Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Keluarga Pasien Hemodialisis Mengenai Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN KELUARGA PASIEN HEMODIALISIS MENGENAI GAGAL GINJAL KRONIK

DI KLINIK RASYIDA MEDAN

Oleh :

DERRY HEPPY FRITIWI NIM: 060100099

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN KELUARGA PASIEN HEMODIALISIS MENGENAI GAGAL GINJAL KRONIK

DI KLINIK RASYIDA MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

DERRY HEPPY FRITIWI NIM: 060100099

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Keluarga Pasien Hemodialisis Mengenai Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

Nama : Derry Heppy Fritiwi NIM : 060100099

Pembimbing Penguji I

dr. Soegiarto Gani, Sp.PD Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH

Penguji II

Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K)

Medan, Desember 2009 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH NIP: 19540220 198011 1001


(4)

ABSTRAK

Jumlah pasien gagal ginjal kronik (GGK) dengan hemodialisis makin meningkat di setiap negara termasuk Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pencegahan dini terhadap penyakit ginjal dengan cara mengenali faktor risikonya. Faktor risiko tertinggi untuk penyakit ginjal adalah hipertensi dan diabetes. Oleh karena itu akhir-akhir ini penanggulangan GGK lebih ditujukan ke arah memperlambat laju penurunan fungsi ginjal dengan berbagai upaya dan mencegah gangguan fungsi ginjal pada tahap lebih awal dengan usaha meningkatkan kesadaran masyarakat dan deteksi dini.

Penelitian ini berupa studi deskriptif yang dilakukan pada keluarga dari pasien hemodialisis di Klinik Rasyida Medan. Pengumpulan data dilakukan Juli hingga Agustus 2009. Pengetahuan, sikap, dan tindakan keluarga pasien hemodialisis diukur dengan menggunakan kuesioner.

Dari 46 total responden, 37% diantaranya mempunyai pengetahuan yang baik mengenai GGK, 47,8% dengan pengetahuan kategori sedang, dan 15,2% dengan ketegori kurang. Untuk kategori sikap mengenai GGK 43,5% responden memiliki sikap yang baik, 50% memiliki sikap kategori sedang dan 6,5% dengan kategori kurang. Tindakan responden mengenai GGK dengan kategori baik adalah 4%, kategori sedang 67,4% dan kategori kurang 23,9%.

Penelitian ini menunjukkan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan keluarga pasien hemodialisis di Klinik Rasyida Medan dengan kategori sedang.


(5)

ABSTRACT

The patients of chronic renal failure (CRF) with hemodialysis are increasing worldwide including Indonesia. Therefore, an identification of the risk factors is important as an early prevention. The main risk factors for renal disease are hypertension and diabetic. Lately, the purpose of the treatment for CRF is focused on slowly the progression of the disease and increase the public awareness to prevent renal dysfunction.

The research is a descriptive study, which has been performed to the family of the hemodialysis patients in Rasyida Clinic in Medan. Data were collected in july to August 2009. Patient’s family knowledge, attitude and practice were determined using questioners.

From 46 samples, the level of knowledge on CRF are as followed; 37% are good, 47,8% are moderate and 15,2% are bad. The level of attitude on CRF are as followed; 43,5% are good, 50% are moderate and 6,5% are bad. The level of practice on CRF are as followed; 4% are good, 67,4% are moderate and 23,9% are bad.

The research shows that the knowledge, attitude and practice level of hemodialysis patient’s family in Rasyida Clinic in Medan are considered within a moderate value of the given category.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini hingga selesai. Penyusunan karya tulis ilmiah ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan yang harus dipenuhi dalam memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Salawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga yang telah menuntun umatnya untuk selalu berpegang dijalan-Nya.

Rasa kasih dan sayang disampaikan kepada ayahanda tercinta (alm) Muzawir, ibunda Dra. Hj Friyasti atas curahan kasih sayang, doa dan dukungan yang tidak akan pernah terbalas. Tidak lupa disampaikan kepada kakak dan abangku tercinta, dr. Riri Andri Muzasti dan Harry Aidil Putra atas semangat, cinta dan kebersamaannya selama ini. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kasih sayang dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Penulis selama melakukan penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini, memperoleh bantuan moril dan materiil dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus terutama kepada :

1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak dr. Soegiarto Gani, Sp.PD, selaku Dosen Pembimbing yang dengan

tulus meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan, motivasi dan semangat sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan.

4. Seluruh Dosen dan pegawai di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara yang untuk semua jasa - jasanya dalam memberikan bantuan selama perkuliahan.


(7)

5. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH selaku Kepala Klinik Rasyida Medan atas izin yang telah diberikan untuk mengumpulkan data penelitian, sehingga karya tulis ini bisa selesai tepat pada waktunya.

6. Seluruh staf dan perawat di Klinik Rasyida Medan

7. Heri Farnas yang selalu memberikan tenaga, waktu, senyum dan ilmunya agar Penulis bisa bersemangat dalam menyelesaikan karya tulis ini.

8. Sahabat terbaik yang ada selama ini yakni Dina, Tia, dan Eka serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

Penulis menyadari penelitian ini terdapat banyak kekurangan dan penulis mengharapkan semoga karya tulis ilmiah ini akan bermanfaat bagi semua pihak demi perkembangan dan kemajuan Civitas Akademika.

Medan, November 2009


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Gagal Ginjal Kronik ... 4

2.1.1 Definisi ... 4

2.1.2 Etiologi ... 5

2.1.3 Faktor Risiko ... 7

2.1.4 Patofisiologi ... 7

2.1.5 Gambaran Klinik ... 7

2.1.6 Diagnosis ... 9

2.1.7 Pencegahan ... 11


(9)

2.2. Perilaku ... 14

2.2.1 Pengetahuan ... 15

2.2.2 Sikap ... 16

2.2.3 Tindakan ... 17

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 19

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 19

3.2. Definisi Operasional ... 19

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 20

4.1. Rancangan Penelitian ... 20

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 20

4.3.1 Populasi ... 20

4.3.2 Sampel ... 20

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 21

4.4.1 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 23

4.5. Metode Analisis Data ... 24

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

5.1. Hasil Penelitian ... 25

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 25

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden ... 25

5.1.3 Pengetahuan Responden ... 26

5.1.4 Sikap Responden ... 28

5.1.5 Tindakan Responden ... 29

5.2. Pembahasan ... 30

5.2.1 Pengetahuan ... 30

5.2.2 Sikap ... 32


(10)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

6.1. Kesimpulan ... 35

6.2. Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 2.1 Batasan Penyakit Ginjal Kronik ... 4 2.2 Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik .... 5 2.3 Tingkat Pengetahuan Dalam Domain Kognitif ... 15 2.4 Tingkat Sikap Berdasarkan Intensitasnya ... 17 4.1 Hasil Uji Coba Validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 23 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Klinik Rasyida Medan ... 26 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Klinik Rasyida Medan ... 26 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai GGK di Klinik Rasyida Medan ... 27 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Jawaban Responden Tiap Pertanyaan Pengetahuan Mengenai GGK di Klinik Rasyida Medan... 27 5.5 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tingkat Sikap Responden Mengenai GGK di Klinik Rasyida Medan ... 28 5.6 Distribusi Frekuensi dan Persentase Jawaban Responden Tiap Pertanyaan Sikap Mengenai GGK di Klinik Rasyida Medan ... 29 5.7 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tingkat Tindakan Responden Mengenai GGK di Klinik Rasyida Medan ... 29 5.8 Distribusi Frekuensi dan Persentase Jawaban Responden Tiap Pertanyaan Tindakan Mengenai GGK di Klinik Rasyida Medan... 30


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Daftar Riwayat Hidup

Lampiran II Kuesioner

Lampiran III Informed Consent

Lampiran IV Surat Izin Penelitian

Lampiran V Surat Validasi Kuesioner Karya Tulis Ilmiah Oleh Pakar

Lampiran VI Uji Validitas dan Reliabilitas


(13)

ABSTRAK

Jumlah pasien gagal ginjal kronik (GGK) dengan hemodialisis makin meningkat di setiap negara termasuk Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pencegahan dini terhadap penyakit ginjal dengan cara mengenali faktor risikonya. Faktor risiko tertinggi untuk penyakit ginjal adalah hipertensi dan diabetes. Oleh karena itu akhir-akhir ini penanggulangan GGK lebih ditujukan ke arah memperlambat laju penurunan fungsi ginjal dengan berbagai upaya dan mencegah gangguan fungsi ginjal pada tahap lebih awal dengan usaha meningkatkan kesadaran masyarakat dan deteksi dini.

Penelitian ini berupa studi deskriptif yang dilakukan pada keluarga dari pasien hemodialisis di Klinik Rasyida Medan. Pengumpulan data dilakukan Juli hingga Agustus 2009. Pengetahuan, sikap, dan tindakan keluarga pasien hemodialisis diukur dengan menggunakan kuesioner.

Dari 46 total responden, 37% diantaranya mempunyai pengetahuan yang baik mengenai GGK, 47,8% dengan pengetahuan kategori sedang, dan 15,2% dengan ketegori kurang. Untuk kategori sikap mengenai GGK 43,5% responden memiliki sikap yang baik, 50% memiliki sikap kategori sedang dan 6,5% dengan kategori kurang. Tindakan responden mengenai GGK dengan kategori baik adalah 4%, kategori sedang 67,4% dan kategori kurang 23,9%.

Penelitian ini menunjukkan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan keluarga pasien hemodialisis di Klinik Rasyida Medan dengan kategori sedang.


(14)

ABSTRACT

The patients of chronic renal failure (CRF) with hemodialysis are increasing worldwide including Indonesia. Therefore, an identification of the risk factors is important as an early prevention. The main risk factors for renal disease are hypertension and diabetic. Lately, the purpose of the treatment for CRF is focused on slowly the progression of the disease and increase the public awareness to prevent renal dysfunction.

The research is a descriptive study, which has been performed to the family of the hemodialysis patients in Rasyida Clinic in Medan. Data were collected in july to August 2009. Patient’s family knowledge, attitude and practice were determined using questioners.

From 46 samples, the level of knowledge on CRF are as followed; 37% are good, 47,8% are moderate and 15,2% are bad. The level of attitude on CRF are as followed; 43,5% are good, 50% are moderate and 6,5% are bad. The level of practice on CRF are as followed; 4% are good, 67,4% are moderate and 23,9% are bad.

The research shows that the knowledge, attitude and practice level of hemodialysis patient’s family in Rasyida Clinic in Medan are considered within a moderate value of the given category.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (chronic non-communicable

diseases) terutama penyakit kardiovaskular, hipertensi, diabetes melitus, dan

penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable

diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama (Rindiastuti, 2008).

Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya disertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskular, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia (Rindiastuti, 2008).

Terapi pengganti ginjal buatan, misalnya hemodialisis merupakan salah satu tindakan pada manajemen pasien gagal ginjal kronik (GGK). Populasi pasien GGK dengan program hemodialisis makin meningkat di setiap negara termasuk Indonesia. Kenaikan populasi hemodialisis berhubungan dengan kenaikan insiden GGK, dan keterbatasan transplantasi ginjal dengan donor hidup keluarga atau donor mayat. Khusus di Indonesia transplantasi ginjal sangat langka, bukan karena masalah teknik medik tetapi keterbatasan donor hidup keluarga, dan donor mayat (cadaver) masih belum mempunyai tempat. Kenaikan populasi pasien hemodialisis di Indonesia terutama pasien PNS juga disebabkan karena adanya dukungan biaya dari PT ASKES (Sukandar, 2006).

Menurut Roesli (2008) tindakan dialisis meningkat dari 389 kali pada tahun 1980 menjadi 4487 pada tahun 1986. Sedangkan jumlah kasus dialisis yang dibiayai oleh PT ASKES terjadi peningkatan dari 481 kasus pada tahun 1989 menjadi 10.452 kasus pada tahun 2005. Di Medan angka tindakan hemodialisis meningkat dari 100 kali pada tahun 1982 menjadi 1100 pada tahun 1990. Peningkatan jumlah hemodialisis ini merupakan beban ekonomi terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.


(16)

Di masa mendatang penderita penyakit GGK digambarkan pasti akan meningkat jumlahnya. Hal ini disebabkan terjadinya suatu prediksi peningkatan insidensi yang luar biasa dari diabetes melitus dan hipertensi di dunia karena meningkatnya kemakmuran akan disertai dengan bertambahnya umur manusia, obesitas dan penyakit degeneratif. Prediksi menyebutkan bahwa pada tahun 2015, tiga juta penduduk dunia perlu menjalani pengobatan pengganti untuk GGK dengan perkiraan peningkatan 5% per tahunnya. Tahun 2030, 24 juta penduduk akan menderita GGK dengan perkembangan terbesar di daerah Asia Pasifik yaitu rata-rata 10% per tahun (Roesma, 2008).

Oleh karena itu, yang paling penting adalah melakukan pencegahan dini terhadap penyakit ginjal dengan cara mengenali faktor risikonya. Faktor risiko penyakit ginjal adalah faktor keturunan, infeksi, trauma, dan kista. Faktor lainnya yang meningkatkan risiko penyakit ginjal adalah merokok, mengkonsumsi obat-obatan berlebihan, dan asam urat tinggi. Faktor risiko tertinggi untuk penyakit ginjal adalah mereka yang menderita hipertensi dan diabetes. Oleh karena itu akhir-akhir ini penanggulangan GGK lebih ditujukan ke arah memperlambat laju penurunan fungsi ginjal dengan berbagai upaya dan mencegah gangguan fungsi ginjal pada tahap lebih awal dengan usaha meningkatkan kesadaran masyarakat dan deteksi dini (Roesma, 2008).

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran perilaku keluarga pasien hemodialisis mengenai gagal ginjal kronik.

1.2Rumusan Masalah

Bagaimana tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan keluarga pasien hemodialisis mengenai gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan keluarga pasien hemodialisis mengenai gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan.


(17)

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan keluarga pasien hemodialisis

mengenai gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan.

b. Untuk mengetahui gambaran sikap keluarga pasien hemodialisis mengenai gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan.

c. Untuk mengetahui gambaran tindakan keluarga pasien hemodialisis mengenai gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

a. Dapat menginformasikan kepada masyarakat cara mencegah terjadinya gagal ginjal kronik.

b. Dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam mengambil kebijakan lebih lanjut untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai gagal ginjal kronik.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal ginjal kronik

2.1.1 Definisi

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Batasan penyakit ginjal kronik

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

- Kelainan patologik

- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada

pemeriksaan pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

(Sumber: Chonchol, 2005)

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005). Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:


(19)

Tabel 2.2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik

Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73

m²)

0 Risiko meningkat ≥ 90 dengan faktor

risiko 1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau

meninggi

≥ 90

2 Penurunan ringan LFG 60-89

3 Penurunan moderat LFG 30-59

4 Penurunan berat LFG 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

(Sumber: Clarkson, 2005)

2.1.2 Etiologi

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal

Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak

sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

a. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).

Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).


(20)

b. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik

≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemuka n kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal


(21)

lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).

2.1.3 Faktor risiko

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

2.1.4 Patofisiologi

Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (Noer, 2006).

2.1.5 Gambaran klinik

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.


(22)

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost

e. Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

f. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat


(23)

seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

g. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

2.1.6 Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:

a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG) b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional

e. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.


(24)

b. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.

1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).

2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)

Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.

3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit

Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:

1) Diagnosis etiologi GGK

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).

2) Diagnosis pemburuk faal ginjal

Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

2.1.7 Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin


(25)

kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan (National Kidney Foundation, 2009).

2.1.8 Penatalaksanaan

a. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

1) Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

2) Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

3) Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

4) Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik 1) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat


(26)

diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

2) Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

3) Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik. 4) Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. 5) Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

6) Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi. 7) Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

1) Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).


(27)

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan

Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi

elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

2) Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). 3) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah


(28)

c) Masa hidup (survival rate) lebih lama

d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

2.2 Perilaku

Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi biologis semua makhluk hidup mulai dari binatang sampai dengan manusia, mempunyai aktivitas masing-masing. Aktivitas manusia dikelompokkan menjadi dua bagian. Yang pertama adalah aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain, seperti berjalan, bernyanyi, tertawa, dan sebagainya. Yang kedua adalah aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar), seperti berpikir, berfantasi, bersikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

Skiner (1938) seorang ahli psikologi dalam Notoatmodjo (2005) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus-organisme-respons (S-O-R). Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable behavior”.


(29)

2.2.1 Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat seperti dalam tabel 2.3 berikut :

Tabel 2.3 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif

Domain Definisi

Tahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya

Memahami Kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang

diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar

Aplikasi Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari

pada situasi atau kondisi riil

Analisis Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke

dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut

Sintesis Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru

Evaluasi Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian

terhadap suatu materi atau obyek (Sumber: Notoatmodjo, 2005)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket (Notoatmodjo, 2005).


(30)

2.2.2 Sikap (attitude)

Sikap merupakan suatu respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan, bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu (Notoatmodjo, 2005).

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005), sikap mempunyai tiga komponen pokok, yakni:

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya,

bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana

penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah

merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan).

Ketiga komponen tersebut secara bersama-bersama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pernyataan-pernyataan terhadap objek tertentu (Notoatmodjo, 2005).

Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Sikap mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya seperti dalam tabel 2.4 berikut:


(31)

Tabel 2.4 Tingkat sikap berdasarkan intensitasnya

Domain Definisi

Menerima Menerima stimulus yang diberikan (objek)

Menanggapi Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan

atau objek yang dihadapi

Menghargai Memberikan nilai positif terhadap objek atau stimulus,

membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi orang lain

Bertanggung jawab Bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya (Sumber: Notoatmodjo, 2005)

2.2.3 Tindakan atau praktik (practice)

Tindakan merupakan lanjutan dari sikap, karena sikap belum tentu terwujud dalam tindakan (Notoatmodjo, 2005). Sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut kualitasnya, yaitu: a. Praktik terpimpin (guided response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.

b. Praktik secara mekanisme (mechanism)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu hal secara otomatis. c. Adopsi (adoption)

Suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa saja yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.


(32)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah :

3.2 Definisi Operasional

a. Keluarga pasien hemodialisis adalah orang yang termasuk dalam keluarga luas, yaitu mencakup semua orang yang berketurunan dengan umur 16 tahun ke atas dari kakek nenek yang sama, termasuk keturunan masing-masing istri dan suami yang menemani pasien hemodialisis selama menjalani hemodialisis di Klinik Rasyida Medan.

b. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden mengenai GGK. c. Sikap adalah tanggapan atau reaksi responden mengenai GGK.

d. Tindakan adalah segala sesuatu yang telah dilakukan responden sehubungan dengan pengetahuan dan sikap tentang GGK.

Pengetahuan Mengenai GGK

Sikap Mengenai GGK Tindakan Mengenai GGK Keluarga Pasien Hemodialisis


(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal ginjal kronik

2.1.1 Definisi

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Batasan penyakit ginjal kronik

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

- Kelainan patologik

- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada

pemeriksaan pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

(Sumber: Chonchol, 2005)

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005). Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:


(34)

Tabel 2.2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik

Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73

m²)

0 Risiko meningkat ≥ 90 dengan faktor

risiko 1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau

meninggi

≥ 90

2 Penurunan ringan LFG 60-89

3 Penurunan moderat LFG 30-59

4 Penurunan berat LFG 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

(Sumber: Clarkson, 2005)

2.1.2 Etiologi

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal

Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak

sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

a. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).

Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).


(35)

b. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik

≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemuka n kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal


(36)

lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).

2.1.3 Faktor risiko

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

2.1.4 Patofisiologi

Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (Noer, 2006).

2.1.5 Gambaran klinik

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.


(37)

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost

e. Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

f. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat


(38)

seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

g. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

2.1.6 Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:

a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG) b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional

e. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.


(39)

b. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.

1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).

2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)

Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.

3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit

Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:

1) Diagnosis etiologi GGK

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).

2) Diagnosis pemburuk faal ginjal

Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

2.1.7 Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin


(40)

kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan (National Kidney Foundation, 2009).

2.1.8 Penatalaksanaan

a. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

1) Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

2) Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

3) Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

4) Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik 1) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat


(41)

diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

2) Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

3) Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik. 4) Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. 5) Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

6) Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi. 7) Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

1) Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).


(42)

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan

Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi

elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

2) Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). 3) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah


(43)

c) Masa hidup (survival rate) lebih lama

d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

2.2 Perilaku

Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi biologis semua makhluk hidup mulai dari binatang sampai dengan manusia, mempunyai aktivitas masing-masing. Aktivitas manusia dikelompokkan menjadi dua bagian. Yang pertama adalah aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain, seperti berjalan, bernyanyi, tertawa, dan sebagainya. Yang kedua adalah aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar), seperti berpikir, berfantasi, bersikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

Skiner (1938) seorang ahli psikologi dalam Notoatmodjo (2005) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus-organisme-respons (S-O-R). Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable behavior”.


(44)

2.2.1 Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat seperti dalam tabel 2.3 berikut :

Tabel 2.3 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif

Domain Definisi

Tahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya

Memahami Kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang

diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar

Aplikasi Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari

pada situasi atau kondisi riil

Analisis Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke

dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut

Sintesis Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru

Evaluasi Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian

terhadap suatu materi atau obyek (Sumber: Notoatmodjo, 2005)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket (Notoatmodjo, 2005).


(45)

2.2.2 Sikap (attitude)

Sikap merupakan suatu respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan, bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu (Notoatmodjo, 2005).

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005), sikap mempunyai tiga komponen pokok, yakni:

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya,

bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana

penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah

merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan).

Ketiga komponen tersebut secara bersama-bersama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pernyataan-pernyataan terhadap objek tertentu (Notoatmodjo, 2005).

Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Sikap mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya seperti dalam tabel 2.4 berikut:


(46)

Tabel 2.4 Tingkat sikap berdasarkan intensitasnya

Domain Definisi

Menerima Menerima stimulus yang diberikan (objek)

Menanggapi Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan

atau objek yang dihadapi

Menghargai Memberikan nilai positif terhadap objek atau stimulus,

membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi orang lain

Bertanggung jawab Bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya (Sumber: Notoatmodjo, 2005)

2.2.3 Tindakan atau praktik (practice)

Tindakan merupakan lanjutan dari sikap, karena sikap belum tentu terwujud dalam tindakan (Notoatmodjo, 2005). Sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut kualitasnya, yaitu: a. Praktik terpimpin (guided response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.

b. Praktik secara mekanisme (mechanism)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu hal secara otomatis. c. Adopsi (adoption)

Suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa saja yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.


(47)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah :

3.2 Definisi Operasional

a. Keluarga pasien hemodialisis adalah orang yang termasuk dalam keluarga luas, yaitu mencakup semua orang yang berketurunan dengan umur 16 tahun ke atas dari kakek nenek yang sama, termasuk keturunan masing-masing istri dan suami yang menemani pasien hemodialisis selama menjalani hemodialisis di Klinik Rasyida Medan.

b. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden mengenai GGK. c. Sikap adalah tanggapan atau reaksi responden mengenai GGK.

d. Tindakan adalah segala sesuatu yang telah dilakukan responden sehubungan dengan pengetahuan dan sikap tentang GGK.

Pengetahuan Mengenai GGK

Sikap Mengenai GGK Tindakan Mengenai GGK Keluarga Pasien Hemodialisis


(48)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah deskriptif, yakni menggambarkan

pengetahuan, sikap dan tindakan keluarga pasien hemodialisis mengenai gagal ginjal kronik di Klinik Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan. Hal ini dikarenakan Klinik Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan adalah salah satu klinik hemodialisis yang memiliki jumlah pasien hemodialisis yang cukup besar. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret-Desember 2009. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Juli-Agustus 2009.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah keluarga pasien hemodialisis yang menemani pasien untuk melakukan hemodialisis di Klinik Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan yang ada pada bulan Juli-Agustus 2009 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.2 Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling, yaitu dengan menjadikan seluruh populasi sebagai sampel.

Adapun kriteria responden yang dipilih adalah: 1. Kriteria Inklusi:

a. Orang yang termasuk dalam keluarga luas, yaitu mencakup semua

orang yang berketurunan dari kakek nenek yang sama, termasuk keturunan masing-masing istri dan suami.

b. Umur 16 tahun keatas.


(49)

2. Kriteria Eksklusi:

a. Tidak bersedia diikutsertakan dalam penelitian.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini data diperoleh melalui data primer dengan wawancara langsung tentang gagal ginjal kronik kepada responden dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan yang dilaksanakan langsung oleh peneliti kepada responden.

Adapun aspek pengukuran kuesioner adalah: a. Pengetahuan

Pengetahuan responden diukur melalui 9 pertanyaan. Responden yang menjawab dengan benar diberi skor 1 sedangkan yang menjawab dengan salah diberi skor 0. Jadi, skor tertinggi yang dapat dicapai responden adalah 9.

Selanjutnya menurut Pratomo (1986) dikategorikan atas baik, sedang dan kurang, dengan definisi sebagai berikut:

1) Baik, apabila keluarga pasien mengetahui sebagian besar atau seluruhnya tentang gagal ginjal kronik (skor jawaban responden >75% dari nilai tertinggi yaitu >6)

2) Sedang, apabila keluarga pasien hemodialisis mengetahui sebagian tentang gagal ginjal kronik (skor jawaban responden 40%-75% dari nilai tertinggi yaitu 3-6 )

3) Kurang, apabila keluarga pasien hemodialisis mengetahui sebagian kecil tentang gagal ginjal kronik (skor jawaban responden <40% dari nilai tertinggi yaitu <3)

b. Sikap

Sikap diukur melalui 9 pertanyaan dengan menggunakan skala Guttman (Riduwan, 2005), responden yang menjawab dengan benar akan diberi skor 1, sedangkan yang menjawab dengan salah diberi skor 0, sehingga skor tertinggi yang dapat dicapai responden adalah 9.

Selanjutnya menurut Pratomo (1986) dikategorikan atas baik, sedang dan kurang, dengan definisi sebagai berikut:


(50)

1) Baik, apabila keluarga pasien hemodialisis memiliki sikap yang baik terhadap sebagian besar atau seluruhnya tentang gagal ginjal kronik (skor jawaban responden >75% dari nilai tertinggi yaitu >6)

2) Sedang, apabila keluarga pasien hemodialisis memiliki sikap yang baik terhadap sebagian tentang gagal ginjal kronik (skor jawaban responden 40%-75% dari nilai tertinggi yaitu 3-6)

3) Kurang, apabila responden memiliki sikap yang baik terhadap sebagian kecil tentang gagal ginjal kronik (skor jawaban responden <40% dari nilai tertinggi yaitu <3)

c. Tindakan

Tindakan diukur melalui 9 pertanyaan. Responden yang menjawab dengan benar diberi skor 1 sedangkan yang menjawab dengan salah diberi skor 0. Jadi, skor tertinggi yang dapat dicapai responden adalah 9.

Selanjutnya menurut Pratomo (1986) dikategorikan atas baik, sedang dan kurang, dengan definisi sebagai berikut:

1) Baik, apabila keluarga pasien hemodialisis memiliki tindakan yang baik terhadap sebagian besar atau seluruhnya tentang gagal ginjal kronik (skor jawaban responden >75% dari nilai tertinggi yaitu >6)

2) Sedang, apabila keluarga pasien hemodialisis memiliki tindakan yang baik terhadap sebagian tentang gagal ginjal kronik (skor jawaban responden 40%-75% dari nilai tertinggi yaitu 3-6 )

3) Kurang, apabila keluarga pasien hemodialisis memiliki tindakan yang baik terhadap sebagian kecil tentang gagal ginjal kronik (skor jawaban responden <40% dari nilai tertinggi yaitu <3)

4.4.1 Uji validitas dan reliabilitas

Uji coba kuesioner dilakukan sebelum digunakan pada subjek penelitian, untuk mengetahui validitas dan reliabilitas. Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2005). Uji coba dilakukan terhadap


(51)

kuesioner pengetahuan, sikap dan tindakan. Uji tersebut dilakukan terhadap 16 orang responden yang memenuhi kriteria inklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Uji coba dilakukan di Klinik Rasyida Medan yang dilaksanakan pada bulan Juli 2009. Hasil uji validitas dan reliabilitas akan di sajikan pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.1 Hasil uji coba validitas dan reliabilitas kuesioner

Variabel Nomor

Pertanyaan

Total Pearson Correlation

Status Alpha Status

Pengetahuan 1 0,676 Valid 0,851 Reliabel

2 0,748 Valid Reliabel

3 0,748 Valid Reliabel

4 0,657 Valid Reliabel

6 0,676 Valid Reliabel

7 0,534 Valid Reliabel

9 0,812 Valid Reliabel

Sikap 1 0,748 Valid 0,851 Reliabel

4 0,748 Valid Reliabel

5 0,657 Valid Reliabel

6 0,676 Valid Reliabel

7 0,676 Valid Reliabel

8 0,534 Valid Reliabel

9 0,812 Valid Reliabel

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah item pertanyaan yang valid dan relibel adalah 14 item dari keseluruhan 18 item yang diuji validitas dan reabilitasnya. Akan tetapi akhirnya peneliti menggunakan validitas oleh pakar. Dengan demikian keseluruhan pertanyaan layak digunakan sebagai instrumen pertanyaan.

4.5 Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan, tahap pertama editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk. Tahap kedua

coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk


(52)

memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer dengan menggunakan program SPSS versi 15.0. Tahap keempat adalah melakukan

cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah di entry untuk mengetahui

adanya kesalahan atau tidak. Hasil penelitian akan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan grafik.


(53)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Klinik Rasyida Medan yang berdiri sejak tahun 1995. Pendirian Klinik Rasyida Medan diawali dengan 1 unit dialisis dengan 5 mesin dan satu unit water treatment yang terletak di jalan D.I Panjaitan No. 144, Medan. Klinik Rasyida Medan secara geografis terletak di Kelurahan Sei Sikambing dan Kecamatan Medan Petisah.

Fasilitas yang dimiliki Klinik Rasyida Medan terdiri dari ruang hemodialisis dengan 30 mesin dengan water treatment, ruang praktek dokter, rontgen, USG, EKG apotik dan ambulans.

Kegiatan di Klinik Rasyida Medan dilakukan setiap hari, kecuali hari Minggu dan hari libur. Kegiatan hemodialisis juga dilakukan setiap hari, kecuali hari Minggu dan hari libur yang dilaksanakan setiap dua kali sehari dengan 2 orang dokter jaga, yaitu pada pukul 08.00 WIB dan 13.00 WIB, sedangkan kegiatan praktek dokter spesialis dimulai pada pukul 17.00 WIB.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden

Jumlah responden yang terlibat dalam studi ini adalah sebesar 46 responden. Semua responden merupakan keluarga yang menemani pasien hemodialisis selama menjalani hemodialisis di Klinik Rasyida Medan.

Lebih dari setengah responden yang terpilih adalah perempuan sebanyak 36 orang dengan persentase 78,3%, sedangkan laki-laki berjumlah 10 orang dengan persentase 21,7% seperti pada tabel 5.1. Kemudian berdasarkan umur, mayoritas responden, yaitu 16 orang dengan persentase 34,8% masuk kedalam kelompok umur 26 – 35 tahun seperti pada tabel 5.2.


(1)

LAMPIRAN III

Saya ucapkan terima kasih atas kesediaannya meluangkan waktu untuk mengisi surat persetujuan ini.

Nama Saya Derry Heppy Fritiwi, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) semester VII. Saat ini sedang melaksanakan penelitian dengan judul Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Keluarga Pasien

Hemodialisis Mengenai Gagal Ginjal Kronik di Klinik Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat

pengetahuan, sikap dan tindakan keluarga pasien hemodialisis mengenai gagal ginjal kronik.

Untuk itu Saya memohon kesediaan Anda untuk ikut serta dalam penelitian ini, yaitu sebagai responden. Saya akan menanyakan beberapa hal seputar identitas Anda, pengetahuan, sikap dan tindakan Anda mengenai gagal ginjal kronik. Atas kesediaan Anda, Saya ucapkan terimakasih. Semoga partisipasi Anda dalam penelitian ini membawa manfaat besar bagi kita semua.

SURAT PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama :

Umur : Jenis Kelamin :

Dengan ini bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Saya akan menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan oleh peneliti dengan jujur dan apa adanya, serta partisipasi ini saya lakukan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan/pamrih.

Medan, Juli 2009


(2)

Medan, 19 November 2009

Hal : Validasi Kuisioner Karya Tulis Ilmiah oleh Pakar Secara Validity of Content

Kepada Yth:

Tim Penilai Karya Tulis Ilmiah

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Nama : Derry Heppy Fritiwi

NIM : 060100099

Judul Penelitian : Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Keluarga Pasien Hemodialisis Mengenai Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

Dosen Pembimbing : dr. Soegiarto Gani, Sp.PD

Dengan hormat,

Kuisioner yang telah digunakan dalam penelitian ini telah divalidasi dengan validity of content. Pengesahan ini dilakukan oleh dr. Soegiarto Gani, Sp.PD dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada tanggal 19 November 2009. Kuisioner ini telah diperbaiki menurut saran yang diberikan dan disetujui untuk digunakan dalam penelitian.

Medan , 19 November 2009

Diketahui oleh, Disahkan oleh,

dr. Soegiarto Gani, Sp.PD

NIP : 132 311 456 NIP : 132 311 456 dr. Soegiarto Gani, Sp.PD


(3)

LAMPIRAN VI

Uji Validitas dan Reliabilitas

Correlations

p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 ptot

p1 Pearson Correlation 1 .655(**) .488 .255 -.333 1.000(**) .218 -.218 .488 .676(**)

Sig. (2-tailed) .006 .055 .341 .207 .000 .417 .417 .055 .004

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

p2 Pearson Correlation .655(**) 1 .447 .389 -.218 .655(**) .333 -.333 .745(**) .748(**)

Sig. (2-tailed) .006 .082 .136 .417 .006 .207 .207 .001 .001

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

p3 Pearson Correlation .488 .447 1 .522(*) -.163 .488 .447 -.149 .467 .748(**)

Sig. (2-tailed) .055 .082 .038 .547 .055 .082 .582 .068 .001

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

p4 Pearson Correlation .255 .389 .522(*) 1 -.221 .255 .234 .078 .522(*) .657(**)

Sig. (2-tailed) .341 .136 .038 .411 .341 .384 .774 .038 .006

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

p5 Pearson Correlation -.333 -.218 -.163 -.221 1 -.333 -.073 .073 -.163 -.039

Sig. (2-tailed) .207 .417 .547 .411 .207 .789 .789 .547 .886

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

p6 Pearson Correlation 1.000(**) .655(**) .488 .255 -.333 1 .218 -.218 .488 .676(**)

Sig. (2-tailed) .000 .006 .055 .341 .207 .417 .417 .055 .004

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

p7 Pearson Correlation .218 .333 .447 .234 -.073 .218 1 -.333 .447 .534(*)

Sig. (2-tailed) .417 .207 .082 .384 .789 .417 .207 .082 .033

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

p8 Pearson Correlation -.218 -.333 -.149 .078 .073 -.218 -.333 1 -.149 -.036

Sig. (2-tailed) .417 .207 .582 .774 .789 .417 .207 .582 .896

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

p9 Pearson Correlation .488 .745(**) .467 .522(*) -.163 .488 .447 -.149 1 .812(**)

Sig. (2-tailed) .055 .001 .068 .038 .547 .055 .082 .582 .000

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

ptot Pearson Correlation .676(**) .748(**) .748(**) .657(**) -.039 .676(**) .534(*) -.036 .812(**) 1

Sig. (2-tailed) .004 .001 .001 .006 .886 .004 .033 .896 .000

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


(4)

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 16 100.0

Excluded(a) 0 .0

Total 16 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.851 7

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

p1 .88 .342 16

p2 .75 .447 16

p3 .63 .500 16

p4 .31 .479 16

p6 .88 .342 16

p7 .25 .447 16

p9 .63 .500 16

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

p1 3.44 3.996 .671 .826

p2 3.56 3.596 .727 .812

p3 3.69 3.563 .645 .825

p4 4.00 3.867 .496 .848

p6 3.44 3.996 .671 .826

p7 4.06 4.063 .425 .857

p9 3.69 3.429 .729 .811

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


(5)

Correlations

s1 s2 s3 s4 s5 s6 s7 s8 s9 stot

s1 Pearson Correlation 1 -.218 -.333 .447 .389 .655(**) .655(**) .333 .745(**) .748(**)

Sig. (2-tailed) .417 .207 .082 .136 .006 .006 .207 .001 .001

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

s2 Pearson Correlation -.218 1 .073 -.163 -.221 -.333 -.333 -.073 -.163 -.039

Sig. (2-tailed) .417 .789 .547 .411 .207 .207 .789 .547 .886

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

s3 Pearson Correlation -.333 .073 1 -.149 .078 -.218 -.218 -.333 -.149 -.036

Sig. (2-tailed) .207 .789 .582 .774 .417 .417 .207 .582 .896

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

s4 Pearson Correlation .447 -.163 -.149 1 .522(*) .488 .488 .447 .467 .748(**)

Sig. (2-tailed) .082 .547 .582 .038 .055 .055 .082 .068 .001

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

s5 Pearson Correlation .389 -.221 .078 .522(*) 1 .255 .255 .234 .522(*) .657(**)

Sig. (2-tailed) .136 .411 .774 .038 .341 .341 .384 .038 .006

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

s6 Pearson Correlation .655(**) -.333 -.218 .488 .255 1 1.000(**) .218 .488 .676(**)

Sig. (2-tailed) .006 .207 .417 .055 .341 .000 .417 .055 .004

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

s7 Pearson Correlation .655(**) -.333 -.218 .488 .255 1.000(**) 1 .218 .488 .676(**)

Sig. (2-tailed) .006 .207 .417 .055 .341 .000 .417 .055 .004

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

s8 Pearson Correlation .333 -.073 -.333 .447 .234 .218 .218 1 .447 .534(*)

Sig. (2-tailed) .207 .789 .207 .082 .384 .417 .417 .082 .033

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

s9 Pearson Correlation .745(**) -.163 -.149 .467 .522(*) .488 .488 .447 1 .812(**)

Sig. (2-tailed) .001 .547 .582 .068 .038 .055 .055 .082 .000

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

stot Pearson Correlation .748(**) -.039 -.036 .748(**) .657(**) .676(**) .676(**) .534(*) .812(**) 1

Sig. (2-tailed) .001 .886 .896 .001 .006 .004 .004 .033 .000

N 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


(6)

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 16 100.0

Excluded(a) 0 .0

Total 16 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.851 7

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

s1 .75 .447 16

s4 .63 .500 16

s5 .31 .479 16

s6 .88 .342 16

s7 .88 .342 16

s8 .25 .447 16

s9 .63 .500 16

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

s1 3.56 3.596 .727 .812

s4 3.69 3.563 .645 .825

s5 4.00 3.867 .496 .848

s6 3.44 3.996 .671 .826

s7 3.44 3.996 .671 .826

s8 4.06 4.063 .425 .857

s9 3.69 3.429 .729 .811

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


Dokumen yang terkait

Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014

3 73 81

Hubungan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Terhadap Sensitivitas Pengecapan di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

3 100 81

Efektifitas Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Fatigue pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

28 83 107

Hubungan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Terhadap Sensitivitas Pengecapan di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 15

Efektifitas Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Fatigue pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 11

Efektifitas Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Fatigue pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 2

Efektifitas Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Fatigue pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 1 4

Efektifitas Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Fatigue pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 19

Efektifitas Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Fatigue pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

3 17 3

Efektifitas Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Fatigue pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 1 39