Pengadaan dari biji berkualitas tinggi bersertifikasi dan materi tanaman tidak memadai

Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green 2008 18 konsesi akhir HGU, ada beberapa operator tidak baik atau elemen pihak ketiga yang memulaikan konsersi yang tanpa persetujuan sebelumnya.

5. Pengadaan dari biji berkualitas tinggi bersertifikasi dan materi tanaman tidak memadai

untuk memenuhi permintaan untuk perluasan perkebunan minyak kelapa sawit. Rencana ambisius untuk meningkatkan sektor minyak kelapa sawit Aceh dengan penanaman di 200,000 hektar atau lebih dalam lima tahun kedepan mengakibatkan kekurangan yang besar dalam biji kualitas tinggi bersertifikasi kecamba dan bibit di berbagai pelosok propinsi. Dengan kecepatan pertumbuhan saat ini, lebih dari 6.3 million kecamba danatau bibit dibutuhkan per tahun hingga 5 tahun kedepan dengan densitas rata-rata dari 137 pohon per hektar dan kebutuhan untuk menelan 15 kerugian. Kualitas bibit, ketahanan, dan produktifitas merupakan salah satu factor penentu dari kesuksesan perkebunan minyak kelapa sawit. Di masa lalu, banyak perkebunan di Aceh memiliki pengadaan danatau kontrak bantuan teknis dengan PPKS-Pusat Penelitian Kelapa Sawit pemerintah dan Stasiun Penelitian Marihat di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Menurut sumber Gaperda, produksi bibit tahunan Marihat sekitar15 juga bibit, yang perlu di alokasikan ke tiga propinsi Sumatera Utara, Riau, dan Aceh. Pada saat ini, banyak perusahaan dan petani kecil mencari untuk membeli bibit hybrid yang memiliki hasil dasar tinggi dan variasi tahan penyakit Tenera yang diproduksi oleh Socfindo dan LonSum di tempat pembibitan mereka di masing masih daerah Aceh Tamiang dan Pematang Siantar. Kedua perusahaan ini member prioritas kepada perluasan perkebunan besar dan kebutuhan penanaman mereka sendiri, dan sisa stok mereka ini menjadi permintaan tinggi. Apapun sumbernya, sangat penting bagi semua bibit bersertifikasi sebagai Grade 1 dan dengan garansi germination rate. Ada laporan yang beredar tentang para kontraktor yang menjual kelas bibit yang lebih rendah atau menukarkan materi tanaman sebagai kelas 1 agar melindungi dan meningkatkan margin keuntungan mereka. 6. Harga rendah di batasan perkebunan dan tidak mudahnya mendapatkan akses ke penggilingan CPO membatasi perkebunan besar dan ekspansi perkebunan minyak kelapa sawit bagi petani kecil. Dalam kurun waktu diadakannya penelitian ini, harga CPO mengalami penurunan besar-besaran, baik di tingkat ekspor maupun di perkebunan. Pada pertengahan April 2008, Biro pengukuran global dari Derivitas Malaysia BMD tingkat harga CPO mencapai nilai batasan tinggi dengan lebih dari MYR 4000 Malaysian Ringgits MYR atau US 1,200 per metric ton. Hal ini dapat diterjemahkan sebagai \Rp1,300-1,700 per kilo dari FFB di batas perkebunan di Aceh, tergantung lokasi. Setelah Agustus, pengukuran BMD mulai turun melongsor ke tingkat yang sekarang pada akhir Oktober yang berada di nilai MYR 1,400 US400. Harga di batas perkebunan telah menurun hingga Rp 300-500 per kg FFB, yang biasanya menurut kebanyakan petani kecil dan pedagang lokal berada dibatasan atau dibawah titik modal balik breakeven point. Situasi ini lebih diperburuk lagi dengan penurunan harga di petani kecil dan kebanyakan perkebunan besar menghadapi kurangnya penggilingan lokal, dan kebijakan pembelian yang selektif pada penggilingan yang ada merupakan kerugian pada pihak petani kecil. Hal ini berakibatkan pada penurunan harga di nilai Rp 200-300kg untuk menaikannya pada kendaraan, handling, diskon Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green 2008 19 kualitas, dan margin perdagangan. Pada dasarnya, harga turun CPO pada saat ini dan kemungkinan harga fluktuasi di masa mendatang, dikombinasikan dengan ketidak efisiensi dan inequitable mekasnisme harga rantai pengadaan barang menenggelamkan prospek dari industry minyak kelapa sawit dan petani kecil untuk ekspansi. B. Permasalahan berikut juga merupakan hal signifikan, tetapi sekunder dalam kepentingan: 7. Terdapat tekanan yang bertambah pada tingkat kabupaten lokal untuk ekspansi konsesi minyak kelapa sawit baru tanpa perencanaan dan penilaian yang baik. Sejak tiga tahun terakhir sejak hostilities beruntun setelah Kesepakatan Perdamaian ditanda tangani, tekanan untuk menghasilkan pemasukan legal dan extralegal serta kesempatan bekerja telah meningkat di berbagai tempat di Aceh. Hal ini terutama di area yang terkena dampak Tsunami dan bantuan pasca-bencana terbatas. Katerlalu bupaten yang mendekati batasan seperti Singkil, Subulussalam, Aceh Timur, dan Aceh Utara, yang juga termasuk sebagai area yang tingkat pertumbuhan minyak kelapa sawitnya terbesar di dalam kategori ini, sebagaimana banyaknya area tanah rendah di pedalaman yang tidak memakan korban manusia atau harta terlalu besar semasa Tsunami. Karena meningkatnya desentralisasi dari otoritas di Aceh dan Indonesia secara keseluruhan, kepemerintahan lokal secara aktif mencari kelapa sawit serta pengembangan tanaman perkebunan lainnya tanpa tergantung pada bimbingan dari tingkat propinsi atau nasional sebagaimana sebelumnya. Contohnya, mantan bupati dan kepala Departemen Perkebunan dari kotamadya yang baru diciptakan, Subulussalam, saat ini menunjukkan pada sebuah wawancara bahwa ada rencana yang sudah berjalan untuk meningkatkan wilayahkonsesi untuk meningkatkan kelapa sawit HGUs dari jumlah yang sekarang 25,000 hektar ke lebih dari 50,000 hectares, dari seluruh total tanah area 112,000 hektar. Pembangunan semacam ini terjadi dengan pengenalan keadaan lokal yang minim terhadap RSPO dan prinsip-prinsip serta praktek-praktek untuk minyak kelapa sawit yang berkelanjutan.

8. Keberadaan dari sumber investasi dalam ekspansi minyak kelapa sawit berkelanjutan di