Revitalisasi KebunBahan Bakar Nabati, Menteri Keuangan Revitalisasi Perkebunan Biofuels.

Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green 2008 14 memutuskan untuk menyatukan semua upaya ini kedalam satu badan sekretariat. Sekretariat ini juga akan menggiatkan kembali Draft Qanun Regulations: rancangan regulasi, tentang perkebunan yang telah menempa oleh berbagai konsultasi ekstensifantara Dishutbun, LSM internasional WWF, dan beberapa pemangku kepentingan lainnya pada tahun 2004-2005.

6. Revitalisasi KebunBahan Bakar Nabati, Menteri Keuangan Revitalisasi Perkebunan Biofuels.

Skema pendanaan nasional dari Indonesia ini telah mengalokasikan lebih dari US4 billion untuk pengembangan dari petani kecil untuk perkebunan minyak kelapa sawit, karet dan cocoa. Yang akan di administrasikan oleh empat bank pemerintah Bank Mandiri, BRI, Bukopin, dan BNI, program pinjaman bunga rendah ini diperuntukkan untuk disalurkan melalui perusahaan sektor swasta yang dapat bertindak sebagai penjamin dan pemberi bantuan teknis untuk koperasi pertani kecil yang terasosiasi. Target awal ditentukan untuk 40,000 hektar perkebunan baru dan 5,000 hektares untuk rehabilitasi dengan sekitar 15 perusahaan diseluruh Aceh. Akan tetapi, progresnya pelan di tingkat nasional maupun di tingkat lokalnya Aceh, dengan hanya 20 sumbangan nasional dan belum adanya pinjaman yang dibayarkan di Aceh hingga hari ini. 7. Konsesi Penilaian HGU dan inisiatif Pemetaan Di awal tahun 2008, sebuah gabungan LSM yang dipimpin oleh FFI, Oxfam, dan Eye on Aceh memulai sebuah peninjauan ulang status dan pemetaan dari ke-99 HGU yang dikabulkan yang sebelumnya dibagikan untuk sektor swasta dan perkebunan parastatal serta penggilingan di Aceh. Upaya ini berbasis di kantor pusat Dishutbun di Banda Aceh. Diharapkan bahwa laporan, penemuan, dan peta digital yang komprehensif dapat selesai pada December tahun ini. Pemerintah mengharapkan untuk menggunakan hasilnya untuk membuat keputusan yang berdasarkan informasi tentang HGU tersebut, termasuk mengkonfirmasikan lagi mereka yang patuh dengan peraturan yang berlaku atau kemungkinan untuk menggantungkan pemberian hak khusus kepada mereka yang tidak patuh. Upaya ini menghadapi batasan dengan adanya kekurangan data antara peta dan document, serta terkadang adanya kontradiksi antara konsesi asli, batasan dan praktek yang aktual. 8. Penilitian LSM untuk Petani kecil dan Proyek-proyek Pembangunan Beberapa LSM telah mensponsori penelitian dan proyek-proyek pembangunan yang dapat menaksirkan kelanjutan dari sektor minyak kelapa sawit Aceh danatau memberikan contoh alternative untuk pengembangan perkebunan minyak kelapa sawit. Yang sudah selesai atau saat ini sedang berlangsung termasuk: - Eye on Aceh Studi penelitian tentang Sektor minyak kelapa sawit di Aceh, diselenggarakan dari 2006-2007, menghasilkan publikasi pada September 2007 dan sosialisasi dari The Golden Crop? – Palm Oil in Post-Tsunami Aceh. Penelitian ini terdokumentasi dengan baik dan cukup komprehensif dalam mengulas dan memberi kritik terhadap industry minyak kelapa sawit di Aceh. Bahan penelitiannya member analisa social, lingkungan dan permasalahan politik, serta memberikan rekomendasi kebijakan yang jelas. Penelitian ini member perspektif yang cukup kritis kepada sektor swasta, dan mengekspresikan preferensi yang kuat untuk pembangunan koperasi dan petani kecil. Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green 2008 15 - Skema Pembangunan Minyak Kelapa Sawit, Aceh Utara, Bireun, dan Bener Meriah Kabupaten. Melibatkan sekitar 3,000 para mantan pejuang tempur, proyek 6,000 hektar ini akan diimplementasikan oleh the International Organization for Migration IOM dari tahun 2008- 2010. Proyek ini akan member pendanaan untuk usaha perkebunan, bantuan teknis dan pelatihan, serta pengembangan organisasi koperasi. Para penerima bantuannya akan menjadi petani kecil yang independen menerima bantuannya, tidak terkaik secara langsung ke perusahaan perkebunan. - Proyek perintis Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan, Kabupaten Nagan Raya. Diciptakan dan diimplementasikan oleh Yayasan Ekosistem Leuser YEL dan didanai oleh LSM dari Swiss PanEco, proyek ini merupakan demonstrasi upaya skala kecil petani kecil. Melibatkan sekitar 35 petani di 70 hektar yang berlokasi di hutan belukar diluar dari area kritis rawa Kuala Tripa, salah satu wilayah yang memiliki kepadatan binatang orangutan di dunia. Proyek ini kerjasama dengan perusahaan asing Socfindo yang telah dengan lama memberikan dukungan teknis dan bibit tanaman yang berhasil tinggi. - Proyek Pembangunan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Biofuel Feedstock, Aceh Singkil Kabupaten. Dikembangkan oleh LSM internasional Conservation International CI dan didanai oleh U.S. Department of Energy DOE Kementrian Tenaga Energi Amerika, proyek ini umumnya merupakan proyek penelitian dan kebijakan. Proyek ini akan menjalankan survey- survei yang usaha pertanian yang ekologis, latihan-latihan perencanaan wilayah, dan penelitian kebijakan dengan petani kecil, perusahaan swasta dan pemerintah lokal. 9. Inisiatif-inisiatif untuk organisasi petani kecil dan koperasi Dalam masa setelah proses perdamaian, organisasi-organisasi dari petani kecil minyak kelapa sawit telah terbentuk di tingkatan lokal, kabupaten dan regional. Hal ini termasuk upaya mendirikan: -Koperasi Tani Koptan Batee Meuasah, sebuah kelompok yang memiliki1,500 anggota mantan pejuang tempur dan korban konflik di Paya Bakong Kecamatan, Aceh Utara Kabupaten, yang telah secara aktif mengejar sebuah proyek pembangunan minyak kelapa sawit di area 6,000 sendirian Pilot Project 1B on P. 33. -Koperasi Tani Meugoh, sebuah organisasi petani kecil yang baru dibentuk dan berada di Kecamatan Peudada di Biereun, yang mencoba mendirikan sebuah skema petani kecil di 7,000 hektar tanah bekas konsesi. Mereka telah mengadakan diskusi-diskusi awal dengan IK Plantations Sdn Bhd, sebuah investor minyak kelapa sawit Malaysia yang berada di Aceh dan perwakilan dari Dishutbut Bireun tentang bentuk kolaborasi yang memungkinkan. -Upaya organisasi sepanjang propinsi dan asosiasi-asosiasinya di tingkat kabupaten seperti Koperasi Koridor Utama, based in Alue Bilie, Nagan Raya dan Lembaga Kelompok Perkebunan Rakyat Nanggroe Aceh DarussalamKelompok Perkebunan Sawit Rakyat LKPRKPSR di Langsa. II. Permasalahan Utama Walaupun terdapat potensi-potensi yang sebelumnya di kemukakan dalam sektor minyak kelapa sawit sebagai contributor utama dalam pemulihan ekonomi Aceh, terdapat permasalahan yang signifikan serta hambatan yang nyata dan perlu di tangani, baik dalam jangka pendek maupun Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green 2008 16 jangka panjang. Untuk produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan tetap sukses di bawah visi “Aceh Green” maka permasalahan-permasalahan berikut ini perlu mendapatkan perhatian yang serius: A. Permasalahan Utama 1. Kurangnya Pemahaman, Kesadaran dan Pengalaman di bidang Minyak Kelapa Sawit yang berkelanjutan dan Rapat Meja Bundar dari Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan RSPO . Aceh baru saja mulai keluar dari isolasinya dari bagian seluruh Indonesia maupun dari bagian dunia lainnya. Dengan perkecualian oleh beberapa perusahaan yang sudah matang dan LSM- LSM dengan jaringan dalam negeri dan luar negeri yang kuat, umunnya konsep-konsep dari minyak kelapa sawit yang berkelanjutan masih belum diketahui di Aceh. Untuk menanggapi hal ini, pemerintah, sektor swasta dan LSM secara bersamaan menyatakan minat yang kuat untuk menjadi hafal dan sejajar dengan standar RSPO serta proses dari beragam pemangku kepentingan lainnya Annex 3. Sebagai langkah-langkah pertama, Komite Penentu Minyak Kelapa sawit Berkelanjutan Pokja Sawit Berkelanjutan didirikan pada tahun 2008, terdiri dari pemerintah, industri, dan komunitas kemasyarakatan sektoralLSM. Seorang pejabat senior pemerintah, Direktur Dishutbun Perkebunan, Bapak Masnun hadir dalam rapat tahunan RSPO di Bali pada November 2008, bersamaan dengan beberapa LSM dan perwakilan sektor-sektor swasta. Setelah beberapa penundaan, lokakarya 2 hari untuk Minyak Kelapa Sawit berkelanjutan akhirnya dilaksanakan dengan partisipasi yang penuh, dan dilakukan di Banda Aceh pada pertengahan December didanai oleh FFI dan Oxfam. Upaya jangka pangjang yang focus diperluakan untuk menjembatani kekosongan-kekosongan yang ada dalam pengetahuan dan implementasi. 2. Kurangnya Kebijakan yang Mendukung dan Kerangka Peraturan untuk Minyak Kelapa Sawit di propinsi Aceh. Peraturan legislative Quanuns Aceh dan kebijakannya kurang memiliki spesifikasi dan “gigi” dalam menekankan prinsip dan praktek berkelanjutan dalam hubungannya kepada perkebunan secara umum dan minyak kelapa sawit secara khusus. Contohnya, peraturan perlu di kuatkan di area tentang konsesi HGU perizinan dan prosedur perpanjangan, manajemen kehutanan dengan nilai konservasi tinggi HCVFs, pengosongan tanah land clearing, tempat kerja yang sehat dan aman, dan transparansi harga. Khususnya, peraturan koordinasi dan kebijakan diperlukan pada area-area yang dekat dengan konservasi hutan, manajemen air watershed management, perencanaan lahan, serta pertanian dan tanaman perkebunan. Sebagai tambahan, larangan penebangan Unilateral yang dideklarasikan olebh Gubernur Irwandi pada Juni 2007 perlu di perbaharui, dikode kan dan diintegrasikan ke berbagai peraturan legislative dan paket-paket kebijakan. Peraturan yang menjanjikan sebelumnya untuk hal ini telah diciptakan dengan upaya kolaborasi yang menyertakan Dishutbun dan beragam pemangku kepentingan yang di fasilitasi oleh WWF sebelum bencana Tsunami pada tahun 2004. Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green 2008 17 3. Bantuan Pembangunan untuk Pemerintah dan Pejabat ODA- dan proyek proyek pembangunan minyak kelapa sawit yang didanai untuk petani kecil tidak memberikan pendanaan yang komprehensif ataupun jasa teknis . Departemen Perkebunan pemerintah Aceh dan badan-badan internasional seperti BRR telah mendirikan proyek-proyek pembangunan minyak kelapa sawit untuk petani kecil setelah kesepakatan perdamaian. Hal-hal ini telah mentargetkan 37,000 hektar kreasi perkebunan baru dan 5,000 hektar untuk rehabilitasi dari tahun 2007-2010. Pendanaan dan pemasukan teknis seperti tanah titling, pengosongan tanah dan tunas seedlings diberikan oleh otoritas sentral, bersamaan dengan mengidentifikasi dan koordinasi dari petani kecil yang dituju dan lokasinya tentukan oleh kantor Dishutbun kabupaten lokal. Total dana yang disediakan sekitar Rp5-10 billion per kabupaten atau sekitar Rp 5-10 million per hektar. Wawancara di lapangan dengan pejabat lokal, LSM dan para petani menunjukkan terdapatnya prosedur-prosedur yang saling kontradiktif, dimana prosedurnya sendiri tidak selalu terintegrasi dan dapat mengakibatkan seleksi lokasi yang tidak efektif atau layanan yang tidak cocok. Di Bireun, contohnya, terdapat laporan bahwa hanya 500 dari 1,000 hektar yang masih dirawat oleh petani kecil satu tahun setelah penanaman awal di tahun planting in 2007. Rata-rata biaya per hektar saat ini untuk mendirikan perkebunan dari persiapan lahan hingga panen awal secara komersial 5-6 tahun kemudian mulai di batasan Rp 35-45 million. Hal ini berarti bahwa petani kecil menghadapi beban keuangan yang serius selama masa tahun-tahun kritis dalam perawatannya dan perlu mendapatkan penghasilan tambahan atau pendanaan melalui cara yang lain. 4. Ancaman besar terhadap Hutan Belukar HCVFs dan area kritis rawa ekosistem Kuala Tripa tetap ada dalam konsesi yang ada maupun yang baru akan tawarkan HGUs. Sekalipun dengan larangan total terhadap penebangan oleh Gubernur Irwandi pada June 2007, koservasi pada hutan residual dan ekosistem rawa yang rentan tetap menjadi permasalahan utama dalam konsesi yang ada maupun konsesi yang baru di anjurkan HGUs di Aceh. Tindakan Gubernur yang unilateral telah berhasil dalam menghentikan konsesi penebangan yang ada HPH di seluruh Aceh dan secara signifikan menurunkan –walaupun tidak menghentikan – penebangan liar di kebanyakan keadaan. Walaupun konsesi yang berdiri kebanyakan telah didatakan ke kebanyakan dari area nya pada tahun 1990 an ataupun sebelumnya, ada hutan alam residual di beberapa batas wilayah yang tidak dikonversikan karena kemiringan, tidak dapat di akses, atau karena konflik. Tantangan yang signifikan ada didalam wilayah konsesi yang berada di tiga area rawa berlumpur sepanjang pantai Barat dari Aceh, Kuala Tripa di Nagan RayaAceh Barat Daya 30,000 hektar, Rawa Bakongan di Aceh Selatan, dan Rawa Singkil 100,000 hektar. Wilayah-wilayah ini terdapat menyimpanan karbon terbesar di Sumatra, dengan 3,000 tonhektar Karbon terpolakan dibandingkan dengan 150-300 tonhektar untuk lahan tanah yang diperuntukan tanaman. Ketiga wilayah kritis menjadi porsi besar dari habitat populasi Orangutan Sumatera yang berjumlah 4,500 buah. Dapat ditambahkan, beberapa area konsesi baru yang diteliti pada masa penelitian lapangan saya telah di tawarkan untuk menjadi wilayah Izin Prinsip sepertinya telah menjadi hutan produksi HP atau hutan lindung HL, daripada menjadikannya kategori umum yang masuk dalam kelompok “areal penggunaan lain” APL. Walaupun Although mekanism- mechanism ada di tingkat propinsi untuk menghentikan perizinan status Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green 2008 18 konsesi akhir HGU, ada beberapa operator tidak baik atau elemen pihak ketiga yang memulaikan konsersi yang tanpa persetujuan sebelumnya.

5. Pengadaan dari biji berkualitas tinggi bersertifikasi dan materi tanaman tidak memadai