KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG

(1)

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI

TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG (SKRIPSI)

Oleh

NIKODEMUS PRAJNADIBYA KURNIAWAN

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRAK

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI

TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG Oleh

Nikodemus Prajnadibya Kurniawan

Pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang disertai dengan perkembangan pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi daging. Kualitas daging dipengaruhi oleh proses produksi yang dilakukan. Daging sapi yang ada di Bandar Lampung berasal dari Tempat Pemotongan Hewan (TPH) dan Rumah Potong Hewan (RPH) baik yang ada di Bandar Lampung maupun dari luar Bandar Lampung.

TPH mempunyai fasilitas dan penanganan ternak sebelum dan sesudah

pemotongan yang berbeda beda. Kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas daging sapi yang dihasilkan. Kualitas daging dapat ditentukan secara kimia,

mikrobiologi, organoleptik dan fisik. Kualitas fisik daging mempengaruhi kualitas daging olahan. Daging yang memiliki kualitas sifat fisik yang bagus tentunya akan memberikan produk pengolahan yang bagus dan akan

mempermudah selama proses olahannya. Sifat fisik daging meliputi pH, daya ikat air (DIA) dan susut masak.

Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di Tempat Pemotongan Hewan Bandar Lampung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas fisik daging sapi yang ada di Bandar Lampung berdasarkan pH, daya ikat air dan susut masak. Daging yang diambil adalah daging paha belakang sapi yang didapat dari 4 TPH yang ada di Bandar Lampung. Penelitian ini menggunakan metode survei kemudian dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas fisik daging sapi yang ada di Bandar Lampung masih berada dalam kisaran normal. Rata-rata pH 6,0

sedangkan rata-rata nilai daya ikat air 30,14 dan rata rata nilai susut masak 42,53. Jadi dapat disimpulkan kualitas fisik daging sapi dari Tempat Pemotongan Hewan masih normal dan layak untuk dikonsumsi.


(3)

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI

TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG Oleh

Nikodemus Prajnadibya Kurniawan

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tanggal 31 Maret 1992. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putra dari pasangan Bapak Ir. Yustinus Teguh Praboto (Alm) dan Ibu Fransiska Nyoman Yasha.

Penulis memulai pendidikan pada Taman Kanak-kanak Xaverius Tanjung Karang, selesai pada Tahun 1998. Sekolah Dasar Fransiskus Tanjung Karang Bandar Lampung pada Tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Fransiskus

Tanjung Karang Bandar Lampung pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Fransiskus Tanjung Karang Bandar Lampung pada tahun 2010.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada tahun 2010. Penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Banyumas, Banyumas, Pringsewu pada Januari -- Februari 2014 dan Praktik Umum di Suherah Farm, Desa Suban, Tanjung Bintang, Lampung Selatan pada Juli -- Agustus 2013.


(7)

Dengan mengucap rasa syukur kepada

Tuhan Yesus Kristus

Sebagai ungkapan rasa cinta kasih, hormat dan sayangku kepada:

Bapak (Alm), Mama, Mas Toni, Angel, dan Agatha

Untuk keluarga besarku, sahabat-sahabatku, dan para Dosen yang telah

memberikan do’a dan dukungan selama Aku menuntut ilmu

Serta

Lembaga yang turut membentuk pribadi diriku, mendewasakanku

dalam berpikir dan bertindak.


(8)

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada

waktunya.”

Sejarah telah menunjukkan bahwa pemenang yang paling termasyhur

biasanya menghadapi rintangan yang sangat mendebarkan sebelum akhirnya

meraih keberhasilan.

(B. C. Forbes)

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku

mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera

dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan

yang penuh harapan.

(Yeremia 29:11)

Lebih banyaklah berbuat bagi dunia daripada yang diperbuat oleh dunia

kepadamu- itulah keberhasilan.


(9)

SANWACANA

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan berkat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kualitas Fisik Daging Sapi dari Tempat Pemotongan Hewan di Bandar Lampung”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Ibu Dian Septinova, S.Pt., M.T.A.-- selaku Dosen Pembimbing Utama--atas bimbingan, motivasi, serta nasehatnya;

2. Bapak Dr. Kusuma Adhianto, S.Pt., M.P.--selaku Dosen Pembimbing anggota--atas bimbingan, saran, dan motivasinya;

3. Bapak Drh. Purnama Edy Santosa, M.Si .--selaku Dosen Penguji--atas saran, dan perbaikan serta motivasinya;

4. Ibu Ir. Khaira Nova, M.P. --selaku Pembimbing Akademik--atas bimbingan, motivasi, dukungan, dan juga teman mencurahkan berbagai masalah selama kuliah;

5. Ibu Sri Suharyati, S.Pt., M.P.--selaku Sekertaris Jurusan Peternakan--atas izin dan bimbingannya;

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S.--selaku Ketua Jurusan Peternakan--atas izin untuk melaksanakan penelitian;

7. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Wan Abbas Zakaria, M.S.--selaku Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung--atas izin yang diberikan;


(10)

8. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan Peternakan atas bimbingan, saran, dan motivasi yang diberikan;

9. Kepala Dinas Peternakan dan pemilik TPH di Bandar Lampung--atas izin dan bantuan yang selama penulis melaksanakan penelitian ini;

10. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas segala limpahan kasih sayang, doa, dukungan, nasehat, serta semua yang telah diberikan kepada penulis; 11. Kakak-adikku tersayang Antonius Atmaditya dan Angelina Laksmiati atas

kebersamaan, keceriaan, bantuan dan kasih sayang selama ini;

12. Allda Nasrul, Deni Hernando dan Sugioto selaku sahabat seperjuangan dalam penelitian atas kerjasama, bantuan, motivasi, nasihat, dan kasih sayang yang tidak pernah terlupakan;

13. Nurma, Ari, Janu, Nani, Anung, Sherly, Tiwi, Aini, Repi, Irma, kak Zulfi, dan teman-teman Peternakan angkatan 2010 atas kebersamaan, bantuan, perhatian, motivasi, dan semangat yang diberikan;

14. Mas Agus atas bantuan menyiapkan fasilitas selama perkuliahan, serta pada penelitian ini;

15. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas bantuannya;

Semoga semua yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa dan semoga karya ini dapat bermanfaat. Amin.

Bandar lampung, September 2014 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Kegunaan Penelitian ... 3

D. Kerangka Pemikiran ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Tempat Pemotongan Hewan (TPH) ... 6

B. Teknik Pemotongan pada Sapi di TPH ... 12

1. Pengistirahatan ... 12

2. Prosessing karkas sapi ... 13

3. Potongan pada karkas sapi ... 15

4. Cara pemotongan karkas sapi ... 16


(12)

D. Sifat Fisik Daging ... 19

1. Derajat keasaman (pH) ... 20

2. Daya ikat air (DIA) ... 23

3. Susut masak ... 24

III. BAHAN DAN METODE ... 26

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 26

1. Alat ... 26

2. Bahan ... 26

C. Metode Penelitian ... 27

D. Pelaksanaan Penelitians ... 27

1. Prosedur Penelitian ... 27

a. Penentuan dan pengambilan sampel daging ... 26

b. Pengukuran pH daging ... 28

c. Pengukuran susut masak daging ... 28

d. Pengukuran DIA ... 29

E. Peubah yang Diamati ... 30

F. Analisis Data ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

A. Gambaran Umum ... 31

B. Nilai pH Daging dari TPH di Bandar Lampung ... 37

C. Daya Ikat Air Daging dari TPH di Bandar Lampung ... 41


(13)

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 48 DAFTAR PUSTAKA ... 49 LAMPIRAN ... 53


(14)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Golongan potongan daging sapi ... 15

2. Nama TPH di Bandar Lampung ... 31

3. Nilai pH daging sapi di TPH Bandar Lampung ... 37

4. Nilai daya ikat air daging sapi di TPH Bandar Lampung ... 41


(15)

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman


(16)

iii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data pengukuran DIA daging ... 53

2. Data pengukuran susut masak daging ... 53

3. Data pemotongan sapi di TPH Bandar Lampung ... 54

4. Penanganan pasca pemotongan dan distribusi daging di TPH Bandar Lampung ... 56

5. Kuisioner penelitian kualitas daging di TPH Bandar Lampung ... 57

6. Proses pemotongan di TPH Ibu Mul ... 59

7. Proses pemotongan di TPH H.Udin ... 59


(17)

1

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah

Pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang disertai dengan perkembangan pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi daging. Daging merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang memiliki gizi yang lengkap.

Daging adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Daging juga merupakan bahan pangan yang sangat baik bagi pertumbuhan dan

perkembangbiakan mikroorganisme sehingga dapat menurunkan kualitas daging. Daging mudah sekali mengalami kerusakan mikrobiologi karena kandungan gizi dan kadar airnya yang tinggi.

Daging sapi dianggap pilihan yang paling populer dari semua daging merah. Daging sapi memiliki banyak kelebihan. Daging sapi merupakan sumber vitamin B12 dan sumber vitamin B6. Vitamin B12 hanya ditemukan dalam produk hewani dan sangat penting untuk metabolisme sel, menjaga sistem saraf yang sehat dan produksi sel darah merah dalam tubuh. Selain itu daging sapi merupakan sumber zat besi yang baik serta mengandung selenium dan fosfor. Asam amino yang terdapat pada daging sapi adalah leusin, lisin, dan valin yang


(18)

2

lebih tinggi daripada daging babi atau domba. Namun, daging sapi memiliki kekurangan yaitu mengandung lemak jenuh yang tinggi dan dianggap

meningkatkan resiko kanker.

Kualitas daging dipengaruhi oleh proses produksi yang dilakukan. Daging sapi yang ada di Bandar Lampung berasal dari Tempat Pemotongan Hewan (TPH) dan Rumah Potong Hewan (RPH) baik yang ada di Bandar Lampung maupun dari luar Bandar Lampung. Berdasarkan data pada Dinas Peternakan Bandarlampung TPH yang ada di Bandar Lampung berjumlah 11 buah, namun karena adanya kebijakan pemerintah tentang standarisasi RPH jumlah TPH yang ada di Bandar Lampung. Saat ini berjumlah 4 TPH. TPH tersebut ada yang masih bersifat tradisional dan ada yang telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). RPH dan TPH mempunyai fasilitas dan penanganan ternak sebelum dan sesudah pemotongan yang berbeda beda. Kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas daging sapi yang dihasilkan.

Daging sapi diharapkan mempunyai kualitas yang layak untuk dikonsumsi. Kualitas daging dapat ditentukan secara kimia, mikrobiologi, organoleptik dan fisik. Kualitas fisik daging mempengaruhi kualitas pengolahan daging. Daging yang memiliki kualitas sifat fisik yang bagus tentunya akan memberikan produk pengolahan yang bagus dan akan mempermudah selama proses pengolahannya. Sifat fisik daging meliputi pH, daya ikat air (DIA) dan susut masak.

Sampai saat ini belum ada informasi mengenai sifat kualitas fisik daging sapi yang ada di Bandar Lampung. Sehingga masyarakat belum mengetahui kualitas fisik daging sapi yang berasal dari TPH di Bandar Lampung.


(19)

3

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik melakukan studi kasus terhadap kualitas daging sapi dari tempat pemotongan hewan di Bandar Lampung

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas daging secara uji fisik (pH, DIA, dan susut masak) yang berasal dari TPH di Bandar Lampung.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat tentang kualitas fisik daging dari TPH di Bandar Lampung dan pengambil kebijakan untuk melakukan pembinaan kepada TPH- TPH di Bandar Lampung

D. Kerangka Pemikiran

Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di TPH. Di tempat ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di TPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, kualitas dan keamanan daging yang dihasilkan.

Menurut Buckle dkk., (1987), pH daging pada ternak hidup berkisar antara 7,2--7,4. Pada beberapa ternak, penurunan pH terjadi satu jam setelah ternak dipotong dan pada saat tercapainya rigormortis. Pada saat itu nilai pH daging ada yang tetap tinggi yaitu sekitar 6,5--6,8, namun ada juga yang mengalami


(20)

4

penurunan dengan sangat cepat yaitu mencapai 5,3--5,6. Peningkatan pH dapat terjadi akibat partumbuhan mikroorganisme. Penurunan pH dapat teradi akibat penumpukan asam laktat pada proses glikolisis. Proses glikolisis adalah perubahan glikogen menjadi asam laktat pada keadaan anaerob. Setelah itu pH daging akan mengalami peningkatan akibat adanya mikroorganisme. Nilai pH daging perlu diketahui karena pH daging akan mempengaruhi tumbuh dan

berkembangnya mikroorganisme pada daging. Nilai pH daging akan berpengaruh terhadap daya ikat air dan susut masak.

Menurut Buckle dkk., (1987), daya ikat air oleh protein daging atau disebut dengan Water Holding Capacity (WHC). DIA didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (water absorption). Menurut Lawrie (1995), nilai DIA suatu produk daging sapi yang baik adalah 30 %.

Menurut Astawan (2007), susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Daya ikat air (DIA) yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi.

Menurut Soeparno (2005), pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara 1,5--54,5% dengan kisaran 15--40%. Daging bersusut masak rendah mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging


(21)

5

bersusut masak besar, karena resiko kehilangan nutrisi dan kerugian nilai ekonomi selama pemasakan akan lebih sedikit.

Pada tiap TPH terdapat manajemen pemotongan hewan sesuai dengan standarisasi masing-masing TPH, sehingga diduga berpengaruh pada kualitas fisik daging sapi pada tiap TPH. Oleh sebab itu, untuk mengetahui kualitas fisik yang terdapat pada daging sapi di beberapa TPH di Bandar Lampung, maka perlu dilakukan penelitian mengenai kualitas fisik pada daging sapi.


(22)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tempat Pemotongan Hewan (TPH)

Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/ TN.240/9/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Ijin Usaha Pemotongan Hewan, tempat pemotongan hewan merupakan salah satu tempat penyediaan daging, tempat tersebut merupakan tempat yang rawan dan beresiko cukup tinggi terhadap mikroba patogen oleh sebab itu perlu mendapat perhatian khusus baik dari pihak petugas terkait untuk mengurangi tingkat cemaran mikroba. Keberadaan tempat pemotongan hewan masih menjadi tumpuan bagi masyarakat Indonesia, terutama pelaku usaha yang terlibat langsung (penjual dan pembeli) ataupun masyarakat yang terlibat tidak langsung dengan adanya aktivitas tempat pemotongan hewan.

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging bagi masyarakat. Sebagai sarana pelayanan masyarakat (public service) dalam penyediaan daging yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH), maka pemerintah berkewajiban melaksanakan kontrol terhadap fungsi TPH melalui pemeriksaan antemortem dan postmortem (SNI 01-6159-1999).


(23)

7

Menurut Palpupi (1996), RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama). Hewan yang dimaksud adalah sapi, kerbau, ayam, dan kalkun.

Sedangkan TPH adalah tempat pemotongan hewan yang hanya memotong ternak dari jenis sapi.

Menurut Darsono (2006), perbedaan antara RPH dan TPH dapat dikategorikan dalam beberapa tipe. Pertama, rata – rata TPH adalah milik swasta, sementara RPH dimiliki oleh pemerintah negeri. Perbedaan yang paling signifikan adalah RPH mempunyai laboratorium bersamaan dengan bangunan RPH, sementara TPH memiliki laboratorium pada kandang atau feedlot. Laboratorium RPH untuk menguji kesehatan ternak dan kesehatan daging yang ingin di distribusikan. Sementara laboratorium milik TPH hanya menguji kesehatan daging saat akan di distribusikan. TPH sendiri dapat digolongkan menjadi 2 yaitu modern dan tradisional.

Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 Bab II Pasal 2 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, yang pada prinsipnya telah mengatur hal-hal sebagai berikut :

1. setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan telah diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang;

2. pemotongan hewan harus dilaksanakan di RPH atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang;


(24)

8

3. pemotongan hewan potong untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta penyembelihan hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan di luar RPH/TPH tetapi harus dengan mendapat izin terlebih dahulu dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang

bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya;

4. syarat-syarat rumah pemotongan hewan, pekerja, cara pemeriksaan kesehatan, pelaksanaan pemotongan, dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri (SNI 01-6159-1999).

Menurut Manual Kesmavet (1993) dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/ TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya bahwa RPH harus memenuhi syarat yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi syarat lokasi, kelengkapan bangunan, komponen bangunan utama, dan kelengkapan RPH:

1. Lokasi RPH

a. Lokasi RPH di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak padat penduduknya, dekat aliran sungai atau di bagian terendah kota.

b. Lokasi RPH di tempat yang mudah dicapai dengan kendaraan atau dekat jalan raya (Lestari, 1994; Manual Kesmavet, 1993).

2. Kelengkapan bangunan.

a. Kompleks bangunan RPH harus dipagar untuk memudahkan penjagaan dan keamanan serta mencegah terlihatnya proses pemotongan hewan dari luar. b. Mempunyai bangunan utama RPH.


(25)

9

d. Mempunyai laboratorium sederhana yang dapat dipergunakan untuk pemeriksaan kuman dengan pewarnaan cepat, parasit, pH, pemeriksaan permulaan pembusukan dan kesempurnaan pengeluaran darah.

e. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan atau karkas yang ditolak berupa tempat pembakar atau penguburan.

f. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan yang ditunda pemotongannya.

g. Mempunyai bak pengendap pada saluran buangan cairan yang menuju ke sungai atau selokan.

h. Mempunyai tempat penampungan sementara buangan padat sebelum diangkut.

i. Mempunyai ruang administrasi, tempat penyimpan alat, kamar mandi dan WC.

j. Mempunyai halaman yang dipergunakan sebagai tempat parkir kendaraaan 3. Komponen bangunan utama.

a. Mempunyai tempat penyembelihan hewan, tempat pengulitan, tempat pengeluaran jeroan dari rongga perut dan dada, tempat pembagian karkas, tempat pemeriksaan kesehatan daging.

b. Mempunyai tempat pembersihan dan pencucian jeroan yang terpisah dari dengan air yang cukup.

c. Berdinding dalam yang kedap air terbuat dari semen, porselin atau bahan yang sejenis setinggi dua meter, sehingga mudah dibersihkan.

d. Berlantai kedap air, landai kearah saluran pembuangan agar air mudah mengalir, tidak licin dan sedikit kasar.


(26)

10

e. Sudut pertemuan antar dinding dan dinding dengan lantai berbentuk lengkung.

f. Berventilasi yang cukup untuk menjamin pertukaran udara. 4. Kelengkapan RPH.

a. Mempunyai alat-alat yang dipergunakan untuk persiapan sampai dengan penyelesaian proses pemotongan termasuk alat pengerek dan penggantung karkas pada waktu pengulitan serta pakaian khusus untuk tukang sembelih dan pekerja lainnya.

b. Peralatan yang lengkap untuk petugas pemeriksa daging. c. Persediaan air bersih yang cukup.

d. Alat pemelihara kesehatan.

e. Pekerja yang mempunyai pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat veteriner yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinya syarat-syarat dan prosedur yang berlaku dalam pemotongan hewan serta penanganan daging.

B. Teknik Pemotongan pada Sapi di RPH 1. Pengistirahatan ternak

Ternak sebelum disembelih sebaiknya diistirahatkan dahulu. Pengistirahatan ternak mempunyai maksud agar ternak tidak stres, darah dapat keluar sebanyak mungkin, dan cukup tersedia energi agar proses rigormortis berjalan sempurna (Soeparno, 2005). Pengistirahatan ternak penting karena ternak yang habis dipekerjakan jika langsung disembelih tanpa pengistirahatan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap yang biasa disebut dark cutting meat, karena ternak


(27)

11

mengalami stres (Beef Stress Syndrome), sehingga sekresi hormon adrenalin meningkat yang akan menggangu metabolisme glikogen pada otot (Smith dkk., 1978).

Pengistirahatan ternak dapat dilaksanakan dengan pemuasaan atau tanpa pemuasaan. Pengistirahatan dengan pemuasaan mempunyai maksud untuk memperoleh berat tubuh kosong (BTK = bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kandung kencing, dan isi saluran empedu) dan mempermudah proses penyembelihan bagi ternak agresif dan liar. Pengistirahatan tanpa pemuasaan bermaksud agar ketika disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin dan ternak tidak mengalami stres (Soeparno, 2005).

Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan yang dilakukan sebelum hewan disembelih. Petugas pemeriksaan antemortem adalah dokter hewan. Dokter hewan inilah yang berhak menentukan apakah hewan dapat dipotong atau tidak. Adapun tujuan pemeriksaan antemortem antara lain :

1. memperoleh ternak yang cukup sehat;

2. menghindari pemotongan hewan yang sakit atau abnormal;

3. mencegah atau meminimalkan kontaminasi pada alat, pegawai dan karkas; 4. sebagai bahan informasi bagi pemeriksaan post-mortem;

5. mencegah penyebaran penyakit zoonosis;

6. mengawasi penyakit tertentu sesuai dengan undang-undang.

(Permentan/OT.140/1/2010/Bab 5 Pasal 37 tentang Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner).


(28)

12

2. Prosessing karkas sapi a. Pemingsanan (stunning)

Pemingsanan dilaksanakan dengan alasan untuk keamanan, menghilangkan rasa sakit sesedikit mungkin pada ternak, memudahkan pelaksanaan penyembelihan, dan kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik (Blakely dan Bade, 1992). Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan alat pemingsan knocker, senjata pemingsan stunning gun, pembiusan dan arus listrik

(Soeparno, 2005).

Alat yang sering digunakan adalah captive bolt, yaitu suatu tongkat berbentuk silinder selongsong kosong yang mempunyai muatan eksplosif yang ditembakkan oleh suatu tekanan pada kepala sapi (Blakely dan Bade, 1992). Alat pemingsan diarahkan pada bagian titik tengan tulang kening kepala sapi sedikit diatas antara kedua kelopak mata, sehingga peluru diarahkan pada bagian otak. Peluru yang ditembakkan akan mengenai otak dengan kecepatan tinggi, sehingga sapi menjadi pingsan (Soeparno, 2005).

b. Penyembelihan

Penyembelihan dilaksanakan dengan meletakkan pisau pada samping rahang bawah yang berbatasan dengan telinga pada leher dan dilaksanakan

penyembelihan dengan memotong pembuluh darah arteri karotid dan vena jugularis saluran pernapasan dan saluran makanan (Smith dkk., 1978). Setelah penyembelihan dibiarkan 6 sampai 10 menit supaya darah dapat keluar dengan sempurna (berat darah 3--5% dari berat hidup) (Smith dkk., 1978).


(29)

13

Hewan yang telah pingsan diangkat pada bagian kaki belakang dan digantung (Blakely dan Bade, 1992). Pisau pemotongan diletakkan 45o pada bagian brisket (Smith dkk., 1978), dilakukan penyembelihan oleh modin dan dilakukan bleeding, yaitu menusukan pisau pada leher ke arah jantung (Soeparno, 2005).

Posisi ternak yang menggantung menyebabkan darah keluar dengan sempurna (Blakely dan Bade, 1992).

c. Pengulitan

Pengulitan dimulai setelah dilakukan pemotongan kepala dan ke empat bagian kaki bawah (Smith dkk., 1978). Pengulitan bisa dilakukan di lantai, digantung dan menggunakan mesin (Soeparno, 2005). Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian perut. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam kaki dan kulit dipisahkan mulai dari ventral ke arah punggung tubuh (Soeparno, 2005) dan diakhiri dengan pemotongan ekor (Smith dkk., 1978).

d. Eviserasi

Menurut Smith dkk., (1978), proses eviserasi bertujuan untuk mengeluarkan organ pencernaan (rumen, intestinum, hati, dan empedu) dan isi rongga dada (jantung, esopagus, paru dan trakea).

Tahap-tahap eviserasi dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut : 1. rongga dada dibuka dengan gergaji melalui ventral tengah tulang dada; 2. rongga abdominal dibuka dengan membuat sayatan sepanjang ventral tengah


(30)

14

3. memisahkan penis atau jaringan ambing dan lemak abdominal; 4. belah bonggol pelvis dan pisahkan kedua tulang pelvis;

5. buat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantung plastik; 6. pisahkan eshopagus dari trakea;

7. keluarkan kandung kencing dan uterus jika ada;

8. keluarkan organ perut yang terdiri dari intestinum, mesenterium, rumen dan bagian lain dari lambung serta hati dan empedu;

9. diafragma dibuka dan dikeluarkan organ dada (pluck) yang terdiri dari jantung, paru-paru dan trakea (Soeparno, 2005).

Organ ginjal tetap ditinggal di dalam badan dan menjadi bagian dari karkas. Eviserasi dilanjutkan dengan pemeriksaan organ dada, organ perut dan karkas untuk mengetahui apakah karkas diterima atau ditolak untuk dikonsumsi manusia (Blakely dan Blade, 1992).

e. Pembelahan

Pembelahan dilaksanakan dengan membagi karkas menjadi dua bagian sebelah kanan dan kiri dengan menggunakan gergaji tepat pada garis tengah punggung. Karkas dirapikan dengan melakukan pemotongan pada bagian-bagian yang kurang bermanfaat dan ditimbang untuk memperoleh berat karkas segar (Soeparno, 2005). Pemotongan dilaksanakan untuk menghilangkan sisa-sisa jaringan kulit, bekas memar, rambut, dan sisa kotoran yang ada. Karkas agar lebih baik kualitasnya, maka disemprot air dengan tekanan tinggi dan dilanjutkan dengan dicuci air hangat yang dicampur garam (Smith dkk., 1978) dan dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak subkutan (Soeparno, 2005).


(31)

15

f. Pendinginan

Menurut Soeparno (2005) lamanya pendinginan kira-kira 24 jam sebelum

pemotongan tulang rusuk atau pemotongan paruhan karkas (half carcass) menjadi perempat bagian karkas (quarter carcass). Temperatur ruang pendinginan

berkisar antara -40C sampai dengan 10C, tapi menurut Blakely dan Bade (1992) temperatur ruang pendinginan harus tetap pada 20C. Karkas atau daging baru dapat dikeluarkan atau dipasarkan apabila telah diperiksa oleh dokter hewan atau petugas yang berwenang, dimana karkas yang sehat akan diberi stempel atau dicap sebagai tanda layak dan aman untuk dikonsumsi.

3. Potongan pada karkas sapi

Menurut (SNI 3932:2008 tentang Mutu Karkas Daging Sapi) klasifikasi potongan daging sapi dibagi dalam beberapa golongan. Klasifikasi golongan potongan daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Golongan potongan daging sapi

Golongan Potongan daging

I 1. Has Dalam (tenderloin)

2. Has Luar (sirloin) 3. Lemusir (cube roll)

II 1. Tanjung (rump)

2. Kelapa (round) 3. Penutup (topside) 4. Pendasar (silverside) 5. Gandik (eye round) 6. Kinjel (chuck tender) 7. Sampil Besar (chuck) 8. Sampil kecil (blade)

III 1. Sengkel (shin)

2. Daging Iga (rib meat) 3. Samcan (thin flank) 4. Sandung Lamur (brisket)


(32)

16

Menurut Soeparno (2005), potongan primal karkas sapi dari potongan setengah dibagi lagi menjadi potongan seperempat, yang meliputi: potongan seperempat bagian depan yang terdiri dari bahu (chuck) termasuk leher, rusuk, paha depan, dada (breast) yang terbagi menjadi dua, yaitu dada depan (brisket) dan dada belakang (plate).

4. Cara pemotongan karkas sapi

Bagian seperempat belakang yang terdiri dari paha (round) dan paha atas (rump), loin yang terdiri sirloin dan shortloin, flank beserta ginjal dan lemak yang

menyeliputinya. Pemisahan bagian karkas seperempat depan dan seperempat belakang dilakukan diantara rusuk 12 dan 13 (rusuk terakhir diikutkan pada seperempat belakang). Cara pemotongan primal karkas adalah sebagai berikut: menghitung tujuh vertebral centra kearah depan (posisi karkas tergantung ke bawah), dari perhubungan sacralumbar. Memotong tegak lurus vertebral column dengan gergaji. Memisahkan bagian seperempat depan dari seperempat belakang dengan pemotongan melalui otot-otot intercostals dan abdominal mengikuti bentuk melengkung dari rusuk ke-12. Memisahkan bagian bahu dari rusuk

dengan memotong tegak lurus melalui vertebral column dan otot-otot intercostals atau antara rusuk ke-5 dan ke-6. Memisahkan rusuk dari dada belakang dengan membuat potongan dari anterior ke posterior. Memisahkan bahu dari dada depan dengan memotong tegak lurus rusuk ke-5, kira-kira arah proksimal terhadap tulang siku (olecranon). Paha depan juga dapat dipisahkan (Soeparno, 2005).

Cara pemotongan primal karkas seperempat belakang diawali dengan


(33)

17

Memisahkan flank dengan memotong dari ujung distal tensor fascialata, anterior dari rectus femoris ke arah rusuk ke-13 (kira-kira 20 cm dari vertebral column). Memisahkan bagian paha dari paha atas dengan memotong melalui bagian distal terhadap ichium kira-kira berjarak 1 cm, sampai bagian kepala dari femur. Memisahkan paha atas dari sirloin dengan potongan melewati antara vertebral sacral ke-4 dan ke-5 dan berakhir pada bagian ventral terhadap acetabulum pelvis. Sirloin dipisahkan dari shortloin dengan suatu potongan tegak lurus terhadap vertebral column dan melalui vertebral lumbar antara lumbar ke-5 dan ke-6 (Soeparno, 2005).

C. Deskripsi daging

Definisi daging adalah semua jaringan hewan dan produk olahannya yang sesuai dan digunakan sebagai makanan. Daging terdiri dari empat jaringan utama, yaitu jaringan otot, jaringan ikat, jaringan epitel dan jaringan saraf. Daging dapat diklasifikasikan berdasarkan: intensitas warna, yaitu daging merah dan daging putih; dan asal daging. Daging merah misalnya daging sapi, daging kerbau, daging babi, daging domba, daging kambing dan daging kuda. Daging unggas misalnya daging ayam, itik dan angsa. Daging hasil laut misalnya ikan, udang, kepiting dan kerang. Daging hewan liar misalnya kijang dan babi hutan. Daging aneka ternak misalnya kelinci, burung puyuh, dan merpati (Nurwanto dkk., 2003).

Menurut Soeparno (2005), daging segar merupakan daging yang baru dipotong, belum mengalami pengolahan lebih lanjut dan belum disimpan untuk waktu yang lama. Daging segar cenderung memiliki kualitas kandungan nutrisi dan


(34)

18

pengolahan lebih lanjut dan belum disimpan lama. Indikator yang dapat dijadikan kualitas daging ini adalah kekenyalan, warna daging, bau, dan tekstur. Selain itu, daging segar tidak berlendir, tidak terasa lengket ditangan dan terasa

kebasahannya. Adapun ciri - ciri daging sapi yang berkualitas baik adalah warna daging cerah, tidak berlendir, daging lokal berwarna merah terang, sedangkan sapi impor warna merah tua. Warna daging sapi muda merah muda, sedangkan sapi sudah tua warna daging merah tua, aroma khas daging agak manis, daging tampak seperti basah tetapi kalau dipegang cenderung kering dan kenyal.

Menurut Astawan (2007), daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibanding protein yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin. Selain kaya protein, daging juga mengandung energi sebesar 250 kkal/100 g. Jumlah energi dalam daging ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam serabut-serabut otot, yang disebut lemak marbling. Kadar lemak pada daging berkisar antara 5—40%, tergantung pada jenis dan spesies, makanan dan umur ternak. Daging juga mengandung kolesterol, walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian jeroan maupun otak. Kadar kolesterol daging (sekitar 500 mg/100g) lebih rendah daripada kolesterol otak (1.800-2.000 mg/100 g) atau kolesterol kuning telur (1.500 mg/100 g).

Menurut Wibisono (2010), karkas sapi dapat dipotong menjadi 14 bagian yaitu sampil, lemusir, has luar, sampil dalam, samcan, tanjung, sengkel, kelapa,


(35)

19

pendasar, iga, sampil kecil, dan has dalam. Bagian potongan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagian – bagian karkas sapi. B. Sifat fisik daging

Sifat fisik daging biasanya berkaitan erat dengan kualitas daging. Sebab kualitas daging dapat diartikan sebagai ukuran sifat-sifat daging yang dikehendaki dan dinilai oleh konsumen. Selain dipengaruhi tujuan penggunaannya, kualitas daging juga dipengaruhi oleh faktor antemortem dan postmortem.

Faktor antemortem antara lain lokasi anatomis dan fungsi, kedewasaan fisiologis, tekstur dan ukuran serabut, kebasahan dan firmness, warna, marbling, dan stres. Sedangkan faktor postmortem meliputi laju pendinginan, suspense karkas, stimulant elektris, pelayuan, pembekuan, dan perlakuan fisik atau kimiawi. Adapun sifat-sifat daging yang berpengaruh terhadap kualitas tersebut di atas yaitu warna (colour), kesan jus (juiciness), keempukan (tenderness), susuk masak


(36)

20

(cooking loss), cita rasa (flavor), struktur, firmness, dan tekstur (Nurwanto dkk., 2003)

1. Derajat keasaman (pH)

Nilai pH adalah log negatif dari konsentrasi ion H. Jika suatu zat melepaskan ion H+ ke dalam cairan akan meningkatkan konsentrasi ion H+cairan tersebut maka disebut sebagai asam, serta memiliki nilai pH di bawah 7,0. Sebaliknya, jika menarik ion H+ maka disebut basa, yang memiliki nilai pH di atas 7,0. Nilai pH 7,0 dikatakan sebagai pH netral. Skala nilai pH antara 0 dan 14 (Anggorodi, 2008).

Nilai pH merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging, khususnya di TPH. Setelah pemotongan hewan (hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran darah ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian (36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain dihasilkan energi maka

dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai pH jaringan otot (Nurwanto dkk., 2003).

Menurut Soeparno (2005), pH daging sapi yang baru dipotong berkisar antara 7,2--74 dan akan terus menurun sampai pH ultimate daging yaitu 5,5--5,8. Faktor


(37)

21

yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH di bagi menjadi dua yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas spesies, jenis otot, glikogen otot, dan variabilitas diantara ternak. Sedangkan faktor ekstrinsik antara lain temperatur lingkungan, perlakuan pemotongan, proses pemotongan dan stres sebelum pemotongan.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pH daging seperti yang dikemukakan oleh Smith dkk., (1978) dan Judge dkk., (1989) yaitu stres sebelum pemotongan, iklim, tingkah laku agresif diantara ternak sapi atau gerakan yang berlebihan mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan atau habisnya glikogen otot dan akan menghasilkan daging yang gelap dengan pH yang tinggi (lebih besar dari 5,7).

Rahadja (2009) berpendapat bahwa jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat dari seekor hewan dan antara hewan juga berbeda. Nilai pH

postemortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan akan terbatas bila hewan depresi karena kelelahan.

Pada hewan dengan tingkat stres yang tinggi, kondisi stres akan memicu penurunan pH yang cepat pada kondisi kandungan glikogen yang cukup

menyebabkan pH akhir menjadi sangat rendah sehingga protein terdenaturasi dan dihasilkan daging Pale Soft and Exudative (PSE) (pucat, lunak dan basah). Daging PSE akan menurunkan rendemen proses (cooking loss besar), daya ikat, dan daya iris rendah (Lawrie, 1995).


(38)

22

Pada beberapa ternak, penurunan pH terjadi satu jam setelah ternak dipotong dan pada saat tercapainya rigormortis. Pada saat itu nilai pH daging ada yang tetap tinggi yaitu sekitar 6,5--6,8, namun ada juga yang mengalami penurunan dengan sangat cepat yaitu mencapai 5,4--5,6. Peningkatan pH dapat terjadi akibat partumbuhan mikroorganisme. Nilai pH daging sapi setelah perubahan glikolisis menjadi asam laktat berhenti berkisar antara 5,1--6,2 (Buckle dkk., 1987).

Menurut Lukman (2010), penurunan pH daging terdiri dari 3 pola, yaitu;

1. Penurunan pH secara normal (penurunan pH yang lambat), yaitu dari nilai pH sekitar 7,0--7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai 5,6--5,7 dalam waktu 6--8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH akhir sekitar 5,5--5,6. Nilai pH akhir ultimate pH value adalah nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan atau kematian.

2. Sedangkan pola nilai pH Pale Soft dan Exudative (PSE) adalah penurunan pH yang cepat, nilai pH menurun relatif cepat sampai sekitar 5,4--5,5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai nilai pH akhir 5,3--5,6.

3. Pola nilai pH Dark Firm and Dry (DFD) adalah penurunan pH yang lambat dan tidak lengkap, nilai pH menurun sedikit sekali pada jam - jam pertama setelah pemotongan dan tetap relatif tinggi; mencapai akhir sekitar 6,5--6,8 atau nilai pH akhir dicapai di atas 6,2.


(39)

23

2. Daya ikat air (DIA)

DIA didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan air yang terdapat dalam jaringan. Sedangkan Water Binding Capacity (WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ditambahkan pada daging. DIA didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Nurwanto dkk., 2003).

Salah satu istilah yang terkait dengan WHC adalah drip, yaitu kehilangan cairan dari daging. Drip biasanya terjadi selama pengangkutan, pameran (display) dan penyimpanan. Adanya drip menyebabkan kerugian seperti penurunan berat daging, berkurangnya kelezatan dan berkurangnya nilai gizi (Nurwanto dkk., 2003).

Pengujian DIA merupakan pengujian untuk mengetahui seberapa besar daging tersebut mampu mengikat air bebas. DIA diukur dengan menggunakan metode penekanan Hamm (Suryati dkk., 2006). Selain itu menurut Pearson dan Young (1971), lemak intramuskuler juga mempunyai pengaruh terhadap perbedaan DIA. Hubungan antara lemak intramuskuler dengan DIA adalah kompleks. Lemak intramuskuler mungkin melonggarkan mikrostruktur daging, sehingga memberi lebih banyak kesempatan kepada protein daging untuk mengikat air. Tambunan (2009) juga menambahkan bahwa nilai susut masak ini erat kaitannya dengan daya mengikat air. Semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses pemanasan air, dan cairan nutrisi akan sedikit yang keluar atau yang terbuang sehingga massa daging yang berkurangpun sedikit.


(40)

24

Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya variasi pada DIA oleh daging diantaranya: faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan, faktor biologik seperti jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin, dan umur ternak. Demikian pula faktor pakan, transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan, dan lemak intramuskuler (Jamhari, 2000).

DIA sapi lokal yang diternakkan secara tradisional berkisar antara 10--25%, hal ini karena kandungan protein pada pakan sapi komersil tidak terlalu diperhatikan sehingga nilai protein pada daging juga rendah. Saat protein dalam daging rendah mengakibatkan air yang terikat dalam protein kimiawi juga rendah. Sedangkan untuk sapi Impor DIA sapi yang digemukkan dengan pakan protein tinggi memiliki nilai 26--52%. Saat protein dalam daging tinggi mengakibatkan air yang terikat dalam protein kimiawi juga tinggi, akibatnya DIA juga tinggi (Basuki, 2000).

Menurut Lawrie (1995), DIA dipengaruhi oleh kadar protein daging dan karkas. Protein salah satu fungsinya mengikat air, jika protein mengalami denaturasi akibat pemanasan atau pemasakan maka kekuatan untuk mengikat air akan semakin rendah sehigga DIA daging tersebut juga akan menurun.

3. Susut masak

Nilai susut masak merupakan nilai massa daging yang berkurang setelah proses pemanasan atau pengolahan masak. Nilai susut masak ini erat kaitannya dengan DIA. Semakin tinggi DIA maka ketika proses pemanasan air cairan nutrisi akan


(41)

25

sedikit yang keluar atau yang terbuang sehingga massa daging yang berkurang pun sedikit (Tambunan, 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak antara lain nilai pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel, penampang melintang daging, pemanasan, bangsa terkait dengan lemak daging, umur dan konsumsi energi dalam pakan. Susut masak berkisar antara 1,5--54,5% (Nurwanto dkk., 2003).

Menurut Soeparno (2005), pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara 1,5--54,5% dengan kisaran 15--40%. DIA yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. DIA sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging. Apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0--5,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah.

Susut masak daging sapi dipengaruhi oleh DIA dan kadar air. Semakin tinggi DIA, semakin rendah kadar air daging sapi. Hal ini diikuti oleh turunnya

persentase susut masak daging sapi. Daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah (Suryati dkk., 2004).


(42)

III. BAHAN DAN METODE

A.Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2014 di TPH yang ada di Bandar Lampung dan di Laboratorium Hasil Pertanian Politekhnik Negeri Lampung.

B. Alat dan bahan penelitian 1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah; wadah plastik, pH meter, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g, blender, kaca 2 lapis, oven, panci, kamera, pisau, beker glass, bejana pemberat, kertas saring whatman no 42, kertas grafik ukuran 1x1 cm, alat penjepit, cawan petri, dan alat tulis.

2. Bahan

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah daging sapi yang berasal dari 4 TPH di Bandar Lampung. Daging sapi yang digunakan adalah bagian paha atau daging sapi yang paling luar yang kandungan lemaknya sedikit dan tanpa


(43)

27

C. Metode penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei dan pengambilan sampel dilakukan secara acak. Daging diambil dari TPH di Bandar Lampung. Sebagai data pelengkap maka dilakukan wawancara dengan peternak dan kuisioner (Lampiran 5).

D. Pelaksanaan penelitian

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer mencakup segala informasi tentang daging bagian paha belakang yang menjadi obyek penelitian, misalnya pH, susut masak, dan DIA. Data primer diperoleh dari responden di lapangan, pemilik TPH tersebut. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi-instansi/lembaga-lembaga terkait, yaitu Dinas Peternakan Provinsi Lampung.

1. Prosedur penentuan dan pengambilan sampel daging sapi bagian paha belakang.

a. menyiapkan peralatan pengambilan sampel seperti pisau, plastik, sarung tangan, wadah, alat tulis, dan kamera;

b. mengambil sampel sebanyak 0,3 Kg daging paha belakang sapi pada masing – masing TPH;

c. memotong motong menjadi beberapa bagian sampel; d. menimbang bobot segar dari sampel tersebut;


(44)

28

f. melakukan analisis terhadap sampel setelah 10 jam dari pengambilan untuk mengetahui pH, daya ikat air, dan susut masak sampel tersebut;

g. Mencatat hasil data yang diperoleh dan melakukan analisis dari tiap sampel.

2. Pengukuran pH daging a. menyiapkan bahan dan alat;

b. menyiapkan sampel yang akan dianalisa seberat 10 gram (daging yang di cincang);

c. memasukkan ke dalam wadah beker glass;

d. mencampur daging dengan aquades sebanyak 50 ml sampai sampel tertutup; e. memblender daging tersebut sampai tercampur rata selama beberapa saat; f. mengukur pH dengan menggunakan pH meter yang sudah dinetralkan; g. mengulang pengukuran pH sampai 3 kali, setelah itu hasilnya di rata-rata.

(Wootton, 1994).

3. Pengukuran susut masak daging

a. membersihkan daging dari jaringan ikat dan lemak; b. menyiapkan bahan dan alat;

c. memotong daging dengan potongan steak;

d. mengiris sampel setebal 3 cm sesuai dengan garis serat daging; e. menimbang berat awal daging;

f. memanaskan oven selama 5 menit dengan suhu 1700 C sebelum daging dimasukkan;

g. memasukkan kedalam oven yang bersuhu 1700C selama 5 menit; h. menimbang berat daging setelah dimasak;


(45)

29

i. mengulang analisis sebanyak 3 kali, setelah itu hasilnya di rata-rata; j. Menghitung susut masak dengan rumus :

(Omojola, 2007).

4. Pengukuran DIA

a. menimbang sampel dengan menggunakan timbangan elektrik;

b. meletakan sampel di atas kertas saring whatman, lalu diapit kedua belah kaca kemudian lakukan pengepresan dengan beban 35 kg selama 5 menit;

c. menghitung luas area daging dengan kertas grafik;

d. menghitung luas area basah daging pada kertas sampel dan kertas grafik; e. menghitung kadar air sampel;

f. mengulang analisis sebanyak 3 kali, setelah itu hasilnya di rata-rata; g. menghitung kadar DIA daging tersebut dengan rumus :

(Ham, 1972).


(46)

30

E. Peubah yang diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah kualitas fisik daging sapi ( pH, susut masak, daya ikat air ) dari TPH yang ada di Bandarlampung.

F. Analisa data

Data kualitas fisik daging dari masing masing sampel disajikan dalam bentuk tabel dan diolah dengan menggunakan analisis deskriptif.


(47)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Kualiatas fisik daging sapi dari TPH di Bandar Lampung berada dalam kondisi baik dan masih berada dalam kisaran normal.

B. Saran

a. Untuk masyarakat, kualitas fisik daging dari TPH di Bandar Lampung berada dalam kondisi baik sehingga masyarakat dapat membeli daging yang berasal dari TPH di Bandar Lampung.

b. Pemerintah sebaiknya perlu mengadakan sosialisasi dan pembinaan kepada TPH di Bandar Lampung agar mampu memberikan daging yang lebih baik,sehat dan halal.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi. 2008. Bahan Tambahan Pangan. http://www.ilmupangan.com. Diakses November 2013.

Astawan. 2007. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Basuki. 2000. Jurnal Aplikasi Pakan Protein Tinggi Terhadap Kualitas Fisik Daging. Universitas Udayana. Denpasar

Bouton, M. Bhattacharya. 1971. The Science of Animal Husbandry. Penterjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Blakely, J. dan D. H. Bade. 1992. Pengantar Ilmu Peternakan. Penerjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bratzler, L. J., A. M. Gaddis dan W. L. Sulbacher. 1977. Freezing Meat. Pada:

Fundamental of Food Freezing. N. W. Desrosier and D. K. Tressler, Eds. The AVI Publ., Co., Inc., Wesport, Connecticut.

Buckle, K.A., R.A. Edwards,G.H. Fleet, and M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: Hari Purnomo Adiono. UI Press: Jakarta

Darsono. 2006. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap Kualitas Daging. Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Ham. 1972. Metode Influencing Cooking Losses from Meat. J.Food Scl. Sci. 2: 5

Jamhari. 2000. Perubahan sifat fisik dan organoleptik daging sapi selama penyimpanan beku. Buletin Peternakan Vol. 24 (1). 2000

Judge, M. D., Arberle, E. D. Forrest, J. C. Hendrick, H. B. and Merkel, R. A. 1989. Priciples Meat Science 2nd. Kendall/Hunt Publishing Co, lowa. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/ TN.310/7/1992. Pemotongan


(49)

50

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/ TN.240/9/1986. Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Ijin Usaha Pemotongan Hewan

Lawrie, R. A. 1995. Meat Science 5th Edition . Pergamon Press, New York. Lukman. 2010. Sifat Fisik dan Palatabilitas Bakso Daging Sapi dan Daging

Kerbau pada Lama Postmortem yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta

Nurwanto, Septianingrum, dan Surhatayi. 2003. Buku Ajar Dasar Teknologi Hasil Ternak. Semarang: Universitas Diponegoro

Omojola,AB. 2007. Careeass and organoleptic eukariotik of duck meat on influenza by breed and sex. Internasional Journal of Poultry Science (6) 329-334

Palpupi. 1996. Contribution Al’ etude Des Caracterissafion Des Viances Bovines Par les Proprietes Des Tissus Conjontift These Des Docteur Enginius, Universite Blaise Pascala, France.

Pearson, A. M and R. B. Young. 1971. Muscle and Meat Biochemistry. Academic Press, Inc. San Diego, New York, Berkeley, Boston, London, Sidney, Yokyo, and Toronto.

Permentan/OT.140/1/2010/Bab 5 Pasal 37 tentang Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner

Rahardja, Djoni P

.

2009. Bahan Ajar Ilmu Lingkungan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar

Rahayu, E. S. 2006. Amankan Produk Pangan Kita: Bebaskan dari Cemaran Berbahaya. Apresiasi Peningkatan Mutu Hasil Olahan Pertanian. Dinas Pertanian Propinsi DIY dan Kelompok Pemerhati Keamanan Mikrobiologi Produk Pangan. Yogyakarta.

Standar Nasional Indonesia. 01-6159-1999. Rumah Pemotongan Hewan. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta

Standar Nasional Indonesia. 01-3932:2008. Mutu Karkas Daging Sapi. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta

Smith, G. C., G. T. King and Z. L. Carpenter. 1978. Laboratory Manual for Meat Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts


(50)

51

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keempat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Tambunan, R. D. 2009. Keempukan Daging dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung

Triatmojo, H. 2001. Pengaruh proses pelayuan terhadap kualitas daging. Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

T. Suryati, M. Astawan, dan T. Wresdiyati. 2004. Sifat fisik daging domba yang diberi perlakuan stimulasi listrik voltase rendah dan injeksi kalsium klorida. Media Peternakan. 27(3):101-106

Tillman, H. 1984. Pengaruh umur terhadap kualitas daging. Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wibisono, A. W. 2010. Daging “Paha Belakang” Sapi.

http://duniasapi.com/id/bahan-baku/239-daging-qpaha-belakangq-sapi.html [16 September 2010].

Wootton. 1994. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Co., San Fransisco

Yanti, H., Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitas daging sapi dengan kemasan plastik PE (polyethylen) dan plastik PP (polypropylen) Di pasar arengka kota pekanbaru. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (22 – 27).


(1)

29

i. mengulang analisis sebanyak 3 kali, setelah itu hasilnya di rata-rata; j. Menghitung susut masak dengan rumus :

(Omojola, 2007). 4. Pengukuran DIA

a. menimbang sampel dengan menggunakan timbangan elektrik;

b. meletakan sampel di atas kertas saring whatman, lalu diapit kedua belah kaca kemudian lakukan pengepresan dengan beban 35 kg selama 5 menit;

c. menghitung luas area daging dengan kertas grafik;

d. menghitung luas area basah daging pada kertas sampel dan kertas grafik; e. menghitung kadar air sampel;

f. mengulang analisis sebanyak 3 kali, setelah itu hasilnya di rata-rata; g. menghitung kadar DIA daging tersebut dengan rumus :

(Ham, 1972).


(2)

30

E. Peubah yang diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah kualitas fisik daging sapi ( pH, susut masak, daya ikat air ) dari TPH yang ada di Bandarlampung.

F. Analisa data

Data kualitas fisik daging dari masing masing sampel disajikan dalam bentuk tabel dan diolah dengan menggunakan analisis deskriptif.


(3)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Kualiatas fisik daging sapi dari TPH di Bandar Lampung berada dalam kondisi baik dan masih berada dalam kisaran normal.

B. Saran

a. Untuk masyarakat, kualitas fisik daging dari TPH di Bandar Lampung berada dalam kondisi baik sehingga masyarakat dapat membeli daging yang berasal dari TPH di Bandar Lampung.

b. Pemerintah sebaiknya perlu mengadakan sosialisasi dan pembinaan kepada TPH di Bandar Lampung agar mampu memberikan daging yang lebih baik,sehat dan halal.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi. 2008. Bahan Tambahan Pangan. http://www.ilmupangan.com. Diakses November 2013.

Astawan. 2007. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Basuki. 2000. Jurnal Aplikasi Pakan Protein Tinggi Terhadap Kualitas Fisik Daging. Universitas Udayana. Denpasar

Bouton, M. Bhattacharya. 1971. The Science of Animal Husbandry. Penterjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Blakely, J. dan D. H. Bade. 1992. Pengantar Ilmu Peternakan. Penerjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bratzler, L. J., A. M. Gaddis dan W. L. Sulbacher. 1977. Freezing Meat. Pada:

Fundamental of Food Freezing. N. W. Desrosier and D. K. Tressler, Eds. The AVI Publ., Co., Inc., Wesport, Connecticut.

Buckle, K.A., R.A. Edwards,G.H. Fleet, and M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: Hari Purnomo Adiono. UI Press: Jakarta

Darsono. 2006. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap Kualitas Daging. Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Ham. 1972. Metode Influencing Cooking Losses from Meat. J.Food Scl. Sci. 2: 5

Jamhari. 2000. Perubahan sifat fisik dan organoleptik daging sapi selama penyimpanan beku. Buletin Peternakan Vol. 24 (1). 2000

Judge, M. D., Arberle, E. D. Forrest, J. C. Hendrick, H. B. and Merkel, R. A. 1989. Priciples Meat Science 2nd. Kendall/Hunt Publishing Co, lowa. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/ TN.310/7/1992. Pemotongan


(5)

50

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/ TN.240/9/1986. Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Ijin Usaha Pemotongan Hewan

Lawrie, R. A. 1995. Meat Science 5th Edition . Pergamon Press, New York. Lukman. 2010. Sifat Fisik dan Palatabilitas Bakso Daging Sapi dan Daging

Kerbau pada Lama Postmortem yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta

Nurwanto, Septianingrum, dan Surhatayi. 2003. Buku Ajar Dasar Teknologi Hasil Ternak. Semarang: Universitas Diponegoro

Omojola,AB. 2007. Careeass and organoleptic eukariotik of duck meat on influenza by breed and sex. Internasional Journal of Poultry Science (6) 329-334

Palpupi. 1996. Contribution Al’ etude Des Caracterissafion Des Viances Bovines Par les Proprietes Des Tissus Conjontift These Des Docteur Enginius, Universite Blaise Pascala, France.

Pearson, A. M and R. B. Young. 1971. Muscle and Meat Biochemistry. Academic Press, Inc. San Diego, New York, Berkeley, Boston, London, Sidney, Yokyo, and Toronto.

Permentan/OT.140/1/2010/Bab 5 Pasal 37 tentang Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner

Rahardja, Djoni P

.

2009. Bahan Ajar Ilmu Lingkungan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar

Rahayu, E. S. 2006. Amankan Produk Pangan Kita: Bebaskan dari Cemaran Berbahaya. Apresiasi Peningkatan Mutu Hasil Olahan Pertanian. Dinas Pertanian Propinsi DIY dan Kelompok Pemerhati Keamanan Mikrobiologi Produk Pangan. Yogyakarta.

Standar Nasional Indonesia. 01-6159-1999. Rumah Pemotongan Hewan. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta

Standar Nasional Indonesia. 01-3932:2008. Mutu Karkas Daging Sapi. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta

Smith, G. C., G. T. King and Z. L. Carpenter. 1978. Laboratory Manual for Meat Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts


(6)

51

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keempat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Tambunan, R. D. 2009. Keempukan Daging dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung

Triatmojo, H. 2001. Pengaruh proses pelayuan terhadap kualitas daging. Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

T. Suryati, M. Astawan, dan T. Wresdiyati. 2004. Sifat fisik daging domba yang diberi perlakuan stimulasi listrik voltase rendah dan injeksi kalsium klorida. Media Peternakan. 27(3):101-106

Tillman, H. 1984. Pengaruh umur terhadap kualitas daging. Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wibisono, A. W. 2010. Daging “Paha Belakang” Sapi.

http://duniasapi.com/id/bahan-baku/239-daging-qpaha-belakangq-sapi.html [16 September 2010].

Wootton. 1994. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Co., San Fransisco

Yanti, H., Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitas daging sapi dengan kemasan plastik PE (polyethylen) dan plastik PP (polypropylen) Di pasar arengka kota pekanbaru. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (22 – 27).