Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris (L.)

(1)

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA TERHADAP

PERTUMBUHAN DAN KONTEN RANTAI PANJANG

POLYISOPRENOID PADA MANGROVE SEJATI MAYOR BERJENIS

SEKRESI

Sonneratia caseolaris

(L.)

SKRIPSI

Oleh:

EPIFANI NATALIA GULTOM

111201146

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris (L.)

Nama : Epifani Natalia Gultom NIM : 111201146

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.DDr. Budi Utomo, SP.,MP

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan


(3)

ABSTRACT

EPIFANI NATALIA GULTOM : Effect of Light Intensity on Growth and Content of Long Chain Polyisoprenoid in True Mangrove Major secretor Sonneratia caseolaris L. Under supervision of MOHAMMAD BASYUNI and BUDI UTOMO.

Each plant species has a different response to the light intensity. Some species need shade in the early growth, and there are species did not requires shade in the early growth. Mangrove degradation occurred recent years, rehabilition program therefore are needed for reforestation. The reforestation needs a superior and qualified seeds for the best growth. This study focus on S. caseolaris because this fruit species priority consumed by local people in the area of mangrove and for rehabilitation program. The applied research method is Complete Random Sampling, non factorial that consist ofx different repetition. The applied analysis method is variance analysis with advanced tesdt by determining the value that influence or not with Dunnet method on confidential level 5% with 4 treatments for light intensity 100%, 75%, 50% and 25%. This research was conducted at Pharmacy Laboratory and Faculty of Agriculture, department of forestry of University of Sumatera Utara since July of 2014 to January of 2015. The results of research indicates that the light intensity 50% showed best growth of morphology and polyisoprenoid content is not found in S. caseolaris because the dried weight is not sufficient for further analysis.


(4)

ABSTRAK

EPIFANI NATALIA GULTOM : Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris L. Di bawah bimbingan MOHAMMAD BASYUNI dan BUDI UTOMO.

Setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap intensitas matahari. Ada jenis yang di awal pertumbuhan memerlukan naungan, ada juga spesies tertentu yang tidak memerlukan naungan di awal pertumbuhannya. Degradasi mangrove telah terjadi beberapa waktu lalu untuk itu diperlukan untuk menanam kembali. Untuk menanam kembali, dibutuhkan bibit yang unggul dan berkualitas, sehingga dapat tumbuh dengan baik. Studi ini dikhususkan pada, jenis S. caseolaris karena jenis ini merupakan buah yang dikosumsi oleh masyarakat yang tinggal di kawasan hutan mangrove dan salah satu jenis yang diprioritaskan untuk program rehabilitasi. Metode penelitian yang dipakai ialah menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial yang terdiri dari ulangan yang berbeda. Metode analisa yang digunakan adalah sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut dengan menentukan nilai yang berpengaruh atau tidak dengan metode Dunnet pada taraf 5 % dengan 4 perlakuan yaitu intensitas cahaya 100 %, 75 %, 50 % dan 25 %. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi dan Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan pada bulan Juli 2014 – Januari 2015. Hasil penelitian menunjukkan intensitas cahaya 50 % memberikan morfologi pertumbuhan yang terbaik dan kandungan polyisopenoid tidak ditemukan pada S. caseolaris karena jumlah berat kering yang tidak mencukupi untuk analisis.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bah jambi pada tanggal 30 Juni 1993 dari pasangan Bapak Domisian Kuat Gultom dan Ibu Rita Tumanggor. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dalam keluarga.

Penulis menjalani pendidikan formal di SDN 091568 Bah jambi lulus pada tahun 2005, lalu melanjutkan ke SMP Swasta Katholik Assisi P.Siantar lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2011 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Swasta Raksana Medan. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMB-SPMB.

Selain mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi, yaitu Anggota Himpunan Mahasiswa Sylva tahun 2011-2012. Penulis juga menjadi asisten Praktikum Silvika, asisten Praktikum Inventarisai Hutan tahun, dan asisten Praktikum Geodesi dan Kartografi.

Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan RayaBukit Barisan dan Hutan Pendidikan Gunung Barus,Kabupaten Karo pada tahun 2013. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani KPH Cianjur Jawa Barat dari tanggal 28 Januari- 28 Februari 2015.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang maha esa karena atas rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Variasi Naungan terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris L”.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyelesaian skripsi ini. Maka dari itu penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mohammad Basyuni, S.Hut., M.Si., Ph.D dan Bapak Dr. Budi Utomo, SP. MP., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya dengan keikhlasan untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua, Ayahanda Domisian Kuat Gultom dan Ibunda Rita Tumanggor yang senantiasa memberikan kasih sayang sepanjang masa, memberikan doa dan semangat, serta dukungan berupa moril maupun materil kepada penulis.

2. Kepada Kakanda dan Abangda yaitu Mery Christina Gultom, SP., Karyawati Gultom, M.Pd., S.M. Horas Paulus Gultom, S.Pd, Anicheta Gultom, S.Pd dan Adik saya Paska Anastasia Gultom yang selalu memberikan saya kekuatan, dan semangat juang dalam mendukung saya menyelesaikan skripsi ini.

3. Kepada Tanoto Foundation yang telah memberikan beasiswa kepada saya sejak semester 3 - semester 8, memberikan hibah penelitian kepada saya sehingga membantu kelancaran penelitian serta saya sangat bangga bisa menjadi bagian keluarga dari Tanoto Scholars


(7)

4. Seluruh masyarakat Desa Pulau Kampai Bapak Burhan selaku kepala desa beserta keluarga besar dan masyarakat Desa Pulau Kampai.

5. Sahabat - sahabat saya yang selalu membantu saya dalam mengerjakan skripsi, semangat dan doa yaitu Jones Panahatan Simanungkalit, A.Md, Domeyreez, A.Md, Yuni Manurung, A.Md, Yohana, A.Md, Sihol Malau, Desrina Manalu, Novita Pardede, Winda Situmeang.

6. Rekan tim peneliti (Latifah Nur Siregar, Nurfalah Siregar, dan Apriliyani Sinaga, Evan Kharogi, Hamsyah R Harahap, Nofrizal Amri dan Heru Prayogi) yang telah memberikan semangat dan kerjasama saat melakukan penelitian, serta teman-teman angkatan 2011 di Fakultas Kehutanan, khususnya di Budidaya Hutan 2011.

7. Terakhir, penulis hendak menyapa setiap nama yang tidak dapat penulis cantumkan satu per satu, terima kasih atas doa yang senantiasa mengalir tanpa sepengetahuan penulis. Terimakasih sebanyak-banyaknya kepada orang-orang yang turut bersuka cita atas keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, semoga Tuhan senantiasa melimpahkan Karunia-Nya kepada kita semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, April 2015


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang... ... 1

Kerangka Pemikiran... ... 3

Tujuan Penelitian... ... 4

Hipotesis Penelitian... ... 4

Manfaat Penelitian... ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove ... 5

Sonneratia caseolaris ... ... 7

Polyisoprenoid... ... 9

Naungan... ... 10

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 12


(9)

Alat dan Bahan ... 12 Metode Penelitian ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi Pertumbuhan ... 17 Separasi Polyprenol dan Dolichols ... 23 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 29 Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Persentase Hidup dan Mortalitas Semai S. caseolaris ... i

2. Ringkasan Pertumbuhan Terbaik Parameter Penelitian pada berbagai Variasi Naungan ... ii


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Zonasi Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah ... 7 2. Struktur Polyprenol dan Dolichols ... 9

3. Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan Tinggi Semai S. caseolaris (A1) dan Diameter Semai (B1). Korelasi Naungan Terhadap Tinggi Semai (A2) dan terhadap Diameter Semai (B2). Data merupakan SE (n= 6-10). ... 18

4. Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan Jumlah Daun Semai S. caseolaris (C1) dan Korelasi Naungan terhadap Jumlah Daun (C2). Data Merupakan SE (n= 6-10). 19 5. Pengaruh Naungan terhadap Berat Basah Tajuk (D1) dan Berat Basah Akar semai S.

caseolaris (E1). Korelasi Naungan terhadap Berat Basah Tajuk (D2) dan terhadap Berat Basah Akar (E2). Data Merupakan SE (n= 6-10) ... 19

6. Pengaruh Naungan terhadap Berat Kering Tajuk (F1) dan Berat Kering Akar (G1) Semai S. caseolaris. Korelasi Naungan terhadap Berat Kering Tajuk (F2) dan terhadap Berat Kering Akar (G2). Data merupakan SE (n= 6-10) ... 20

7. Pengaruh Naungan terhadap Berat Rasio Tajuk dan Akar Semai S. caseolaris(H1). Korelasi Naungan terhadap Ratio Tajuk dan Akar (H2). Data Merupakan SE (n= 6-10) ... 21

8. Separasi Polyprenol dan Dolichols. 1-3 Daun Intensitas Cahaya 100 %, 4-6 Daun Intensitas Cahaya 25 %, 7-9 Akar Intensitas Cahaya 100 %, dan 10-12 Akar Intensitas Cahaya 25 %. ... 23


(12)

ABSTRACT

EPIFANI NATALIA GULTOM : Effect of Light Intensity on Growth and Content of Long Chain Polyisoprenoid in True Mangrove Major secretor Sonneratia caseolaris L. Under supervision of MOHAMMAD BASYUNI and BUDI UTOMO.

Each plant species has a different response to the light intensity. Some species need shade in the early growth, and there are species did not requires shade in the early growth. Mangrove degradation occurred recent years, rehabilition program therefore are needed for reforestation. The reforestation needs a superior and qualified seeds for the best growth. This study focus on S. caseolaris because this fruit species priority consumed by local people in the area of mangrove and for rehabilitation program. The applied research method is Complete Random Sampling, non factorial that consist ofx different repetition. The applied analysis method is variance analysis with advanced tesdt by determining the value that influence or not with Dunnet method on confidential level 5% with 4 treatments for light intensity 100%, 75%, 50% and 25%. This research was conducted at Pharmacy Laboratory and Faculty of Agriculture, department of forestry of University of Sumatera Utara since July of 2014 to January of 2015. The results of research indicates that the light intensity 50% showed best growth of morphology and polyisoprenoid content is not found in S. caseolaris because the dried weight is not sufficient for further analysis.


(13)

ABSTRAK

EPIFANI NATALIA GULTOM : Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris L. Di bawah bimbingan MOHAMMAD BASYUNI dan BUDI UTOMO.

Setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap intensitas matahari. Ada jenis yang di awal pertumbuhan memerlukan naungan, ada juga spesies tertentu yang tidak memerlukan naungan di awal pertumbuhannya. Degradasi mangrove telah terjadi beberapa waktu lalu untuk itu diperlukan untuk menanam kembali. Untuk menanam kembali, dibutuhkan bibit yang unggul dan berkualitas, sehingga dapat tumbuh dengan baik. Studi ini dikhususkan pada, jenis S. caseolaris karena jenis ini merupakan buah yang dikosumsi oleh masyarakat yang tinggal di kawasan hutan mangrove dan salah satu jenis yang diprioritaskan untuk program rehabilitasi. Metode penelitian yang dipakai ialah menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial yang terdiri dari ulangan yang berbeda. Metode analisa yang digunakan adalah sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut dengan menentukan nilai yang berpengaruh atau tidak dengan metode Dunnet pada taraf 5 % dengan 4 perlakuan yaitu intensitas cahaya 100 %, 75 %, 50 % dan 25 %. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi dan Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan pada bulan Juli 2014 – Januari 2015. Hasil penelitian menunjukkan intensitas cahaya 50 % memberikan morfologi pertumbuhan yang terbaik dan kandungan polyisopenoid tidak ditemukan pada S. caseolaris karena jumlah berat kering yang tidak mencukupi untuk analisis.


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan sub-tropis, dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan pantai adalah pohon – pohonan yang tumbuh di daerah pantai (pesisir), baik di daerah yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir (Harahab, 2010).

Di Indonesia perkiraan luas mangrove juga sangat beragam. Menurut Spalding et al (2010) menyebutkan Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 21% dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua. Sedangkan menurut Giri et al (2011), Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 22.6% dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua.

Dalam hal struktur, mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan dengan negara lainnya. Zonasinyadi mulai dari tegakan Avicennia marina dengan ketinggian1 - 2 meter pada pantai yang tergenang air laut, hingga tegakan campuran Bruguiera-Rhizophora-Ceriops

dengan ketinggian lebih dari 30 meter (misalnya, di Sulawesi Selatan).Di daerah pantai yang terbuka, dapat ditemukan Sonneratia alba dan Avicennia alba,sementara itu di sepanjang sungai yang memiliki kadar salinitas yang lebih rendahumumnya ditemukan Nypa fruticans dan


(15)

Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut. Beberapa peneliti melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnyapasang surut dan frekuensi banjir (Steenis, 1958 dengan Chapman, 1978a). Di Indonesia,areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasioleh Avicennia alba

atau Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedangdidominasi oleh jenis-jenis

Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saatpasang tinggi, yang mana areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenisjenisBruguiera dan Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya padasaat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi olehB. sexangula dan Lumnitzera littorea.Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salahsatu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampumengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombangdan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen(Chambers, 1980).

Pada penelitian sebelumnya (Basyuni et al. 2007, 2011, 2012b, 2014) dilaporkan bahwa mangrove terkenal sebagai penghasil senyawa metabolit sekunder terutama senyawa triterpenoid dan fitosterol (isoprenoid) (C30). Namun, komposisi untuk rantai panjang polyisoprenoid hanya sedikit penelitian yang dilakukan, oleh karena itu,penelitian ini akan meneliti lebih lanjut tentang Polyisprenoid (C>50) pada tumbuhan mangrove. Menurut Surmacz dan Swiezewska,(2011), polyisoprenoid alkohol (dolichols dan polyprenols) ditemukan di semua organisme hidup, dari bakteri dan mamalia. Dalam hewan dan ragi sel polyisoprenoids berasal dari mevalonat sitoplasma (MVA) dimana jalur sementara pada tanaman dua jalur biosintesis, MVA dan jalur methylerythritol fosfat plastidial (MEP) menyediakan tanda (perintis jalan) untuk biosintesis


(16)

polyisoprenoid. Kunci enzim sintetis polyisoprenoid adalah cis-prenyltransferases (CTPs), yang bertanggung jawab untuk membuat kerangka panjang hidrokarbon.

Penelitian terhadap polyisoprenoid masih terbatas pada bakteri, mamalia, dan hewan sehingga perlu dilakukan pengujian lanjut terhadap tanaman mangrove pada jenis Sonneratia caseolaris pada berbagai intensitas naungan yang bertujuan untuk mengetahui perubahan konsentrasi rantai panjang polyisoprenoid dengan adanya perlakuan naungan dan juga mendapatkan data pertumbuhan yang terbaik S. caseolaris pada berbagai intensitas naungan yang berguna untuk program rehabilitasi mangrove di Sumatera Utara.

Kerangka Pemikiran

Sonneratia caseolaris merupakan salah satu tumbuhan di ekosistem mangrove yang merupakan mangrove sejati mayor dan memiliki sebutan apel mangrove karena buahnya bisa dimakan (dimanfaatkan). S. caseolaris juga memiliki memiliki akar nafas vertikal seperti kerucut (tinggi hingga 1 m) yang banyak dan sangat kuat. Fokus penelitian ini tentang rantai panjang polyisoprenoid (C>50) pada jenis tanaman S. caseolaris dengan pemberian berbagai intensitas naungan. Pada penelitian ini, aspek fisiologis akan diamati dengan diberinya naungan pada tumbuhan S. caseolaris akan menaikkan atau menurunkan konsentrasi rantai panjang polyisoprenoid (C>50) dan mendata respon pertumbuhan yang terbaik pada berbagai intensitas naungan yang diberikan. Polyisoprenoid terdiri dari dua famili dolichols dan polyprenols. Sehingga, penelitian ini juga ingin meneliti perbedaan (separasi) antara dolichols dan polyprenols pada S. caseolaris (yakni pada jaringan daun dan akar).

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pertumbuhan terbaik pada S. caseolarispada berbagai intensitas cahaya. 2. Mengetahui separasi antara dolichols dan polyprenols terhadap intensitas cahaya.


(17)

Hipotesis Penelitian

1. Terdapat perbedaan respon pertumbuhan S. caseolaris pada intensitas cahaya. 2. Perubahan konsentrasi polyisoprenoid terhadap intensitas naungan.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi intensitas cahaya yang terbaik untuk pertumbuhan S. caseolaris

di persemaian.

2. Menjadi referensi terbaru bagi khalayak umum tentang rantai panjang polyisoprenoid (C>50) pada tumbuhan mangrove khususnya S.caseolaris.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa portugis mangue dan bahasa inggris grove. Dalam bahasa inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauanpasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahsa portugis, kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kustanti, 2011).

Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 tumbuhan berbunga (Avicenia, Sonneratia, Rhizophora,Bruguiera,Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiathilas, Snaedda, dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam 8 famili. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan dominan yang termasuk kedalam empat famili : Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, Ceripos), Sonneratiaceae (Sonneratia), Aviceniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus)(Bengen,2001).

Mangrove diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok mayor, kelompok minor dan kelompok asosiasi mangrove. Pertama, kelompok mayor (vegetasi dominan) merupakan komponen yang memperlihatkan karakter morfologi, seperti mangrove yang memiliki sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologi khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Contohnya ialah Rhizophora apiculata, R. Mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, A. Officinalis, Bruguiera gymnorhiza, B. cylinrica, B. parvifolia, B. sexangula, Ceriops tagal, Kandelia candel, Xylocarpus granatum, dan X. Moluccensis. Kedua, kelompok minor (vegetasi marjinal) merupakan komponen yang tidak


(19)

termasuk elemen yang menyolok dari tumbuh-tumbuhan yang mungkin terdapat di sekeliling habitatnya dan jarang berbentuk tegakan murni. Contoh : Bruguiera cylindrica, Lumnitzera racemosa, Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Ficus retusa, F. Microcorpa, Pandanus spp, Calamus erinaceus, Glochidion litteorale, Scolopia macrophyyla, dan Oncosperma tigillaria. Ketiga, asosiasi mangrove yang merupakan komponen yang jarang ditemukan spesies yang tumbuh di dalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan darat. Contoh : Tapak Kuda (Ipomoea pescaprea), Jeruju (Acanthus illicifolius), Nipah (Nypa fruticans), dan Gelang Laut (Sesuvium portulacastrum L.) (Kustanti, 2011).

Walsh (1974) mencoba menjelaskan perbedaan pengembangan komunitas mangrove di dunia degan membedakan lima persyaratan mendasar bagi mangrove untuk tumbuh , yaitu 1. Suhu tropik, 2. Daratan aluvial, 3. Pantai yang tidak bergelombang besar, 4. Salinitas, dan 5. Tingkat pasang surut air laut. Kelima faktor lingkungan tersebut mempengaruhi pembentukan dan luasan mangrove, komposisi jenis, zonasi, karakteristik struktural lanilla, dan fungsi ekosistem itu sendiri.


(20)

Salah satu contoh zonasi mangrove di Cilacap, Jawa Tengah (White, dkk, 1989) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Zonasi mangrove di Cilacap, Jawa Tengah Keterangan :

Aa - Avicennia alba Dh - Derris heterophylla Ac - Aegiceras corniculatum Ra - Rhizophora apiculata

Bc - Bruguiera cylindricaRm - R. mucronata

Bg - B. gymnorrhiza Sb - Sarcolobus banksii Bp - B. parvifloraXg - Xylocarpus granatum

Ct - Ceriops tagal

Sonneratia caseolaris

S. caseolaris mempunyai nama lokal yaitu pedada, perepat, pidada, bogem, bidada, rambai, wahat merah, posi-posi merah, dan berembang. Dimana, deksripsi umumnya seperti pohon, ketinggian mencapai 15 m, jarang mencapai 20 m. Memiliki akarnafas vertikal seperti kerucut (tinggi hingga 1 m) yang banyak dan sangat kuat.Ujung cabang/ranting terkulai, dan berbentuk segi empat pada saat muda.Daun nya seperti gagang/tangkai daun kemerahan, lebar dan sangat pendek. Unit dan letak S. caseolarissederhana & berlawanan, bentuknya bulat memanjang dan ujungmembundar sertaukuran bervariasi, 5-13 x 2-5 cm.


(21)

Bunga S. caseolaris memiliki pucuk bunga bulat telur. Ketika mekar penuh, tabung kelopak bunga berbentukmangkok, biasanya tanpa urat. Letaknyadi ujung dan formasi soliter-kelompok(1-3 bunga per kelompok). Daun mahkotamerah, ukuran 17-35 x 1,5-3,5mm, mudah rontok, kelopak bunga6-8; berkulit, bagian luar hijau, di dalamputih kekuningan hingga kehijauan, dan benang saribanyak, ujungnya putihdan pangkalnya merah, mudah rontok.Buahnya seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga.Ukuran lebih besar dari S.alba, bijinya lebih banyak (800-1200) dan ukuranbuahdiameter 6-8 cm.Ekologi mangrove ini tumbuh di bagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada tanah lumpuryang dalam, seringkali sepanjang sungai kecil dengan air yang mengalir pelandan terpengaruh oleh pasang surut. Tidak pernah tumbuh pada pematang/daerah berkarang. Juga tumbuh di sepanjang sungai, mulai dari bagian huludimana pengaruh pasang surut masih terasa, serta di areal yang masih didominasioleh air tawar. Tidak toleran terhadap naungan. Ketika bunga berkembang penuh(setelah jam 20.00 malam), bunga berisi banyak nektar. Perbungaan terjadisepanjang tahun. Biji mengapung. Selama hujan lebat, kecenderunganpertumbuhan daun akan berubah dari horizontal menjadi vertikal.

Penyebaran S. caseolarisdari Sri Lanka, seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina,hingga Australia tropis, dan Kepulauan Solomon.Kelimpahan umum, dan melimpah setempat dan memiliki manfaat seperti buah asam dapat dimakan (dirujak). Kayu dapat digunakan sebagai kayu bakarjika kayu bakar yang lebih baik tidak diperoleh. Setelah direndam dalam airmendidih, akar nafas dapat digunakan untuk mengganti gabus(Noor, dkk, 1999).


(22)

Polyisoprenoid

Polyisoprenoid alkohol merupakan sekelompok polimer hidrofobik yang secara umum didistribusikan di alam. Molekul tersebut terdiri dari beberapa hingga lebih dari 100 residu isoprena ,kepala terkait dengan ekor dengan gugus hidroksi di salah satu ujung (a-residu) dan sebuah atom hidrogen di sisi yang lain (x-end).Hidrogenasi ikatan rangkap dalam suatu residu memunculkan dolichols (syn. Polyprenols dihidro) berbeda dengan polyprenols tak jenuh (syn. dolichols dehidro).Alkohol Polyisoprenoid diakumulasikan di dalam sel yang paling sering sebagai bebas alkohol dan / atau ester dengan asam karboksilat. Sebuah fraksi dari fosfat polyisoprenoid juga telah terdeteksi, dan bentuk tersebut kadang-kadang dominan dalam membagi sel danSaccharomyces cerevisiae.Hidrofobisitas yang tinggi dari rantai polyisoprenoid menetukan lebih dahulu lokalisasi membran dari polyprenols dan dolichols. Studi klasik subfraktionasi mengungkapkan bahwa dalam sel-sel dolichols pada hati mamalia yang hadir di semua membran sel dengan konten tertinggi di lisosom, golgi dan membran plasma. Dalam sel fotosintesis tanaman kandungan tertinggi polyprenols ditemukan pada kloroplast, sementara solanesol terdeteksi terdapat dalam kloroplas dan jumlah jejak di dalam mitokondria daun bayam (Swiezewska dan Danikiewicz, 2005).


(23)

Naungan

Naungan akan mempengaruhi jumlah intensitas cahaya matahari yang mengenai tanaman. Setiap jenis tanaman membutuhkan intensitas cahaya tertentu untuk memperoleh fotosintesis yang maksimal. Oleh karena itu, pemberian naungan bertujuan mendapatkan intensitas cahaya matahari yang sesuai untuk fotosintesis (Wachjar, 2002).

Cahaya merupakan salah satu kunci penentu dalam proses metabolisme dan fotosintesis tanaman. Cahaya dibutuhkan oleh tanaman mulai dari proses perkecambahan biji sampai tanaman dewasa. Respon tanaman terhadap cahaya berbeda-beda antara jenis satu dengan jenis lainnya. Ada tanaman yang tahan (mampu tumbuh) dalam kondisi cahaya yang terbatas atau sering disebut tanaman toleran dan ada tanaman yang tidak mampu dalam kondisi cahaya terbatas atau tanaman intoleran (Morais et al., 2004).

Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas. Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak (Suhardi et al., 2006).

Lebih kurang 80% dari seluruh bagian tanaman hidup adalah air, sehingga apabila tanaman kekurangan air maka akan terjadi penurunan aktivitas biosintesa dan perubahan karakter fisiologis dan morfologis tanaman. Cahaya matahari mempunyai fungsi yang sangat penting pada aktivitas fotosintesa, apabila terjadi penurunan aktivitas fotosintesa maka akan terjadi


(24)

perubahan karakteristik fisiologis dan morfologis tanaman, dampak berikutnya adalah penurunan produktivitas tanaman.Intensitas cahaya berpengaruh terhadap aktivitas pertumbuhan, perubahan morfologi dan karakter fisiologis, aktivitas metabolisme metabolit primer dan sekunder. Jumlah klorofil a, klorofil b semakin meningkat dengan meningkatnya tingkat naungan dari 790 μmol m−2s−1 (setara dengan penyinaran penuh) menjadi 310 μmol m−2s−1 atau setara dengan naungan 60%. Namun laju fotosintesa justru meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya 790 μmol m−2s−1 setara dangan kondisi 40 (Nagasubramaniam, dkk, 2007).


(25)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Lokasi

Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan kampus Kehutanan untuk persemaian dan analisis rantai panjang polyisoprenid di Laboratorium Farmasi, Universitas Sumatera Utara. Waktu

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2014 – Januari 2015. Alat dan Bahan

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah bak kecambah, sprayer, cangkul, mistar, oven, jangka sorong, ember, gunting, pisau, seng, kamera, meteran, parang, timbangan,scaner EPSON GT-6500ARTnormal-plate thin-layer, Software Excel, dan SAS 9.1.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah buah S.caseolaris yang telah matang dan sudah jatuh dari pohon, paranet 75%, 50 %, 25 %, aseton (CH3COCH3), heksana (C6H16),

nitrogen (N2), metanol (CH3OH), etanol (C2H6O), KOH, heksana (C6H14), bekas botol minuman

1,5 l sebagai polybag, pasir yang telah di gonseng, air, kain sering, tali plastik, bambu, label nama, dan alat tulis.


(26)

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial. Metode analisa yang digunakan adalah sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut dengan menentukan nilai yang berpengaruh atau tidak dengan metode Uji Dunnet pada taraf 5 %. Model linear yang digunakan adalah :

Yij = µ + τi + εij Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada ulangan ke-j yang mendapat perlakuan intensitas naungan ke-i µ = nilai rataan

τi = Pengaruh perlakuan intensitas naungan ke-i

εij = Galat percobaab pada ulangan ke-j dalam perlakuan intensitas naungan ke-i.

Dan untuk analisis polyisoprenoid menggunakan metode kromatografi normal-plate thin-layer, untuk melihat dan separasi famili dolichols dan polyprenols di jaringan tanaman

S.caseolaris pada akar dan daunnya.Dimana, hasil gambar kromatografi yang diperoleh di catat dengan scaner EPSON GT-6500ART.

Perlakuan dalam penelitian ini ialah N0 yaitu tanpa naungan (0%) (Kontrol), N1 yaitu paranet dengan intensitas naungan 25 %, N2 yaitu paranet dengan intensitas naungan 50%, N3 yaitu paranet dengan intensitas naungan 75 %.

Prosedur Penelitian

1. Pemilihan lokasi persemaian

Lokasi persemaian dipilih pada kondisi tanah yang lapang dan datar serta di dekat kampus Kehutanan agar setiap hari bisa dirawat dan disiram dengan teratur.


(27)

Ukuran tempat persemaian dibuat 5m x 4m dengan masing – masing naungan tinggi 1m, lebar 1m, dan panjang 1m. Bahan yang digunakan adalah kain sering.

3. Persiapan media, pengumpulan benih dan penanaman di persemaian

Media yang digunakan untuk pertumbuhan S.caseolaris adalah pasir yang telah digonseng yang bertujuan agar menghilangkan mikroba di dalam pasir (steril). Benih yang digunakan sesuai SNI 7513-2008 yaitu berasal dari buah yang matang yang berasal dari pohon induk atau buah yang telah jatuh. Buah S.caseolaris direndam selama 1 hari sehingga bijinya terpecah dengan sendiri keluar dari kulit buah. Penyeleksian biji yang akan dikecambahkan ialah biji yang terapung. Setelah itu, benih tersebut dikecambahkan kedalam bak tabur yang berisi pasir dengan kondisi kapasitas lapang.Biji S.caseolaris ditaburkan lalu tutupi oleh pasir, dan disiram dengan menggunakan sprayer (SNI 7513-2008). Disiram setiap hari, sampai tumbuh menjadi bibit (jumlah daun 2), setelah itu bibit tersebut ditanam, dengan media 100% pasir kedalam wadah botol minuman 1,5 l.

4. Parameter yang Diamati (Analisis Data)

Pengamatan dilakukan diawal sebelum penanaman dan diakhir penelitian dengan parameter yang diamati adalah :

a. Tinggi Bibit (cm)

Pengukuran tinggi bibit dilakukan dengan menggunakan mistar.Pengukuran dilakukan dengan pangkal bawah bibit S.caseolaris hingga titik tumbuh bibit.Pengukuran dilakukan diawal dan diakhir pengamatan setelah pemanenan.

b. Diameter Bibit (mm)

Pengukuran diameter bibit dengan menggunakan jangka sorong.Pengukuran dilakukan diawal pembibitan dan diakhir setelah pemanenan.


(28)

c. Pertambahan Jumlah Daun

Penghitungan jumlah daun dilakukan pada awal munculnya daun mulai dari pucuk. Pengambilan data dilakukan bersamaan dengan pengambilan data tinggi semai.

d. Berat Basah Akar (g)

Untuk mendapatkan berat basah akar, bagian akar yang baru dipanen dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Ditimbang berat awal akar S.caseolaris.

e. Berat Basah Tajuk (g)

Untuk mendapatkan berat basah tajuk, bagian tajuk yang baru dipanen dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Ditimbang berat awal tajuk S.caseolaris.

f. Berat Kering Akar (g)

Untuk mendapatkan berat kering akar, bagian akar dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian akar S.caseolaris dioven pada suhu 75ºC sampai berat kering konstan (2-3 hari), lalu ditimbang berat kering akar S.caseolaris.

g. Berat Kering Tajuk (g)

Untuk mendapatkan berat kering tajuk, bagian tajuk dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian tajuk S.caseolaris dioven pada temperatur 75ºC sampai berat kering konstan (2-3 hari), lalu ditimbang berat kering tajuk S.caseolaris.


(29)

Perhitungan rasio tajuk dan akar dilakukan pada akhir pengamatan. Perhitungan rasio tajuk dan akar dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Rasio =

akar kering Berat

tajuk kering Berat

i. Separasi antara dolichols dan polyprenols

Daun S.caseolaris dan akar dikeringkan dengan oven 60 oC selama 2 hari, setelah itu di ekstrak sehingga menjadi bubuk, dan direndam kedalam larutan aseton (CH3COCH3) :

heksana (C6H16) 1 : 1 (7,5 ml : 7,5 ml) selama 24 jam dan diinkubasi dengan suhu 40oC.

Setelah itu, difiltrasi dengan cairan nitrogen (N2), lalu disaponifikasikan pada suhu 65oC

dengan ekstrak lipid daun dan akar dengan 4 ml air, 4 ml etanol (C2H6O) 95 %, dan 0,9

gr KOH selama 24 jam. Kemudian, dicampur dengan hasil saponifikasi lipid dengan larutan 2 ml heksana (C6H14). Ekstrak dalam heksana dianalisis menggunakan normal


(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

A. Morfologi Pertumbuhan

Pembibitan Sonneratia caseolaris pada variasi naungan di Kampus Kehutanan USU, selama 3 bulan menghasilkan pertumbuhan seperti jumlah individu/perlakuan terlihat di Tabel 1 (n = 6 – 10).

Tabel 1. Persentase hidup dan mortalitas semaiS. caseolaris

No Perlakuan Persen hidup (%) Mortalitas(%)

1 Intensitas Naungan 0% 89 11

2 Intensitas Naungan 25% 100 -

3 Intensitas Naungan 50% 100 -

4 Intensitas Naungan 75% 67 33

Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya 75 % dan 50 % bibit S.caseolaris, persen hidupnya 100 % sedangkan pada intensitas cahaya yang paling tinggi tingkat mortalitasnya ialah intensitas cahaya 25 %. Hal ini dikarenakan, bibit S.caseolaris sangat membutuhkan cahaya yang cukup (50% - 75 %) bagi pertumbuhan hidupnya.

A1 A2

0 1 2 3 4

0% 25% 50% 75%

T in g g i S e m a i (c m )

Variasi Naungan (%)

y = 0.541x + 1.812 r = 0.1

0 2 4 6 8

-25% 0% 25% 50% 75%

T in g g i S e m a i (c m )


(31)

B1 B2

Gambar 3.Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan tinggi semai S. caseolaris (A1) dan diameter semai (B1). Korelasi naungan terhadap tinggi semai (A2) dan terhadap diameter semai (B2).Data merupakan SE (n= 6-10).

Pada Gambar 3, dapat dilihat tentang proses pertumbuhan bibit S.caseolaris selama 3 bulan pembibitan (12 minggu MST). Pertumbuhan rata-rata tinggi terbaik pada intensitas cahaya 50 %, 2.74 cm, sedangkan pertumbuhan terendah ialah pada intensitas cahaya 75 % yaitu 1.51 % yang terlihat pada A1. Pada pertumbuhan rata-rata diameter yang terbaik yaitu pada intensitas cahaya 50 % yaitu 0.164 mm, sedangkan pada intensitas cahaya 75 % terdapat pertumbuhan diameter terendah yaitu sebesar 0.123 mm (B1). Analisis uji Dunnet menunjukkan bahwa tinggi dan diameter semai tidak berbeda nyata.

Pada Gambar A2, terdapat korelasi positif dan dapat diketahui bahwa r = 0.1, dimana intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan tinggi semai S.caseolaris adalah 10 % sedangkan pada Gambar B2, dapat diketahui bahwa r = 0.045, dimana sumbangan intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan diameter semai S. caseolaris adalah 4.5 %.

0 0,05 0,1 0,15 0,2

0% 25% 50% 75%

D ia m et er S em a i (m m )

Variasi Naungan (%)

y = 0.009x + 0.130 r = 0.045

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35

-25% 0% 25% 50% 75%

D ia m et er S em a i (m m )


(32)

C1 C2

Gambar 4.Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan jumlah daun semai S. caseolaris (C1) dan korelasi naungan terhadap jumlah daun (C2). Data merupakan SE (n= 6-10).

Pada Gambar 4, pertumbuhan jumlah daun sangat ditentukan oleh intensitas cahaya yang terbaik bagi tanaman S.caseolaris. Terlihat rata-rata jumlah daun terbanyak yaitu pada intensitas cahaya 50 % yaitu jumlahnya 4 (C1). Pada Gambar C2, memiliki korelasi positif antara intensitas cahaya terhadap jumlah daun dan diketahui bahwa r = 0.11, dimana sumbangan intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan jumlah daun semai S.caseolaris adalah 11 %. Analisis uji Dunnet menyatakan, intensitas cahaya tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun semai S. caseolaris.

D1 D2

E1 E2

Gambar 5.Pengaruh naungan terhadap berat basah tajuk (D) dan berat basah akar semai S. caseolaris (E).Korelasi naungan terhadap berat basah tajuk (D2) dan terhadap berat basah akar (E2). Data merupakan SE (n= 6-10).

0 2 4 6

0% 25% 50% 75%

J um la h D a un S e ma i

Variasi Naungan (%)

y = 0.553x + 2.677 r = 0.11

0 2 4 6 8

-25% 0% 25% 50% 75%

J um la h D a un S e ma i

Variasi Naungan (%)

0 0,1 0,2 0,3

0% 25% 50% 75%

B e r at B as ah T a ju k (g )

Variasi Naungan (%)

y = 0.019x + 0.079 r = 0.01

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

-25% 0% 25% 50% 75%

B e r at B as ah T a ju k (g )

Variasi Naungan (%)

0 0,1 0,2 0,3

0% 25% 50% 75%

B e r at B as ah A k ar ( g)

Variasi Naungan (%)

y = 0.032x + 0.036 r = 0.071

0 0,5 1

-25% 0% 25% 50% 75%

B e r at B as ah A k ar ( g)


(33)

Pada Gambar 5 (D dan E), pertumbuhan rata – rata terbaik dapat dilihat pada intensitas cahaya 50 % yaitu 0.167 g pada rata – rata berat basah tajuk sedangkan berat basah akar yaitu 0.127 g. Namun, pada intensitas cahaya 25 % terdapat pertumbuhan rata – rata terendah pada berat basah tajuk dan berat basah akar yaitu 0.018 g dan 0.015 g. Pada Gambar D2, dapat diketahui bahwa r = 0.01, dimana hubungan intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan berat basah tajuk semai S.caseolaris adalah 1 % dan pada Gambar E2 dapat diketahui bahwa r = 0.01, dimana terdapat korelasi positif antara intensitas cahaya terhadap berat basah akar dan sumbangan intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan berat basah akar semai S.caseolaris adalah 1 %. Namun, analisis uji Dunnet pada variasi naungan terhadap berat basah tajuk dan berat basah akar pada semai S. caseolaris tidak berbeda nyata.

F1 F2

G1 G2

Gambar 6.Pengaruh naungan terhadap berat kering tajuk (F) dan berat kering akar (G) semai S. caseolaris. Korelasi naungan terhadap berat kering tajuk (F2) dan terhadap berat kering akar (G2).Data merupakan SE (n= 6-10).

Pada Gambar 6, rata-rata berat kering tajuk dan akar (g) yang tertinggi ialah pada intensitas cahaya 50 % masing-masing yaitu 0.04913 g dan 0.03597 g dan rata-rata yang

0 0,02 0,04 0,06 0,08

0% 25% 50% 75%

B era t K eri n g T a ju k (g )

Variasi Naungan (%)

y = 0.007x + 0.021 r = 0.045

0 0,05 0,1 0,15 0,2

-25% 0% 25% 50% 75%

B era t K eri n g T a ju k (g )

Variasi Naungan (%)

0 0,02 0,04 0,06

0% 25% 50% 75%

B era t K eri n g A k ar ( g)

Variasi Naungan (%)

y = -0.005x + 0.019 r = 0.045

0 0,05 0,1 0,15

-25% 0% 25% 50% 75%

B era t K eri n g A k ar ( g)


(34)

terendah pada intensitas cahaya 25 % yaitu 0.00568 g pada rata-rata berat kering tajuk dan 0.00572 g pada berat kering akar. Analisis uji Dunnet pada variasi naungan terhadap berat kering tajuk dan berat kering akar tidak berbeda nyata. Pada Gambar F2, terdapat korelasi positif antara intensitas cahaya dengan berat kering tajuk dapat diketahui bahwa r = 0.045, dimana sumbangan intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan berat kering tajuk semai S.caseolaris adalah 4.5 %. Sedangkan pada Gambar G2, berkorelasi negatif antara intensitas cahaya dengan berat kering akar dan dapat diketahui bahwa r = 0.045, dimana sumbangan intensitas cahaya terhadap naik turunnya pertumbuhan berat kering akar bibit S.caseolaris adalah 4.5 %.

H1 H2

Gambar 7.Pengaruh naungan terhadap berat rasio tajuk dan akar semai S. caseolaris (H1). Korelasi naungan terhadap ratio tajuk dan akar (H2).Data merupakan SE (n= 6-10).

Pada Gambar 7 yaitu pertumbuhan rata-rata rasio tajuk dan akar semai S.caseolaris yang terbaik yaitu 1.789515 pada intensitas cahaya 50 %, sedangkan intensitas cahaya yang terendah yaitu 0.879743 pada intensitas naungan 75 %. Naum, analisis uji Dunnet pada variasi naungan pada rasio tajuk dan akar tidak berbeda nyata. Pada Gambar H2, dapat diketahui berkorelasi positif antara intensitas naungan dengan rasio tajuk dan akar serta diketahui bahwa r = 0.33, dimana sumbangan variasi naungan terhadap naik turunnya pertumbuhan rasio tajuk dan akar semai S.caseolaris adalah 33 %.

Tabel 2. Ringkasan pertumbuhan terbaik parameter penelitian pada berbagai variasi naungan. Data merupakan SE (n = 6-10)

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25

0% 25% 50% 75%

R as io T aj u k d an A ka r

Variasi Naungan (%)

y = 0.987x + 1.101 r= 0.33 0 1 2 3 4

-25% 0% 25% 50% 75%

R as io T aj u k d an A ka r


(35)

Parameter Pengukuran semai Variasi Naungan

Tinggi 50%

Diameter 50%

Jumlah daun 50%

Berat basah tajuk 50%

Berat basah akar 50%

Berat kering tajuk 50%

Berat kering akar 50%

Ratio tajuk dan akar 50%

Tabel 3. Koefisien korelasi semua parameter pengukuran. Data merupakan SE (n = 6-10) Naungan tinggi diameter Jd Bbt Bba Bkt Bka Rta

Naungan 1

Tinggi 0.104 1

Diameter 0.053 0.894 1

Jd 0.111 0.639 0.59 1

Bbt 0.029 0.854 0.911 0.545 1

Bba 0.073 0.739 0.535 0.637 0.421 1

Bkt 0.051 0.944 0.897 0.669 0.918 0.74 1

Bka -0.05 0.83 0.72 0.772 0.618 0.906 0.8506 1 Rta 0.336 -0.07 -0.037 0.028 0.047 -0.13 -0.006 -0.208 1

Keterangan : Jd = jumlah daun, Bbt = berat basah tajuk, Bba = berat basah akar, Bkt = Berat kering tajuk, Bka = berat kering akar, dan Rta = Rasio tajuk dan akar

Pada Tabel 3, korelasi variasi naungan terhadap berbagai parameter terlihat berkorelasi positif dan negatif. Korelasi negatif, hubungan naungan terhadap Bka, tinggi semai terhadap Rta, diameter terhadap Rta, Bba terhadap Rta, Bkt terhadap Rta, dan Bka terhadap Rta, dan parameter yang lain berkorelasi positif.


(36)

B. Separasi Polyprenol dan Dolichols

Gambar 8.Separasi polyprenol dan dolichols. 1-3 daun intensitas cahaya 100 %, 4-6 daun intensitas cahaya 25 %, 7-9 akar intensitas cahaya 100 %, dan 10-12 akar intensitas cahaya 25 %.

Pada gambar 8, tidak nampak seperasi polyprenol dan dolichols karena berat kering daun pada bibit S.caseolaris tidak mencukupi untuk melakukan uji polyisoprenoid (lihat Gambar 5).

Pembahasan

Pada penelitian ini, semaiS.caseolaris dapat bertumbuh karena adanya cahaya yang masuk sebagai cadangan makanan melalui proses fotosintesis. Seperti yang dikatakan oleh Kramer dan Kozlowski (1960) bahwa keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh cadangan makanan yang ada dalam jaringan sel tanaman tersebut. Pada masa 12 minggu setelah tanam pertumbuhan jumlah akar sekunder mulai menunjukkan respon terhadap cahaya yang masuk ke dalam naungan untuk melakukan fotosintesis. Sama halnya dengan pemberian naungan agar saat proses fotosintesis mendapat intensitas cahaya yang sesuai. Hal ini juga diungkapkan oleh Wachjar (2002) bahwa naungan akan mempengaruhi jumlah intensitas cahaya matahari yang mengenai tanaman. Setiap jenis tanaman membutuhkan intensitas cahaya tertentu untuk memperoleh fotosintesis yang maksimal. Oleh karena itu,


(37)

pemberian naungan bertujuan mendapatkan intensitas cahaya matahari yang sesuai untuk fotosintesis.

Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa semaiS.caseolarispada intensitas cahaya 75 % dan 50 %, persen hidup 100 % sedangkan pada intensitas cahaya25 % yang paling tinggi tingkat mortalitasnya. Hal ini dikarenakan, semaiS.caseolaris sangat membutuhkan cahaya yang cukup bagi pertumbuhan hidupnya.Hal ini sesuai pernyataan Marschner (1995) yang mengatakan bahwa cahaya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit di dalam persemaian. Dan hasil ini juga didukung oleh study Heddy (1996) bahwa perilaku tertentu dalam pertumbuhan bisa dianggap sebagai respon terhadap bermacam-macam rangsangan yang mempengaruhi tumbuhan.

Pada Gambar 3 dan 4, pertumbuhan tinggi, diameter, dan jumlah daun yang menujukkan bibit S.caseolaris dapat tumbuh lebih baik pada intensitas cahaya yang 50 %.Artinya, bibit S.caseolaris tidak dapat tumbuh dengan baik dengan tanpa cahaya atau terbatas. Pada penelitian Kurniaty, dkk (2009) menjelaskan bahwanaungan 40% memberikan pengaruh yangnyata terhadap pertumbuhan bibit suren(Toona sureni MERR) berumur5 bulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalampertumbuhannya, suren sangat memerlukan cahaya, sehingga ketika mendapatkan cahayayang cukup untuk aktivitas fisiologisnya (0-40%).Seperti study Morais (2004) yang melaporkan cahaya merupakan salah satu kunci penentu dalam proses metabolisme dan fotosintesis tanaman. Cahaya dibutuhkan oleh tanaman mulai dari proses perkecambahan biji sampai tanaman dewasa. Respon tanaman terhadap cahaya berbeda-beda antara jenis satu dengan jenis lainnya. Ada tanaman yang tahan (mampu tumbuh) dalam kondisi cahaya yang terbatas atau sering disebut tanaman toleran dan ada tanaman yang tidak mampu dalam kondisi cahaya terbatas atau tanaman intoleran.Hal ini juga sesuai dengan pendapat Marjenah (2001), bahwa pada


(38)

intensitas cahaya yang cukup tanaman cenderung memacu pertumbuhan diameternya sehingga tanaman yang tumbuh pada tempat terbuka mempunyai tendensi untuk menjadi pendek dan kekar.

Pada Gambar 4, yaitu jumlah daun yang terbaik ialah intensitas naungan 50 %. Hal ini karena pada cahaya 50 % menghasilkan daun yang lebih besar dan pastinya jumlah stomata yang besar.Hal ini didukung juga oleh hasil penelitian Widiastoety dkk (2000), yang menunjukkan tanaman yang dihadapkan pada intensitas cahaya 55% memberikan produksi bunga dan lebar daun tertinggi serta pembentukan tunas terbaik, sedangkan naungan 75% menyebabkan tanaman menghasilkan panjang tangkai bunga tertinggi.Sutarmi (1983) juga menyatakan dengan intensitas cahaya yang rendah, tanaman menghasilkan daun lebih besar, lebih tipis dengan lapisan epidermis tipis, jumlah stomata lebih banyak. Sebaliknya pada tanaman yang menerima intensitas cahaya tinggi menghasilkan daun yang lebih kecil, lebih tebal, lebih kompak dengan jumlah stomata lebih sedikit, dan tekstur daun keras.Daun merupakan organ tanaman tempat berlangsungnya proses fotosintesis.

Pada Gambar 6, menunjukkan bahwa berat kering dan berat basah tanaman yang terendah ialah intensitas cahaya yang 25 %. Hal ini dikarenakan, semakin tinggi taraf naungan maka berat basah dan kering tanaman menurun dan respirasi meningkat serta biomassa yang menurun. Harjadi (1991) menyatakan besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan bobot kering. Peningkatan intensitas cahaya dari 75% menjadi 100% menyebabkan bobot kering tajuk menurun, dengan meningkatnya intensitas cahaya maka akan meningkatkan suhu lingkungan tanaman, yang mengakibatkan respirasi tanaman meningkat, sehingga hasil fotosintesis bersih (biomassa) yang tersimpan dalam jaringan tanaman sedikit, menyebabkan bobot kering tajuk pada tanaman dengan perlakuan intensitas cahaya 75% lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas cahaya 100%. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian


(39)

Tunggal (2004) melaporkan bahwa pada tanaman meniran(Phyllanthus niruri), semakin tinggi taraf naungan maka bobot basah dan bobot kering tanaman menjadi semakin rendah.

Dengan adanya naungan yang diberikan pada bibit S.caseolaris maka evaporasi dapat dikurangi dengan adanya berat basah akar pada tabel 3 yang terbaik pada naungan 50 %.Hal ini seperti yang dikatakan oleh Suhardi (1995) yaitu pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak.

Hal identik ditemukan pada studi Nagasubramaniam (2007), menyatakan aktifitas fotosintesa yang baik terdapat pada naungan sekitar 60 %. Dalam konteks ini, intensitas cahaya berpengaruh terhadap aktivitas pertumbuhan, perubahan morfologi dan karakter fisiologis, aktivitas metabolisme metabolit primer dan sekunder. Jumlah klorofil a, klorofil b semakin meningkat dengan meningkatnya tingkat naungan setara dengan naungan 60%. Namun laju fotosintesa justru meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya 790 μmol m−2s−1 setara dangan kondisi intensitas cahaya 40.

Bobot kering tajuk dan akar pada bibit S.caseolaris yang paling tinggi pada Gambar 6ialah pada intensitas cahaya 50 %. Pada kondisi ini biomassa yang terbesar terdapat pada intensitas cahaya 50 %. Seperti studi Tohari dkk (2004) mengatakan bahwa besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis menggambarkan besarnya biomassa yang ada, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan bobot kering.

Intensitas cahaya 50 % memiliki perakaran yang tumbuh cukup baik dibandingkan dengan sistem perakaran di intensitas cahaya100 %, 75 %, dan 25 % (Gambar 5G).Intensitas cahaya 50 % dianggap mampu mempertahankan keseimbangan fisiologisnya untuk bertumbuh


(40)

dengan baik.Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata rasio tajuk dan akar yang terbaik terdapat di intensitas naungan 50 % sebesar 1.790. Hal ini sesuai dengan pernyataan Baluska (1995) bahwa akar berfungsi menyerap air dan nutrisi dari tanah–tanah disekitar tanaman, sistem akar yang baik adalah kunci untuk menghasilkan tanaman yang baik, rasio akar dan pucuk adalah suatu metode pengukuran yang membantu kita untuk mendata tingkat kesuburan tanah.Hasil ini juga didukung olehpenelitian Klepper (1991) mengatakan bahwa setiap tanaman mempunyai ciri khas yang berbeda untuk menggambarkan hubungan antara tajuk dan akar. Keseimbangan tajuk dan akar merupakan upaya organ tanaman tersebut dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis, sehingga masing-masing organ tanaman dapat melakukan fungsinya secara normal.

Dari data hasil penelitian (Tabel 2), mofologi dan fisiologis bibit S.caseolaris yang terbaik ada pada intensitas naungan 50 %, dimana suhu udara dan kelembaban optimal, tidak ketinggian maupun rendah.Hal ini juga diungkapkan oleh penelitian Kramer dan Kozlowski (1960) yaitu semakin besar tingkat naungan (semakin kecil intensitas cahaya yang diterima tanaman) maka suhu udara rendah, kelembaban udara semakin tinggi. Kelembaban udara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan tanaman. Kelembaban udara dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena dapat mempengaruhi proses fotosintesis.

Cahaya dan suhu juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan semai di persemaian.Cahaya yang terlalu tinggi juga menyebabkan penurunan pertumbuhan sedangkan cahaya yang terlalu rendah juga menimbulkan pengaruh yang kurang baik bagi pertumbuhan bibit S.caseolaris.Sehingga bibit S.caseolaris, yang terbaik 50 %.Hal ini juga didukung oleh studi Marschner (1995) intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan bibit tumbuh kerdil, daun kering dan gugur, bahkan dapat berakibat bibit mati. Sedangkan intensitas cahaya yang rendah


(41)

atau kurang akan menimbulkan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan bibit serta menyebabkan etiolasi pada bibit. Dan juga pada penelitian Daniel et al. (1992) mengatakan bahwa cahaya langsung berpengaruh pada pertumbuhan pohon melalui intensitas, kualitas dan lama penyinaran Hasil penelitian menunjukan bahwa naungan mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah daun, ukuran daun, bobot basah tajuk, dan bobot kering simplisia. Secara umum perlakuan naungan 50% memberikan tinggi tanaman yang paling tinggi dari pada perlakuan naungan 25% dan tanpa naungan.


(42)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Intensitas cahaya yang terbaik untuk pertumbuhan S.caseolaris yaitu 50 %, pada uji Dunnet intensitas cahaya tidak berbeda nyata terhadap semua parameter pertumbuhan.

Saran

Untuk menghasilkan separasi polyprenol dan dolichols semai S.caseolaris membutuhkan berat kering tajuk dan akar yang banyak. Untuk itu, persemaian S. caseolaris dibutuhkan waktu minimal 6 bulan sampai 1 tahun.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Baluska, F. 1995. Structure and Function of Roots. Kluwer Academic. Dordrecht. The Netherlands

Basyuni, M., Baba, S., Takara, et al. 2007. Isoprenoids of Okinawan mangroves as lipid input into estuarine ecosystem. J. Oceanogr. 63, 601-608.

Basyuni, M., Kinjo, Y., Baba, S., et al. 2011. Isolation of salt stress tolerance genes from roots of mangrove plant, Rhizophora stylosa griff., using PCR-based suppression subtractive hybridization. Plant Mol. Biol. Rep. 29, 533-543.

Basyuni, M., S. Baba, Y. Kinjo, et al. 2012. Salinity increase the triterpenoid content of a salt secretor and a non salt secretor mangrove. Aguat Bot 97, 17-23.

Bengen, DG. 2002. Sinopsis : Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaanya, Cetakan Ketiga. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Chambers, M. J. 1980. The Environment and Geomorphology of Deltaic Sedimentation(some examples from Indonesia) Trop. Ecol. Dev. Hal 1091-1095.

Daniel, T., dkk. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. (Edisi kedua).Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Giri, C., E. Ochieng, L. L. Tieszen,et al. 2011. Status and distribution of mangrove forest of the world using earth observation satellite data.Global Ecol and Biogeogr. 20, 154–159.

Harahab, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Harjadi, S. 1991. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.

Heddy, S. 1996. Hormon Tumbuhan. Ed. 1 Cet. 3. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Klepper, B. 1991. Root-shoot relationships, p: 265-286. In Waisel et al., 1991. Plant roots the hidden half. Marcel Dekker Inc. New York. 948 p.

Kremer, P. J. dan T. T Kozlowsky. 1960. Physiology of Trees, Mc Graw-Hill Book Company. New York. 642 pp.

Kurniaty, R., dkk. 2009. Pengaruh Media dan Naungan terhadap Mutu Bibit Suren (Toona sureni

MERR.).Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Bogor.


(44)

Marjenah.2001. Pengaruh Perbedaan Naungandi Persemaian terhadap Pertumbuhan danRespon Morfologi Dua Jenis SemaiMeranti.Jurnal Ilmiah Kehutanan “RimbaKalimantan” Vol. 6 No. 2. UniversitasMulawarman Samarinda.

Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd. Academic Press.HarcourtBrace & Company, Publishers. London.San Diego. New York. Boston. Sydney.Tokyo. Toronto. 889 p.

Morais, H, dkk. 2004. Modifications on leaf anatomy as a constrain for photosynthetic acclimation : differential responses in leaf anatomy to increasing growth irradiance among three deciduous trees. Plants, Cell & Environment 28(7) : 916-927.

Nagasubramaniam, A., dkk. 2007. Studies on improving production potential of baby corn with foliar spray of plant growth regulators. Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol., 21:154–157.

Noor R, Khazali, Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor : PKA/WI_IPB.

Spalding M, Kainuma M, Collins L. 2010. World atlas of mangroves. Earthscan. London.

Swiezewska, E dan Witold, D. 2005. Polyisoprenoids: structure, biosynthesis and function. Prog. Lipid Res 44, 235–258.

Suhardi,et al. 2006. Pengkajian Inovasi Teknologi Pengolahan. http//www.jatim. litbang.deptan.go.id.

Sutarmi, S. 1983. Botani Umum Jilid II. Angkasa. Bandung.

Tohari, Libria, dan W. Endang, S. 2004. Pengaruh intensitas cahaya dan kadar daminosida terhadap iklim mikro dan pertumbuhan tanaman. Ilmu Pertanian 2, 33-42.

Tunggal L. 2004. Pengaruh Intensitas Naungan dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan produksi herba Meniran (Phyllanthus niruri L.) pada sistem pertanian organik [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wachjar, A. 1984. Pengantar Budidaya Kopi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Walsh. 1974. Mangroves : A review. In : Ecology of Halophytes, Reinhold RJ, Queen WH (eds.). New York : Academic Press.

White, A.T., P. Martosubroto & M.S.M. Sadorra. Editor. 1989. The Coastal Environmental Profile of Segara Anakan-Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARMTechnical Reports 25, 82 hal. International Center for Living Aquatic ResourcesManagement. Manila, Philippines.


(45)

Widiastoety,dkk. 2000. Pengaruh Naungan Terhadap Produksi Tiga Kultivar Bunga Anggrek Dendrobium. Jurnal Holtikultura No. 9. Vol. 4. Hal 302-306. Badan Penelitian dan Pengembangan Holtikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.


(46)

LAMPIRAN

A B

SK db JK KT F hit F tab 5%

SK Db JK KT F hit F tab

5% Perlakuan 3 6.286 2.095 1.05 0.3866 Perlakuan 3 0.009 0.003 1.25 0.3092

Galat 28 55.961 1.999 Galat 28 0.068 0.002

Total 31 62.247 Total 31 0.077

C D

E F

SK db JK KT F hit F tab 5 %

SK db JK KT F hit F tab 5 %

Perlakuan 3 0.009 0.003 1.25 0.309 Perlakuan 3 0.093 0.031 1.14 0.349

Galat 26 0.068 0.002 Galat 26 0.759 0.027

Total 29 0.077 Total 29 0.852

G H

SK db JK KT F hit F tab 5 %

SK db JK KT F hit F tab 5

% Perlakuan 3 0.003 0.001 1.20 0.3276 Perlakuan 3 3.450 1.150 1.67 0.1965 Galat 28 0.026 0.0009 Galat 28 19.308 0.689

Total 31 0.029 Total 31 22.758

Keterangan : (A) anova tinggi, (B) anova diameter, (C) anova jumlah daun, (D) anovaberat basah tajuk, (E)anova berat basah akar, (F) anova berat kering tajuk, (G) anova berat kering akar, (H) anova rasio tajuk dan akar.

SK db JK KT F hit F tab 5 %

SK db JK KT F hit F tab 5 %

Perlakuan 3 4.129 1.376 0.53 0.6630 Perlakuan 3 1.381 0.610 0.54 0.656

Galat 27 69.613 2.578 Galat 26 29.141 1.121


(47)

A B C

D E F

G

Keterangan : (A) pengukuran tinggi dan diameter semai, (B) bibit S. caseolaris, (C) persemaian (D) S. caseolaris 0 %, (E) S. caseolaris 25 %, (F) S. caseolaris 50 %, (G) S. caseolaris 75 %


(48)

A GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 - 1 0.776 -0.999 2.552

4 - 1 -0.017 -1.874 1.841

2 - 1 -0.457 -2.076 1.163

B GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 - 1 0.03095 -0.031 0.093

4 - 1 -0.01000 -0.075 0.055

2 - 1 -0.01333 -0.069 0.043

C GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 - 1 0.921 -1.103 2.944

4 - 1 0.178 -1.667 2.023

2 - 1 -0.022 -2.262 2.218

D GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 - 1 0.529 -0.901 1.959

4 - 1 0.363 -1.067 1.792

2 - 1 -0.078 -1.333 1.178

E GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 - 1 0.031 -0.3070.093

4 - 1 -0.010 -0.0750.055

2 - 1 -0.013 -0.0690.043

F GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 – 1 0.095 -0.112 0.302

4 – 1 -0.035 -0.224 0.153

2 – 1 -0.054 -0.270 0.162

G GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 – 1 0.018 -0.020 0.056

4 – 1 -0.004 -0.039 0.031


(49)

H

GROUP Comparison

Difference Between Means

Simultaneous 95% Confidence Limits

3 – 1 0.6132 -0.4299 1.6564

4 – 1 0.0863 -1.0046 1.1772

2 – 1 -0.2966 -1.2476 0.6545

Keterangan : (A) Uji dunnet tinggi, (B) uji dunnet berat basah akar, (C) uji dunnet jumlah daun, (D) uji dunnet berat basah tajuk, (E)anova berat basah akar, (F) uji dunnet berat kering tajuk, (G) uji dunnet berat kering akar, (H) uji dunnet rasio tajuk dan akar.


(1)

Marjenah.2001. Pengaruh Perbedaan Naungandi Persemaian terhadap Pertumbuhan danRespon

Morfologi Dua Jenis SemaiMeranti.Jurnal Ilmiah Kehutanan “RimbaKalimantan” Vol.

6 No. 2. UniversitasMulawarman Samarinda.

Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd. Academic Press.HarcourtBrace &

Company, Publishers. London.San Diego. New York. Boston. Sydney.Tokyo.

Toronto. 889 p.

Morais, H, dkk. 2004. Modifications on leaf anatomy as a constrain for photosynthetic

acclimation : differential responses in leaf anatomy to increasing growth irradiance

among three deciduous trees. Plants, Cell & Environment 28(7) : 916-927.

Nagasubramaniam, A., dkk. 2007. Studies on improving production potential of baby corn with

foliar spray of plant growth regulators. Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol.,

21:154–157.

Noor R, Khazali, Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor :

PKA/WI_IPB.

Spalding M, Kainuma M, Collins L. 2010. World atlas of mangroves. Earthscan. London.

Swiezewska, E dan Witold, D. 2005. Polyisoprenoids: structure, biosynthesis and function.

Prog. Lipid Res 44, 235–258.

Suhardi,et al.

2006. Pengkajian Inovasi Teknologi Pengolahan. http//www.jatim.

litbang.deptan.go.id.

Sutarmi, S. 1983. Botani Umum Jilid II. Angkasa. Bandung.

Tohari, Libria, dan W. Endang, S. 2004. Pengaruh intensitas cahaya dan kadar daminosida

terhadap iklim mikro dan pertumbuhan tanaman. Ilmu Pertanian 2, 33-42.

Tunggal L. 2004. Pengaruh Intensitas Naungan dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan

produksi herba Meniran (Phyllanthus niruri L.) pada sistem pertanian organik

[skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wachjar, A. 1984. Pengantar Budidaya Kopi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Walsh. 1974. Mangroves : A review. In : Ecology of Halophytes, Reinhold RJ, Queen WH

(eds.). New York : Academic Press.

White, A.T., P. Martosubroto & M.S.M. Sadorra. Editor. 1989. The Coastal Environmental

Profile of Segara Anakan-Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARMTechnical Reports

25, 82 hal. International Center for Living Aquatic ResourcesManagement. Manila,

Philippines.


(2)

Widiastoety,dkk. 2000. Pengaruh Naungan Terhadap Produksi Tiga Kultivar Bunga Anggrek

Dendrobium. Jurnal Holtikultura No. 9. Vol. 4. Hal 302-306. Badan Penelitian dan

Pengembangan Holtikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.


(3)

LAMPIRAN

A

B

SK db JK KT F hit F tab 5%

SK Db JK KT F hit F tab

5% Perlakuan 3 6.286 2.095 1.05 0.3866 Perlakuan 3 0.009 0.003 1.25 0.3092

Galat 28 55.961 1.999 Galat 28 0.068 0.002

Total 31 62.247 Total 31 0.077

C

D

E

F

SK db JK KT F hit F tab 5 %

SK db JK KT F hit F tab 5 %

Perlakuan 3 0.009 0.003 1.25 0.309 Perlakuan 3 0.093 0.031 1.14 0.349

Galat 26 0.068 0.002 Galat 26 0.759 0.027

Total 29 0.077 Total 29 0.852

G

H

SK db JK KT F hit F tab 5 %

SK db JK KT F hit F tab 5

% Perlakuan 3 0.003 0.001 1.20 0.3276 Perlakuan 3 3.450 1.150 1.67 0.1965 Galat 28 0.026 0.0009 Galat 28 19.308 0.689

Total 31 0.029 Total 31 22.758

Keterangan : (A) anova tinggi, (B) anova diameter, (C) anova jumlah daun, (D) anovaberat basah tajuk, (E)anova berat basah akar, (F) anova berat kering tajuk, (G) anova berat kering akar, (H) anova rasio tajuk dan akar.

SK db JK KT F hit F tab 5 %

SK db JK KT F hit F tab 5 %

Perlakuan 3 4.129 1.376 0.53 0.6630 Perlakuan 3 1.381 0.610 0.54 0.656

Galat 27 69.613 2.578 Galat 26 29.141 1.121


(4)

A

B

C

D

E

F

G

Keterangan : (A) pengukuran tinggi dan diameter semai, (B) bibit S. caseolaris, (C) persemaian (D) S. caseolaris 0 %, (E) S. caseolaris 25 %, (F) S. caseolaris 50 %, (G) S. caseolaris 75 %


(5)

A

GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 - 1 0.776 -0.999 2.552

4 - 1 -0.017 -1.874 1.841

2 - 1 -0.457 -2.076 1.163

B

GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 - 1 0.03095 -0.031 0.093

4 - 1 -0.01000 -0.075 0.055

2 - 1 -0.01333 -0.069 0.043

C

GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 - 1 0.921 -1.103 2.944

4 - 1 0.178 -1.667 2.023

2 - 1 -0.022 -2.262 2.218

D

GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 - 1 0.529 -0.901 1.959

4 - 1 0.363 -1.067 1.792

2 - 1 -0.078 -1.333 1.178

E

GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 - 1 0.031 -0.3070.093

4 - 1 -0.010 -0.0750.055

2 - 1 -0.013 -0.0690.043

F

GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 – 1 0.095 -0.112 0.302

4 – 1 -0.035 -0.224 0.153

2 – 1 -0.054 -0.270 0.162

G

GROUP Comparison Difference Between Means Simultaneous 95% Confidence Limits

3 – 1 0.018 -0.020 0.056

4 – 1 -0.004 -0.039 0.031


(6)

H

GROUP

Comparison

Difference Between Means

Simultaneous 95% Confidence Limits

3 – 1 0.6132 -0.4299 1.6564

4 – 1 0.0863 -1.0046 1.1772

2 – 1 -0.2966 -1.2476 0.6545

Keterangan : (A) Uji dunnet tinggi, (B) uji dunnet berat basah akar, (C) uji dunnet jumlah daun, (D) uji dunnet berat basah tajuk, (E)anova berat basah akar, (F) uji dunnet berat kering tajuk, (G) uji dunnet berat kering akar, (H) uji dunnet rasio tajuk dan akar.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 50 63

Respons Pertumbuhan Tanaman dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid terhadap Variasi Naungan dan Salinitas pada Mangrove Sonneratia alba Smith

2 41 76

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Dan Komposisi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

2 75 89

Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 0 11

Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 1 10

Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 0 10

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Dan Komposisi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 0 29

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Dan Komposisi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 0 13

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Dan Komposisi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 0 13

Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris (L.)

0 0 11