DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN: REGIONALISME EKONOMI DI PERBATASAN LAUT CINA SELATAN
DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN: REGIONALISME
EKONOMI DI PERBATASAN LAUT CINA SELATAN
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SKRIPSI
Disusun Oleh :
NUR ARY RIZQIAN
95510310
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
(2)
i
DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN: REGIONALISME
EKONOMI DI PERBATASAN LAUT CINA SELATAN
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SKRIPSI
Disusun Oleh :
NUR ARY RIZQIAN
95510310
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
(3)
(4)
ABSTRAKSI
Meskipun situasi di Laut Cina Selatan menjadi pusat perhatian belakangan ini, isu tersebut sebenarnya bukan barang baru. Di awal 1990-an topik tersebut telah diperkirakan khususnya oleh para analis Amerika, akan menjadi konflik yang tak berkesudahan. Dilihat secara sepintas, situasi saat ini mungkin mirip dengan situasi pada era 1990-an. Akan tetapi, ketika diperhatikan dengan lebih mendalam, sangat jelas bahwa kondisi sebenarnya berbeda. Perubahan-perubahan besar telah terjadi di dalam hubungan Cina dan ASEAN, begitu pula di dalam sistem regional semenjak awal 1990-an. Secara keseluruhan, telah terbentuk suatu hubungan yang positif dan konstruktif di antara Cina dan ASEAN, khususnya di bidang ekonomi yang telah mengubah berbagai aspek menyangkut dinamika politik, ekonomi, sosial, dan keamanan di kawasan tersebut. Semua perubahan ini tidak bersifat sementara, tetapi akan terus-menerus mempengaruhi perilaku para pihak terhadap satu sama lain, termasuk di dalam lingkup konflik Laut Cina Selatan.
Di awal 1990-an Cina menerapkan suatu strategi pasca Perang Dingin yang baru,
bercirikan kebijakan “good neigbourhood” (bertetangga yang baik), yang bertujuan untuk
menjadikan Asia Tenggara sebagai model strategi bagi “kebangkitan Cina yang damai” (peaceful rise). Pada saat yang sama,. Pemulihan hubungan baik ini merupakan hal yang mendasar dalam memahami mengapa Cina dan ASEAN telah berupaya untuk memelihara hubungan mereka dalam cara yang konstruktif dan damai dan mengapa hubungan di antara Cina dan ASEAN tersebut telah berkembang menuju arah yang positif, termasuk di dalamnya mengenai Laut Cina Selatan.
(5)
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Cina adalah negara terpadat di dunia dengan populasi lebih dari 1,35 miliar. Cina yang memiliki nama resmi Republik Rakyat Cina ini dikuasai oleh Partai Komunis dimana partai komunis adalah partai satu-satunya yang legal di sana.1
Antara Cina dan ASEAN pada awalnya tidak memiliki niat untuk pembangunan hubungan kerjasama dalam bidang apapun, justru ASEAN menganggap Cina adalah
aggressor potensial menyusul runtuhnya kekaisaran Jepang menyisakan Cina sebagai
aggressor potensial di Asia. Selain itu dalam mengambil sikap terkait laut, Cina mempertahankannya dengan keambiguan sehingga semakin membuat ASEAN ragu-ragu terhadap Cina.2
Deng Xiaoping saat memimpin Cina membawa angin segar dan perubahan dalam Cina terkait dengan hubungannya terhadap ASEAN, dengan cara mengurangi pengaruh komunisnya di ASEAN Deng Xiaoping melakukan pendekatan dengan ASEAN, hal ini dimaksudkan Deng Xiaoping untuk mendukung reformasi politik dan ekonominya.
1 University of Southern California, What are Cina’s Largest and Richest Cities, US-Cina Institue, 27
Agustus 2007,
Cina.usc.edu/(S(swqn0p55xbqmsu45cwso5lzy)A(IEcheuFczAEkAAAAODRlNTk2OTMtMDViMC00Yj
k5LWFmZTgtODc1OTA1YWYxMDM4e9e8O7-g5_HYhuft0Huy7h2GlGg1))/ShowAverageDay.aspx?articleID=910, di akses 10 September 2013 2Gregory B. Polling, “The South Cina in Focus: Clarifying the Limits of Maritime Dispute”, CSIS, July 2013.
(6)
2 Selanjutnya hubungan Cina-ASEAN berkembang di masa Hu Jintao, sebagai presiden disaat itu, Hu Jintao terfokus dalam berbagai usaha memajukan Cina, terutama dari segi ekonomi. Hu Jintao adalah satu-satunya pemimpin Cina yang tidak banyak membuat perubahan dalam tubuh politik dan terkesan konservatif dalam perpolitikan. Hu Jintao melihat kawasan besar Laut Cina Selatan sebagai lautan uang, setengah perputaran perdagangan di dunia via laut melewati Laut Cina Selatan.3 Hal inilah yang
nantinya mendorong terbentuknya regionalisme ekonomi Cina-ASEAN.
Mencakup dari Singapura dan Malaka selat ke Selat Taiwan, Laut Cina Selatan merupakan salah satu daerah yang paling hangat diperdebatkan di dunia. Cina meletakkan klaim untuk hampir seluruh laut tumpang tindih dengan klaim maritim dari Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina dengan wilayah kedaulatan, sumber daya alam, dan kepentingan nasional dipertaruhkan. Sengketa ini mengancam stabilitas kawasan, namun tanpa memperdulikan isu keamanan tersebut, Cina tetap bisa mempertahankan kerjasama ekonominya dengan ASEAN.
Signifikansi Selatan Laut Cina secara luas diakui oleh banyak pihak dalam navigasi internasional, maritim, eksploitasi sumberdaya alam, perlindungan lingkungan, dan efektivitas hukum-hukum internasional. Sengketa di Laut Cina Selatan kerap membahas perebutan kepulauan berkaitan dengan perbedaan pandang tentang batas masing-masing negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, seperti kasus di Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan zona maritim sejak 1990-an.4 Upaya telah dilakukan oleh negara-negara regional untuk menstabilkan situasi dan mencari peluang
3Charle A Tayer, “Cina’s New Wave of Aggressive Assertiveness in the South Cina Sea”, CSIS, 20 Juni 2011.
(7)
3 kerjasama di kawasan Laut Cina Selatan. Upaya-upaya ini telah menghasilkan, Deklarasi ASEAN tentang Laut Cina Selatan pada tahun 1992 yang diadopsi pada tahun 2002 dan Deklarasi ASEAN-Cina pada perilaku para pihak di Laut Cina Selatan, yang menurut semua pihak yang menandatangani perjanjian untuk mencari solusi damai, sengketa, dan melakukan kerjasama maritim dalam rangka menjaga stabilitas regional di Laut Cina Selatan.
Dengan menarik garis demarkasinya, Cina membuat klaim besar terhadap semua negara yang memiliki wilayah kelautan di Laut Cina Selatan. Beberapa negara telah membuat klaim-klaim teritorial atas Laut Cina Selatan. Perselisihan tersebut telah dianggap sebagai titik paling berbahaya di daerah Asia. Titik konflik perbatasan Cina tersebut, yaitu Kepulauan Spratly yang mana Cina bertabrakan dengan Vietnam dan Taiwan, sedangkan wilayah Kepulauan Scarborough Shoal Cina memperebutkannya dengan Filipina dan Taiwan, selain itu ada juga Kepulauan Paracel yang mana Cina memperjuangkannya melawan Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Thailand. Kepulauan-kepulauan kecil lain yang berada di Laut Cina Selatan pada dasarnya diperebutkan oleh semua negara ASEAN.5
Cina sangat bersikeras atas kedaulatan di Laut Cina Selatan karena akan menjadi keuntungan strategis bagi Cina mengingat bahwa lebih dari setengah tonase pedagang dunia, sepertiga dari perdagangan minyak mentah, dan setengah wisata perdagangan gas alam melalui perairan yang diperebutkan tersebut.
(8)
4 Dalam perkembangannya, Kepulauan Spratly dalam setiap pembahasan politik, ekonomi, dan militer, Cina tampaknya akan mengambil garis keras terhadap masalah ini. Pada bulan Maret 2010, para pejabat Cina tingkat tinggi dilaporkan menegaskan untuk mengunjungi pejabat AS bahwa Laut Cina Selatan mengklaim ditandai kepentingan inti untuk Beijing, Cina memperingatkan bahwa jangan sampai ASEAN melupakan apa yang pernah terjadi bahwa Cina pernah memberikan ‘pelajaran’ pada Vietnam pada tahun 1979.6
Memang sebelumnya Cina sangat keras terhadap tantangan dalam semua politisasi atas Laut Cina Selatan. Di satu sisi dalam bidang ekonomi Cina dan ASEAN telah membentuk energi politik, yaitu membentuk komunitas ekonomi baru meniru seperti apa yang sudah dicapai Uni Eropa. Pada saat yang sama, Amerika Serikat memperdalam hubungan strategis dengan Vietnam, Filipina, Singapura, dan Indonesia sebagai bagian dari poros Asia. Semua ini telah memicu kekhawatiran, bahwa di era meningkatnya persaingan besar-kekuasaan, ASEAN tidak mungkin bisa tetap bersama-sama. Namun pada akhirnya Cina tetap mempertahankan ambiguitasnya terkait dengan isu perbatasan Laut Cina Selatan.7
1.2. Pokok Permasalahan
Mengapa Cina tetap berusaha menjalin hubungan dengan ASEAN meskipun Cina terlibat berbagai konflik dengan negara ASEAN?
6 Ibid, hal. 176.
7 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 22-33.
(9)
5 1.3. Kerangka Pemikiran
Kerangka dasar teori merupakan bagian yang terdiri dari uraian yang menjelaskan variable-variable dan hubungan-hubungan antar variable berdasarkan konsep definisi tertentu. Teori adalah suatu bentuk pernyataan yang menjawab pertanyaan mengapa fenomena itu terjadi.8 Konsep adalah abstraksi yang mewakili
obyek atau fenomena.9
Morgenthau dalam memandang penentuan teori politik bahwasannya suatu teori politik harus bersubyek pada pengujian dua hal yaitu alasan dan pengalaman.10
Untuk menghapuskan sebuah teori yang telah berkembang selama berabad-abad adalah dengan menghadirkan praduga modern yang menjamin superioritas kondisi saat ini dibandingkan masa lampau, bukan hanya sebuah argument rasional.11
Politik realisme meyakini bahwa politik, dipengaruhi oleh hukum-hukum obyektif yang berlandaskan kemanusiaan. Jauh sebelum Morgenthau sebenarnya arah
pemikiran manusia sudah belajar untuk hal ini sejak masa ”Renaissance” yaitu dengan pola pendekatan Immanuel Kant yang dia jabarkan dalam bukunya Critique of Pure Reason dalam memisahkan objek untuk di pelajari.12 Sehingga model penulisan skripsi ini sesuai dengan nilai dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang akan
8 Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi, Jakarta, LP3ES, 1990, hal 219.
9 Sofyan Efendi, Unsur-unsur Pengertian Ilmiah, Jakarta, LP3ES, 1990, hal 14.
10 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, Alfredd A Knoff, New York, 1976, hal. 4.
11 Ibid, hal. 7.
12 Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago University Press, Chicago, 1982, hal. 15.
(10)
6 menciptakan karakter yang islami dan unggul dan tentunya modern.13 Kaitannya dengan
dunia sosial bahwa menurut Morgenthau untuk membangun masyarakat perlu dipahami hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Pelaksanaan hukum-hukum ini menjadi ganjalan bagi preferensi kita, orang yang menantangnya akan menemui resiko kegagalan.14
Dalam perkembangannya sesuai dengan disiplin ilmu Hubungan Internasional, kelahiran ilmu ini berdasarkan pengalaman gagalnya Liga Bangsa-bangsa sehingga pecahnya perang dunia II kala itu banyak aliran pemikiran yang berkembang adalah pemikiran/idiologi idealisme, sehingga pola pemikiran yang umum di pakai sekarang, yaitu realisme.15 Sehingga pokok penekanan di skripsi ini adalah dengan pemakaian pola realisme yang meyakini seperti apa adanya obyektifitas hukum-hukum politik, juga percaya kemungkinan pengembangan sebuah teori rasional meskipun tidak sempurna dan berat sebelah.16
Realisme yang akan menjadi tolak ukur dan cara pandang di sini dipahami oleh penulis, bahwa hal itu tidak menolak kemungkinan adanya perbedaan pendekatan dari setiap ahli, namun dengan pendekatan ini di harapkan dapat menemukan fakta-fakta dan memberikan arti berdasarkan alasan tertentu.
13 Ibid, Hal. 14. Di sini Rahman berasumsi bahwa proses pemahaman manusia akan objek selalu di kembalikan tentang bagaimana objek itu berasal, kenapa tidak mengisolasi objek tersebut tanpa harus mengkaitkan bagaimana asalnya objek tersebut, sehingga kita bias memahami objek tersebut secara utuh dan objektif, contoh: bagaimana gunung-gunung tinggi itu bias ada, lalu seseorang menjawab “itulah kehebatan Tuhan, Tuhan mampu menciptakan gunung-gunung yang tinggi” di mana jawaban ini pada dasarnya tidak menjawab pertanyaan yang ada.
14 Hans J. Morgenthau, Op.Cit.,hal. 4.
15 Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, Polity Press, Cambridge, hal. 2.
16 Timothy J. Sinclair dalam Peer Schouten, Theory Talks, LP3M UMY & PPSK, Yogyakarta, 2012, hal 14.
(11)
7 Untuk memudahkan penulis dalam menjelaskan analisa terhadap permasalahan yang dihadapi serta untuk memilih konsep yang tepat dalam membentuk hipotesa, maka diperlukan suatu kerangka teoritis. Untuk menjelaskan kepentingan Cina terhadap Laut Cina Selatan paska perang dingin, penulis menggunakan:
Teori Saling ketergantungan (Interdependensi)
Teori Interdependensi atau saling ketergantungan merupakan sebuah teori yang lahir dari perspektif liberalis yang terdapat dalam hubungan internasional. Interdepedensi akan menciptakan dunia hubungan internasional yang jauh lebih kooperatif dan menguntungkan bagi pihak – pihak yang berinteraksi di dalamnya. Aktor transnasional menjadi semakin penting dan kesejahteraan merupakan tujuan yang dominan dari negara. Saling ketergantungan mengacu pada situasi yang di karakteristikkan dengan timbal balik antar aktor negara yang berbeda, efek ini merupakan hasil dari transaksi internasional, yaitu aliran arus barang, uang, manusia, dan informasi yang melewati batas-batas negara. Saling ketergantungan menyebabkan adanya interaksi antar negara, J Frankel mengawalinya dengan mengetengahkan tipe-tipe hubungan yang ada dan berlangsung dalam politik internasional, terdapat dua tipe-tipe hubungan yang ekstrim, yaitu konflik dan kerjasama, sedangkan situasi yang jatuh diantara dua tipe yang ekstrim ini disebut sebagai persaingan. Hubungan antar negara ditentukan oleh sifat negara dan masyarakat internasional.17
(12)
8
Menurut Mohtar Mas’oed dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, interdepedensi adalah sebagai kontak atau pertukaran (exchange) diantara bangsa-bangsa, interdepedensi timbul akibat tindakan suatu pemerintah dan sebagian oleh pemerintah lain. Pengertian interdepedensi ini bersifat positif, karena bisa membuka suatu ikatan kerjasama yang saling menguntungkan.
Tahun 1990an menjadi era meningkatnya kunjungan antara Cina dan Asia tenggara, dan serangkaian perjanjian, memorandum, deklarasi, dan pernyataan ditandatangani pada kesempatan tersebut. Inisiatif politik ini menjadi dasar dari perluasan aktivitas ekonomi antara Cina dan Asia tenggara di tahun 1990an termasuk perdagangan, investasi, bantuan luar negeri, dan turisme.
Nampaknya Cina mengalami perubahan yang baik dihubungan ekonominya dengan Asia tenggara sejak tahun 1990an. Sebelum kebijakan open door, Cina hanya memiliki volume perdagangan yang rendah dengan negara-negara Asia tenggara. Semenjak tahun 1988 baru terlihat perkembangan perdagangan Cina dengan Asia tenggara, sebagai contoh, volume perdagangan bilateral antara Cina dan Asia tenggara sebesar $3,8 milyar, tetapi jumlah ini terus meningkat dari $4,3 milyar di tahun 1990 dan menjadi $10,6 milyar di tahun 1993 dan menjadi $19.4 milyar di tahun 1995. Selain memperbaiki hubungan dengan negara di region tersebut, Cina juga mulai partisipasi di dalam kegiatan ASEAN.
Perekonomian Cina terus berkembang semenjak implementasi dari kebijakan
open door. Cina menjadi semakin kuat dari awal 1990an dan terus menguat saat memasuki abad baru. Walaupun begitu, pemimpin Cina tetap memikirkan langkah baru
(13)
9 untuk menentukan kebijakan luar negerinya. Di tahun 2002, dimana merupakan tahun pertama Cina memasuki World Trade Organization (WTO) membuat China mempunyai peluang untuk membangun hubungan ekonomi politik yang lebih dekat denagn negara lain di bawah kerangka institusi WTO.
Dengan begitu pemimpin Cina mengajukan strategi “going global” yang
bertujuan untuk membawa perusahaan Cina ke luar negeri, kebalikan dari kebijakan
open door dimana itu mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di pasar Cina. Menurut menteri perdagangan Cina, beberapa langkah diambil pada tahun
2002 untuk mempromosikan kebijakan “going global” seperti membuat hukum dan regulasi untuk perusahaan asing, memperbaiki administrasi untuk pekerja asing, membantu perusahaan untuk mengambil proyek skala besar di negara lain. Tahun 2002, juga menjadi saksi dimana hubungan Cina dengan ASEAN yang menjadi semakin dekat. Cina mencapai beberapa perjanjian penting dan mengadakan rapat penting dengan ASEAN, termasuk perjanjian untuk mengadakan area perdagangan bebas di pertemuan ASEAN-Cina yang ke 6 pada 4 November 2002. Selain menjalankan
kebijakan “go global” kebijakan good neighbor juga masih dijalankan. Hu Jintao menyebutkan 3 kunci utama kebijakan Cina terhadap Asia tenggara, yaitu good neighbours, stabilizing neighbours, dan enriching neighbours. Strategi go global
sebenarnya merupakan kontinuitas dari kebijakan good neighbor.
Dengan adanya penyesuaian-penyesuaian hubungan Cina dengan negara-negara Asia Tenggara maka beberapa negara-negara ASEAN kemudian meningkatkan hubungan ekonomi dan perdagangannya dengan Cina. Perdagangan antara Cina dan
(14)
10 negara-negara anggota ASEAN telah berjalan selama beberapa tahun ke belakang, Namun perdagangan ini lebih bersifat bilateral antara Cina dan salah satu negara anggota ASEAN. perkembangan ekspor Cina meningkat dalam 2 dekade terakhir ini, dan peningkatan ini sangatlah signifikan sehingga mendongkrak Cina menjadi negara ke 5 dengan jumlah pengekspor terbesar. Hubungan ASEAN-Cina mulai terjalin ketika menteri luar negeri Cina menghadiri ASEAN Ministerial Meeting (AMM) atau pertemuan antar menteri luar negeri ASEAN ke 24 di Kuala Lumpur pada tanggal 19-24 Juli 1991. Pada saat pertemuan AMM ke 25 pada tahun 1992, Cina kembali diundang sebagai tamu ASEAN. Pada saat itu Menlu Cina menawarkan dibentuknya ASEAN-China Consultative Relationship, serta menawarkan kerjasama ASEAN di bidang Iptek dan perdagangan. Hubungan perdagangan ASEAN dan Cina berkembang dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan kedua ekonomi negara tersebut. Dalam 10 tahun terakhir, perdagangan antara Cina dan ASEAN tumbuh dari $8 trilyun pada tahun 1991, menjadi $40 trilyun pada tahun 2001. Meningkatnya interdepensi ekonomi antara Cina dan ASEAN akan lebih diperlukan untuk meningkatkan intra industri antara Cina dan ASEAN. Dengan adanya perjanjian free trade, diharapkan Cina akan menjadi partner dagang yang baik dibandingkan menjadi kompetitor. Dengan terbentuknya Free Trade Agreement ini, maka secara tidak langsung globalisasi mengambil peran untuk hubungan antar Negara tersebut.
Globalisasi atau lebih tepatnya globalisasi neoliberal telah menantang kapasitas ekonomi politik negara bangsa. Dalam bidang politik, negara bangsa tidak lagi menjadi aktor tunggal, Sekalipun keberadaannya tetap menjadi unit penting dalam ekonomi
(15)
11 politik global dewasa ini. Globalisasi dalam kerangka world politics tidak dapat dipisahkan dari globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi juga identik dengan paham liberalisme yang mempromosikan konsep free trade dan interdependensi. Dewasa ini, ASEAN dan Cina adalah Negara yang mempunyai ekonomi yang kian meningkat dan keduanya sangat penting untuk pengembangan Asia Timur untuk di kemudian hari. Secara umum Cina memang lebih unggul dalam ekonomi global dibandingkan dengan ASEAN. Agar ekonomi mereka semakin maju, mereka membutuhkan integrasi yang konsisten baik dalam perdaganngan maupun investasi dan lebih mendalami hubungan dengan wilayahnya maupun dengan dunia luar lainnya.
Dewasa ini, sikap ASEAN masih mendua dikarenakan secara ekonomi Cina semakin menantang, pada saat yang sama Cina juga muncul sebagai ancaman bagi ASEAN, dimana pada awal tahun 1990-an meski Indonesia dan Singapura membuka kembali hubungan diplomasi dengan Cina, mereka juga dengan cepat membuka pintu kerja sama dengan negara lain dalam bentuk penyediaan basis militer yang terbatas.Sementara itu, negara-negara ASEAN juga mencurigai Cina sebagai induk dari gerakan komunis yang ada di Asia Tenggara. Lebih dari itu, mayoritas penduduk negara-negara ASEAN sendiri adalah muslim dan kristen sementara Cina komunis atheis. Banyaknya perantau Cina yang sukses di negara-negara ASEAN menambah daftar kecurigaan ASEAN terhadap Cina atas kemungkinan gerakan politik orang-orang
(16)
12 perantau Cina tersebut. Tidak mengherankan jika agama dan ideologi menjadi suatu penghalang hubungan Cina dengan ASEAN pada awalnya.18
Sebagai salah satu negara penganut ideologi komunis, hubungan Cina dan ASEAN pada awalnya dipenuhi rasa saling curiga karena sebagian besar negara ASEAN dikendalikan oleh Amerika Serikat sebagai kampiun ideologi liberal dan merupakan musuh ideologi komunis. Selain itu, sebagian besar penduduk ASEAN merupakan muslim dan Nasrani yang tentunya berseberangan dengan Cina yang berpaham atheis.Pada dasarnya ASEAN memiliki strategi keamanan mengenai tatanan regional. Terdapat semacam anjuran bahwa kunci yang dibawa oleh regionalisme di ASEAN bersandar pada dua jalan utama untuk menuju pada tatanan regional, yakni ”omni-enmeshment of major powers” dan ”complex balance of influence”
implementasi dari keduanya bertujuan lebih untuk mengatur tatanan regional dibandingkan untuk mencegah terjadinya transisi kekuatan. ASEAN juga tidak menghiraukan adanya batas-batas antara militer, ekonomi, dan kekuatan politik; menghilangkan distingi-distingsi yang dapat mengaburkan ikatan di antara negara-negara anggota ASEAN serta melaksanakan prinsip containment atau menantang adanya asumsi bahwa pengaturan tatanan regional hanya merupakan bisnis dari negara-negara dunia yang memiliki kekuatan besar.19
Cina tumbuh sebagai kekuatan ekonomi dunia yang baru, Cina merupakan salah satu dari 5 kekuatan besar dunia dan tentunya tidak ingin dominasinya di kawasan Asia
18Mondejar,Reuben and Wai Lung Chu, “ASEAN-China Relations: Legacies and Future Directions”, dalam Ho Khai Leong and Samuel C.Y Ku (eds), Cina and southeast Asia: Global Changes and Regional Challenges, ISEAS,Singapura, 2005, hal. 127.
(17)
13
Tenggara ”diambil alih” oleh kekuatan lain. Hubungan kerja sama Cina dengan ASEAN lebih merupakan upaya mengambil kepercayaan guna eksisnya kekuatan dominasi dan hegemoni Cina di Asia Tenggara, selain karena ingin mendapat dukungan politik atas kasus Taiwan.. Masa depan ASEAN lebih ditentukan akan pergerakannya mereka dalam mengambil sebanyak mungkin keuntungan dari kerjasama dengan Amerika Serikat dan Cina sebagai bentuk kebijakan penyeimbang kekuatan besar dunia di kawasan Asia Tenggara dengan tetap menjaga hubungan baik antara keduanya. 20
Hal ini mampu menjelaskan tentang alasan kenapa Cina tetap bisa membangun hubungan dan kerja sama dengan ASEAN yang notabene pernah salah satu anggotanya, yaitu Vietnam di serang oleh Cina dan mayoritas anggota negara dari ASEAN memiliki isu perbatasaan di Laut Cina Selatan.
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) telah menjadi salah satu instrumen politik luar negeri Cina dalam mengejar kepentingan ekonomi dan keamanannya di kawasan Asia Tenggara. Instrumen ini digunakan Cina sejak negara ini memutuskan untuk membuka dirinya kepada ASEAN. Hingga sekitar 1980-an, Cina adalah satu-satunya negara di Asia yang berorientasi kepada negara maju, bukan kepada negara tetangganya di kawasan. Cina juga merupakan satu-satunya negara dunia ketiga yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Sikap menjaga jarak ini antara lain ditunjang oleh aspek historis Cina yang mengarahkan kepada ketatnya kontrol yang dilakukan pemerintah terhadap hubungan dengan negara lain. Namun, transformasi
(18)
14 terhadap sikap ini kemudian muncul ketika Perang Dingin usai.21 Meskipun telah
memiliki hubungan bilateral yang baik dengan beberapa negara anggota ASEAN, Cina tidak memiliki hubungan yang erat dengan ASEAN sebelum era 1990-an. Pada 1991, Cina menjadi Consultative Member di ASEAN dan pada 1996, ASEAN secara resmi menjadikan Cina sebagai mitra dialog pada 29th ASEAN Ministerial Meeting di Jakarta. Pada awal 1997, lima kerangka dialog terjalin antara ASEAN dengan Cina, yakni
China-ASEAN Political Consultation, China-ASEAN Joint Committee on Economicand Trade Cooperation, ASEAN-China Joint Cooperation Committee (ACJCC), China-ASEAN Joint Committee on Scientific and Technological Cooperation, dan ASEAN Beijing Committee. Pertemuan konsultasi juga dilakukan Cina pada ASEAN Regional Forum (ARF), the Post Ministerial Conference (PMC) 9+1, the Joint Cooperation Committee (JCC), ASEAN-China Senior Official Meeting (SOM) dan ASEAN-China Bussiness Council Meeting.22
Keuntungan ekonomi tentu dapat diperoleh melalui kerjasama Cina dengan ASEAN. Menurut Swee-Hock, perdagangan antara Cina dengan ASEAN tergolong menjalani perkembangan yang sangat cepat dengan rata-rata tingkat pertumbuhan 20,8 persen sejak 1990 hingga 2003. Hingga 2005, ASEAN menjadi mitra kerjasama kelima terbesar bagi Cina. Sedangkan Cina merupakan mitra kerjasama keenam bagi ASEAN. Investasi ASEAN di Cina meningkat rata-rata sekitar 28 persen sejak 1991 hingga 2000. Walaupun investasi Cina ke ASEAN masih terhitung sedikit, namun hingga 2001
21 M. Yahuda, “The International Politics of the Asia-Pacific, 1945-1995”, Routledge, London, 1995, hal. 186-211.
22 Swee-Hock, S., Lijun S., dan Wah C.K, “ASEAN-China Relations, Realities and Prospects”, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2005, hal. 1-2.
(19)
15 jumlah investasi tersebut adalah sekitar 7,7 persen dari seluruh investasi Cina di luar negeri. Pada ASEAN-China Summit November 2001, Cina mengusulkan ide pembentukan China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA).
Selain keuntungan ekonomi, keuntungan keamanan juga dapat diperoleh dalam interaksi Cina dengan ASEAN. Interaksi Cina-ASEAN dalam hal keamanan diawali pada Desember 1997. Presiden Cina Jiang Zemin bertemu muka dalam pertemuan informal kepala Negara (ASEAN+1) dan merancang joint statement. Sejak 1999 hingga 2000 China telah menandantangani kerangka kerja dokumen dalam kerjasama bilateral dengan seluruh negara anggota ASEAN. Kerjasama dalam transnational non traditional security threats terutama dalam hal drug trafficking terwujud dalam Beijing Declaration
pada Agustus 2001 antara Cina, Laos, Myanmar dan Thailand. Hal ini diikuti dengan penandatanganan Joint Declaration of ASEAN and China on Cooperation in the field of Non Traditional Security Issues. Pada 2003, Cina menandatangani ASEAN Security Protocol yang penting, yaitu The Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Kerjasama dengan masing-masing negara anggota ASEAN dilakukan dengan kunjungan antara pemimpin militer, pelatihan militer dan bantuan persenjataan, teknologi militer dan kunjungan pelabuhan.23
1.4. Hipothesis
Dari permasalahan di atas, maka dapat ditarik sebuah hipotesa, yaitu bahwa untuk mempertahankan perekonomian Cina, mereka membutuhkan hubungan dan kerja
(20)
16 sama dengan ASEAN sebagai pangsa pasar dan berbagai instrumen diplomasi untuk meredam isu perbatasan di Laut Cina Selatan.
1.5. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian ilmiah biasanya dilakukan untuk memberikan gambaran objektif mengenai fenomena tertentu. Penulisan skripsi ini bertujuan antara lain untuk:
1. Mengetahui motif apa yang melatarbelakangi Cina membangun hubungan dan kerjasama dengan ASEAN
2. Mengetahui kenapa Cina tetap bersihkeras menjaga hubungan dan kerjasamanya dengan ASEAN, sedangkan di sisi lain dianatara kedua belah pihak, Cina dan ASEAN sama – sama memiliki isu perbatasan di Laut Cina Selatan
3. Secara teoritis mapun metodologis, penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi Ilmu Hubungan Internasional
1.6. Metode Pengumpulan Data
Penulisan ini dilakukan dengan metode deduktif, artinya dengan berdasarkan kerangka teori dan konsep, kemudian ditarik suatu hipotesa yang akan dibuktikan dengan data-data empiris.
(21)
17 Pengumpulan data dalam hal ini dilakukan dengan studi kepustakaan atau
library research. Oleh karena itu, data yang akan diolah adalah data sekunder yang bersumber dari literatur-literatur, makalah ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, internet dan sumber-sumber lain. Penulis juga memanfaatkan fasilitas internet serta sumbangsih dunia pers yang tehimpun lengkap pada koleksi koran yang memuat berita maupun komentar tentang subjek yang penulis pilih.
1.7. Jangkauan Penelitian
Dalam skripsi ini penulis memberi batasan penelitian dari tahun 1978 karena 3 tahun sebelumnya Amerika menarik pasukannya dari Vietnam sehingga menyisakan Cina sebagai kekuatan besar di Asia terutama di Asia Tenggara, selain itu di tahun 1978 ini Deng Xiaoping mulai melancarkan reformasi ekonominya dan memandang bahwa Cina perlu memisahkan urusan ekonomi dan politik, seta menjalin kerjasama dagang hingga kerjasama dengan negara-negara ketiga, hal ini di dukung kuat pada tahun 1997, Cina diundang masuk ke dalam forum ASEAN, kondisi yang ada pada saat itu bahwasannya mayoritas negara-negara anggota ASEAN terkena dampak krisis
ekonomi, sehingga Cina bisa masuk dan memiliki nilai ’bargaining’ tersendiri, ini tidak
hanya menguntungkan pihak Cina semata namun hal ini juga di inginkan oleh negara-negara anggota ASEAN, selain itu dengan absennya Amerika dan sekutunya karena berakhirnya perang dingin membuat Cina menjadi kekuatan besar yang tersisa di Asia Tenggara, sehingga pembatasan waktu bisa diidentifikasi dari dua agenda seperti yang
(22)
18 sudah di sebut di atas. Masuknya Cina dalam forum ASEAN dan berakhirnya perang dingin, namun pembahasan tetap tidak menutup kemungkinan di luar tahun tersebut dianggap sebagai pemicu.
1.8. Sistematika Penulisan
BAB I Pada bab ini akan memaparkan tentang Latar Belakang Masalah, Pokok Permasalahan, Kerangka Pemikiran, Hipothesis, Tujuan Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Jangkauan Penelitian, dan Sistematika Penulisan
BAB II Akan menjelaskan tentang dinamika hubungan Cina dan ASEAN dari sejak terbentuknya ASEAN, Cina di masa Deng Xiaoping hingga hubungan Cina-ASEAN paska perang dingin
BAB III Bercerita tentang isu perbatasan di Laut Cina Selatan antara Cina dan mayoritas negara-negara anggota ASEAN
BAB IV Ini akan menjabarkan tentang Regionalisme ekonomi yang terjadi antara Cina dan ASEAN
(23)
19 BAB II
DINAMIKA HUBUNGAN CINA-ASEAN
Cina di masa Mao Zedong membangun hubungan dan kerjasama dengan negara lain dengan pemilihan partner sangat terbatas, Nikita Krushcev selaku pengganti Stalin melancarkan politik de-stalinisasi, berakibat pada buruknya hubungan Cina dan Rusia, sedangkan Cina sangat tergantung pada Rusia, Mao Zedong yang sangat dekat dengan Stalin ini sebenarnya memutuskan untuk mencari pasar baru, namun karakter kepemerintahan otokrat-totaliter dan tema komunis terlalu melekat di Cina menjadi batu ganjalan bagi Mao Zedong dalam mengembangkan pasarnya.
Deng Xiaoping selaku pengganti Mao Zedong, memiliki semangat reformasi yang sangat besar terkait di bidang politik dan ekonomi, salah satu nilai reformasi yang di lancarkan Deng Xiaoping adalah pembenahan hubungan Cina-ASEAN, dengan sikap
Norma ”ASEAN Way” nya ASEAN tetap konsisten untuk menjaga dan
mengembangkan hubungan serta kerjasama dengan Cina dengan mempertimbangkan posisi strategis dan potensi pasar yang sangat besar, hal ini memungkinkan Cina memiliki tiga agenda sekaligus di ASEAN; dukungan ASEAN terkait Taiwan, kerjasama ekonomi, serta isu perbatasan di Laut Cina Selatan.
Puncak hubungan dan kerjasama ekonomi Cina-ASEAN tergambar dalam pertemuan ASEAN Regional forum pada tahun 1994, Dimana Cina juga hadir dan diterima di dalam forum tersebut membuka peluang bagi Cina-ASEAN untuk
(24)
20 membicarakan isu-isu keamanan secara formal dan bersifat langsung.Cina juga terlibat langsung dengan pertemuan selanjutnya, yaitu ASEAN+3 pada tahun 1997, pertemuan ini sangat penting bagi Cina untuk mempererat hubungan dan kerjasama dengan ASEAN. yang kemudian mengantarkan Cina ke Pertemuan Puncak ASEAN yang dihadiri seluruh Pemimpin Negara Anggota ASEAN pada tahun 2003. Dalam pertemuan akbar ini Cina-ASEAN menandatangani Kerangka Kesepakatan Kerjasama Ekonomi antara Cina dan ASEAN untuk persiapan Perjanjian Perdagangan Bebas Cina-ASEAN yang diharapkan terealisir dalam kurun waktu 10 tahun.24
Meskipun terbentuk kerjasama ekonomi antara Cina-ASEAN, hal ini tidak serta merta membuat Cina menjadi lunak terkait isu perbatasan Laut Cina Selatan, klaim Cina atas Laut Cina Selatan yang berbentuk ”U” kerap menggunakan nada keras dan memaksa, sebelum kedatangan Amerika di Asia Tenggara Cina menjadikan isu Laut Cina Selatan menjadi ”core national interestnya”, namun sejak pendekatan Cina yang secara bilateral ini menjadi multirateral oleh ASEAN dan dengan intervensi Amerika, membuat Cina berpikir ulang untuk mempertahankan isu ini sebagai bagian dari ”core
national interest” nya.
A. Hubungan Cina-ASEAN di Masa Perang Dingin
Cina dan Asia Tenggara hubungannya banyak berubah sejak masa Cina di pimpin Deng Xiaoping, Deng Xiaoping yang lahir pada tanggal 22 Agustus 1904 adalah
24 Reuben Mondejar dan Wai Lung Chu, ASEAN-China Relations: Legacies and Future Directions, dalam Ho Khai Leong dan Samuel C.Y.Ku, op.cit., hal.218.
(25)
21 pemimpin politisi dan reformis Cina setelah kematian Mao Zedong yang memimpin negaranya menuju pasar ekonomi. Lahir di Guangan, Sichuan, Deng belajar dan bekerja di Perancis pada tahun 1920, kemudian dia terpengaruh doktin Marxisme-Leninisme. Dia bergabung dengan Partai Komunis Cina pada tahun 1923. Sekembalinya ke Cinaia bekerja sebagai komisaris politik di daerah-daerah pedesaan dan dianggap sebagai "veteran revolusioner" dari Long March.25
Mewarisi sebuah Negara yang penuh dengan kesengsaraan sosial dan kelembagaan yang dihasilkan dari Revolusi Kebudayaan dan gerakan politik massa lainnya dari era Mao, Deng menjadi inti dari "generasi kedua" kepemimpinan Cina pada saat itu. Dia dianggap "arsitek" dari pemikiran baru sosialis, setelah dikembangkan "Sosialisme dengan karakteristik Cina" dan memimpin reformasi ekonomi Cina melalui kebijakan yang dikenal sebagai "ekonomi pasar". Deng membuka Cina untuk investasi asing, pasar global dan persaingan terbatas swasta.Dia mengembangkan Cina menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia selama lebih dari 30 tahun dan meningkatkan standar hidup rakyat Cina.26
Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu dari hampir seluruh kawasan di dunia yang terkena imbas dari pengaruh ideologi Perang Dingin. Kedekatan geografis kawasan Asia Tenggara dengan China ikut mempengaruhi kedekatan ideologis pula. Di samping itu perhatian yang diberikan Amerika Serikat (AS) pada negara-negara Asia Tenggara terkait dengan isu memerangi terorisme di kawasan atas adanya gerakan Islam
25 Cheng Li. Cina's Leaders: The New Generation,Maryland, Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 2001, hal. 131.
26 Michael Y. M. Kau, Susan H. Marsh,Cina in the Era of Deng Xiaoping: A Decade of Reform, M.C sharpe ,Inc. 1993, hal. 179.
(26)
22 radikal membuat China tidak mau kalah dalam menyebarkan pengaruhnya di Asia Tenggara. Akan tetapi hal tersebut dirasa wajar sebagai konsekuensi dari dinamika ekonomi China (Vaughn & Morrison, 2006). Akan tetapi negara-negara Asia Tenggara, melalui ASEAN berupaya untuk tidak berpihak pada keduanya, dan hal ini kemudian menjadi salah satu penyebab menurunnya hubungan ASEAN dengan China.
Semasa Perang Dingin, China hadir sebagai aktor baru yang sedang dalam mengembangkan ekonomi dan memperkuat militer, dan banyak menyebarkan pengaruh komunis di Asia Tenggara, yang dekat secara geografis. Dalam hal ini AS khawatir apabila China menjadi sebuah polar kekuatan baru dengan pertumbuhan ekonomi dan militernya yang dapat mengganggu tatanan dunia pada saat itu (Goh, 2007). Di samping itu Friedberg (1993) memandang bahwa berakhirnya Perang Dingin memunculkan dua kelompok scholar, yakni yang berpikiran optimis dan pesimis. Mereka yang optimis beranggapan bahwa kebangkitan ekonomi di China adalah bentuk cerminan dari bangkitnya negara-negara di Timur, sementara mereka yang pesimis beranggapan bahwa China akan menjadi kekuatan polar baru yang tidak stabil akibat terkena pengaruh dari runtuhnya Soviet (Friedberg, 1993).
China mulai mengintensifikasi hubungan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara pasca Perang Dingin melalui banyak bentuk kerjasama utamanya dalam bidang ekonomi, dan pembentuka ASEAN + 3 (ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan). Juga dalam bidang keamanan, China bergabung dalam Forum Regional ASEAN (ARF, ASEAN Regional Forum) yang didirikan pada tahun 1994 bersama dengan beberapa negara Pasifik lainnya. ARF memberikan kesempatan bagi para
(27)
23 Menteri Luar Negeri dari 17 negara kawasan Asia Pasifik dan perwakilan dari Uni Eropa (EU, European Union), untuk duduk bersama membicarakan masalah keamanan kawasan. Dalam hal ini China berusaha untuk mewujudkan Security Policy Conference
dalam kerangka kerja ARF tersebut. Di mana dengan demikian China dapat menjadi salah satu posisi kunci yang penting dalam ARF. Kemudian pengklasifikasian ini akan memiliki fokus multilateral yang akan menawarkan alternatif arsitektur keamanan ASEAN yang selama ini secara tradisional telah didominasi oleh aliansi bilateral dengan AS (Vaughn & Morrison, 2006).
Dalam bidang sosial budaya, dibentuk pula Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASCC, ASEAN Sosio-Cultural Community) yang bertujuan untuk,
“…promote a people-oriented ASEAN in which all sectors or society are encouraged to participate in, and benefit from, the process of ASEAN integration and community building” (Piagam ASEAN, pasal 1 ayat 13). Sementara itu dalam bidang ekonomi, peran penting China terhadap ASEAN dipengaruhi oleh masuknya imigran China ke wilayah Thailand dan Burma. Dalam hal ini terlihat bahwa terdapat pergeseran fundamental hubungan pada dari kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC, Asia Pacific Economic Cooperation) yang juga melibatkan AS, ke arah ASEAN plus three, yakni dengan China, Jepang, dan Korea Selatan, yang lebih menuju ke arah perdagangan bebas antara ASEAN dengan China.
Akan tetapi tidak berhenti pada pengembangan kerjasama ke arah yang lebih positif, China juga dipandang menjadi ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara. Terlihat dari adanya dukungan China pada pemberontakan komunisme di masa lalu
(28)
24 serta konflik klaim teritori Laut China Selatan pada tahun 1990-an. Di mana China memiliki kepentingan dan berambisi untuk dapat menguasai Spartly Island dan diakui sebagai miliknya. Akan tetapi negara-negara ASEAN yang secara langsung berbatasan dengan Laut China Selatan seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam merasa terganggu akan hal ini. Konflik ini akhirnya menimbulkan bentrok angkatan laut antara Vietnam dan China pada tahun 1988 yang menewaskan 70 personil angkatan laut Vietnam. Jua pada tahun 1995 China berhasil merebut Mischief Reef yang juga diklaim oleh Filipina. Kemudian solusi yang muncul adalah dibuatnya sebuah peraturan (CoC, Code of Conduct) yang mengatur segala hal mengenai sengketa wilayah laut tersebut. Namun pada pembentukannya sendiri timbul perbedaan pendapat di antara sesama anggota ASEAN. Di satu sisi Filipina dan Vietnam menginginkan agar seluruh anggota ASEAN menyetujui sebuah konsep CoC untuk kemudian disodorkan dan dinegosiasikan dengan China. Sementara sebagian lain beranggapan perlu bagi ASEAN untuk melibatkan China dalam proses perumusan CoC sejak awal. Dari sini terlihat bahwa ASEAN masih memiliki permasalahan integritas yang cukup serius. Hingga akhirnya China mau bersikap lebih kooperatif, ketika ARF mulai campur tangan meski sangat terbatas. Pada tahun 2002 China setuju untuk menandatangani The Declaration on the Conduct of Parties in the South China. Dan akhirnya Vietnam dan China menegaskan kembali kedaulatan mereka atas kepulauan melalui pernyataan publik pada tahun 2004 (Vaughn & Morrison, 2006).
(29)
25 Selain itu pengaruh China dalam hal ekonomi yang mulai mendominasi ASEAN melalui dukungannya terhadap persebaran komunisme di kawasan Asia Tenggara juga dianggap sebagai ancaman. Meski kemudian pada akhirnya persepsi tersebut mulai berubah saat terjadi krisis finansial di Asia pada tahun 1997/1998, di mana China menolak untuk mendevaluasi mata uangnya sementara nilai mata uang negara-negara lain di Asia turun secara tajam. Kemudian di akhir 2004, China dan ASEAN secara bertahap sepakat untuk menghilangkan tarif dalam perdagangan dan mulai menciptakan area perdagangan bebas –free trade area—pada tahun 2010 dengan membentuk ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan negara-negara ASEAN dengan China saat ini telah mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik dibandingkan pada masa Perang Dingin. Terlihat dari kerjasama yang terjadi dalam berbagai bidang. Dalam bidang ekonomi adalah kerjasama melalui ACFTA. Dalam bidang keamanan melalui keterlibatan China dalam ARF. Penulis berpendapat bahwa dalam kerjasama ekonomi, China lebih banyak mengambil keuntungan daripada negara-negara ASEAN. Hal ini terlihat dari produk-produk China yang lebih banyak membanjiri pasaran. Dan hal ini justru menjadi tantangan bagi ASEAN untuk mencari strategi supaya tidak kalah oleh China, dan dapat mengambil keuntungan dari kerjasama tersebut.
Titik awal perubahan hubungan Cina dengan ASEAN (saat itu ASEAN masih berbentuk SEATO dan ASA) sebenarnya dimulai setelah Deng Xiaoping menggantikan kematian Mao Zedong untuk memimpin Cina, Sejak akhir dekade 70-an saat ASEAN
(30)
26 mulai terbentuk dan resistansi terhadap negara penganut komunisme tidak terlalu besar Cina mulai mendekati ASEAN dengan mengurangi dukungannya terhadap gerakan komunis di ASEAN dengan langkah pertama menutup Radio Rakyat Thailand di propinsi Yunan pada tahun 1979 dan menutup siaran radio komunis (Suara Demokrasi Malaya) pada tahun 198327. Langkah ini diyakini dapat membuka hubungan ASEAN dan sekaligus mengimbangi kebijakan Uni Soviet yang mendukung invasi Vietnam ke Kamboja.28
Cina dengan perkembangannya dan menyisakan Amerika dalam dominasi Asia membuat negara-negara di Asia Tenggara bereaksi, negara-negara di Asia Tenggara ini tidak serta merta melihat kebijakan Cina ini sebagai langkah yang tidak perlu di curigai, Sebagian dari mereka sudah melakukan langkah kebijakan untuk membentengi dirinya dengan bergabung dalam organisasi keamanan regional yang dibentuk dan dikendalikan oleh Amerika Serikat, Inggris dan Sekutunya seperti Colective Defence Treaty, SEATO, FPDA dan yang pada akhirnya ASEAN hingga terbentuknya ZOPFAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara. Cina berpandangan langkah yang diambil sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara ini tidak mendukung dalam usaha Cina untuk memperbaiki dan menjaga hubungan kerjasama.29
Pada awalnya hal ini terjadi karena setelah Perang Dunia II, tidak lama setelah Filipna mendapatkan kemerdekannya, Filipina melakukan Perjanjian Basis Militer ( the Military Bases Agreements) dengan Amerika Serikat untuk kehadiran pasukan
27N. Ganesan, “ASEAN’s Relations with Major External Powers”, Contemporary Southeast Asia : A Journal of International & Strategic Affairs, Vol.22, Issue 2, August 2000, hal. 8.
28Bambang Cipto, op.cit., hal. 170. 29Bambang Cipto, ibid, hal. 169.
(31)
27 militernya di negara tersebut.30 Pada tahun 1954 terbentuk organisasi regional
keamanan yang di sebut Collective Defence treaty for Southeast Asia ditandatangi di Manila yang melibatkan lebih banyak negara di luar Asia Tenggara (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, Pakistan, Thailand, dan Filipina).
ASEAN sendiri baru terbentuk saat pada tahun 1967 saat 5 menteri luar negeri masing-masing dari 5 negara; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Menteri-menteri ini adalah: Adam Malik, Abdul Razak, Narciso Ramos, S Rajaratnam, dan Thanat Khoman, mereka berlima adalah pendiri dari ASEAN.
ASEAN terbentuk dari ketertarikan akan komunitas keamanan, ketakutan akan komunisme dan krisis kepercayaan dari kekuatan-kekuatan besar, maka dari itu mampu menjelaskan bila sebelumnya dibentuk juga Organisasi yang di sebut Southeast Asia Treaty Organization (SEATO).31
SEATO ini sangat berbeda dengan NATO karena lebih mengutamakan mekanisme konsultasi bagi para anggotanya, walau dalam pembentukannya di maksudkan sebagai NATO dari timur. Organisasi ini sebenarnya lebih merupakan upaya Amerika Serikat untuk membendung pengaruh komunis di kawasan Asia Tenggara, sedangkah organisasi yang dibentuk sepenuhnya oleh negara-negara Asia Tenggara untuk pertama kalinya adalah the Association of Southeast Asia (ASA) pada tahun 1961.
Pada tahun yang sama dengan dibentuk SEATO, Indonesia yang tidak termasuk kedalam anggota SEATO, menggalang kekuatan dalam Konferensi Bandung pada tahun
30David Wurfel, Filipino Politics: Development and Decay, Ithaca and London: Cornell University Press, 1988
(32)
28 1955. Pada tahun 1971 disaat Thailand dan Filipina mulai mengembangkan politik luar negeri yang lebih mandiri, Malaysia dan Singapura masih terikat dengan perjanjian Five Power Defence Arrangements (FPDA) yang beranggotakan Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru, dan Inggris, dimana perjanjian ini sebelumnya bernama Anglo MALAYSIA Defense Agreement (AMDA) yang bertujuan awal untuk menghadapai politik konfrontasi Indonesia. Tapi pada pertengahan 70-an akhirnya Inggris dan Australia menarik pasukannya dari Asia Tenggara.
ASEAN juga berusaha menguatkan posisi mereka sebagai organisasi regional dengan mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai Zona Perdamaian, Kebebasan, dan Netralitas atau Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN). Pernyataan tentang netralitas ASEAN ini didasari pada keinginan negara-negara anggota, yang diprakarsai oleh Malaysia, untuk menjaga netralitas ASEAN dari campur tangan negara-negara luar.ZOPFAN juga didorong oleh keinginan kuat untuk meningkatkan otonominya sebagai organisasi regional yang mandiri dan tidak dikendalikan oleh kekuatan luar. Sekalipun kenyataannya bahwa beberapa negara anggota belum sepenuhnya dapat memisahkan diri dir kerjasama keamanan dengan negara lain karena alasan geografis dan sejarah.32
Kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Thailand pada tahun 1988 yang menjelaskan kebijakan dasar Cina terhadap ASEAN adalah upaya untuk memperbaiki dan mengembangkan hubungan antara Cina – ASEAN. Pada tahun 1989, Cina membubarkan Partai Komunis Malaysia dan Partai Komunis Thailand secara resmi
(33)
29 sebagai upaya untuk memperkuat keyakinan ASEAN terhadap kebijakan Cina untuk memperbaiki dan membuka hubungan dengan ASEAN. Indonesia menanggapi kebijakan ini dengan membuka kembali hubungan diplomatik dengan Cina pada Agustus 1990 dan kemudian diikuti oleh Singapura sebulan kemudian.33
Pada Juli 1991 Menteri Luar Negeri Cina Qian Qichen menghadiri pembukaan ASEAN Ministeril Meeting ke 24. Momen itu di manfaatkan oleh Cina untuk menyampaikan niatnya bekerjasama dengan ASEAN yang ditanggapi positif oleh ASEAN dengan memberikan Cina status sebagai Mitra Konsultasi. Cina memanfaatkan kemajuan ini untuk meningkatkan hubungan dengan ASEAN yang berdampak dengan diberikannya Cina status penuh sebagai Mitra Dialog pada Juli 1996.34
Setelah Cina menjadi Mitra Dialog dengan ASEAN, bukan berati tidak ada masalah dalam hubungan itu. Indonesia yang pada saat itu masih mempermasalahkan alasan etnis dan teringat kudeta komunis pada tahun 1965 masih sulit menjalin hubungan dengan normal, sementara itu agresi militer Cina ke Vietnam pada tahun 1979 masih menyimpan rasa trauma pada bangsa Vietnam. Presepsi negative ini diperumit oleh pendudukan Cina atas kepulauan Paracel pada tahun 1974 dan yang nantinya berkonflik atas kepulauan Spratly pada tahun 1998 Serta isu kepulauan Mischief Reef antara Cina-Filipina yang menambah gelombang anti-Cinaisme semakin kuat. Karena alasan etnis pula, Malaysia dan Singapura tidak sekuat Negara ASEAN lainnya dalam menanggapi agresivitas Cina dalam kaitan isu klaim perbatasan wilayah. Bahkan Myanmar memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Cina dibanding Negara
33Bambang Cipto, op.cit., hal. 171.
34 Saw Swee-Hock, Sheng Lijun, Chin Kin Wah, ASEAN-China Relations: Realities and Prospects, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2005, hal. 1-2.
(34)
30 anggota ASEAN yang lain karena memiliki hubungan perdagangan dan akses Cina ke kawasan teluk Bengal.35
B. Hubungan Cina-ASEAN Paska Perang Dingin
Untuk memahami hubungan Cina-ASEAN paska perang dingin dapat melalui dua pendekatan, yaitu; isu keamanan dan isu ekonomi. Selepas perang dingin, ketertarikan Amerika akan Asia tenggara sangat berkurang, ketakutan Amerika saat itu
adalah munculnya “efek domino” komunisme di Asia Tenggara, saat itu dalam usahanya untuk menekan penyebaran komunisme di Asia, Amerika menjadikan Jepang sebagai jawara demokrasi di Asia, sedangkan untuk di wilayah Asia Tenggara, melihat
perkembangan Vietnam, Amerika takut akan terjadinya “efek domino” sehingga
Amerika menggaet ASEAN dengan cara memberikan bantuan bantuan pada negara yang yang berada dikawasan ini.
Di satu sisi negara-negara di Asia sendiri juga membentengi dirinya dengan membentuk SEATO, hingga akhirnya terbentuk ASEAN yang kemudian membentuk ZOPFAN,36 namun menyusul runtuhnya Uni Soviet menghasilkan apa yang sudah
ditempuh ASEAN menjadi “obsolete”, dan mengurangi “interest” mereka karena sudah
tidak ada ancaman berarti lagi dari kekuatan asing yang nyata.37 Namun hal ini berubah begitu focus Cina kembali ke Laut Cina Selatan.
35N.Ganesan, op.cit., hal. 18.
36Untuk mengetahui tentang SEATO dan ZOPFAN lihat di sub-bab “Hubungan Cina-ASEAN di Masa Perang Dingin”.
(35)
31 Dengan absennya Amerika menyisakan Cina sebagai penguasa regional dengan kekuatan ekonomi dan militer terlampau jauh dari Negara Asia lainnya terutama di Asia Tenggara, hal ini mendorong Cina untuk memanfaatkan absennya Amerika dengan menghidupkan kembali isu Laut Cina Selatan dan menjadikan hal tersebut sebagai
“national interest” nya.
Selama masa paska perang dingin isu Laut Cina Selatan menjadi topik terpanas di Asia berkaitan dengan pembahasan geopolitik maupun politik internasional, klaim Cina akan wilayah Laut Cina selatan yang berbentuk “U” awalnya di mulai Cina dengan bentuk hubungan bilateral agar Cina menang dalam diplomasi terkait dengan posisi Cina sebagai pihak terkuat di regional Asia, pendekatan bilateral Cina ini juga di maksudkan untuk mencegah Negara-negara di Asia Tenggara menentang klaim dan untuk mencegah intervensi Amerika.38
Melihat arah ASEAN yang mulai solid Cina pun melakukan pendekatan lain, dengan tetap mempertahankan klaimnya atas Laut Cina Selatan, pada tahun 1992 Cina
memberikan pernyataan bahwa: “Cina memandang Asia Tenggara sebagai teman dan
partner, utamanya ASEAN”, ASEAN pun menyambut baik niat Cina dalam pembangunan kerjasama ekonomi, ASEAN melihat Cina adalah Negara besar dan potensial untuk di jadikan mitra ekonomi, akhirnya Cina bergabung dalam forum ASEAN, hal ini di mendorong Indonesia untuk mensosialisasikan “COC” (Code of Conduct) hanya saja saat itu Cina masih tidak mau mendiskusikan dan bernego apapun
38Tran Truong Thuy, “Recent Developments in South China Sea: Implications for Regional Security, and Cooperation”, CSIS, 2006.
(36)
32 terkait perbatasan Laut Cina Selatan dan masih bertahan dengan klaim berbentuk “U” nya.39
Cina sudah terlanjur masuk dalam forum ASEAN dan mendapatkan dirinya di cecar dengan banyak keluhan dari Negara-negara anggota ASEAN terkait isu perbatasan Laut Cina Selatan, akhirnya di prakarsai oleh Indonesia “COC” ini secara resmi di umumkan pada bulan Juli tahun 1996 saat Ministerial Meeting ASEAN yang ke 26, hingga saat itu Cina tetap masih belum mau menandatangani apapun, bahkan Cina memberikan nada-nada yang lebih keras dan mengancam dalam usahanya mengklaim Laut Cina Selatan, “COC” ini sendiri bertujuan agar semua Negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan agar mematuhi nilai-nilai dari “TAC” ( Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia .)40
Reaksi Cina atas “COC” ini adalah dengan kembali kearah komunikasi bilateral, dan penggunaan nada-nada yang mengancam dan memaksa, namun seiring terjadi serangan terorisme 11 september pada tahun 2011, Amerika mengangkat isu terorisme menjadi isu global, kebetulan Amerika bekerjasama dengan Malaysia, Filipina dan Vietnam yang mana ketiga Negara tersebut bermasalah dengan Cina dalam isu perbatasan Laut Cina Selatan.
Melihat kehadiran Amerika, Cina bersuara dan meyakinkan Amerika bila membawa isu Laut Cina Selatan menjadi isu internasional hanya akan memperburuk keadaan. Kehadiran Amerika di Asia Tenggara membawa banyak analisis dan spekulasi di Cina sendiri, Cina yang sudah menjadikan isu Laut Cina Selatan sebagai “national
39Ibid.
40 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, Indonesia, 24 February 1976, www.aseansec.org/1217.htm
(37)
33
interest” nya tadinya ingin menjadikan isu ini menjadi level “core national interest”,
namun memandang kehadiran Amerika Cina kuatir dengan menjadikan isu ini teramat penting bagi Cina hanya akan membuat Amerika memiliki alasan untuk mendatangkan kapal-kapal perangnya ke Asia.
Permasalahan Laut Cina Selatan yang akhirnya menarik perhatian Amerika ini, dengan nada keras yang selalu di keluarkan Cina dalam usahanya mengklaim Laut Cina
Selatan menggeser pendekatan bilateralnya menjadi ‘bimultilateral’, awalnya Negara-negara di Asia Tenggara mulai solid dan menyuarakan tentang keinginan Cina yang terlalu berlebihan dan tanpa dasar dalam perhitungan klaimnya hingga akhirnya Amerika ikut andil dalam isu Laut Cina Selatan.41
Indonesia melihat kehadiran Amerika dapat dimanfaatkan untuk mendorong Cina agar menandatangani perjanjian “COC” ini, akhirnya pada tahun 2002 Cina dan
ASEAN menandatangani perjanjian berdasarkan “COC” dan mendelakrasikannya menjadi “DOC” ( Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea ),
setelah terdelakrasikannya “DOC” memang Cina sempat tidak melakukan gerakan
apapun setelah “DOC” namun pada tahun berikutnya Cina kembali mendesak beberapa Negara ASEAN untuk membahas perbatasan Laut Cina Selatan secara bilateral.
Cina yang terkesan tidak ‘kapok’ ini meneruskan usahanya untuk mengklaim wilayah Laut Cina Selatan hingga Amerika benar-benar melakukan intervensi. Intervensi Amerika ini di takutkan oleh Cina karena mengganggu usaha Cina untuk menjadi pemimpin regional Asia, dan membuat ketergantungan Asia terutama Asia
41Rodolfo C. Severino, “ASEAN and the South China Sea”, Security Challenges, Vol. 6, No. 2, 2010, hal. 37-47.
(38)
34 Tenggara pada Amerika semakin besar, tentunya Cina sendiri lah alasan kenapa Negara-negara di Asia Tenggara menggantungkan isu keamanannya pada Amerika, Cina menginginkan bahwasannya Cina di anggap sebagai teman, namun di satu sisi Cina mencapai keinginannya terkait klaim wilayah Laut Cina Selatan
Pada pertemuan menteri luar negeri ASEAN ke 43 di Hanoi para menteri-menteri luar negeri tersebut menyuarakan keluhannya akan Cina yang tidak mengikuti
protokol “COC” yang sudah di setujui, menteri luar negeri Cina saat itu Yang Jiechi berkilah bahwasannya jangan membawa permasalahan ini menjadi isu multilateral antara Cina di satu sisi melawan ASEAN, Yang Jiechi mengatakan bahwa:
“permasalahan Laut Cina Selatan ini adalah permasalahan bilateral dan kami berkonsentrasi agar permasalahan ini tidak menjadi multilateral atau sampai menjadi
permasalahan internasional”.
Merespon dengan apa yang terjadi selama ini pada isu Laut Cina Selatan, Amerika menyatakan: “Amerika sangat mendukung proses diplomasi yang kolaboratif dan Amerika akan bersiap-siap untuk memfasilitasi hal ini”, Cina menangkap maksud dari Amerika ini dan berubah menjadi berhati-hati dalam usaha klaimnya, Cina merasa bahwa bila mereka memaksakan isu Laut Cina Selatan sesuai dengan keinginan Cina
hal tersebut hanya akan memfasilitasi “Carrier” Amerika mendekati Cina.
Keadatangan Carrier Amerika ini sendiri pergerakannya tergantung dari seberapa besar isu yang berkembang, saat Taiwan ingin menyatakan kemerdekaannya Cina secara keras menentang hal itu dan berusaha menghalaunya dengan segala cara, Cina kerap mendemonstrasikan kekuatan lautnya terkait dengan isu Taiwan maupun
(39)
35 ASEAN, saat isu Taiwan Amerika membawa dua Carriernya; Nimitz dan Independence, tentunya Cina tidak ingin hal itu terulang, terlebih lagi Amerika akan menggabungkan agenda Laut Cina Selatan dan Taiwan, dan itu hanya akan membuat kemajuan Cina pada isu Taiwan mundur lagi, begitu juga dengan isu Laut Cina Selatan tentunya akan di jadikan isu internasional oleh Amerika.42
42Leszek Buszynski, “The South China Sea: Oil, Maritime Claims, and U.S – China Strategic Rivalry, CSIS, 2012, hal. 144-146.
(40)
36 BAB III
ISU PERBATASAN LAUT CINA SELATAN CINA-ASEAN
Konflik di Laut Cina Selatan dapat di kategorikan dalam 4 Hal ; Perebutan wilayah, lokasi untuk perikanan, eksplorasi dan pengembangan minyak, dan gas. Konflik di Laut Cina Selatan ini sebenarnya bukanlah konflik di antara semua negara ASEAN secara komprehensif, konflik ini sebenarnya lebih terpusat pada tumpang tindih wilayah dengan Filipina, Vietnam, dan Thailand, namun pada perkembangannya negara-negara seperti ; Indonesia, Malaysia, dan Brunei juga terkena gelombang permasalahan wilayah di Laut Cina Selatan.
Perkembangan konflik ini berdasarkan dari klaim berbentuk “U” Cina yang mengoverlaping dan meresahkan ASEAN. Hal ini dapat dipahami kenapa diplomasi yang terjadi diantara Cina-ASEAN dari bilateral menjadi ‘bi-multilateral’, dalam berbagai diplomasi langsung Cina kerap memaksa dan memojokkan menggunakan kalim sejarah mereka, namun dalam berbagai pertemuan ASEAN terlebih lagi dengan kehadiran Amerika, Cina tidak mengemukakan isu ini, kebalikannya justru ASEAN yang kerap mengangkat isu ini.
A. Klaim Cina Berbentuk “U” di Wilayah Laut Cina Selatan
Konflik maritim dan teritorial di Laut Cina Selatan menyeret 5 negara, yaitu : Cina, Brunei, Malaysia, Filipna, dan Vietnam. Tumpang tindih klaim yang terjadi
(41)
37 diantara Negara-negara tersebut tidak dapat terpecahkan dalam jangka waktu yang singkat.
Dari sudut pandang Cina dapat dipahami bahwasa wilayah Laut Cina Selatan memiliki hampir semperempat cadangan minyak di dunia, walaupun hal belum terbukti dengan eksplorasi yang lebih jauh, namun Cina selalu marah bila ada usaha eksplorasi
ataupun usaha pengembangan ‘off shore’ minyak atau pencarian gas di Laut Cina Selatan. Kejadian ini berulang kali dialami oleh Vietnam akhir-akhir ini. Puncaknya
pada tahun 2011, kerjasama yang sudah hampir ‘goal’ dengan Exxon Mobil digagalkan oleh Cina, begitu juga dengan apa yang terjadi di Filipina, lama-lama bagi ASEAN Cina merupakan ancaman, begitupun juga Cina merasa ASEAN bagaikan kotoran yang terselip di gigi; permasalahan yang kecil tapi sulit untuk diselesaikan.
(42)
38 Gambar 1 : Peta Laut Cina Selatan didengan garis yang menandakan klaim wilayah masing masing negara.
(43)
39 Gambar diatas ini adalah peta dari Laut Cina Selatan, dimana di dalamnya menjelaskan tentang klaim wilayah dari negara :
Cina
Filipina
Vietnam
Brunei
Malaysia
Garis-garis itu menunjukan klaim dari negara; Cina ditunjukan dengan garis putus-putus berwarna ungu, Filipina dengan garis warna hijau, Vietnam dengan warna biru muda, Brunei dengan warna kuning, dan Malaysai dengan warna oranye. Dari gambar diatas terlihat terjadi tumpang tindih klaim di laut tersebut dengan klaim Cina yang menyerupai huruf U. Dari negara-negara tersebut hanya Brunei yang klaimnya memiliki legalitas, sedangkan negara lain yang mengklaim menurut patokan Zona Ekonomi Esklusif (ZEE) yang berjarak 200 mil dari batas pantai wilayahnya. Dalam perkembangannya setiap negara memiliki klaim sepihak yang rumit dan unik, dimana klaim itu secara otomatis memperpanjang wilayahnya minimal 200 mil, sama dengan patokan maksimal ZEE, meskipun terjadi ‘overlaping’ dalam klaimnya dengan negara lain. Kerumitan ini bisa bertambah dengan klaim sepihak yang lebih jauh dari ZEE menjadi diatas 350 mil seperti yang diklaim oleh Cina dan Vietnam.
(44)
40 Gambar 2 : Peta Laut Cina Selatan dengan dengan wilayah resmi Cina dan wilayah yang diklaim berbentuk U.
Sumber: CSIS
Garis putih ini adalah klaim Cina, Ambisi Cina dalam klaim ini di tolak mentah-mentah oleh pihak anggota-anggota negara ASEAN, berdasar dari klaim Cina ini bahkan Brunei tidak akan memiliki pantai, sayangnya tolakan ASEAN tidak memiliki
nilai tawar “power” yang bisa di anggap Cina memuaskan, ASEAN dan Amerika menyatakan bahwa klaim berdasarkan nilai historis tidak akan pernah bisa menang dan dunia internasional akan tetap mendukung perjanjian tentang batas wilayah berdasar dari hukum internasional yang pada 15 Desember 2008 di Jakarta di adakan pertemuan
(45)
41
ASEAN yang menyepakati “Jakarta Charter” yang dalam salah satu poinnya adalah: “Berpatokan pada “United Nations Charter” dan hukum internasional”. Lebih jauh lagi menanggapi klaim Cina ini ASEAN memutuskan untuk menjalin kerjasama di bidang pertahanan dalam pembuatan senjata (industry pertahanan) yang akan di realisasikan pada tahun 2030 dan di dukung oleh Amerika.
Gambar 3 : Peta Laut Cina Selatan dengan dengan wilayah resmi Vietnam dan wilayah yang diklaim.
Sumber : CSIS
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa konflik ini tidak bisa diselesaikan jika masing-masing pihak masih menggunakan cara klaim sepihak seperti saat ini,
(46)
42 dimana akan selalu terjadi konflik dan sengeketa berkepanjangan tanpa titik temu. Jika di lihat dari patokan ZEE yang benar maka seharusnya batas laut negara-negara tersebut tidak menimbulkan sengeketa karena klaim yang terjadi tidak terdapat tumpang tindih wilayah laut seperti pada gambar dibawah ini :
Gambar 4 : Peta Laut Cina Selatan dengan dengan wilayah resmi menurut ZEE
Sumber : CSIS
Kelima negara yang bersengketa ini yaitu; Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei saat ini sama sama mengklaim seluruh kepulauan Spratly menjadi wilayah kekuasaannya, kecuali Brunei yang masih mempertahankan beberapa pulau disana.
(47)
43 Vietnam pun dilaporkan sudah mengerahkan pasukannya untuk menduduki 21 pulau diantaranya, diikuti Filipina 8 pulau, Cina 6 pulau, dan Malaysia 3 pulau.Mereka berlomba-lomba saling mengklaim berdasarkan beberapa historis, territorial, dan isu-isu yang ada.Tidak berhenti disitu, Cina dan Vietnam pun ikut mengklaim kepulauan Paracel dan Scarborough Shoal43.Jika dilihat dari gambar peta di bawah ini, jelas terlihat pembagian gugusan kepulauan yang di sengketakan.
Gambar 4 : Peta Laut Cina Selatan dengan pembagian gugusan kepulauan Spratly, Paracel dan Scarborough Shoal.
Sumber : CSIS
43Lalita Boonpriwan, “The South China Sea dispute: Evolution, Conflict Management and Resolution”, ICIRD, 2012
(48)
44 Pada gambar diatas, gugusan kepulauan Spratly di kelompokan dalam warna hijau, gugusan kepulauan Paracel dalam warna ungu, dan gugusan kepulauan Scarborough Shoal dalam warna kuning. Sengketa yang mencakup area seluas 298.000 mil ini sudah beberapa kali di cari konflik resolusinya, dimana konflik ‘inter-personal’ antara negara yang menghasilkan pemecahan masalah atau meneruskan konflik tersebut dengan cara yang lebih halus dengan meminimalisir konflik sejata. Proses resolusi konflik ini ada umumnya melalui cara negosiasi, mediasi, diplomasi dan pembangunan hubungan damai.44 Perkembangan ini membutuhkan focus dari anggota ASEAN yang
bersengketa dengan Cina, yaitu; Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei untuk menentukan sikap dengan apa yang sebenarnya di sengketakan di Laut Cina Selatan dan yang tidak. Selama faktor yang fundamental ini tidak jelas, Cina akan selalu bersikap ambigu dan kontradiksi dalam mengklaim kepentingan di Laut Cina Selatan atas negara tetangga yang lebih kecil. Beberapa langkah yang mengarah ke faktor itu sudah diambil oleh beberapa anggota ASEAN yang berkonflik, seperti Vietnam dan Malaysia yang pada tahun 2009 bergabung dalam sub-misi tetang wilayahnya yang mereka kaliam secara sepihak kepada CLCS adalah langkah yang pertama yang penting dalam konflik ini, dilanjutkan oleh Filipina dalam hukum baseline pada tahun yang sama establishing its coastal baseline in accordance dengan UN Convention on the law of the Sea (UNCLOS) dan yang lainnya.45
44Lalita Boonpriwan , op.cit., hal. 6.
45Republic of the Philippines, republic Act no.9522, 10 Maret 2009,
(49)
45
B. Konflik Laut Cina Selatan: Perebutan Klaim Sumber Daya Alam
Pada awal tahun 1990-an, konflik menjadi rumit dengan klaim yang mengacu pada sumber daya laut, perikanan, minyak, dan gas.Sejalan dengan permintaan energi dunia yang naik, para negara yang berkonflik berencana untuk mengeksploitasi cadangan hidrokarbon di laut yang secara tidak langsung mengakibatkan naiknya tensi dalam sengketa ini, terutama antara Cina dan Vietnam. Nevertheless, sengketa energi di Laut Cina Selatan ini tidak perlu menghasilkan konflik militer, selama mereka sudah
mau dan terus melanjutkan untuk ‘manage’ melalui perkembangan joint atau
multilateral, dimana banyak pandangan tentang kerumitan di laut Cina Selatan. Cina mengklaim kepulauan Spratly dan Paracel dan semua wilayah lautnya untuk mencegah negara lain seperti; Vietnam, Filipina atau Malaysia, dari mengembangkan eksplorasi minyak dan gas yang potensial di wilayah yang diklaimnya. Cina juga pernah mencoba melebarkan klaim atas beberapa pulau di wilayah di laut Cina Selatansebelah barat daya dari kepulauan Spartly yang mana pulau-pulau tersebut masih berada dalam gugusan kepulauan Natuna. Klaim ini tidak berhasil, dikarenakan perjanjian(treaties) Indonesia dengan Malaysia dan Vietnam sudah mengumumkan klaim atas keberadaan gugusan kepulauan Natuna ini.
Ditahun 2009, Cina juga mengklaim blok pengeboran milik Filipina di area Reed Bank, dimana kemungkinan tersimpan sekitar 3.4 milyar meter kubik gas dan 450 juta barrel minyak. Malaysia dan Brunei juga mengseketakan tentang pengembangan tambang gas di area yang mereka kalim saling tumpang tindih. Diindentifikasi blok tersebut diberikan kepada perusahaan yang berbeda: Malaysia memberikan hak
(50)
46 eksplorasinya kepada Murphy Oil, Dilain pihak Brunei memberikan hak yang sama kepada Royal Dutch dan Total.46Laut Cina selatan dideskripsikan oleh analisi dari Cina mengandung cadangan sumber daya minyak dan gas yang sangat besar.Kandungan cadangan minyak di perhitungkan dapat mencapai 23-30 triliun ton, accounting for
one-third of China’s aggregate oil and gas resources.47 Laporan lain dari
Cinamemperhitungkan terdapat 225 billion barel minyak di kepulauan Spratly saja. Di tahun 2006, Husky Energy berkerja sama dengan CNOOC mengumumkan telah membuktikan penemuan cadangan gas alam yang mendekati 4-6 trillion cubic feet di dekat kepulauan Spratly.48
Pada tanggal 26 Mei 2011, terjadi insiden antara Cina dan Vietnam, yang mengambil tempat sekitar 80 mil dari bibir pantai Vietnam, yang masih dalam area ZEE Vietnam, ketika 3 kapal patrol Cina melakukan perusakan peralatan dan memberikan peringatan kepada kapal Vietnam Binh Minh 02 yang sedang melakukan eksplorasi minyak di Laut Cina Selatan karena melakukan tindakan kejahatan di wilayah kekuasaan Cina49. Kemudian pada tanggal 25 Juni 2012, Cina sebagai pemilik perusahaan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) responded untuk menaikan tensi dengan Vietnam dengan cara mengumumkan pembukaan sembilan blok baru minyak dan gas lepas pantai yang akan dilelang kepada perusahaan asing. Blok ini
46Leszek Buszynski, “The South China Sea: Avenues toward a Resolution of the Issue,” Paper presented at the Workshop the South China Sea, Hanoi, 2009
47Leszek Buszynski and Iskandar Sazlan, “Maritime Claims and Energy Cooperation in the South China Sea,” Contemporary Southeast Asia, Volume 29, Number 1, (April 2007,),156
48 Ibid
49“Vietnam accuses China of threatening boat researching oil-drilling sites in South China Sea”, AP ,27 Mei 2011,
http://www.google.com/hostednews/canadianpress/article/ALeqM5hL8uj6abJ4M4dgA94pptkculWv6w?d ocId=6972004
(51)
47 terletak di lepas pantai Vietnam dan lokasi yang terdekat berjarak 239 mil dari Cina. Semua Sembilan blok ini tumpah tindih dengan blok yang sebelumnya dibuat oleh Vietnam dan di leased oleh perusahaan asing juga, termasuk ExonMonbil.
Pada dasarnya overlaying blok ini dengan peta dari yang disengketakan (maximumlegal dispute), it is obvious kalau CNOOC sebenarnya tidak mempunyai dasar untuk mengklaim area yang dilelangkan tersebut seperti pada gambar peta dibawah ini :
Gambar 5 : Peta Laut Cina Selatan dengan keterangan blok minyak dan gas lepas pantai yang diklaim CNOOC
(52)
48 Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya tanggal 29 Februari 2012, Filipina telah mengundang beberapa perusahaan asing untuk mengambil bagian dalam kontrak energi sesi keempat yang sudah ditunggu cukup lama. Sesi ini membuka lelang untuk 15 blok minyak dan gas, dua diantaranya terletak di Area 3 dan 4, dimana mendapatkan protes keras dari Beijing. Meskipun blok itu berada di lepas pantai Filipina dan berjarak ratusan mil dari Cina, Beijing mengkalim bahwa area itu masih dalam legal maritime jurisdiction seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 5 : Peta Laut Cina Selatan dengan keterangan blok minyak Vietnam dan Filipina yang diklaim dan diprotes oleh Cina.
(53)
49 Sebagai wilayah yang disengketakan, Laut Cina Selatan secara terus menerus bisa menjadi jalan buntu. Dengan adanya energi cadangan di area itu, negara pengkonsumsi yang besar seperti Cina akan mencari sumber baru untuk memuaskan perluasan ekonominya. Pada tahun 2009, Cina menjadi negara kedua pengimpor minyak setelah Amerika Serikat, dimana 52 persen mengimpornya adalah dari Timur tengah
Sekarang minyak dan gas menjadi satu-satunya aspek sengketa di Laut Cina Selatan, yang bisa menjadi kunci untuk dilakukan pengembangan secara bersama (joint development) di area tersebut. Jika di dalam area yang di sengketakan, terdapat larangan untuk mengeksplore wilayah disepanjang garis batas yang terlihat, maka minyak dan gas tidak akan pernah keluar dari tanah.50 Kemudian, isu mengenai klaim teritorial dan
akses terhadap sumberdaya energi di Laut Cina Selatan mulai menjadi poin penting untuk Amerika Serikat, Pesaing Cina di Pasifik Barat. Sejak tahun 2010, Laut ini mulai berhubungan dengan isu strategi yang lebih luas tentang strategi maritim Cina dan kehadiran Amerika Serikat di area itu. ASEAN berasumsi sikap Cina yang mengklaim seluruh wilayah Laut Cina Selatan masih bisa di negosiasikan, Dimana Cina akan bersedia membuat perjanjian tentang wilayah yang diklaim dan sumberdaya seperti perikanan, minyak, dan gas akan di kelola secara bersama-sama. Dari kondisi itu, ASEAN akan mengajak Cina berdialog dengan harapan para pemimpin Cina-ASEAN dapat diyakinkan tentang nilai dari “regime of norm”yang dapat memberikan kebaikan di Laut Cina Selatan. ASEAN dengan berhati-hati berusaha menghindari sikap
(54)
50 provokasi dari Cina yang kemudian dirumuskan dalam “ASEAN Ways’, sebuah tindakan yang berani dalam perjanjian menurut konsensus yang pada akhirnya akan membuat malu Cina. Ini bisa membuat area yang disengketakan menjadi lebih berbahaya dan menjadi alasan untuk lebih dipikirkan, apalagi dengan kembalinya ketertarikan Amerika Serikat atas Asia Pasifik dan memperkuat hubungan keamanan dengan negara ASEAN yang terlibat konflik di Laut Cina Selatan ini.51
Masing-masing pihak juga berniat untuk memecahkan masalah sengketa di Laut Cina Selatan ini melalui jalur perdamaian dengan cara konsultasi dan negosiasi melalui hukum internasional dibawah konvensi hukum kelautan PBB (UN Convention on the law of the Sea). Cina menjaga kedaulatan mutlak atas kepulauan Spratly ketika mendukung kerjasama dibidang ekonomi atas area yang disengketakan.Cina pada umumnya lebih memilih negosiasi dan hubungan secara bilateral dalam forum multinasional dengan pihak yang bertikai.
Semua pihak yang bertikai termasuk Cina sebaiknya mengambil inisiatif untuk menghindari aksi provokasi mengenai area yang disengketakan.Semua pengembangan baru gas dan minyak, pabrik serta bangunan yang menambah keruh kondisi, dan semua tindakan agresif militer yang sia sia harus dihindari dari area tersebut. Harapan terbaik dan yang paling nyata untuk menurunkan ketegangan dalam sengketa Laut Cina Selatan
ini adalah dengan bentuk ‘Joint Development’ atas sumber daya yang aada di wilayah
yang di sengketakan, termasuk sumberdaya perikanan minyak dan gas. Pertikaian dalam memperebutkan sumber daya ini menjadi penyebab terbesar atas timbulnya
(55)
51 kejadian-kejadian seperti insiden pelanggaran policy, gesekan militer, dan penangkapan nelayan di laut akhir-akhir tahun ini.vSemua dampak positif dari program joint development resource ini diharapkan berimplikasi terhadap Cina, aktor utama di area yang di sengketakan dan juga sebagai provokator dari banyaknya episode kejahatan di laut tersebut akhir-akhir tahun ini.
(1)
membuat China tidak mau kalah dalam menyebarkan pengaruhnya di Asia Tenggara. Akan tetapi negara-negara Asia Tenggara, melalui ASEAN berupaya untuk tidak berpihak pada keduanya, dan hal ini kemudian menjadi salah satu penyebab menurunnya hubungan ASEAN dengan China.
Semasa Perang Dingin, China hadir sebagai aktor baru yang sedang dalam mengembangkan ekonomi dan memperkuat militer, dan banyak menyebarkan pengaruh komunis di Asia Tenggara, yang dekat secara geografis. Dalam hal ini AS khawatir apabila China menjadi sebuah polar kekuatan baru dengan pertumbuhan ekonomi dan militernya yang dapat mengganggu tatanan dunia pada saat itu (Goh, 2007).
Hubungan Cina-ASEAN Paska Perang Dingin
China mulai mengintensifikasi hubungan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara pasca Perang Dingin melalui banyak bentuk kerjasama utamanya dalam bidang ekonomi, dan pembentuka ASEAN + 3 (ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan). Juga dalam bidang keamanan, China bergabung dalam Forum Regional ASEAN (ARF, ASEAN Regional Forum) yang didirikan pada tahun 1994 bersama dengan beberapa negara Pasifik lainnya. ARF memberikan kesempatan bagi para Menteri Luar Negeri dari 17 negara kawasan Asia Pasifik dan perwakilan dari Uni Eropa (EU, European Union), untuk duduk bersama membicarakan masalah keamanan kawasan. Dalam hal ini China berusaha untuk mewujudkan Security Policy Conference dalam kerangka kerja ARF tersebut. Di mana dengan demikian China dapat menjadi salah satu posisi kunci yang penting dalam ARF. Dalam bidang sosial budaya, dibentuk pula Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASCC, ASEAN Sosio-Cultural Community)
(2)
5
yang bertujuan untuk, “…promote a people-oriented ASEAN in which all sectors or society are encouraged to participate in, and benefit from, the process of ASEAN integration and community building” (Piagam ASEAN, pasal 1 ayat 13).
Hubungan negara-negara ASEAN dengan China saat ini telah mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik dibandingkan pada masa Perang Dingin. Terlihat dari kerjasama yang terjadi dalam berbagai bidang. Dalam bidang ekonomi adalah kerjasama melalui ACFTA. Dalam bidang keamanan melalui keterlibatan China dalam ARF.
BAB III
ISU PERBATASAN LAUT CINA SELATAN CINA-ASEAN Klaim Cina Berbentuk “U” di Wilayah Laut Cina Selatan
Konflik di Laut Cina Selatan dapat di kategorikan dalam 4 Hal ; Perebutan wilayah, lokasi untuk perikanan, eksplorasi dan pengembangan minyak, dan gas. Konflik di Laut Cina Selatan ini sebenarnya bukanlah konflik di antara semua negara ASEAN secara komprehensif, konflik ini sebenarnya lebih terpusat pada tumpang tindih wilayah dengan Filipina, Vietnam, dan Thailand, namun pada perkembangannya negara-negara seperti ; Indonesia, Malaysia, dan Brunei juga terkena gelombang permasalahan wilayah di Laut Cina Selatan.
Konflik maritim dan teritorial di Laut Cina Selatan menyeret 5 negara, yaitu : Cina, Brunei, Malaysia, Filipna, dan Vietnam. Tumpang tindih klaim yang terjadi
(3)
diantara Negara-negara tersebut tidak dapat terpecahkan dalam jangka waktu yang singkat. Perkembangan konflik ini berdasarkan dari klaim berbentuk “U” Cina yang mengoverlaping dan meresahkan ASEAN.
Dari negara-negara tersebut hanya Brunei yang klaimnya memiliki legalitas, sedangkan negara lain yang mengklaim menurut patokan Zona Ekonomi Esklusif (ZEE) yang berjarak 200 mil dari batas pantai wilayahnya. Dalam perkembangannya setiap negara memiliki klaim sepihak yang rumit dan unik, dimana klaim itu secara otomatis memperpanjang wilayahnya minimal 200 mil, sama dengan patokan maksimal ZEE, meskipun terjadi ‘overlaping’ dalam klaimnya dengan negara lain. Kerumitan ini bisa bertambah dengan klaim sepihak yang lebih jauh dari ZEE menjadi diatas 350 mil seperti yang diklaim oleh Cina dan Vietnam.
Konflik Laut Cina Selatan: Perebutan Klaim Sumber Daya Alam
Sebagai wilayah yang disengketakan, Laut Cina Selatan secara terus menerus bisa menjadi jalan buntu. Sekarang minyak dan gas menjadi satu-satunya aspek sengketa di Laut Cina Selatan, yang bisa menjadi kunci untuk dilakukan pengembangan secara bersama (joint development) di area tersebut.
BAB IV
KERJASAMA EKONOMI CINA-ASEAN
Perubahan Geo Politik Asia Tenggara, Pandangan Ekonomi dan Politik Cina di Awali Dari Deng Xiaoping Membuka Pintu Kerjasama Ekonomi Cina-Asean
(4)
7
Cina di bawah Deng Xiaoping yang mampu memulihkan ekonomi moneter di negaranya hingga mampu melunasi hutang-piutang merupakan hal signifikan yang di capai serta mengagetkan dunia di masa global ekonomi moneter krisis yang tidak menentu, terlebih lagi bahwa perubahan Cina pada dasarnya memiliki dampak besar terhadap dunia, dikarenakan Cina sebagai salah satu aktor besar perpolitikan internasional selain Amerika dan Rusia.
Langkah, strategi, dan kebijakan Cina mengacu pada potensi SDA dan perdagangannya, terutama minyak crude oil yang rawan, fluktuasi harga sangat tinggi dipasar dunia. Momen tersebut diolah dengan baik di bidang produksi, kemampuan Cina untuk menyerap tekhnologi dari Uni Soviet menjadi alasan utama perkembangan Cina yang stabil hingga saat ini.
Cina akhirnya melihat ASEAN bukan sekumpulan negara bermasalah, namun lebih kearah pembangunan kerjasama ekonomi dan pengembangan pasar, akhirnya Cina dengan semangat “wai xiang jing ji zhan rei” nya yaitu strategi ekonomi yang ‘go internasional’ memiliki Asia sebagai pasar utamanya, kerjasama Cina dengan Asia memiliki angka tertinggi di banding kerjasamanya dengan Afrika maupun negara-negara di Amerika Latin, cara pandang Deng Xiaoping terbukti bahwasannya kerjasama ekonomi dengan negara-negara ketiga sangat bermanfaat. Kerjasama ekonomi Cina-ASEAN belum memiliki nilai-nilai legalitas tertentu dan keterikatan, namun hanya “deal to deal basis”, walau begitu perkembangan ekonomi Cina-ASEAN di masa Deng Xiaoping ini mengalami perkembangan hingga 7,4 persen.
(5)
Kelanjutan Kerjasama Ekonomi Cina-Asean Paska Deng Xiaoping
Kerjasama ekonomi Cina-ASEAN di tandai dengan kunjungan dari berbagai petinggi Cina, di awali dari perdana menteri Li Peng saat berkunjung ke Bangkok yang menegaskan bahwa: “Cina akan membangun kerjasama ekonomi dan mendukung inisiatif kerjasama regional bersama-sama ASEAN”, Cina menunjukkan besarnya kepentingan Cina menjaga ke amanan Asia Tenggara sebagai bagian dalam usahanya untuk membangun kerjasama ekonomi dengan ASEAN.
Pada tahun 1986 Li Peng mengirim wakil perdana menteri Cina Tian Jiyun untuk melakukankunjungan ke 4 negara di ASEAN sebagai bagian dari penerusan agenda kerjasama ekonomi Cina-Asean nya, dalam kunjungannya itu Tian Jiyun berkali-kali menegaskan bahwa kerjasama ekonomi Cina-ASEAN akan semakin menjadi prospek yang bagus bagi ke 2 belah pihak.
BAB V KESIMPULAN
Setelah satu dekade berlalu dengan tenang, konflik Laut Cina Selatan muncul kembali sebagai topik utama dalam perdebatan tentang isu keamanan di Asia Timur.
Cina mencoba untuk menghapus persepsi tentang Cina sebagai ancaman di Asia Tenggara dengan membentuk kembali keberpihakan negara-negara Asia Tenggara terhadap Cina menggunakan diplomasi “soft power,” sementara ASEAN dan ne gara-negara Asia Tenggara telah menerapkan strategi “constructive engagement” terhadap Cina sebagai upaya untuk membuat Cina terlibat di dalam organisasi regional dan
(6)
9
meyakinkan Cina untuk menerima sejumlah norma-norma regional dan kebiasaan-kebiasaan regional, seperti keterlibatan secara multilateral dan ASEAN way.
Salah satu upaya untuk menguatkan kerjasama dan mengembalikan kepercayaan yang hilang itu saat Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang mengunjungi Asia Tenggara. Xi mengusulkan untuk mempererat hubungan Cina-ASEAN dengan membentuk suatu “komunitas dengan tujuan bersama” (community of common destiny). Perdana Menteri Li juga berupaya dengan menegaskan bahwa Cina dan ASEAN seharusnya mempromosikan “kehidupan bertetangga dan kerjasama yang bersahabat antara Cina dan negara-negara ASEAN.”
Keterlibatan secara positif telah berkontribusi terhadap pembentukan hubungan regional yang positif secara keseluruhan, menciptakan ruang bagi pertumbuhan ekonomi Cina dan Asia Tenggara pada saat yang bersamaan. Seandainya saja tidak ada keterlibatan secara timbal balik dengan pendekatan “soft power,” situasi di Asia Timur akan terlihat sangat jauh berbeda sekarang, dan tatanan tersebut telah terbentuk di atas nilai-nilai bersama, yang merupakan nilai-nilai regional, bukan nilai-nilai yang dipaksakan secara eksternal.