2.1.2 Teori Konstruksi Realitas Sosial
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya tersebut. Baik realitas dalam bentuk imajinasi
maupun kelompok dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan pada individu tentang jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa diakan datang. Sehingga dalam
perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan citra bergerak moving image namun juga telah diikuti oleh kepentingan tentang politik, kapitalisme, hak asasi
manusia atau gaya hidup. Film juga dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunikasi tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, komunikasi sifatnya
yang universal. Meskipun demikian, film juga bukan menimbulkan dampak negatif Victor C. Mambor: http:fsitus kunci.tripod.comteksvictor1.htm.
Teori konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh Peter L. Berger, seorang sosiologi intepretatif. Bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis
utamanya, The Social Construction of Reality 1966. Menurut berger, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam model strukturalitas, dunia sosial secara obyektif
memang ada tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif individu dengan dunia obyektif Poloma, 2000:299.
Teknik utama dari Berger merupakan individu adalah produk masyarakat, dan masyarakat adalah produk manusia. Manusia dan masyarakat adalah produk yang
dialektis, dinamis dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap
penghasilannya. Sebaliknya manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat Eriyanto, 2002:13.
Seperti dikatakan Peter Dahlgren, realitas sosial menurut pandangan konstrukvis fenomoenologis setidaknya sebagian adalah produksi manusia, hasil proses budaya,
termasuk penggunaan bahasa. Makna adalah suatu konstruksi, meskipun terkadang rentan dan salah satu cara mendasar kita dalam menghasilkan makna mengenai dunia
nyata adalah lewat media massa peristiwa-peristiwa yang ditangkap media massa, berita sekalipun jelas bukan peristiwa sebenarnya, baik dilihat dari urutannya maupun
durasinya.
Berger dan Luckman merinkas teori dengan menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas obyektif dengan membatasi realitas sebagai kualitas
yang berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemampuan individu. Menurut Berger, semua individu mencari pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena
adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan sehari-hari.
Berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa terdapat realitas ganda daripada hanya realitas tunggal. Berger bersama Garfinkel berpendapat bahwa ada
realitas kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas yang teratur dan terpola,
biasanya diterima begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola typified realitas sama-sama dimiliki dengan oranglain. Akan tetapi,
berbeda dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif manusia merupakan instrumen dalam
menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi. Dalam model dislektis, Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia sebagai produk
masyarakat Poloma, 2000:301.
Bagi Berger, proses dialeksis dalam kontruksi realitas sosial mempunyai tiga tahap: pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan, ekspedisi diri manusia ke dalam
dunia, baik dalam negara, mental maupun fisik. Kedua, obyektifikasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu
menghasilkan si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga, internalisasi yaitu penyerapan
kembali dunia obyektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dunia yang
telah terobyektifkan tersebut akan dianggap sebagai gejala internal bagi kesadaran melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat Eriyanto, 2002:14.
Dalam sejarah umat manusia, obyektifitas, internalisasi, dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus. Proses ini merupakan perubahan dialektis
yang berjalan lambat, di luar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk individu, dalam arti manusia dala produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia
sosial ini eksis dalam bentuk hukum yang mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi
bisa mempengaruhi nilai sosial. Realitas obyektif ini di internalisir oleh anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-
situasi baru yang individu temui dalam dunia sosialnya. Dengan kata lain, proses
sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas manusia memiliki peluang untuk mengekspresikan atau secara kolektif membentuk dunia sosial mereka.
Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial Poloma, 2000:316.
2.1.3 Representasi