Nalar ‘Irfani Irfani;; dari Z}ahir
140 I Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes
bertumpu pada kecenderungan pemahaman atas teks tekstualis atau nalar Burhani, yang bertumpu pada spekulasi akal rasional-
spekulatif.
Dengan pengertian seperti ini, maka menurut al-Jabiri pengetahuan model ‘Irfani telah berkembang cukup lama, bahkan sebelum kedatan-
gan Islam.
8
Tidak salah bila kemudian, perkembangan tasawuf dalam Islam juga tidak bisa lepas dari pengaruh luar sesuai dengan karakternya
sebagai bagian dari pengetahuan ‘Irfan, khususnya semenjak proses asimilasi dan akulturasi terjadi antara Islam dan nilai-nilai dari luar,
yakni dari Persia dan Yunani.
9
Hanya saja, memang harus diakui bahwa nilai-nilai yang ada kaitannya dengan ‘Irfani dalam Islam memiliki
akarnya yang spesii k, berangkat dari sumber-sumber al-Qur’an atau teladan langsung dari nabi Muhammad Saw. melalui hadithnya,
10
seperti konsep zuhud, sabar, tafakkur, dan lain-lain.
Secara aplikatif, epistemologi ‘Irfani atau gnosis muncul dari proses panjang kebersihan pelakunya ‘arif. Menurut Ali Mahdi
Khan, kebersihan pelakunya dibuktikan dengan kesempurnaan dalam intelektual, sekaligus moralnya dengan terlibat secara in-
tens dalam pencurahan diri secara khusus melalui meditasi, cinta, kesalehan, dan kesucian.
11
Baginya, dunia adalah penyebab dari terjadinya ikatan, sehingga menyulitkan untuk sampai pada ke-
tentraman, kesempurnaan dan kebahagian abadi. Oleh sebab itu, pengembaraan dunia harus terus dilakukan, setidaknya bermula
8
Era Hellenis, tepatnya akhir abad empat sebelum Masehi, dan masa Yunani hingga pertengahan abad ketujuh sesudah Masehi disinyalir adalah era pengetahuan gnostic
‘irfan
itu berkembang. Baca: Philip K. Hitti, History of Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dkk Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cetakan I, 2008, 546-556.
9
Ibid., 375-394.
10
‘Abd Al-Rah{man Muh}ammad al-Sullami menyebutkan beberapa etika sui stik kenabian, misalnya sikap zuhud, sabar, dan lain-lain, yang terangkum cukup apik dalam 40 macam. Baca lengkapnya, ‘Abd Al-Rah}man Muh}
ammad al-Sullami, Kita}b
al-Arba’in fi al-Tas}awwuf
Tk: Mat}ba’ah Majlis Dairah al-Ma’arif, 1981.
11
Ali Mahdi Khan, Dasar-dasar Filsafat Islam: Pengantar ke Gerbang Pemikiran, terj. Subarkah Bandung: Penerbit Nuansa, 2004, 118.
Menggapai Jalan Ma’rifat, Menjaga Harmoni Umat I 141
dari kesadaran untuk mengenal prinsip-prinsip kedirian sebagai manusia dengan kelemahan dan kelebihannya.
Pengenalan pada prinsip kedirian akan menuntun tersingkap- nya apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dan kebenaran abadi
bersama Allah, sumber sejati segala pengetahuan man ‘arafa naf- sahu faqad ‘arafa rabbahu.
12
Kaitannya dengan dunia, misalnya, perenuhan diri sendiri akan memandang bahwa dunia bukanlah
sebagai sumber inti dari pengetahuan sebab mengalami perubahan fana’ sebagaimana dirinya sendiri berada dalam ruang yang mu-
dah berubah. Oleh karena itu, hati bersih menjadi sangat penting, agar gemerlap dunia di mana pencari jalan ma’rifat itu tinggal dan
hidup di dalamnya tidak menjadikanlupa diri, alih-alih melupakan realitas kehidupan hakiki bersama Allah SWT.
Di samping itu, epistemologi ‘Irfani, sebagaimana dipahami dari kalangan ‘irfaniyyun, dalam memahami sesuatu senantiasa berpijak
pada kerangka z}ahir eksoterik dan bat}in esoterik. Cara pandang seperti ini nampaknya dipakai dalam memahami pesan-pesan agama,
baik al-Qur’an maupun hadith, sebagaimana juga diperlakukan dalam memahami yang lain. Kaitannya dengan ini, Nas}r H}amid Abu Zaid
dalam bukunya Hakadza Atakallamu Ibn ‘Arabi mengatakan :
13
Sebagaimana disetiap wujud –begitu juga setiap manusia— terdapat dimensi z}ahir dan bat}in, maka dialek ketuhanan
secara pasti juga memiliki dua sisi, yakni z}ahir dan bat}in
12
Al-Jabiri,
Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi
, 256.
13
Nas}r H}amid Abu Zaid,
Hakadza Atakallamu Ibn ‘Arabi
Mesir: al-Haiah al-Mis}riyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2002; Nas}r H}amid,
al-Lughahal-Wujudal-Qur’an: Dirasat fi al-Fikr al al-S}ufi.
Makalah tidak diterbitkan, fdf.
142 I Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes
Kutipan dari Nas}r H}amid menunjukkan bahwa setiap sesuatu tidak cukup hanya dilihat dari sisi z}ahir semata, menegasikan
sisi bat}in. Karenanya, cara pandang yang kurang tepat, jika tidak dikatakan salah, bila seluruh aktivitas keagamaan dinilai hanya
sebatas sisi z}ahir. Misalnya, anjuran Nabi bahwa banyak orang yang berpuasa, hanya memperoleh lapar dan haus, setidaknya
menggambarkan bahwa aktivitas puasa yang secara z}ahir telah memenuhi syarat dan rukunnya ternyata juga tidak berarti apa-apa,
untuk tidak mengatakan tidak berpahala, jika bat}innya juga tidak melakukan puasa, seperti puasa terhindar dari dosa-dosa sosial;
menipu, hasud, meng-adu domba, dengki dan lain-lain.
14
Lebih jelasnya, yang dimaksud z}ahir –bila dilihat dari aktivitas manusia— adalah seluruh aktivitas yang berkaitan dengan ibadah,
kebiasaan, dan aktii tas keseharian. Sementara bat}in adalah aktivitas yang ada dalam diri terdalam, misalnya iman dan nilai yang terpancar-
kan dalam hati, baik yang dipuji seperti adil, berani, malu, dan sabar. Atau yang dicela sepertti ‘ujub, sombong, riya’, hasud, dan dengki.
15
Selanjutnya, dalam konteks keilmuan, ahli z}ahir adalah mereka yang merasa cukup dengan tanda-tanda formal dan melakukan hukum-hu-
kum shari’ah, tanpa mempertimbangkan dimensi ruh yang terdalam dari setiap pesan dan anjuran agama. Sementara ahli bat}in al-bat}iniyyah
berdimensi lain, yakni mereka yang lebih mempertimbangkan pada dimensi esoterik Islam atau dimensi ruh terdalam dari shari’ah.
16
14
Dalam konteks ini, berdasarkan model pembagian imam al-Ghazali, kaitannya dengan orang yang berpuasa, maka orang yang berpuasa sekedar puasa dengan
z}ahir
nya semata adalah puasa kebanyakan orang
s}aum al-‘umum
. Padahal, selain itu ada puasa yang dilakukan orang istimewa
s}aum al-khus}us}
, bahkan ter-istimewa
s}aum khus}us} al-khus}us
}. Baca lengkapnya Abu H}amid al-Ghazali,
Ih}ya’ ‘Ulum al-Din
, Juz I Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2010, 329; Ah}mad Mah}mud S}ubh}i,
Al-Tas}awwuf Ijabiyyatuhu wa Salbiyyatuhu
Kairo: Dar al-Ma’arif, tth, 27-32.
15
Ibn Khaldun,
Shifa’ al-Sail wa Tahdhib al-Masail
Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1996, ‘
16
Nas}r H}amid,
Hakadza Atakallamu
, 212.
Menggapai Jalan Ma’rifat, Menjaga Harmoni Umat I 143
Dalam perkembangannya, hubungan bat}in dan z}ahir senantiasa berkelindang dalam pemikiran Islam, khususnya tasawuf. Namun,
dalam konteks epistemologi ‘Irfani, dimensi bat}in itu adalah yang terdekat, sekalipun dalam praktiknya keduanya harus beriringan.
Artinya, bagi kalangan sui pengetahuan atas shari’ah –sekaligus praktiknya—adalah modal yang perlu diperhatikan dalam rangka
meneguhkan pengetahuan ‘Irfan.
Hubungan dekat shari’ah –sebagai simbol z}ahir —dengan di- mensi tasawufsui stik —sebagai simbol bat}in— pada perkemban-
gannya memunculkan apa yang disebut dengan tasawuf Sunni. Ber- beda, dengan tasawuf falsai yang menggunakan episteme‘Irfani,
tapi sekaligus juga didukung kedalaman nalar spekulatifnya dalam mengurai kebenaran ‘Irfan yang dihasilkan dari pengalaman sang
sui . Tidak salah, dari tasawuf falsai memunculkan tokoh-tokoh kontroversi, setidaknya bila dilihat dari dimensi shari’ah z}ahir
yang dianut mayoritas Muslim, terlebih bagi kalangan awam.
Kontroversi para sui falsai itu, misalnya dengan memuncul- kan ungkapan-ungkapan shat}ah}at yang sulit dipahami kalangan
awam, bahkan dipandang bertentangan dengan shari’ah, seba- gaimana ungkapan dilontarkan oleh Abu Mans}ur al-H}allaj sang
pencetus konsep H}ulul,
17
atau dalam konteks Nusantara terdapat kisah Shaikh Siti Jenar dengan konsepnya Manunggaling Kaula
Gusti yang menurut riwayat mendapat vonis bersalah, untuk tidak
17
Melalui konsep
h}ulul,
yakni bersatunya manusia dengan Tuhannya, al-H}allaj melontarkan ungkapan kontroversi, misalnya ungkapannya:
aku adalah rahasia yang Maha Benar, dan bukan yang Maha Benar aku. Hanya satu yang benar, maka bedakanlah antara kami. Dari kontroversi itu akhirnya
dia dihukum pancung sebab dipandang bertentangan dengan pemahaman keagamaan rezim penguasa.
144 I Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes
mengatakan sesat, dari para anggota Wali Songo. Secara khusus, Imam al-Ghazali adalah di antara salah satu
sui yang menggunakan pola z}ahir dan bati}n dalam memahami perbagai persoalan, termasuk dalam memahami serangkaian
peribadatan dalam Islam. Melalui magnum opusnya, Ih}ya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali mampu menghidupkan kembali nalar ‘Irfani
atau tasawuf dalam Islam melalui konsistensinya dalam menghar- monikan ketegangan kelompok shari’ah z}ahir di satu pihak dan
kelompok tasawuf bat}in dipihak yang berbeda.
Di tangan al-Ghazali pula, keberadaan kajian i qih selalu menda- pat sentuhan tasawuf, begitu pula sebaliknya. Dari sini, tidak salah
bila kemudian posisi nalar Ghazalian cukup penting dalam perkem- bangan pergolakan ilmu-ilmu keislaman, khususnya dalam lingkup
pergumulan tradisi intelektual pesantren di Nusantara.
Oleh karenanya, pergumulan Kiai Ihsan dengan beberapa pe- mikiran al-Ghazali, misalnya dengan mengulas karyanya Minhaj
al-‘Abidin, meniscayakan ada proses pengaruh yang sulit terhin- darkan. Pengaruh itu bisa dilihat, setidaknya dalam konteks ‘Irfan
atau bertasawuf Kiai Ihsan dan juga dalam menggunakan pola z} ahir dan bat}in ketika Ia mengulas berbagai persoalan. Persoalan z}
ahir baginya penting, tapi lebih dari itu bat}in juga jauh lebih pent- ing, sehingga perlu disikapi secara serius dalam rangka menggapai
kebahagiaan dan kebijaksanaan hakiki.
Lebih jelasnya, ketika menjelaskan tentang taubat, Kiai Ihsan mengikuti pola pemikiran Ghazalian agar kiranya pertaubatan
itu dilakukan dengan memperbanyak membaca Istighfar minta ampunan kepada Allah SWT. sebanyak-banyaknya. Membaca
istighfar bukan hanya dalam konteks membaca saja secara for-
Menggapai Jalan Ma’rifat, Menjaga Harmoni Umat I 145
mal melalui lisan, tapi sekaligus dalam bat}in menjadi simbol dari perasaan menyesal al-nadham atas dosa-dosa yang dilakukan,
baik dosa-dosa yang berhubungan dengan dimensi ketuhanan vertical maupun dimensi kemanusiaan horizontal.
18
Itu artinya, taubat kurang bermakna, jika hanya terjebak pada formalitas pertaubatan, tanpa memperhatikan substansi terdalam
dari perintah bersegera taubat, ketika seseorang melakukan dosa. Taubat secara substansi, setidaknya diukur sejauh mana sikap
penyesalan itu muncul secara total dari para pelaku dosa, hingga tergerak untuk melakukan yang terbaik bagi peneguhan dirinya
sebagai hamba al-wih}dat al-‘ubudiyyah, sekaligus peneguhan ketuhanan al-wih}dat al-rububiyyah. Maka pada dasarnya, me-
lihat makna taubat dari dimensi z}ahir dan bati}n adalah dalam rangka mengukur keseriusan pelakunya meneguhkan perubahan
secara konsisten Istiqamah.