Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

(1)

PENGARUH VARIASI NAUNGAN TERHADAP

PERTUMBUHAN DAN KONSENTRASI RANTAI PANJANG

POLYISOPRENOID SEMAI MANGROVE SEJATI MINOR

BERJENIS SEKRESI

Xylocarpus granatum

Koenig.

SKRIPSI

Oleh: TRY MIHARZA

111201085

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN


(2)

2015

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig. Nama : Try Miharza

NIM : 111201085

Menyetujui Komisi Pembimbing

Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.D

Ketua Anggota Dr. Ir. Yunasfi, M.Si

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan Siti Latifah, S.Hut, M.Si., Ph.D


(3)

ABSTRACT

TRY MIHARZA: Response of Shade Variation on Growth and Concentration of

Long Chain Polyisoprenoid in Xylocarpus granatum Koenig. Seedlings.

Supervised by MOHAMMAD BASYUNI and YUNASFI.

X. granatum is one of mangrove plants that can exist in extreme environments. This plant contains secondary metabolites for further study. Complete Random Design (CRD) was used with 5 treatment of light intensity (0%, 25%, 50%, 75% and 100%) of X. granatum seedlings. Results showed that shade 100% (0% light intensity) provided the highest growth response, but does not necessarily provided optimum growth response. The total content of polyisoprenoid in 0% shade was of 0,153 ml little bit higher than 75% of 0.144 ml. TLC analysis of the results showed that the concentrations of dolichol in treatment 0% shade was higher in the root and the leaves of X. granatum seedlings compared to 75% shade treatment .

Keywords: Mangrove , Non Saponifiable Lipids ( NSL ), Polyisoprenoid, Xylocarpus granatum


(4)

ABSTRAK

TRY MIHARZA : Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI dan YUNASFI.

Mangrove jenis X. granatum merupakan salah satu tanaman yang dapat hidup pada lingkungan yang ekstrim sehingga tanaman ini memiliki potensi yang sangat baik untuk diteliti senyawa metabolit sekunder yang dikandungnya. Penelitian ini menggunakan metode analisis Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan intensitas cahaya (0%, 25%, 50%, 75% dan 100%) terhadap semai X. granatum dengan masing-masing 5 ulangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan naungan 100% (intensitas cahaya 0%) memberikan respon pertumbuhan yang tertinggi, namun tidak memberikan respon pertumbuhan yang optimum. Total kandungan polyisoprenoid pada naungan 0% dengan nilai 0,153 ml lebih tinggi dibandingkan dengan naungan 75% dengan nilai 0,144 ml. Hasil analisis TLC menunjukkan bahwa konsentrasi dolichol pada perlakuan variasi naungan 0% lebih tinggi pada akar maupun pada daun semai X. granatum jika dibandingkan dengan perlakuan variasi naungan 75%.

Kata Kunci: Mangrove, Non Saponifiable Lipids (NSL), Polyisoprenoid, Xylocarpus granatum.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Medan pada tanggal 13 Maret 1993 dari Bapak Chandra Hasan dan Ibu Abidah. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Pada tahun 2005 Penulis lulus dari SD Adhyaksa Medan, tahun 2008 lulus dari SMP Negeri 7 Medan, dan tahun 2011 lulus dari SMA Dharmawangsa Medan. Pada tahun 2011 Penulis melanjutkan kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan sebagai mahasiswa di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian melalu jalur Ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama perkuliahan, penulis pernah menjabat sebagai ketua divisi pengembangan dalam Rainforest Community pada tahun 2013-2015 di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Taman Hutan Raya dan Hutan Pendidikan Gunung Barus di Kabupaten Karo pada tahun 2013. Penulis juga menjadi Asisten Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan Mangrove di Pulau Sembilan, Kabupaten Langkat pada tahun 2014.. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur pada tahun 2015.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan suatu aplikasi ilmu yang didapat dari pembelajaran di ruang perkuliahan dan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut).

Pada kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih kepada kedua orangtua penulis, yaitu Ayahanda Chandra Hasan dan Ibunda Abidah yang telah memberi dukungan dan doanya selama ini. Terima kasih juga kepada Bapak Mohammad Basyuni, S.Hut.,M Si., Ph.D. dan Bapak Dr. Ir. Yunasfi selaku komisi pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberi saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman satu tim penelitian yang telah membantu penulis selama penelitian dan pengerjaan skripsi ini. Terima kasih juga kepada keluarga tersayang Milda Novalia, M. Faisal Rahendra Lubis, Ferryanda, M. Fachrul Rozie, M. Zikry Chandra, dan Sutan Akhtar Rahendra Lubis, yang telah banyak memberikan dukungan moral sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberi kontribusi yang baru khususnya dalam bidang kehutanan dan bidang pendidikan dalam penelitian-penelitian ilmiah.


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi Xylocarpus granatum ... 6

Metabolit Sekunder Tanaman Mangrove ... 8

Pemberian Naungan ... 11

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

Alat dan Bahan Penelitian ... 14

Pelaksanaan Penelitian ... 15

Metode Ekstraksi Polyisoprenoid ... 18

Analisis Data ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN Perlakuan Variasi Intensitas Cahaya terhadap Parameter Pengamatan ... 21

Tinggi dan Diameter ... 21

Jumlah Daun dan Luas Daun ... 23

Berat Basah Akar dan Berat Basah Tajuk ... 25

Berat Kering Akar dan Berat Kering Tajuk ... 27

Rasio Tajuk dan Akar... 29

Analisis Korelasi Tingkat Intensitas Cahaya dan Parameter Pengamatan .... 31

Analisis Non-saponifiable Lipids (NSL) dan Polyisoprenoid ... 32

Analisis Polyisoprenoid dengan 1D-TLC ... 33

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 36

Saran ... 36 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Koefisien korelasi antar parameter pengamatan semai X. granatum ... 32 2. Total lipid dan kandungan NSL pada semai X. granatum ... 34


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Struktur Polyprenols dan dolichols ... 9 2. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan Tinggi semai (A) , diameter

Semai (B), korelasi tinggi semai (C), dan korelasi diameter semai (D). ... 21 3. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan jumlah daun (A) , luas

daun (B), korelasi jumlah daun (C), dan korelasi luas daun (D) ... 24 4. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan berat basah akar (A) ,

Berat basah tajuk (B), korelasi berat basah akar (C), dan korelasi

berat basah tajuk (D) ... 26 5. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan berat kering akar (A),

berat kering tajuk (B), korelasi berat kering Akar (C), dan

korelasi berat kering tajuk (D) ... 28 6. Pengaruh naungan terhadap rasio tajuk dan akar (A) , korelasi rasio

tajuk dan akar (B) ... 30 7. One-Dimensional Plate Thin-Layer Chromatography polyisoprenoid


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal.

1. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Tinggi Semai X. granatum ... 1 2. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Diameter

Semai X. granatum ... 2 3. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Jumlah Daun

X. granatum ... 3 4. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Luas Daun

X. granatum ... 4 5. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Berat Basah

Akar X. granatum ... 5 6. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Berat Basah

Tajuk X. granatum ... 6 7. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Berat Kering

Akar X. granatum ... 7 8. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Berat Kering

Tajuk X. granatum ... 8 9. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Rasio Tajuk

Akar X. granatum ... 9 10.Dokumentasi Kegiatan ... 10


(11)

ABSTRACT

TRY MIHARZA: Response of Shade Variation on Growth and Concentration of

Long Chain Polyisoprenoid in Xylocarpus granatum Koenig. Seedlings.

Supervised by MOHAMMAD BASYUNI and YUNASFI.

X. granatum is one of mangrove plants that can exist in extreme environments. This plant contains secondary metabolites for further study. Complete Random Design (CRD) was used with 5 treatment of light intensity (0%, 25%, 50%, 75% and 100%) of X. granatum seedlings. Results showed that shade 100% (0% light intensity) provided the highest growth response, but does not necessarily provided optimum growth response. The total content of polyisoprenoid in 0% shade was of 0,153 ml little bit higher than 75% of 0.144 ml. TLC analysis of the results showed that the concentrations of dolichol in treatment 0% shade was higher in the root and the leaves of X. granatum seedlings compared to 75% shade treatment .

Keywords: Mangrove , Non Saponifiable Lipids ( NSL ), Polyisoprenoid, Xylocarpus granatum


(12)

ABSTRAK

TRY MIHARZA : Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI dan YUNASFI.

Mangrove jenis X. granatum merupakan salah satu tanaman yang dapat hidup pada lingkungan yang ekstrim sehingga tanaman ini memiliki potensi yang sangat baik untuk diteliti senyawa metabolit sekunder yang dikandungnya. Penelitian ini menggunakan metode analisis Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan intensitas cahaya (0%, 25%, 50%, 75% dan 100%) terhadap semai X. granatum dengan masing-masing 5 ulangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan naungan 100% (intensitas cahaya 0%) memberikan respon pertumbuhan yang tertinggi, namun tidak memberikan respon pertumbuhan yang optimum. Total kandungan polyisoprenoid pada naungan 0% dengan nilai 0,153 ml lebih tinggi dibandingkan dengan naungan 75% dengan nilai 0,144 ml. Hasil analisis TLC menunjukkan bahwa konsentrasi dolichol pada perlakuan variasi naungan 0% lebih tinggi pada akar maupun pada daun semai X. granatum jika dibandingkan dengan perlakuan variasi naungan 75%.

Kata Kunci: Mangrove, Non Saponifiable Lipids (NSL), Polyisoprenoid, Xylocarpus granatum.


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mangrove merupakan salah satu tanaman yang dapat hidup pada lingkungan yang ekstrim, dimana sifat - sifat fisika dan kimia pada habitatnya selalu berubah sebagai akibat pengaruh pasang surut, air tawar atau sungai, pengendapan lumpur, dekomposisi bahan organik dan lain-lain, sehingga tanaman ini memiliki potensi yang sangat baik untuk diteliti mengenai senyawa metabolit sekunder yang dikandungnya. Metabolit sekunder didefinisikan sebagai senyawa yang disintesis oleh organisme (mikroba, tumbuhan, insektisida dan sebagainya), tidak untuk memenuhi kebutuhan primernya (tumbuh dan berkembang) melainkan untuk mempertahankan eksistensinya dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Sumaryono, 1999).

Menurut Giri et al (2011), Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 22.6% dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua. Tanaman mangrove Xylocarpus granatum Koenig banyak digunakan sebagai bahan untuk obat obatan. Kemampuan adaptasi mangrove Xylocarpus granatum Koenig. terhadap intensitas cahaya belum diketahui secara jelas intensitas cahaya berapa yang cocok untuk pertumbuhan semai Xylocarpus granatum Koenig. Untuk itulah perlu diketahui intensitas cahaya yang efektif untuk pertumbuhan semai Xylocarpus granatum Koenig. Selain itu melalui penelitian ini diteliti juga mengenai komposisi senyawa polyisoprenoid yang terkandung pada tanaman mangrove Xylocarpus granatum Koenig. tersebut. Berdasarkan literatur, komposisi senyawa rantai panjang polyisoprenoid akan berubah seiring dengan


(14)

bertambahnya umur tanaman dan pengaruh lingkungan seperti salinitas dan intensitas cahaya yang berlebih. Kandungan senyawa rantai panjang polyisoprenoid berperan sebagai senyawa metabolit sekunder yang mampu melindungi tanaman mangrove dari kondisi intensitas cahaya yang berlebih. Namun belum diketahui secara jelas dan belum pernah ada penelitian mengenai pengaruh berbagai intensitas cahaya terhadap perubahan komposisi rantai panjang polyisoprenoid semai mangrove Xylocarpus granatum Koenig.

Mangrove dikenal sebagai penghasil senyawa metabolit sekunder terutama senyawa triterpenoid dan fitosterol (isoprenoid). senyawa rantai panjang polyisoprenoid (C>50), meskipun tersebar di kerajaan tanaman, tetapi distribusi, keanekaragaman dan fungsi fisiologisnya di hutan mangrove belum diketahui dengan baik. Penelitian sebelumnya menyebutkan, proporsi terbesar dari triterpenoid terdistribusi di bagian luar akar daripada di bagian dalamnya, hasil ini mengindikasikan peranan protektif dari triterpenoid di hutan mangrove dan juga menunjukkan bahwa cekaman garam menginduksi perubahan konsentrasi

isoprenoid di mangrove baik jenis sekresi maupun non sekresi (Basyuni et al, 2007). Sejauh ini penelitian tentang rantai panjang polyisoprenoid

lebih difokuskan pada bakteria, mamalia, hewan, sel kultur ragi dan sedikit pada tanaman, terlebih dari tanaman termasuk mangrove (Swiezewska dan Danikiewicz, 2005; Skorupinska-Tudek dan Swiezewska, 2008). Fungsi dan peranan rantai panjang polyisprenoid juga belum banyak diketahui terutama dari spesies mangrove (Surmacz dan Swiezewska, 2011). Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwasannya senyawa triterpenoid berperan terhadap proteksi tanaman dari cekaman garam, namun belum diketahui bahwasannya senyawa


(15)

tersebut juga berperan memproteksi semai mangrove dari pengaruh intensitas cahaya yang berlebih. Berdasarkan hal tersebut, perlunya diteliti mengenai aspek fisiologis dan peranan polyisoprenoid bagi tanaman Xylocarpus granatum Koenig dengan memberikan perlakuan berupa variasi naungan yang berbeda untuk mendapatkan wawasan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman Xylocarpus granatum Koenig terhadap pengaruh intensitas cahaya dan mendukung program rehabilitasi.

Tujuan Penelitian

Menentukan naungan yang terbaik pada pertumbuhan bibit X. granatum

dan mempelajari perubahan konsentrasi rantai panjang polyisoprenoid (C>50)

dengan adanya perlakuan pemberian naungan.

Hipotesis Penelitian

1. Terdapat perbedaan respons pertumbuhan X. granatum pada perlakuan

naungan yang berbeda .

2. Terjadi perubahan konsentrasi rantai panjang polyisoprenoid terhadap

perlakuan intensitas naungan yang berbeda.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi pemberian naungan yang terbaik sebagai faktor yang

menentukan pertumbuhan bibit X. granatum di persemaian.

2. Memberikan referensi kepada khalayak tentang peranan rantai panjang polyisoprenoid untuk memproteksi tumbuhan X. granatum dari pengaruh


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (MacNae, 1968).

Snedaker (1978) menyatakan, hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Adapun menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

Di lapangan flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah : (1) Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan, (2) Tipe tanah yang secara tidak


(17)

langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase, (3) Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam, (4) Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari spesies intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia (Kusmana, dkk., 2003).

Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni : (1) Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang

menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa, (2) Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contohnya Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera, (3) Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.

Mangrove merupakan tumbuhan yang dapat beradaptasi pada kondisi garam dan salin. Hutching dan Saenger (1987) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam sebagai berikut : (1) Sekresi Garam (salt extrusion/salt secretion), flora mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun.; (2) Mencegah Masuknya Garam (salt exclusion), flora mangrove menyerap


(18)

air tetapi mencegah masuknya garam melalui saringan (ultra filter) yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegalitis, dan Acrostichum; (3) Akumulasi Garam (salt accumulation), flora mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme adaptasi akumulasi garam ini terdapat pada Excoecaria, Lumnitzera, Avicennia, Osbornia, Rhizophora, Sonneratia dan Xylocarpus.

Taksonomi dan Morfologi Xylocarpus granatum

Klasifikasi menurut USDA (The US Department of Agriculture, 2002) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Subkingdom : Trecheophyta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliosida Ordo : Sapindales Family : Meliaceae Genus : Xylocarpus

Spesies : Xylocarpus granatum Koenig. Nama Indonesia : Nyirih, Nyireh bunga


(19)

X. granatum mempunyai nama lokal : Niri, nilih, nyireh, nyiri, nyuru,

jombok gading, buli, bulu putih, buli hitam, inggili, siri, nyireh bunga, nyiri

udang, nyiri hutan, pohon kira-kira, jomba, banang-banang, nipa, niumiri-kara,

kabau, mokmof. Deskripsi umum tumbuhan X. granatum meliputi dimana tinggi

pohon dapat mencapai ketinggian 10-20 m. Tanaman ini memiliki akar papan

yang melebar ke samping, meliuk-liuk dan membentuk celahan-celahan dan

batang seringkali berlubang, khususnya pada pohon yang lebih tua. Kulit kayu

berwarnacoklat muda-kekuningan, tipis dan mengelupas, sementara pada cabang

yang muda, kulit kayu berkeriput. Daun agak tebal dengan susunan daun

berpasangan (umumnya 2 pasang per tangkai) dan ada pula yang menyendiri.

Daun terletak majemuk dan berlawanan. Daun berbentuk elips dengan ujung daun

membundar dan biasanya berukuran 4,5 - 17 cm x 2,5 - 9 cm. Buah berbentuk

seperti bola dengan berat bisa mencapai 1 - 2 kg berwarna hijau kecoklatan.

Buahnya bergelantungan pada dahan yang dekat permukaan tanah dan agak

tersembunyi. Di dalam buah terdapat 6 - 16 biji besar-besar, berkayu dan

berbentuk tetrahedral (dalam bahasa Inggris disebut puzzle fruit). Buah akan

pecah pada saat kering. Ukuran buah berdiameter 10 - 20 cm (Noor, dkk.,1999).

Sistem perakaran X. granatum berada di atas tanah, pada tanaman muda

sering tidak terlihat. Kulit kayu lunak, padat, dan ringan, berwarna coklat terang

hingga orange yang disebabkan karena pengelupasan kulit kayu. X. granatum

menyebar di perairan tropis dan tidak mengelompok pada daerah tertentu


(20)

Metabolit Sekunder Tanaman Mangrove

Senyawa metabolit sekunder merupakan jenis senyawa yang dihasilkan oleh mahluk hidup untuk mempertahankan dirinya dari gangguan makhluk hidup lain dihabitatnya. Senyawa metabolit seekunder dihasilkan suatu tanaman bukan untuk kebutuhan utamanya seperti untuk pertumbuhan maupun perkembangannya. Senyawa metabolit umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya (Prabowo et al., 2014).

Senyawa-senyawa metabolit sekunder memiliki efek toksik, farmakologik, dan ekologik penting (Bandaranayake, 2002). Senyawa fenolat diketahui sebagai senyawa pelindung tumbuhan dari herbivora, dan fungsi utama sebagian besar senyawa fenolat adalah melindungi tumbuhan dari kerusakan akibat cahaya yang berlebihan dengan bertindak sebagai antioksidan, dan levelnya bervariasi sesuai dengan kondisi lingkungannya (Close dan McArthur, 2002). (Agati et al., 2007) juga menyatakan bahwa senyawa fenolat dapat melindungi mangrove dari kerusakan akibat radiasi ultraviolet. (Banerjee et al., 2008) menyatakan adanya kecenderungan peningkatan produksi senyawa fenolat pada tumbuhan mangrove bila tumbuh dan bertahan dalam kondisi tertekan.

Menurut Swiezewska dan Danikiewicz (2005) polyisoprenoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang ditemukan disemua makhluk hidup, dan berdasarkan penelitian Basyuni et al. (2012) setiap metabolit sekunder pada hutan mangrove memiliki peranannya masing-masing. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Basyuni et al. (2012) mengemukakan bahwa triterpenoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang ada pada mangrove yang digunakan untuk


(21)

beradaptasi dengan tingginya salinitas air laut, dimana senyawa triterpenoid meningkat keberadaanya diakar dan di daun dengan meningkatnya salinitas yang diberikan pada A. marina dan R. stylosa.

Polyisoprenoid alkohol ditemukan pada awal 60-an pada bakteri, ragi, mamalia dan beberapa tanaman. Alkohol Polyisoprenoid merupakan sekelompok polimer hidrofobik yang secara luas terdistribusikan di alam. Molekul mereka terdiri dari beberapa hingga lebih dari 100 unit isoprena, ekor dan kepala saling berikatan dengan gugus hidroksi di salah satu ujung (α - residu) dan atom hidrogen pada yang lain (x - end). Hidrogenasi ikatan rangkap dalam suatu residu menimbulkan perbedaan antara dolichols (syn . dihydropolyprenols) dan polyprenols (syn . dehydrodolichols). Ikatan rangkap dalam molekul alkohol polyisoprenoid secara ketat dikontrol dan semua polyisoprenoid diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok : (i) di-trans -poli –cis, (ii) tri-trans – poli-cis, (iii) all trans (Swiezewska dan Danikiewicz, 2005). Struktur Dolichols dan Polyprenols tanaman ditunjukkan pada gambar 1 sebagai berikut.


(22)

Ada dua jenis rantai panjang polimer linear yang dibangun oleh organisme tumbuhan : polyprenols tri - trans - poli - cis dan poli - cis prenols di- trans . Diasumsikan bahwa mereka terbentuk baik dari tri - trans geranyl geranyl phyrophospat atau dari di- trans farnesyl phyrophospat masing-masing , dan isopentenil phyrophospate oleh cis - prenyl transferase. Struktur polyisoprenoid alcohol dari jenis dolichol, dengan satuan isoprena karakteristiknya jenuh α- terminal juga ditampilkan Gambar 1. Dolichols terdapat pada jaringan mamalia dan ragi , mereka juga ditemukan di beberapa tanaman (Swiewska et al, 1994)

Tateyama et al (1999) menyatakan bahwa, distribusi rantai panjang polyprenols belum tentu sama dengan rantai panjang dolichol di jaringan yang sama, hal ini didukung pernyataan Suga et al (1989) yang menyatakan konsentrasi polyisoprenoid pada tanaman mengalami perubahan yang disebabkan oleh perbedaan umur dan musim. Swiezewska dan Danikiewicz (2005) juga menyatakan bahwa konsentrasi dolichol dan polyprenol akan meningkat di setiap jaringan tanaman dengan pertambahan umur dan dengan meningkatnya cekaman lingkungan.

Kandungan polyprenol pada tanaman pernah dilaporkan menunjukkan perubahan akibat umur (Ibata et al., 1983; Suga et al., 1989) dan musim, (Swiezewska et al., 1994; Jankowski et al., 1994) namun arti fisiologi dan fungsi dari polyprenols belum diketahui. Sebaliknya, rantai panjang dolichol pernah dilaporkan terdapat pada hewan, ragi, dan tanaman. Kandungan dolichol di hewan dan tanaman pernah dilaporkan bertambah karena akibat perbedaan umur (Ibata et al., 1983; Jankowski et al., 1994).


(23)

Metode one-dimensional plate thin layer chromatography (1D – TLC) merupakan metode yang dibuat untuk memisahkan campuran dolichol dan polyprenols secara efektif dan efisien. Metode 1D-TLC akan menunjukkan dolichol yang terbentuk di daun dan akar dari berbagai jenis tanaman dikotil.

Pemberian Naungan

Setiap jenis pohon ataupun tanaman mempunyai toleransi tersendiri terhadap cahaya matahari. Ada tanaman yang tumbuh baik ditempat terbuka sebaliknya ada beberapa tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada tempat teduh/bernaungan. Ada pula tanaman yang memerlukan intensitas cahaya yang berbeda sepanjang periode hidupnya. Pada waktu masih muda memerlukan cahaya dengan intensitas rendah dan menjelang sapihan mulai memerlukan cahaya dengan intensitas tinggi (Soekotjo, 1976).

Unsur radiasi matahari yang penting bagi tanaman ialah intensitas cahaya, kualitas cahaya, dan lamanya penyinaran. Bila intensitas cahaya yang diterima rendah, maka jumlah cahaya yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun dalam jangka waktu tertentu rendah (Gardner et al, 1991). Cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci dapat berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman (Kramer dan Kozlowski, 1979).

Respons tanaman terhadap naungan dicirikan oleh pertumbuhan daunnya. Ukuran daun akan semakin meningkat dengan menurunnya intensitas cahaya akibat perlakuan taraf naungan yang semakin meningkat (Sudarman dan Sugito, 1996). Sedangkan menurut Januwati dan Muhammad (1993), Penaungan pada tempuyung (Sonchus arvensis) menyebabkan tajuk tanaman bertambah lebar


(24)

tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, bahkan ada kecenderungan semakin menurun setelah taraf naungan dinaikkan menjadi 30%.

Cahaya matahari mempunyai fungsi yang sangat penting pada aktivitas fotosintesa, apabila terjadi penurunan aktivitas fotosintesa maka akan terjadi perubahan karakteristik fisiologis dan morfologis tanaman, dampak berikutnya adalah penurunan produktivitas tanaman. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap aktivitas pertumbuhan, perubahan morfologi dan karakter fisiologis, aktivitas metabolisme primer dan sekunder (Nagasubramaniam et al, 2007). Pada kondisi kekurangan cahaya, tanaman berupaya untuk mempertahankan agar fotosintesis tetap berlangsung dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Keadaan ini dapat dicapai apabila respirasi juga efisien (Sopandie, dkk. 2003). Menurut Salisbury dan Ross (1995), tanaman yang hidup pada kondisi ternaungi akan menunjukkan gejala etiolasi.

Tanaman yang tumbuh di tempat yang memiliki intensitas cahaya 0% pertumbuhan batang akan lebih cepat dan lebih panjang, namun batang cenderung lebih lembek, karena kandungan air jauh lebih besar daripada kandungan zat padatnya, sehingga berat keseluruhan tanaman kebanyakan terdiri dari berat kandungan cairannya (Suharti, 1979). Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa adanya air akan meningkatkan turgor dinding sel yang mengakibatkan dinding sel mengalami peregangan sehingga ikatan antara dinding sel melemah. Hal inilah yang mendorong dinding dan membran sel bertambah besar, sehingga minimnya ketersediaan air akan menghambat pertumbuhan tanaman.

Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain


(25)

menunjukkan perilaku yang berbeda. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak (Suhardi, 1995). Tanaman yang tumbuh dengan intensitas cahaya nol persen akan mengakibatkan pengaruh yang berlawanan, yaitu suhu rendah, kelembaban tinggi, evaporasi dan transportasi yang rendah. Tanaman cukup mengambil air, tetapi proses fotosintensis tidak dapat berlangsung tanpa cahaya matahari (Simarangkir, 2000).

Harjadi (1991) menyatakan bahwa, besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan bobot kering. Peningkatan intensitas cahaya dari 75% menjadi 100% menyebabkan bobot kering tajuk menurun. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Tunggal (2004) yang melaporkan bahwa pada tanaman meniran (Phyllanthus urinaria), semakin tinggi taraf naungan maka bobot basah dan bobot kering tanaman menjadi semakin rendah.

Akar berfungsi menyerap air dan nutrisi dari tanah–tanah disekitar tanaman, sistem akar yang baik adalah kunci untuk menghasilkan tanaman yang baik (Baluska, 1995). Klepper (1991) mengatakan bahwa setiap tanaman mempunyai ciri khas yang berbeda untuk menggambarkan hubungan antara tajuk dan akar. Keseimbangan tajuk dan akar merupakan upaya organ tanaman tersebut dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis, sehingga masing-masing organ tanaman dapat melakukan fungsinya secara normal.


(26)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Naungan di Fakultas Pertanian Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada Juli 2014– Desember 2014. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel buah X. granatum diambil dari pohon dewasa yang dilakukan di Pulau Sembilan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Buah yang digunakan sesuai SNI 7513-2008 yaitu berasal dari buah yang matang yang berasal dari pohon induk minimal 5 tahun.

Gambaran Lokasi Pengambilan Sampel

Pulau Sembilan merupakan nama salah satu desa yang berada digugusan pulau-pulau di Kabupaten Langkat. Desa Pulau Sembilan berdekatan dengan Selat Malaka dan merupakan salah satu tujuan wisata utama di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan secara administrasi terletak di kecamatan Pangkalan, Susu Kabupaten Langkat. Luas Pulau Sembilan 24,00 km2 atau 8.84% dari total luas kecamatan Pangkalan Susu. Di Pulau ini terdapat hutan mangrove yang mengelilingi pulau dan tumbuh ekosistem pesisir. Kondisi air tanah masih cukup baik dimana tidak ditemukan adanya air sumur yang asin atau terkena intrusi air laut (BPS, 2010).

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini yaitu Refractometer (Master Refractormeter), timbangan (Camry; Model: EK3820), kamera digital, ember, cutter, gunting, seng, cangkul, alat tulis, dan perangkat komputer yang dilengkapi paket SAS 9.1.


(27)

Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini yaitu buah Xylocarpus granatum, label nama, pasir, bambu, Botol Aqua 1,5 l, alkohol, paranet 0 %; 25%; 50%; 75 %; 100%.

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini meliputi kegiatan pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan serta menganalisis data sesuai kebutuhan. Tahapan kegiatannya adalah sebagai berikut:

1. Seleksi dan Penanganan Benih

Mengacu kepada SNI 7513-2008 seleksi dan penanganan benih dilakukan dengan tahap sebagai berikut: Direndam buah masak yang belum retak kulitnya dalam air sampai pecah kulitnya, dan bijinya terapung di permukaan air. Kemudian dipilih benih dengan berat benih per butir > 30 g.

2. Penyimpanan Benih Sementara

Mengacu kepada SNI 7513-2008 penyimpanan benih sementara dilakukan dengan tahap sebagai berikut: direndam benih dalam ember berisi air sampai benih terendam. Kemudian diletakkan pada tempat yang teduh dengan lama penyimpanan maksimum 10 hari.

3. Penyiapan Media Semai

Mengacu kepada SNI 7513-2008 penyiapan media semai dilakukan dengan tahap sebagi berikut: dilakukan penyiraman media semai hingga kapasitas lapang. Kemudian disemaikan benih masing-masing satu buah dalam wadah dengan kedalam sedikit ditekan dengan posisi radikula di bawah. Kemudian diletakkan bagian benih dengan bagian yang cembung di bawah (radikula)


(28)

kemudian tekan, lalu dipindahkan bibit yang sudah berakar ke media baru botol aqua 1,5 L ke naungan selama 3 bulan.

Parameter Pengamatan

Pengamatan dilakukan 3 bulan setelah tanam dan parameter yang diamati adalah:

1. Pertambahan Tinggi Semai (cm)

Pengambilan data tinggi pertama semai dilakukan setelah 2 minggu penanaman propagul dan pengambilan data tinggi terakhir setelah 3 bulan tanam dengan menggunakan penggaris, pada setiap satuan percobaan. Tinggi semai diukur mulai dari bagian plumula sampai titik tumbuh tertinggi.

2. Pertambahan Diameter Semai (mm)

Pengukuran diameter semai dilakukan pada tanda awal dengan menggunakan jangka sorong. Pengambilan data diameter dilakukan bersamaan dengan pengambilan data tinggi semai.

3. Pertambahan Jumlah Daun

Penghitungan jumlah daun dilakukan pada awal munculnya daun mulai dari pucuk. Pengambilan data dilakukan bersamaan dengan pengambilan data tinggi semai.

4. Luas Daun (cm2)

Pengukuran luas daun dilakukan pada akhir pengamatan data. Perhitungan luas daun menggunakan program komputer. Untuk melakukan perhitungan terlebih dahulu daun digambar di kertas millimeter blok yang selanjutnya dilakukan scanning pada gambar tersebut. Setelah di scanning maka gambar tersebut dihitung dengan program image J (NIH).


(29)

5. Berat Basah Akar (g)

Untuk mendapatkan berat basah akar, bagian akar yang baru dipanen dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Ditimbang berat awal akar X.granatum.

6. Berat Basah Tajuk (g)

Untuk mendapatkan berat basah tajuk, bagian tajuk yang baru dipanen dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Ditimbang berat awal tajuk X. granatum.

7. Berat Kering Akar (g)

Untuk mendapatkan berat kering akar, bagian akar dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian akar X. granatum dioven pada suhu 75ºC sampai berat kering konstan (2-3 hari), lalu ditimbang berat kering akar X. granatum.

8. Berat Kering Tajuk (g)

Untuk mendapatkan berat kering tajuk, bagian tajuk dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian tajuk X. granatum dioven pada temperatur 75ºC sampai berat kering konstan (2-3 hari), lalu ditimbang berat kering tajuk X. granatum.

9. Rasio Tajuk dan Akar

Perhitungan rasio tajuk dan akar dilakukan pada akhir pengamatan. Perhitungan rasio tajuk dan akar dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Rasio =

akar kering Berat

tajuk kering Berat


(30)

Metode Ekstraksi Polyisoprenoid

1. Pengumpulan Sample (Sample collection)

Daun dan akar X. granatum dengan perlakuan variasi naungan dan control diambil dari hasil panen penanaman mangrove di persemaian selama 3 bulan.

2. Ekstraksi Lipid dan Analisis Nonsaponifiable Lipids (NSL)

Daun X. granatum sebanyak 4-6 g akar digerus dengan nitrogen cair, kemudian diekstrak dengan chloroform-methanol 2:1 (CM21), dinding sel yang berisi kotoran yang tidak larut dalam CM21 disaring dengan kertas filtrasi No. 2 (Advantec, Tokyo, Jepang) dan yang tersisa adalah ekstrak lipid di dalam chloroform. Sebagian ekstrak dimurnikan untuk dianalisis kandungan lipidnya seperti yang digambarkan sebelumnya (Basyuni et al., 2007). Cairan ekstrak lipid yang pekat dikeringkan kemudian ditimbang dan didapatkan berat lipidanya. Sehingga dapat diketahui kandungan total lipid/jaringan (mg/g jaringan).

Ekstrak lipid di dalam chloroform (yang telah diketahui berat total lipidanya) dikeringkan kemudian ditambahkan 2 ml KOH 20% dalam ethanol 50% di refluxed selama 10 menit dengan suhu 90º C, ditambahkan 2 ml hexane (NSL) kemudian diaduk. Lapisan hexane dipindahkan kedalam tube yang telah diketahui beratnya, kemudian cairan di keringkan dengan nitrogen stream, dan dikeringkan di bawah vakum selama 10 menit, selanjutnya ditimbang berat NSLnya. sehingga dapat diketahui kandungan NSL/jaringan dan kandungan NSL/total lipid (mg/ml total lipida).

3. Analisis Polyisoprenoid

Daun dan akar semai X. granatum yang telah berumur 3 bulan dengan berat basah masing-masing adalah 30 g, dikeringkan selama 1-2 hari pada suhu


(31)

60oC – 76oC. Jaringan yang telah dikeringkan dihaluskan menjadi potongan potongan kecil atau menjadi bubuk dan dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama (3,01 g) direndam ke dalam 25 ml pelarut acetone:hexane (1:1) dan bagian kedua (3,03 g) direndam ke dalam 15 ml CHCl3:CH3OH (2:1) selama satu hari. Kedua jenis larutan kemudian diinkubasi pada suhu 40oC selama 2 jam. Kemudian secara terpisah masing-masing larutan difilter dan dihasilkan filtrate. Hasil filtrate disebut juga ekstrak lipid.

Ekstrak lipid dari daun, disaponifikasi pada suhu 65oC – 70oC selama 2 jam dalam 2 ml metanol 50% yang mengandung 2 M KOH. Ekstrak lipid dari akar disaponifikasi pada suhu 55oC selama 3 jam dalam 20 ml ethanol 95% yang mengandung 15 % (w/v) KOH. Saponin yang tak tersabunkan dari lipid mentah dari masing-masing jaringan diekstraksi dengan hexane dan pelarut organik yang telah di evaporasikan. Sisa dari masing-masing sampel dilarutkan dalam methanol dan diterapkan ke dalam sebuah kolom RP-18 Sep-Pak dengan methanol dan lipid non-polar yang mengandung alkohol polyisoprenoid dengan hexane.

4. Analisis One-Dimensional Plate Thin-Layer Chromatography (1D-TLC) One-Dimensional Plate Thin-Layer Chromatography (1D-TLC) dilakukan dengan menggunakan silika gel 60 normal phase. Bahan hasil NSL dilarutkan dengan toluene : Etil Asetat (19:1). Alkohol Polyisoprenoid dipisahkan dan diteliti dengan one-plate silica gel TLC yang telah diidentifikasi dan divisualisasikan dengan iodine vapour. Selanjutnya gambar chromatograpy dihasilkan dan dicatat dengan scanner.


(32)

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan naungan berdasarkan variasi naungan yang ada di lapangan dengan masing-masing 10 ulangan :

a. Naungan 0 % b. Naungan 25 % c. Naungan 50 % d. Naungan 75 % e. Naungan 100 % Model linear RAL :

Yij = μ + τi + εij Dimana :

Yij = hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = nilai rataan umum (mean)

τi = pengaruh faktor perlakuan ke-i

εij = pengaruh galat perlakuan ke-i ulangan ke-j i = 1, 2, 3, 4, 5

j = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10

Data dianalisis dengan satu arah varians (ANOVA) dilanjutkan dengan uji Dunnett untuk perbandingan semua perlakuan terhadap kontrol. Nilai P<0,05 dan P<0,01 sebagai batas signifikansi secara statistik. Semua analisis statistik yang dilakukan menggunakan program statistik SAS versi 9.1.


(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perlakuan variasi intensitas cahaya terhadap Parameter Pengamatan A.1. Pengaruh variasi naungan terhadap tinggi dan diameter semai Xylocarpus granatum.

Pengaruh variasi naungan terhadap pertumbuhan semai mangrove sejati minor berjenis sekresi Xylocarpus granatum Koenig. berdasarkan tinggi semai dan diameter semai dapat dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut.

Gambar 2. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan Tinggi semai (A) , diameter Semai (B), korelasi tinggi semai (C), dan korelasi diameter semai (D). Data merupakan rata rata pengukuran ±SE (n= 1-10). Tanda (**) mengindikasikan secara statistik signifikan dari kontrol (0%) pada P<0,01dengan Uji Dunnet. nilai r merupakan koefisien korelasi.

Pada Gambar 2A dan 2B terlihat bahwa respons pertumbuhan tinggi tanaman dan diameter tanaman semai X. granatum tertinggi adalah pada naungan cahaya 100% dengan tinggi semai yang paling tinggi memiliki rata rata sebesar

** 0 20 40 60 80 100 120

0% 25% 50% 75% 100%

T in g g i s e m a i (c m )

Tingkat naungan (%) Tinggi semai (cm)

A

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

0% 25% 50% 75% 100%

D ia m et er s em a i (m m )

Tingkat naungan (%) Diameter semai (mm)

B

y = 46,04x + 31,19 R² = 0,502 kk = 0,709

0 20 40 60 80 100 120

0% 25% 50% 75% 100%

T in g g i s e m a i ( c m )

Tingkat Naungan (%)

C

y = 0,069x + 0,364 r = 0,332

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

0% 25% 50% 75% 100%

D ia m et er se ma i (m m)

Tingkat Naungan (%)


(34)

95,91 cm dan yang paling rendah sebesar 38,56 cm pada naungan 0%. Sedangkan diameter semai yang paling tinggi mempunyai rata rata sebesar 0,43 mm pada naungan 100% dan yang paling rendah sebesar 0,37 mm pada naungan 50%. Berdasarkan uji dunnet hasil yang diperoleh berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi semai pada P<0,01 (lampiran 1) . Akan tetapi berdasarkan uji dunnet yang dilakukan pengaruh variasi naungan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter semai (lampiran 2).

Pada Gambar 2C dan 2D, menunjukkan bahwasannya terdapat korelasi yang positif antara semua perlakuan dengan parameter tinggi dan diameter tanaman. Ketersediaan cahaya yang kurang pada naungan 100 % dimana cahaya tidak dapat masuk menyebabkan tanaman mengalami pertumbuhan kearah tinggi yang lebih cepat untuk mencari cahaya dimana tanaman selalu membutuhkan cahaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suharti (1979) yang mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh di tempat yang memiliki intensitas cahaya 0% pertumbuhan batang akan lebih cepat dan lebih panjang, namun batang cenderung lebih lembek, karena kandungan air jauh lebih besar daripada kandungan zat padatnya, sehingga berat keseluruhan tanaman kebanyakan terdiri dari berat kandungan cairannya. Namun, dengan intensitas cahaya 0% pertumbuhan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik karenakan tanaman tidak memperoleh sumber cahaya untuk berfotosintesis dengan baik untuk memenuhi kebutuhan makanannya. Tanaman masih dapat tumbuh tanpa adanya cahaya dikarenakan tanaman tersebut masih memiliki cadangan makanan dan nutrisi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, namun dengan berkurangnya cadangan makanan sementara tanaman tersebut tidak memperolah cahaya


(35)

matahari sebagai sumber energinya untuk melakukan fotosintesis, dimana proses fotosintesis tersebut berfungsi untuk menghasilkan nutrisi bagi tanaman sehingga menyebabkan kematian secara perlahan pada tanaman.

Pada gambar 1A dan 1B terlihat bahwasannya pertumbuhan tinggi tanaman yang paling tinggi pada naungan 100% diiringi juga dengan pertambahan diameter semai tertinggi pada naungan 100%. Tingginya pertambahan diameter disebabkan karena tingginya berat basah tajuk tanaman yang berada pada naungan 100% (Gambar 4B). Jumlah air yang banyak pada suatu tanaman dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang lebih baik pada tinggi dan diameter tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa adanya air akan meningkatkan turgor dinding sel yang mengakibatkan dinding sel mengalami peregangan sehingga ikatan antara dinding sel melemah. Hal inilah yang mendorong dinding dan membran sel bertambah besar, sehingga minimnya ketersediaan air akan menghambat pertumbuhan tanaman. Berdasarkan pernyataan tersebut, kandungan berat basah tajuk yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman.

A.2. Pengaruh variasi naungan terhadap jumlah daun dan luas daun semai Xylocarpus granatum.

Pengaruh variasi naungan terhadap pertumbuhan semai mangrove sejati minor berjenis sekresi X. granatum berdasarkan jumlah daun dan luas daun semai dapat dilihat pada Gambar 3 sebagai berikut.


(36)

Gambar 3. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan jumlah daun (A) , luas daun (B), korelasi jumlah daun (C), dan korelasi luas daun (D). Data merupakan rata rata pengukuran ±SE (n= 1-10). Nilai r merupakan koefisien korelasi.

Pada Gambar 3A dan 3B terlihat bahwa respons pertumbuhan jumlah daun semai X. granatum tertinggi berada pada naungan 25 % dengan rata rata sebesar 4,71 cm, sedangkan pertumbuhan luas daun tertinggi berada pada naungan 50 % dengan rata rata sebesar 101,08 cm. Untuk parameter jumlah daun dan luas daun yang paling rendah berada pada naungan 100%. Berdasarkan uji dunnet parameter jumlah daun dan luas daun tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan variasi naungan yang diberikan (lampiran 3 dan lampiran 4). Daun untuk dapat berfotosintesis membutuhkan cahaya, namun jika intensitas cahaya 0% daun tidak akan tumbuh dengan baik. Diasumsikan bahwasannya pada naungan 100%, dimana cahaya tidak dapat masuk sama sekali menyebabkan daun tidak dapat tumbuh secara optimal dikarenakan tanaman mengalami gejala etiolasi, tanaman mengalami pertumbuhan tinggi yang sangat cepat namun kondisi tumbuhan

0 1 2 3 4 5 6

0% 25% 50% 75% 100%

J um la h da un ( he la i)

Tingkat Naungan (%)

Jumlah Daun (helai)

A

0 50 100 150

0% 25% 50% 75% 100%

L ua s D a un ( c m 2)

Tingkat Naungan (%)

Luas Daun (cm2)

B

y = -1,902x + 4,616

r = - 0,437

0 2 4 6 8

0% 25% 50% 75% 100%

J um la h D a un ( he la i)

Tingkat Naungan (%)

C

y = 19,95x + 78,92 r = 0,160

0 50 100 150 200

0% 25% 50% 75% 100%

L ua s D a un ( c m 2)

Tingkat Naungan (%)


(37)

lemah, batang tidak kokoh dan tanaman memiliki jumlah dan luas daun yang lebih rendah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Salisbury dan Ross (1995), yang menyatakan bahwa tanaman yang hidup pada kondisi ternaungi akan menunjukkan gejala etiolasi.

Menurut Sudarman dan Sugito (1996), respons tanaman terhadap naungan dicirikan oleh pertumbuhan daunnya. Ukuran daun akan semakin meningkat dengan menurunnya intensitas cahaya akibat perlakuan taraf naungan yang semakin meningkat. Sedangkan menurut Januwati (1993), Penaungan pada tempuyung menyebabkan tajuk tanaman bertambah lebar tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, bahkan ada kecenderungan semakin menurun setelah taraf naungan dinaikkan menjadi 30% .

Pada Gambar 3C dan 3D, jumlah daun berkorelasi negatif terhadap variasi naungan yang diberikan, hal ini diasumsikan semakin tinggi tingkat naungan diiringi dengan semakin berkurang jumlah daun. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi -0,437. Sedangkan luas daun berkorelasi positif terhadap naungan yang diberikan. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi 0,160 yang mendekati 1 dimana menunjukkan hubungan korelasi semakin kuat.

A.3. Pengaruh variasi naungan terhadap berat basah akar dan berat basah tajuk semai Xylocarpus granatum.

Pengaruh variasi naungan terhadap pertumbuhan semai mangrove sejati minor berjenis sekresi X. granatum berdasarkan berat basah akar dan berat basah tajuk semai dapat dilihat pada Gambar 4 sebagai berikut.


(38)

Gambar 4. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan berat basah akar (A) , berat basah tajuk (B), korelasi berat basah akar (C), dan korelasi berat basah tajuk (D). Data merupakan rata rata pengukuran ±SE (n= 1-10). Tanda (*) mengindikasikan secara statistik signifikan dari kontrol (0%) pada P<0,05dengan Uji Dunnet. Nilai r merupakan koefisien korelasi.

Pada Gambar 4A dan 4B terlihat bahwa respons pertumbuhan berat basah akar dan berat basah tajuk tanaman semai X. granatum tertinggi adalah pada naungan 100% , dengan berat basah akar yang paling tinggi memiliki rata rata sebesar 4,21 g dan yang paling rendah sebesar 3,07 g pada naungan 50%, sedangkan berat basah tajuk yang paling tinggi mempunyai rata rata sebesar 56,60 g dan yang paling rendah sebesar 27,10 g pada naungan 50% . Berdasarkan uji dunnet berat basah akar tidak berpengaruh nyata (lampiran 5), namun pada berat basah tajuk berpengaruh nyata P<0,05 (lampiran 6) terhadap perlakuan variasi

naungan yang diberikan. Diasumsikan pada naungan 100% , cahaya tidak dapat masuk sama sekali sehingga hal tersebut menyebabkan kelembaban tinggi pada naungan 100%, kelembaban berbanding terbalik dengan suhu, apabila

0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000

0% 25% 50% 75% 100%

B e r at B as ah A k ar ( g)

Tingkat Naungan (%)

Berat Basah Akar (g)

A

* 0 20 40 60 80

0% 25% 50% 75% 100%

B e r at B as ah T aj u k ( g)

Tingkat Naungan (%)

Berat Basah Tajuk (g)

B

y = 0,358x + 3,562

r = 0,100

0 2 4 6 8 10

0% 25% 50% 75% 100%

B e r at B as ah A k ar ( g)

Tingkat Naungan (%)

C

y = 2,894x + 5,761 r = 0,398

0 5 10 15

0% 25% 50% 75% 100%

B e r at B as ah T aj u k ( g)

Tingkat Naungan (%)


(39)

kelembaban tinggi, maka suhu yang ada pada perlakuan naungan 100% menjadi rendah. Hal tersebut akan menurunkan tingkat penguapan yang terjadi dengan demikian evaporasi juga berkurang. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Suhardi (1995) yaitu pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak.

Pada Gambar 4C dan 4D, menunjukkan bahwasannya terdapat korelasi yang positif antara semua perlakuan dengan berat basah akar dan berat basah tajuk tanaman. Berat basah akar mempunyai nilai koefisien korelasi 0,100 sedangkan berat basah tajuk mempunyai nilai koefisien korelasi sebesar 0,398. Hal tersebut menyatakan semakin tinggi tingkat naungan yang diberikan diiringi dengan semakin meningkatnya berat basah akar dan berat basah batang

A.4. Pengaruh variasi naungan terhadap berat kering akar dan berat kering tajuk semai Xylocarpus granatum.

Pengaruh variasi naungan terhadap pertumbuhan semai mangrove sejati minor berjenis sekresi X. granatum berdasarkan berat kering akar dan berat kering tajuk semai dapat dilihat pada Gambar 5 sebagai berikut.

0 0,5 1 1,5 2

0% 25% 50% 75% 100%

B era t K eri n g A k a r (g )

Tingkat Naungan ( % )

Berat Kering Akar (g)

A

0 1 2 3 4

0% 25% 50% 75% 100%

B era t K eri n g T a ju k ( g )

Tingkat Naungan (%)

Berat Kering Tajuk (g)


(40)

Gambar 5. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan berat kering akar (A) , berat kering tajuk (B), korelasi berat kering Akar (C), dan korelasi berat kering tajuk (D). Data merupakan rata rata pengukuran ±SE (n= 1-10). Nilai r merupakan koefisien korelasi.

Pada Gambar 5A dan 5B terlihat bahwa respons pertumbuhan berat kering akar dan berat kering tajuk tanaman semai X. granatum tertinggi adalah pada naungan 100% . Berat kering akar yang paling tinggi memiliki rata rata sebesar 1,40 g dan yang paling rendah sebesar 1,07 g pada naungan 50%. Sedangkan berat kering tajuk yang paling tinggi mempunyai rata rata sebesar 2,70 gr pada naungan 100% dan yang paling rendah sebesar 2,26 g pada naungan 0%. Berdasarkan uji dunnet parameter berat kering akar dan berat kering tajuk tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan variasi naungan yang diberikan (lampiran 7 dan lampiran 8). Pada berat kering akar, dapat dilihat bahwasannya pada perlakuan dengan naungan 100% memiliki nilai berat kering akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan naungan 50% yang memiliki nilai paling rendah.

Pada Gambar 5C dan 5D, menunjukkan bahwasannya terdapat korelasi yang positif pada parameter berat kering akar , namun menunjukkan korelasi yang negatif terhadap berat kering tajuk tanaman. Berdasarkan data korelasi berat kering tajuk menunjukkan semakin tinggi taraf naungan menyebabkan semakin menurunnya berat kering tajuk tanaman. Hal ini sesuai dengan Harjadi (1991) yang menyatakan besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis

y = 0,048x + 1,240 r = 0,039

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

0% 25% 50% 75% 100%

B era t K eri n g A k a r (g )

Tingkat Naungan (%)

C

y = -0,420x + 3,056 r = - 0,070

0 5 10 15

0% 25% 50% 75% 100%

B era t K eri n g T a ju k ( g )

Tingkat Naungan (%)


(41)

menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan bobot kering. Penurunan taraf naungan dari 25% menjadi 0% menyebabkan bobot kering tajuk menurun.

A.5. Pengaruh variasi naungan terhadap rasio tajuk dan akar semai Xylocarpus granatum.

Pengaruh variasi naungan terhadap pertumbuhan semai mangrove sejati minor berjenis sekresi X. granatum berdasarkan rasio tajuk dan akar dapat dilihat pada Gambar 6 sebagai berikut.

Gambar 6. Pengaruh naungan terhadap rasio tajuk dan akar (A) , korelasi rasio tajuk dan akar (B). Data merupakan rata rata pengukuran ±SE (n= 1-10). Nilai r merupakan koefisien korelasi.

Pada Gambar 6A terlihat bahwa rasio tajuk dan akar tanaman semai X. granatum tertinggi adalah pada naungan 100% dengan rata rata sebesar 2,09 dan yang paling rendah berada pada naungan 0 % dengan nilai 1,62. Berdasarkan uji dunnet rasio tajuk dan akar tidak berpengaruh nyata terhadap variasi naungan yang diberikan (lampiran 9). Bobot kering tajuk yang paling tinggi berada pada naungan 100% dan bobot kering akar yang paling tinggi juga berada pada naungan 100% sehingga rasio tajuk dan akar yang paling tinggi berada pada naungan 100%. Berdasarkan hal tersebut, akar yang baik akan mendukung pertumbuhan tajuk yang baik pula. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Klepper (1991) yang mengatakan bahwa setiap tanaman mempunyai ciri khas yang

0 1 2 3 4

0% 25% 50% 75% 100%

R as io T aj u k A k ar

Tingkat Naungan (%)

Rasio Tajuk Akar

A

y = 0,333x + 1,766 r = 0,194

0 1 2 3 4

0% 25% 50% 75% 100%

R as io T aj u k A k ar

Tingkat Naungan (%)

Rasio Tajuk Akar


(42)

berbeda untuk menggambarkan hubungan antara tajuk dan akar. Keseimbangan tajuk dan akar merupakan upaya organ tanaman tersebut dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis, sehingga masing-masing organ tanaman dapat melakukan fungsinya secara normal. Akar berfungsi menyerap air dan nutrisi dari tanah–tanah disekitar tanaman, sistem akar yang baik adalah kunci untuk menghasilkan tanaman yang baik (Baluska, 1995).

Pada Gambar 6B, menunjukkan bahwasannya terdapat korelasi yang positif antara semua perlakuan dengan rasio tajuk dan akar. Rasio tajuk akar mempunyai nilai koefisien korelasi 0,192. Hal tersebut menyatakan semakin tinggi taraf naungan diiringi dengan semakin meningkatnya rasio tajuk dan akar.

Berdasarkan Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3, Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar 6, hasil menunjukkan bahwasannya naungan 100% memberikan pertumbuhan yang tertinggi dalam hal tinggi semai, diameter semai, berat basah akar, berat kering akar, berat basah tajuk, berat kering tajuk dan rasio tajuk akar. Namun pada naungan 100%, tanaman mengalami kematian pada minggu terakhir pengamatan.

Tanaman mengalami gejala etiolasi dimana tanaman akan terus memanjang sampai titik ujung tumbuhan untuk mendapatkan cahaya yang cukup untuk menghambat produksi auksin. Tanaman masih toleransi pada awal pertumbuhan, namun tanaman tidak mampu mentoleransi kekurangan cahaya seiring dengan bertambahnya umur tanaman dan bertambahnya tinggi tanaman. Semakin kecilnya cahaya yang diterima oleh tanaman, hal tersebut akan menurunkan aktivitas fotosintesa pada tanaman. Menurut Nagasubramaniam et al. (2007), Cahaya matahari mempunyai fungsi yang sangat penting pada aktivitas


(43)

fotosintesa, apabila terjadi penurunan aktivitas fotosintesa maka akan terjadi perubahan karakteristik fisiologis dan morfologis tanaman, dampak berikutnya adalah penurunan produktivitas tanaman. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap aktivitas pertumbuhan, perubahan morfologi dan karakter fisiologis, aktivitas metabolisme primer dan sekunder. Berdasarkan hal tersebut, pertumbuhan tanaman yang optimal berada pada naungan 25%. Naungan 25% menunjukkan hasil yang positif dalam hal tinggi tanaman, berat basah tajuk, berat kering tajuk, dan jumlah daun tanaman dibandingkan dengan naungan 0%, 50%, 75%, dan 100%.

B. Analisis Korelasi Variasi Naungan dan Parameter Pengamatan

Hasil analisis korelasi variasi naungan terhadap parameter maupun korelasi antar parameter disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Koefisien korelasi antar parameter pengamatan semai X. granatum.

VIC T D JD BBA BBT BKA BKT LD RTA

VIC 1

T 0,708493897 1

D 0,332654788 0,381117 1

JD -0,437670997 -0,00373 0,136857 1

BBA 0,100965592 0,309089 0,534656 0,406686 1

BBT 0,398464984 0,613758 0,696246 0,266989 0,711622 1

BKA 0,039020498 0,25629 0,605338 0,357108 0,936163 0,767282 1

BKT -0,069882573 0,056599 0,352032 0,226896 0,241725 0,317517 0,238295 1

LD 0,159815163 0,17605 0,550305 0,548617 0,588741 0,748603 0,577833 0,268629 1

RTA 0,194062156 0,252094 0,445297 0,173971 -0,02915 0,454897 0,012435 0,716783 0,520506 1

Keterangan :VID = Variasi Intensitas Cahaya, T = Tinggi, D = Diameter, JD = Jumlah Daun, BBA = Berat Basah Akar, BBT = Berat Basah Tajuk, BKA = Berat Kering Akar, BKT = Berat Kering Tajuk, LD = Luas Daun, RTA = Rasio Tajuk dan Akar.

Berdasarkan analisis koefisien korelasi, perlakuan variasi naungan yang diberikan berkorelasi positif terhadap tinggi, diameter, berat basah akar, berat basah tajuk, berat kering akar, luas daun, rasio tajuk dan akar semai X. granatum. Hal ini dapat dilihat nilai koefisien korelasi yang bernilai positif. Nilai koefisien


(44)

korelasi yang termasuk kategori 0 < r < 0,50 menunjukkan kekuatan korelasi yang lemah negatif, dan menunjukkan hubungan antar variabel tidak terlalu sensitif terhadap perubahan yang terjadi pada variabel intensitas cahayanya.

Perlakuan variasi naungan berkorelasi negatif terhadap jumlah daun dan berat kering tajuk semai X. granatum. Nilai koefisien korelasi (r) termasuk kategori 0 > r > -0,50 dan menunjukkan kekuatan korelasi yang lemah negatif, sehingga variabel paremeter jumlah daun dan berat kering tajuk tidak terlalu sensitif hubungannya terhadap perubahan yang terjadi pada variabel taraf naunganya. Menurut Nagasubramaniam et al (2007), cahaya matahari mempunyai fungsi yang sangat penting pada aktivitas fotosintesa, apabila terjadi penurunan aktivitas fotosintesa maka akan terjadi perubahan karakteristik fisiologis dan morfologis tanaman, dampak berikutnya adalah penurunan produktivitas tanaman. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap aktivitas pertumbuhan, perubahan morfologi dan karakter fisiologis, aktivitas metabolisme primer dan sekunder. Harjadi (1991) juga menyebutkan bahwa, besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan bobot kering. Peningkatan intensitas cahaya dari 75% menjadi 100% menyebabkan bobot kering tajuk menurun.

C. Analisis Non-saponifiable Lipids (NSL) dan Polyisoprenoid

Dari hasil ekstraksi daun dan akar X. granatum diperoleh nilai total lipid dan nilai NSL (Nonsaponifieble Lipids). Adapaun hasil ekstraksi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Total lipid dan kandungan NSL pada semai X. granatum.


(45)

(mg) (mg/ml) (ml)

X.granatum 0% Daun 1.653 250 0,145

0% Akar 2.643 2.643 0,008

X.granatum 75% Daun 1.560 1.560 0,121

75% Akar 1.533 1.533 0,023

Tabel 2 menunjukkan total lipid dan Polyisoprenoid dari daun dan akar semai X. granatum. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat kandungan Polyisoprenoid tertinggi terdapat pada daun dengan tingkat naungan 0% dengan nilai 0,145 ml, sedangkan kandungan polyisoprenoid terendah terdapat pada akar dengan nilai 0,008 ml.Total kandungan polyisoprenoid pada naungan 0% dengan nilai 0,153 ml lebih tinggi dibandingkan dengan naungan 75% dengan nilai 0,144 ml. Hal ini

menunjukkan bahwa polyisoprenoid berperan dalam melindungi semai X. granatum dari lingkungan yang ekstrim (intensitas cahaya yang tinggi).

D. Analisis Polyisoprenoid dengan One-Dimensional Plate Thin-Layer

Chromatography (1D-TLC)

Untuk menentukan polyisoprenoid yang terkandung dalam X. granatum yang telah diberikan perlakuan variasi intensitas cahaya, dilakukan pengamatan menggunakan 1D-TLC. Hasil analisis 1D-TLC semai X. granatum disajikan dalam Gambar 7.


(46)

Gambar 7. One-Dimensional Plate Thin-Layer Chromatography polyisoprenoid alkohol (dolichol) dari semai daun dan akar X. granatum, (1-3 merupakan daun semai X. granatum perlakuan naungan 0%, 4-6 merupakan akar semai X. granatum perlakuan naungan 0%, 7-9 merupakan daun semai X. granatum perlakuan naungan 75% dan 10-12 merupakan akar semai X. granatum perlakuan naungan 75%).

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa konsentrasi dolichol pada perlakuan variasi naungan 0% lebih pekat baik pada jaringan akar maupun pada jaringan daun semai X. granatum jika dibandingkan dengan perlakuan variasi naungan 75%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan naungan maka akan terjadi penurunan kadar dolichol pada jaringan semai X. granatum. Hal ini diduga karena dolichol berperan dalam adaptasi semai X. granatum terhadap cekaman lingkungan dalam hal ini cekaman intensitas cahaya yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Swiezewska dan Danikiewicz (2005) yang menyatakan bahwa konsentrasi dolichol dan polyprenol akan meningkat di setiap jaringan


(47)

tanaman dengan pertambahan umur dan dengan meningkatnya cekaman lingkungan.

Pada jaringan akar dan daun semai X. granatum pada perlakuan yang sama terdapat perbedaan konsentrasi dolichol hal ini diduga karena perbedaan umur jaringan dan perbedaan gen dari X. granatum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tateyama et al (1999) yang menyatakan distribusi rantai panjang polyprenols belum tentu sama dengan rantai panjang dolichol di jaringan yang sama, hal ini didukung pernyataan Suga et al (1989) yang menyatakan konsentrasi polyisoprenoid pada tanaman mengalami perubahan yang disebabkan oleh perbedaan umur dan musim.

Menurut Swiezewska dan Danikiewicz (2005) polyisoprenoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang ditemukan disemua makhluk hidup, dan berdasarkan penelitian Basyuni et al. (2012) setiap metabolit sekunder pada hutan mangrove memiliki peranannya masing-masing. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Basyuni et al. (2012) mengemukakan bahwa triterpenoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang ada pada mangrove yang digunakan untuk beradaptasi dengan tingginya salinitas air laut, dimana senyawa triterpenoid meningkat keberadaanya diakar dan di daun dengan meningkatnya salinitas yang diberikan pada A. marina dan R. stylosa.


(48)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perlakuan naungan 100% memberikan respons pertumbuhan yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun tidak memberikan respons pertumbuhan yang terbaik.

2. Pada perlakuan naungan 100% tanaman menunjukkan respons pertumbuhan tinggi yang cepat di awal pengamatan, namun di akhir pengamatan tanaman mengalami gejala etiolasi hingga menyebabkan tanaman mengalami kematian.

3. Semai Xylocarpus granatum dengan pemberian naungan sebesar 25% menunjukkan respons pertumbuhan yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

4. Penambahan tingkat naungan menyebabkan penurunan konsentrasi polyisoprenoid mengindikasikan adanya pengaruh polyisoprenoid terhadap cekaman lingkungan.

Saran

Sebaiknya untuk penelitian lanjutan mengenai respons pertumbuhan X. granatum media tanam yang digunakan harus lebih besar agar dapat memaksimalkan ruang gerak akar. Tanaman X. granatum memiliki berbagai fungsi dari senyawa kimia yang terkandung didalamnya sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai fungsi Polyisoprenoid tanaman mangrove.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Agati, G, Matteini, P, Goti, A, dan Tattini, M. 2007. Chloroplast located flavornoids can scavenge singlet oxygen. New Phytologist 174: 77-82. Aksornkoae, S., 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN, Bangkok,

Thailand.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Statistik Indonesia. Jakarta

Banerjee, D., Chakrabarti. S., Hazra.A.K., Banerjee.S., Ray.J., dan Mukherjee, B. 2008. Antioxidant activity and total phenolics of some mangroves in Sundarbans. African Journal of Biotechnology 7: 805-810.

Basyuni, M., Oku, H., Tsujimoto, E., Kinjo, K., Baba, S., Takara, K. 2007. Isoprenoids of okinawan mangroves as lipid input into estuarine ecosystem. J.Oceanogr. 63:601-608.

Basyuni, M., Putri, L.A.P., Julayha, Nurainun, H., Oku,H. 2012. Non-saponifiable lipid composition of four salt-secretor and non-secretor mangrove species from North Sumatera, Indonesia. Makara Journal of Science 16/2: 89-94.

Basyuni, M., S. Baba, Y. Kinjo, et al. 2012. Salinity increase the triterpenoid content of a salt secretor and a non salt secretor mangrove. Aquatic Botany 97, 17-23.

Baluska, F. 1995. Structure and Function of Roots. Kluwer Academic. Dordrecht. The Netherlands

Bandarnayake, W.M. 2002. Bioactivities, bioactive compounds and chemical constituents of mangrove plants. Wetlands Ecol. Manage 10: 421-452. Chapman, V.J. 1984. Mangrove Vegetation. Setrauss and Cramer Gmbh. German Close, D.C. dan McArthur,C. 2002. Rethinking the role of many plant phenolics –

protection from photodamage not herbivores. 99: 166-172.

Giri C., Ochieng, L. L., Tieszen, Z., Zhu, A., Singh, T., Loveland, J., Masek and N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data . Global Ecol. Biogeogr. 20:

154-159.

Gardner, F., P., R. B. Pearce and R., L., Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta.


(50)

Hutching, P., and P., Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland Press, Queensland, Australia.

Ibata, K., Mizuno, M., Takigawa, T., dan Tanaka, Y. 1983. Long-chain beturaprenol-type polyprenols from the leaves of Ginko biloba. Biochemical Journal 213: 305-311.

Jankowski, W., Kula-Swiezewska, E., Sasak, W., dan Chojnacki, T. 1994. Occurrence of polyprenols and dolichols in plants. Journal of Plant Physiology 143-448.

Januwati M. 1989. Pengaruh jarak tanam dan intensitas naungan terhadap produksi daun tanaman tapak dara penghasil vincain [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Klepper, B. 1991. Root-shoot relationships, p: 265-286. In Waisel et al., 1991. Plant roots the hidden half. Marcel Dekker Inc. New York. 948 p. Kramer P., J., and T. T., Kozlowski. 1979. Physiology of Woody Plants.

Academic Press, Inc. Florida.

Kusmana, C., Wilarso, S., Hilwan, I., Pamoengkas, P., Wibowo, C., Tiryana, T., Triswanto, A., Yunasfi.,Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

MacNae. 1968. A general account of fauna of the mangrove swamps of inhaca island, mocambique. J. Ecol. 50 : 93 – 128.

Nagasubramaniam A., G. Pathamanabhan dan V. Mallika. 2007. Studies on improving production potential of baby corn with foliar spray of plant growth regulators. Plant Mol. Biol. 21: 154-157.

Noor, Y.S., M. Khazali, I.N.N. Suryadiputera. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Ditjen PKA Departemen Kehutanan dan Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.

Oktavianus, S. 2013. Uji Daya Hambat Daun Mangrove Jenis Avicinea marina Terhadap Bakteri Vibrio Parahaemolyticus. Skripsi. Universitas Hassanudin. Makassar.

Prabowo, Y., Henky,I., Arief,P. 2014. Ekstraksi senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada daun mangrove Xylocarpus granatum dengan pelarut yang berbeda. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Riau.

Salisbury, F. B. dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tanaman. Jilid 3. Institut Teknologi Bandung. Bandung.


(51)

Scholander, P., F., L. Van Dam, and S. I. Scholander. 1955. Gas exchange in the roots of mangroves. American Journal of Botany 42: 92-98. Simarangkir B.D.A.S, 2000. Analisis Riap Dryobalanops lanceolata Burck pada Lebar Jalur yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman

Lempake. Frontir Nomor 32. Kalimantan Timur.

Sopandie D, Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, dan Sahardi. 2003. Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati 2: 71-75.

Snedaker, S.C. 1978. Mangroves: Their value and perpetuation. Nature and Resources 14: 6 - 13.

Sudarman, Sugito Y. 1996. Pengaruh Persentase Naungan dan Dosis mulsa terhadap Pertumbuhan Bibit Cengkeh (Eugenia caryophyllus S. ). Agrivita 19 (2): 69-73.

Suhardi, et al. 1995. Pengkajian Inovasi Teknologi Pengolahan. http//www.jatim. litbang.deptan.go.id.

Suharti M. 1979. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan dan Biomasa Mikania micrantha. LPH. Bogor.

Suga, T., Ohta, S., Nakai, A., Munesada, K. 1989. Glycinoprenols: novel polyprenols possessing a phytyl residue from the leaves of soybean. The Journal of Organic Chemistry 54: 3390-3393.

Sumaryono, W. 1999. Produksi Metabolit Sekunder Tanaman Secara Bioteknologi. Prosiding. Seminar Nasional Kimia Bahan Alam . Penerbit UI. Jakarta

Surmacz, L and E. Swiezewska. 2011. Polyisoprenoids – Secondary metabolites or physiologically important superlipids. Biochemical and Biophsycal Research Communications 407: 627-632.

Swiezewska, E., Wlodzimier,S., Tadeusz, M., Wieslaw, J., Tomasz, V., Izabella, K., Jozefina, H., Elzbieta, S., and Tadeusz, C. 1994. The search for plant polyprenols. Act. Bio. Pol. 41:222-224.

Swiezewska, E., Witold D. 2005. Polyisoprenoids: Structure, biosynthesis and function. Progress in Lipid Research 44: 235–258.

Swiezewska E., Danikiewicz, W. 2005. Polyisoprenoids: structure, biosynthesis and function, Prog. Lipid Res 44 : 235–258.

Tateyama, S., R. Wititsuwannakul, D. Wititsuwannakul, H. Sagami, K. Ogura. 1999. Dolichols of rubber plant, ginkgo and pine. Phytochemistry 51: 11-16.


(52)

The US Department of Agriculture (USDA). 2002. Plants Profile

Xylocarpus granatum Koenig.

Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press. Tunggal L. 2004. Pengaruh intensitas naungan dan jarak tanam terhadap

pertumbuhan dan produksi herba meniran (Phyllanthus niruri L. ) pada sistem pertanian organik [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.


(53)

Lampiran1. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Tinggi Semai X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50 Number of Observations Used : 26 1.1. Anova

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 12253.40289 3063.35072 52.89 < 0001 Error 21 1216.34057 57.92098

Corrected Total 25 13469.74346 1. 2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.01

Error Degrees of Freedom 21 Error Mean Square 57.92098 Critical Value of Dunnett's t 3.38637

Comparisons significant at the 0.01 level are indicated by **. GROUP Difference

Comparison Between Simultaneous 99% Means Confidence Limits 5 - 1 58.633 43.027 74.239 ** 3 - 1 11.300 -6.924 29.524 2 - 1 5.948 -8.391 20.286 4 - 1 2.573 -13.033 18.179


(54)

Lampiran2. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Diameter Semai X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50 Number of Observations Used : 26 2. 1. Anova

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 0.02271154 0.00567788 0.98 0.4410 Error 21 0.12200000 0.00580952

Corrected Total 25 0.14471154 2.2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 21 Error Mean Square 0.00581 Critical Value of Dunnett's t 2.65596 Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by *. Difference

GROUP Between Simultaneous 95% Comparison Means Confidence Limits 5 - 1 0.08067 -0.04192 0.20325 3 - 1 0.04000 -0.10315 0.18315 4 - 1 0.03867 -0.08392 0.16125 2 - 1 0.00667 -0.10596 0.11929


(55)

Lampiran3. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Jumlah Daun X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50 Number of Observations Used : 23 3.1. Anova

Source DF Sum of Mean Square F Value Pr > F Square

Model 4 15.61418219 3.90354555 2.90 0.0514 Error 18 24.21190476 1.34510582

Corrected Total 22 39.82608696 3.2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 18 Error Mean Square 1.345106 Critical Value of Dunnett's t 2.70824

Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by *. Difference

GROUP Between Simultaneous 95% Comparison Means Confidence Limits 2 - 1 0.5476 -1.1999 2.2951 4 - 1 -0.5667 -2.4686 1.3353 3 - 1 -0.9167 -2.9442 1.1108 5 - 1 -3.1667 -6.5593 0.2260


(56)

Lampiran4. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Luas Daun X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50

Number of Observations Used : 22 4. 1. Anova

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 9251.88435 2312.97109 1.91 0.1546 Error 17 20560.59429 1209.44672

Corrected Total 21 29812.47864 4. 2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 17 Error Mean Square 1209.447 Critical Value of Dunnett's t 2.72761 Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by *.

Difference Simultaneous 95% GROUP Between Confidence Limits Comparison Means

3 - 1 55.80 -11.28 122.88 4 - 1 31.87 -25.57 89.31 2 - 1 21.70 -31.08 74.47 5 - 1 -27.83 -130.29 74.63


(57)

Lampiran5. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Berat Basah Akar X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50

Number of Observations Used : 27 5. 1. Anova

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 6.43500000 1.60875000 0.94 0.4611 Error 22 37.78500000 1.71750000

Corrected Total 26 44.22000000 5. 2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 22 Error Mean Square 1.7175 Critical Value of Dunnett's t 2.64171 Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by *. Difference

GROUP Between Simultaneous 95% Comparison Means Confidence Limits 5 - 1 0.8300 -1.2664 2.9264 4 - 1 -0.1100 -2.2064 1.9864 2 - 1 -0.2500 -2.1761 1.6761 3 - 1 -0.8000 -3.0347 1.4347


(58)

Lampiran6. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Berat Basah Tajuk X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50 Number of Observations Used : 26 6.1. Anova

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 56.5769885 14.1442471 2.52 0.0720 Error 21 117.9908000 5.6186095

Corrected Total 25 174.5677885 6.2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 21 Error Mean Square 5.61861 Critical Value of Dunnett's t 2.65596 Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by *.

Difference Simultaneous GROUP Between 95% Confidence Comparison Means Limits

5 - 1 4.150 0.338 7.962 *** 3 - 1 2.450 -2.002 6.902 4 - 1 1.050 -2.762 4.862 2 - 1 0.720 -2.783 4.223


(59)

Lampiran7. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Berat Kering Akar X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50

Number of Observations Used : 26 7.1. Anova

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 0.88056044 0.22014011 0.89 0.4894 Error 21 5.21828571 0.24848980

Corrected Total 25 6.09884615

7.2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 21 Error Mean Square 0.24849 Critical Value of Dunnett's t 2.65596 Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by *.

Difference Simultaneous GROUP Between 95% Confidence Comparison Means Limits

5 - 1 0.2067 -0.5950 1.0084 3 - 1 -0.0667 -1.0029 0.8695 2 - 1 -0.1048 -0.8413 0.6318 4 - 1 -0.3733 -1.1750 0.4284


(1)

Lampiran6. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Berat Basah Tajuk X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50

Number of Observations Used : 26 6.1. Anova

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 56.5769885 14.1442471 2.52 0.0720 Error 21 117.9908000 5.6186095

Corrected Total 25 174.5677885

6.2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 21 Error Mean Square 5.61861 Critical Value of Dunnett's t 2.65596

Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by *.

Difference Simultaneous

GROUP Between 95% Confidence

Comparison Means Limits

5 - 1 4.150 0.338 7.962 ***

3 - 1 2.450 -2.002 6.902

4 - 1 1.050 -2.762 4.862


(2)

Lampiran7. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Berat Kering Akar X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50

Number of Observations Used : 26 7.1. Anova

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 0.88056044 0.22014011 0.89 0.4894 Error 21 5.21828571 0.24848980

Corrected Total 25 6.09884615

7.2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 21 Error Mean Square 0.24849 Critical Value of Dunnett's t 2.65596

Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by *.

Difference Simultaneous

GROUP Between 95% Confidence

Comparison Means Limits

5 - 1 0.2067 -0.5950 1.0084

3 - 1 -0.0667 -1.0029 0.8695

2 - 1 -0.1048 -0.8413 0.6318


(3)

Lampiran8. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Berat Kering Tajuk X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50

Number of Observations Used : 26

8.1. Anova

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 9.3565568 2.3391392 0.41 0.8021 Error 21 120.9419048 5.7591383

Corrected Total 25 130.2984615

8.2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 21 Error Mean Square 5.759138 Critical Value of Dunnett's t 2.65596

Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by *.

Difference Simultaneous

GROUP Between 95% Confidence

Comparison Means Limits

2 - 1 1.519 -2.027 5.065

5 - 1 0.653 -3.206 4.513

3 - 1 0.633 -3.874 5.140


(4)

Lampiran9. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Dunnet Rasio Tajuk Akar X. granatum

Class : GROUP

Levels : 5

Values : 1 2 3 4 5

Number of Observations Read : 50

Number of Observations Used : 26

9.1. Anova

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 43.5986520 10.8996630 0.72 0.5895 Error 21 319.0398095 15.1923719

Corrected Total 25 362.6384615

9.2. Dunnett's t Tests

This test controls the Type I experimentwise error for comparisons of all treatments against a control. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 21 Error Mean Square 15.19237 Critical Value of Dunnett's t 2.65596

Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by *.

Difference Simultaneous

GROUP Between 95% Confidence

Comparison Means Limits

4 - 1 3.620 -2.649 9.889

2 - 1 1.657 -4.102 7.417

3 - 1 0.767 -6.553 8.087


(5)

Lampiran 10. Dokumentasi Kegiatan

Gambar A. Perendaman biji Gambar B. Sterilisasi pasir

Gambar C. Pengecambahan benih Gambar D. Penyiraman benih

Gambar E. Morfologi bibit setelah 12 Gambar F. Morfologi bibit setelah 12 MST terhadap perlakuan MST terhadap perlakuan intensitas cahaya 100% intensitas cahaya 75%


(6)

Gambar G. Morfologi bibit setelah 12 Gambar H. Morfologi bibit setelah 12 MST terhadap perlakuan MST terhadap perlakuan intensitas cahaya 50% intensitas cahaya 25%

Gambar I. Morfologi bibit setelah 12 Gambar J. Pengukuran biomasa tajuk MST terhadap perlakuan

intensitas cahaya 0%


Dokumen yang terkait

Respons Pertumbuhan Tanaman dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid terhadap Variasi Naungan dan Salinitas pada Mangrove Sonneratia alba Smith

2 41 76

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Dan Komposisi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

2 75 89

Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris (L.)

0 85 49

Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 0 11

Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 1 10

Pengaruh Variasi Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Konsentrasi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 0 10

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Dan Komposisi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 0 29

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Dan Komposisi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 0 13

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Dan Komposisi Rantai Panjang Polyisoprenoid Semai Mangrove Sejati Minor Berjenis Sekresi Xylocarpus granatum Koenig

0 0 13

Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan dan Konten Rantai Panjang Polyisoprenoid pada Mangrove Sejati Mayor Berjenis Sekresi Sonneratia caseolaris (L.)

0 0 11