pada daging sapi di TPH Bandar Lampung.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat,

stake holder, dan dinas terkait tentang cemaran mikroba dan kadar air pada daging sapi yang berasal dari TPH di Bandar Lampung.


(18)

4

D. Kerangka Pemikiran

Setiap bahan pangan selalu mengandung mikroba yang jumlah dan jenisnya berbeda. Pencemaran mikroba pada bahan pangan merupakan hasil kontaminasi langsung atau tidak langsung dengan sumber-sumber pencemar mikroba, seperti tanah, air, debu, saluran pencernaan, dan pernafasan manusia atau hewan. Dalam batas-batas tertentu kandungan mikroba pada bahan pangan tidak banyak

berpengaruh terhadap ketahanan bahan pangan tersebut. Akan tetapi, apabila kondisi lingkungan memungkinkan mikroba untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat, maka bahan pangan akan rusak karenanya (Dwidjoseputro, 2005).

Soeparno (2005) menyatakan bahwa kontaminasi mikroorganisme pada daging dimulai sejak berhentinya peredaran darah pada saat penyembelihan, terutama apabila alat-alat yang dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril.

Kontaminasi selanjutnya dapat terjadi melalui permukaan daging selama operasi persiapan daging beku, pemotongan karkas atau daging, pembuatan produk daging olahan, preservasi, pengepakan, penyimpanan, dan distribusi. Jadi, segala sesuatu yang dapat kontak dengan daging secara langsung atau tidak langsung, bisa merupakan sumber kontaminasi mikroba.

Penghitungan total mikroorganisme merupakan salah satu aspek dalam pengujian cemaran mikroorganisme untuk menunjukkan jumlah kandungan mikroorganisme dalam suatu produk, agar produk yang beredar di masyarakat terjamin

keamanannya. MetodeTotal Plate Count(TPC) merupakan suatu pengujian yang digunakan untuk menentukan daya simpan suatu produk, ditinjau dari besar kecilnya tingkat cemaran mikroorganisme pada produk tersebut. Pengujian TPC


(19)

5 merupakan cara yang paling sensitif dalam menghitung jumlah total cemaran mikroorganisme. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 0163662000

merekomendasikan batas maksimal cemaran total bakteri pada daging segar yaitu 1 x 10⁴CFU/gram.

Winarnoet al.(1980), menyatakan kadar air dalam daging berkisar antara 60% 70% dan apabila bahan (daging) mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah yaitu antara kisaran 15%50% maka bahan (daging) tersebut dapat tahan lama selama penyimpanan. Hal ini diperkuat oleh

Purnomo (1996), bahwa bahan pangan setengah lembab (contohnya dendeng) berkadar air 20%40% tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil dalam suhu kamar, dan perkembangbiakan mikroorganisme terhambat.

Daging memiliki karakter yang sama seperti bahan makanan manusia yang lainnya, disukai oleh mikroorganisme dan dapat dicemari oleh mikroorganisme tersebut. Invasi mikroorganisme tersebut dalam daging (infeksi) menyebabkan produk tersebut tidak menarik akibat terjadi beberapa perubahan (pembusukan). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan daging busuk dapat diperoleh melalui infeksi hewan hidup (penyakit endogenous) atau dengan kontaminasi daging pasca mati (penyakit eksogenous) (Lawrie, 2003).

Menurut Purnomo (1996), lebih dari 80% keracunan makanan disebabkan oleh bakteri patogen. Keracunan makanan tersebut dapat terjadi karena adanya kontaminasi silang yaitu bakteri dari salah satu sumber yang tercemar pindah ke sumber belum tercemar yang biasanya baru dimasak.


(20)

6 Oleh sebab itu, untuk mengetahui kandungan mikroba dan kadar air yang terdapat pada daging sapi di beberapa TPH di Bandar Lampung, maka dilakukan penelitian mengenai kandungan mikroba dan kadar air pada daging sapi.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tempat Pemotongan Hewan (TPH)

Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/ TN.240/9/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Ijin Usaha Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas. Usaha Pemotongan Hewan adalah kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan pemotongan hewan selain unggas di rumah pemotongan hewan milik sendiri atau milik pihak lain, atau menjual pemotongan hewan.

Rumah pemotongan hewan merupakan salah satu tempat penyediaan daging, tempat tersebut merupakan tempat yang rawan dan beresiko cukup tinggi terhadap mikroba patogen oleh karena itu perlu mendapat perhatian khusus baik dari pihak petugas terkait untuk mengurangi tingkat cemaran mikroba. Keberadaan tempat pemotongan hewan masih menjadi tumpuan bagi masyarakat Indonesia, terutama pelaku usaha yang terlibat langsung (penjual dan pembeli) ataupun masyarakat yang terlibat tidak langsung dengan adanya aktivitas tempat pemotongan hewan (Rahayu, 2006).


(22)

8

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas (Septina, 2010). Sebagai sarana pelayanan masyarakat (public service) dalam penyediaan daging yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH), maka pemerintah berkewajiban melaksanakan kontrol terhadap fungsi TPH melalui pemeriksaanante mortemdanpost mortem(SNI 01-6159-1999).

Menurut Darsono (2006), perbedaan antara RPH dan TPH dapat dikategorikan dalam beberapa tipe. Pertama, ratarata TPH adalah milik swasta, sementara RPH dimiliki oleh pemerintah negeri. Perbedaan yang paling signifikan adalah RPH mempunyai laboratorium bersamaan dengan bangunan RPH, sementara TPH memiliki laboratorium pada kandang ataufeedlot. Laboratorium RPH untuk menguji kesehatan ternak dan kesehatan daging yang ingin di distribusikan. Sementara laboratorium milik TPH hanya menguji kesehatan daging saat akan di distribusikan. TPH sendiri dapat digolongkan menjadi 2 yaitu modern dan tradisional.

Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner yang pada prinsipnya telah mengatur hal-hal sebagai berikut:

1. setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan telah diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang;

2. pemotongan hewan harus dilaksanakan di RPH atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang;


(23)

9

3. pemotongan hewan potong untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta penyembelihan hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan diluar RPH/TPH tetapi harus dengan mendapat izin terlebih dahulu dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya;

4. syarat-syarat rumah pemotongan hewan, pekerja, cara pemeriksaan kesehatan, pelaksanaan pemotongan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri (SNI 01-6159-1999).

B. Fungsi TPH/RPH

Tempat Pemotongan Hewan merupakan unit/sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat mempunyai fungsi sebagai:

1. tempat dilaksanakannya pemotongan hewan secara benar;

2. tempat dilaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante mortem) dan pemeriksaan daging (post mortem) untuk mencegah penularan penyakit hewan ke manusia;

3. tempat untuk mendeteksi dan memonitor penyakit hewan yang ditemukan pada pemeriksaan ante mortem dan post mortem guna pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular di daerah asal hewan;

4. melaksanakan seleksi dan pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif (SNI 01-6159-1999).


(24)

10

Pendapat lain dikemukakan oleh Lestari (1994), bahwa Rumah Pemotongan Hewan mempunyai fungsi antara lain sebagai:

1. sarana strategis tata niaga ternak ruminansia dengan alur dari peternak, pasar hewan, RPH yang merupakan sarana akhir tata niaga ternak hidup, pasar swalayan/pasar daging dan konsumen yang merupakan sarana awal tata niaga hasil ternak;

2. pintu gerbang produk peternakan berkualitas dengan dihasilkan ternak yang gemuk dan sehat oleh petani sehingga mempercepat transaksi yang

merupakan awal keberhasilan pengusaha daging untuk dipotong di RPH terdekat;

3. menjamin penyediaan bahan makanan hewani yang sehat, karena di RPH hanya ternak yang sehat bisa dipotong;

4. menjamin bahan makanan hewani yang halal dengan dilaksanakannya tugas RPH untuk memohon ridho Yang Kuasa dan perlakuan ternak tidak seperti benda atau yang manusiawi;

5. menjamin keberadaan menu bergizi tinggi yang dapat memperkaya masakan khas Indonesia dan sebagai sumber gizi keluarga/rumah tangga;

6. menunjang usaha bahan makanan hewani, baik di pasar swalayan, pedagang kaki lima, industri pengolahan daging dan jasa boga.

C. Tipe Tempat Pemotongan Hewan

Pelaksanaan pemotongan atau penyembelihan hewan ternak ruminansia besar seperti ternak sapi dan kerbau, dapat dilakukan oleh siapa dan dimana saja, tetapi harus memenuhi beberapa pesyaratan tertentu, dan menggunakan fasilitas atau


(25)

11

peralatan khusus sehingga karkas atau daging yang dihasilkan layak dan aman dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan tipe fasilitas yang digunakan dalam pelaksanaan pemotongan ternak, tempat pemotongan ternak dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tempat pemotongan terbuka di pedesaan, Rumah Potong Hewan (RPH) umum dan industri rumah potong (Williamson dan Payne, 1993).

Tempat pemotongan hewan terbuka yang sederhana umumnya terdapat di daerah pedesaan yang belum maju dan fasilitas yang dipergunakan masih relatif

sederhana berupa penggantung-penggantung berkerek sederhana yang terbuat dari bahan kayu atau pipa baja dan pelaksanaan pemotongan masih dilakukan oleh jagal-jagal secara perseorangan di lapangan terbuka, semak-semak atau halaman belakang rumah. Industri Rumah Potong Hewan umum (RPH), sudah

menggunakan fasilitas dan peralatan modern dan mempunyai beberapa ruangan khusus untuk pelaksanaan pemotongan ternak, pendinginan dan penyimpanan karkas. (SNI 01-6159-1999).

Perbedaan antara Rumah Potong Hewan umum dan rumah potong industri hanya terletak pada sistem manajemen kerja, Rumah Potong Hewan (RPH) umum hanya beroperasi melayani kebutuhan konsumen, dalam hal ini adalah hanya melayani para pedagang daging untuk melakukan pemotongan hewan ternak saja,

sedangkan rumah potong industri merupakan salah satu bagian atau unit kerja dari suatu perusahaan yang bergerak mulai dari pemeliharaan dan pembelian ternak, operasi pemotongan, penyimpanan, pengolahan daging, penggunaan hasil-hasil sampingan sampai penjualan hasil pemotongan kepada penjagal atau langsung kepada konsumen (SNI 01-6159-1999).


(26)

12

Menurut Simamora (2002) lokasi merupakan faktor yang harus ditentukan terlebih dahulu sebelum rencana pembangunan RPH. Lokasi RPH yang idealnya harus berjarak sekurang-kurangnya 2 hingga 3 km dari rumah penduduk.

Pencemaran harus ditekan/dikurangi agar limbah yang dihasilkan berada pada baku mutu yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu pada lokasi RPH yang

direncanakan harus dibangun sistem pengelolaan limbah baik untuk limbah padat maupun limbah cair (IPAL).

Rianto (2010) menyatakan bahwa lokasi pembangunan Tempat Pemotongan Hewan (TPH) yaitu tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) serta tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya dan letaknya lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak berada ditengah kota, letak lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak berada dekat industri logam atau kimia serta daerah rawan banjir, lahan luas.

Menurut Manual Kesmavet (1993) RPH/TPH ini harus memenuhi syarat yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi syarat lokasi, kelengkapan bangunan, komponen bangunan utama dan kelengkapan RPH/TPH:

1. Lokasi RPH/TPH

a. Lokasi RPH di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak padat

penduduknya, dekat aliran sungai atau di bagian terendah kota.

b. Lokasi RPH di tempat yang mudah dicapai dengan kendaraan atau dekat jalan raya (Lestari, 1994b; Manual Kesmavet, 1993).


(27)

13

2. Kelengkapan bangunan.

a. Kompleks bangunan RPH harus dipagar untuk memudahkan penjagaan dan keamanan serta mencegah terlihatnya proses pemotongan hewan dari luar. b. Mempunyai bangunan utama RPH.

c. Mempunyai kandang hewan untuk istirahat dan pemeriksaan ante mortem. d. Mempunyai laboratorium sederhana yang dapat dipergunakan untuk

pemeriksaan kuman dengan pewarnaan cepat, parasit, pH, pemeriksaan permulaan pembusukan dan kesempurnaan pengeluaran darah.

e. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan atau karkas yang ditolak berupa tempat pembakar atau penguburan.

f. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan yang ditunda pemotongannya.

g. Mempunyai bak pengendap pada saluran buangan cairan yang menuju ke sungai atau selokan.

h. Mempunyai tempat penampungan sementara buangan padat sebelum diangkut.

i. Mempunyai ruang administrasi, tempat penyimpan alat, kamar mandi dan WC.

j. Mempunyai halaman yang dipergunakan sebagai tempat parkir kendaraan .

3. Komponen bangunan utama.

a. Mempunyai tempat penyembelihan hewan, tempat pengulitan, tempat pengeluaran jeroan dari rongga perut dan dada, tempat pembagian karkas, tempat pemeriksaan kesehatan daging.


(28)

14

b. Mempunyai tempat pembersihan dan pencucian jeroan yang terpisah dari dengan air yang cukup.

c. Berdinding dalam yang kedap air terbuat dari semen, porselin atau bahan yang sejenis setinggi dua meter, sehingga mudah dibersihkan.

d. Berlantai kedap air, lantai ke arah saluran pembuangan agar air mudah mengalir, tidak licin dan sedikit kasar.

e. Sudut pertemuan antar dinding dan dinding dengan lantai berbentuk lengkung.

f. Berventilasi yang cukup untuk menjamin pertukaran udara.

4. Kelengkapan RPH/TPH.

a. Mempunyai alat-alat yang dipergunakan untuk persiapan sampai dengan penyelesaian proses pemotongan termasuk alat pengerek dan penggantung karkas pada waktu pengulitan serta pakaian khusus untuk tukang sembelih dan pekerja lainnya.

b. Peralatan yang lengkap untuk petugas pemeriksa daging. c. Persediaan air bersih yang cukup.

d. Alat pemelihara kesehatan.

e. Pekerja yang mempunyai pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat veteriner yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinya syarat-syarat dan prosedur yang berlaku dalam pemotongan hewan serta penanganan daging.


(29)

15

Peternak Pengangkutan

Istirahat

Pemeriksaan Ante-mortem Proses penyembelihan

Pelepasan kulit Pengeluaran jeroan Pembelahan karkas

Pemeriksaan daging Post-mortem Pelayuan

Pelepasan Tulang Pengangkutan

Pengepakan Konsumen

Pendinginan Pengangkutan Konsumen

Gambar 1. Bagan alir proses produksi daging di RPH (SNI 01-6159-1999)

D. Teknik Pemotongan Sapi di RPH/TPH

Menurut Soeparno (2005), secara umum mekanisme urutan pemotongan ternak ruminansia besar seperti sapi di Indonesia terdiri dari beberapa tahapan, mulai dari tahap pengistirahatan, pemeriksaan sebelum pemotongan, tahap proses


(30)

16 1. Pengistirahatan ternak

Ternak sebelum disembelih sebaiknya dipuasakan dahulu selama 12–24 jam.

Ternak diistirahatkan mempunyai maksud agar ternak tidak stres, darah dapat keluar sebanyak mungkin, dan cukup tersedia energi agar proses rigormortis berjalan sempurna (Soeparno, 2005). Pengistirahatan ternak penting karena ternak yang habis bekerja jika langsung disembelih tanpa pengistirahatan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap yang biasa disebutdark cutting meat, karena ternak mengalami stres (Beef Stress Syndrome), sehingga sekresi hormon adrenalin meningkat yang akan menggangu metabolisme glikogen pada otot (Smithet al., 1978).

Pengistirahatan ternak dapat dilaksanakan dengan pemuasaan atau tanpa pemuasaan. Pengistirahatan dengan pemuasaan mempunyai maksud untuk memperoleh berat tubuh kosong (BTK = bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kandung kencing, dan isi saluran empedu) dan mempermudah proses penyembelihan bagi ternak agresif dan liar. Pengistirahatan tanpa pemuasaan bermaksud agar ketika disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin dan ternak tidak mengalami stres (Soeparno, 2005).

Pemeriksaanante mortemadalah pemeriksaan yang dilakukan sebelum hewan disembelih. Petugas pemeriksaanante mortemadalah dokter hewan. Dokter hewan inilah yang berhak menentukan hewan dapat dipotong atau tidak.


(31)

17

Tujuan pemeriksaanante mortemantara lain : 1. memperoleh ternak yang cukup sehat;

2. menghindari pemotongan hewan yang sakit atau abnormal;

3. mencegah atau meminimalkan kontaminasi pada alat, pegawai dan karkas; 4. sebagai bahan informasi bagi pemeriksaan post-mortem;

5. mencegah penyebaran penyakitzoonosis;

6. mengawasi penyakit tertentu sesuai dengan undang-undang Kementerian Pertanian nomor: 013/Kpts/OT.140/1/2010.

2. Prosessing karkas sapi

2.1 Pemingsanan (stunning)

Pemingsanan dilaksanakan dengan alasan untuk keamanan, menghilangkan rasa sakit sesedikit mungkin pada ternak (Blakely and Bade, 1992), memudahkan pelaksanaan penyembelihan, dan kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik. Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan alat pemingsan (knocker), senjata pemingsan (stunning gun), pembiusan, dan arus listrik (Soeparno, 2005).

Alat yang sering digunakan adalahcaptive bolt, yaitu suatu tongkat berbentuk silinder selongsong kosong yang mempunyai muatan eksplosif yang ditembakkan oleh suatu tekanan pada kepala sapi (Blakely and Bade, 1992). Alat pemingsan diarahkan pada bagian titik tengan tulang kening kepala sapi sedikit diatas antara kedua kelopak mata, sehingga peluru diarahkan pada bagian otak. Peluru yang ditembakkan akan mengenai otak dengan kecepatan tinggi, sehingga sapi menjadi pingsan (Soeparno, 2005).


(32)

18

2.2 Penyembelihan

Penyembelihan dilaksanakan dengan meletakkan pisau pada samping rahang bawah yang berbatasan dengan telinga pada leher dan dilaksanakan

penyembelihan dengan memotong pembuluh darah arteri karotid dan vena jugularis (Smithet al., 1978), saluran pernapasan dan saluran makanan (Nuhriawangsa, 1999). Setelah penyembelihan dibiarkan 6 sampai 10 menit supaya darah dapat keluar dengan sempurna (berat darah 3 sampai 5% dari berat hidup) (Smithet al., 1978).

Hewan yang telah pingsan diangkat pada bagian kaki belakang dan digantung. Posisi ternak yang menggantung menyebabkan darah keluar dengan sempurna (Blakely and Bade, 1992). Pisau pemotongan diletakkan 45opada bagianbrisket

(Smithet al.,1978), dilakukan penyembelihan olehmodindan dilakukan

bleeding, yaitu menusukan pisau pada leher kearah jantung (Soeparno, 2005).

2.3 Pengulitan

Pengulitan dimulai setelah dilakukan pemotongan kepala dan ke empat bagian kaki bawah (Smithet al.,1978). Pengulitan bisa dilakukan di lantai, digantung dan menggunakan mesin (Soeparno, 2005). Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian perut. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam kaki dan kulit dipisahkan mulai dari ventral ke arah punggung tubuh (Soeparno, 2005) dan diakhiri dengan pemotongan ekor (Smithet al.,1978).


(33)

19

2.4 Eviserasi

Menurut Smithet al.(1978), proses eviserasi bertujuan untuk mengeluarkan organ pencernaan (rumen, intestinum, hati, dan empedu) dan isi rongga dada (jantung, esopagus, paru, dantrachea).

Tahap-tahap eviserasi dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:

1. rongga dada dibuka dengan gergaji melalui ventral tengah tulang dada; 2. rongga abdominal dibuka dengan membuat sayatan sepanjang ventral tengah

abdominal;

3. memisahkan penis atau jaringan ambing dan lemak abdominal; 4. membelah bonggol pelvis dan pisahkan kedua tulang pelvis; 5. membuat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantung plastik; 6. memisahkan eshopagus daritrachea;

7. mengeluarkan kandung kencing dan uterus jika ada;

8. mengeluarkan organ perut yang terdiri dari intestinum, mesenterium, rumen dan bagian lain dari lambung serta hati dan empedu;

9. diafragma dibuka dan mengeluarkan organ dada (pluck) yang terdiri dari jantung, paru-paru dantrachea(Soeparno, 2005).

Organ ginjal tetap ditinggal di dalam badan dan menjadi bagian dari karkas. Eviserasi dilanjutkan dengan pemeriksaan organ dada (Smithet.al.1978), organ perut dan karkas untuk mengetahui karkas diterima atau ditolak untuk dikonsumsi manusia (Blakely and Bade, 1992).


(34)

20

2.5 Pembelahan

Pembelahan dilaksanakan dengan membagi karkas menjadi dua bagian sebelah kanan dan kiri dengan menggunakan gergaji tepat pada garis tengah punggung. Karkas dirapikan dengan melakukan pemotongan pada bagian-bagian yang kurang bermanfaat dan ditimbang untuk memperoleh berat karkas segar (Soeparno, 2005). Pemotongan dilaksanakan untuk menghilangkan sisa-sisa jaringan kulit, bekas memar, rambut, dan sisa kotoran yang ada. Karkas agar lebih baik kualitasnya, maka disemprot air dengan tekanan tinggi dan dilanjutkan dengan dicuci air hangat yang dicampur garam (Smithet al.,1978) dan dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak subkutan (Soeparno, 2005).

2.6 Pendinginan

Menurut Soeparno (2005), lamanya pendinginan kira-kira 24 jam sebelum

pemotongan tulang rusuk atau pemotongan paruhan karkas (half carcass) menjadi perempat bagian karkas (quarter carcass). Temperatur ruang pendinginan

berkisar antara -40C sampai dengan 10C, tetapi menurut Blakely and Bade (1992), temperatur ruang pendinginan harus tetap pada 20C. Karkas atau daging baru dapat dikeluarkan atau dipasarkan apabila telah diperiksa oleh dokter hewan atau petugas yang berwenang, karkas yang sehat akan diberi stempel atau dicap sebagai tanda layak dan aman untuk dikonsumsi.

3. Potongan pada karkas sapi

Menurut Soeparno (2005), potongan primal karkas sapi dari potongan setengah dibagi lagi menjadi potongan seperempat, yang meliputi potongan seperempat bagian depan yang terdiri dari bahu (chuck) termasuk leher, rusuk, paha depan,


(35)

21

dada (breast) yang terbagi menjadi dua, yaitu dada depan (brisket) dan dada belakang (plate).

Bagian seperempat belakang yang terdiri dari paha (round) dan paha atas (rump), loin yang terdiri sirloin dan shortloin, flank beserta ginjal dan lemak yang

menyeliputinya. Pemisahan bagian karkas seperempat depan dan seperempat belakang dilakukan diantara rusuk 12 dan 13 (rusuk terakhir diikutkan pada seperempat belakang). Cara pemotongan primal karkas adalah sebagai berikut: menghitung tujuh vertebral centra ke arah depan (posisi karkas tergantung ke bawah), dari perhubungan sacralumbar. Memotong tegak lurus vertebral column dengan gergaji. Memisahkan bagian seperempat depan dari seperempat belakang dengan pemotongan melalui otot-otot intercostals dan abdominal mengikuti bentuk melengkung dari rusuk ke-12. Memisahkan bagian bahu dari rusuk dengan memotong tegak lurus melalui vertebral column dan otot-otot intercostals atau antara rusuk ke-5 dan ke-6. Memisahkan rusuk dari dada belakang dengan membuat potongan dari anterior ke posterior. Memisahkan bahu dari dada depan dengan memotong tegak lurus rusuk ke-5, kira-kira arah proksimal terhadap tulang siku (olecranon). Paha depan juga dapat dipisahkan (Soeparno, 2005).

Cara pemotongan primal karkas seperempat belakang diawali dengan memisahkan ekses lemak dekat pubis dan bagian posterior otot abdomianal. Memisahkan flank dengan memotong dari ujung distal tensor fascialata, anterior dari rectus femoris ke arah rusuk ke-13 (kira-kira 20 cm dari vertebral column). Memisahkan bagian paha dari paha atas dengan memotong melalui bagian distal terhadap ichium kira-kira berjarak 1 cm, sampai bagian kepala dari femur.


(36)

22

Memisahkan paha atas dari sirloin dengan potongan melewati antara vertebral sacral ke-4 dan ke-5 dan berakhir pada bagian ventral terhadap acetabulum pelvis. Sirloin dipisahkan dari shortloin dengan suatu potongan tegak lurus terhadap vertebral column dan melalui vertebral lumbar antara lumbar ke-5 dan ke-6 (Soeparno, 2005).

E. Daging

Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

menimbulkan gangguan bagi yang memakannya. Daging digunakan sebagai penganekaragaman sumber pangan karena daging dapat menimbulkan kepuasaan dan kenikmatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005).

Gambar 2. potongan karkas sapi

Kualitas daging adalah karaketristik daging yang dinilai oleh konsumen.

Beberapa karakteristik kualitas daging yang penting dalam pengujian yakni pH, daya ikat air, warna, dan keempukan. Dijelaskan pula bahwa faktor kualitas daging yang dimakan meliputi warna, keempukan, tekstur, flavor (cita rasa), aroma (bau), dan kesan jus daging(juiciness)(Soeparno, 2005). Disamping itu susut masak (cooking lost)ikut menentukan kualitas daging. Kandungan gizi dari


(37)

23

daging sangat lengkap sehingga keseimbangan gizi dapat terpenuhi. Daging atau otot mengandung sekitar 75% air, sekitar 19% protein, substansi-substansi non protein yang larut sebanyak 3,5% serta lemak sekitar 2,5% (Lawrie, 2003).

Warna yang dapat dilihat mata merupakan kombinasi beberapa faktor yaitu panjang gelombang radiasi cahaya, intensitas cahaya, dan refleksi cahaya. Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, antara lain spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas, tipe otot, pH, dan oksigen. Faktor–faktor

ini mempengaruhi penentu utama warna daging, yaitu konsentrasi pigmen daging yang disebut mioglobin (Soeparno, 2005). Warna daging ditentukan oleh jumlah dan tipe mioglobin, status kimianya dan kondisi fisik dan kimiawi komponen lain dalam daging (Lawrie, 2003).

Status kimia molekul mioglobin menyebabkan perbedaan warna pada permukaan daging (Soeparno, 2005). Selanjutnya Lawrie (2003) menambahkan bahwa warna daging tidak hanya disebabkan oleh kandungan mioglobin, tetapi juga oleh tipe molekul mioglobin yang dikandungnya (tergantung pada status dan pada kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging).

Nilai pH daging tidak biasanya diukur segera setelah pemotongan (biasanya dalam waktu 45 menit) untuk mengetahui pH awal. Pengukuran selanjutnya biasanya dilakukan setidak-tidaknya setelah 24 jam untuk mengetahui pH akhir dari daging atau karkas (Soeparno, 2005). Setiap organisme memiliki kisaran pH tertentu yang masih memungkinkan bagi pertumbuhannya dan juga mempunyai pH optimum. Pada umumnya, mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran suhu 6,6-8,0 dan nilai pH luar pada kisaran 2,0-1,0 sudah bersifat merusak (Buckleet


(38)

24 al.,1987). Mikroorganisme juga memerlukan pH tertentu untuk pertumbuhannya, namun pada umumnya bakteri memiliki kisaran pH yang sempit, yaitu sekitar pH 6,5-7,5 atau pada pH netral.

Lawrie (2003) menyatakan bahwa aroma dan flavor daging adalah sensasi yang komplek dan saling terkait. Flavor dan aroma daging dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama waktu, dan kondisi penyimpanan setelah pemotongan serta suhu dan lama pemasakan. Daging dari ternak yang lebih tua mempunyai bau yang lebih kuat dibandingkan ternak yang lebih muda selain itu daging mentah memiliki flavor yang kurang disukai, karena beraroma sangat lemah dan berasa seperti darah (Soeparno, 2005). Rasa dan aroma mempunyai ransangan selera dan dalam hal ini rasa dan aroma sulit dipisahkan. Perubahan rasa dan aroma antara lain dipengaruhi oleh adanya pertumbuhan bakteri atau mikroba (Natasasmitaet al.,1987).

Komposisi kimia daging tergantung dari spesies hewan, jenis daging karkas, proses pengawetan, penyimpanan, dan metode pengepakan. Protein merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging yang sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan. Nilai protein yang tinggi di dalam daging disebabkan oleh asam amino esensialnya yang lengkap. Selain kaya protein, daging juga mengandung energi yang ditentukan oleh kandungan lemak di dalam intraselular di dalam serabut-serabut otot (Muchtadi dan Sugiono, 1992).

Daging juga mengandung kolesterol, walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian jeroan maupun otak. Daging juga merupakan


(39)

25

sumber vitamin dan mineral yang sangat baik. Secara umum, daging merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor, dan zat besi serta vitamin B kompleks tetapi rendah vitamin C. Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pada waktu hewan masih hidup maupun setelah dipotong (Soeparno, 2005).

F. Kadar Air

Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen, di samping ikut sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan dan pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain kristal dan air yang terikat dalam sistem dispersi (Purnomo, 1986).

Air yang diikat dalam daging dapat dibagi dalam tiga komponen, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein daging sebesar 4%5% yang merupakan lapisan monomolekuler pertama. Lapisan kedua adalah air yang terikat agak lemah dari molekul air terhadap kelompok hidrofilik yakni sebesar 4%. Lapisan ketiga merupakan air bebas yang terdapat di antara molekul-molekul protein yang memiliki jumlah terbanyak (Purnomo, 1986). Selanjutnya Forest (1989)

menyatakan bahwa air bebas terletak di bagian luar sehingga mudah lepas, sedangkan air terikat adalah kebalikannya dimana air sulit dilepaskan karena terikat kuat pada rantai protein, dan air dalam bentuk tidak tetap merupakan air labil sehingga mudah lepas bila terjadi perubahan.


(40)

26

Winarno (1980) menambahkan bahwa kadar air dalam daging berkisar antara 60%70% dan apabila bahan (daging) mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah yaitu antara kisaran 15%50% maka bahan (daging) tersebut dapat tahan lama selama penyimpanan.

Pertumbuhan mikoorganisme tergantung dari tersedianya air. Bahan-bahan yang terlarut dalam air digunakan oleh mikroorganisme untuk membentuk bahan sel dan memperoleh energi adalah bahan makanan. Tuntutan berbagai

mikroorganisme yang menyangkut susunan larutan makanan dan persyaratan lingkungan tertentu, sangat berbeda-beda. Oleh sebab itu, diperkenalkan banyak resep untuk membuat media biak untuk mikroorganisme. Pada dasarnya sesuatu larutan biak di dalamnya harus tersedia semua unsur yang ikut serta pada

pembentukan bahan sel dalam bentuk berbagai senyawa yang dapat diolah (Schlegel, 1994).

Kriteria ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan dapat ditinjau dari kadar air, konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif berimbang, dan aktivitas air. Kandungan air dalam bahan pangan akan berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya, dan hal ini sangat erat hubungannya dengan daya awet bahan pangan tersebut. Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam

pengolahan dan pengelolaan pasca olah bahan pangan (Purnomo, 1995).

G. Cemaran Mikroba pada Daging

Lawrie (2003) menyatakan bahwa penyebaran mikroorganisme yang tumbuh pada bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya pada umumya terdiri dari bakteri,


(41)

27

jamur/kapang, virus, dan terdapat juga binatang satu sel. Daging memiliki karakter yang sama seperti bahan makanan manusia yang lainnya, disukai oleh mikroorganisme dan dapat dicemari oleh mikroorganisme tersebut. Invasi mikroorganisme tersebut dalam daging (infeksi) menyebabkan produk tersebut tidak menarik akibat terjadi beberapa perubahan (pembusukan).

Keamanan produk pangan ditentukan oleh jumlah mikroorganisme patogenik yang terdapat di dalamnya. Populasi mikroorganisme yang berada pada suatu bahan pangan umunya bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi tertentu dari penyimpanannya. Mikroorganisme yang dapat menyebabkan daging busuk dapat diperoleh melalui infeksi hewan hidup (penyakitendogenous) atau dengan kontaminasi daging pasca mati (penyakit

eksogenous), selain yang merugikan pertumbuhan mikroorganisme dalam daging, ada juga yang dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna, ataupun daya simpannya

(Buckleet al., 1987).

Kualitas mikrobiologis daging dapat dilihat dari kandungan mikroorganisme dalam daging terutama mikroorganisme patogen. Kandungan bakteri daging melebihi 10 CFU/g, maka daging tersebut dianggap berkualitas rendah (Rozbeh, 1993). Ray and Field (1993), menambahkan bahwa umumnya

pembusukan daging karena bakteri biasanya ditandai dengan adanya eksudat, dan terjadi perubahan warna menjadi kehijauan. Berbeda dengan Soeparno (2005) yang menjelaskan bahwa batas jumlah mikroba selama pelayuan tidak melebihi 10 CFU/cm². Standar cemaran mikroba ditetapkan oleh Badan Standarisasi


(42)

28

Nasional sebagai penentu kualitas daging sapi segar. Spesifikasi batas maksimum cemaran mikroba dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Perbandingan spesifikasi persyaratan mutu batas maksimum cemaran mikroba pada daging (dalam satuan CFU/gr)

Jenis cemaran mikroba Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) Daging segar/beku Daging tanpa tulang a) Jumlah total kuman

(Total Plate Count) 1 x 106 1 x 106

b)Coliform 1 x 10² 1 x 10²

c)Escherichia coli (*) 1 x 10¹ 1 x 10¹

d)Enterococci 1 x 10² 1 x 10²

e)Staphylococcus aerus 1 x 10² 1 x 10²

f)Clostridium sp 0 0

g)Salmonella sp(**) Negatif Negatif

h)Camphylobacter sp 0 0

i)Listeria sp 0 0

Sumber (Standar Nasional Indonesia, 2008). Keterangan : (*) dalam satuan MPN/gram

(**) dalam satuan kualitatif

Pertumbuhan mikroorganisme dalam daging juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga daging tersebut tidak layak dikonsumsi (Siagian, 2002). Daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik, dan kimia. Dari ketiga potensi bahaya tersebut yang berhubungan erat dengan daya simpan daging karena menyebabkan pembusukan dan bahaya pangan adalah adanya cemaran mikroba (Mukartini, 1995). Kontaminasi mikroorganisme patogen atau perusak yang sangat penting berasal dari luar ternak yang dipotong, yaitu selama pemotongan, penanganan dan proses pengolahan (Soeparno, 2005).

Aktifitas mikroorganisme juga dipengaruhi oleh kondisi fisik daging, seperti besar kecilnya karkas, potongan karkas atau daging, bentuk daging cacahan, daging giling, dan perlakuan pengolahan (Forrest,1975). Penggilingan daging akan memperbesar kontaminasi dan pertumbuhan mikroorganisme karena area


(43)

29

permukaan menjadi lebih besar, nutrien dan air lebih tersedia, penetrasi dan pemanfaatan oksigen menjadi lebih besar, kontak dengan alat yang menjadi sumber kontaminasi, dan distribusi mikroorganisme lebih merata ke seluruh bagian daging selama pengolahan (Soeparno, 2005).

H. Bakteri

Bakteri merupakan uniseluler, pada umumnya tidak berklorofil, ada beberapa yang melakukan fotosintetik dan produksi aseksualnya secara pembelahan. Bakteri mempunyai ukuran sel kecil yang setiap selnya hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Bakteri pada umumnya mempunyai ukuran sel 0,5 1,0μm kali 2,05,0μm, dan terdiri dari tiga bentuk dasar yaitu bentuk bulat atau kokus, bentuk batang ataubacillus, bentuk spiral (Dwidjoseputro, 1985). Jumlah mikroorganisme pada suatu bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya dapat dihitung dengan berbagai macam cara, tergantung pada bahan pangan dan jenis mikroorganismenya. Jumlah mikroorganisme dihitung secara keseluruhan baik yang mati atau yang hidup atau hanya untuk menentukan jumlah mikroorganisme yang hidup saja, hal ini tergantung pada metode yang digunakan (Fardiaz, 1992).

Bakteri yang tumbuh dalam bahan pangan terdiri atas bakteri pembusuk yang dapat menyebabkan kerusakan makanan dan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia. Jumlah bakteri pembusuk umumnya lebih dominan dibandingkan dengan bakteri patogen. Bakteri patogen merupakan mikroorganisme indikator keamanan pangan. Bakteri patogen dibedakan atas penyebab intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan bakteri patogen yang


(44)

30

berkembang di dalam bahan makanan, dan penyebab infeksi yaitu bakteri yang menghasilkan racun di dalam saluran pencernaan. Beberapa mikroba yang diamati sebagai bakteri pembusuk dan patogen pada produk fermentasi adalah dari familienterobacteriaceae, di dalamnya termasuk familienterobacter,

erwinia, citrobacter, lebsiella, proteus, salmonella, serattia, shigella,danyersinia


(45)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada April 2014 di Tempat Pemotongan Hewan di Bandar Lampung, Laboratorium Penguji Balai Veteriner Lampung, dan Laboratorium Nutrisi Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat penelitian

Kantong plastik/cooling box, alat tulis, kamera, dan kuisioner, pipet volumetrik ukuran, tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan petri, kertas label, spidol marker,

tissue,kain lap, pembakar bunsen, gunting, ph meter, pinset, pengaduk tabung,jarum inokulasi, inkubator, penangas air, magnetik stirer, autoklaf,cool box,stomacher, lemari steril, lemari pendingin,freezer,counter,cawan porselin,botol media, penghitung koloni, oven, timbangan analitik, dan desikator.

2. Bahan penelitian

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah daging sapi yang berasal dari seluruh TPH di Bandar Lampung. Tempat Pemotongan Hewan (TPH) berjumlah 4 buah yang tersebar di Bandar Lampung. Daging sapi yang digunakan adalah


(46)

32 bagian paha daging sapi yang paling luar yang kandungan lemaknya sedikit dan tanpa memperhatikan bangsa dan umur sapi.

C. Peubah yang Diamati

Total kandungan mikroba yang terdapat pada sampel daging sapi dapat diuji dengan menggunakan metodeTotal Plate Count(TPC) (SNI 2897 : 2008) dan kadar air yang terdapat pada sampel daging yang diamati kemudian diuji dengan metode pengeringan atau oven (Legowo, 2005).

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai adalah metode sensus. Pengambilan sampel daging tanpa melalui penyamplingan sehingga sampel yang diamati adalah seluruh TPH di Bandar Lampung. Metode ini memungkinkan peneliti

memperoleh informasi dalam jangka waktu yang pendek dan digunakan untuk mendapatkan informasi yang bersifat kualitatif untuk menganalisis permasalahan yang ada.

E. Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari atas data primer. Data primer diperoleh dari sampel (daging) yang diambil dari TPH dan responden di lapangan dengan metode kuisioner, yaitu pemilik TPH. Data dianalisis dengan analisa deskriptif kuantitatif.


(47)

33

F. Prosedur Penelitian

1. Penentuan dan pengambilan sampel daging sapi bagian paha belakang

a. menentukan TPH sebagai tempat pengambilan sampel daging dengan menggunakan metode sensus, pengambilan sampel berasal dari seluruh TPH yang ada di Bandar Lampung;

b. menyiapkan peralatan pengambilan sampel seperti pisau, plastik, sarung tangan,tupperware, alat tulis, dan kamera;

c. mengambil sampel seberat 0,5 kg, dan sampel yang diambil adalah daging sapi yang siap didistribusikan ke pasar;

d. memasukkan sampel tersebut ke dalamtupperware, lalu ke kantong plastik; e. tempat penyimpanan sampel menggunakancooling box.

2. Pengujian Total Plate Count (TPC)

2.1 Cara kerja

Persiapan pengujian total mikroba

a. sampel yang diuji dipotong kecil-kecil secaraasepticmenggunakan gunting dan pinset;

b. menimbang 25 gram daging sapi untuk contoh padat dari semi padat sehingga untuk contoh cair sebanyak 25 ml sampel, kemudian dimasukkan ke dalam 225 ml larutan BPW 0,1% steril, kemudian dihomogenkan denganstomacherselama 1--2 menit, ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-2.


(48)

34

2.2 Cara uji

a. memindahkan 1 ml suspensi pengenceran 10-2tersebut dengan pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW 0,1% untuk mendapatkan pengenceran 10-2; b. membuat pengenceran 10-3,10-4, 10-5, dan seterusnya dengan cara yang

sama pada butir (a);

c. mengambil masing-masing 1 ml dari larutan tersebut ke cawan petri secara duplo;

d. menambahkan 15--20 ml PCA dan setelah beku inkubasikan pada suhu ± 36º C selama 24--48 jam;

e. memilih cawan petri yang jumlah angka koloni 25--250;

f. menentukan rata-rata yang merupakan jumlah kuman per 1 gram ( CFU/gram) penghitungan koloni.

Untuk menganalisis mikrobiologi digunakan suatu standar yang menjelaskan mengenai cara menghitung koloni pada cawan serta cara memilih data yang ada untuk menghitung jumlah koloni di dalam suatu contoh. Memilih cawan yang mempunyai jumlah koloni 25--250.

2.3 Interprestasi hasil

Cawan dengan koloni 25--250

:

{(1 1) + (0,1 2)} ( )

N :∑ darikoloni per mil/gram dari produk


(49)

35 N :∑ jumlahdari cawan dalam pengenceran pertama yang dihitung

N2 :∑ jumlahdari cawan dalam pengenceran kedua yang dihitung

d :pengenceran yang pertama kali ditemukan ( dihitung adanya koloni )

(SNI 2897, 2008 )

3. Uji kadar air

Pemeriksaan kadar air digunakan metode pengeringan atau oven

(thermogravimetri). Prosedur dan perhitungan kadar air dengan metode pengeringan oven adalah sebagai berikut:pertama-tama menyiapkan cawan porselin yang telah diberi kode sesuai kode sampel, kemudian cawan porselin dipanaskan dalam oven dengan suhu100º--105°C selama + 1 jam. Setelah 1 jam, cawan porselin diambil dan dimasukkan dalam desikator + 15 menit, kemudian cawan porselin ditimbang. Sampel sebanyak 1--2 g ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Mengeringkan sampel dalam oven dengan suhu 100º--105°C selama 4--6 jam, setelah dikeringkan sampel ditimbang hingga tercapai bobot konstan, jika belum konstan sampel dimasukan ke dalam oven lagi selama 1 jam, dimasukan desikator, kemudian melakukan penimbangan hingga tercapai bobot konstan. Bobot dianggap konstan apabila selisih penimbangan tidak melebihi 0,2 mg. Setelah mendapatkan bobot konstan kadar air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kadar Air: (BC+BS)–(BC+BS setelah di oven)

BS

Keterangan BC: Berat Cawan BS: Berat Sampel

(Legowo, 2005).


(50)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :

Kadar air daging sapi di TPH Ibu Mul adalah 71,92% dan 71,55%. Total mikroba daging sapi di TPH Ibu Mul adalah 0,67 x105CFU/gram dan 1,2 x105CFU/gram. Kadar air daging sapi di TPH H. Bustomi adalah 74,84% dan 74,43%. Total mikroba daging sapi TPH H. Bustomi adalah 0,46x105CFU/gram dan 5,9 x105CFU/gram. Kadar air daging sapi di TPH H. Udin adalah 74,24% dan 73,14%. Total mikroba daging sapi di TPH H. Udin adalah 4,9x 105CFU/gram dan 0,088x105CFU/gram Kadar air daging sapi di TPH Bapak Ampan adalah 72,22% dan 72,65%. Total mikroba daging sapi di TPH Bapak Ampan adalah 4,4x105CFU/gram 0,075x105CFU/gram. Berdasarkan kadar air dan total mikroba daging sapi di TPH Bandar Lampung masih layak untuk dikonsumsi.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan kepada pengelolah TPH di Bandar Lampung untuk mengevaluasi atau meninjau kembali terhadap penerapan praktek higienis dan sanitasi pada TPH di Bandar Lampung, supaya kadar air dan pencemaran mikroba daging sapi dapat berkurang.


(51)

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Blakely, J. dan D. H. Bade. 1992. Pengantar Ilmu Peternakan. Penerjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Buckle, K. A., R. A. Edwards., G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan :Purnomo dan Adiono.Universitas Indonesia Press. Jakarta. Djaafar, T.F. dan S. Rahayu. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian,

Penyakit yang ditimbulkan dan Pencegahannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(2): 67−75.

Dhuljaman, M., Sugana, N., Natasasmita, A., dan Lubis , A.R. 1984. Studi Kualitas Karkas Domba Lokal Priangan Berdasarkan jenis Kelamin dan Pengelompokan Bobot Potong Domba dan Kambing Indonesia. Pusat Penelitian dan pengembangan Peternakan. Bogor.

Dwidjoseputre, D. Dr. Prof. 2005. Dasar – Dasar Mikrobologi. PT. Djambatan:

Jakarta.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

_________.1993. Analisa Mikrobiologi Pangan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hendrick, M D. Judge, dan R. A. Merkel. 1975.

Principles of Meat Science.W. H. Freeman and Co., San Fransisco.

Forrest S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Hafriyanti, Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitas Daging Sapi dengan Kemasan

Plastik PE (Polyethilen) dan plastik PP (Polypropilen) di Pasar Arengka Pekan Baru. Jurnal Peternakan, 5(1):22-27.

Hamdan,W. 2010. Pencemaran Lingkungan.http://lingkarhayati.wordpress.com/ pencemaran-lingkungan. ( Diakses Tanggal 29 Januari 2013).

Hedrick, H.B. 1994. Principles of Meat Science, 3.ed. Dubuque: Kendall/Hunt Publishing. 354p.


(53)

Judge, M. D., E. D. Aberle, J. C. Forrest, H. B. Hedrick, dan R. A. Merkel. 1989. Prnciples of Meat Science. Kendall Hunt Publishing Company, Iowa. USA. Kasmadiharja, H. 2008. Kajian Penyimpanan Sosis, Naget Ayam dan Daging

Ayam Berbumbu dalam Kemasan Polipropilen Rigid. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kementrian Pertanian Republik Indonesia Nomor 555/Kpts/TN.240/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Badan Standarisasi Indonesia. Jakarta.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia Nomor 13/permentan/OT.140/1/2010 Tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit

Penanganan Daging (meat cutting plant). Jakarta.

Kurniawan, Nikodemus. 2014. Kualitas Fisik Daging Sapi dari Tempat Pemotongan Hewan di Bandar Lampung. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Negeri Lampung. Bandar Lampung. Bandar Lampung. Lawrie R A. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah Aminuddin Parakkasi. UI Press.

Jakarta.

Legowo, A. M. Nurwantoro dan Sutaryo. 2005. Analisis Pangan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Lestari, P.T.B.A., 1994. Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia Indonesia. P.T. Bina Aneka Lestari. Jakarta.

Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Muchtadi, T. R. dan Sugiono.1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mukartini, S., C. Jehne, B. Shay, and C. M. L. Harfer.1995. Microbiological status of beef carcass meat in Indonesia. J. Food Safety 15--291–303.

Natasasmita, S., R. Priyanto dan D. M. Tauchid. 1987. Pengantar Evaluasi Karkas. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam: Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan, 1986, Penterjemah , Ratna Siri Hadioetomo dkk. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1, Universitas Indonesia Press. Jakarta.


(54)

60

Prasetyo, A. 2013. Karakteristik Kimia dan Mikrostruktur Otot Longissimus Dorsi dan Biceps Femoris dari Sapi Glonggong. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Purnomo, H. 1986. Aspects of The Stability of Intermediate Moisture Meat-Phd. Thesis. The University of New South Wales. Australia.

__________. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Rahayu, E.S.2006. Amankan Produk Pangan Kita: Bebaskan dari Cemaran Berbahaya. Apresiasi Peningkatan Mutu Hasil Olahan Pertanian. Dinas Pertanian Propinsi DIY dan Kelompok Pemerhati Keamanan Mikrobiologi Produk Pangan. Yogyakarta.

Rianto. 2010. Rumah Potong Hewan sesuai SNI. http://diporianto. blogspot. Com /2010 /01 / syarat-rumah-potong-hewan-sesuai-sni. html. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. (Diakses Tanggal 27 Juli 2012).

Rozbeh, M., Kalchayanand, N., Field, R.A., Johnson, M.C. and Ray, B., 1993. The Influence of Biopreservatives on the Bacterial Level of Refrigerated Vacuum Package Beef. J. Food Safety.

Rosyidi, Djalal. 2010. Pengaruh Bangsa Sapi terhadap Kualitas Fisik dan Kimiawi Daging. Universitas Brawijaya. Malang.

Schlegel Hans G,. 1994. Mikrobiologi Umum. Penterjemah Tedjo Baskoro. Edisi keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Septina. 2010. Rumah Potong Hewan (RPH) Sapi. http://septina. blogspot. com /2010/03/27/ rumah-potong-hewan. html. (Diakses Tanggal 29 Juli 2012). Siagian, A, 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya.

Universitas Sumatera Utara (USU-press). Medan.

Simamora, B. 2002. Evaluasi Lingkungan Peternakan Sapi Perah di Kebon Pedes Kodya Bogor terhadap Masyarakat Sekitarnya. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Smith, G. C., G. T. King, dan Z. L. Carpenter. 1978. Laboratory Manual for Meat Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts.

Soeparno.2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Standar Nasional Indonesia.1999. Rumah Pemotongan Hewan. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.


(55)

61

______________________. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

______________________. 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba Dalam Daging, Telur dan Susu serta Hasil Olahannya. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Suharno. 2010. Perencanaan Pembangunan Rumah Potong Hewan Kota Surakarta. Penerbit Amus. Surakarta.

Suryati, T dan I.I. Arif. 2005. Pengujian daya putus Warner Bratzler, susut masak dan organoleptik sebagai penduga tingkat keempukan daging sapi yang disukai konsumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Varnam, A. N.and J. P. Sutherland. 1995. Meat and Meat Product. Chapman and Hall. London.

Williamson, G.and W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi Ketiga. Cetakan Pertama.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Winarno F. G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz.1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :

Kadar air daging sapi di TPH Ibu Mul adalah 71,92% dan 71,55%. Total mikroba daging sapi di TPH Ibu Mul adalah 0,67 x105CFU/gram dan 1,2 x105CFU/gram. Kadar air daging sapi di TPH H. Bustomi adalah 74,84% dan 74,43%. Total mikroba daging sapi TPH H. Bustomi adalah 0,46x105CFU/gram dan 5,9 x105CFU/gram. Kadar air daging sapi di TPH H. Udin adalah 74,24% dan 73,14%. Total mikroba daging sapi di TPH H. Udin adalah 4,9x 105CFU/gram dan 0,088x105CFU/gram Kadar air daging sapi di TPH Bapak Ampan adalah 72,22% dan 72,65%. Total mikroba daging sapi di TPH Bapak Ampan adalah 4,4x105CFU/gram 0,075x105CFU/gram. Berdasarkan kadar air dan total mikroba daging sapi di TPH Bandar Lampung masih layak untuk dikonsumsi.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan kepada pengelolah TPH di Bandar Lampung untuk mengevaluasi atau meninjau kembali terhadap penerapan praktek higienis dan sanitasi pada TPH di Bandar Lampung, supaya kadar air dan pencemaran mikroba daging sapi dapat berkurang.


(2)

(3)

DAFTAR PUSTAKA

Blakely, J. dan D. H. Bade. 1992. Pengantar Ilmu Peternakan. Penerjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Buckle, K. A., R. A. Edwards., G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan :Purnomo dan Adiono.Universitas Indonesia Press. Jakarta. Djaafar, T.F. dan S. Rahayu. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian,

Penyakit yang ditimbulkan dan Pencegahannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(2): 67−75.

Dhuljaman, M., Sugana, N., Natasasmita, A., dan Lubis , A.R. 1984. Studi Kualitas Karkas Domba Lokal Priangan Berdasarkan jenis Kelamin dan Pengelompokan Bobot Potong Domba dan Kambing Indonesia. Pusat Penelitian dan pengembangan Peternakan. Bogor.

Dwidjoseputre, D. Dr. Prof. 2005. Dasar – Dasar Mikrobologi. PT. Djambatan: Jakarta.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

_________.1993. Analisa Mikrobiologi Pangan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hendrick, M D. Judge, dan R. A. Merkel. 1975.

Principles of Meat Science.W. H. Freeman and Co., San Fransisco.

Forrest S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Hafriyanti, Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitas Daging Sapi dengan Kemasan

Plastik PE (Polyethilen) dan plastik PP (Polypropilen) di Pasar Arengka Pekan Baru. Jurnal Peternakan, 5(1):22-27.

Hamdan,W. 2010. Pencemaran Lingkungan.http://lingkarhayati.wordpress.com/ pencemaran-lingkungan. ( Diakses Tanggal 29 Januari 2013).

Hedrick, H.B. 1994. Principles of Meat Science, 3.ed. Dubuque: Kendall/Hunt Publishing. 354p.


(4)

Judge, M. D., E. D. Aberle, J. C. Forrest, H. B. Hedrick, dan R. A. Merkel. 1989. Prnciples of Meat Science. Kendall Hunt Publishing Company, Iowa. USA. Kasmadiharja, H. 2008. Kajian Penyimpanan Sosis, Naget Ayam dan Daging

Ayam Berbumbu dalam Kemasan Polipropilen Rigid. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kementrian Pertanian Republik Indonesia Nomor 555/Kpts/TN.240/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Badan Standarisasi Indonesia. Jakarta.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia Nomor 13/permentan/OT.140/1/2010 Tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit

Penanganan Daging (meat cutting plant). Jakarta.

Kurniawan, Nikodemus. 2014. Kualitas Fisik Daging Sapi dari Tempat Pemotongan Hewan di Bandar Lampung. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Negeri Lampung. Bandar Lampung. Bandar Lampung. Lawrie R A. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah Aminuddin Parakkasi. UI Press.

Jakarta.

Legowo, A. M. Nurwantoro dan Sutaryo. 2005. Analisis Pangan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Lestari, P.T.B.A., 1994. Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia Indonesia. P.T. Bina Aneka Lestari. Jakarta.

Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Muchtadi, T. R. dan Sugiono.1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mukartini, S., C. Jehne, B. Shay, and C. M. L. Harfer.1995. Microbiological status of beef carcass meat in Indonesia. J. Food Safety 15--291–303. Natasasmita, S., R. Priyanto dan D. M. Tauchid. 1987. Pengantar Evaluasi

Karkas. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam: Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan, 1986, Penterjemah , Ratna Siri Hadioetomo dkk. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1, Universitas Indonesia Press. Jakarta.


(5)

60

Prasetyo, A. 2013. Karakteristik Kimia dan Mikrostruktur Otot Longissimus Dorsi dan Biceps Femoris dari Sapi Glonggong. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Purnomo, H. 1986. Aspects of The Stability of Intermediate Moisture Meat-Phd. Thesis. The University of New South Wales. Australia.

__________. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Rahayu, E.S.2006. Amankan Produk Pangan Kita: Bebaskan dari Cemaran Berbahaya. Apresiasi Peningkatan Mutu Hasil Olahan Pertanian. Dinas Pertanian Propinsi DIY dan Kelompok Pemerhati Keamanan Mikrobiologi Produk Pangan. Yogyakarta.

Rianto. 2010. Rumah Potong Hewan sesuai SNI. http://diporianto. blogspot. Com /2010 /01 / syarat-rumah-potong-hewan-sesuai-sni. html. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. (Diakses Tanggal 27 Juli 2012).

Rozbeh, M., Kalchayanand, N., Field, R.A., Johnson, M.C. and Ray, B., 1993. The Influence of Biopreservatives on the Bacterial Level of Refrigerated Vacuum Package Beef. J. Food Safety.

Rosyidi, Djalal. 2010. Pengaruh Bangsa Sapi terhadap Kualitas Fisik dan Kimiawi Daging. Universitas Brawijaya. Malang.

Schlegel Hans G,. 1994. Mikrobiologi Umum. Penterjemah Tedjo Baskoro. Edisi keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Septina. 2010. Rumah Potong Hewan (RPH) Sapi. http://septina. blogspot. com /2010/03/27/ rumah-potong-hewan. html. (Diakses Tanggal 29 Juli 2012). Siagian, A, 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya.

Universitas Sumatera Utara (USU-press). Medan.

Simamora, B. 2002. Evaluasi Lingkungan Peternakan Sapi Perah di Kebon Pedes Kodya Bogor terhadap Masyarakat Sekitarnya. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Smith, G. C., G. T. King, dan Z. L. Carpenter. 1978. Laboratory Manual for Meat Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts.

Soeparno.2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Standar Nasional Indonesia.1999. Rumah Pemotongan Hewan. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.


(6)

61

______________________. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

______________________. 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba Dalam Daging, Telur dan Susu serta Hasil Olahannya. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Suharno. 2010. Perencanaan Pembangunan Rumah Potong Hewan Kota Surakarta. Penerbit Amus. Surakarta.

Suryati, T dan I.I. Arif. 2005. Pengujian daya putus Warner Bratzler, susut masak dan organoleptik sebagai penduga tingkat keempukan daging sapi yang disukai konsumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Varnam, A. N.and J. P. Sutherland. 1995. Meat and Meat Product. Chapman and Hall. London.

Williamson, G.and W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi Ketiga. Cetakan Pertama.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Winarno F. G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz.1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT