Nafkah Simbiosis Mutualisme dan Parasitisme Pola Nafkah Ganda dan Ketahanan Pangan

terjadinya pencurian kayu secara besar-besaran yang dilakukan masyarakat. Pencurian kayu jati berdasarkan tujuannya dapat dibagi menjadi 3 tiga macam. Ketiganya, yaitu untuk memenuhi kebutuhan : 1 hidup petani, atau makan sehari- hari, berupa rencekan, kayu bekas tebangan untuk kayu bakar. Selain itu, 2 keluarga sendiri, untuk keperluan tambal sulam, kerusakan, membangun rumah, dan 3 kebutuhan industri kayu, biasanya melibatkan banyak pekerja, jumlah curian besar, terorganisasi, rutin, berorientasi bisnis, dan ada jaringan yang kompleks. Nafkah simbiosis parasitisme dan gangguan keamanan hutan mengakibatkan terjadi perubahan potensi hutan, baik dari luasan wilayah hutan produktif. Demikian halnya, potensi tegakan masing-masing kelas umur pohon, berakibat langsung terjadinya banjir besar pada Januari 2002. Dampak lain yang terjadi tahun 1998 – 2001, yaitu dampak sosial, terjadinya ketegangan, rasa tidak aman, tertekan dan ketakutan antara Perum Perhutani dan masyarakat. Terjadi kerawanan sosial karena mendapatkan uang dengan mudah pencurian, sehingga mudah menghambur- hamburkanya maraknya perjudian, kebiasaan mabuk-mabukan, selaras penelitian Yulianto 2002. Dampak kerugian yang ditimbulkan sangat besar akibat nafkah simbiosis parasitisme. Hal ini, kontradiktif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan daerah kajian, dengan jumlah keluarga miskin cukup tinggi 23,82 – 62,82. Masyarakat sekitar hutan hanya menikmati keuntungan sekitar 1,20 - 1,56. Hal ini, selaras penelitian ARUPA 1999 di Desa Temulus, KPH Randublatung, yaitu sekitar 1,58, sisanya 98, 42 dinikmati pihak lain di luar masyarakat sekitar hutan Sanyoto, 2000. Keuntungan yang cukup kecil tersebut, tidak akan dapat merubah ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar basic need. Selain itu, melakukan kegiatan usaha produktif, serta menjangkau akses sumberdaya sosial dan ekonomi. Nafkah ini dilarang pihak Perhutani, dan terjadi persaingan kompetitif pencari nafkah dari desa satu dengan desa lain. Hal ini, karena jumlah satuan sumber nafkah pada setiap wilayah berbeda. Kerugian yang besar akibat pencurian kayu juga terjadi di Ghana Appiah, 2010; Bolivia, Honduras, Nicaragua, Cameroon, Indonesia, Canada Colchester et al., 2006, Dendi District Ethiopia Mamo et al., 2007, South Africa Shackleton et al., 2007, dan Vedeld et al. 2007.

c. Nafkah Simbiosis Mutualisme dan Parasitisme

Nilai penjumlahan resultante nafkah keluarga petani miskin di hutan jati Gambar 52, 53, 54 yang merupakan nilai kumulatif nafkah yang sifatnya simbiosis parasitisme merugikan, konotasibersifat negatif SP, dengan nafkah mutualisme tidak merugikan, konotasibersifat positif SM. Gambar 52. Nilai nafkah simbiosis mutualisme dan parasitisme Nilai SP + SM di Jiken adalah – 0,50 + 0,28 = - 0,22. Nilai SP + SM berkisar antara - 0,24 sampai - 0,09, di Kec. Jiken - 0,22, Desa Bleboh - 0,24, Nglebur - 0,21, artinya nafkah yang sifatnya simbiosis parasitisme sangat dominan dari mutualisme. Resultante di Desa Sumberjo - 0,09, Bodeh, Ngiyono, Kec. Randublatung - 0,10, Desa Ngliron, Kec. Japah - 0,11, artinya nafkah yang sifatnya simbiosis parasitisme kurang dominan dari mutualisme. Gambar 53. Nilai nafkah simbiosis mutualisme - parasitisme Nilai nafkah yang sifatnya simbiosis mutualisme SM, meliputi nilai subindikator pemanfaatan dari pohon jati Y1 dan pemanfaatan dari hutan jati Y2 memiliki nilai lebih kecil berbeda nyata, p 0,05 Gambar 31 dibandingkan nilai nafkah yang bersifat simbiosis parasitisme SP, yang meliputi pencurian kayu jati dan kebakaran hutan jati. 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 Jiken Bleboh Nglebur Rdblatung Bodeh Ngliron Japah Sumberejo Ngiyono Area N il ai v al u e S.mutualisme S.parasistisme 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 Jiken Rdblatung Japah Kec.Subdictrict N il ai v al u e S.mutualisme S.parasitisme Gambar 54. Nilai nafkah subindikator simbiosis mutualisme - parasitisme

d. Pola Nafkah Ganda dan Ketahanan Pangan

Pemenuhan kebutuhan pangan keluarga petani miskin bersumber dari nafkah simbiosis mutualisme dan parasitisme di hutan jati, serta nafkah di lahan pertanian. Hal ini, selaras dengan mengukur indeks komposit tingkat kerawanan, atau ketahanan pangan desa. Indeks komposit merupakan ¼ dari indeks 1 + 2 + 3 + 4, dimana indeks per indikator : 1 ketersediaan panganproduksi Kt.Pangan. Selain itu, 2 akses pangan dan penghasilan APP, 3 pemanfaatan penyerapan pangan PP, dan 4 kerentanan pangan Kr.P. Indeks per indikator untuk Desa Sumberejo masing-masing 0,01; 0,23; 0,29; dan 0,32 Tabel 80, dengan indeks komposit adalah ¼ 0,01 + 0,23 + 0,29 + 0,32 = 0,21. Tabel 80. Tingkat kerawananketahanan pangan desa, kecamatan Kec. Desa Kt. Pangan 1 APP 2 PP 3 Kr.P 4 1 + 2 + 3 + 4 I Ket. I Ket. I Ket. I Ket. I Ket. Jiken 0,09 surplus 0,17 tahan 0,15 s.tahan 0,08 s.tahan 0,12 s.tahan Bleboh 0,01 surplus 0,17 tahan 0,07 s.tahan 0,06 s.tahan 0,08 s.tahan Nglebur 0,01 surplus 0,14 s.tahan 0,45 c.tahan 0,09 s.tahan 0,17 tahan Rdblatung 0,37 surplus 0,15 s.tahan 0,17 tahan 0,11 s.tahan 0,20 tahan Bodeh 0,01 surplus 0,37 c.tahan 0,41 c.tahan 0,06 s.tahan 0,21 tahan Ngliron 0,01 surplus 0,21 tahan 0,34 c.tahan 0,01 s.tahan 0,17 tahan Japah 0,12 surplus 0,19 tahan 0,18 tahan 0,21 tahan 0,18 tahan Sumberejo 0,01 surplus 0,23 tahan 0,29 tahan 0,32 tahan 0,21 tahan Ngiyono 0,01 surplus 0,18 tahan 0,30 tahan 0,21 tahan 0,17 tahan Keterangan Note : I = indeksindex, s = sangatvery, c = cukupenough, tahan = tahan pangan stand = stand food Analisis tingkat kerawanan pangan desa, kecamatan, masalah pangan bukan menjadi hal yang mengkhawatirkan, karena tidak ada desa dan kecamatan kajian masuk kategori rawan pangan, tidak berbeda nyata p 0,05 dari indeks komposit 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 Jiken Rdblatung Japah Kec.Subdistrict N il a i v a lu e SM.phn jati teak trees SM.lhn h.jati land teak forest SP.curi k.jati stolen teak wood SP.bakar k.jati fired teak wood 1 + 2 + 3 + 4, sangat tahan pangan STP 0,16 22,22, dan tahan pangan TP 0,1 6 ≤ x 0,32 77,78. Pengukuran dari dimensi : 1 ketersediaan pangan, surplus pangan 0,50 = surplus tinggi 100,00. Selain itu, 2 akses pangan dan pengha-silan, STP 0,16 22,22, TP 0,16 ≤ x 0,32 66,67, dan CTP 0,32 ≤ x 0,48 11,11; 3 pemanfaatan dan penyerapan pangan, STP 0,16 22,22, TP 0,16 ≤ x 0,32 44,45, dan CTP 0,32 ≤ x 0,48 33,33; 4 kerentanan pangan, STP 0,16 66,67, dan TP 0,16 ≤ x 0,32 33,33. Tingkat ketahanan pangan tersebut dipengaruhi luasan hutan jati di wilayah kajian. Dimensi ketersediaan pangan, tercatat surplus pangan. Artinya kebutuhan akan pangan dapat tercukupi dari hasil produkdi sendiri. Sedangkan dimensi akses pangan dan penghasilan masih memprihatinkan. Hal ini karena jumlah rumah tangga miskin yang masih tergolong cukup tinggi 23,82 – 62,82. Namun cukup rendah yang belum dapat menikmati akses listrik ± 0,5, dan yang masih terisolir dengan kondisi jalan yang kurang memadai ± 3,8. Faktor input pertanian, seperti kesuburan lahan dan praktek pengelolaan lahan untuk produksi padi, jagung, dan ubi kayu sebagai indikator ketersediaan pangan. Kec. Jiken memiliki daerah pertanian 15,40, dan hutan jati 80,01, lahan sawah hanya 9,62, dengan sistem pengairan sebagian ½ teknis, sebagian pompa air, tadah hujan. Lahan sawah di desa Bleboh dan Nglebur sangat kecil dibandingkan lahan hutan jati. Lahan hutan jati produksi reboisasi di Kec. Randublatung 65,69, pertanian 34,31 dengan lahan sawah 16,59, sistem pengairan ½ teknis, tadah hujan dan mata air di bukit. Lahan sawah di desa Bodeh dan Ngliron sangat kecil dari lahan hutan jati. Desa Sumberejo dan Ngiyono di Kecamatan Japah memiliki daerah lahan hutan jati 80,78, dan 88,74, serta kawasan pertanian 17,1 dan 8,78. Lahan sawahnya hanya 9,32 dan 4,86 dengan sistem pengairan tadah hujan dan ½ teknis dengan pompa air. Lahan sawah pada desa kajian di Kec. Jiken, Randublatung, dan Japah maksimal hanya memiliki IP padi 200. Pada kondisi hari dan curah hujan mm per tahun normal, dalam setahun terjadi IP 300, pola tanam padi – padi – jagungkacang tanah IP 300, atau padi – jagungkacang – sayuransemangka IP 300. Pelaksanaan IP padi 200 belum maksimal didukung bangunan infrastruktur pengairan yang memadai. Dimensi pemanfaatan dan penyerapan pangan daerah kajian agak mengkha- watirkan. Hal ini, karena masih sekitar 30 keluarga jauh dari jangkauan Puskesmas jarak 5 km, walaupun di desa telah berdiri poliklinik desa polindes, praktek bidan, dan banyak posyandu. Masih banyak keluarga miskin belum menggunakan air bersih sebagai sumber air minumnya. Keculai pada desa-desa yang telah dijangkau oleh pembangunan air bersih. Pada dimensi ini masih terdapat status gizi BBTB kurus ± 4,8. Untuk dimensi kerentanan pangan, 54,33 – 88,74 kecamatandesa kajian memiliki hutan jati. Tanaman padi mengalami puso dan keluarga mengalami bencana banjir tidak ada kejadian. Rataan konsumsi pangan tidak berbeda nyata p 0,05 antar desa kajian. Hal ini, menjadi indikator kebiasaan bertindak dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Selain itu, frekwensi makan keluarga miskin, yaitu 15 kaliminggu, atau sekitar 2 – 3 kalihari, selaras BPS dan Bappeda Blora 2006. Rataan konsumsi beras jagung, jagung, dan ubi kayuumbi-umbian ada perbedaan p 0,05 antar agroekosistem. Hal ini, menjadi indikator belum menjadi kebiasaan bertindak dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Rataan konsumsi beras jagung menjadi kebiasaan bertindak masyarakat petani berusia tua. Namun sebagian besar belum menjadi kebiasaan bertindak pada usia muda – anak-anak dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Konsumsi beras jagung pada petani usia tua pada desa-desa kajian lahan kering sawah, produksi jagung padi. Beras jagung pada keluarga miskin desa kajian dominan lahan kering, saat kemarau panjang dominan dikonsumsi, dan tidak mempengaruhi aktifitas kerja, atau kesehatan, pola ini telah berjalan puluhan tahun. Diversifikasi pangan dari beras, beras jagung, jagung, dan ubi kayuumbi-umbian, dan frekwensi makan keluarga miskin saja mencapai 15 kali dalam seminggu, atau sekitar 2 – 3 kali dalam sehari. Pada masyarakat desa-desa kajian memiliki implikasi terhadap gizi anak balita, dimana kasus status gizi BBU kurang ± 12,4 dan gizi buruk ± 1,6, serta status gizi BBTB kurus ± 4,8 Diskes Blora, 2008. Ada empat kategori utama yang berbeda satu sama lain dalam menilai tindakan sosial masyarakat. Hal ini selaras penelitian Gunawardani 2002, bahwa masyarakat mengkonsumsi beras, beras jagung, dan umbi-umbian, dengan pertim- bangan efektif dan efisien. Empat kategori, yaitu a rasionalitas instrumental tingkat rasionalitas paling tinggi, meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan dan pertimbangan. Selain itu, b rasionalitas yang berorientasi nilai tipe tindakan yang mengutamakan nilai-nilai individu yang bersifat absolut, dan tidak jadi masalah jika ternyata nilai akhir malah tidak rasional, c tindakan tradisional tipe tindakan sosial ini non rasional, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, bertindak sesuai kebiasaan, atau seperti nenek moyang mereka sebelumnya, atau dengan pertimbangan d tindakan afektif tipe tindakan sosial didominasi perasaan, emosi tanpa refleksi intelektual, atau perencanaan sadar, tindakan ini benar-benar non rasional, kurang pertimbangan logis, ideologis, dan keriteria rasionalitas lainnya. Secara kuantitatif kajian ini belum kami lakukan, sehingga memerlukan pengkajian lebih lanjut. Potensi Komoditas Sumber Nafkah Komoditas potensial tingkat kabupaten, kecamatan dinilai dengan indikator, meliputi : 1 peluang pasar, yaitu peluang komoditi dalam mengembangkan usaha berdasarkan permintaan; 2 kondisi iklim, seperti kondisi tanah cocok, iklim, suhu, kelembaban, dan curah hujan yang sangat mendukung perkembangan komoditi; 3 tingkat keuntungan usaha, dari usahatani komoditi yang dikelola; 4 preferensi petani, atau tingkat kesukaan dan budaya petani terhadap komoditi; 5 arah kebijakan pemerintah, diantaranya kesesuaian komoditas dengan kebijakan untuk pengembangan, dan 6 penyerapan tenaga kerja. Pada awal analisis seluruh komoditas utama dianalisis, tetapi pada posisi dan nilai akhir hanya ditampilkan sebelas komoditi potensial. Sedangkan komoditi lain tidak dianalisa karena tidak menjadi komoditas potensial pada ke-8 kecamatan kajian. Misalnya mahoni dan tembakau potensial di Kec. Randubaltung saja, jeruk di Kec. Randubaltung dan Japah saja, bawang dan nangka potensial di Kec. Bogorejo saja, rambutan dan durian potensial di Kec. Japah saja. Kabupaten dan Kecamatan Peluang pasar merupakan ktiteria utama terpenting dalam penentuan komoditas potensial dengan nilai bobot 0,30. Permintaan kayu jati yang tinggi untuk pasar dalam negeri dan ekspor. Atau terhadap komoditas padi dan jagung sebagai sumber pangan utama masyarakat yang didukung dengan ketersedian, sehingga menimbulkan peluang pasar yang semakin tinggi. Peluang pasar untuk masing- masing komoditas pertanian dilihat dari perkembangan konsumsi komoditas tertentu terhadap peningkatan rata-rata produksi per komoditas. Urutan pertama adalah kayu jati bundar 1,20. Nilai peluang pasar kayu jati terlihat dari peningkatan penjualan kayu jati pada ketiga KPH Randublatung, Cepu, dan Blora yang dikelola PT. Perhutani, dan sharing 25 untuk lembaga masyarakat desa hutan LMDH, selaras penelitian Pratiwi 2007. Urutan berikutnya adalah padi, jagung, sapi 0,90. Peluang tersebut dapat dilihat dari peningkatan produksi padi, jagung, sapi selama tahun 2000 – 2007. Atau dapat juga dilihat dari banyaknya komoditas padi, jagung, sapi yang keluar dibandingkan yang masuk ke Kabupaten Blora. Urutan berikutnya adalah ayam buras bukan ras, mangga, umbi-umbian ketela pohon, ubi jalar, dan cabe cabe besar, cabe rawit masing-masing bernilai 0,75. Urutan berikutnya adalah kacang-kacangan kacang tanah, kacang hijau, kedelai, kacang putih, kacang merah, kado kambing, domba, dan pisang masing-masing bernilai 0,60. Kriteria kesesuaian kondisi iklim pada urutan kedua dengan bobot 0,25 pada suatu wilayah akan menentukan tingkat perkembangan komoditas tersebut. Kondisi tanah yang cocok, iklim, suhu, kelembaban, dan curah hujan sangat mendukung perkembangan pohon jati bundar misalnya, sehingga menghasilkan kualitas kayu jati yang baik, senada pendapat Sumarna 2003 dalam Pamungkaswati 2005, BPS dan Bappeda Blora 2006. Tanaman jati cocok tumbuh di daerah panas, rataan suhu 31,65oC {suhu max. = 39 – 43 oC, optimal = 32 – 42 0C, min. = 13 – 17 oC}, kecepatan angin 13 knotjam, kelembaban udara sekitar 78,93 baik = 60 – 80, dan rataan curah hujan 745 mmtahun max. = 2.500 mmtahun, optimal = 1.000 – 1.500 mmtahun, min. = 750 mm tahun. Hal ini selaras luasan hutan jati dan perkembangan kelas hutannya. Selain itu, luas areal hutan di Kabupaten Blora sekitar 49,7 sebagai faktor pendukungnya. Urutan berikutnya adalah padi, jagung, sapi, ayam buras, dan mangga 0,75. Urutan berikutnya adalah umbi-umbian ketela pohon, ubi jalar, kacang-kacangan kacang tanah, kacang hijau, kedelai, kacang putih, kacang merah, kado kambing, domba, dan pisang 0,63. Kriteria ketiga adalah keuntungan usaha, dengan bobot 0,20. Kesesuaian kondisi iklim pada suatu wilayah akan menentukan tingkat perkembangan komoditas, sehingga akan dapat mendatangkan keuntungan bagi usahatani yang dilakukan. Semakin besar tingkat keuntungan yang diperoleh dari komoditas tertentu, maka semakin menguntungkan usaha tani, atau usaha ternak yang dikelola. Sehingga semakin besar pula sumbangan yang diberikan bagi pendapatan keluarga petani. Nilai indikator komoditas padi dan sapi tertinggi 0,70; urutan berikutnya adalah kayu jati dan jagung 0,60. Urutan berikutnya adalah ayam buras dan mangga 0,50; selanjutnya umbi-umbian, kacang-kacangan, kado kambing, domba, dan pisang 0,40. Sapi berada pada urutan pertama karena : a pemeliharaan dapat dilakukan sambilan, dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit, serta tidak perlu mengeluarkan biaya banyak, karena pakan diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya lokal, seperti jerami padi, atau limbah tanaman lain. Untuk ternak sapi meskipun tidak pada musim panen pada umumnya petani memiliki persediaan makanan dari jerami padi, atau jagung yang dikeringkan; b apabila dibanding kayu jati bundar untuk memanen membutuhkan waktu lebih lama 10 – 25 tahun, sehingga keuntungan yang didapat tidak sebanding dengan lamanya waktu menunggu; atau c apabila dibandingkan dengan ternak lain ayam buras, kambing, domba sapi memiliki harga jual yang tinggi, sehingga penerimaannya lebih tinggi dan biaya yang dikeluarkan untuk pakan lebih rendah, karena pakan diperoleh dari limbah tanaman pangan yang dikelola sendiri, rata-rata petani adalah petani tanaman pangan yang memiliki ternak sapi sebagai tabungan jika membutuhkan biaya cukup besar. Usaha ternak kambing lebih menguntungkan dari domba. Kambing dan domba lebih menguntungkan dari ayam kampung, karena biaya pemeliharaan lebih rendah, pakan dari limbah komoditas lain. Biaya yang dikeluarkan untuk pakan relatif kecil, dan hanya untuk membeli dedak sebagai bahan pakan tambahan apabila petani tidak memiliki lahan untuk tanaman pangan, atau ketika tidak panen. Sedangkan pakan untuk ayam buras yang dipelihara semi intensif atau intensif setiap harinya harus diberi dedak sebagai pakan tambahan, meskipun bisa didapatkan dari sisa-sisa makanan manusia, sehingga ketika tidak musim panen, apabila petani tidak memiliki atau memiliki lahan untuk tanaman pangan, atau ketika tidak panen seringkali harus membeli dedak dengan harga lebih tinggi dari musim panen. Posisi komoditas pertanian yang masih sangat strategis sebagai acuan arah kebijakan pemerintah kriteria keempat, dengan bobot 0,10. Artinya tingakt kesukaan petani terhadap jenis komoditas pertanian tertentu memiliki tingkat kepentingan 10,00. Misalnya komoditi padi sebagai bahan pangan pokok masyarakat baik di level pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa, dukuh, dusun, bahkan sampai ke tingkat keluarga, individu. Komoditas strategis akan diprioritaskan untuk pengembangannya dan sesuai arah kebijakan pemerintah. Urutan komotas potensial yang diperoleh dari komoditas padi, jagung, dan sapi tertinggi 0,40. Urutan berikutnya adalah kayu jati, kacang-kacangan, kado 0,30, selanjutnya adalah mangga, umbi-umbian, dan pisang 0,10. Hasil analisis nilai potensial berdasarkan kesesuaian kebijakan pemerintah di level pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa, tidak berbeda dengan fokus utama arah kebijakan pembangunan pertanian. Fokus utama melalui a peningkatan produksi untuk ketahanan pangan, dan b pengembangan agribisnis, untuk peningkatan pendapatan petani guna pencapaian kesejahteraan masyarakat. Sesuai bahasan terdahulu, peran sektor pertanian PDRB Kab. Blora mencapai ± 52 – 55 Gambar 19. Peningkatan produksi padi, jagung untuk mewujudkan ketahanan pangan, melalui pengembangan agribisnis akan berguna untuk peningkatan gizi melalui diversifikasi pangan. Sedangkan untuk sapi potong akan dikaitkan dengan usaha-usaha peningkatan gizi dan penyediaan protein hewani bagi masyarakat. Kriteria kelima, yaitu tingkat preferensi petani dengan bobot 0,08. Artinya tingakt kesukaan petani terhadap jenis komoditas pertanian tertentu memiliki tingkat kepentingan 8,00. Masyarakat sebagai penentu komoditas pertanian yang akan diusahakan yang sesuai tingkat kesukaaan terhadap komoditas tersebut. Sehingga ada kecenderungan akan mengusahakan lebih baik dibandingkan komoditas lain yang kurang disukai. Nilai indikator komoditas yang sangat sesuai dengan tingkat preferensi petani diperoleh dari komoditas padi 0,32, sapi dan kayu jati 0,28, jagung, ayam buras, dan mangga 0,24, kacang-kacangan, umbi-umbian, cabe, dan pisang 0,16, kado kambing, domba 0,12. Tingkat kesukaaan terhadap komoditas tertentu, ada kecenderungan akan mengusahakan lebih baik dibandingkan komoditas lain yang kurang disukai. Misalnya petani akan tetap berusahatani padi baik di lahan sawah dengan sistem pengairan yang cukup baik di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo. Atau pada sistem pengairan yang kurang baik pada areal yang dominan lahan kering. Atau dominan kawasan hutan dengan infrastruktur pengairan yang kurang. Karena kesukaan petani pada produksi beras dari tanaman padi sebagai bahan pangan pokok masyarakat. Ternak sapi potong bagi masyarakat Kab. Blora banyak disukai karena dapat menjadi tabungan tak terduga yang sewaktu-waktu dapat dijual. Apabila membutuhkan dana tunai besar, dan ternak sapi sebagai tenaga kerja pengolahan tanah. Usaha ternak sapi dapat dilakukan sambilan, dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit, serta tidak perlu mengeluarkan biaya banyak, karena pakan diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya lokal. Pakan lokal seperti jerami padi, atau limbah tanaman lain, sehingga keuntungan tinggi karena sapi memiliki harga jual yang tinggi. Sehingga penerimaannya lebih tinggi dan biaya yang dikeluarkan untuk pakan lebih rendah. Analisa perbandingan, ternak sapi memiliki keuntungan tertinggi, diikuti kambing, domba, ayam buras. Karena kambing dan domba umumnya dibutuhkan pada hari-hari tertentu saja hari raya hajiqurban, aqikah, sehingga petani rata-rata memilih memelihara sapi. Ayam buras memiliki nilai keuntungan rendah karena beberapa faktor, antara lain jumlah pemeliharaan per keluarga kecil, adanya serangan penyakit terutama tetelo Nescastle Diseases sehingga sering terjadi kematian tinggi. Pada sisi lain, ayam buras memiliki peluang untuk dikembangkan karena umumnya masyarakat lebih menyukai daging dan telur ayam buras dibandingkan ayam ras. Daging ayam buras memiliki kadar lemak lebih rendah, telurnya digunakan sebagai bahan obat tradisional untuk kesehatan, sehingga harga daging dan telurnya lebih mahal. Kriteria keenam adalah penyerapan tenaga kerja, dengan bobot 0,07. Artinya tingakt kesukaan petani terhadap jenis komoditas pertanian tertentu memiliki tingkat kepentingan 7,00. Komoditas yang pengelolaan berorientasi ke arah agribisnis, maka komoditas tersebut akan dapat meningkatkan lapangan pekerjaan, dan komoditas pertanian tersebut sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan. Penyerapan tenaga kerja untuk usahatani adalah seberapa besar usahatani mampu menyerap dan menyediakan lapangan kerja untuk masyarakat di wilayahnya. Nilai indikator komoditas yang sangat tinggi menyerap tenaga kerja petani diperoleh dari komoditas kayu jati 0,28. Hal ini sesuai luas areal hutan di Kabupaten Blora sekitar 49,7 sebagai faktor pendukungnya. Urutan berikutnya adalah padi, sapi dan jagung 0,21; kacang-kacangan, kado, dan usahatani cabe 0,14; mangga, umbi- umbian, dan pisang 0,07. Peningkatan luas areal tanam, atau indeks pertanaman padi dan jagung sebagai sumber kalori utama pangan, diharapkan mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Produksi komoditas padi, jagung untuk mewujudkan ketahanan pangan, melalui pengembangan agribisnis akan berguna untuk peningkatan gizi melalui diversifikasi pangan. Hasil analisa secara komposit berdasarkan enam indikator penilaian tingkat kabupaten, tentang potensi dan posisi komoditas kayu jati bundar, dengan nilai akhir adalah 3,66 menuju sangat potensial Lampiran 3, Tabel 81. Urutan kedua adalah padi 3,28, ketiga adalah sapi potong, nilai akhir 3,24. Urutan keempat adalah jagung, nilai akhir 3,10; kelima dan keenam adalah ayam buras dan mangga, nilai akhir 2,75 menuju potensial dan 2,37 potensial. Tabel 81. Urutan potensi dan posisi komoditas tingkat kabupaten. Indikator nilai Sangat potensial – potensial Peluang pasar Kayu jati, padi, jagung, sapi potong, ayam buras, mangga, umbi- umbian, cabe, kacang-kacangan, kambing-domba, pisang, Kondisi iklim Kayu jati, padi, jagung, sapi potong, ayam buras, mangga, umbi- umbian, cabe, kacang-kacangan, kambing-domba, pisang, Keuntungan Padi, sapi potong, kayu jati, jagung, ayam buras, mangga, umbi- umbian, kacang-kacangan, kambing-domba, pisang, cabe Kebijakan Padi, jagung, sapi potong, kayu jati, ayam buras, kacang- kacangan, kambing-domba, mangga, umbi-umbian, pisang, cabe Preferensi Padi, sapi potong, kayu jati, jagung, ayam buras, mangga, kacang- kacangan, umbi-umbian, kambing-domba, cabe, pisang, Tenaga kerja Kayu jati, padi, sapi potong, jagung, ayam buras, kacang- kacangan, kambing-domba, cabe, mangga, umbi-umbian, pisang, Komposit Kayu jati, padi, sapi potong, jagung, ayam buras, mangga, kacang- kacangan, kambing-domba, umbi-umbian, cabe, pisang, Kecamatan dan Desa Hasil analisa secara komposit tentang potensi dan posisi komoditas di tingkat kecamatan. Pada agroekosistem dominan kawasan hutan Kec. Randublatung, Jiken, Japah, rangking pertama adalah kayu jati, nilai akhir 3,66 menuju sangat potensial Lampiran 3. Urutan kedua adalah padi, nilai akhir 3,43; ketiga adalah sapi potong, nilai akhir 3,35; keempat adalah jagung, nilai akhir 3,20, kelima dan keenam adalah ayam buras dan mangga, nilai akhir 3,20 menuju sangat potensial dan 2,95 potensial. Urutan dari sangat potensial, potensial adalah kayu jati, padi, sapi potong, jagung, ayam buras, mangga, kambing, kacang-kacangan, umbi- umbian, pisang, dan cabe. Perbedaan nilai akhir komposit secara berurutan tidak berbeda nyata p 0,05. Urutan komoditas potensial di Kec. Randublatung dari sangat potensial, potensial, cukup potensial, kurang potensial, meliputi kayu jati, sapi potong, padi, ayam buras, jagung, mangga, kambing, kacang-kacangan, umbi-umbian, pisang, dan cabe. Urutan tersebut berbeda nyata p 0,05 dengan urutan desa kajian Bodeh, Ngliron, Kediren, meliputi sapi potong, padi, ayam buras, kambing, jagung, mangga, pisang, umbi-umbian, kacang-kacangan, cabe, jeruk, tembakau, dan kayu jati. Perbedaan nilai akhir komposit secara berurutan tidak berbeda nyata p 0,05. Urutan komoditas potensial di Kec. Jiken, meliputi kayu jati, sapi potong, padi, ayam buras, jagung, kambing, mangga, pisang, nangka, umbi-umbian, cabe, dan pepaya. Urutan tersebut berbeda nyata p 0,05 dengan urutan desa kajian Bleboh dan Nglebur, meliputi komoditas sapi potong, padi, ayam buras, kambing, jagung, mangga, pisang, nangka, umbi-umbian, cabe, pepaya, dan kayu jati. Perbedaan nilai akhir komposit secara berurutan tidak berbeda nyata p 0,05. Urutan komoditas potensial di Kec. Japah, meliputi kayu jati, padi, sapi potong, ayam buras, jagung, kambing, mangga, pisang, umbi-umbian, kacang- kacangan, domba, cabe, dan jeruk. Urutan tersebut berbeda nyata p 0,05 dengan urutan desa kajian Sumberejo, Ngiyono, meliputi komoditas : padi, sapi potong, ayam buras, kambing, jagung, mangga, pisang, umbi-umbian, kacang- kacangan, cabe, jeruk, domba, dan kayu jati. Perbedaan nilai akhir komposit secara berurutan tidak berbeda nyata p 0,05. Nilai parsial tingkat desa sama pada komoditas sapi potong, padi, ayam buras, kambing, jagung untuk indikator aksebilitas terhadap : a kelayakan usaha untuk dijalankan 0,9; b input produksimodal usahatani dan adanya program subsidi pemerintah 1,2; c pemenuhan kebutuhan pokok untuk pangan 0,9, kecuali jagung 0,6. Nilai parsial untuk komoditas mangga dan pisang sama untuk semua indikator aksebilitas terhadap : a kelayakan usaha 0,6; b input produksi, program pemerintah 1,2 ; serta c pemenuhan kebutuhan pokok 0,3. Pada agroekosistem dominan lahan sawah Kec. Kedungtuban dan Cepu, rangking pertama dan kedua adalah padi dan jagung, nilai akhir 3,21 menuju sangat potensial dan 2,91 potensial Lampiran 3, ketiga dan keempat adalah ayam buras dan kayu jati, dengan nilai akhir 2,77 dan 2,69 menuju potensial, kelima dan keenam adalah mangga dan sapi, nilai akhir 2,21 dan 2,11 potensial. Urutan sangat potensial, potensial adalah padi, jagung, ayam buras, kayu jati, mangga, sapi, jambu, pisang, kacang-kacangan, bawang, domba, kambing, dan jeruk. Perbedaan nilai akhir komposit secara berurutan tidak berbeda nyata p 0,05. Urutan komoditas sangat potensial, potensisl, cukup potensial, kurang potensial, pada dominan lahan sawah :  Kec. Kedungtuban dan Cepu, meliputi : padi, jagung, ayam buras, kayu jati, mangga, sapi, jambu, pisang, kacang-kacangan, bawang, domba, kambing, dan jeruk, berbeda nyata p 0,05 dengan urutan desa kajian.  Desa kajian : Gondel, Panolan, Klagen, Kemantren Kec. Kd. tuban, Ngloram, Jipang, Getas Kec. Cepu, meliputi : padi, jagung, ayam buras, sapi potong, mangga, jambu, pisang, kacang-kacangan, bawang, jeruk, domba, kambing, dan kayu jati. Perbedaan nilai akhir komposit secara berurutan tidak berbeda nyata p 0,05. Nilai parsial tingkat desa sama pada komoditas padi dan jagung, untuk semua indikator aksebilitas terhadap : a kelayakan usaha 1,2; b input produksi dan adanya program pemerintah 1,2; c pemenuhan kebutuhan pokok 0,9, kecuali padi 1,2. Nilai parsial untuk komoditas sapi potong, ayam buras, dan mangga, sama untuk indikator aksebilitas terhadap : a kelayakan usaha 0,9; b input produksi dan program pemerintah 1,2; c pemenuhan kebutuhan pokok 0,9, kecuali untuk mangga 0,60. Nilai parsial untuk komoditas jambu dan pisang sama untuk semua indikator aksebilitas terhadap : a kelayakan usaha 0,6; b input produksi dan program pemerintah 1,2; serta c pemenuhan kebutuhan pokok 0,3 Urutan komoditi dari sangat sampai kurang potensial dominan lahan kering :  Kec. Bogorejo, meliputi : sapi potong, padi, jagung, kayu jati, mangga, ayam buras, jambu, pisang, umbi-umbian, bawang, nangka, kambing, dan domba, berbeda nyata p 0,05 dengan urutan di desa kajian.  Desa kajian : Tempurejo dan Nglengkir : sapi potong, padi, jagung, ayam buras, mangga, jambu, pisang, umbi-umbian, bawang, nangka, kambing, dan domba. Perbedaan nilai akhir komposit secara berurutan tidak berbeda nyata p 0,05. Urutan komoditi dari sangat sampai kurang potensial dominan lahan kering :  Kec. Tunjungan meliputi: padi, jagung, sapi potong, kayu jati, mangga, ayam buras, kacang-kacangan, pisang, umbi-umbian, cabe, jambu, dan kambing, berbeda nyata p 0,05 dengan urutan di desa kajian.  Desa kajian : Kalangan, Tambahrejo, Kedungrejo, meliputi komoditas : padi, jagung, sapi potong, ayam buras, mangga, kacang-kacangan, pisang, umbi- umbian, cabe, jambu, kambing, durian, dan kayu jati. Perbedaan nilai akhir komposit secara berurutan tidak berbeda nyata p 0,05. Urutan komoditi dari sangat sampai kurang potensial dominan lahan kering :  Kec. Todanan, meliputi : padi, sapi potong, jagung, kayu jati, pisang, ayam buras, umbi-umbian, nangka, rambutan, cabe, bawang, durian, dan kambing, berbeda nyata p 0,05 dengan urutan di desa kajian.  Desa Kajengan, Sambeng, Kedungwungu, meliputi : padi, sapi potong, jagung, ayam buras, pisang, umbi-umbian, nangka, rambutan, cabe, bawang, kambing, durian, dan kayu jati. Perbedaan nilai akhir komposit secara berurutan tidak berbeda nyata p 0,05. Nilai parsial tingkat desa sama pada komoditas padi dan sapi potong, untuk semua indikator aksebilitas terhadap : a kelayakan usaha 1,2; b input produksi dan adanya program pemerintah 1,2 ; serta c pemenuhan kebutuhan pokok 0,9, kecuali padi 1,2. Nilai parsial untuk komoditas jagung, ayam buras, dan pisang, sama untuk indikator aksebilitas terhadap : a kelayakan usaha 0,9; b input produksi dan program pemerintah 1,2 ; c pemenuhan kebutuhan pokok 0,9, kecuali untuk pisang 0,60. Nilai parsial untuk komoditas umbi-umbian dan nangka sama untuk semua indikator aksebilitas terhadap : a kelayakan usaha 0,6; b input produksi dan program pemerintah 1,2 ; serta c pemenuhan kebutuhan pokok 0,3. Nilai parsial untuk komoditas rambutan dan cabe sama untuk semua indikator terhadap : a kelayakan usaha 0,6; b input produksi dan program pemerintah 0,8 ; c pemenuhan kebutuhan pokok 0,6, kecuali pada cabe 0,3. Investasi Fisik P4MI dan Produksi Pangan Investasi Fisik P4MI Program P4MI bertujuan meningkatkan pendapatan petani lahan marginal Kab. Blora. P4MI dilaksanaan sejak tahun 2003 dan berakhir Desember 2009. Seluruh desa 295 di Kabupaten Blora terjangkau program P4MI. Kekurangan air sebagai masalah pokok usahatani dan pembangunan pertanian di Kab. Blora. Investasi fisik desa-desa di Kab. Blora seluruhnya berupa irigasi sederhana, tidak memperluas lahan pertanian tetapi menyebabkan perluasan lahan yang dapat diairi, karena hampir seluruh lahan pertanian telah dimanfaatkan oleh petani. Tabel 82. Prasarana pendukung IP padi 100, 200, 300 pembangunan P4MI Kec. Desa Tahun Prasarana pengairan Keterangan Kedungtuban Dominan lahan sawah Gondel 2007  sumur gali 80 buah Panolan 2007  pompanisasiglontoran dari sungai 1 unit Klagen 2007  glontoranpompanisasi, saluran irigasi 1 unit1unit, 3500 m Kemantren 2007  pembangunan cekdam 1 unit, 360 m2 Cepu Dominan lahan sawah Getas 2004  bangun saluran irigasi 1225 m Jipang 2006  bangun saluran irigasi, pompa air 450 m, 1 unit Ngloram 2007  embung dan pompanisasi 4200 m2 Bogorejo Dominan lahan kering Nglengkir 2004  pembangunan check dam 1 unit Tempurejo 2007  renovasi bendungan desa 520 m2 Tunjungan Dominan lahan kering Tambahrejo 2004  embung, sal. embung, gorong-gorong 2 unit, 800 m2 Kalangan 2005  bangun cekdam-saluran, pompanisasi 1 unit, 301M2,181 m Kedungrejo 2007  cekdam - pompanisasi, sumur gali 2 unit, 34 buah Todanan Dominan lahan kering Kajengan 2003  keruk bendungan, bangun sal. irigasi 30800 M3, 413 m Kd.wungu 2005  rehabilitasi - bangun saluran irigasi 639,65 m Sambeng 2006  embung, saluran irigasi, pompanisasi  renovasi check dam 2 unit1800m 3 675 m 3 120 m, 3000 m 3 Japah Dominan kawasan hutan Ngiyono 2007  pembangunan cekdam 900 M3 3 Buah Sumberejo 2007  pembangunan cekdam, sumur gali 320 M21 bh, 25 buah Randublatung Dominan kawasan hutan Ngliron 2004  bendungan sungai Ngliron 1 unit Kediren 2007  sumur gali 75 buah Jiken Dominan kawasan hutan Bleboh 2003  bendung sungai desa, sal. irigasi 1 Unit2Mx18 m 412 m Nglebur 2005  pembangunan cekdam 1 unit, 291,3 M2 Sumber : P4MI Kab. Blora dan P4MI Badan Litbang Pertanian 2008 P4MI memfasilitasi pembangunan pengairan dan berhasil melonggarkan kendala pembangunan pertanian. Investasi pengairan dapat dikelompokan menjadi irigasi : 1 checkdam, 2 sumur, 3 embung, 4 glontoran, 5 checkdam dan sumur, 6 embung dan sumur 7 checkdam dan embung Tabel 18. Embung merupakan jenis investasi irigasi yang dibangun untuk menampung air sumber maupun air hujan, dengan membangun semacam waduk kecil. Air yang tertampung di embung dialirkan ke sawah yang lebih rendah, atau dipompa dengan mesin. Bahkan, air dapat mengairi sawah yang jaraknya 1 - 6 km dari embung dengan memompa dan membangun saluran air. Checkdam dapat disamakan dengan bendung. Petani memanfatkan air sungai di desanya dengan membangun bendungan. Sungai tersebut merupakan saluran pembuangan. Air dari bendungan dialirkan ke sawah yang lebih rendah atau menggunakan pompa untuk lahan pertanian yang letaknya lebih tinggi dari checkdam. Glontoran merupakan pemanfaatan air sungai yang dipompa dan dialirkan langsung ke lahan pertanian. Investasi irigasi glontoran terutama terdapat di desa yang dilalui sungai Bengawan Solo. Air yang bersumber dari Bengawan Solo dapat tersedia sepanjang tahun. Dana investasi dipergunakan untuk membangun saluran air dari beton, mesin pompa air beserta peralatannya serta rumah mesin. Desa yang tidak banyak mempunyai sumber air atau tidak dilalui oleh aliran sungai mengajukan pembangunan jenis irigasi sumur, terutama sumur gali disamping sumur pantek. Penggunan sumur diutamakan pada MT III dan MT II khususnya untuk tanaman jagung dan hortikultura. Produksi Pangan Dampak awal dari pemanfaatan investasi irigasi dapat dilihat dari perubahan pola tanam yang meningkatkan luas tanam, perubahan intensitas tanam, peningkatan produksi dan pendapatan usahatani, serta keanekaragaman tanaman. Tanaman utama sebelum investasi irigasi 2003 adalah padi dan jagung. Dengan adanya ketersediaan air melalui investasi irigasi, tanaman padi menjadi sasaran utama pengembangan usahatani. Pekembangan luas tanaman padi terutama pada musim tanam MT II ± 65 , bahkan penanaman padi pada MT III cukup optimal ± 800 Ananto et al 2009, terutama pada zona agroekosistem dominan lahan sawah di Kec. Kedungtuban dan Cepu, serta Kec. Todanan. Luas tanaman padi secara keseluruhan dalam setahun meningkat sebesar ± 40 , dan masih sangat dimungkinkan akan terjadi perluasan tanaman padi di masa-masa mendatang karena hasil investasi tahun terakhir 2008 belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Tanaman pangan kedua adalah jagung, terjadi pergeseran luas tanaman jagung MT I dan MT II karena tergeser oleh tanaman padi Gambar 16. Pergeseran luas tanaman jagung oleh tanaman padi tidak mengurangi luas total tanaman jagung, bahkan secara keseluruhan masih meningkat ± 40 , terutama pada zona agroekosistem dominan lahan kering di Kec. Bogorejo, Tunjungan. Peningkatan terutama terjadi pada MT III sebesar ± 40 , jagung masih merupakan tanaman penting kedua setelah padi bahkan masih mengalami peningkatan yang tinggi, karena sumber karbohidrat kalori masyarakat Blora, terutama pada usia tua sebagai bahan makanan. Kehadiran pengairan irigasi sederhana tidak hanya meningkatkan luas tanaman padi dan jagung, tetapi petani yang mencoba mengusahakan tanaman hortikultura, terutama bawang merah, cabe dan semangka cukup meningkat tajam ± 500, pada MT1 ± 100; MT2 ± 750, dan MT3 ± 500 Ananto et al 2009, terutama pada agroekosistem dominan lahan kering di Kec. Bogorejo, Tunjungan. Tanaman kacang-kacangan yang diusahakan adalah kacang putih, kacang merah yang tahan kekeringan, kedele, kacang tanah dan kacang hijau. Peningkatan luas areal pada MT III berdampak pada penyebaran luas tanaman antar musim relatif sama, memberikan indikasi bahwa investasi irigasi meningkatkan kesempatan bekerja di MKIII, dan memungkinkan berkurangnya tekanan musim paceklik. Gambar 11. Perubahan luas tanam setelah investasi fisik 2008 -200 -100 100 200 300 400 500 600 700 800 900 MT 1 MT 2 MT 3 T ahun MT Padi Jagung Sayuran Kacangan Gambar 52. Perkembangan indeks pertanaman 10 20 30 40 50 60 70 100 150 - 200 250 - 300 350 - 400 400 IP P e rs e n pra investasi post investasi Ada perubahan Intensitas Pertanaman IP di daerah sasaran investasi, dimana sebelum investasi proporsi desa dengan IP antara 250 sampai 300 cukup dominan sebesar 36 , dan keadaan pada 2008 menurun menjadi 25, tetapi terjadi peningkat menjadi 60 pada IP antara 350 sampai 400 Gambar 17, terutama pada pola padi – padi – sayuransemangka, atau padi – jagung - sayuran 400 IP 300, sehingga akan berpengaruh terhadap produktivitas pangan, hortikultura. Peningkatan IP ini masih mungkin terjadi karena sebagian desa, baru menyelesaikan investasi desa pada tahun 2008. Investasi irigasi meningkatkan luas pertanaman, intensitas tanam dan perubahan pola tanam dalam setahun. Pekembangan luas tanaman padi pada musim tanam MT II ± 65 , bahkan pada MT III cukup optimal ± 800 Gambar 17, tetapi terjadi pergeseran luas tanaman jagung MT I dan MT II karena tergeser oleh tanaman padi, sehingga berdampak terhadap peningkatan produksi padi, dan penurunan produksi jagung Gambar 18 pada seluruh wilayah kajian. Gambar 17. Produksi padi dan jagung 2005 - 2006 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 Padi Sawah Jagung Sawah Padi L.kering Jagung L.kering Padi hutan Jagung hutan Dominan T o n 2005 2006 Gambar 16. Produksi padi pada 3 agroekosistem 2003 - 2006 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 Kd.tuban Bogorejo T odanan Jiken Rdblatung Kec. T o n 2003 2004 2005 2006 Dengan adanya penambahan pembangunan infrastruktur irigasi, seperti cekdam, bendungan, embung, sumur galian, saluran irigasi, pompanisasi sejak tahun 2003, dan berfungsi secara optimal terasa sangat bermanfaat pada keluarga petani, terutama pada musim kemarau, sehingga kontinuitas usahatani dan indeks pertanaman IP dapat meningkat IP » 300. Peningkatan areal luas tanam dan produksi perwilayah, atau produksi ton pada komoditi padi sawah berdasarkan 3 zona agroekosistem Gambar 19, yaitu dominan lahan sawah Kedungtuban, dominan lahan kering Bogorejo, seimbang lahan sawah dan lahan kering Todanan, serta dominan kawasan hutan Japah, Randublatung. Sedangkan produksi sayuran bawang, mentimun, cabai, tomat, kacang-kacangan, terong, bayam, kangkung Gambar 20 yang di tanam terlihat sejak 2004 adanya investasi desa, walaupun tidak terjadi peningkatan hari hujan dan curah hujan mm selama 2003 – 2007 di Kabupaten Blora BPS dan Bappeda Blora, 2007. Pengembangan Usaha Alsintan Investasi irigasi yang dibangun P4MI akan meningkatkan luas pertanaman, intensitas tanam dan perubahan pola tanam dalam setahun, sehingga berdampak terhadap pengembangan berusaha di desa-desa kajian. Jenis usaha yang diamati adalah jenis usaha yang tumbuh sendiri spontan yang diperkirakan sebagai respon demand driven terhadap perkembangan usahatani setelah pelaksanaan investasi desa. Untuk jenis usaha tertentu mudah dilihat, misalnya jenis usaha jasa pengolahan tanah dengan traktor dan usaha penggilingan beras Rice Mill. Tetapi untuk jenis usaha pompa air ukuran kecil kurang dari 5 PK relatif sulit untuk membedakan antara pengusahaan pompa air untuk kegiatan usahatani sendiri dan sebagai usaha jasa pompa air. Sangat dimungkinkan seorang pengusaha pompa, traktor dan sebagainya mempunyai lebih dari satu alsintan. Oleh karena itu dalam Gambar 12. Produktivitas sayuran Kab. Blora 2003 - 2007 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2003 2004 2005 2006 2007 T ahun P ro d u k si bawang cabai timun tomat kacang2 an terung bayam kangkun g melihat perkembangan berusaha tidak dapat diamati langsung dari perkembangan jumlah usaha tetapi didekati dengan menggunakan indikator perkembangan jumlah alsintan. Dampak yang terlihat jelas bahwa investasi irigasi menimbulkan perkembangan penggunaan alsintan secara berantai mulai di sektor hulu pompa air, traktor tangan sampai ke sektor hilir thresher, rice mill dan jasa angkutan. Jumlah pompa air dari berbagai jenis telah mengalami peningkatan cukup besar, atau meningkat hampir tiga kali lipat ± 259 . Jenis pompa yang dipergunakan untuk mengairi sawah sendiri terutana jenis pompa air dengan tenaga kurang dari 5 PK, dipergunakan untuk sawah yang dekat dengan sumber air, seperti sawah dekat checkdam atau embung. Ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlah pompa air yang kapasitas tenaganya semakin besar, pompa dengan kekuatan 5,5 PK meningkat ± 229 , pompa dengan kekuatan 8,5 PK meningkat ± 325 dan pompa air berkekuatan diatas 10 PK meningkat ± 660. Perkembangan usaha pompa dengan jenis pompa air diatas 10 PK antara lain ditujukan untuk melayani sawah yang semakin jauh dari sumber air. Bahkan untuk sawah yang jauh dari sumber air dan terletak lebih tinggi dari sumber air dilakukan pemompaan secara berjenjang. Dari sumber induk, air dipompa dan dialirkan melalui saluran atau selang ke bakkolam penampung yang jaraknya 2 – 7 km, dan dari bakkolam penampungan air di pompa lagi dan dialirkan ke sawah petani. Sistem upah jasa pompa air berlaku upah per jam, atau bagi hasil. Pelayanan pompa kecil sampai sedang menggunakan upah per jam, antara 10.000 - 20.000 rupiah per jam. Perbedaan upah terutama ditentukan oleh besar kekuatan mesin, semakin besar kekuatan mesin semakin tinggi upah per jam, namun pemompaan air dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat. Analisa yang dilakukan petani diuntungkan dengan adanya pompa, analisa kelayakan usaha pompa memberikan gambaran bahwa usaha pompa memberi keuntungan bagi pelaku usahanya. Pengupahan jasa pompa air dengan sistem bagi hasil telah diterapkan oleh swasta sebelum pelaksanaan investasi desa P4MI. Besar upah bagi hasil untuk penanaman padi musim hujan sebesar 16 hasil padi dan 15 untuk penanaman padi MT II. Pengupahan sistem bagi hasil masih dipergunakan pada kegiatan pengairan milik kelompok terutama jenis glontoran dengan bagi hasil 17 untuk penanaman padi musim hujan MT I dan 16 untuk penanaman padi MT II. Investasi irigasi di seluruh desa memperoleh dana dari P4MI dan tidak ada kegiatan pembangunan irigasi oleh kegiatan program lain. Perkembangan pompa air merupakan dampak investasi dari kegiatan P4MI. Artinya penggunaan pompa meningkatkan pemanfaatan air ke areal lahan yang lebih luas dan lebih jauh dari sumber air, didukung dengan semakin meningkatnya penggunaan pompa air dengan tenaga diatas 10 PK, analisa kelayakan memperlihakan bahwa jenis pompa 5,5 PK, 8,5 PK maupun diatas 10 PK layak secara finansial. Perkembangan usaha jasa traktor yang relatif pesat antara lain : a. adanya per-mintaan jasa pengolahan tanah yang besar setelah pelaksanaan investasi irigasi ; b. upah mengolah dengan traktor lebih murah dibandingkan membajak dengan sapi; c. pengolahan tanah sampai siap tanam dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Ada 3 jenis traktor yang digunakan yaitu traktor dengan tenaga 6,5 PK, 8,5 PK dan tenaga diatas 10 PK. Proporsi traktor tangan dengan tenaga 6,5 PK pada tahun 2008 meningkat sebesar ± 5 . Traktor tangan dengan kekuatan 8,5 PK meningkat ± 50, dan traktor yang berkekuatan diatas 10 PK meningkat ± 40. Perkembangan traktor kecil relatif lambat dibandingkan perkembangan traktor dengan kekuatan yang lebih besar. Traktor bertenaga kecil 6,5 PK umumnya hanya dipergunakan untuk membajak dengan upah Rp. 450.000,- per hektar. Traktor tangan dengan tenaga yang lebih besar dipergunakan untuk membajak sampai siap tanam dengan upah Rp. 700.000,- sampai dengan Rp. 800.000 per hektar. Penggunaan jasa pengolahan tanah dengan traktor tangan lebih murah dan lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan tenaga ternak sapi. Disamping itu, sebagian besar pengusahaan ternak sapi adalah usaha penggemukan dengan pola bagi hasil, sehingga penggunaan tenaga ternak akan menghambat pertumbuhan sapi dan belum tentu diijinkan pemiliknya. Perkembangan usaha jasa traktor antara lain diakibatkan oleh ketersediaan air dan berkembangnya usaha jasa pompa air. Dalam perkembangan selanjutnya bahwa air yang dibangun tidak hanya untuk lahan sasaran tetapi digunakan diluar sasaran bahkan oleh petani luar desa. Ketersediaan air telah membuka peluang berkembangnya usaha jasa traktor, hasil analisa finansial menunjukan usaha jasa traktor memberi keuntungan yang cukup baik. Hasil analisa kelayakan finansial menunjukkan bahwa usaha jasa traktor dengan tenaga 8,5 PK atau lebih layak dilakukan. Selain itu usaha jasa pengolahan traktor tangguh terhadap kenaikan harga BBM dan pelumas sebesar 20 . Secara garis besar, alat perontok padi yang digunakan dapat dibedakan antara alat perontok manual dan thresher mesin. Perontok padi manual juga disebut pedal thresher, pada tahun 2008 meningkat ±145, unit atau meningkat dua kali lebih. Pedal thresher, karena perontok padi ini digerakkan oleh tenaga manusia dengan jalan mengayuh pedal. Pedal thresher dibuat dari kayu jati, dan untuk memutar perontoknya dipasang rantai dan pedal seperti halnya pada sepeda, dan rangkaian rantai dan pedal dipasang di kanan dan kiri thresher dan dikayuh oleh dua orang. Penggunaan dan perkembangan perontok manual yang tinggi antara lain disebabkan tersedianya bahan baku kayu jati, pembuatannya relatif mudah dan dapat dibuat oleh tukang di dalam desa, harganya 250.000 - 300.000 rupiah per unit. Dengan harga yang relatif murah tersebut, para buruh panen secara berkelompok maupun perorangan dapat membeli perontok manual. Para buruh panen padi berkelompok sekitar 8 orang, diperlengkapi 1 unit perontok padi manual. Thresher manual yang dipergunakan oleh buruh diberi imbalan oleh pemilik sawah sebesar Rp. 10.000 per unit per hari. Sedangkan upah buruh panen sebesar Rp. 35.000 per hari. Menurut para petani, dalam satu musim panen sudah kembali modal. Sedangkan thresher mesin pada tahun 2008 hanya berjumlah 25 buah, umumnya dimiliki oleh para penebas padi. Penggilingan padi atau rice mill sudah lama dikenal di pedesaan Blora, saat ini ada dua jenis jasa pengolahan beras yaitu RMU duduk dan RMU berjalan. RMU duduk yaitu penggilingan yang dibangun di lokasi tertentu yang meliputi mesin pemecah kulit dan mesin pemutih, sedangkan RMU berjalan berupa seperangkat mesin penggilingan padi dengan menggunakan satu mesin untuk pemecah kulit maupun mesin pemutih yang di pasang pada semacam bak mobil sehingga dapat bergerak dibawa dari tempat satu ke tempat lain. Pada RMU duduk, petani yang akan menggilingkan harus membawa gabahnya ke tempat penggilingan atau dijemput oleh pengusaha penggilingan. Sedangkan pada RMU berjalan, petani hanya menunggu di rumah, dan RMU berjalan mendatangi rumah petani dan langsung mengolah gabahnya. RMU berjalan mulai awal tahun 2000 dan tampaknya berkembang relatif pesat, meskipun diperoleh informasi bahwa kualitas beras hasil olahannya kurang baik. Petani menyukai RMU berjalan karena dapat mengolah dalam jumlah kecil untuk konsumsi sendiri. Pengembangan Usaha Ternak Investasi irigasi telah merubah pola tanam, meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani serta mengurangi masa paceklik pangan dan pakan. Pengurangan masa paceklik pangan dan pakan merupakan faktor penting dalam pengembangan ternak di daerah pedesaan Blora. Perluasan tanaman di MT II dan MT III meningkatkan penyediaan pakan bagi pengembangan ternak. Perkembangan ternak di pedesaan mulai membawa ke arah komersialisasi pakan. Pada masa panen padi dan jagung, para peternak membantu panen dengan upah jerami, daun jagung dan kelobot jagung untuk pakan. Peningkatan populasi sapi, kambingdomba di Blora sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakan dan pangan. Blora merupakan daerah sentra ternak sapi dan kambingdomba, sebagian besar masyarakat di desa P4MI memperoleh bantuan dana untuk pengembangan ternak kambing dan domba. Usaha ternak merupakan salah satu bentuk usahatani non land base. Dengan demikian pembangunan pengembangan peternakan akan bermanfaat bagi keluarga miskin yang tidak memiliki lahan. Tujuan pemeliharaan ternak bagi keluarga miskin terutama berfungsi sebagai tabungan. Sebelum ada investasi irigasi, luas pertanaman pada MT III sangat terbatas. Pada saat itu terjadi masa paceklik, pekerjaan di desa dan ketersediaan pakan sangat terbatas. Pada masa paceklik itulah, peternak ramai-ramai menjual ternaknya untuk memenuhi kebutuhan keluarga selain kesulitan mencari pakan, sehingga harga ternak murah. Setelah ada investasi irigasi, masa paceklik berkurang. Pada MT III, tersedia pekerjaan maupun pakan. Pada situasi seperti itu, tekanan pada peternak untuk menjual ternaknya berkurang. Pengelolaan ternak dari dana P4MI dilakukan melalui sistem perguliran dan aturannya disusun sendiri berdasar musyawarah. Setiap peternak menerima 5 ekor kambing betina dara atau siap kawin dan seekor kambing jantan. Skala usaha ternak kambing sebanyak 5 ekor betina ini ikut menentukan kecepatan perkembangan kambing, dalam 2 tahun, seekor kambing betina beranak 3 kali. Menggunakan estimasi rendah, pada tahun pertama beranak 1 kali maka diperoleh 10 anak kambing, 5 ekor betina dan 5 ekor jantan. Dengan jumlah anakan tersebut, peternak dapat menahan laju penjualan kambing yaitu hanya menjual anak kambing jantan saja, sehingga memungkinkan anak kambing betina dapat tumbuh dewasa dan beranak pada pada umur 2 sampai 3 tahun. Dalam 2 tahun induk kambimg beranak 3 kali atau mempunyai anak 30 ekor. Dari penjelasan peternak bahwa kambing betina setelah disapih banyak yang dijual ke tetangganya dengan harga Rp. 250.000,- per ekor. Usaha ternak kambing bantuan sebanyak 5 ekor betina dan seekor jantan per keluarga telah berkembang pesat sebagai dampak investasi irigasi yang mampu meningkatkan pendapatan, mengurangi masa paceklik pangan dan pakan. Akan tetapi pengembangkan kelembagaan sistem perguliran kurang berhasil sehingga menyebabkan tidak meratanya penerimaan kambing bantuan P4MI. Kerawanan Pangan dan Diversifikasi Pangan Kemiskinan menyebabkan kerawanan kronis, lebih terkait dengan dimensi penyebab kerawanan pangan di tingkat keluarga dan individu. Kondisi rawan pangan di tingkat keluarga, umumnya akibat keterbatasan fisik lokasi terpencil atau terisolasi, atau keterbatasan ekonomi daya beli untuk memperoleh pangan yang cukup. Kondisi rawan pangan di tingkat individu, disebabkan antara lain oleh konsumsi yang tidak memadai, morbiditas kondisi tidak sehat, kurangnya akses terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan, rendahnya sanitasi lingkungan, kurangnya pengetahuan dan kesadaran kesehatan dan gizi. Kerawanan pangan di tingkat desa, kecamatan akibat ketidakmampuan memproduksi, mendistribusikan keseluruh masyarakat dengan harga yang terjangkau. Penaggulangan kemiskinan, kerawanan pangan, dan pengurangan kesenjangan ketahanan pangan antar desa, kecamatan, menghadapkan para perencana dan pengambil keputusan pada tantangan yang cukup besar. Karena masalah kemiskinan bersifat heterogen spasial, dimana masyarakat miskin cenderung berkelompok pada wilayah-wilayah tertentu, dan data agregat kabupaten cenderung tidak memperlihatkan variasi antar desa, kecamatan. Riil kenyataan di lapangan, penjabaran data kerawanan pangan atau kemiskinan di tingkat desa mampu memperlihatkan informasi lebih tajam. Kabupaten yang secara agregat terlihat baik ternyata bisa mempunyai kecamatan- kecamatan, desa-desa rawan pangan dan kemiskinan. Sebaliknya kabupaten yang secara agregat rawan pangan dan kemiskinan tinggi ternyata bisa mempunyai kecamatan-kecamatan, desa-desa dengan ketahanan pangan baik. Untuk mengetahui benar tidaknya premis di atas dilakukan pengukuran kerawanan pangan desa, kecamatan. Pengukuran mengadaptasi Bappeda dan BPS Blora 2009 berdasarkan indeks komposit. Indeks komposit berasal dari : 1 ketersediaan pangan, 2 akses pangan dan penghasilan, 3 pemanfaatan pangan, dan 4 kerentanan pangan. Indeks Komposit Kerawanan Pangan Hasil analisis tingkat kerawanan pangan desa, kecamatan wilayah kajian menunjukan bahwa masalah pangan bukan menjadi hal yang mengkhawatirkan. Karena tidak ada desa dan kecamatan masuk kategori rawan pangan, tidak ada perberdaan nyata p 0,05. Indeks komposit kerawanan pangan desa pada kategori tahan pangan TP 50,00, dan sangat tahan pangan STP 50,00. Untuk agro ekosistem desa dominan sawah, kategori TP 42,86, dan STP 57,14. Dominan lahan kering, kategori STP 62,50, dan TP 37,50. Dominan kawasan hutan, kategori STP 28,57, dan TP 71,43 Tabel 83. Tabel 83. Kategori indeks komposit kerawananketahanan pangan Wilayah Kategori kerawanan pangan Total STP TP Dominan lahan sawah  Kecamatan  Desa 0 0,00 4 57,14 2 100,00 3 42,86 2 100,00 7 100,00 Dominan lahan kering  Kecamatan  Desa 2 66,67 5 62,50 1 33,33 3 37,50 3 100,00 8 100,00 Dominan kawasan hutan  Kecamatan  Desa 1 33,33 2 28,57 2 66,67 5 71,43 3 100,00 7 100,00 Wilayah kajian  Kecamatan  Desa 3 37,50 11 50,00 5 62,50 11 50,00 8 100,00 22 100,00 Ket. : 0,16 = sangat tahan pangan STP, 0,16 ≤ x 0,32 = tahan pangan TP, Range indeks kerawanan pangan berdasarkan kriteria World Food Programme WFP. Indeks : a 0,16 : sangat tahan pangan STP, b 0,16 ≤ x 0,32 : tahan pangan TP, c 0,32 ≤ x 0,48 : cukup tahan pangan CTP, d 0,48 ≤ x 0,64 : agak rawan pangan ARP, e 0,64 ≤ x 0,80 = rawan pangan RP, dan f » 0,80 : sangat rawan pangan. Indeks komposit kerawanan pangan desa, kecamatan Tabel 10 dari dimensi 1 Ketersediaan pangan, hasilnya surplus pangan 100,00, artinya kebutuhan akan pangan dapat tercukupi dari hasil produksi sendiri. 2 Akses pangan dan penghasilan, hasilnya STP 22,22, TP 66,67, CTP 11,11; artinya masih memprihatinkan, karena jumlah rumah tangga miskin yang masih cukup tinggi 23,82 – 62,82. Pada dimensi lain menggembirakan, karena cukup rendahnya rumah tangga yang belum dapat menikmati akses listrik ± 0,5, yang masih terisolir dengan kondisi jalan yang kurang memadai ± 3,8, masih terdapat status gizi BBTB kurus ± 4,8. 3 Pemanfaatan dan penyerapan pangan, hasilnya STP 22,22; TP 44,45; CTP 33,33; artinya agak mengkhawatirkan. Karena masih sekitar 30 keluarga jauh dari jangkauan Puskesmas jarak 5 km, tetapi di desa telah berdiri poliklinik desa polindes, praktek bidan, dan banyak posyandu. Keluarga miskin masih banyak belum menggunakan air bersih sebagai sumber air minumnya, keculai desa yang telah dijangkau oleh pembangunan air bersih. 4 Kerentanan pangan, hasilnya STP 66,67; TP 33,33. Dimensi ini sangat didukung 54,33 – 88,74 kecamatan, desa yang memiliki hutan jati. Tanaman padi mengalami puso dan keluarga mengalami bencana banjir tidak ada. Jika dibandingkan dengan dimensi lain, kerentanan pangan memiliki rata-rata indeks relatif lebih tinggi, terutama pada dominan lahan sawah dan lahan kering. Hal ini sangat wajar, karena dimensi ini sangat tergantung dari situasi alam, walaupun jarang terjadi puso. Desa dominan lahan sawah sebagian berada ditepian Sungai Bengawan Solo, setiap tahun mengalami musibah banjir kiriman, akan berpengaruh terhadap produktivitas. Pada lahan kering mayoritas lahan sawahnya adalah sawah tadah hujan, sehingga kadang-kadang terjadi puso pada tanaman padi akibat kekurangan air, karena terjadi musim kemarau panjang. Pada daerah dominan kawasan hutan, banjir dan puso kecil peluangnya terjadi, karena penyerapan air atau dapat menyimpan air hujan, bahkan paling tidak akan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya erosi dan kerusakan tanah. Karakteristik lahan pertanian berdasarkan ketersediaan pangan cukup, merupakan prasyarat mutlak untuk ketahanan pangan, dan mencegah terjadinya kerawanan pangan. Perilaku keluarga dalam konsumsi pangan tidak berbeda nyata p 0,05 antar desa, kecamatan. Hal ini menjadi indikator telah menjadi kebiasaan bertindak dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Keluarga petani miskin dengan frekwensi makan 15 kali dalam seminggu 2 – 3 kalihari, selaras hasil BPS dan Bappeda Blora 2006. Konsumsi beras jagung, jagung, dan umbi-umbian berbeda nyata p 0,05 antar desa, kecamatan. Hal ini menjadi indikator belum menjadi kebiasaan bertindak dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Konsumsi beras jagung telah menjadi kebiasaan bertindak masyarakat petani berusia tua, namun sebagian besar belum menjadi kebiasaan bertindak pada usia muda, atau anak-anak dalam Gambar 22. Produksi bahan konsumsi pangan di Kab. Blora 2004 - 2008 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 300.000 350.000 400.000 450.000 2004 2005 2006 2007 2008 T ahun P ro d u k si t o n Padi Jagung ubi-ubian pemenuhan kebutuhan pangan. Konsumsi beras jagung pada usia tua desa dominan lahan kering lebih tinggi dari sawah, karena produksi jagung lebih tinggi dari padi. Beras jagung pada keluarga miskin di wilayah dominan lahan kering, saat kemarau panjang sebagian besar mengkonsumsi. Hal ini tidak mempengaruhi aktifitas kerja, atau kesehatan mereka. Fenomena, pola ini telah berjalan puluhan tahun. Artinya diversifikasi pangan dari beras, beras jagung, jagung, dan ubi kayuumbi-umbian telah terjadi, frekwensi makan mencapai 15 kali dalam seminggu 2 – 3 kalihari memiliki implikasi asupan kalori kategori cukup. Menurut Diskes Blora 2008 tentang gizi anak balita, kasus status gizi BBU kurang ± 12,4, gizi buruk ± 1,6, serta status gizi BBTB kurus ± 4,8. Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan merupakan fungsi dari produksi dan perdagangan pangan. Dimensi ini sangat tergantung pada kondisi alam, merupakan faktor produksi yang tidak dapat diperbaharui. Produksi pangan bergantung pada berbagai faktor, seperti iklim, sifat tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan, dan bahkan insentif bagi para petani untuk menghasilkan tanaman pangan. Pengukuran ketersediaan pangan menggunakan indikator proporsi konsum-si normatif terhadap ketersediaan padi, jagung, dan umbi-umbian yang layak dikonsumsi. Terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan kalori, guna mencukupi gizi sumber kalori. Kondisi ketersediaan pangan diketahui dari produksi netto pangan pokok beras, jagung, dan umbi-umbian. Rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan netto pangan per kapita per hari merupakan petunjuk kecukupan pangan pada satu wilayah kecamatan, desa. Konsumsi normatif adalah jumlah pangan yang harus dikonsumsi per orang per hari untuk memperoleh kilo kalori energi. Pola konsumsi di wilayah kajian menunjukkan bahwa rata-rata seseorang memperoleh 50 keperluan energi harian dari beras, jagung, dan umbi-umbian. Standard kebutuhan kalori per hari per kapita adalah 2.000 kilo kalori, dan untuk mencapai 50 kebutuhan kalori dari beras, jagung, dan umbi-umbian, maka seseorang harus mengkonsumsi ± 300 gram per hari, sebagai nilai konsumsi normatif, atau yang direkomendasikan. Indeks ketersediaan pangan Tabel 84 dominan lahan sawah, lahan kering, hutan kategori surplus tinggi 0,01 – 0,37 100,00, kecuali Kecamatan Cepu surplus rendah 0,76 50,00. Nilai indeks tingkat desa, kecamatan tidak berbeda nyata p 0,05 antar agroekosistem. Kondisi ini wajar, mengingat di wilayah kajian yang masih mengandalkan sektor pertanian PDRB kecamatan ± 58 – 75 terutama pertanian tanaman pangan, atau bahan makanan terhadap perekonomian. Peran sektor pertanian terhadap PDRB product domestik regional bruto Kab. Blora mencapai ± 52 – 55, sumbangan tanaman pangan, bahan makanan terhadap perekonomian mencapai 30 Gambar 62. Tabel 84. Kategori indeks ketersediaan pangan Wilayah Kategori ketersediaan pangan Total surplus tinggi surplus rendah Dominan lahan sawah  Kecamatan  Desa 1 50,00 7 100,00 1 50,00 0 0,00 2 100,00 7 100,00 Dominan lahan kering  Kecamatan  Desa 3 100,00 8 100,00 0 0,00 0 0,00 3 100,00 8 100,00 Dominan kawasan hutan  Kecamatan  Desa 3 100,00 7 100,00 0 0,00 0 0,00 3 100,00 7 100,00 Wilayah kajian  Kecamatan  Desa 7 87,50 22 100,00 1 12,50 0 0,00 8 100,00 22 100,00 Ket : 0,50 = surplus tinggi, 0,50 « x 0,75 = surplus, 0,75 « x 1,00 = surplus rendah Data PDRB per tahun atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha di atas digunakan untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah tingkat pertum- buhan ekonomi, sektoral, perkembangan ekonomi. Salah satu parameter, indikator untuk mengukur daya beli masyarakat adalah pendapatan penduduk. Pendapatan per individu, desa, kecamatan sulit mendapatkan, maka pendekatanya menggunakan data pengeluaran untuk pangan. Semakin tinggi tingkat pendapatan penduduk, maka semakin baik kondisi akses pangannya, dan jika tingkat pendapatan penduduk lebih kecil dari 1095 per tahun, maka semakin rendah atau kategori rendah kondisi akses pangannya. Jumlah Gambar 19. PDRB Pertanian Kab. Blora 2000 - 2004 5 10 15 20 25 30 35 2000 2002 2004 Tahun Pangan Pkbnan Ptnakan Khtanan penduduk masing-masing desa mempengaruhi kualitas indeks ketersediaan pangan. Semakin padat penduduk pada suatu desakecamatan maka kebutuhan akan penyediaan pangan gramkapitatahun tentu saja akan semakin tinggi, seperti Kecamatan Randublatung, atau Desa Bleboh memiliki kebutuhan pangan tertinggi dibandingkan kecamatandesa lain Luasan lahan pertanian sangat mempengaruhi produksi tonha. Investasi irigasi Pemerintah Daerah dan P4MI sejak 2003 meningkatkan luas pertanaman, intensitas tanam dan perubahan pola tanam dalam setahun. Oleh karena itu untuk masalah pangan akan selalu dapat terpenuhi, dan cukup terjangkau bagi masyarakat luas. Ketersediaan pangan yang cukup Gambar 63, 64 merupakan suatu prasyarat yang mutlak untuk ketahanan pangan. Namun perihal itu saja tidak cukup untuk menjamin ketahanan pangan di tingkat keluarga dan individu. Faktor penentu ketersediaan pangan adalah produksi. Produksi dipengaruhi berbagai faktor, seperti iklim, sifat tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan, dan bahkan insentif bagi para petani untuk menghasilkan tanaman pangan. Apabila faktor-faktor di atas tidak diatur, atau majanemen secara baik, sebagaimana mestinya. Maka lambat laun akan terjadi penurunan produktivitas, selanjutnya produksi, dan secara tidak langsung akan menaikkan angka indeks ketersediaan pangan. Masalah yang sangat mendasar bagi kehidupan manusia adalah masalah ketersediaan pangan. Karena tingkat kecukupan konsumsi pangan akan berkorelasi dengan kualitas sumber daya manusia. Maka menjadi tantangan sangat berat pada wilayah yang kurang, tidak potensial dikembangkan, tidak cocok memproduksi pangan dengan hasil tinggi. Sehingga perbaikan matapencaharian masyarakat di wilayah tersebut memerlukan upaya yang sangat nyata. Gambar 20. Ketersediaan pangan pada 3 agrosistem 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 Kd.tuban Cepu Bogorejo T jungan T odanan Japah Rd.blatung Jiken Kec. g r k ap it a th T ersedia pangan Akses Terhadap Pangan dan Pendapatan Akses terhadap pangan diukur menggunakan tolok ukur akses terhadap infrastruktur, yang dapat mempengaruhi kualitas pemenuhan pangan. Sedangkan dimensi pendapatan digunakan tolok ukur tingkat penduduk miskin. Akses pangan bergantung pada daya beli keluarga, yang pada akhirnya merupakan fungsi dari akses sistem nafkah mata pencaharian, berarti terjaminnya penghasilan dalam jangka waktu yang panjang. Artinya kemampuan untuk memperoleh pangan bergantung pada akses terhadap mata pencaharian yang tetap. Mereka yang tidak berpenghasilan tetap dan memadai akan tetap miskin. Kemiskinan merupakan indikator ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan pangan, terutama sumber protein hewani. Artinya jumlah penduduk miskin merupakan gambaran dari penduduk yang tidak memiliki akses yang produktif terhadap nafkah yang memadai. Kelompok penduduk miskin juga mempunyai akses yang relatif lebih rendah terhadap infrastruktur dasar, seperti jalan, listrik, lain. Namun berbeda dengan pembangunan irigasi pedesaan oleh P4MI, atau program listrik masuk desa oleh Pemerintah Daerah. Semakin besar jumlah penduduk miskin, maka semakin rendah pula akses mereka terhadap tingkat yang memadai terhadap pangan, dan semakin tinggi tingkat kerawanan pangan di suatu daerah. Indeks akses terhadap pangan dan penghasilan di Kecamatan Cepu 0,13, desa kajian kategori STP 0,13, TP 0,17 – 0,19 Tabel 85. Kecamatan Kedung- tuban TP 0,21, desa kajian kategori TP 0,17- 0,30, kecuali CTP 0,35 di Desa Gondel. Indeks Kec. Tunjungan STP 0,12, Bogorejo, Todanan adalah TP 0,17, kategori desa kajian adalah STP 0,06 – 0,15 75,00, TP 0,22 – 0,31 25,00. Gambar 21. Ketersediaan pangan desa kajian 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 G o d el P an o la n K la g en K m an tr en N g lo ra m Ji p an g G et as T em p u re jo N g le n g k ir K al an g an T am b ah re jo K d .r ej o K aj en g an S am b en g K d w u n g u S u m b er ej o N g iy o n o B o d eh N g li ro n K ed ir en B le b o h N g le b u r Desa g r k p t th T ersedia pangan Indeks di Kec. Randublatung STP 0,15, Jiken 0,17, dan Japah 0,19 TP, kategori desa kajian adalah STP 0,13 – 0,14 28,57, dan TP 0,17 – 0,37 71,43. Tabel 85. Kategori indeks akses terhadap pangan dan pendapatan Wilayah Kategori akses pangan pendapatan Total STP TP CTP Dominan lahan sawah  Kecamatan  Desa 1 50,00 1 14,28 1 50,00 5 71,44 0 0,00 1 14,28 2 100,00 7 100,00 Dominan lahan kering  Kecamatan  Desa 1 33,33 6 75,00 2 66,67 2 25,00 0 0,00 0 0,00 3 100,00 8 100,00 Dominan kawasan hutan  Kecamatan  Desa 1 33,33 2 28,57 2 66,67 4 57,14 0 0,00 1 14,29 3 100,00 7 100,00 Wilayah kajian  Kecamatan  Desa 3 37,50 9 40,91 5 62,50 11 50,00 0 0,00 2 18,19 8 100,00 22 100,00 Ket. : 0,16 = sangat tahan pangan STP, 0,16 ≤ x 0,32 = tahan pangan TP, 0,32 ≤ x 0,48 = cukup tahan pangan CTP Nilai indeks tingkat desa, kecamatan berbeda nyata p 0,05 antar agro ekosistem. Dimensi ini tergolong cukup rendah, terutama representasi dari persentase penduduk miskin yang tinggi, tetapi dari persentase KK tanpa akses listrik dan jalan tidak memadai cukup rendah. Ada perbedaan nyata p 0,05 indeks tersebut mengindikasikan telah terjadi ketimpangan, atau ketidakmerataan hasil pembangunan, perlu mendapat perhatian baik oleh Pemerintah Daerah Blora, atau Pemerintah Pusat. Kecenderungan telah terjadi ketimpangan, ketidakmerataan pembangunan, indikasi tata pemerintahan yang kurang baik. Hal ini karena kurangnya alokasi untuk akses sektor-sektor utama, kurangnya peluang nafkahpencaharian yang cukup, eksploitasi berlebihan dari sumberdaya alam, penyebab utama kemiskinan. Karena kemiskinan adalah suatu sifat multidimensional, dan juga mencakup kemiskinan „manusia‟ dan „martabat”. Kebijakan dan program pengurangan angka keluarga miskin, pemerintah perlu untuk lebih baik lagi menangani aspek eksploitasi sumber daya alam. Akses terhadap mikro-kredit, seperti kredit garmen bank bagi perempuan keluarga miskin, dan pedagang kecil dengan mekanisme yang sesuai perlu direalisasi dan diperkuat. Hal lain menunjukan, ada tanda-tanda yang menjanjikan dengan menurunnya angka kemiskinan di Kab. Blora Gambar 64. Strategi untuk mengurangi angka keluarga miskin, diantaranya dengan : a Membuat poverty re-duction strategy paper yang diintegrasikan dengan rencana jangka menengah secara berkelanjutan, b Memusatkan perhatian pada penciptaan lapangan kerja yang produktif, karena adanya hubungan antara kemiskinan dengan pasar tenaga kerja pada era pra- krisis. Usaha mengurangi diskriiminasi, penekanan pada pentingnya perlin- dungan sosial. Hal ini untuk mengatasi resiko pasar tenaga kerja, dan membuat suatu sistem hubungan industri yang baik, sebagai bagian dari agenda yang meliputi semua aspek dalam memperkuat lembaga pasar tenaga kerja, c Jaminan sosial yang sesuai dapat mengurangi beban migrasi. Karena orang bermigrasi ke daerah yang mempunyai potensi lapangan kerja lebih besar untuk menghindari musim kelaparan sementara pada musim paceklik. Program bantuan panganraskin danatau padat karya dengan upah uang tunai yang diberikan selama musim paceklik, dapat menangani masalah yang timbul dari migrasi. Jika tingkat kabupaten mengalami surplus tinggi beras, jagung, dan umbi-umbian, maka sebagian dari surplus tersebut dapat digunakan untuk menciptakan asset masyarakat, keluarga, dan cadangan pangan, yang dapat berkontribusi pada nafkahmatapencaharian berkelanjutan. Program bantuan sosial keluarga miskin bersama-sama dengan program tenaga kerja, pembangunan pedesaan, pendidikan dan program berbasis masyarakat, dapat memperbaiki sektor lapangan kerja. Akses infrastuktur sarana jalan hampir semua desa, kecamatan kajian hampir seragam, dengan indikator sangat tahan sampai tahan pangan. Dimensi memiliki jalan yang tidak memadai, hasilnya yaitu 10 STP 75,00; 10 - Gambar 22. Perkembangan keluarga miskin di Kab. Blora 1998 - 2008 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 T ahun , 1 .0 miskin Jlh 10.000 15 TP 12,00, di Kec. Japah 15,7 CTP, dan hanya di Desa Kedungwungu mencapai 33,2 indikator rawan pangan. Sebagian memiliki infrastruktur yang buruk indikator sangat rawan pangan, menghalangi laju perkembangan kecamatan, desa. Sebagian infrastruktur yang lebih baik, akan menarik investasi yang lebih besar pada semua sektor. Hal ini akan memberikan daya dukung terhadap nafkah berkelanjutan. Akses jalan yang baik memberikan akses yang lebih baik ke pasar bagi para produsen, penjual, dan pembeli. Hal ini merupakan penghubung yang penting terhadap pusat pertumbuhan kabupatenkecamatandesa. Jalan yang baik memungkinkan keluarga mengakses pelayanan dasar lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Hal ini sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar demi memperbaiki standar kehidupan. Kecamatan, desa yang terhubungkan dengan baik oleh jalan akan menerima dukungan infrastruktur lain yang memperkuat nafkah masyarakat. Hampir keseluruhan keluarga yang ada di daerah kajian sudah memiliki jaringan listrik, dan akses terhadap penggunaan listrik, tinggal sebagian kecil saja, yaitu Desa Gondel 8,6, Nglebur 4,8. Hanya sebagian kecil keluarga yang belum memakai listrik sebagai alat penerangan, maupun untuk penggunaan yang lain. Dari semua keluarga yang mempunyai akses terhadap listrik tersebut ada sebagian yang belum mempunyai meteran listrik sendiri. Akses terhadap listrik merupakan indikator pendekatan yang baik untuk kesejahteraan ekonomi dan peluang nafkah yang lebih tinggi dari suatu kecamatandesa. Akses terhadap listrik di tingkat keluarga akan memberikan peluang bagi kondisi kehidupan yang lebih baik Kerentanan Pangan Cerminan kondisi rawan pangan sementara dan resiko yang disebabkan oleh faktor lingkungan, akan mengancam kelangsungan kondisi tahan pangan baik jangka pendek, maupun jangka panjang merupakan dimensi kerentanan pangan. Menurut siklus, kerawanan pangan sementara dapat dibagi menjadi dua sub- kategori. Pertama, dimana terdapat suatu pola yang berulang terhadap kondisi rawan pangan, misalnya “musim paceklik” yang terjadi dalam periode sebelum panen. Kedua, sementara, yang merupakan hasil dari suatu gangguan mendadak dari luar pada jangka pendek, seperti kekeringan, atau banjir. Kerentanan pangan dapat mempengaruhi wilayah, keluarga, individu yang berada pada kondisi rawan pangan kronis dan juga yang terjamin pangannya pada keadaan normal. Indeks kerentanan pangan pada kecamatan dominan lahan sawah kategori TP 0,21 Kec. Kedungtuban, CTP Kec. Cepu 0,32 Tabel 86. Untuk desa 0,33 – 0,36, yaitu Desa Kemantren 0,33 dan Gondel 0,45. Desa Panolan RP 0,65, dan Klagen ARP. Desa Panolan dan Klagen letaknya di tepian Sungai Bengawan Solo, bencana banjir sebagai faktor nyata. Indeks pada kecamatan, desa dominan lahan kering kategori TP 0,19 – 0,27 63,64, di Kec. Bogorejo dan desa kajian, serta Kec. Tunjungan. Tetapi di desa Kalangan dan Tambahrejo CTP 0,34, sedangkan di Kedungrejo STP 0,08. Untuk Kec. Todanan dan desa kajian TP 0,19 – 0,27, kecuali Desa Kajengan CTP 0,34. Indeks pada kecamatan, desa dominan kawasan hutan STP 0,01 – 0,11 70,00, yaitu di Kec. Randublatung, Jiken, dan desa kajian. Sedangkan di Kec. Japah 0,21, dan Desa Ngiyono 0,21 TP, dan Desa Sumberejo kategori CTP 0,32. Tabel 86. Kategori indeks kerentanan pangan Wilayah Kategori indeks kerentanan pangan STP TP CTP ARP RP Dominan lahan sawah  Kecamatan  Desa 0 0,0 0 0,0 1 50,0 0 0,0 1 50,0 5 71,4 0 0,0 114,3 0 0,0 114,3 Dominan lahan kering  Kecamatan  Desa 0 0,0 1 12,5 3 100 4 50,0 0 0,0 3 37,5 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Dominan hutan  Kecamatan  Desa 2 66,7 5 71,4 1 33,3 1 14,3 0 0,0 1 14,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Wilayah kajian  Kecamatan  Desa 2 25,0 6 27,3 5 62,5 5 22,7 1 12,5 9 40,9 0 0,0 1 4,5 0 0,0 1 4,5 Ket. : 0,16 = sangat tahan pangan STP , 0,16 ≤ x 0,32 = tahan pangan TP, 0,32 ≤ x 0,48 = cukup tahan pangan CTP, 0,48 ≤ x 0,64 = agak rawan pangan ARP, 0,64 - 0,80 = rawan pangan RP Nilai indeks tingkat desa, kecamatan berbeda nyata p 0,05 antar agro ekosistem. Hutan jati di sebagian wilayah kajian yang masih cukup luas sebagai hutan dataran rendah memiliki keanekaragaman hayati yang paling banyak, serta asset yang tidak ternilai. Hal ini untuk keberlangsungan ketahanan pangan jika didukung faktor iklim yang baik, tetapi hutan produktifnya berkurang dengan cepat. Penurunan luas hutan yang signifikan akan memberi dampak terhadap kerawanan pangan keluarga miskin yang hidup di dalam, atau di dekat daerah hutan. Karena kehidupan mereka bergantung pada keanekaragaman hayati, nafkah, atau mata pencaharian. Hutan jati menjamin ketersediaan kebutuhan pokok bagi keluarga miskin, melalui penyediaan kayu bakar, tumbuhan obat empon-empon, atau sayuran yang dapat dimanfaatkan. Degradasi hutan akan memberi dampak terhadap sumber air, kekurangan air juga akan mempengaruhi sistem pertanian, sehingga berdampak pada ketahanan pangan wilayah dan keluarga miskin. Sebagian desa kajian di Kec. Cepu dan Kedungtuban letaknya di tepian Sungai Bengawan Solo. Bencana banjir sebagai faktor nyata mempengaruhi ketahanan pangan. Peningkatan peristiwa banjir dapat terkait dengan degradasi hutan, akibat angka penebangan hutan yang tinggi dan variabilitas iklim intensitas dan akumulasi curah hujan yang tinggi. Sistem ketahanan pangan di daerah-daerah terkena dampak banjir akan terganggu untuk sementara waktu. Air akan tercemar, dan hal ini akan mengakibatkan bertambahnya resiko penyebaran penyakit yang berkaitan dengan faktor kebersihan. Seperti diare, gejala akut pada sistem pernapasan, respiratori, penyakit kulit, dan yang paling menderita adalah anak-anak, ibu hamil, dan lanjut usia lansia. Variabilitas iklim secara langsung mempengaruhi banyak sisi dari ketahanan pangan, khususnya dalam hal ketersediaan pangan dan distribusi pangan. Banjir dan kekeringan disebabkan oleh besarnya variasi curah di suatu wilayah, berdampak pada pertanian, akan menyebabkan kelaparan sementara bagi kelompok yang rentan dan menderita kerawanan pangan, serta gizi kronis. Terjadinya peristiwa cuaca ekstrim menyebabkan kerugian produksi pangan 1997 – 1998 kekeringan yang panjang telah mempengaruhi daerah tanaman padi. Produksi pangan yang rusak di suatu daerah akibat bencana alam banjir, kekeringan danatau penularan hama dan penyakit tanaman HPT didefinisikan sebagai daerah puso. Jika dibandingkan dengan dimensi lain ketersediaan pangan, akses terhadap pangan pendapatan, pemanfaatan dan penyerapan pangan. Dimensi kerentanan pangan memiliki rata-rata indeks relatif lebih tinggi, terutama pada wilayah kajian dominan lahan sawah dan lahan kering, telah dibahas pada indeks komposit. Pemanfaatan dan Penyerapan Pangan Kecamatan, desa kajian yang sangat tahan, tahan pangan jika ditinjau dari dimensi ketersediaan pangan, akses pangan dan penghasilan, serta kerentanan pangan. Tetapi secara keseluruhan masih akan bergantung pada faktor akses terhadap infrastruktur kesehatan dan fasilitas dasar akses ke air minum yang aman, sanitasi, dan lain, dan dampak dari pemanfaatan dan penyerapan pangan, yang ditunjukan dari status gizi. Indeks pemanfaatan dan penyerapan pangan pada kecamatan, desa dominan lahan sawah kategori STP 0,06 – 0,10 100,00 Tabel 87. Pada dominan lahan kering kategori STP 0,08 – 0,14 63,64, kecuali Desa Tambahrejo 0,18 TP, serta Kec. Todanan dan desa kajian TP 0,18 – 0,29, pengecualian Desa Sambeng STP 0,08. Pada dominan kawasan hutan di Kec. Japah dan desa kajian TP 0,18 – 0,30 100,00, Kecamatan Randublatung 0,17 TP, Desa Bodeh 0,41 dan Ngliron 0,34 CTP, tetapi di Kediren STP 0,12. Sedangkan di Kec. Jiken 0,15 dan Desa Bleboh 0,10 STP, dan Nglebur kategori CTP 0,45. Tabel 87. Kategori indeks pemanfaatan dan penyerapan pangan Wilayah Kategori indeks Total STP TP CTP Dominan lahan sawah  Kecamatan  Desa 2 100,00 7 100,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 2 100,00 7 100,00 Dominan lahan kering  Kecamatan  Desa 2 66,67 5 62,50 1 33,33 3 37,50 0 0,00 0 0,00 3 100,00 8 100,00 Dominan hutan  Kecamatan  Desa 1 33,33 2 28,56 2 66,67 2 28,56 0 0,00 3 42,86 3 100,00 7 100,00 Wilayah kajian  Kecamatan  Desa 5 62,50 14 63,64 3 37,50 5 22,72 0 0,00 3 13,64 8 100,00 22 100,00 Ket. : 0,16 = sangat tahan pangan STP , 0,16 ≤ x 0,32 = tahan pangan TP, 0,32 ≤ x 0,48 = cukup tahan pangan CTP, Nilai indeks tingkat desa, kecamatan berbeda nyata p 0,05 antar agro ekosistem. Pemanfaatan dan penyerapan pangan, aspek persen KK jarak ke Puskesmas » 5 km, KK tanpa akses air bersih, perempuan buta huruf, balita gizi kurang, dan gizi buruk, tercermin melalui indikator gizi dan kesehatan. Keadaan gizi dan kesehatan juga akan bergantung pada jenis pangan yang dikonsumsi dan diserap oleh tubuh. Apabila pangan yang dikonsumsi mengandung semua komponen pokok kalori, protein, lemak, vitamin, mineral yang diperlukan, susunan bahan pangan yang seimbang, pengetahuan tentang gizi dan pola makan yang baik untuk pertumbuhan, memungkinkan penyerapan pangan yang tepat ke dalam tubuh. Hasil penyerapan pangan yang tepat adalah kehidupan individu yang panjang dan produktif di masyarakat. Penyerapan pangan juga bergantung pada keadaan kesehatan individu, pasokan air yang aman, sanitasi lingkungan, dan higiene. Pengetahuan ibu dan pengasuh tentang gizi dan kesehatan yang baik akan mempengaruhi status gizi anak-anak. Hal ini merupakan suatu indikator sangat penting dari pemanfaatan pangan. Konsumsi kalori mengungkapkan bahwa diversifikasi pangan hanya terjadi pada golongan pengeluaran bulanan per kapita Monthly Per Capita ExpenditureMPCE yang lebih tinggi, dan tiga golongan yang paling bawah memerlukan bantuan tambahan melalui skema-skema jaminan sosial untuk meningkatkan konsumsi kalori mereka. Seseorang akan memerlukan pangan dalam kuantitas dan kualitas yang tepat, sanitasi dan higiene yang baik, infrastruktur kesehatan dasar yang baik. Infrastruktur kesehatan, seperti air bersih, pelayanan kesehatan, pengetahuan dasar gizi dan kesehatan, dan lainnya untuk hidup sehat. Sehingga sangat penting untuk meninjau insfrastruktur kesehatan utama yang tersedia di masyarakat. Tanpa akses ke infrastruktur kesehatan dasar, maka penyerapan pangan ke dalam tubuh akan terganggu, mengakibatkan status gizi dan kesehatan yang lebih rendah. Ada dua indikator menggambarkan infrastruktur kesehatan yang mempengaruhi ketahanan pangan individu, yaitu : a persen KK jarak ke Puskesmas » 5 km, b KK tanpa akses air bersih. Kecamatan, desa dengan infrastruktur yang tidak memadai akan berakibat serius pada status gizi dan kesehatan. Sehingga investasi kedua infrastruktur kesehatan harus menjadi prioritas utama untuk kecamatan, desa yang memiliki akses sangat rendah dan rendah. Pelayanan kesehatan yang berpindah- pindah mobile akan sangat bermanfaat di pedesaan. Untuk meningkatkan akses ke air minum bersih, maka sumber-sumber air yang ada dapat dibersihkan dan dilindungi, melalui cara partisipasi masyarakat, dan pembebanan biaya bersama. Wilayah yang secara akut kekurangan air minum, penampungan air hujan dan metode pemurnian dapat digunakan untuk meningkatkan akses ke air minum bersih. Kekurangan gizi pada anak akan menghambat pertumbuhan, mempengaruhi setiap bagian tubuh anak. Hal ini akan meningkatkan resiko yang lebih besar pada anak terhadap berbagai penyakit status morbiditas, bahkan dapat menyebabkan kematian. Menurut World Health Organization WHO, prevalensi berat badan di bawah standard lebih dari 30 pada anak balita di bawah lima tahun masuk kategori tinggi, jika disetarakan dengan akses pangan, yaitu rawan pangan. Pengukuran status gizi anak balita, selain menggunakan berat badan di bawah standard, dapat juga menggunakan tinggi menurut umur, yang dikenal sebagai kekerdilan, kekurangan gizi kronis. Prevalensi kekerdilan lebih dari 40 dianggap sangat tinggi. Kerawanan gizi menghambat pembentukan sistem kekebalan tubuh, akibatnya rentan terhadap berbagai penyakit, dan mengurangi peluang hidup. Indikator kematian dan angka harapan hidup merupakan dampak kesehatan. Persentasi perempuan buta huruf dianggap sebagai indikator kunci bagi status gizi dan kesehatan seorang anak. Karena kekurangan gizi memiliki suatu hubungan yang erat dengan tingkat pendidikan ibu. Kesenjangan jender masih tersebar dalam hal akses dan kontrol terhadap sumberdaya di wilayah kajian. Kesetaraan jender mampu meningkatkan pembangunan, mengurangi kemiskinan. Karena hal tersebut merupakan bagian yang terintegrasi untuk memungkinkan semua lapisan, baik perempuan dan laki-laki untuk keluar dari kemiskinan, dan meningkatkan standar kebutuhan pokok. Perubahan pola hidup yang diperoleh melalui pengetahuan gizi dan kesehatan, peningkatan nafkahmatapencaharian, perawatan sebelum dan setelah melahirkan yang benar, perawatan anak yang sesuai dengan tumbuh kembang anak, akan menjadi jaminan kesehatan dan gizi yang berkelanjutan. Pusat pelayanan terpadu posyandu untuk kesehatan ibu dan anak di tingkat desa, harus memainkan peranan yang sangat penting dalam memastikan jaminan kesehatan dan gizi ibu dan anak. Ada empat kategori utama yang berbeda satu sama lain dalam menilai tindakan sosial keluarga, masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan. Tinjauan aspek lain, selaras penelitian Gunawardani 2002. Tindakan keluarga, masyarakat Kabupaten Blora mengkonsumsi beras, beras jagung, dan umbi-umbian diversifikasi pangan dengan pertimbangan efektif dan efisien ditinjau dari 4 dimensi pengukuran kerawanan pangan. Ada empat kategori utama tindakan tersebut, yaitu : a Rasionalitas instrumental tingkat rasionalitas paling tinggi, meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan dan pertimbangan; b Rasionalitas yang berorientasi nilai tipe tindakan yang mengutamakan nilai- nilai individu yang bersifat absolut, dan tidak jadi masalah jika ternyata nilai akhir malah tidak rasional, c Tindakan tradisional tipe tindakan sosial ini non rasional, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, bertindak sesuai kebiasaan, atau seperti nenek moyang mereka sebelumnya, atau dengan pertimbangan d Tindakan afektif tipe tindakan sosial didominasi perasaan, emosi tanpa refleksi intelektual, atau perencanaan sadar, tindakan ini benar-benar non rasional, kurang pertimbangan logis, ideologis, dan keriteria rasionalitas lainnya. Guna memantapkan, meningkatkan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan, hal-hal berikut perlu direkomendasikan, yaitu :  Peningkatan hasil produksi pangan pokok secara berkelanjutan. Hasil produksi padi, jagung, dan umbi-umbian yang terus meningkat akan menjamin ketersediaan pangan berkelanjutan. Infrastruktur pengairan perlu diperluas atau diperbanyak guna meningkatkan produksi.  Kaitan program ketahanan pangan dengan pengentasan kemiskinan. Identifikasi kondisi rawan pangan jangka pendek dan jangka menengah yang dialami penduduk yang paling rawan pangan keluarga miskin. Pendekatan pemenuhan kebutuhan pokok yang hakiki untuk mengatasi masalah kemiskinan merupakan starategi yang perlu diadopsi dan diimplementasikan. Unsur utama menjamin ketahanan pangan adalah peningkatan pendapatan keluarga miskin. Pertumbuhan sektor pertanian akan menurunkan angka kemiskinan melalui penyerapan tenaga kerja. Agroindustri pedesaan akan menyerap lebih banyak tenaga kerja, sehingga perlu memperluas investasi pembangunan agroindustri pedesaan.  Memperkuat penghidupan masyarakat dengan mengadopsi pendekatan nafkahmatapen caharian yang berkelanjutan. Hal ini perlu dilakukan pada semua sektor yang berkontri busi terhadap peningkatan kualitas hidup dalam tatanan yang berkelanjutan. Inti dari peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan adalah peningkatan produksi pertanian yang menjadi sumber nafkah utama sebagian besar masyarakat, dan menciptakan lapangan kerjausaha untuk merangsang pertumbuhan usaha kecil menengah UKM dan agroindustri pedesaan guna menyerap tenaga kerja dan mengatasi pengangguran. Hasil analisis dan penemuan harus memberikan dasar-dasar untuk pemahaman terhadap prioritas komunitas untuk meningkatkan standar hidup, yang berkaitan dengan pangan, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, papan, pengelolaan sumberdaya alam, keamanan, partisipasi dalam perencanaan, proses, dan pelaksanaan program.  Kecukupan gizi menjadi pola perubahan akhir ketahanan pangan. Kesehatan harus secara tepat ditinjau untuk kecukupan gizi, karena ketahanan pangan tidak berarti secara langsung terjadi kecukupan gizi. Untuk mencapai ketahanan kecukupan gizi, peningkatan pangan yang seadanya dan peningkatan daya beli konsumen belum merupa kan pra kondisi yang memadai. Komponen utama untuk menjamin kecukupan gizi adalah penyediaan air minum bersih dan sanitasi yang sehat, imunisasi lengkap untuk balita, pemantauan tumbuh kembang anak secara teratur dan benar, pemberian pendidik an gizi dan kesehatan yang tepat untuk para ibu. Posyandu melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terkait merupakan komponen layanan lain untuk kecukupan gizi, seperti sosialisasi produk makanan lokal berfortifikasi pendamping ASI, program makanan anak sekolah. Pembahasan Umum Strategi Coping dan Pemenuhan Pangan Keluarga contoh melakukan tindakan kolektif signifikan asosiasi dari stra- tegi coping dalam efisiensi usahatani 63,6; penghematan pengeluaran pangan 58,8, pendidikan 80,0, kesehatan 83,3, lain-lain 71,4; dan peningkatan pendapatan 80,0 pada musim tidak panen. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori tersebut, sebagian besar kategori sedang. Artinya sebagian besar keluarga contoh melakukan strategi coping, dengan harapan akan menguntungkan bagi kehidupan keluarga, dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan pokok, memper-baiki kondisi sosial ekonomi, dan lebih lanjut berpotensi mengatasi kerawanan pangan. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki strategi koping yang lebih baik saat tidak panen berpeluang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan pokok. Setiap kenaikan satu poin skor strategi koping saat tidak panen akan meningkatkan peluang pemenuhan kebutuhan pokok lima kali lebih besar. Perilaku yang dilakukan keluarga contoh dalam memenuhi kebutuhan pangan, yaitu : 1 perubahan konsumsi pangan, 2 meningkatkan pendapatan mencari pekerjaan sampingan, dan 3 penyegeraan akses terhadap pangan. Hal ini berbeda dengan penelitian Usfar 2002 di Purworejo, dimana upaya food coping terdiri dari 3 taraf. Upaya tersebut meliputi: 1 meningkatkan pendapatan, perubahan konsumsi pangan, penyegeraan akses terhadap pangan; 2 penyegeraan akses pembelian tunai, perubahan distribusi dan frekuensi makan, serta melewati hari-hari tanpa makan, 3 langkah drastis. Perbedaan terjadi karena berbeda dari sampel responden yang digunakan. Usfar menggunakan sampel dari berbagai strata sosial ekonomi, berbeda karakteristik, potensi, sumberdaya, serta kurun waktu yang digunakan, bukan daerah marjinal, serta dilakukan pada periode krisis ekonomi 1998. Keluarga contoh melakukan strategi food coping saat terjadi kekurangan pangan dengan cara mengurangi jenis pangan yang dikonsumsi, mengubah prioritas pembelian pangan, dan membeli makanan yang nilainya lebih rendah tadinya nasi menjadi nasi jagung, singkong. Mereka melakukan perubahan pola pengeluaran dengan mengurangi pengeluaran. Hal ini senada penelitian Tanziha 2006, Mutiara 2009, Mardiharini 2002 di Bogor, dimana strategi penghematan merupakan usaha untuk melakukan perubahan pola pengeluaran, dengan mengurangi pengeluaran, untuk mengatasi masa-masa sulit, yaitu mengurangi pembelian pangan. Menurut maxwell 1999, merubah konsumsi pangan adalah yang lazim dilakukan suatu keluarga saat menghadapi kekurangan pangan. Menurut Puspitawati 1998, cara yang dapat ditempuh antara lain dengan berhemat, atau mengganti kebutuhan tersebut dengan alternatif lain yang setara, namun lebih terjangkau. Perilaku lain, mengurangi porsi makan, sesuai hasil Mardiharini 2002, Usfar 2002, strategi food coping yang dilakukan saat terjadi kekurangan pangan adalah dengan mengurangi porsi makan. Upaya pertama yang dilakukan keluarga contoh dalam meningkatkan pendapatan adalah mencari pekerjaan sampingan, atau mencari tambahan pekerjaan. Bagi keluarga contoh yang mempunyai anggota keluarga dalam usia produktif, maka akan ikut berpartisipasi bekerja untuk mencari tambahan pendapatan. Bagi orang tua yang masih kuat, maka mereka akan bekerja lebih keras lagi, agar pendapatannya bertambah. Strategi food coping yang dilakukan selama berada dalam kesulitan pangan adalah dengan mencari tambahan pekerjaan, selaras penelitian Usfar 2002. Adanya keterbatasan pendapatan keluarga menyebabkan penurunan akses pangan yang akan berakibat pada perubahan konsumsi. Pada sebagian keluarga, tindakan yang dilakukan dalam perubahan konsumsi pangan, hampir setiap hari selalu membeli makanan yang lebih murah harganya. Hal ini senada penelitian Mardiharini 2002, hampir setiap hari keluarga miskin perdesaan dan perkotaan membeli makanan yang lebih murah harganya, atau Usfar 2002, bahwa strategi food coping yang dilakukan keluarga selama berada dalam masa kesulitan pangan dengan cara membeli makanan yang lebih murah harganya. Tindakan yang dilakukan keluarga contoh untuk menambah akses segera pada pangan adalah menerima bantuan pangan dari pemerintah. Seperti Bantuan Langsung Tunai BLT tahun 2005, 2008, membeli Raskin, menerima bantuan dari kerabattetangga, atau menerima kupon, berhutang pangan diganti dengan bekerja pada pemberi hutang. Hal ini senada penelitian Tanziha 2006, upaya coping yang dilakukan keluarga miskin saat terjadi kekurangan pangan adalah menerima bantuan pangan dari saudara, Raskin. Menurut Mardiharini 2002, bahwa bentuk bantuan berupa pangan yang lebih sering diterima oleh keluarga sampel, dan selebihnya berupa uang. Artinya, pangan adalah bentuk pemberian yang paling cepat, dan efektif mengatasi kesulitan pangan keluarga yang bersifat sementara. Sedangkan cara pemberian bantuan yang paling banyak adalah dengan harga murah, yaitu memberikan subsidi pangan raskin dan susu peduli. Hasil lain, sebagian keluarga contoh memperoleh pangan dari membeli. Namun sebagian besar keluarga contoh dengan pendapatan yang terbatas memberi konsekuensi melemahnya daya beli terhadap pangan. Segala bentuk strategi food coping yang telah dilakukan sendiri oleh keluarga, tidak menutup kemungkinan banyak bantuan dari berbagai pihak terkait, untuk mengatasi masalah kesulitan pangan keluarga mereka. Penyegeraan akses terhadap pembelian tunai, dilanjutkan dengan perubahan distribusi dan frekuensi makan. Strategi food coping yang dilakukan keluarga contoh dalam menghadapi kesulitan ekonomi. Apabila beberapa usaha yang dilakukan keluarga belum juga dapat mencukupi kebutuhan pangan, adalah penyegeraan akses terhadap pembelian tunai seperti menjual aset yang produktif, terutama hewan peliharaan ayam, kambing, langkah terakhir sapi. Hal ini sangat tepat dilakukan untuk pemenuhan konsumsi pangan keluarga. Senada penelitian Jayaputra 2001, petani miskin di Nusa Tenggara Barat memanfaatkan aset yang dimiliki, seperti alat-alat elektronika, pakaian, alat masak, perhiasan, perabotan rumahtangga dengan cara menjual, untuk mengatasi kesulitan pangan. Menurut Mardiharini 2002 strategi food coping yang dilakukan keluarga miskin saat kekurangan pangan adalah menjual aset dan menggadaikan barang. Corbett 1998 dalam Anonymous 2003a, jika situasi kesulitan pangan dihadapi terus berlanjut, maka keluarga miskin akan menjual peralatan, hewan ternak, aset produktif. Menurut Maxwell 1999 strategi food coping yang dilakukan keluarga pada saat kekurangan pangan yaitu menjual aset yang produktif dan tidak produktif. Hasil penelitian lain, berhutang atau meminjam uang untuk membeli pangan merupakan upaya yang lebih baik dilakukan oleh keluarga contoh daripada meminta-minta. Disamping itu, berhutang ke warung merupakan langkah yang lebih praktis dan mudah, dan akan dibayar pada saat mereka panen yarnen, atau mendapat upah mingguan, bulanan. Kecenderungan meminjam uang dilakukan petani contoh pada kerabattetangga, saudara dekat maupun saudara jauh. Kerabat dekat karena adanya hubungan pertalian darah, adanya kepercayaan dari saudara jauh, sehingga merasa tidak segan dan malu untuk meminjam manakala membutuhkannya. Hal ini senada penelitian Tanziha 2005, Mardiharini 2002, Usfar 2002 dan Masithah 2002, keluarga miskin juga melakukan food coping dengan cara berhutang bahan pangan ke warung dan meminjam sejumlah uang kepada saudara maupun orang lain. Persepsi mereka, cara atau tindakan ini lebih cepat dan praktis untuk mengatasi masalah kesulitan pangan sementara waktu. Gambaran lain, adanya tindakan untuk mendahulukan anak-anak dalam hal memenuhi kebutuhan makanan. Hal ini diupayakan agar tidak terjadi penurunan frekuensi makan hingga satu kali sehari, atau bahkan tidak makan dalam seharian pada anak-anak. Hal ini senada Masithah 2002, Usfar 2002, bahwa anggota keluarga yang diprioritaskan dalam pemberian kebutuhan pangan ketika mengha- dapi kekurangan pangan adalah anak. Menurut Ariani dan Sawit 2000 semenjak krisis ekonomi melanda negeri ini, kejadian penurunan frekuensi pangan pokok juga dialami di ketiga provinsi di Indonesia Jawa Tengah, NTB dan Bengkulu. Pada ketiga provinsi tersebut menurunkan frekuensi konsumsi pangannya dari tiga kali menjadi dua kali sehari. Menurut Jayaputra 2001, menurunkan frekuensi makannya dari tiga kali menjadi dua kalihari, dan hal ini terjadi pada anggota keluarga dewasa. Langkah drastis, taraf 3 Usfar 2002, tidak ditemukan pada keluarga contoh di Kabupaten Blora. Langkah drastis, seperti melakukan migrasi, memberikan anak pada saudara, keluarga berpisah atau bercerai. Hal ini berbeda menurut Tanziha 2006, Usfar 2002, strategi food coping dilakukan keluarga pada saat kekurangan pangan, bila berbagai upaya dilakukan tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan, yaitu melewati hari-hari tanpa makan. Nafkah Berbasis Modal Sosial dan Pemenuhan Pangan Keluarga contoh melakukan asosiasi nafkah berbasis modal sosial aspek kepercayaan 95,8, jaringan sosial 96,2, norma sosial 70,0, sebagian besar sebaran kategori tinggi. Artinya keluarga contoh memiliki kepercayaan yang tinggi dalam menjalin kerjasama antara keluarga dan lingkungannya, serta menjaga hubungan berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan pokok. Selain itu, luas dan dalam sifat jaringan sosial yang dimiliki keluarga contoh, semakin baik lingkungan mendukung dalam memenuhi kebutuhannya. Semakin kuat, luas dan dalam norma sosial yang tidak tertulis berbasis aturan tradisional yang dimiliki keluarga contoh dan lingkungan, maka semakin tinggi peluang dalam memenuhi kebutuhan pokok. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki strategi nafkah berbasis modal sosial yang lebih baik berpeluang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Selain itu setiap peningkatan strategi nafkah yang dilakukan oleh keluarga contoh akan meningkatkan peluang pemenuhan kebutuhan pokok keluarga tiga kali lebih besar. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori nafkah berbasis modal sosial aspek kepercayaan yang sebagian besar kategori tinggi Tabel 88, berkorelasi dengan indeks komposit ketahanan pangan agroekosistemnya. Artinya komponen kepercayaan untuk menjalin kerjasama tanpa saling curiga mempunyai hubungan nyata dengan ketahanan pangan. Tingkat kepercayaan yang tinggi untuk menjalin kerjasama tanpa saling curiga antar keluarga dan lingkungannya, dan dapat menjaga hubungan berkelanjutan, maka semakin tinggi tingkat ketahanan pangan. Jika ada keluarga tidak dapat mengakses pangan secara cukup, maka tetangga, komunitas akan saling membantu agar keluarga tidak rawan pangan. Tabel 88. Ketahanan pangan desa dan nafkah berbasis modal sosial kepercayaan Wilayah domin an Ketahanan pangan desa Kategori kepercayaan keluarga “ TP STP Sedang Tinggi Sawah 3 42,9 4 57,1 17,5 82,5 Lahan kering 3 37,5 5 62,5 10,0 90,0 Hutan 5 71,4 2 28,6 17,5 82,5 Keterangan : : tahan pangan TP; sangat tahan pangan STP : tabel 83 “ : tabel 46 Keluarga contoh melakukan diversifikasi pangan, baik dari beras, bahan olahan beras, beras jagung, jagung, bahan olahan, ubi kayuumbi-umbian, bahan olahan menjadi kebiasaan, atau menu utama, frekwensi makan keluarga miskin mencapai 15 kaliminggu, 2 – 3 kalihari. Terjadi operasi irisan interseksi, di mana irisan dari himpunan A indeks komposit ketahanan pangan desa dan himpunan B kategori nafkah berbasis modal sosial aspek kepercayaan keluarga contoh = A п B = X : x є A dan x є B, A dan B tidak saling lepas, peristiwa bersamaan, interseksi dan operasi irisan besar homofili Gambar 49. Gambar 49. Interseksi ketahanan pangan desa nafkah berbasis modal sosial trust Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori nafkah berbasis modal sosial aspek jaringan sosial yang sebagian besar kategori tinggi Tabel 89, berkorelasi dengan indeks komposit ketahanan pangan agroekosistemnya. Artinya semakin luas dan dalam sifat jaringan sosial yang dimiliki keluarga petani miskin, maka semakin baik lingkungan dalam memenuhi kebutuhan pangan, sehingga akan Ketahanan pangan T rust keluarga contoh Operasi irisan interseksi HOMOFILI semakin tinggi tingkat ketahanan pangan. Kedekatan hubungan karena bertetangga dekat dan hubungan kekerabatan akan mengakibatkan munculnya kepercayaan untuk saling membantu. Luas jaringan yang dimiliki keluarga contoh yang ditunjukkan dengan jumlah hubungan sosial yang dimiliki, dan nafkah berbasis modal sosial memiliki potensi dalam menguatkan ketahanan pangan. Semakin banyak hubungan sosial yang dimiliki keluarga contoh dalam pemenuhan kebutuhan pangan, maka semakin tahan pangan keluarga contoh tersebut. Tabel 89. Ketahanan pangan desa nafkah berbasis modal sosial jaringan sosial Wilayah dominan Ketahanan pangan desa Kategori jaringan sosial keluarga” TP STP Sedang Tinggi Sawah 3 42,9 4 57,1 17,5 82,5 Lahan kering 3 37,5 5 62,5 12,5 87,5 Hutan 5 71,4 2 28,6 15,0 85,0 Keterangan : : tahan pangan TP; sangat tahan pangan STP : tabel 83 “ : tabel 48 Terjadi operasi irisan interseksi, di mana irisan dari himpunan A indeks komposit ketahanan pangan desa dan himpunan B kategori nafkah berbasis modal sosial aspek jaringan sosial keluarga contoh = A п B = X : x є A dan x є B, A dan B tidak saling lepas, peristiwa bersamaan, operasi irisan besar homofili Gambar 50. Gambar 50. Interseksi ketahanan pangan nafkah berbasis modal sosial jaringan Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori nafkah berbasis modal sosial aspek norma sosial yang sebagian besar kategori sedang sampai tinggi Tabel 90, berkorelasi dengan indeks komposit ketahanan pangan agroekosistemnya. Artinya semakin kuat, luas dan dalam norma sosial yang tidak tertulis aturan-aturan Ketahanan pangan J aringan sosial keluarga contoh Operasi irisan interseksi HOMOFILI informal, atau aturan informal berbasis aturan tradisional yang dimiliki keluarga contoh dan lingkungan, akan mendukung dalam memenuhi kebutuhan pangan, dan semakin tinggi tingkat ketahanan pangan. Tabel 90. Ketahanan pangan dan nafkah berbasis modal sosial norma sosial Wilaya h dominan Ketahanan pangan desa Kategori norma sosial keluarga STP TP Re ndah Se dang Tin ggi Sawah 4 57,1 3 42,9 12, 5 30, 57, 5 Lahan kering 5 62,5 3 37,5 7,5 32, 5 60, Hutan 2 28,6 5 71,4 12, 5 30, 57, 5 Keterangan : : tahan pangan TP; sangat tahan pangan STP : tabel 83 “ : tabel 50 Terjadi operasi irisan interseksi, di mana irisan dari himpunan A indeks komposit ketahanan pangan desa dan himpunan B kategori nafkah berbasis modal sosial aspek norma sosial keluarga contoh = A п B = X : x є A dan x є B, A dan B tidak saling lepas, peristiwa bersamaan, interseksi dan operasi irisan besar homofili Gambar 51. Gambar 51. Interseksi ketahanan pangan nafkah berbasis modal sosial norma Ada korelasi strategi nafkah berbasis modal sosial kepercayaan, jaringan sosial, norma sosial keluarga contoh dengan ketahanan pangan desa pada agroekosistemnya Tabel 91. Artinya, ketahanan pangan mempunyai hubungan nyata dengan kepercayaan untuk menjalin kerjasama tanpa saling curiga; luas dan dalam sifat jaringan sosial; kuat, luas dan dalam norma sosial yang tidak tertulis aturan-aturan informal, atau aturan informal berbasis aturan tradisional. Tabel 91. Kategori indeks komposit ketahanan pangan desa dan modal sosial Wil ayah : Ketahanan pangan desa Kategori nafkah basis modal sosial keluarga Ketahanan pangan Norma social keluarga contoh Operasi irisan interseksi HOMOFILI Do minan Trust Jarin gan Norma sosial S TP T P Sa wah 4 57,1 3 42,9 7,5 2,5 7,5 2,5 2,5 0,0 7,5 L. kering 5 62,5 3 37,5 0,0 0,0 2,5 7,5 ,5 2,5 0,0 Hu tan 2 28,6 5 71,4 7,5 2,5 5,0 5,0 2,5 0,0 7,5 Keterangan : : tahan pangan TP; sangat tahan pangan STP : tabel 83 “ : tabel 46, 48, 50 Nafkah berbasis modal sosial berperanan penting dalam mengatasi kerawanan pangan, lebih lanjut mengurangi kemiskinan. Pada suatu komunitas dan kelompok sosial yang berbeda mempunyai beragam simpanan modal sosial untuk dimanfaatkan. Apabila dalam suatu komunitas petani miskin, apabila keluarga dalam komunitas tersebut yakin bahwa simpanan modal sosial yang ada diantara mereka dimanfaatkan. Hal ini, akan mendatangkan keuntungan bagi keluarga, kelompoknya dalam mengatasi kemiskinan. Artinya modal sosial telah terjadi peningkatan. Namun sebaliknya, apabila dalam suatu komunitas terjadi tingkat kekerasan yang tinggi, sehingga anggota komunitas merasa tidak aman. Maka kepercayaan di dalam komunitas pun akan menghilang dan bergeser dengan tingkat kerawanan yang lebih besar, serta kemungkinan simpanan modal sosial pun akan menurun Moser dan Mcllwaine 1997. Lebih lanjut Moser 1996 mengatakan, bahwa berkurangnya simpanan modal sosial dalam komunitas akibat hilangnya rasa kepercayaan dan kerjasama antar anggota komunitas, maupun antara komunitas dengan lingkungannya, baik pemerintah, atau masyarakat yang lebih luas dalam krisis-krisis yang terjadi, sehingga dapat merusak sistem berbasis komunitas untuk memanfaatkan dan memelihara infrastruktur sosial dan fisik. Apabila modal sosial nilai kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial yang ada di dalam keluarga, kelompok, atau masyarakat mampu dimanfaatkan secara optimal, maka simpanan modal sosial akan menguntungkan bagi kehidupanya. Antara lain, memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan keluarga, kelompok, atau masyarakat. Lebih lanjut menjadi potensi dalam mengatasi kerawanan pangan, atau penurunan angka kemiskinan. Menurut Martin et al 2004, rumah tangga miskin responden dengan tingkat kepercayaan, norma sosial, dan jaringan sosial yang rendah, memiliki kecenderungan berada dalam kondisi tidak tahan pangan. Sebaliknya dengan tingkat kepercayaan, norma sosial, dan jaringan sosial yang tinggi cenderung berada dalam kondisi tahan pangan. Lebih lanjut penelitian Martin et al 2004, menunjukkan tentang hubungan modal sosial dan penurunan resiko kelaparan pada rumah tangga pendapatan rendah di Connecticut, USA. Penurunan melalui pengukuran modal sosial aspek kepercayaan hubungan timbal balik, jaringan sosial pada tingkat rumah tangga, dan komunitas yang berhubungan signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Pada tingkat komunitas, modal sosial berhubungan signifikan dengan penurunan resiko kelaparan pada rumah tangga penda-patan rendah. Menurut Warren et al. 2001, modal sosial bukan sebagai alternatif untuk menyediakan sumberdaya finansial yang lebih besar bagi masyarakat miskin. Namun yang lebih penting adalah meningkatkan kemam- puan sumberdaya yang ada sehingga lebih efektif. Tradisi-tradisi yang bersifat lokalitas, seperti gotong royong dalam membangun rumah yang masih ada di Kabupaten Blora. Hal ini, merupakan sebuah potensi modal sosial yang dapat dijadikan sebagai aset menguntungkan dalam mengatasi krisis yang terjadi akibat kemiskinan, termasuk kerawanan pangan. Bentuk-bentuk aktifitas sosial sebagai manifestasi nilai-nilai tersebut, berupa gotong royong, dan kerjasama dalam pembagunan. Selain itu, musyawarah dalam memecahkan masalah-masalah masyarakat dalam forum rapat maupun pengajian. Saling menolong antar keluarga, tetangga, kerabat, dan saling mengingatkan apabila ada suatu keluarga, tetangga yang melakukan perbuatan yang merugikan keluarga, tetangga lain, atau masyarakat. Dalam tradisi ini, falsafah yang mendasari adalah silih asih, silih asuh, dan silih asah. Gotong royong dan kerjasama, musyawarah dalam memecahkan masalah kemasyarakatan, saling menolong, saling mengingat, merupakan sebuah modal sosial. Modal sosial ini apabila dipertahankan, atau dikembangkan mampu menjadi asset yang penting bagi keluarga, kelompok, komunitas untuk mengatasi kerawanan pangan, bahkan penurunan angka kemiskinan. Tipologi keluarga petani miskin, petani gurem, buruh tani dengan penghasilan usahatani, buruh tani yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup. Mereka akan mengalokasikan tenaga kerja keluarga strategi alokasi SDM ke sektor pertanian dan non pertanian, pola nafkah ganda terutama di kawasan hutan jati sebagai strategi bertahan hidup. Mereka juga mencari dukungan kekerabatan tetangga, saudara, masyarakat, pemerintah Raskin, BLT tanpa syarat, BOS, JPS kesehatan-an, pendidikan, KB murah, beasiswa berbasis kepercayaan, jaringan dan relasi sosial sebagai strategi nafkah berbasis modal sosial. Nafkah berbasis modal sosial berdasarkan nilai kepercayaan, norma sosial, dan jaringan sosial yang ada di dalam keluarga, kelompok masyarakat mampu dimanfaatkan secara optimal. Aspek lain, dengan memanfaatkan keterbatasan sumberdaya alam, finansial, fisik, mereka melakukan berbagai strategi nafkah. Strategi nafkahnya, yaitu strategi produksi, patronase, solidaritas vertikal, solidaritas horizontal, dan strategi berhutang yang merupakan domain “base livelihood”. Sedangkan strategi serabutan sebagai domain “livelihood diversification” mereka lakukan sebagai respon, dan adaptasi karena “base livelihood” dianggap tidak mampu lagi memberikan jaminan kehidupan. Keluarga petani miskin contoh di Kabupaten Blora memiliki ikatan sosial yang tinggi dengan kelompok, komunitas, dan masyarakat. Sebaliknya persepsi mereka terhadap pemerintah belum efektif melaksanakan fungsi pemerintahan. Pada sistem-sistem informal tersebut, keluarga contoh akan mencari strategi coping terbaik. Strategi coping yang bisa mereka lakukan agar mereka mampu tetap bertahan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya. Kondisi yang terjadi di Kabupaten Blora ini, cenderung juga terjadi di kabupaten, kota, propinsi lain, bahkan cederung terjadi di Indonesia. Hal ini selaras hasil penelitian Narayan 1998 di Indonesia, Tanzania, dan di Burkina Faso yang meneliti tentang pentingnya keragaman keanggotaan organisasi kemasyarakatan, sebagai dimensi modal sosial, dalam meningkatkan kesejahteraan. Penelitian lain yang dilakukan di Indonesia, bahwa rumah tangga miskin yang mempunyai keanggotaan organisasi kemasyarakatan yang tinggi dan aktif dalam pengambilan keputusan, menyebabkan rumah tangga tersebut lebih mudah dalam mengakses kredit. Selain itu, memanfaatkan asset yang dimilikinya sebagai strategi coping untuk mengatasi kemiskinan Grootaert, 1998. Berdasarkan framework yang disusun Narayan 1998, yang menganalisis keterkaitan antara dua dimensi kunci. Kedua dimensi, yaitu ikatan sosial yang saling terkait cross-cutting ties dengan fungsi pemerintahan yang dijalankan suatu negara, dimana interaksi antara dua dimensi tersebut akan mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi di suatu negara, atau wilayah, di dalam komunitas negara tersebut. Framework keterkaitan modal sosial dengan kemiskinan Narayan 1998, dalam pembangunan ekonomi, modal sosial mempunyai dua aspek penting. Kedua aspek, yaitu ikatan sosial yang saling terkait dan interaksi antara institusi formal, informal. Fungsi pemerintahan suatu negara menurut Narayan mencakup dua aspek, yaitu a peraturan hukum, hak warga negara, dan kebebasan warna negara untuk berserikat yang dilaksanakan oleh pemerintah, dan b kompetensi, kewenangan, sumberdaya, dan akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan semua pekerjaan. Berdasarkan framework Narayan 1998, keluarga petani miskin di Kabupaten Blora memiliki ikatan sosial yang tinggi dengan kelompok, komunitas, dan masyarakat. Sebaliknya persepsi mereka terhadap pemerintah belum efektif melaksanakan fungsi pemerintahan. Upaya-upaya yang dilakukan keluarga petani miskin akan mencari strategi coping terbaik yang bisa mereka lakukan, agar mereka mampu tetap bertahan hidup, dan meningkatkan kesejahteraannya. Fenomena tersebut berada pada kuadran keempat, seperti pada Gambar 68 di bawah ini. Kemampuan keluarga petani miskin dalam memenuhi kebutuhan pokok bagi setiap anggota keluarga kurang berdampak negatif. Kasus-kasus terkait tidak terjadi, seperti tingginya gizi buruk pada balita, atau kelaparan, mortalitas, morbiditas. Selain itu, akses layanan kesehatan, pendidikan formal, dan akses layanan pendidikan, serta kelayakan rumah. Tingkat pemenuhan kebutuhan pokok yang menyebar secara merata, tidak berbeda nyata p 0,05 antar agroekosistem dengan penyebaran mengelompok pada skor total nilai ≥ 8 berdasarkan 14 indikator. Hal ini selaras karakteristik, penyebaran keluarga miskin yang juga mengelompok pada nilai total skor ≥ 8 indikator, berdasarkan 14 indikator. Penyebaran tidak berbeda nyata pada dominan sawah dengan lahan kering, sawah dengan hutan; lahan kering dengan hutan. Menurut Martin et al. 2004, terdapat hubungan modal sosial dan penurunan resiko kelaparan pada rumah tangga pendapatan rendah di Connecticut, USA. Hubungan tersebut melalui pengukuran modal sosial aspek kepercayaan hubungan timbal balik, dan jaringan sosial pada tingkat rumah tangga dan komunitas Negara berfungsi baik Negara tidak berfungsi Ikatan sosial rendah Ikatan sosial tinggi 2 . Konflik Laten 1. Kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat 3. Konflik 4. Coping Gambar 68. Hubungan antara ikatan sosial dengan pemerintahan Sumber : Narayan 1998 yang berhubungan signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Modal sosial bukan sebagai alternatif untuk menyediakan sumberdaya finansial yang lebih besar bagi masyarakat miskin. Namun yang lebih penting adalah meningkatkan kemampuan sumberdaya yang ada sehingga lebih efektif Warren et al. 2001. Keberfungsian Keluarga dan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Keluarga contoh melakukan asosiasi keberfungsian keluarga aspek koneksi 55,56 persen, sumberdaya lingkungan 40,00 persen, perilaku terhadap pengelo- laan sumberdaya 88,89 persen, dan aspek relasi sangat optimal 100,00 persen. Secara keseluruhan asosiasi keberfungsian keluarga sebesar 71,11 persen, dan sebagian besar kategori sedang. Aspek lain, keluarga contoh melakukan asosiasi pemenuhan kebutuhan pokok sebesar 64,29 persen, dan keseluruhan kategori sedang sampai tinggi. Artinya ada korelasi melakukan asosiasi keberfungsian keluarga dengan pemenuhan kebutuhan pokok. Terjadi operasi irisan interseksi, dari himpunan A keberfungsian keluarga dan B pemenuhan kebutuhan pokok = A п B = X : x є A dan x є B, A dan B tidak saling lepas, peristiwa bersamaan, interseksi dan operasi irisan besar homofili Gambar 69. Gambar 69. Interseksi keberfungsian keluarga dan pemenuhan kebutuhan pokok Peubah yang berpengaruh signifikan pada level 0,01 terhadap pemenuhan kebutuhan pokok adalah keberfungsian keluarga. Keberfungsian keluarga memiliki koefisien regresi positif yang menunjukan bahwa semakin tinggi keberfungsian keluarga yang diperoleh keluarga petani miskin akan meningkatkanmemperbesar pemenuhan kebutuhan pokok, atau sebaliknya. Hasil analisis jalur, keberfungsian keluarga dipengaruhi pula secara tidak langsung oleh pemenuhan kebutuhan pokok. Keberfungsian keluarga menggambarkan pertukaran yang seimbang, cocok, tepat, dan adaptasi timbal balik diantara anggota keluarga, antar keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dilakukan secara individu maupun kelompok keluarga, merupakan suatu produk sistemik dari transaksi komplementer dan pertukaran dalam hal kebutuhan-kebutuhan pokok pangan, pendidikan, kesehatan, dan perumahan, sumberdaya-sumberdaya, kesempatan, dan kemampuan lingkungan internal dan eksternal. Menurut Suharto 2003 keberfungsian yang Keberfungsian keluarga Pemenuhan kebutuhan pokok p Operasi irisan interseksi HOMOFILI positif dan adekuat, misalnya dalam pelaksanaan tugas-tugas kehidupan anggota keluarga, keluarga, antar keluarga memiliki indikasi memuaskan dan memberikan reward baik bagi anggota keluarga, keluarga, antar keluarga, kelompok, atau masyarakat. Tabel 92. Tindakan kolektif pemenuhan kebutuhan pokok - 14 indikator kemiskinan Do minan Pemenuhan kebutuhan pokok Keluarga miskin BLT 2005 A sosiasi Item asosiasi A sosiasi Item asosiasi Sa wah 9 1,2,3,5,7,8,9, 10,12 1 1 1,2,4,5,7,8,9,10,1 1,12,13 L. kering 8 1,2,3,5,8,9,10 ,12 1 1 1,2,4,5,7,8,9,10,1 1,12,13 Hut an 9 1,2,3,5,7,8,9, 10,12 1 1 1,2,4,5,7,8,9,10,1 1,12,13 Ke 3 zona 8 1,2,3,5,8,9,10 ,12 1 1 1,2,4,5,7,8,9,10,1 1,12,13 Keluarga contoh melakukan asosiasi pemenuhan kebutuhan pokok sebesar 64,29 persen Tabel 92, keseluruhan 100,0 persen kategori sedang sampai tinggi. Selain itu, keluarga contoh melakukan asosiasi indikator kemiskinan BLT 2005 sebesar 78,57 persen, keseluruhan 100,00 persen kategori sedang sampai tinggi Tabel 93. Artinya ada korelasi melakukan asosiasi pemenuhan kebutuhan pokok dengan asosiasi kemiskinan berdasarkan 14 indikator BLT 2005. Tabel 93. Kategori pemenuhan kebutuhan pokok dan 14 indikator kemiskinan BLT Ka tegori Pemenuhan kebutuhan pokok Indikator kemiskinan BLT 2005 S L .K H S L. K H Re ndah Se dang 7 5,0 6 0,0 6 7,5 8 0,0 75, 72, 5 Tin ggi 2 5,0 4 0,0 3 2,5 2 0,0 25, 27, 5 Terjadi operasi irisan interseksi, dari himpunan A kemiskinan BLT 2005 dan himpunan B pemenuhan kebutuhan pokok = A п B = X : x є A dan x є B, A dan B tidak saling lepas, peristiwa bersamaan, operasi irisan besar homofili Gambar 70. Gambar 70. Interseksi pemenuhan kebutuhan pokok dan kemiskinan BLT Keluarga contoh secara keseluruhan melakukan asosiasi keberfungsian sebesar 71,11 persen, dan sebagian besar kategori sedang. Selain itu, melakukan asosiasi pemenuhan kebutuhan pokok sebesar 64,29 persen, keseluruhan 100,00 persen kategori sedang sampai tinggi. Keluarga contoh melakukan asosiasi indikator kemiskinan BLT 2005 sebesar 78,57 persen, keseluruhan kategori sedang sampai tinggi 100,00 persen Tabel 94. Artinya ada korelasi melakukan asosiasi keberfungsian keluarga dengan pemenuhan kebutuhan pokok, dan asosiasi indikator kemiskinan BLT 2005. Tabel 94. Kategori keberfungsian keluarga, pemenuhan kebutuhan pokok, 14 14 indikator kemiskinan pada 3 agroekosistem K ategori Keberfungsian Kebutuhan pokok kemiskinan BLT 2005 S .K .K H .K H R endah 2 5,3 7,8 6,5 S edang 3 9,0 0,1 4,0 5,0 0,0 6 7,5 0,0 5,0 7 2,5 T inggi 3 5,7 2,1 9,5 5,0 0,0 3 2,5 0,0 5,0 2 7,5 Terjadi operasi irisan interseksi, dari himpunan A keberfungsian keluarga , himpunan B pemenuhan kebutuhan pokok, dan C kemiskinan BLT 2005 = A п B п C = X : x є A, x є B, x є C, A, B, C tidak saling lepas homofili Gambar 71. Keberfungsian keluarga 14Indikator kemiskinan Interseksi - HOMOFILI Pemenuhan kebutuhan pokok Indikator petani miskin BLT Pemenuhan kebutuhan pokok Operasi irisan interseksi HOMOFILI Gambar 71. Interseksi keberfungsian keluarga, pemenuhan kebutuhan pokok, 14 indikator kemiskinan Pendidikan dan kesehatan merupakan kebutuhan pokok kelurga miskin, setelah pangan dan perumahan. Pembayaran sumbangan pembangunan pendidikan SPP, transportasi, buku pelajaran, seragam sekolah, uang saku, tas sekolah, sepatu menurut Suryawati 2002, termasuk dalam investasi pendidikan. Keluarga contoh, atau masyarakat lapisan bawah miskin menganggap pendidikan sebagai suatu pilihan dan bukan keharusan, karena besarnya pengeluaran untuk biaya pendidikan dan ketidak seimbangan pemanfaatan kelulusan, senada penelitian Mulatsih et al 2002. Selain itu, adanya fasilitas pendidikan gratis bagi siswa SD, serta dana BOS dan PNPM turut mendukung perilaku investasi pendidikan. Orang tua yang berpendidikan akan lebih menyadari tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, bila dibandingkan dengan orang tua yang tidak berpendidikan, senada penelitian Suryahadi et al 2005. Rendahnya tingkat pendidikan keluarga petani miskin, menyebabkan mereka terkesan bekerja hanya sekedar memperoleh pendapatan, bukan keuntungan. Menurut Bryant Zick 2006, alasan seseorang menginvestasikan pendidikan untuk meningkatkan pendapatan dan kekayaan di masa yang akan datang. Data distribusi penduduk miskin di Kabupaten Blora, atau kabupatenkota di Jawa Tengah berhubungan dengan tingkat pendidikannya. Kemiskinan paling banyak terjadi pada penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan SMP ke bawah di Kab. Blora 93,98 persen. Sedangkan penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan SMA ke atas mempunyai kontribusi terhadap kemiskinan jauh lebih kecil 6,02 persen. Tingkat pendidikan untuk Propinsi Jawa Tengah SMP ke bawah 92,8 persen, SMA ke atas 7,2 persen. Kemiskinan, salah satu penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia SDM, sehingga peningkatan kualitas SDM dan pendapatan akan mengurangi kemiskinan. Salah satu alat ukur yang dapat mengukur status indeks pembangunan manusia IPM, yaitu indeks komposit dari kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. IPM Kabupaten Blora tahun 2008 sebesar 69,6 poin berada pada urutan 29 dari 35 kabupatenkota di Propinsi Jawa Tengah 71,6 poin. IPM tertinggi Kab. Magelang 76,1 poin, dan kota Surakarta 77,2 poin. Kesehatan merupakan prasyarat bagi peningkatan produktivitas, sedangkan keberhasilan pendidikan bertumpu pada kesehatan yang baik. Pendidikan yang baik dapat meningkatkan pengembalian atas kesehatan Todaro dan Smith, 2003. Hal ini karena banyak program kesehatan tergantung pada berbagai keterampilan yang dipelajari di sekolah termasuk melek huruf. Selain itu, sekolah mengajarkan pokok- pokok kesehatan pribadi dan sanitasi. Perbaikan efisiensi produktif dari investasi dalam pendidikan dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam kese- hatan meningkatkan angka harapan hidup. Sebaliknya, modal kesehatan yang baik dapat meningkatkan pengembalian atas pendidikan. Kesehatan adalah faktor penting bagi kehadiran di sekolah. Selain itu, anak-anak yang sehat lebih berprestasi di sekolah dan dapat belajar secara lebih efisien. Angka kematian anak usia sekolah akan meningkatkan biaya pendidikan per tenaga kerja, sementara harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi pendidikan. Individu yang sehat akan mampu menggunakan pendidikan secara produktif dalam kehidupannya. Kesehatan merupakan prasyarat bagi peningkatan produktivitas, sementara keberhasilan pendidikan bertumpu pada kesehatan yang baik. Modal manusia adalah jumlah total dari kapasitas, atau kemampuan yang dimiliki oleh manusia, dan cara penggunaan sumberdaya manusia yang berpengaruh terhadap sumberdaya di masa yang akan datang Deacon dan Firebaugh 1988. Pemenuhan kebutuhan pokok pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan keluarga contoh menjadi penting dalam rangka mengatasi kerawanan pangan, atau penurunan angka kemiskinan melalui : 4. Optimalisasi modal sosial yang ada di dalam keluarga, masyarakat. Apabila mampu dimanfaatkan secara optimal, maka simpanan modal sosial tersebut akan menguntungkan bagi kehidupan, termasuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi, meningkatkan kesejahteraan keluarga, 5. Gotong royong dan kerjasama, musyawarah, saling menolong, dan saling mengingatkan merupakan sebuah modal sosial, apabila dipertahankan, atau dikembangkan mampu menjadi asset yang penting. 6. Ikatan sosial yang tinggi dengan kelompok, dan masyarakat, upaya yang dilakukan akan mencari strategi coping terbaik agar mereka mampu tetap bertahan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya. Hal sebaliknya, persepsi mereka terhadap pemerintah yang belum efektif melaksanakan fungsi pemerintahan {kuadran keempat framework Narayan 1998}. Strategi Coping dan Ketahanan Fisik Keluarga Proses coping dapat dipandang sebagai sebuah rangkaian dinamis, berkesinambungan, dan melibatkan sejumlah perubahan. Hal ini selaras pendapat Sarafino 1994, proses coping bukan proses tunggal, karena melibatkan transaksi berkesinambungan dengan lingkungan, dinamis terus mengalami perubahan. Sifat dinamis melibatkan upaya yang terus berubah secara konstan, untuk mengatasi tuntutan situasi yang juga terus mengalami perubahan Bishop, 1995. Keluarga cenderung fleksibel dalam menangani faktor yang memicu timbulnya masalah. Selain itu, hampir seluruh masalah yang berperan tidak serta merta selesai hanya dengan menggunakan satu macam strategi coping saja, meskipun memungkinkan adanya strategi coping yang menonjol. Kemampuan keluarga dalam mengenali, kesesuaian antara tuntutan situasi dengan sumber yang dimiliki, mengakibatkan keluarga tidak selamanya larut dalam keadaannya, sehingga menemukan strategi yang lebih adaptif, dan dapat membebaskan keluarga dari tuntutan situasi, selaras Atkinson 2000. Pada sisi lain, keluarga yang mengalami masalah tidak serta merta mengenali sumber yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah, sehingga perlu dilakukan sejumlah strategi sebelum pada akhirnya menemukan strategi yang paling tepat untuk menanggulanginya. Adanya variasi dalam penggunaan strategi coping bisa disebabkan karena strategi coping tidak harus berakhir dengan penyelesaian masalah Sarafino, 1994. Selain itu, tidak mengindikasikan bahwa strategi yang diambil keluarga diputuskan tanpa adanya pertimbangan penyelesaian masalah. Sifat strategi yang digunakan berkaitan dengan penyelesaian masalah, tetap tertuju langsung pada tujuan, yaitu secara langsung ditujukan untuk mengelola ancaman yang dirasakan Bishop, 1995. Masalah yang selesai dengan salah satu strategi coping, terkait dengan tindakan langsung. Misalnya mengurangi konsumsi makan, atau meminta bantuan tetangga, kerabat, dengan konsekuensi perluasan peran dan tanggung jawab sebagai orang tua. Strategi ini menjadi strategi akhir yang digunakan untuk menyelesaikan secara langsung. Strategi coping keluarga dapat menambah atau mengurangi keparahan, dan durasi episode gangguan, selaras Nolen-Hoeksema dalam Nevid et.al. 2005. Strategi coping yang baik akan sangat membantu keberhasilan penyesuaian, kegagalan penanggulangan akan beresiko terjadi penyesuaian yang buruk, selaras Bishop 1995. Penanggulangan yang tidak tepat sasaran akan menimbulkan konsekuensi, yaitu stres diperpanjang prolonged stress. Subjek penelitian adalah keluarga Jawa, menurut Handayani Novianto 2004, nilai-nilai budaya Jawa yang terinternalisasi cukup kuat mungkin dapat membantu keluarga membangun pola pikir. Selain itu, pengendalian emosi dan bentuk perilaku yang lebih selaras, konstruktif dan adaptif. Sebaliknya internalisasi budaya yang tidak cukup kuat mungkin menciptakan ketidakselarasan antara pola pikir, pengendalian emosi dan bentuk perilaku, sehingga justru bersifat destruktif dan maladaptif. Strategi coping aspek ekonomi petani miskin mampu memanfaatkan secara optimal pada saat tidak panen. Empat tingkat coping strategy yang dilakukan berdasarkan kemiskinan yang berbeda menurut Cobertt 1988 dalam Anonymus 2004, selaras di wilayah penelitian. Empat tingkatan, pertama adaptasi terhadap perubahan pola makan jagung pengganti beras, pengurangan atau optimalkan ukuran makan per hari, meminjam uang atau pangan dilakukan. Pada musim tidak panen durasi yang panjang akibat kemarau, atau gagal panen, sehingga kekurangan pangan berlanjut, keluarga akan melakukan strategi kedua. Strategi kedua seperti menjual asset tidak produktif, meminjam, atau pindah pekerjaan. Hal ini tidak bisa dilakukan karena minim asset tidak produktif. Jika situasi tetap buruk, strategi ketiga, seperti menjual tanah, peralatan, hewan ternak, atau asset produktif. Hal ini tidak terjadi, karena asset tersebut minim. Keluarga petani miskin melakukan strategi serabutan sebagai domain “livelihood diversification” sebagai respon dan adaptasi. Pada tingkatan keempat, berpindah secara permanen tidak terjadi, atau mencari bantuan pangan yang umum mereka lakukan. Empat kategori coping strategy yang dilakukan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan Maxwell, 2001, selaras di wilayah penelitian. Empat kategori, yaitu 1 perubahan diet, 2 penambahan akses pangan dalam jangka pendek, 3 pengurangan jumlah anggota dalam pemberian makan, dan 4 perubahan distribusi makan. Selain itu, cara lain, yaitu 1 mengurangi makanan kesukaan, 2 meminjam makanan atau uang, 3 membeli makanan dengan berhutang, 4 meminta bantuan di luar rumah tangga, 5 membatasi dan membagi makanan, 6 menyisihkan sedikit uang dari anggota keluarga, 7 membatasi konsumsi pangan pribadi, 8 mengurangi jenis makanan. Sedangkan 9 menjalani hari-hari tanpa makanan, tidak pernah terjadi. Menurut Walsh 1998 dalam Sunarti 2007; Puspitawati 2008 coping strategi berpengaruh langsung terhadap ketahanan keluarga, sedangkan keeratan keluarga dan sistem kepercayaan berpengaruh secara tidak langsung terhadap ketahanan keluarga Gambar 73. Keeratan Keluarga Ketahanan Keluarga Coping Strategis Sistem kepercaya- anAgama keluarga Gambar 73. Hubungan coping strategi dan ketahanan keluarga. Kelentingan keluarga, salah satu yang menentukan ketahanan keluarga kemampuan mengelola masalah yang dihadapi, berdasarkan sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Sudut pandang pokok kelentingan keluarga mengubah kekurangan, yaitu dari melihat masalah keluarga sebagai bencana dan memperbaikinya menjadi tantangan hidup Luthar et al. 2000 dalam Sunarti 2007. Teori kelentingan membantu keluarga bergerak sejak dari fokus dalam masalah keluarga sampai fokus pada ketahanan keluarga, seperti asset keluarga dan sumberdaya masyarakat Silberberg 2001 dalam Greene, 2007. Menurut Palmer 1997 dalam Greene 2007 mendeskripsikan empat tipe kelentingan, yaitu : 1 yang dapat bertahan dari gangguan anomic survival; 2 yang dapat melengkapi usaha untuk mengembangkan kompetensi dari mekanisme coping regenerative resilience; 3 periode yang relatif berlanjut dari pelaksanaan kompetensi dan strategi coping adaptive resilience; dan 4 penerapan yang luas dari perilaku dan strategi coping flourishing resilience. Menurut Michalski Watson 1999 dalam Greene 2007, keluarga yang lenting dapat mempunyai karakter : 1 kompeten dalam menyelesaikan masalah dan kemampuan mengambil keputusan; 2 adanya pembagian tugas dalam keluarga; 3 fleksibilitas dan kemampuan adaptasi untuk mencapai tujuan; dan 4 kemampuan komunikasi yang baik, mempunyai hubungan konsisten dengan teman, rekan, dan sumberdaya komunitas. Kelentingan keluarga berkembang dari kepercayaan bersama yang membantu seseorang memaknai krisis, memberikan perasaan yang positif, mempunyai harapan yang tinggi, dan mengembangkan nilai serta tujuan spiritual Antonovsky Sourani, 1988 dalam Walsh 2002. Kelentingan keluarga menurut Walsh 2002 adalah sistem kepercayaan keluarga pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, kesadaran dan spiritualitas, pola organisasi fleksibilitas, keterkaitan, dan sumberdaya sosial ekonomi, dan proses komunikasi kejelasan, ekspresi emosi secara terbuka, dan kolaborasi penyelesaian masalah. Kepercayaan keluarga menjadi bagian nafkah berbasis modal sosial, dimana skor sebaran kategori nafkah berbasis modal sosial aspek kepercayaan di wilayah dominan sawah, lahan kering, hutan Tabel 69, dominan tinggi berkorelasi dengan indeks komposit ketahanan pangan, artinya komponen kepercayaan untuk menjalin kerjasama tanpa saling curiga mempunyai hubungan nyata dengan ketahanan pangan. Tingkat kepercayaan yang tinggi untuk menjalin kerjasama tanpa saling curiga antar keluarga dan lingkungannya, dan dapat menjaga hubungan berkelanjutan, maka semakin tinggi tingkat ketahanan pangan. Jika ada keluarga tidak dapat mengakses pangan secara cukup, maka tetangga, komunitas akan saling membantu agar keluarga tidak rawan pangan. Proses komunikasi dengan baik merupakan interaksi yang menyenangkan, berdiskusi memecahkan masalah, berbagi pengambilan keputusan, bertindak konkrit dalam memecahkan masalah, mencegah timbulnya masalah, dan bersiap-siap menghadapi tantangan masa depan walaupun dalam taraf yang berbeda-beda yang menjadi bagian dari pengukuran keberfungsian keluarga. Kelentingan adalah kemampuan untuk bertahan dan kembali kepada keadaan semula pada saat terjadi kemalangan. Menurut Kaufman Ziegler dalam Walsh 2002, peningkatan bukti pada kondisi kemalangan yang sama dapat menghasilkan perbedaan respon dan hasil. Menurut Luther et al. 2000 dalam Walsh 2002; Fraser 1997 dalam Greene 2007, kelentingan merupakan proses yang dinamis yang mencakup adaptasi yang positif pada saat terjadi kemalangan. Menurut Greene 2002 dalam Greene 2007, kelentingan adalah kemampuan mentolerir transisi kehidupan dengan kompetensi yang dimiliki, atau kemampuan untuk mengelola keadaan yang sulit Whitlach, 1996 dalam Greene, 2007. Menurut Carmin 2005 dalam Praptiwi 2009, kelentingan adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dan mengurangi atau mencegah kerugian atau kerusakan. Kelentingan merupakan karakteristik keluarga dalam beradaptasi terhadap situasi krisis, misalnya tingkat kerentanan, sumberdaya, tingkat stress, pemecahan masalah, kemampuan coping, serta pandangan hidup McCubbin McCubbin 1988 dalam Lazarus 2004, situasi krisis disini adalah musim tidak panen dengan kurun waktu yang panjang, atau paceklik kepanjangan. Jika hal ini berlangsung lama dapat mengganggu keberfungsian keluarga, dan berdampak pada seluruh anggotanya. Kelentingan adalah proses dinamis untuk bertahan dari krisis serta kemampuan beradaptasi secara positif Walsh, 2002. Kelentingan mencerminkan keseriusan mengembangkan kapasitas psikis pada sistem manusia untuk merespon dan kembali dari kejadisn yang ekstrim. Kelentingan termasuk dalam sistem penguatan, membangun pertahanan, dan mengimplementasikan back up sytem, dan pengurangan kerugian James et all. 2006. Sistem kelentingan mengurangi kemung-kinan gagal, konsekuensi dari kegagalan, seperti kerusakan fisik, dan ekonomi negatif serta efek sosial, dan waktu untuk kembali Tierniy Bruneau, 2007 dalam Praptiwi, 2009. Tingkat kelentingan merupakan dasar dari suatu hubungan, krisis “sebagai suatu yang bermakna, optimistis menghadapi tantangan, fokus pada potensi diri, inisiatif menghadapi tantangan, mempunyai tujuan hidup, sikap kreatif membantu memecahkan masalah”, serta belajar dan tumbuh dari kemalangan berdasarkan pengalaman orang lain, masa lalu walaupun dalam taraf yang berbeda. Bantuan Pemerintah dan Saran Kebijakan Keluarga contoh mendapat dukungan sosial ekonomi dan kebijakan makro, yaitu dukungan masyarakat dan lembaga sosial ekonomi. Selain itu, mendapat bantuan pemerintah, aspek pangan, seperti beras keluarga miskin Raskin. Bantuan kesehatan, seperti pengobatan keluarga miskin Askeskin, SKTM, JPS kesehatan, Jamkesmas. Bantuan langsung tunai BLT, atau bantuan langsung masyarakat BLM; biaya pendidikan keluarga miskin BOS, JPS pendidikan, beasiswa, P4MI, PPK, PNPM Mandiri, diduga akan mempengaruhi secara signifikan terhadap strategi coping, dan memiliki korelasi dengan nafkah berbasis modal sosial. Bantuan Pemerintah melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan TKPK. Upaya koordinasi program-program penanggulangan kemiskinan saat ini dikelompokkan clustering ke dalam 3 tiga kluster, yaitu pertama, Bantuan dan Perlindugnan Sosial, mencakup program-program bantuan dan perlindungan sosial yang dikhususkan untuk kelompok masyarakat sangat miskin atau Rumah Tangga Sangat Miskin RTSM, misalnya Program Bantuan Tunai BersyaratBTB atau disebut juga Program Keluarga HarapanPKH, Beras untuk masyarakat miskin Raskin, BOS, Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin ASKESKIN, bantuan sosial untuk pengungsikorban bencana, bantuan untuk penyandang cacat, bantuan untuk kelompok lansia, dan lain sebagainya. Masyarakat miskin yang masih kekurangan gizi, tingkat kesehatan dan pendidikannya masih rendah dibantu ditingkatkan gizi, kesehatan, pendidikannya untuk mencapai tahap yang memadai dan dimasukkan ke kluster berikutnya. Kluster kedua adalah Kluster Pemberdayaan Masyarakat dengan instrumen programnya adalah PNPM Mandiri. Kemudian, Kluster ketiga yaitu Kluster Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil UMK, dengan program Kredit Usaha Rakyat KUR. Pemerintah telah menggulirkan berbagai program penanggulangan kemiskin- an PK, sejak Inpres Desa Tertinggal, hingga program tersebut di atas. Secara mendasar model PK dengan dua pendekatan, yaitu : a peningkatan pendapatan melalui program dana bergulir, peningkatan akses ke modal dan pasar, maupun pengembangan kelompok; b mengurangi biaya hidup sehari-hari baik secara langsung, atau tidak langsung pendidikan, kesehatan, akses transfortasi dan prasarana, raskin, atau bentuk tunai. Menurut Saparini 2006, Indonesia yang mengadopsi paradigma ekonomi konservatif, neoliberal, sehingga terbatas peran pemerintah melakukan kebijakan penghapusan kemiskinan, dan mengaburkan tugas dan kewajibannya dengan menyediakan kebutuhan dasar, dan hak rakyat untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Program penghapusan kemiskinan tersebut sekedar pelengkap jangka pendek dan ad-hoc. Misalnya sekedar memberi kompensasi atas pencabutan subsidi BBM. Kenaikan harga BBM Oktober 2005 126 hanya dikompensasi program BLT 100.000 rupiahbulankeluarga asumsi BBM naik 30 – 40. ”Program penciptaan lapangan kerja” Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM disederhanakan menjadi sekedar menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif bagi sektor swasta. Namun terbukti setelah 2 tahun tidak ada program terobosan apapun untuk menciptakan lapangan kerja. Hasil studi uji coba instrumen proxy kemiskinan yang dilakukan BPS dan ADB, inflasi yang dihadapi kelompok miskin paska kenaikan BBM Oktober 2005 mencapai hampir dua kali lebih besar dibanding rata-rata nasional. Kesalahan pilihan kebijakan, kontra produktif terhadap pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Kesenjangan kepemilikan faktor-faktor produksi pertanian, salah satu permasalahan besar dalam penghapusan kemiskinan. Juga pilihan kebijakan impor beras untuk menurunkan inflasi tentu berdampak negatif pada petani. Dampak yang akan berbeda apabila untuk memenuhi kecukupan pangan dilakukan melalui pembenahan sisi produksi dan distribusi, serta pengadaannya, andaikata produksi beras nasional mencukupi. Hasil kajian cepat SLT di DKI Jakarta Jakarta Barat dan Jakarta Utara, dengan tidak ada ketentuan yang mengatur penggunaan dana SLT, umumnya penerima menggunakan dana SLT untuk membeli beras dan minyak tanah, membayar listrik dan biaya kontrak rumah, serta melunasi utang. Beberapa penerima menggunakan untuk biaya kesehatan dan sekolah, hanya sebagian kecil yang memanfaatkan untuk modal usaha SEMERU, 2006. Program BLT bersyarat di Meksiko, Jamaica dan Honduras, Columbia, Nicaragua dan Turkey sejak tahun 1990, hasil temuan Rawlings dan Rubio 2005 di Columbia, Jamaica, Mexico, dan Nicaragua dalam Ahmad 2006 memperkuat studi sebelumnya. Hasilnya, terjadi tingkat pencapaian level pendidikan dan kesehatan, peningkatan kualitas pemeliharaan kesehatan, dan konsumsi masyarakat miskin, serta secara kualitatif masih banyak pertanyaan seputar efektifitas, dampak kesejahteraan jangka panjang, sinergitas antara komponen program. Studi di 15 Negara Africa, dengan anggaran 0,5 dari GDP memberikan implikasi kecil pada peningkatan angka kemiskinan, meski terjadi penurunan gap kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan, dengan menetapkan kelompok sasaran anak-anak orang miskin mempercepat proses pengurangan angka kemiskinan Kakwani et al, 2005 dalam Ahmad, 2006. Kebijakan Raskin, bantuan pangan food acid dapat dilihat dari dua efek, yaitu efek pendapatan dan efek subtitusi, kedua efek ini akan terjadi berdasarkan program bantuan pangan yang dipilih oleh pemerintah. Jika pemberian pangan secara gratis, maka akan terjadi efek pendapatan tanpa adanya efek substitusi Kurva indiferen ::::, identik dengan memberikan pendapatan tambahan kepada masyarakat BLT, SLT. Pemberian bantuan pangan gratis kepada masyarakat akan menggeser garis anggaran tanpa adanya perubahan slope, karena dengan adanya pemberian makanan gratis tidak akan merubah rasio harga, sehingga slope pada garis anggaran tetap pergeseran dari titik P berubah ke titik R Gambar 74. Gambar 74. Efek pemberian pangan berupa : a makanan gratis, b subsidi, Sumber : Stiglitz, 2000 Pada Gambar 74 terlihat dengan adanya pemberian makanan gratis, maka seolah-olah masyarakat mendapatkan tambahan pendapatan equivalen BLTSLT. X X Konsumsi pangan Konsumsi non pangan I ” I R P Y Y Q Garis anggaran sebelum subsidi pangan Garis anggaran setelah ada bantuan pangan Garis anggaran setelah subsidi pangan KURVA INDIFEREN Hal ini yang akan menyebabkan kuantitas setiap barang yang dibeli akan meningkat dengan asumsi harga-harga tidak berubah, garis anggaran akan bergeser ke kanan sehingga akan meningkatkan utilitas. Andaikata pemerintah melaksanakan program subsidi pangan dengan membayar sebagian harga pangan. Kebijakan Raskin, harga pangan menjadi lebih murah, maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan slope, karena terjadinya perubahan rasio harga. Kebijakan Raskin, pendapatan yang terbatas membuat masyarakat mendapatkan Raskin, sehingga dapat mengkonsumsi beras lebih banyak dibandingkan sebelumnya Kurva indiferen, Gambar 74. Melalui subsidi terhadap harga bahan pangan, pemerintah akan membayar sebagian harga pangan yang lebih murah, sehingga konsumsi pangannya bisa lebih banyak dibandingkan sebelumnya, efek pendapatan dan efek substitusi terjadi pada kondisi ini. Menurut Stiglitz 2000, jika dibandingkan antara efek pendapatan dan efek substitusi, maka bantuan pangan yang hanya menimbulkan efek substitusi tidak efisien, karena hanya akan merubah slope budget constraint sehingga hanya jumlah makanan saja yang lebih banyak dikonsumsi. Sebaliknya, pada bantuan pangan yang menimbulkan efek pendapatan, akan menggeser budget constraint tanpa merubah slope. Akibatnya tidak hanya jumlah makanan yang dikonsumsi yang lebih banyak, namun juga barang-barang lainnya akan dikonsumsi lebih banyak. Besarnya efek pendapatan dan efek substitusi yang didapat keluarga miskin perlu dikaji lagi. Realitas di lapangan, keluarga miskin tidak sepenuhnya 10 kg mendapatkan Raskin. Faktor kebijakan kepala desa beserta aparat-aparatnya dalam mengimple-mentasikan Raskin perlu kajian lebih lanjut. Belajar dari pengalaman di atas, yang baik maupun yang gagal, bahwa penanganan penanggulangan kemiskinan selama ini harus direvitalisasi. Pengalaman mengajarkan, yang harus menjadi aktor utama untuk mengeluarkan masyarakat miskin dari lingkaran kemiskinan adalah masyarakat miskin itu sendiri. Pemerintah ataupun pihak lain bukan sebagai aktor utama. Kenyataan di lapangan, bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada pendekatan pemberdayaan masyarakat, justru memberikan hasil yang lebih efektif dan tingkat keberlanjutannya jauh lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh proyek. Apabila masyarakat miskin diberikan peluang yang sebesar-besarnya untuk menentukan arah yang mereka sukai untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, maka masyarakat miskin akan bergiat bahkan tidak ragu-ragu akan memberikan berbagai kontribusi, dalam bentuk apapun yang mereka mampu untuk terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Rasa kepemilikan terhadap program akan lebih kuat dan ada perasaan, bahwa mereka dihargai oleh pemerintah untuk menentukan sendiri. Upaya pemberdayaan masyarakat yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran, harus mencakup upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat menjadi modal sosial social capital. Selain itu, upaya mengembangkan kewirausahaan sosial social entrepreneurships yang digerakkan melalui upaya pendampingan masyarakat, dan upaya untuk meningkatkan akses terhadap modal ekonomisumber daya kapital langsung kepada masyarakat. Misalnya melalui penyediaan Bantuan Langsung Masyarakat BLM. Tanpa dukungan ketiga aspek ini secara memadai, mustahil pula upaya pemberdayaan masyarakat, terutama dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan pengangguran dapat berhasil secara efektif. Pemberdayaan melalui kelompok, bukan melalui individu, untuk mengembalikan dan menguatkan kembali karakter dasar masyarakat, yaitu ”kegotong-royongan sosial dan ekonomi”. Untuk memberdayakan masyarakat miskin, perlu kebijakan memfasilitasi kerja sama aktif antara mereka dan kelompok lain, dengan memperkuat partisipasi, proses pembuatan keputusan lokal dan membuat perubahan dalam pemerintahan, pengawasan pelaksanaan program, dan menghilangkan hambatan sosial yang dihasilkan dari perbedaan gender, etnis, ras, dan status sosial. Karena beberapa norma dan praktek sosial membantu menciptakan dan bertanggung jawab terhadap timbulnya masalah kemiskinan. Studi antar negara Klasen, 1999 dalam BPS, 2002, mengindikasikan bahwa negara-negara yang menginvestasikan pendidikan bagi perempuan mempunyai angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Institusi sosial yang baik – kekerabatan, organisasi masyarakat, dan jaringan informal – dapat memainkan peranan penting dalam penurunan kemiskinan. Masyarakat miskin dihadapkan pada sejumlah resiko yang membuatnya rentan terhadap gejolak ekonomi, bencana alam, penyakit, dan lainnya yang perlu mengurangi kerentan- annya yang akan meningkatkan kesejahteraan. Perlu merespon yang dihadapi mereka melalui diversifikasi aset, sumber-sumber pendapatan dan berbagai jenis jaminan, jaringan mekanisme yang saling menjamin, sehingga membantu mengurangi resiko atau dampak, tetapi efeknya terbatas. Penanggulangan kemiskinan secara holistik sebagai solusinya. Belajar dari gambaran tentang misi kemanusiaan UNICEF di negara Afrika. Misi kemanusiaan UNICEF di negara Afrika King dalam Megawangi, 2004 yang idenya untuk menyelamatkan dan menolong penduduk Afrika ternyata tidak selalu membawa kebaikan. Kalau pendekatannya juga fragmented, yaitu melakukan program hanya melihat dari segi gizi dan kesehatan saja, dengan tujuan untuk menurunkan angka kematian anak dan bayi, tanpa memandang permasalahan secara lebih holistik. Akibatnya pertumbuhan penduduk tinggi, menjadikan Afrika mengalami ”demo- gr aphic trap”, sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan hidup yang hebat. Karena daya dukung ekosistem tidak dapat menampung peningkatan penduduk yang tinggi. ”Apakah etis menyelamatkan manusia dari kematian, tetapi untuk membuat mereka hidup dalam kondisi yang menyedihkan. Perbaikan gizi di Indonesia nantinya tidak perlu dilakukan secara eksplisit, dengan program-program spesifik, tetapi harus secara holistik dengan memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat secara menyeluruh akan menurunkan tingkat kemiskinan keluarga. Framework, untuk mengurangi kemiskinan yang bersifat komprehensif, holistik, dan terintegrasi, seharusnya berpedoman pada akar masalah, faktor-faktor penyebab dan akibat kemiskinan. Motto program adalah pemberian kail dan umpan jauh lebih mendidik dibandingkan langsung memberi ikan. Artinya membantu masyarakat miskin dengan memberi lapangan pekerjaan jauh lebih mendidik dibandingkan memberi bantuan material, misalnya dana SLTBLT, Raskin. Program BLTSLT tidak akan efektif mengurangi kemiskinan, karena : a pola pikir masyarakat miskin mengenai bantuan cenderung tidak bisa merubah ”dari untuk kebutuhan pokok pangan menjadi untuk pendidikan d an kesehatan”; b kurang mendi dik karena cenderung membuat mentalnya selalu tergantung pada ”bantuan”. Program ini hanya efektif bagi orang jompo, cacat mendasar, atau masyarakat kategori paling miskin. Sejalan justifikasi di atas, cara efektif mengurangi angka kemiskinan melalui peningkatan kesempatan kerja. Hasil analisis akses keluarga pada setiap tipologi, sumber nafkah, menunjukan bahwa kekuatan faktor modal sosial 5 kali modal manusia, atau finansial, 7 kali modal fisik, dan 8 kali modal alam. Hal ini selaras dengan teori belajar sosial, dimana dalam kehidupan manusia ada dua macam belajar, yaitu belajar secara fisik dan belajar secara psikis. Belajar secara psikis seperti belajar sosial, dimana seseorang mempelajari perannya dan peran orang-orang lain dalam konteks sosial dengan melakukan tingkah laku tiruan imitasi. Faktor modal sosial, modal manusia, dan modal alam yang menjadi asset keluarga petani miskin perlu upaya peningkatan kapabilitas modal manusia, urgensi modal sosial, serta peningkatan asset dan akses keluarga petani miskin terhadap modal alam. Keluarga contoh mempunyai respon dan dampak sosial ekonomi tidak berbeda dalam menghadapi tekanan sumberdaya alam, fisik, manusia, finansial, sosial, melalui strategi nafkah dan strategi copingnya. Mereka menganut sikap falsafah Jawa “menerima pasrah pada Allah setelah berusaha”, ”mengutamakan selamat ”. Komponen kepercayaan, jaringan sosial, norma sosial pada nafkah berbasis modal sosial mempunyai hubungan nyata dengan ketahanan pangan. Tradisi-tradisi yang bersifat lokalitas seperti gotong royong dalam membangun rumah yang masih ada di Kabupaten Blora merupakan sebuah potensi modal sosial yang dapat dijadikan aset menguntungkan dalam mengatasi krisis yang terjadi akibat kemiskinan termasuk kerawanan pangan. Budaya gotong royong akan meningkatkan modal sosial yang positif Hasbullah, 2006. Modal sosial yang kuat akan meningkatkan faktor produksi total, sehingga merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi dan sektor lainnya dalam meningkatkan kesejahteraan Fukuyama, 2001; Anwar, 2006; Hasbullah, 2006. Akses terhadap sumberdaya alam tampaknya yang memberi kontribusi cukup tinggi terhadap keluarga petani miskin. Implikasi hasil terhadap saran kebijakan. Upaya yang harus dilakukan agar pemenuhan kebutuhan pokok keluarga petani miskin dapat terpenuhi, melalui : 1. Penguatan modal sosial, melalui peningkatan akses dan partisipasi dalam kegiatan pembangunan pedesaan, budaya gotong royong dalam program penanggulangan kemiskinan, 2. Peningkatan kapabilitas asset produksi modal alamiah yang dimiliki keluarga petani miskin dan dikuasai negara pemerintah sebagai sumber nafkah utama, melalui : a redistribusi lahan pertanian untuk meningkatkan asset dan akses keluarga petani miskin terhadap sumberdaya alam; dan b pengelolaan sumber- daya alam berbasis kepemilikan masyarakat untuk menhindari terjadinya depriva-si lahan pertanian yang akan menciptakan ketergantungan pada pihak luar. 3. Peningkatan kapabilitas modal manusia, melalui penguatan potensi diri, khusus nya peningkatan pendidikan formal dan informal dan kemampuan untuk bersaing dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Pendekatan pendidikan orang dewasa dan penerapan metode pengalaman belajar dilakukan dalam rangka memperkuat keunggulan kepribadian. Peningkatan akses keluarga petani miskin terhadap pendidikan formal, dan revitalisasi kelembagan pendidikan dasar dan menengah sehingga dapat memberikan pelayanan prima. Peningkatan kapabilitas modal manusia, sehingga mereka dapat memanfaatkan modal alamiahnya. 4. Pemberdayaan infrastruktur berbasis nafkah utama dan peningkatan aksesibilitas terhadap sarana dan prasarana usaha produktif, khususnya akses terhadap kelembagaan, yang didukung oleh pemberdayaan sumberdaya alam, peningkatan aksesibilitas terhadap sumberdaya alam. 5. Pemberdayaan modal finansial dengan berbasis pada ekonomi keluarga petani miskin dan usaha mikro yang dilakukan keluarga petani miskin. Perlunya peningkatan akses keluarga petani miskin terhadap kelembagaan keuangan yang didukung oleh peningkatan kapabilitas modal manusia. Selain itu, upaya yang harus dilakukan dalam penanggulangan kemiskinan di Kab. Blora yang memiliki ikatan sosial yang tinggi dengan kelompok, komunitas, dan masyarakat. Sebaliknya, persepsi mereka terhadap pemerintah belum efektif melaksanakan fungsi pemerintahan, sehingga perlu : 1. Mendisain poverty re-duction strategy paper diintegrasikan dengan rencana jangka menengah secara berkelanjutan, 2. Fokus, memusatkan perhatian pada penciptaan lapangan kerja yang produktif, karena adanya hubungan antara kemiskinan dengan pasar tenaga kerja, 3. Mengimplementasikan jaminan sosial yang sesuai, sehingga dapat mengurangi beban migrasi pada musim paceklik program bantuan panganraskin danatau padat karya dengan upah uang tunai yang diberikan selama musim paceklik, dapat menangani masalah yang timbul dari migrasi. 4. Akses terhadap mikro-kredit, seperti kredit garmen bank bagi perempuan keluarga miskin, dan pedagang kecil di desa dengan mekanisme yang sesuai perlu direalisasi dan diperkuat. Modal sosial social capital yaitu modal yang harus dimiliki sebuah masyarakat untuk bisa maju, tercermin dari karakter dan perilaku masyarakatnya. Konsep modal sosial sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antara individu- individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru Coleman, 1988. Putnam 1993 menempatkan modal sosial sebagai unsur utama pembangunan sebuah masyarakat sipil civil community. Fukuyama 1995 mengaitkan konsep modal sosial dengan kehidupan ekonomi yang sangat menentukan dalam keberhasilan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan keluarga. Berbeda dengan modal-modal lainnya, modal sosial justru semakin bertambah bobotnya apabila semakin intensif didayagunakan. Lembaga ekonomi rakyat yang berakar pada nilai budaya, selain mampu mengembangkan sistem distribusi hasil panen yang dirasakan adil oleh masyarakat sebagaimana terdapat di berbagai desa penelitian lumbung desa, ternyata juga mampu mencegah munculnya kesenjangan ekonomi yang berlebihan, meminimalkan kecemburuan sosial, mencegah pencurian, dan memanfaatkan sumberdaya alam secara hati-hati melalui berbagai mekanisme yang menganut strategi pendekatan manusia seutuhnya. Elemen modal sosial yang dinilai juga penting dalam pemberdayaan keluarga petani miskin, atau masyarakat adalah kompetensi sumberdaya manusia human capital, manajemen sosial, dan keorganisasian masyarakat madani yang kuat, struktur sosial yang tidak timpang, kepemimpinan lokal yang kuat, sistem moral dan hukum yang kuat, dan penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik. Hubungan antara modal sosial, material, dan pembangunan pedesaan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan ketahanan fisik keluarga Gambar 59. Gambar 59. Hubungan antara modal sosial, pembangunan pedesaan, ketahanan fisik keluarga petani msikin Pembangunan desa : peningkatan produksi dan efisiensi, ekonomi Modal Material  Modal Finansial  Modal Prasarana  Input fisik + lain  Teknologi  Kenaikan produktivitas  Kenaikan Pendapatan Kesejahteraan Pembangunan desa: pening- katan pemenu- han kebutuhan pokok Modal Sosial  Organisasi sosial  Tata nilai  Kualitas SDM  Kepemimpinan  Pemenuhan kebutuhan pokok  Kesempatan kerja  Partisipasi sosial  Mobilitas sosial horizontal dan vertikal AGROEKOSISTEM PENGELOLAAN AGRO EKOSISTEM BERBASIS MODAL SOSIAL Ketahanan Fisik Keluarga Petani Miskin Novelty dan Keterbatasan Penelitian Novelty Penelitian Penelitian ini mengaplikasikan konsep ekologi manusia, dengan landasan analisis aktivitas-aktivitas manusia pada sistem sosial dan sistem ekologi Marten, 2001, melalui hubungan karakteristik keluarga, sumberdaya lingkungan, nafkah berbasis modal sosial, strategi coping dan dampaknya terhadap keberfungsian serta pemenuhan kebutuhan pokok pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan dan ketahanan fisik keluarga. Keterbatasan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi, bahan pustaka, atau perbandingan bagi penelitian, pengkajian sejenis. Kami perlu menyampaikan beberapa keterbatasan pengkajian ini agar penelitian, pengkajian selanjutnya menjadi lebih baik, antara lain : 1. Hanya mengambil sampel 132 responden keluarga petani miskin penerima BLT untuk data primer dengan kuesiner terstruktur pada ketiga zona agroekosistem, mengingat keterbatasan dana, 2. Tidak membandingkan dengan keluarga petani tidak miskin lapisan menengah dan lapisan atas, atau masyarakat dengan berbagai strata sosial ekonomi dalam suatu sistem yang utuh pada ketiga zona agroekosistem. 3. Analisis data kuantitatif pada strategi nafkah hanya pada nafkah berbasis modal sosial, karena berbagai pustaka mengatakan pada masyarakat miskin hanya modal sosial yang dapat diandalkan sebagai modal transformasi, perubahan sosial untuk keluar dari belenggu kemiskinan, sedangkan modal alam, fisik, manusia, finansial yang dimiliki cukup minim dan tidak mencukupi sebagai energi penggerak perubahan. 4. Tingkat pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi, serta kesehatan tidak melalui pengukuran langsung penimbangan bobot badan, tinggi badan, diagnosa penyakit berdasarkan umur, yang dilanjutkan dengan analisa laboratorium, agar diketahui tingkat pemenuhan kalori dan protein secara riil, serta jenis penyakit yang diderita dan tingkat morbiditasnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Secara umum ada perbedaan pada keluarga contoh di tiga zona agroekosistem dalam strategi coping aspek ekonomi. Namun tidak berbeda pada karakteristik keluarga mikro, sikap keluarga terhadap lingkungan sosial ekonomi, budaya, dan ekologi meso, serta sikap keluarga terhadap dukungan sosial ekonomi dan kebijakan makro. Selain itu, tidak berbeda dalam strategi coping aspek sosial, dan strategi nafkah berbasis modal sosial keluarga. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping yang dilakukan oleh keluarga contoh secara signifikan adalah pendidikan, ukuran keluarga, sikap keluarga pada tatanan meso, dan strategi nafkah berbasis modal sosial. Keempat variabel berpengaruh negatif terhadap strategi coping. Pendidikan dan besar keluarga juga berpengaruh signifikan terhadap strategi nafkah berbasis modal sosial yang dilakukan keluarga. Kedua variabel berpengaruh positif terhadap strategi nafkah. 3. Pemenuhan kebutuhan pokok dan ketahanan fisik keluarga dipengaruhi secara positif oleh sikap pada tatanan meso dan keberfungsian keluarga. Sementara keberfungsian keluarga sendiri dipengaruhi secara negatif oleh besar keluarga dan dipengaruhi secara positif oleh strategi coping. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap pemenuhan kebutuhan pokok dan ketahanan fisik keluarga adalah sikap keluarga pada tatanan meso dan keberfungsian keluarga. Pemenuhan kebutuhan pokok juga dipengaruhi secara tidak langsung oleh strategi coping, strategi nafkah, pendidikan, dan besar keluarga. Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga mendapat dukungan wilayah ketahanan pangan desa, infrastruktur pengairan P4MI dan ikatan sosial yang tinggi masyarakat. Saran U paya yang harus dilakukan agar pemenuhan kebutuhan pokok keluarga petani miskin dapat terpenuhi, melalui : 1. Penguatan modal sosial, melalui peningkatan akses dan partisipasi dalam pembangunan pedesaan, budaya gotong royong, 2. Peningkatan kapabilitas asset produksi modal alamiah sebagai sumber nafkah utama, hindari terjadinya deprivasi lahan pertanian. 3. Peningkatan kapabilitas modal manusia, melalui penguatan potensi diri, khusus nya peningkatan pendidikan formal, informal, kemampuan bersaing untuk menghadapi berbagai tantangan hidup. 4. Pemberdayaan infrastruktur berbasis nafkah utama pertanian, peningkatan aksesibilitas terhadap sarana dan prasarana usaha produktif, khususnya akses terhadap kelembagaan, yang didukung oleh pemberdayaan, peningkatan aksesibilitas terhadap sumberdaya alam. DAFTAR PUSTAKA Alfiasari. 2007. Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin dan Peranan Modal Sosial Studi Kasus pada Rumahtangga Miskin di Kecamatan Tanah Sareal dan Bogor Timur, Kota Bogor. Tesis Sekolah Pascasarjana, IPB. Ahmadi A. 1999. Psikologi Sosial edisi revisi. Penerbit Rineka Cipta. Ananto EE, Haryono, A Surahman, Sumanto, Suntoro. 2009. Studi Dampak Investasi Desa Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi – P4MI. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. p. 120. Anantanyu S. 1998. Analisis Kebutuhan Dasar dan Respons Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap Perhutanan Sosial Kasus di Desa Katekan, Desa Mojorebo, dan Desa Dokoro. Tesis Sekolah Pascasarjana, IPB. Anonymous 2003. Coping strategies. www.tulane.edupanda2fscopingstrate gynew page4.htmintroduction Anonymous 2004. Coping strategies. www.tulane.edupanda2fscoping 20strate- gy disastersnatural.htm Appiah DO. 2009. Personifying Sustainable Rural Livelihoods in Forest Fringe Communities in Ghana : A Historic Rhetoric ?. Journal of Food Agriculture Environment vol. 7 34 : 873 – 877. Ardianto E. 2001. Keterdedahan Tayangan Iklan Televisi Terhadap Kecenderungan Perilaku Konsumerisme Masyarakat Desa di Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung Jawa Barat. Tesis Sekolah Pascasarjana, IPB. Azwar S. 2003. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Liberty, Yogyakarta. Babbie E. 1989. The Practice of Social Research. 4th ed. Wadsworth Publishing Co. Belmont, California. US Bappeda dan BPS Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora. 2009. Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan Kabupaten Blora Tahun 2009. Baradja A. 2005. Psikologi Perkembangan. Tahapan-tahapan dan Aspek-aspeknya dari 0 tahun sampai akhil baliq. Jakarta. Studia Press. Bhattarai S, P Kumar Jha and N Chapagain. 2009. Pro-Poor Institutions : Creating Exclusi ve Rights to the Poor Groups in Community Forest Management. Journal of Forest and Livelihood 8 2 August 2009 : 1 – 15. Bellack AS, Hersen M. 1988. Behavioral Assessment, A Practical Handbook: Third Edition. New York: Pergamon Press Berns RM. 1997. Child, Family, School, Community : Sozialization and Support. Harcourt Brace College. Publishers. United States of America. BPS Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora 2006. Blora Dalam Angka 2005. ______. 2008. Blora Dalam Angka 2008. ______. 2006a. PSE 05, Data Bantuan Langsung Tunai. BPS Badan Pusat Statistik 2004. Sensus Pertanian 2003. Jakarta. ______.1960 – 2002. Statistik Indonesia. Jakarta. ______. 2010. Propil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010, Berita Resmi Statistik. 01 Juli 2010. ______. 2012. Propil Kemiskinan di Indonesia September 2011, Berita Resmi Statistik. 02 Januari 2012. BPS CIDA 2000. Coping Strategy of Poor Household in Indonesia. Jakarta: Word Food Program Office. Bishop GD. 1995. Health Psychology Integrating Mind Body. Boston: Allyn Bacon Bappenas 2002. Pembangunan sumberdaya manusia dan kaitannya dengan tujuan Millenium Development Goals. Jakarta. Bryant WK. 1990. The Economic Organization of the Household. Cambridge Univ. Press, terjemahan Sumarwan U., Hartoyo, dan I. Tanziha. 1999. Bryant WK, Zick CD. 2006. The Economic Organization of the Household. Second Edition. Cambridge : Cambridge University Press. Bolles AL. 1996. Sister Jamaica: A Study of Women, Work, and Household in Kingstone. Lanham: University Press of America, Inc. Brooksbank D. 2000. Self-Employment and small Firms. London: Prentic Hall. Bungin B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Raja Grafindo Persada. Colchester M, M Boscolo, A Contreras-Hermosilla, F Del Gatta, J Dempsey, G Lescuyer, K Obidzinski, D Pommier, M Richards, SN Sembiring, L Tacconi, MTV Rios and A Wells. 2006. Justice in the Forest : Rural Livelihoods and Forest Law Enforcement. CIFOR : 1 – 98. CPRC Chronic Poverty Research Centre. 2008. The Chronic Poverty Report 2008- 09 : Escaping Poverty Traps. Manchester : School of Environment and Development, The University of Manchester. Darmono SD. 2004. Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia : Sebuah Catatan Kecil. dalam Ibrahim I.S.editor, 2004. Lifestyle Ecstasy : Kebuda- yaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta. Jalasutra. Denzin NK, YS Lincoln 1994. Introduction, Entering the Field of Qualitative Research dalam Denzin, Norman K. dan Y.S. Lincoln ed. 1994. Handbook of Qualitative Research. SAGE Publication. De Haan Leo J. 2000. “Globalization, Localization and Sustainable Livelihood” in Sociolo gia Ruralis, Volume 40, Number 3, July 2000. Blackwell Publishers. Deacon RE, Firebaugh FM. 1981. Family Resources Management Principles and Aplication. Boston : Allyn and Boston Inc. Dharmawan AH. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socio-economic Change in Rural Indonesia. Disertasi, University of Gottingen, Jerman. Dharmawan AH. et.al. 2004. Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam Decentralized Natural Resources Management and Govermance System Daerah Aliran Sungai Citanduy. Project Working Paper Series no. 01. Kerjasama antara Pusat Studi Pembangunan IPB dengan Partnership for Govermance Reform in Indonesia – UNDP. Bogor. Dubowitz H DePanfilis D. 2000. Handbook for Child Protection Practice. Thousand Oaks: Sage Publication, Inc. Ellis F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford Univer sity Press. Fishbein M, I Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Intention, and Behaviour : an Introduction to Theory and Research. Massachusetts. Publishing Co. Firdaus. 2008. Hubungan Antara Tekanan Ekonomi dan Mekanisme Koping dengan Kesejahteraan Keluarga Wanita Pemetik Teh [Skripsi], Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fak. Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Firdaus, Sunarti E. 2009. Hubungan Antara Tekanan Ekonomi dan Mekanisme Koping dengan Kesejahteraan Keluarga Wanita Pemetik Teh. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 2 1 2009. Fuwa N. 1995. “The Poverty and Heterogeneity among Female-Headed Household Revisited: The Case of Panama”. World Development vol 23 No. 10 1995 : 1669-1681. Gautam AP. 2009. Equity and Li velihoods in Nepal’s Community Forestry. International Journal of Social Forestry IJSF 2 2 2009 : 101 – 122. Greene RR. 2007. Social Work Practice : A Risk and Resilience Perspective. USA: Thomson Higher Education. Grootaert C. 1999. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia. Social Development Department. The World Bank. Guhardja S, Hartoyo, D Hastuti. 1989. Manajemen Sumberdaya Keluarga.Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor. Gunawardhani YS. 2002. Sikap, perilaku, dan ocial-faktor ocial pemilik hewan rentan Rabies dalam upaya pengendalian Rabies Suatu studi sosiologis di Jakarta Selatan. Tesis Prog. Studi Sosiologi, Pascasarjana, Univ. Indonesia. Tidak dipublikasi. P. 168. Hamilton P. 1983. Talcott Parsons. Faculty of Social Sciences, the Open University, Milton Keynes. Ellis Horwood Limited. Chichester. Harefa TP. 2001. Ketahanan Pangan dan “Coping Mechanism” Peserta Program Pemberdayaan Keluarga di Desa Cikaroya dan Ciwalen, Kecamatan Warung Kondang, Cianjur, Jawa Barat. Skripsi Jurusan GMSK, Fak. Pertanian, IPB Harefa TP, CM Kusharto, Retnaningsih. 2001. Ketahanan Pangan dan “Coping Mechanism” Peserta Program Pemberdayaan Keluarga di Desa Cikaroya dan Ciwalen, Kecamatan Warung Kondang, Cianjur, Jawa Barat. Jurnal Media Gizi dan Keluarga, Juli XXV 1 : 85 – 95. Hidayat A, Hikmatullah, D Santoso. 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Rendah dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya Penyunting : A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus dan D. Djaenuddin. Puslittanak, Badan Litbangtan, Bogor. Hindess Barry ed. 1977. Sociological Theories of The Economy. London: The Macmillan Hancook P. 2001. Rural Women Earning Income in Indonesia Factories: The Impact of Gender Relation. Adelaide Terraice: Institte of Management And Technology. Hutter M. 1981.“The Changing Family Comparative Perspectives. New York: Wiley Son. Hasbullah J. 2006.’Social Capital’ : Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR-United Press, Jakarta. Ibrahim IS. 2004. Lifestyle Ecstasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta. Jalasutra. Jayaputra. 2001. Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di daerah Kawasan Pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara Barat. Tesis. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor : Program Pascasarjanan. IPB. Kantor Menteri Negara Koordinator Kesejahteraan Rakyat 2004. Draf : Strategi Penanggu langan Kemiskinan Nasional. TKP3KPK, Jakarta. Kantor Menteri Negara Koordinator Kesejahteraan Rakyat 2004. Informasi Dasar Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah SPKD. Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, Deputi Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta. Kayam U. 2004. Budaya Massa Indonesia, dalam Ibrahim, I.S.editor, 2004. Lifestyle Ecstasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta. Jalasutra. Kerlinger FN. 1998. Azas-azas Penelitian Behavioral. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Koentjaraningrat 1994. Kebudayaan Mentalitas Pembangunan. Gramedia Jakarta. Klein DM, JM White. 1996. Family Theories An Introduction. Thousand Oaks. London. New Delhi: SAGE Publications. International Education and Professional Publisher. Kusumo RAB. 2009. Peran Gender dalam Strategi Coping dan Pengambilan Keputusan serta Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga Petani Padi dan Hortikultura di Daerah Pinggiran Perkotaan [Tesis] Program Pasca sarjanan, Institut Pertanian Bogor. Lawson CW, JA McGregor, DK Saltmarshe. 2000. “Surviving and Thriving: Differentiationing a Peri- Urban Community in Notherm Albania”. World Development vol 28 No. 8 2000 – 1499. Liliweri A. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Citra Aditya, Bandung. Lopez-Gonzaga V. 1998. Women’s Role in the Household Survival of the Rural Poor: The case of sugarcane workers in Negros Occidental. Oxford: Berg. McDonald, L. “Hill‟s Theory of Family Stress and Buffer Factors. http:us.f205.mail.yahoo.com . Lombart D. 2000. Nusa Jawa : Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Mamo G, E Sjaastad dan Pal Vedeld. 2007. Economic Dependence on Forest Resources : A Case From Dendi District, Ethiopia. Forest Policy and Economic 9 2007: 916 – 927 Mardiharini M. 2002. Upaya Keluarga Dalam Mempertahankan Kesejahteraannya Selama Krisis Ekonomi. Tesis. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor : Program Pascasarjanan. IPB. Maryam S. 2007. Strategi Koping Keluarga Yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Disertasi Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Masithoh AD. 2005. Analisis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Perkebunan Rakyat Studi Kajian Perbandingan Komunitas Petani Perkebunan Teh Ciguha Jawa Barat dan Komunitas Petani Perkebunan Tebu Puri Jawa Timur. Skripsi Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fak. Pertanian, IPB. Tidak publikasi. Mattessich P, Hill R. 1987. Life Cycle and Family Development. Di dalam: Sussman MB, Steinmetz SK, editor. 1987. Handbook of Marriage and the Family. New York and London: Plenum Press. Marten GG. 2001. Human Ecology : Basic Concepts for Sustainable Development. Earthscan. London and Sterling. Megawangi R. 2005. Membiarkan Berbeda ? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Cetakan III, PT Mizan Pustaka, Jakarta. Maxwell D. 2001. Field Exchange Aug 2001 : The Coping Strategies Index Monitoring Food Security Status in Emergencies. Regi onal Food SecurityHLS Advisor, Nairobi, Kenya. http:www. Ennonline.net Mukherjee N, J Hardjono, E Carriere 2001. Masayarakat, Kemiskinan dan Mata Pencaharian : Mata Rantai Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Kerja sama antara The World Bank dengan Departement for International Development DFID. Jakarta. Mulatsih S, Mulyaningrum, Pambudi R. 2002. Perilaku Investasi Pendidikan Bagi Anak Perempuan Dibandingkan Anak Laki-laki : Suatu Tinjauan Ekonomis [Laporan Kegiatan]. Fak. Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Mutiara E. 2008. Analisis Strategi Food Coping Keluarga dan Penentuan Indikator Kelaparan. Disertasi Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Narayan D. 1998. Bonds and Bridges : Social Capital and Poverty. Poverty Group, Prem. World Bank. Nazir M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta Ghalia Indonesia. Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. PCI – Indonesia 2004. Positive Deviance Hearth, Suatu Pendekatan Perubahan Perila ku Pos Gizi. Dari Positive Deviance Hearth : A Resource Guide for Sustainably Rehabilitating Malnourished Children : CORE Pebruari, 2003. Polin I. 2005. Coping strategy dalam pemenuhan kebutuhan konsum si pangan rumah tangga nelayan di desa Karangsong Kecamatan Indramayu Kabupaten Indramayu. Skripsi Jurusan GMSK, Fak. Pertanian, IPB. Praptiwi. 2009. Hubungan antar Kelentingan Keluarga, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana. Skripsi Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fak. Ekologi Manusia. Tidak publikasi. P.97. Purlika A. 2004. Studi Food Coping Mechanism pada Rumah Tangga Miskin di daerah Perkotaan. Skripsi Jurusan GMSK, Fak. Pertanian, IPB. Puslit Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2002. Optimalisasi Peman faatan Sumberdaya Lahan untuk Peningkatan Produksi Pertanian. Makalah Seminar Nasional Inovasi Agribisnis, 21 – 22 Mei 2002. Badan Litbangtan. Puslit Sosek Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian 1993. Rangkuman Hasil Penelitian Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia dan Alternatif Upaya Penanggulangannya 19921993. Puslit Sosek Pertanian, Bogor. Puspitawati H. 1992. Time management strategies used in household in which income is generated at home. Iowa State University, Ames. Iowa. Puspitawati H. 1998. “Poverty Level and Conflict Over Money within Families.” Tesis. Lowa State University. Rahmandani A. 2007. Strategi Penanggulangan Coping Pada Ibu Yang Mengalami Postpartum Blues di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang. Skripsi Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro, Semarang. Tidak publikasi. p 640. Rachmawati A. 2010. Strategi Koping dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif pada Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan PKH. Skripsi Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fak. Ekologi Manusia. Rettig KD, SM Danes, RD Leichtentrit. 1997. “Affective, Cognitive, and Behavioral Responses to Economic Stress”. Family and Consumer Sciences Research Journal. Vol 26 No. 1 1997, 3-28. Rice PL. 1999. Stress and Health. Washington: BrooksCole Publishing Company. Rodgers RH, JM White. Family Development Theory. Dalam Boss PG, Doherty WJ, La Rossa R, Schumm WR, Steinmetz SK, editor. 1993. Sourcebook of Family Theo ries and Methods. A Contextual Approach. New York and London: Plenum Pres. Rokhani 2005. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Penggarap Sekitar DAS Cidanau Studi Kasus Komunitas Petani Penggarap di Desa Kalumpang, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Tesis Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Rosidah U. 2011. Kajian Strategis Koping dan Perilaku Investasi Anak pada Keluarga Buruh Pemetik Melati Gambir Kasus di Desa Gelang, Kecamatan Rakit, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah [Skripsi] Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fak. Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Rusastra IW, M Ariani, Handewi PS Rahman. 2007. Kesejahteraan dan Pemikiran Penanggulangan Kemiskinan Petani. Prosiding Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. Rusastra IW, Napitupulu TA. 2008. Karakteristik Wilayah Keluarga Miskin di Pedesaan : Basis Perumusan Intervensi Kebijakan. Prosiding Seminar Nasional Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. Sarafino EP. 1994. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction, Second Edition. New York: John Wiley Sons, Inc. Sarjana, I Ambarsari dan B Hartoyo. 2007. Studi Kelembagaan Pemasaran Produk Olahan Lempuyang Wangi di Kab. Blora. Pros. Seminar Inovasi Teknologi Pertanian untuk Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan di Wilayah Marjinal. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Sayogyo P. 1983. Peranan perempuan dalam keluarga, rumahtangga dan masyarakat yang lebih luas di pedesaan Jawa. Disertasi, UI. Jakarta. Sayogyo P. 1987. Peranan perempuan dalam perkembangan masyarakat desa. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta. Scoones I. 1998. Sustainable Rural Livelihoods : A Framework for Analysis. IDS Working Paper no. 72. IDS. Sussex. Setiani C Sarjana. 2007. Kelembagaan Kemitraan Usaha Agroindustri Lempuyang Wangi. Prosiding Seminar Inovasi Teknologi Pertanian untuk Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan di Wilayah Marjinal. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. p. 654 – 663. Shackleton CM, SE Shackleton, E Buiten, and N Bird. 2007. The Importance of Dry Woodlands and Forests in Rural Livelihoods and Poverty Alleviation in South Africa. Forest Policy and Economic 9 2007 : 558 – 577. Siegal S. 1988. Statistik non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Gramedia, Jakarta. Singarimbun M. 1982. Metode dan Proses Penelitian, di dalam Singarimbun dan Effendi. Editor. Metode Penelitian Survei. Jakarta LP3ES. Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo. Soekanto S. 2004. Sosiologi Keluarga. Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja, dan Anak. Jakarta. PT. Rineksa Cipta. Soetarto E, I Agusta. 2003. Masyarakat dan Kebudayaan, dalam Sosiologi Umum. Bagian Ilmu-ilmu Sosial, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Jurusan Sosial Ekonomi Fak. Pertanian, IPB. Stiglitz JE. 2000. Economic of the Public Sector. 3t ed. New York. NortonCompany Strinati D. 2004. Popular Culture. Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Bentang Pustaka, Yogyakarta. Suandi 2007. Modal Sosial dan Kesejahteraan Keluarga di Daerah Perdesaan Propinsi Jambi. Disertasi Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suhardjo 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas. IPB. Bogor. Suharto E. 2000. “Profile and Dynamics of Urban Informal Sector in Indonesia: A Study of Pedagang Kaki Li ma in Bandung. “ Disertasi. Massey, University. Sumadi M Evans HD. 1985. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Rajawali, Jakarta. Sunarti E. 2001. Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya : Telaah kasus pengaruhnya terhadap kualitas kehamilan. Disertasi Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sunarti E. 2007. Theoritical and Methodological Issue on Family Resilience. Senior Official Forum on Families; Nusa Dua Bali, September 2007. Sumardjan S. 1993. Interaksi Antara Keluarga dan Rumah Tangga. Makalah Pada Seminar Mengisi Hari Keluarga Nasional 1993 dan Menyongsong Tahun Keluarga Internasional 1994, Darmaga, 21 – 22, September 1993. Sumarwan U. 2003. Perilaku Konsumen. Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta Ghalia Indonesia. Suryawati. 2002. Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan Anak pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sussman BM, KS Steinmetz 1986. Handbook of Marriage and the Family. New York and London : Plenum Press. Suryahadi D, Akhmadi, Hastuti, Toyamah N. 2005. Ukuran Objektif Kesejahteraan Keluarga untuk Penargetan Kemiskinan : Hasil Uji Coba System. Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat di Indonesia. [Laporan Penelitian] Lembaga Penelitian Semeru, Jakarta. Trochim WHK. 2002. The nonequivalent groups design.http.wwwtrochimhuman cornell. Eduquasnegd.htm. Touliatos J, Compton NH. 1992. Research Methods in Human EcologyHome Economics. Iowa State University PressAMES. UNICEF 1998. The state of the world‟s children. New York, Oxford Univ. Press. United Nation. 2003. Promoting the millennium development goals in Asia and Pacific, United Nations, New York Universitas Indonesia. 2006. Studi Tinjauan Sosial Budaya Terhadap Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi P4MI di Tiga Kabupaten. Executive Summary. Kerjasama Balitbang Departemen Pertanian dan LabSosio Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI, Depok Usfar AA. 2002. Household coping strategies for food security in Indonesia and the relation to nutritional status : A comparison before and after the 1997 economic crisis. VERLAGG Grauer. Beuren. Stuttgart. Walsh. 2002. A Family Resilience Framework : Innovative Practice Applications. Family Relations. Apr 2002, vol 51 issue 2, p. 130. Widodo YH. 2004. Mental yang Sehat dalam Budaya Jawa. Suksma, Vol.2, No.2,

h.92-99.