TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh getaran dan energi panas pada alat pengering surya ghe tipe kabinet

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Komoditi Kacang Mete Tanaman kacang mete termasuk dalam famili Anacardium yang terdiri dari bagian–bagian vegetatif dan generatif. Bagian vegetatif tanaman kacang mete terdiri dari akar, batang dan daun. Sedangkan bagian generatif terdiri dari bunga, buah dan biji. Tanaman jambu mete mulai berbunga pada umur antara 3-5 tahun. Bunga jambu mete berukuran kecil, beraroma harum dan berjumlah sangat banyak, Sedangkan buah jambu mete terdiri dari dua bagian, yaitu buah semu dan buah sejati yang berbentuk ginjal, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3. Buah Semu Buah Sejati Bunga Gambar 3 Bunga, buah semu dan buah sejati Gelondongan kacang mete terdiri dari kacang mete berbelah dua yang dibalut oleh kulit ari dan dilindungi oleh kulit yang keras berwarna keabu-abuan dan kusam. Kulit biji mete terdiri dari 3 lapisan. Lapisan paling luar keras dan liat disebut epikarp. Lapisan berikutnya yang berbentuk seperti sarang tawon yang mengandung minyak kental bernama minyak lakacashew nut shell liquid CNSL disebut mesokarp. Lapisan ketiga keras dan disebut endocarp. Gambar 4 Kacang mete berkulit gelondongan Untuk menghasilkan gelondongan kacang mete dengan kualitas yang baik tidaklah memerlukan biaya besar asalkan ditangani dengan baik dan benar, Namun banyak gelondongan kacang mete yang dihasilkan petani masih bermutu rendah. Tidak jarang dijumpai gelondongan kacang mete yang masih berupa campuran antara biji mete tua dan muda, cacat serta penuh kotoran. Akibatnya harga gelondongan kacang mete menjadi murah. Hal ini disebabkan beberapa kendala dalam melakukan pengolahan gelondong mete untuk menjadi kacang mete, antara lain: 1. Ukuran yang bervariasi dan tingkat kematangan mempengaruhi pengolahannya dan tingkat kerapuhannya. 2. Terdapatnya minyak laka pada kulit gelondong yang bersifat toksik, iritan dan korosif. Apabila senyawa tersebut mencemari biji mete maka akan menimbulkan noda-noda hitam. Selain itu, minyak laka juga dapat menyebabkan radang, bengkak dan gatal-gatal pada kulit manusia. Secara umum pengolahan mete panen dan penanganan pasca panen di Indonesia pada prinsipnya hampir sama Hepi 2004, yang meliputi penjemuran, pengukusan, pendinginan, pengupasan pengacipan, pengeringan, pengupasan kulit ari dan pengemasan. Secara teknis proses pengolahan mete terdiri dari beberapa tahapan yaitu: a. Penjemuran Kadar air yang tinggi 22-25 pada saat penen menyebabkan gelondongan mudah ditumbuhi kapang, bakteri dan memudahkan aktivitas enzim. Adanya kapang, bakteri dan enzim dapat mempengaruhi rasa dan aroma kacang mete sehingga menurunkan mutunya. Umumnya penjemuran dilakukan selama 3-4 hari di atas lantai semen dengan rata-rata setiap hari dijemur selama 7 jam, pada tingkat kekeringan ini disebut sebagai bahan kering simpan. b. Pengukusan Pengukusan merupakan proses panas dimana sebelum dikupas, gelondong mete diberi perlakuan panas di atas suhu lingkungan. Pengukusan dilakukan pada dandang besar di atas kompor minyak tanah selama 20-40 menit. Tujuan dari pengukusan adalah untuk melenturkan gelondong sehingga mudah dalam pengupasannya dan kernel yang dihasilkan juga lebih baik. c. Pendinginan Proses pendinginan dilakukan dengan menghampar gelondong mete di lantai dengan ketebalan 10 cm. Selain itu, juga dapat dilakukan dengan cara gelondong mete dihampar dalam sebuah mesin yang dipasangi blower untuk menghembuskan angin selama 1 – 3 jam. Gelondong mete yang masih dalam keadaan panas tidak langsung dimasukkan ke dalam karung, karena akan menyebabkan air meresap ke dalam kernel serta kematangan yang berlebihan pada gelondong mete dan apabila dikacip akan mengakibatkan gelondong lunak dan kernel melengket pada kulit sehingga hasilnya banyak yang pecah- pecah. Pendinginan ini bertujuan untuk memudahkan proses pengacipan Mulyono 2002. d. Pengupasan Pengacipan Pengupasan kulit gelondong mete telah menjadi masalah besar dalam pengolahan biji mete. Tujuan dari proses pengacipan adalah menghasilkan kernel yang utuh, bebas dari retakpecah dan bersih. e. Pengeringan Pengeringan adalah proses pengeluaran air dari suatu bahan pertanian menuju kadar air keseimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar air dimana mutu bahan pertanian dapat dicegah dari serangan jamur, enzim dan aktivitas serangga Henderson 1976. Sedangkan menurut Brooker et al. 1974, proses pengeringan adalah proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan bahan pertanian akibat aktivitas biologi dan kimia sebelum bahan diolah atau dimanfaatkan. Di Indonesia pengeringan kacang mete ose kacang mete yang masih memiliki kulit ari dilakukan dengan memanaskan di atas wajan Mulyono 2002. Untuk pabrik yang telah maju pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengeringoven yang dialiri udara panas ± 75 o C selama 4 – 6 jam. Tujuan dari pengeringan mete ini adalah menurunkan kadar air mete dari 8 – 9 menjadi 4 – 5 untuk mencegah kerusakan pada gelondong dan merapuhkan kulit ari mete sehingga mempermudah dalam pengupasannya Hepi 2004. f. Pengupasan kulit gelondong mete Pengupasan kulit ari kacang mete dilakukan segera setelah pengeringan. Pengupasan kulit ari kacang mete yang dilakukan secara manual dapat dikerjakan dengan penggesekan menggunakan jari tangan secara hati-hati atau menggunakan pisau jika sulit dilakukan dengan tangan. Pengupasan kulit ari dengan pisau harus dilakukan sangat hati-hati agar tidak melukai kacang mete karena dapat menurunkan mutu Cahyono 2011. g. Grading Kacang mete yang sudah bersih disortasi dan digrading terlebih dahulu sebelum dijual kepada konsumen atau pasar. Sortasi dan grading bertujuan untuk menyeragamkan kacang mete menurut kualitasnya. Di Indonesia telah ditetapkan standar hasil olah biji mete kupas cashew kernels oleh Dewan Standarisasi Nasional DSN yaitu Standar Nasional Indonesia SNI 01-2906-1992. Berdasarkan standar tersebut biji mete digolongkan atas lima jenis yaitu: 1. Biji Utuh Wholle Biji mete dalam keadaan utuh dimana kedua belah kepingnya secara alami mesih menempel satu sama lain. 2. Biji Putus Butts Biji mete terputus secara alami kedua keping bijinya masih saling melekat. Bagian yang terputus dapat berupa sebuah keping atau dua buah keping berukuran maksimal 50 dari panjang biji, dengan sudut potong kurang lebih tegak lurus arah kepingnya. 3. Biji Belah Dua Splits Biji mete yang terbelah dua menurut bentuk kepingnya 4. Biji Pecah Pieces Biji mete yang pecah dan tidak lolos ayakan ukuran 6 mesh 3.36 mm. 5. Biji Hancur Baby bits Biji mete yang pecah dan tidak lolos ayakan ukuran 10 mesh. Gambar 5 Kacang mete tanpa kulit biji mete h. Pengemasan Merupakan kegiatan pascapanen yang besar peranannya dalam mempertahankan mutu produksi setelah di panen. Tanpa pengemasan yang baik, produk akan mudah rusak akibat pengaruh lingkungan, misalnya sinar matahari dan kelembaban udara, serta kerusakan mekanis seperli luka, pecah atau patah dan akibatnya terjadi susut berat yang merugikan produsen. Perkembangan Penelitian Pengeringan Penelitian tentang disain pengering dan komponen-komponennya serta metode pengeringan untuk produk-produk pertanian terutama yang memanfaatkan panas konveksi yang bersumber baik dari energi konvensional maupun energi terbarukan telah dilakukan sejak lama antara lain: 1. Abdullah et al. 2004 merancang bagun alat pengering berenergi surya tipe kabinet disebut pengeringan efek rumah maca menggunakan dinding transparan untuk memerangkap radiasi surya dan pemanans tambahan dengan sumber energi panas dari pembakaran biomassa. 2. Penggunaan energi matahari pada pengeringan buatan dapat mempersingkat waktu pengeringan biji kakao bila dibandingkan dengan cara penjemuran telah dilakukan oleh Silaban 1994. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan kolektor panas matahari yang dapat membangkitkan udara panas untuk kebutuhan pengeringan hingga temperatur 60 o C. Dari hasil pendekatan perhitungan desain, untuk kapasitas pengeringan 6 ton kakao dengan waktu pengeringan 30 jam, luas kolektor yang dibutuhkan 547 m 2 untuk sistim terbuka, dan 417 m 2 untuk sistim tertutup. 3. Suatu model pabrik pengeringan kayu tenaga panas surya telah dirancang dengan memasukkan serat karbon sebagai bahan absorber kolektor telah dilakukan oleh Sumarsono 1994. Kapasitas pengeringan ditetapkan sebesar 1 200 m 3 yang terbagi atas 12 unit kamar pengering. Hasil simulasi kinerja bisnis menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan pabrik pengeringan kayu konvensional yang berbahan bakar kayu, prospek bisnis pabrik pengeringan kayu tenaga panas surya makin kompetitif bila harga bahan bakar kayu makin tinggi. 4. Percobaan pengeringan kopi berkapasitas 1.1 ton, dalam bangunan berdinding transparan UV stabilized plastics tipe bak, telah dilakukan oleh Dyah 1997. Percobaan pengeringan ini menghasilkan efisiensi pengeringan sebesar 57.7 dan efisiensi energi sebesar 6 MJkg uap air. Dengan suhu pengeringan 37 o C, untuk menurunkan kadar air kopi dari 68 bb sampai 13 bb diperlukan waktu 72 jam, efektif pada siang hari. 5. Bentuk tungku pembakar briket batubara yang mempunyai efisiensi tinggi dan ramah lingkungan telah dianalisis melalui penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno et al. 1998. Sutrisno menjelaskan bahwa perlu dilakukan pemilihan untuk mendapatkan suatu jenis tungku yang mempunyai tingkat efisiensi pembakaran tinggi, dalam hal yang mampu mendidihkan air lebih banyak dalam waktu yang relative singkat dan juga yang mempunyai emisi rendah ramah lingumgan, karena emisi CO, SOx, dan NOx yang tinggi merusak lingkungan dan juga menggangu mengganggu kesehatan bagi makhluk hidup. Ukuran tungku yang digunakan: diameter bagian atas 14 cm, diameter bagian bawah 18 cm, Tinggi ruang bakar = 15 cm. Tungku ini terdiri dari 3 lapisan sekat, yakni: bagian dalam besi plat berlubang- lubang kecil, bagian tengah tanah liat berlubang dan bagian luar adalah besi plat. Hasil penelitian menjelaskan bahwa emisi CO rata-rata pada tungku pembakar ini adalah 1284 ppm. Setelah 30 menit dari waktu penyalaan temperatur nyala apinya sudah mencapai kurang lebih 300 o C. 6. Disain pengering yang menggunakan energi surya telah dilakukan pula di Universitas Indonesia, seperti pengeringan pisang yang penelitiannya dilakukan oleh Muhammad 1999. Solar kolektor diletakkan diatas bangunan pengering dan dengan menggunakan blower maka ruang pengering dapat memperoleh udara panas. Selain menganalisis, Muhamad melakukan simulasi dengan bantuan program cfd dan hasilnya menunjukkan temperatur udara, kecepatan aliran udara dan kelembaban udara dapat terdistribusi dengan baik dalam ruang pengering. 7. Kinerja pengering efek rumah kaca bentuk kerucut untuk pengeringan rumput laut dilakukan oleh Suherman 2005. Jumlah beban pengeringan pada percobaan tersebut adalah 108 kg, lama pengeringan 30.4 jam 3 hari dengan temperatur ruang pengering rata-rata 43.8 o C dan RH ruang pengering rata- rata 54.5 . Sistem Penggetaran Penelitian mengenai sistem penggetaran pada pengering masih jarang dilakukan. Beberapa kajian tentang system penggetaran dan parameter yang mempengaruhinya diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Resonansi pada getaran telah dikaji oleh Dewanto 2000 dengan menggunakan mesin torak yang kecepatannya berubah-ubah. Pada penelitiannya menjelaskan bahwa Amplitudo maksimum pada frekwensi resonansi dapat dibatasi dengan sistim tumpuan dengan rasio redaman yang besar dan sebaliknya pada daerah frekwensi yang lebih besar dari frekwensi resonansi dan efek redaman terbesar TR 1 dapat di capai bila sistem tumpuan redaman memiliki rasio redaman yang kecil. 2. Unjuk kerja pengeringan dengan menggunakan getaran yang dibantu oleh pengering infra merah telah dilakukan oleh Das et al. 2003. Getaran dengan bantuan pengering infra merah dikembangkan dan dipelajari untuk karakteristik pengeringan dari tiga varitas padi dengan kelembaban tinggi. Pada penelitian tersebut diperoleh bahwa penngeringan padi yang berkelembaban tinggi dengan menggunakan tingkat intensitas radiasi pada 3100 Wm 2 dan 4290 Wm 2 memperlihatkan penurunan kadar air hingga 40 selama 33 menit dan 29 menit. Sedangkan besarnya amplitudo optimum pada pengeringan padi tersebut yang juga menggunakan getaran, yakni diperoleh amplitudo optimum sebesar, X = 8 mm hingga 9 mm. 3. Disain dan Uji kinerja pengering rotari tumpukan untuk pengeringan jagung pipilan telah dilakukan oleh Nelwan et al. 2008. Pada penelitian tersebut, pengering rotari untuk tumpukan biji-bijian didisain untuk memudahkan pengadukan selama proses pengeringan. Hasilnya memperlihatkan, antara lain bahwa dengan pengadukan selama 5 menit setiap 15 menit, pengering tersebut mampu mengeringkan biji jagung dengan variasi kadar air arah radial kurang dari 1.1 b.b. Energi yang dibutuhkan untuk pemutaran drum hanya 7 dari total kebutuhan energi. 4. Penelitian guna menghasilkan amplitudo getaran pada rak bergetar telah dilakukan pula oleh Brod et al. 2004. Perhitungan tersebut menggunakan vibration frequency, f = 60 Hz, angular frequency, ω = 377 raddet, gravitational acceleration, g = 9.81 m s . Pada penelitian tersebut menghasilkan vibration amplitude sebesar, X = 0.15 hingga 1.55 10 -3 m sedangkan angular accleration diperoleh sebesar 20.7 hingga 213.9 m 2 det 5. Penelitian yang dilakukan oleh Budi et al. 1997 tentang dinamika getaran bandul berpegas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sifat getaran bandul berpegas dengan cara simulasi numerik. Simulasi numerik dilakukan untuk memvariasi syarat awal dan redaman bandul berpegas. Sistem bandul berpegas dengan harga koefisien redaman lebih besar daripada harga kritisnya dapat dipakai sebagai syarat untuk pembuatan seismometer satu komponen. Pada harga syarat awal dan redaman tertentu di dalam simulasi numerik menunjukkan bahwa simpangan ayunan menjadikan osilasi pada pegas 6. Penelitian tentang peredam kejut dan getaran telah dilakukan oleh Robertus 2008. Penelitian tersebut membahas perancangan dan pengujian sistem peredam kejut bagi payload RX-250. Kesimpulan antara lain menjelaskan bahwa Sistem payload-damper mengalami resonansi pada frekwensi 18 Hz. Selanjutnya diharapkan test yang lebih lengkap beban kejut yang lebih bervariasi; beban pada axis lateral payload dapat dilakukan untuk lebih jauh melihat karakteristik dari damper. 7. Analisis dan pengujian tentang variasi pembebanan pada getaran yang menyebabkan kerusakan bantalan telah dilakukan oleh Yusran 2010. Pada pengujian dan analisis tersebut menunjukkan amplitudo kecepatan getaran yang paling besar terjadi pada cacat lintasan luar 105 mmdet. Hal ini dapat terjadi karena untuk cacat pada lintasan dalam berputar seiring dengan putaran poros dan lintasan luar terpasang dengan tetap atau tidak berputar sehingga jumlah impuls yang terjadi pada cacat luar dan cacat dalam untuk satu putaran cukup banyak. 8. Perancangan sistem peredam getaran telah dilakukan oleh Djatmiko 2010. Hasil perancangan menjelaskan antara lain perbandingan dua amplitdo berurutan X1X2 = 10.2, kekakuan pegas k = 12 000 Nm dan massa GPS = 0.3 kg dan amplitudo resonansi X = 9.2. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa meningkatnya nilai konstanta pegas dapat menyebabkan turunnya nilai amplitudo resonansi. 9. Penurunan draft dan energi pada model subsoiler getar dengan menggunakan metode self-excited vibration telah dilakukan oleh Soeharsono et al. 2011. Hasil menjelaskan antara lain bahwa Telah dilakukan eksperimen bajak getar SEV. Pada perlakuan FST, terjadi kenaikan draft tanah bahkan berlebihan tetapi terjadi penurunan draft tanah pada perlakuan RST dan TST. Simulasi menunjukkan kebenaran model matematis yang dibangun. Selanjutnya ditunjukkan pula bahwa penggetaran berenergi rendah telah di uji secara eksperimental dan berhasil menurunkan draft tanah secara signifikan. Mekanisme turunnya draft tanah didasarkan pada passive soil falure theori. Penurunan energi baru tercatat pada kecepatan membajak 0.265 ms.

BAB 3 PENGEMBANGAN SISTEM PENGGETAR RAK PENGERING