PENGARUH BIOAKTIVATOR BERBAGAI MIKROORGANISME LOKAL TERHADAP AKTIVITAS DEKOMPOSER DAN KUALITAS KOMPOS KULIT KAKAO

(1)

SKRIPSI

Oleh :

Bernadhita Nur Utami 20120210015

Program Studi Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA


(2)

i SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

sebagai syarat untuk memperoleh derajat Sarjana Pertanian

Oleh :

Bernadhita Nur Utami 20120210015

Program Studi Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA


(3)

iii

1. Bapak Suparjan Sunarno Harjono dan Mamah tercinta Suwarniyati 2. Purnama Rangga Saputra, adikku satu-satunya

3. Sahabatku Siti Hanifah, Bangun Adi Purnomo, Mei Yuniati 4. Teman-teman Agroteknologi A 2012 UMY

5. Keluarga besar HIMAGRO Fakultas Pertanian UMY

6. Adik-adik tingkatku Agroteknologi angkatan 2013, 2014 dan pihak lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Terima kasih telah memberikan semua yang berharga untuk penulis baik ilmu, doa, cinta, kasih sayang, semangat, pengorbanan, rasa persahabatan, persaudaraan dan kekeluargaan, kebersamaan, kritik dan saran serta segala dukungan secara moriil dan materiil sampai studi ini selesai, semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk semua pihak.


(4)

(5)

v

melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagai salah satu syarat yang diperlukan untuk pencapain gelar Sarjana Pertanian di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi yang

disusun penuis ini berjudul “Pengaruh Bioaktivator Berbagai Mikroorganisme Lokal Terhadap Aktivitas Dekomposer Dan Kualitas Kompos Kulit Kakao“ .

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai terselesaikannya penyusunan skripsi ini tidak dapat lepas dari bantuan banyak pihak, untuk itu penulis menyampaikan terimakasih kepada :

1. Alloh SWT yang selalu melimpahkan kemudahan dan kelancaran atas semua hal yang hamba kerjakan.

2. Ir. Agung Astuti, M.Si selaku Pembimbing Utama dan Dosen Pembimbing Akademik yang dengan sabar dan teliti memberikan bimbingan, saran, kritik dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Dr.Ir. Gatot Supangkat, MP selaku Dosen Pembimbing Pendamping dan ayah yang selalu mengarahkan selama perkuliahan berlangsung sampai penyusunan skripsi ini.

4. Ir. Mulyono, M.P. selaku Dosen Penguji dan juga pembimbing ketiga yang selalu memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang telah membantu mempelancar dan memeberikan arahan kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.


(6)

vi

dapat dituliskan oleh penulis satu persatu yang telah membantu tenaga maupun doa.

Semoga doa, bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang berlipat dari Alloh SWT. Penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembacanya. Amin ya robbal’alamin

Wassallamu’allaikum wr.wb.

Yogyakarta, 20 Desember 2016


(7)

vii

HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined.

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRACT ... Error! Bookmark not defined. I. PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. A. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. B. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. C. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. II. TINJAUAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. A. Kulit Kakao ... Error! Bookmark not defined. B. Dekomposisi Bahan Organik ... Error! Bookmark not defined. C. Bioaktivator Mikroorganisme Lokal (MOL)Error! Bookmark not defined.

III. TATA CARA PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. A. Tempat dan Waktu Penelitian ... Error! Bookmark not defined. B. Bahan dan Alat Penelitian ... Error! Bookmark not defined. C. Metode Penelitian... Error! Bookmark not defined. D. Cara Penelitian ... Error! Bookmark not defined. E. Parameter Yang Diamati ... Error! Bookmark not defined. F. Analisis Data ... Error! Bookmark not defined. IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Error! Bookmark not defined. A. Identifikasi Mikroorganisme Lokal... Error! Bookmark not defined.


(8)

viii

E. Uji Kematangan Kompos ... Error! Bookmark not defined. V. KESIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined. A. Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined. B. Saran ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN


(9)

ix

2. Skoring Perubahan Nilai Warna Kompos ... Error! Bookmark not defined. 3. Hasil Identifikasi Cendawan MOL Bonggol PisangError! Bookmark not defined.

4. Hasil Identifikasi Bakteri MOL Bonggol PisangError! Bookmark not defined.

5. Hasil Identifikasi Cendawan MOL Rebung BambuError! Bookmark not defined.

6. Hasil Identifikasi Bakteri MOL Bambu ... Error! Bookmark not defined. 7. Hasil Identifikasi Cendawan MOL Rumen Sapi Error! Bookmark not defined. 8. Hasil Identifikasi Bakteri MOL Rumen Sapi ... Error! Bookmark not defined. 9. Hasil Identifikasi Cendawan MOL ... Error! Bookmark not defined. 10. Hasil Identifikasi Bakteri MOL ... Error! Bookmark not defined. 11. Jumlah Bakteri Dan Cendawan Kompos Kulit Kakao Minggu Ke 4 Setelah

Dilakukan Transformasi Data ... Error! Bookmark not defined. 12. Temperatur Kompos Kulit Kakao Minggu Ke 4Error! Bookmark not defined.

13. Perubahan Warna Kompos Selama Proses Dekomposisi Kulit Kakao .... Error! Bookmark not defined.

14. Tingkat Keasaman (pH) Kompos Kulit Kakao Minggu 4Error! Bookmark not defined.

15. Uji Kandungan Kompos Setelah Proses Dekomposisi Kulit Kakao ... Error! Bookmark not defined.

16. Perbandingan Kualitas Kompos SNI Sampah Organik Domestik Dengan Kompos Kulit Kakao Berbagai Perlakuan ... Error! Bookmark not defined.


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Identifikasi Cendawan pada MOL Bonggol PisangError! Bookmark not defined.

2. Identifikasi Bakteri pada MOL Bonggol Pisang Error! Bookmark not defined. 3. Identifikasi Cendawan pada MOL Bambu ... Error! Bookmark not defined. 4. Identifikasi Bakteri pada MOL Rebung Bambu Error! Bookmark not defined. 5. Identifikasi Cendawan pada MOL Rumen Sapi Error! Bookmark not defined. 6. Identifikasi Bakteri pada MOL Rumen Sapi ... Error! Bookmark not defined. 7. Pertumbuhan Cendawan selama Dekomposisi .. Error! Bookmark not defined. 8. Pertumbuhan Bakteri selama Dekomposisi ... Error! Bookmark not defined. 9. Perubahan Temperatur selama Dekomposisi ... Error! Bookmark not defined. 10. Perubahan Kandungan Serat Kompos selama DekomposisiError! Bookmark not defined.

11. Perubahan Kadar Air selama Dekomposisi... Error! Bookmark not defined. 12. Perubahan pH selama Dekomposisi ... Error! Bookmark not defined. 13. Perubahan Asam Titrasi selama Dekomposisi . Error! Bookmark not defined. 14. Daya Perkecambahan Benih Jagung selama 5 hariError! Bookmark not defined.


(11)

(12)

xii Lampiran III. Perhitungan Kebutuhan Bahan

Lampiran IV. Skema Alat Penelitian (Fermentasi MOL)

Lampiran V. Kandungan Kulit Kakao; Hasil Analisis Kimia Kulit Kakao Lampiran VI. Data Standarisasi Nasional Kompos SNI 19-7030-2004

Lampiran VII. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik Cair dan Kandungan Unsur Hara dalam Bonggol Pisang Apu

Lampiran VIII. Hasil Analisis Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Mikroorganisme Lokal Bonggol Pisang; Hasil Kompos Sampah Organik dengan Memanfaatkan Mikroorganisme Bonggol Pisang; Komposisi Unsur Hara Cairan MOL Rebung

Lampiran IX. Parameter Kualitas Limbah Padat RPH Tamangapa Kota Makasar; Perbandingan standar kualitas kompos SNI dengan kompos blotong menggunakan Kotoran Sapi; Perbandingan kompos ampas aren menggunakan Rumen Sapi

Lampiran X. Komposisi Aktivator EM4; Perbandingan standar kualitas kompos SNI dengan kompos blotong menggunakan EM4

Lampiran XI. Pengaruh Berbagai Dekomposer Terhadap Penurunan Rasio C/N Pada Pengomposan Jerami Padi; Komposisi Kimia Jerami Padi; Hasil Analisis Kompos Kulit Kakao Menggunakan Aktivator EM4

Lampiran XII. Hasil Sidik Ragam Lampiran XIII. Munsell Soil Color Chart

Lampiran XIV. Sumber MOL, Hasil Fermentasi MOL, Sifat Aerobisitas MOL Lampiran XV. Hasil Identifikasi Spora Cendawan

Lampiran XVI. Pelaksanaan Pengomposan, Pengamatan Mikrobiologi selama Dekomposisi, Pengamatan Temperatur, Pengamatan Asam Titrasi Lampiran XVII. Pengujian Kadar Air, Pengamatan pH, Uji Daya Kecambah,

Hasil Akhir Kompos


(13)

(14)

xiii

determine the most effective bioactivator of MOL to decompose the cacao skin. This research was done from May – September 2016, by using experimental method, arranged on RAL (Complete Random Arrangement) single factor with 4 treatments which were 1 liter/25kg of MOL of banana hump, 1 liter/25kg MOL of bamboo, 1 liter/25kg MOL of cow’s rumen contents and 50 ml/25kg EM4. Each of them was repeated 3 times so that there were 12 units of experiments. The parameters that were observed encompassing observation of changes in microbiological, physical, chemical and compost maturity test.

The microbe identification of banana hump MOL, MOL of bamboo and

MOL of cow’s rumen content produced 13 varieties of bacteria and 3 varieties of fungi. The MOL bacteria was suspected as Bacillus sp. and Streptococcus sp. The MOL fungi was suspected as a group of Penicillium sp., Aspergillus sp. and Trichoderma sp. The bioactivator of MOL can be used as an alternative of EM4 on cacao skin decomposition. The banana hump MOL, MOL of bamboo, MOL of

cow’s rumen content and EM4 experienced a change at the same time during compost maturation process. The cacao skin compost on MOL of banana hump, MOL of bamboo, MOL of cow’s rumen and EM4 had been appropriate with the standard of quality compost SNI 19-7030-2004, except C/N ratio.


(15)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor biji kakao terpenting di dunia. Tahun 2010 Indonesia menduduki posisi sebagai pengekspor biji kakao terbesar ke tiga dunia dengan produksi biji kering 550.000 ton. Tahun 2010 tersebut dari luas 1.651.539 ha areal kakao, sekitar 1.555.596 ha atau 94% adalah kakao rakyat (Rubiyo dan Siswanto, 2012). Data dari Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, Indonesia menyumbang sekitar 16 persen dari produksi kakao secara global (Zakiya, 2012). Di Indonesia tanaman kakao tersebar di beberapa pulau seluruh wilayah Indonesia yaitu diantaranya di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Coklat dihasilkan dari biji buah Kakao, sedang daging buah dan kulitnya akan menghasilkan limbah. Berdasarkan penelitian, kulit kakao mempunyai kandungan gizi yaitu 22% protein, 3–9% lemak, bahan kering (BK) 88%, protein kasar (PK) 8%, serat kasar (SK) 40,15, dan TDN 50,8%, energi (K.kal) 2,1 dan pH 6,8, sehingga kulit kakao memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi limbah yang bernilai jual tinggi (Anonim, 2010). Menurut Didiek dan Away (2004), kompos kulit buah kakao mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C organik 33,71%, P2O5 0,186%, K2O 5,5%, CaO 0,23%, dan MgO 0,59%.

Kasus penanganan limbah pertanian dan perkebunan kakao sampai saat ini masih merupakan kendala dalam program penanganan limbah di tingkat petani. Masalah ini diantaranya adalah keterbatasan waktu, tenaga kerja, biaya maupun


(16)

keterbatasan areal pembuangan. Di samping itu limbah pertanian dan perkebunan belum banyak dimanfaatkan, walaupun dalam beberapa kondisi memiliki potensi sebagai bahan pakan ternak maupun bahan baku pembuatan kompos. Untuk itu perlu dilakukan pengamatan dalam mendukung program pemanfaatan limbah potensial terutama limbah yang dihasilkan oleh tanaman kakao yaitu limbah kulit kakao menjadi kompos yang dipercepat proses dekomposisinya menggunakan bioaktivator. Pada dasarnya kompos yang menggunakan bioaktivator mudah diproduksi sendiri, karena mikroorganisme-mikroorganisme yang berguna banyak terdapat dialam sekitar kita. Mikroorganisme merupakan jasad hidup yang mempunyai ukuran sangat kecil (Kusnadi, dkk, 2003). Setiap sel tunggal mikroorganisme memiliki kemampuan untuk melangsungkan aktivitas kehidupan antara lain dapat mengalami pertumbuhan, menghasilkan energi dan bereproduksi dengan sendirinya. Salah satunya dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos. Proses pembuatan kompos ini salah satunya dapat menggunakan Mikro Organisme Lokal (MOL). Mikro Organisme Lokal mengandung unsur hara makro dan mikro dan juga mengandung bakteri yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan dan sebagai agen pengendali hama dan penyakit tanaman. Keunggulan penggunaan MOL yang paling utama adalah murah bahkan tanpa biaya, dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitar (Purwasasmita, 2009).

Penelitian ini tentang teknik pengolahan limbah kulit kakao menjadi kompos dengan waktu yang relatif cepat. Penelitian ini menggunakan beberapa


(17)

bioaktivator dari berbagai sumber Mikro Organisme Lokal (MOL) yang ada di lingkungan sekitar.

B. Rumusan Masalah

Komposisi mikrobia pada aktivator dan aktivitas mikrobia selama proses dekomposisi pada berbagai macam bahan organik, sangat mempengaruhi lama dekomposisi dan kualitas kompos yang dihasilkan (Badan Litbang Pertanian Bengkulu, 2010). Mikroorganisme lokal yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mikroba bioaktivator dari bonggol pisang, rebung bambu, isi rumen sapi dan EM4. Adanya penambahan bioaktivator diharapkan mampu mempercepat proses dekomposisi pada limbah kulit kakao dan berbagai macam bioaktivator mikroorganisme lokal tersebut dapat diperoleh dengan mudah dan murah. Penggunaan mikroba sebagai aktivator untuk memperoleh kompos limbah kulit kakao yang berlangsung cepat dan kualitas yang baik sangat tergantung pada jenis aktivator yang digunakan. Permasalahan utama yang dikaji dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana pengaruh penambahan bioaktivator dari berbagai sumber mikroorganisme lokal terhadap proses dekomposisi dan kualitas kompos kulit kakao?

2. Bioaktivator dari berbagai sumber mikroorganisme lokal manakah yang paling efektif dalam mendekomposisi kulit kakao?


(18)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengidentifikasi dan mengaji aktivitas dan perubahan kompos limbah kulit kakao selama proses dekomposisi berlangsung;

2. Mengaji pengaruh beberapa bioaktivator MOL terhadap kualitas kompos kulit kakao;

3. Menentukan bioaktivator MOL yang efektif dalam proses dekomposisi kulit kakao.


(19)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kulit Kakao

Tanaman kakao yang mempunyai nama latin Theobroma cacao L. atau biasa kita sebut dengan cokelat merupakan tanaman yang banyak ditemukan tumbuh di daerah tropis (Roesmanto, 1991). Kakao secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki sistem inkompatibilitas sendiri. Buah tumbuh dari bunga yang diserbuki. Ukuran buah jauh lebih besar dari bunganya, dan berbentuk bulat hingga memanjang. Buah terdiri dari 5 daun buah dan memiliki ruang serta di dalamnya terdapat biji. Warna buah berubah-ubah. Sewaktu muda berwarna hijau hingga ungu. Apabila masak kulit luar buah biasanya berwarna kuning. Dari data yang diperoleh pada tahun 2005, Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ke tiga setelah dua negara di benua Afrika yaitu Pantai Gading dan Ghana. Di Indonesia tanaman kakao sendiri tersebar sebagian besar di beberapa pulau seluruh wilayah Indonesia yaitu diantaranya di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sampai tahun 2005 kakao yang telah ditanam di wilayah Indonesia seluas 668.919 Ha dan 57.930,82 Ha (7,25%) berada di Sumatera Utara dengan produksi buah segar 160.015,29 ton/tahun (Isroi, 2007).

Buah segar akan dihasilkan limbah kulit buah Kakao sebesar 75%. Kandungan hara mineral kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara Kalium dan Nitrogen. Dilaporkan bahwa 61% dari total nutrien buah kakao disimpan di dalam kulit buah. Penelitian yang dilakukan oleh Goenadi et.al (2000) dalam Isroi


(20)

(2007) menemukan bahwa kandungan hara kompos yang dibuat dari kulit buah kakao adalah 1,81 % N, 26,61 % C-organik, 0,31% P2O5, 6,08% K2O, 1,22% CaO, 1,37 % MgO, C/N rasio 14,70 dan 44,85 cMOL/kg KTK.

Penelitian yang dilakukan oleh R. Shepherd dan Yap Tuan Ngan di Malaysia dalam Roesmanto (1991) menunjukkan bahwa kulit kakao dan sweating

yang ditimbulkan pada prosesing biji kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber produk lain yang berguna. Kulit kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrien tanaman. Unsur – unsur yang terdapat dalam kulit kakao (basah) ini adalah N, P2O5, K2O, MgO, CaO. Pada perusahaan perkebunan kakao umumnya setelah buah – buah kakao dipanen dan dikupas, kulit – kulit buahnya dibiarkan berserakan di tanah, atau kadang – kadang diletakkan ke dalam tanah. Di Malaysia ada perusahaan perkebunan yang kemudian menerapkan sentralisasi pengupasan buah kakao, distribusi yang terjadwal, yang pada gilirannya memerlukan tambahan biaya transportasi.

Komponen utama dari buah kakao adalah kulit buah, plasenta, dan biji. Kulit buah merupakan komponen terbesar dari buah kakao, yaitu lebih dari 70% berat buah masak. Persentase biji kakao di dalam buah hanya sekitar 27-29%, sedangkan sisanya adalah plasenta yang merupakan pengikat dari 30 sampai 40 biji (APED, 2011). Limbah kakao diantaranya terdiri dari kulit buah dan kulit biji kakao. Kulit biji kakao mempunyai kandungan protein kasar 16,60% dan serat kasarnya 25,10%. Kandungan lignin kulit buah kakao mencapai 38,78%. Kulit buah kakao merupakan kulit bagian luar yang menyelubungi biji kakao dengan tekstur yang kasar, tebal dan keras. Buah kakao terdiri dari kulit buah (cacao


(21)

pod) 73,73%, placenta 2,0% dan biji 24,2% (Wanti, 2008b). Penelitian Wanti (2008) menyebutkan kandungan kulit kakao memiliki serat kasar 33,19-39,45% (Lampiran V.a).

Ketersediaan kulit buah kakao cukup banyak karena sekitar 75% dari satu buah kakao utuh adalah berupa kulit buah, sedangkan biji kakao sebanyak 23% dan plasenta 2%. Ditinjau dari segi kandungan, kulit buah kakao mengandung protein kasar 11,71%, serat kasar 20,79%, lemak 11,80%, dan BETN 34,90% (Nuraini dan Maria, 2009). Pada areal satu hektar pertanaman kakao akan menghasilkan limbah segar kulit buah sekitar 5,8 ton setara dengan produk tepung limbah 812 kg. Potensi limbah kulit buah kakao dari suatu pabrik pengolahan kakao sebesar 15-22 m3/ha/tahun (Darwin, 2010). Penelitian Fitriana (2011) menyebutkan bahwa hasil analisis kimia kulit kakao memiliki serat kasar 6,095%, hemiselulosa 2,946%, selulosa 0,333% dan lignin 0,482% (Lampiran V.b).

B. Dekomposisi Bahan Organik 1. Definisi Dekomposisi

Dekomposisi merupakan suatu rangkaian proses yang disebabkan proses fragmentasi, perubahan kimia, serta peluluhan. Proses dekomposisi dikendalikan oleh tiga tipe faktor, yaitu kondisi lingkungan fisik, kualitas dan kuantitas dari substrat yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari komunitas mikroba (Anonim, 2010). Menurut Temperaturt dan Salundik (2006), proses dekomposisi merupakan proses biokimia sehingga setiap faktor yang


(22)

mempengaruhi mikroorganisme tanah akan mempengaruhi laju dekomposisi tersebut.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Dekomposisi

Faktor yang mempengaruhi proses dekomposisi dibagi menjadi dua komponen yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam terdiri dari C/N rasio bahan organik, jumlah dan jenis mikroorganisme yang terlibat. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi proses dekomposisi adalah temperatur, tingkat keasaman (pH), aerasi, kelembaban dan ukuran bahan baku (Temperaturt dan Salundik, 2006).

Laju dekomposisi bahan organik sebagai bahan baku kompos menjadi kompos yang matang menurut Isroi (2008) tergantung pada beberapa faktor sebagaimana terurai dibawah ini :

1. Faktor dalam a. C/N rasio

Proses pengomposan akan berjalan baik jika C/N rasio bahan organik yang dikomposkan sekitar 25-35. C/N rasio bahan organik yang terlalu tinggi akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lambat. Begitu juga sebaliknya. Setiap bahan organik memiliki C/N rasio yang berbeda, oleh sebab itu dalam penggunaan sebagai bahan baku kompos harus dicampur dengan bahan organik yang memiliki imbangan C/N tinggi sehingga dapat menghasilkan C/N rasio yang optimal (15-30).


(23)

b. Jumlah dan jenis Mikroorganisme yang terlibat

Berdasarkan temperatur mikroorganisme diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu psikofil, mesofil, dan termofil. Proses pengomposan bisa dipercepat dengan penambahan starter atau aktivator. Beberapa jenis mikroba dapat mempercepat proses dekomposisi adalah bakteri pelarut phospat, Azotobacter, Actinomycetes.

2. Faktor Luar

Menurut Isroi (2008) dalam pengomposan juga dipengaruhi oleh faktor luar antara lain :

a. Temperatur

Temperatur optimum bagi pengomposan adalah 40 – 600C dengan maksimum 750C.

b. Tingkat Keasaman (pH)

Pengaturan pH perlu dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang kritis bagi pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan. Pada awal pengomposan cenderung agak asam. Namun akan mulai naik sejalan dengan waktu pengomposan dan akan stabil pada pH sekitar netral.

c. Aerasi

Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembaban).


(24)

d. Kelembaban (RH)

Kelembaban yang baik untuk berlangsungnya proses dekomposisi secara aerobik adalah 50-60%

e. Ukuran Bahan Baku

Semakin kecil, ukuran bahan (5-10 cm), proses pengomposan (dekomposisi) berlangsung semakin cepat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan luas permukaan bahan untuk diserang mikroorganisme. f. Tumpukan bahan

Syarat tumpukan bahan adalah 1 m3 dengan tujuan agar temperatur panas yang dihasilkan itu menjadi optimal.

Proses pengomposan akan berlangsung ketika bahan – bahan mentah telah dicampur. Proses pengomposan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Dalam proses pengomposan, mikroba selulotik mengeluarkan enzim selulase yang dapat menghidolisis selulosa menjadi selobiosa lalu dihidrolisis lagi menjadi D-Glukosa dan difermentasikan menjadi asam Laktat, Etanol, CO2, dan Amonia. Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa – senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Temperatur tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Temperatur akan meningkat hingga di atas 500– 700 C. Temperatur akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada temperatur tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi


(25)

bahan organik yang sangat aktif. Mikroba – mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka temperatur akan berangsur – angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomasa bahan. Penguraian ini dapat mencapai 30-40% dari volume/bobot awal bahan (Isroi, 2008).

Di dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti (1). Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lignin menjadi CO dan HO; (2). Zat putih telur menjadi amonia, CO dan HO; (3). Peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman. Dengan perubahan tersebut kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan senyawa N yang larut (Amonia) akan meningkat. Dengan demikian C/N rasio semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N rasio tanah. Pengomposan berdasarkan kebutuhan oksigen diklasifikasikan menjadi pengomposan aerob dan pengomposan anaerob. Pengomposan aerobik adalah proses dekomposisi oleh mikroba yang memanfaatkan oksigen untuk menghasilkan humus, karbondioksida, air dan energi. Beberapa energinya digunakan untuk pertumbuhan mikroba dan sisanya dikeluarkan dalam bentuk panas (Temperaturt dan Salundik, 2006). Menurut Gaur (1980), reaksi – reaksi penting yang terjadi selama proses dekomposisi aerobik adalah sebagai berikut : Gula


(26)

Hemiselulose

Protein (organik N) NH3 → NO2 → NO3 + E

Sulfur – organik S+ xO SO4

Phospat organik H3PO4 Ca (HPO4)2

Secara keseluruhan, reaksinya akan berlangsung seperti berikut : Mikroba aerob

Bahan organik CO2 + H2O + unsur hara + humus + energi Sedangkan pengomposan secara anaerob akan menghasilkan gas metana (CH3), karbondioksida (CO2), dan asam organik yang memiliki bobot molekul rendah (Temperaturt dan Salundik, 2006).

Rekasi biokimia yang terjadi pada proses dekomposisi anaerobik adalah sebagai berikut :

(CH2O)x xCH3COOH

CH3COOH CH4 + CO2

N-organik NH3

2H2S + CO2 + sinar (CH2O)x + S2 +H2O

Menurut Yustianti (2013), prinsip-prinsip proses biologis yang terjadi pada proses pengomposan meliputi:

a. Kebutuhan Nutrisi

Perkembangbiakan dan pertumbuhan mikroorganisme memerlukan sumber energi, yaitu karbon untuk proses sintesa jaringan baru dan elemen-elemen anorganik seperti Nitrogen, Fosfor, Kapur, Belerang dan Magnesium sebagai bahan makanan untuk membentuk sel-sel tubuhnya. Selain itu, untuk


(27)

memacu pertumbuhannya, mikroorganisme juga memerlukan nutrien organik yang tidak dapat disintesa dari sumber-sumber karbon lain. Nutrien organik tersebut antara lain asam amino, purin/pirimidin, dan vitamin.

b. Mikroorganisme

Mikroorganisme pengurai dapat dibedakan antara lain berdasarkan kepada struktur dan fungsi sel, yaitu:

1. Eucaryotes, termasuk dalam dekomposer adalah eucaryotes bersel tunggal, antara lain: ganggang, cendawan, protozoa.

2. Eubacteria, bersel tunggal dan tidak mempunyai membran inti, contoh: bakteri. Beberapa hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) seperti cacing tanah, kutu juga berperan dalam pengurai sampah. Sesuai dengan peranannya dalam rantai makanan, mikroorganisme pengurai dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :

a. Kelompok I (Konsumen tingkat I) yang mengkonsumsi langsung bahan organik dalam sampah, yaitu : cendawan, bakteri,

actinomycetes.

b. Kelompok II (Konsumen tingkat II) mengkonsumsi jasad kelompok I, dan;

c. Kelompok III (Konsumen tingkat III), akan mengkonsumsi jasad kelompok I dan Kelompok I. Kondisi Lingkungan Ideal Efektivitas proses pembuatan kompos sangat tergantung kepada mikroorganisme pengurai.


(28)

3. SNI kompos

Standar kualitas pupuk organik yang sesuai dengan SNI 19-7030-2004 adalah rasio C/N 10-20, kandungan Nitrogen minimal 0,40%, kandungan Phosphor minimal 0,10%, kandungan Kalium minimal 0,20%, dan Kadar air maksimum 50% (Kurniawan, 2013). Pupuk kompos tidak diberikan sepenuhnya pada tanah sebagai pengganti pupuk anorganik, karena kandungan hara yang dimiliki oleh pupuk kompos sangat rendah sehingga fungsinya hanya mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Meski begitu setidaknya pupuk kompos memiliki empat manfaat, yakni sebagai sumber nutrisi, memperbaiki struktur fisik tanah, memperbaiki kimia tanah, meningkatkan daya simpan air dan meningkatkan aktivitas biologi tanah (Surtinah, 2013). Adapun standar kematangan kompos berdasarkan (SNI 19 – 7030 – 2004) tersaji dalam Lampiran VI.

C. Bioaktivator Mikroorganisme Lokal (MOL)

Mikro Organisme Lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang diperoleh dari bahan – bahan alami sebagai medium berkembangnya mikroorganisme yang berguna untuk mempercepat penghancuran bahan organik (proses dekomposisi menjadi kompos/ pupuk organik) (Panudju, 2011). Menurut Firmansyah (2010) mikroba yang berperanan dalam proses pengomposan ada dua jenis yang dominan, yaitu: bakteri dan cendawan. Sedangkan menurut Krisno (2012) Secara global terdapat 5 golongan yang pokok yaitu: Bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp, Streptomycetes sp, Ragi (yeast), Actinomycetes. Mikroba yang banyak digunakan sebagai aktivator adalah cendawan dan bakteri, oleh sebab itu dalam beberapa aktivator memiliki kandungan mikroba yang seperti bakteri asam laktat


(29)

(Lactobacillus), bakteri penghancur (dekomposer) seperti, yeast atau ragi, spora cendawan (Aspergilus dan Trichoderma), bakteri fotosintetik, serta bakteri menguntungkan yang lain (bakteri penambat N, pelarut fosfat, dll) (Budiyanto, 2013).

Larutan Mikroorganisme Lokal adalah hasil fermentasi yang berbahan dasar dari berbagai sumber daya yang tersedia setempat. Larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan makro dan juga mengandung bakteri yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, dan sebagai agens pengendali hama dan penyakit tanaman, sehingga MOL dapat digunakan baik sebagai dekomposer, pupuk hayati dan pestisida organik terutama sebagai fungisida (Purwasasmita, 2009). Amalia (2008) juga melaporkan bahwa keunggulan penggunaan MOL adalah dapat diperoleh dengan biaya murah bahkan tanpa biaya. Dengan memanfaatkan bahan – bahan yang ada di lingkungan sekitar seperti buah-buahan busuk (pisang, mangga, pepaya), limbah sayuran (bayam, kangkung), rebung bambu, buah maja dan keong mas.

Peran MOL dalam kompos, selain sebagai penyuplai nutrisi juga berperan sebagai komponen bioreaktor yang bertugas menjaga proses tumbuh tanaman secara optimal. Fungsi bioreaktor antara lain penyuplai nutrisi melalui mekanisme eksudat, kontrol mikroba sesuai kebutuhan tanaman, menjaga stabilitas kondisi tanah menuju kondisi yang ideal bagi pertumbuhan tanaman dan kontrol terhadap penyakit yang menyerang tanaman (Kurnia, 2009).

Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, dan atau hewan yang telah


(30)

mengalami rekayasa berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memasok bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Peraturan Mentan, No. 2/Pert/HK.060/2/2006). Berdasarkan hasil pembahasan para pakar lingkup Puslitbangtanak, Direktorat Pupuk dan Pestisida, IPB Jurusan Tanah, Depperindag, serta Asosiasi Pengusaha Pupuk dan Pengguna maka telah disepakati persyaratan teknis minimal pupuk organik seperti tercantum dalam Lampiran VII.a. Santi et al (2007) melaporkan, bahwa pemberian mikroorganisme lokal pada tanaman jagung di Pelaihari, Kalimantan Selatan dapat menghemat penggunaan pupuk kimia konvensional sebesar 25 - 75 % tanpa menimbulkan pengaruh nyata pada hasil tanaman.

1. MOL Bonggol Pisang

Bonggol pisang mengandung mikrobia pengurai bahan organik. Mikrobia pengurai tersebut terletak pada bonggol pisang bagian luar maupun bagian dalam (Suhastyo, 2011). Jenis mikrobia yang telah diidentifikasi pada MOL bonggol pisang antara lain Bacillus sp., Aeromonas sp., dan Aspergillus nigger. Mikrobia inilah yang biasa menguraikan bahan organik (Suhastyo, 2011). Mikrobia pada MOL bonggol pisang akan bertindak sebagai dekomposer bahan organik yang akan dikomposkan. Menurut Wulandari dkk. (2009) bonggol pisang mengandung karbohidrat 66,2%. Dalam 100 g bahan, bonggol pisang kering mengandung karbohidrat 66,2 g dan pada bonggol pisang segar mengandung karbohidrat 11,6 g. Kandungan karbohidrat yang tinggi akan memacu perkembangan mikoorganisme. Kandungan karbohidrat yang tinggi dalam bonggol pisang memungkinkan untuk difermentasi untuk menghasilkan cuka.


(31)

Dengan MOL ini, pengomposan dapat selesai dalam waktu tiga minggu (Wulandari dkk, 2009). Dalam proses fermentasi, karbohidrat akan diubah menjadi gula oleh S. cerevisiae, gula diubah menjadi alkohol dan alkohol akan diubah oleh A. aceti menjadi asam asetat. Selain potensi dalam fermentasi juga berpotensi sebagai bioaktivator dalam pengomposan (Widiastuti, 2008).

Kandungan bakteri dalam MOL dapat dimanfaatkan sebagai starter pembuatan kompos, pupuk hayati, bahkan pestisida organik. Dengan menggunakan bahan yang tersedia di lingkungan sekitar, MOL murah (murah karena estimasi harga adalah gula (Rp.7000/kg), dan bonggol pisang dan air beras yang tidak perlu dibeli, sehingga dalam pembuatan hanya membutuhkan ±Rp.7000) sehingga menghemat biaya produksi tanaman. Pemakaian pupuk organik yang dikombinasikan dengan MOL dapat menghemat penggunaan pupuk kimia hingga 400 kg per musim tanam pada 1 ha sawah. Waktu pembuatan relatif singkat dan cara pembuatannya pun mudah. Selain itu, MOL juga ramah lingkungan (Panudju, 2011). Kandungan unsur hara dalam bonggol pisang meliputi unsur hara makro maupun unsur hara mikro seperti disajikan pada Lampiran VII.b. Menurut Rohmawati (2015), pengomposan dengan memanfaatkan mikroorganisme lokal (MOL) dari bonggol pisang dilakukan dengan cara mencampurkan larutan MOL dengan perbandingan 1 : 5 (1 liter larutan MOL : 5 liter air) kemudian ditambahkan 1 ons gula merah.

Kompos dengan menggunakan mikroorganisme lokal dari bonggol pisang sudah diaplikasikan pada pengomposan tandan kosong kelapa sawit memiliki C/N rasio 31,48 (Lampiran VIII.a) (Kesumaningwati, 2015). Hasil penelitian


(32)

Benediktus (2013) penggunaan MOL bonggol pisang diaplikasikan pada sampah organik dinyatakan bahwa hasil kompos yang menggunakan MOL bonggol pisang raja mendekati kompos dengan menggunakan EM4 menunjukkan C/N rasio 18 (Lampiran VIII.b).

2. MOL Rebung Bambu

Bambu biasanya tumbuh subur sekalipun didaerah tandus dan mampu tumbuh begitu cepat walaupun tanpa pupuk sama sekali. Dan yang lebih hebat, bambu mampu mengubah tanah tandus menjadi subur. Maka dari itu tanah disekitar perakaran pohon bambu biasa digunakan untuk medium pembibitan. Oleh karena itu kita manfaatkan rebung sebagai MOL. Rebung bambu mengandung C Organik, Giberellin, Azotobacter dan Azospirillium yang tinggi untuk merangsang pertumbuhan tanaman secara cepat dan sangat bagus digunakan untuk pengomposan (Maspary, 2012). MOL rebung mengandung cendawan Fusarium dan Tricoderma serta bakteri Lactobacillus dan

Streptococcus (Atman dan Nurnayetti, 2016).

Kandungan kimiawi rebung mentah bambu betung per 100 gram terdiri dari air (91 gram), protein (2,6 gram), karbohidrat (5,20 gram), lemak (0,90 gram), serat kasar (1,00 gram), vitamin A (20 SI), kalium (533 mg), fosfor (53 mg), abu (0,90 mg) serta unsur-unsur mineral lain seperti riboflavin, niasin, thiamin, kalsium, dan besi dalam jumlah kecil (Watt dan Merill 1975) dalam Dea Tino Maretza dan Supriyanto (2009). Hersanti (2007) menyatakan bahwa dari hasil mengisolasi bakteri dari berbagai larutan MOL terdapat 1 jenis isolat yang berada di MOL rebung dan memiliki C/N rasio 15 (Lampiran VIII.c). Menurut


(33)

Setianingsih (2009), larutan MOL rebung berguna untuk membantu perkecambahan dan kekokohan batang tanaman padi.

Menurut Azzamy (2015), pengomposan dengan memanfaatkan mikroorganisme lokal (MOL) dari rebung bambu dilakukan dengan cara mencampurkan larutan MOL dengan perbandingan 1 : 5 (1 liter larutan MOL : 5 liter air) kemudian disiramkan ke bahan kompos. Menurut Tukimun (2016) Kompos dari kotoran ternak dan hijauan yang dicampurkan dengan aktivator dari akar bambu menunjukkan hasil yang baik dan dapat jadi kompos matang dalam waktu kurang lebih 28 hari atau 4 minggu. Semakin banyak pemeberian aktivator akar bambu maka kompos semakin cepat jadi (Komunikasi Pribadi).

3. MOL Rumen Sapi

Lambung ruminansia terdiri atas 4 bagian, yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum dengan ukuran yang bervariasi sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya. Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7-8%, dan abomasum 7-8%. Mikroorganisme utama yang terdapat dalam rumen adalah bakteri, protozoa, dan cendawan (yeast). Bakteri yang ada di dalam rumen antara lain bakteri selulolitik, Hemiselulolitik, Acid Utilizer Bacteria (bakteri pemakai asam), Bakteri Amilolitik, Sugar Untilizer Bacteria (bakteri pemakai gula), Bakteri Proteolitik, Bakteri Methanogenik, Bakteri Lipolitik, Bakteri Ureolitik. Sedangkan protozoa yang ada pada rumen adalah cilliata dan flagellata. Dan cendawan yang ada di dalam rumen adalah cendawan perombak lignin, cendawan


(34)

perombak selulosa, cendawan perombak hemiselulosa (Siswanto dan Suwiti, 2013).

Limbah ternak adalah buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan dan pengolahan produk ternak. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan cair seperti feses, urin, sisa makan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, dan isi rumen (Temperaturt dan Salundik, 2006). Dengan semakin berkembangnya usaha peternakan dan kebutuhan manusia akan hasil ternak maka limbah yang dihasilkan semakin meningkat. Di dalam rumen ternak ruminansia terdapat mikrobia, yang terdiri dari protozoa, bakteri dan fungi (Sudaryanto, 2002).

Salah satu kelompok bakteri yang sangat penting di dalam rumen adalah bakteri selulolitik. Enzim selulase yang dihasilkan bakteri selulolitik mampu memecah selulosa sehingga ternak ruminansia dapat hidup dengan hijauan berkualitas rendah (Arora, 1992). Proses biodegradasi bahan yang mengandung selulosa sangat ditentukan oleh kemampuan mikrobia selulolitik untuk menghasilkan enzim selulase yang mempunyai aktivitas tinggi (Asenjo et al.,

1986). Populasi bakteri pada usus besar dan feses ternak ruminansia termasuk golongan spesies bakteri yang juga terdapat di dalam rumen, yaitu termasuk dalam famili Bacteriodes, Fusobacterium, Streptococcus, Eubacterium, Ruminococcus dan Lactobacillus (Omed et al., 2000).

Bakteri merupakan penghuni terbesar dalam rumen (1010-1012/ml cairan rumen) dengan ukuran 1-250µ. Populasi mikroba rumen secara umum ditentukan


(35)

oleh tipe pakan yang dikonsumsi ternak dan perubahan pakan akan mengakibatkan perubahan populasi dan proporsi dari spesies mikroba untuk mencapai keseimbangan yang baru, karena masing-masing mikroba rumen memiliki spesifikasi dalam menggunakan bahan pakan. Fibrobacter succinogenes

dan Ruminococcus albus merupakan bakteri selulotik anaerob yang paling banyak terdapat dalam rumen dan yang menghasilkan enzim yang memecah selulosa menjadi gula-gula bebas yang selanjutnya digunakan untuk fermentasi anaerob.

Namun bila bahan pakan diganti menjadi ransum tinggi pati, maka bakteri yang berkembang adalah Bacteroides amylophilus, Succinomonas amylolytica yang tadinya merupakan mikroba minoritas, atau Lactobacilii dan Streptococcus.

Sedangkan bila ternak diberi ransum tinggi pektin melalui pemberian hay leguminosa, maka bakteri Lachnospira multiparus akan berkembang dalam rumen. Masing-masing spesies bacteria rumen memerlukan substrat dan nutrisi yang khusus, bahkan hasil fermentasinya juga berbeda (Suharyono, 2016).

Menurut Sembiring dkk (2010), dilihat dari fungsinya, mikroorganisme dalam rumen terdiri atas beberapa kelompok yang berperan dalam memfermentasikan bahan makanan ialah :

a. Kelompok Pencerna Selulosa

Bakteri ini menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisis ikatan glukosida β 1,4, selulosa dan dimer selobiosa. Sepanjang yang diketahui tak satupun hewan yang mampu memproduksi enzim selulosa sehingga pencernaan selulosa sangat tergantung pada bakteri yang terdapat disepanjang saluran


(36)

perncernaan. Beberapa bakteri selulolitik antara lain adalah Bacteriodes succinogenes, Ruminicoccus flavefaciens, Ruminicoccus albus, Cillobacterium cellulosolvens.

b. Kelompok Bakteri Pencerna Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan struktur polisakrida yang penting dalam dinding sel tanaman. Mikroorganisme yang dapat menghidrolisis selulosa biasanya juga dapat menghidrolisa hemiselulosa sedangkan mikroorganisme yang mampu menghidrolisa hemiselulosa belum tentu mampu menghidrolisa selulosa. Bakteri yang mencerna hemiselulosa ialah Butyrivibrio fibrisolvens, Lachnospira multiparus, dan Bactroides ruminicola.

c. Kelompok Bakteri Pencerna Pati

Pada ruminansia tidak terlalu banyak mikroorganime amilolitik dalam rumen. Bakteri amilolitik akan menjadi dominan dalam jumlahnya apabila makanan mengandung pati tinggi. Bakteri amilolitik yang terdapat dalam rumen antara lain : Bacteroides amylophillus, Bacteroides ruminicola, Bacteroides alactacidigens, Butyrivibrio fibrisolvens. Beberapa kelompok bakteri lain adalah kelompok bakteri pemakai gula, bakteri proteolitik, bakteri methanogenik, bakteri lipolitik dan bakteri pembentuk amonia.

d. Protozoa Rumen

Protozoa rumen umumnya adalah ciliata, namun terdapat pula beberapa spesies flagellata yang berukuran kecil. Ciliata merupakan non patogen dan


(37)

anaerobic michroorganism. Dari hasil serangkaian studi, diperoleh informasi bahwa diduga ciliata mempunyai peranan sebagai sumber protein dengan keseimbangan kandungan asam amino yang lebih baik dibandingkan dengan bakteri sebagai makanan ternak ruminansia.

e. Fungi Rumen

Beberapa spesies fungi telah ditemukan dalam rumen. Signifikasi fungi dalam proses pencernaan atau habitat ekologi belum ditemukan dengan baik seperti pada bakteri. Beberapa fungi tidak melakukan pencernaan, namun terbawa serta dalam pakan. Beberapa spesies fungi telah diketahui mencerna serat kasar dan lignin misalnya Pleurotus sajor-keju, Pleurotus florida atau Pleurotus ostreatus. Fungi rumen sangat menarik karena dapat memanfaatkan enzim dengan variasi yang luas. Diantara enzim yang sangat potensial dihasilkan oleh fungi ialah Xylanase yang dapat mendegradasi cellulose dan hemicellulose sangat sempurna.

Menurut Hartono, dkk (2014), penggunaan isi rumen ternak untuk mendekomposisikan limbah padat rumah potong hewan di kota Makasar dinyatakan bahwa hasil komposnya sesuai dengan SNI kompos yang dinyatakan bahwa kompos limbah padat memiliki C/N rasio 14 (Lampiran IX.a). Penelitian Pratama (2013) menyatakan bahwa kotoran sapi biasa juga digunakan untuk dekomposer pengomposan karena mengandung mikroba pendekomposisi selulolitik. Perbandingan kompos blotong dengan EM4 memiliki C/N rasio 20,44 (Lampiran IX.b).


(38)

Menurut penelitian Pratama (2013) pengomposan menggunakan kotoran sapi untuk blotong sudah mampu menghasilkan kompos sesuai SNI (Lampiran IX.b), sehingga diduga penggunaan MOL isi rumen sapi memiliki kemampuan lebih baik mendekomposisikan limbah kulit kakao. Penggunaan MOL rumen sapi yang digunakan untuk dekomposisi pada penelitian Larasati (2016) yang menyatakan bahwa C/N rasio kompos ampas aren yaitu 12,72 (Lampiran IX.c).

4. Effective Microorganism (EM)

Effectife Microorganism 4 (EM4) merupakan suatu cairan berwarna kecoklatan dan beraroma manis asam (segar) yang di dalamnya berisi campuran beberapa mikroorganisme hidup yang menguntungkan bagi proses penyerapan/persediaan unsur hara dalam tanah. Mikroorganisme fermentasi dan sintetik yang terdiri dari asam laktat (Lactobacillus sp), Actinomycetes sp, Streptomycetes sp, dan yeast (ragi). Mikroorganisme menguntungkan tersebut (EM4) telah lama ditemukan, diteliti dan diseleksi terus menerus oleh seorang ahli pertanian bernama Profesor Teruo Higa dari Universitas Ryukyu Jepang. Dengan demikian EM4 bukan merupakan bahan kimia yang berbahaya seperti pestisida, obat serangga atau pupuk kimia lainnya (Widiastuti, 2008).

Menurut Indriani (1999) jumlah mikroorganisme fermentasi di dalam EM4 sangat banyak, dari sekian banyak mikroorganisme ada lima golongan yang pokok, yaitu :


(39)

Bakteri ini adalah mikroorganisme mandiri dan swasembada. Bakteri ini membentuk senyawa-senyawa bermanfaat dari sekresi akar tumbuhan, bahan organik dan gas-gas berbahaya dengan sinar matahari dan panas bumi sebagai sumber energi. Zat-zat bermanfaat yang terbentuk anatara lain, asam amino asam nukleik, zat bioaktif dan gula yang semuanya berfungsi mempercepat pertumbuhan.

b. Bakteri asam laktat ( Lactobacillus spp. )

Bakteri asam laktat (Lactobacillus spp.) dapat mengakibatkan kemandulan (sterilizer) oleh karena itu bakteri ini dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan; meningkatkan percepatan perombakan bahan organik; menghancurkan bahan organik seperti lignin dan selulosa serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa beracun yang ditimbulkan dari pembusukan bahan organik Bakteri ini dapat menekan pertumbuhan fusarium, yaitu mikroorganime merugikan yang menimbukan penyakit pada lahan/ tanaman yang terus menerus ditanami (Widyastuti, dkk., 2009).

c. Ragi / Yeast ( Saccharomyces spp. )

Melalui proses fermentasi, ragi menghasilkan senyawa-senyawa bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman dari asam amino dan gula yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik atau bahan organik dan akar-akar tanaman. Ragi juga menghasilkan zat-zat bioaktif seperti hormon dan enzim untuk meningkatkan jumlah sel aktif dan perkembangan akar. Sekresi Ragi adalah substrat yang baik bakteri asam laktat dan Actinomycetes.


(40)

d. Actinomycetes

Actinomycetes menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino yang dihasilkan bakteri fotosintetik. Zat-zat anti mikroba ini menekan pertumbuhan cendawan dan bakteri. Actinomycetes hidup berdampingan dengan bakteri fotosintetik bersama-sama menongkatkan mutu lingkungan tanah dengan cara meningkatkan aktivitas anti mikroba tanah.

e. Cendawan Fermentasi

Cendawan fermentasi ( Aspergillus dan Penicilium ) menguraikan bahan secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester dan zat-zat anti mikroba. Pertumbuhan cendawan ini membantu menghilangkan bau dan mencegah serbuan serangga dan ulat-ulat merugikan dengan cara menghilangkan penyediaan makanannya. Tiap species mikroorganisme mempunyai fungsi masing-masing tetapi yang terpenting adalah bakteri fotosintetik yang menjadi pelaksana kegiatan EM4 terpenting. Bakteri ini disamping mendukung kegiatan mikroorganisme lainnya dan juga memanfaatkan zat-zat yang dihasilkan mikroorganisme lain.

Pedoman dosis penggunaan EM4 yaitu 1 liter EM4 untuk 1 ton campuran bahan kompos atau setara 1 ml EM4 untuk 1 kg bahan kompos (Temperaturt dan Salundik, 2006). Menurut Lab. MIPA IPB 026/IPBCC/An-Mik/6/11, aktivator EM4 memiliki kadungan yang lengkap dan memiliki mikroba spesifik dekomposer yaitu Lactobacillus, Bakteri Pelarut Fosfat, Yeast/Ragi, Actinomycetes dan Bakteri Fotosintetik (Lampiran X.a). Adapun hasil kompos dengan menggunakan aktivator EM4 yang diaplikasikan pada kompos pada penelitian Pratama (2013) menyatakan bahwa kompos blotong memiliki C/N rasio


(41)

sebesar 15,80 (Lampiran X.b). Hasil penelitian lain terkait kompos dengan menggunakan aktivator EM4 dilakukan dengan bahan baku jerami padi dalam Suhartatik, dkk (2001); Gunarto, dkk (2002); Husein, E. dan Irawan (2008); Nuraini (2009) dalam Juwita (2014), menyatakan bahwa kompos jerami memiliki C/N rasio 11 (Lampiran XI.a). Menurut Indriyati (2006), jerami padi memiliki beberapa kandungan sifat kimia yaitu selulosa (43-49%), hemiselulosa (23-28%), lignin (12-16%), abu dan silika (Lampiran XI.b). Pada penelitian Yangoritha (2013) menyatakan perlakuan yang menunjukkan hasil terbaik adalah dengan aktivator EM4 yang dibandingkan dengan standar SNI kompos yang memiliki C/N rasio 20,33 (Lampiran XI.c).

D. Hipotesis

Diduga penambahan bioaktivator dari MOL rumen sapi memiliki pengaruh paling baik terhadap aktivitas dekomposer dan kualitas kompos kulit kakao (Theobroma cacao L.).


(42)

28

III. TATA CARA PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Agrobioteknologi, Laboratorium Tanah, Laboratorium Proteksi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan di Dusun Paten, Sumberagung, Jetis, Bantul Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai bulan September 2016.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain kulit kakao, EM4, MOL Bonggol Pisang, MOL Rebung dan Akar Bambu, MOL Rumen Sapi dari RPH Groso (Lampiran XIV.a), gula jawa, Sukrosa / Dextrose, agar, ekstrak kentang, ekstrak daging, aquades, pepton, desinfektan (alkohol 70%), ekstrak jerami, yeast ekstrak, K2HPO4, KH2PO4, KOH, (NH4)2SO4, FeSO4.7H2O, MgSO4.7H2O, Glukosa, KCl, H2O (Aquades), NaOH 0,01 N, Indikator Phenolptalein (PP), air, benih jagung, dedak, kapur dan kapas.

Alat – alat yang digunakan adalah dalam penelitian ini, yaitu aerator (airpump), selang, wadah pembuatan MOL, tabung reaksi, erlenmeyer, beaker gelas, gelas ukur, pengaduk, corong gelas, kertas saring, gelas arloji / botol timbang, sendok, pisau, autoklaf, timbangan analitik, petridish, pH stik, jarum ose, bunsen, korek api, biuret, pipet, labu takar, saringan diameter 2 mm dan alat tulis.


(43)

C. Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan menggunakan metode eksperimen yang disusun dalam RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan rancangan percobaan faktor tunggal yang terdiri dari empat perlakuan. Adapun perlakuannya sebagai yaitu (A) MOL Bonggol Pisang 1 liter/ 25 kg, (B) MOL Rebung Bambu 1 liter/ 25 kg, (C) MOL Isi Rumen Sapi 1 liter/ 25 kg, (D) Aktivator EM4 50 ml/ 25 kg (lay out pada Lampiran II.a).

Masing-masing perlakuan diulang tiga kali, sehingga ada 12 unit percobaan. Tiap unit percobaan berupa karung yang berisi masing – masing 25 kg limbah kulit kakao. Setiap ulangan diambil tiga sampel yaitu pada bagian atas, tengah, bawah (lay out pada Lampiran II.b).

D. Cara Penelitian

Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pengambilan sampel dan analisis (Lampiran I).

1. Tahap Persiapan a. Pembuatan MOL

Persiapan pembuatan MOL dilakukan dengan cara menfermentasikan bahan – bahan (bonggol pisang, rebung bambu dan rumen sapi) selama 15 hari. Lama proses fermentasi bahan-bahan MOL kurang lebih 10-15 hari (Santosa, 2008; Kadir et al, 2008 ). Hasil fermentasi MOL tersaji pada Lampiran XIV.b.


(44)

1) MOL Bonggol Pisang

MOL bonggol pisang dibuat dengan cara mengambil bonggol pisang berserta tanah rizhosfer di sekitar perakarannya. Bonggol pisang dipotong – potong untuk memperkecil ukuran agar mudah terurai. Bonggol pisang yag sudah dicacah kemudian dimasukkan ke dalam wadah dan dan didiamkan selama 4 hari. Setelah itu disaring dan ditambahkan dengan gula jawa, air kelapa dan air cucian beras, kemuidan semua dicampur sampai merata. Campuran bahan MOL tersebut didiamkan selama 15 hari. Setelah 15 hari didiamkan atau difermentasikan kemudian diperas dan diambil sarinya, air hasil fermetasi tersebut siap digunakan sebagai MOL untuk bioaktivator.

2) MOL Rebung dan Akar Bambu

Pembuatan MOL rebung dilakukan dengan cara mengambil rebung dan akar bambu disekitar perakaran rebung sedalam ±10 cm kebawah kemudian rebung beserta rizhosfernya direndam dalam air selama 4 hari. Setelah 4 hari perendaman air hasil rendaman tersebut digunakan sebagai bahan mol. Air hasil rendaman tersebut dicampurkan ke dalam air cucian beras, air kelapa, dan gula jawa yang sudah direbus terlebih dahulu dan didinginkan barulah dicampurkan dengan air hasil rendaman tersebut. Setelah itu hasil campuran bahan – bahan tersebut difermentasikan selama 15 hari disaring untuk memisahkan padatan dan cairan MOL, kemudian setelah 15 hari barulah MOL rebung dapat digunakan sebagai bioaktivator untuk pengomposan.


(45)

3) MOL Rumen Sapi

MOL rumen sapi dibuat dengan cara mengambil cairan dan padatan kotoran pada usus sapi kemudian dicampurkan dengan air kelapa, air cucian beras dan gula jawa. Pembuatan MOL rumen sapi dilakukan dengan memfermentasikan campuran bahan – bahan MOL tersebut selama 15 hari. Setelah 15 hari difermentasikan campuran bahan tersebut disaring, kemudian MOL rumen sapi siap digunakan untuk bioaktivator.

Masing – masing bahan MOL yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 3 kg ditambahkan 2,5 liter air kelapa, 2,5 liter air cucian beras dan 150 gram gula jawa (Isroi, 2015) dan masing – masing pembuatan MOL diulang tiga kali kemudian jika sudah jadi ke tiga MOL tersebut dihomogenkan kemudian baru diaplikasikan dalam pengomposan.

b. Isolasi dan Karakterisasi Mikroorganisme Lokal (MOL) (i) Sterilisasi

Semua alat yang digunakan (petridish, erlenmeyer, botol suntik) dimasukkan ke dalam autoklaf dan disterilkan pada temperatur 121°C dengan tekanan 1 atm selama 25 menit. Setalah steril, alat – alat tersebut dimasukkan dalam ruang penyimpanan.

(ii) Pembuatan medium

Medium yang digunakan sebagai medium isolasi adalah medium Dickerman (untuk bakteri) dan Czapek (untuk cendawan). Sedangkan medium


(46)

yang digunakan untuk perbanyakan dan perhitungan jumlah mikrobia adalah medium Potato Dextrose Agar (PDA) untuk cendawan dan Nutrien Agar (NA) untuk perbanyakan bakteri.

1) Medium Dickerman

Pembuatan medium Dickerman dimulai dengan menimbang bahan : K2HPO4 (0,8 g), KH2PO4 (0,2 g), MgSO4.7H2O (0,2 g), Yeast Ekstrak (0,01 g), (NH4)2SO4 (1 g), selulosa (20 g), agar (15 g), aquades 1000 ml dan pH 7. Larutan tersebut kemudian dicampur dan dipanaskan hingga homogen lalu dimasukkan dalam tabung reaksi dan Erlenmeyer. Selanjutnya medium disterilkan menggunakan autoklaf pada temperatur 121° C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.

2) Medium Czapek

Pembuatan Czapek dimulai dengan menimbang bahan : (NH4)2SO4 (2 g), KCl (0,5 g), MgSO4.7H2O (0,5 g), K2HPO4 (1 g), FeSO4.7H2O (0,001 g), selulosa (10 g), aquades 1000 ml, agar (15 g) dan pH 6,4 – 7. Larutan tersebut kemudian dicampur dan dipanaskan hingga homogen lalu dimasukkan dalam tabung reaksi dan Erlenmeyer. Selanjutnya medium disterilkan menggunakan autoklaf pada temperatur 121° C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.

3) Medium Potato Dextrose Agar (PDA)

Pembuatan medium Potato Dextrose Agar (PDA) dimulai dengan mengupas kentang, kemudian kentang dipotong – potong dan ditimbang sebanyak 200 gram. Kentang yang telah dipotong, ditambahkan air dan dipanaskan sampai


(47)

lembek sehingga menghasilkan ekstrak 1000 ml. Ekstrak kentang selanjutnya disaring menggunakan penyaring. Setelah itu, sukrosa / dextrose 15 g dilarutkan dalam aquades dalam ekstrak kentang. Larutan kemudian dipanaskan dalam penangas air untuk mempercepat kelarutan dan ditambahkan agar 15 g. Larutan dijadikan 1000 ml dengan menambahkan aquades, setelah itu larutan dimasukkan dalam tabung reasksi, dan erlenmeyer. Selanjutnya larutan disterilkan dengan autoklaf pada temperatur 121° C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.

4) Medium Nutrien Agar (NA)

Pembuatan medium Nutrien Agar dimulai dengan melarutkan ekstrak daging 3 g dalam aquades dan pepton 5 g. Larutan dipanaskan dalam penangas air untuk mempercepat kelarutan dan ditambahkan agar 15 g. Kemudian larutan dijadikan 1000 ml dengan menambahkan aquades, setelah itu larutan dimasukkan dalam tabung reaksi, dan erlenmeyer. Selanjutnya larutan disterilkan dengan autoklaf pada temperatur 121° C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.

(iii) Isolasi dan Karakterisasi Mikroba Bioaktivator

Isolasi dilakukan pada masing – masing bioaktivator dari MOL Bonggol Pisang, MOL Rebung Bambu, MOL Rumen Sapi, dan EM4. Isolasi dilakukan dengan cara mengambil masing – masing 1 ml MOL, kemudian dimasukkan ke dalam 99 ml air steril dan digojok. Suspensi masing – masing diambil 1 ose untuk di streak pada medium Dickermam dan Czapek. Kemudian diinkubasi dalam temperatur kamar selama 48 jam. Inokulasi dilakukan untuk memperbanyak isolat yang sudah didapatkan dalam isolasi. Inokulasi juga dilakukan dengan cara


(48)

mengambil suspensi sebanyak 0,1 ml untuk di surface diatas medium Dickerman dan Czapek didalam petri dengan menggunakan drigalsky. Kemudian diinkubasi secara terbalik dalam temperatur kamar selama 48 jam. Pada akhir inkubasi akan tumbuh koloni cendawan dan bakteri pada masing – masing biaktivator dalam medium. Selanjutnya dilakukan pemindahan cendawan pada medium PDA dan bakteri pada medium NA dengan cara diambil 1 ose pada masing – masing koloni untuk di streak pada masing – masing medium PDA (cendawan) dan NA (bakteri) kemudian diinkubasi selama 24 – 48 jam. Setelah itu dilakukan identifikasi, jika bakteri diamati bentuk koloni, elevasi, bentuk tepi, struktur dalam, sifat aerobisitas (Lampiran XIV.c), bentuk sel dan sifat gram bakteri. Jika cendawan diidentifikasi warna, diameter dan bentuk spora.

(iv) Pengamatan Perubahan Bau MOL selama Fermentasi

Pengamatan perubahan bau atau aroma MOL selama fermentasi dilakukan setiap hari selama 15 hari sesuai dengan waktu fermentasi MOL. Pengamatan bau dilaksanakan untuk mengetahui adanya tidaknya perubahan bau selama proses fermentasi yang dilakukan dengan cara mencium bau atau aroma masing-masing perlakuan MOL.

(v) Pengamatan Perubahan Warna MOL selama Fermentasi

Pengamatan perubahan warna pada masing-masing MOL dilakukan dengan cara melihat warna awal sampai akhir. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan cara melihat perubahan warna pada MOL.


(49)

2. Tahap Pelaksanaan

a. Pencacahan Kulit Kakao

Kulit kakao dicacah dengan menggunakan mesin pencacah terlebih dahulu dengan ukuran ± 2 cm agar lebih mudah dalam proses dekomposisi (Lampiran XVI.a).

b. Pengenceran Bioaktivator

Sebelum pengomposan dilakukan, maka bioaktivator harus diencerkan terlebih dahulu kemudian baru ditambahkan pada bahan dasar yaitu kulit kakao. Dosis penggunaan EM4 yaitu 1 liter untuk 1 ton bahan kompos atau setara dengan 1 ml untuk 1 kg bahan kompos dengan konsentrasi larutan 10 ml/ liter air. Kebutuhan air untuk pengomposan 25 kg bahan adalah 5 liter sehingga kebutuhan larutan untuk masing – masing perlakuan adalah 50 ml. Pada perlakuan penggunaan MOL juga diencerkan yaitu 1 liter MOL dilarutkan dalam 4 liter air (perhitungan kebutuhan air dan kebutuhan aktivator terlampir pada Lampiran III).

c. Pencampuran Bahan (Pengomposan)

Pengomposan dilakukan dengan cara pencampuran bahan yang berupa kulit kakao sebanyak 25 kg, bioaktivator MOL, EM4 (sesuai dengan perlakuan masing – masing) dengan bahan tambahan yaitu dedak 400 gram, 50 gram gula jawa dan 100 gram kapur. Setelah semua sesudah tercampur bahan kompos tersebut dimasukkan ke dalam karung (Lampiran XVI.a). Kemudian bahan kompos yang telah dimasukkan ke dalam karung tersebut disimpan selama 4


(50)

minggu. Selama proses penyimpanan setiap minggunya kompos tersebut dikeluarkan dari dalam karung dan dibalik. Pengomposan ini dilakukan sesuai perlakuan (Lampiran III) yaitu :

1) Pengomposan dengan MOL Bonggol Pisang 2) Pengomposan dengan MOL Rebung Bambu 3) Pengomposan dengan MOL Rumen Sapi 4) Pengomposan dengan EM4

3. Tahap Pengamatan, Pengambilan Sampel Dan Analisis i. Pengamatan Harian

Pengamatan temperatur. Pengamatan ini dilakukan setiap hari selama proses pengomposan berlangsung sampai 4 minggu. Pengukuran temperatur dilakukan menggunakan alat Thermometer derajat Celcius (0C) dengan melihat skala yang ditunjukan pada alat tersebut. Pengamatan temperatur pada bahan kompos dilakukan dengan cara menancapkan

thermometer pada lapisan bahan kompos melalui tiga lubang dibagian sisi tengah karung kompos. Cara pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran II.b.

ii. Pengamatan Per Tiga Hari

1) Penetapan tingkat kematangan berdasarkan kandungan serat: Tingkat kematangan atau pelapukan bahan organik dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan (serat) tanaman asalnya. ke tiga macam tingkat kematangan tersebut adalah : Fibrik, Hemik dan Saprik. Tingkat kematangan kompos secara fisik diamati setiap tiga hari sekali selama 4


(51)

minggu. Kematangan secara fisik pada bahan organik yang dikomposkan dengan cara berikut: Mengambil segenggam bahan kompos, kemudian diperas menggunakan telapak tangan secara pelan, sisa serat yang tertinggal ditelapak tangan kemudian diamati dengan kriteria kematangan kompos. Adapun ketentuannya adalah : Fibrik, kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah diperas adalah ≥ ¾ bagian atau ≥ 75%. Hemik, kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah diperas adalah kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih ( < ¾ - ≥ ¼ atau 75% - ≥ 25%) dan Saprik kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah diperas adalah kurang dari seperempat bagian (< ¼ atau 25%).

2) Pengamatan warna: Pengamatan perubahan warna kompos menggunakan

Munsell Soil Color Chart (Lampiran XIII). Warna dinyatakan dalam tiga satuan, yaitu Kilap (Hue), Nilai (Value), dan Kroma (Chroma). Menurut nama yang tercantum dalam jalur yang bersangkutan, kilap berhubungan dengan panjang gelombang cahaya, nilai berhubungan dengan keberhasilan warna dan kroma adalah kemurnian relatif dari spectrum warna. Jenis fibrik akan memperhatikan warna hitam muda (agak terang), kemudian disusul hemik dengan warna agak gelap dan selanjutnya masuk pada saprik yang berwarna hitam gelap. Perubahan warna diamati setelah kompos berumur satu minggu, dengan pengamatan tiap tiga hari sekali hingga minggu ke empat. Pengamatan warna pada bahan kompos dilakukan dengan mengambil sampel sebanyak ± 3 g (pada lapisan atas,


(52)

tengah dan bawah) kemudian diletakkan dibawah kertas munsell menggunakan jari. Kemudian warna kompos tersebut dicocokkan dengan warna – warna yang terdapat dalam lembaran buku Munsell Soil Color Chart.

iii. Pengamatan Mingguan

1) Kadar Air (AOAC atau Analysis of Analytical Chemis1984). Pengukuran kadar air bahan kompos dilakukan dengan mengambil sampel sebanyak ±5 gram. Cawan kosong ditimbang terlebih dahulu untuk mendapatkan berat awal, kemudian cawan diberi bahan seberat 5 gram, hasil timbangan cawan + bahan dicatat. Setelah itu cawan beserta bahan dioven hingga bobotnya konstan (Lampiran XVII.a).

2) Pengukuran pH (AOAC 1995). Pengkuran derajat kemasaman menggunakan pH stik. pH diukur dengan cara memasukan 2,5 g contoh bahan kompos pada masing – masing perlakuan dengan ulangan cepuk, kemudian ditambah 12,5 ml aquades. Setelah itu, cepuk ditutup dan dikocok sampai homogen. Larutan didiamkan sampai mengendap selama 15 menit. Selanjutnya dicek menggunakan pH stik (Lampiran XVII.b). 3) Asam total (AOAC 1984). Total asam ditentukan oleh metode titrasi.

Sebanyak 20 g sampel dimasukkan ke dalam gelas kemudian dihomogenkan dan disaring lalu dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml dan ditambahkan dengan aquades sampai tanda tera. Filtrat yang diperoleh sebanyak 25 ml masing-masing dalam 3 kali ulangan, ditetesi dengan


(53)

dititrasi dengan larutan NaOH 0,01 N sampai terbentuk warna merah muda yang stabil (Lampiran XVI.d).

4) Mikrobiologi (Cendawan dan Bakteri). Pengamatan mikrobiologi cendawan dan bakteri pada bahan kompos dilakukan satu kali dalam seminggu. Adapun langkah pengamatannya adalah dengan mengambil satu gram bahan kompos kemudian dimasukkan pada 99 ml akuades, kemudian dilakukan pengenceran hingga 10-9. Variabel yang diamati adalah jumlah cendawan maupun bakteri dari masing – masing perlakuan. Metode perhitungan jumlah mikroba dengan menggunakan metode plate count pada medium NA dan PDA dengan seri pengenceran 10-7, 10-8, 10-9 (Lampiran XVI.b) dengan memenuhi syarat sebagai berikut :

a) Jumlah koloni tiap cawan petri antara 30-300 koloni (CFU/ml) b) Tidak ada koloni yang menutupi lebih dari setengah luas cawan

(Spreader) perbandingan jumlah koloni dari pengenceran berturut – turut antara pengenceran yang lebih besar dengan pengenceran sebelumnya. Jika sama atau lebih kecil dari 2 maka hasilnya dirata – rata, dan jika lebih besar dari 2 maka yang dipakai adalah jumlah dari hasil pengenceran sebelumnya. c) Jika ulangan telah memenuhi syarat maka hasilnya dirata – rata.

iv. Analisis Hasil (Akhir)

1) Analisis Hasil Kompos (Akhir). Setelah minggu ke empat pembuatan kompos, pengambilan sampel kompos kulit kakao dari masing – masing perlakuan dan ulangan dilakukan dengan cara mengambil sampel dari


(54)

beberapa titik, yaitu bagian atas, tengah dan bawah. Analisis akhir pada hasil pengomposan yaitu analisis kadar karbon (C), bahan organik (BO), kadar nitrogen (N), serta C/N rasio. Data pengamatan yang diperoleh kemudian dianalisis untuk melihat perbedaan diantara perlakuan.

2) Uji kematangan kompos pada perkecambahan. Untuk menguji kematangan kompos, maka dilakukan uji perkecambahan pada benih jagung disetiap perlakuannya. Sebelum pengujian, benih direndam dalam air terlebih dahulu. Pengujian dilakukan dengan cara meletakkan pada petridish yang telah diisi masing – masing kompos sebagai medium. Setiap petridish diletakkan masing – masing 20 benih. Pada saat yang bersamaan dikecambahkan juga masing – masing benih pada kapas basah. Pengujian dilakukan selama 5 hari dengan menghitung presentase daya berkecambah pada masing – masing benih. Rancangan uji perkecambahan dapat dilihat pada Lampiran II bagian d.

3) Uji persentase ukuran partikel kompos. Untuk menguji persentase ukuran kompos dilakukan dengan saringan berdiameter 2 mm. Kompos ditimbang sebanyak 100 gram kemudian disaring menggunakan saringan berdiameter 2 mm, jumlah yang lolos kemudian ditimbang dan dihitung persentase yang lolos.


(55)

E. Parameter yang diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi pengamatan perubahan mikrobiologi, perubahan fisik dan perubahan kimia selama proses dekomposisi.

1. Pengamatan mikrobiologi selama proses dekomposisi

Pengujian mikrobiologi bertujuan guna mengetahui dinamika aktivitas populasi mikroba selama proses dekomposisi. Pengamatan mikrobiologi dilakukan dengan metode total plate count-surface platting untuk menghitung jumlah total mikroorganisme cendawan dan bakteri selama dekomposisi. Pengamatan dilakukan pada masing – masing medium.

a. Bakteri pada medium Nutrient Agar (NA) dan Cendawan pada medium

Potato Dextose Agar (PDA) (CFU/ml)

Variabel yang diamati adalah jumlah yeast dari masing – masing perlakuan. Metode perhitungan jumlah mikroba dengan menggunakan metode

plate count pada medium NA dan PDA dengan seri pengenceran 10-7, 10-8, 10-9 , adapun rumus perhitungan bakteri adalah :

umlah ba teri pengenceran tera hir umlah ba teri pengenceran sebelumn a dengan memenuhi syarat sebagai berikut :

1) Jumlah koloni tiap cawan petri antara 30-300 koloni (CFU/ml)

2) Tidak ada koloni yang menutupi lebih dari setengah luas cawan (spreader) perbandingan jumlah koloni dari pengenceran berturut –


(56)

turut antara pengenceran yang lebih besar dengan pengenceran sebelumnya. Jika sama atau lebih kecil dari 2 maka hasilnya dirata – rata, dan jika lebih besar dari 2 maka yang dipakai adalah jumlah dari hasil pengenceran sebelumnya.

3) Jika ulangan telah memenuhi syarat maka hasilnya dirata – rata. 2. Pengamatan perubahan fisik selama proses dekomposisi

a. Temperatur (ºC)

Temperatur adalah salah satu indikator kunci di dalam pembuatan kompos karena berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Pengamatan perubahan temperature ini digunakan untuk melihat kerja dan aktivitas mikroorganisme selama pengomposan. Pengamatan temperatur dilakukan dengan menggunakan thermometer (ºC).

b. Perubahan kandungan serat / kematangan kompos (%)

Kompos yang telah matang akan terasa lunak ketika dihancurkan. Bentuk kompos masih menyerupai bahan asalnya, dan ketika digenggam lalu diremas akan mudah hancur (remah). Pengamatan kematangan kompos secara fisik dilakukan dengan cara meremas bahan kompos. Adapun ketentuannya adalah : Fibrik, kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah diperas adalah ≥ ¾ bagian atau ≥ 75%. Hemik, kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah diperas adalah kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih ( < ¾ - ≥ ¼ atau 75% - ≥ 25%) dan Saprik


(57)

kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah diperas adalah kurang dari seperempat bagian (< ¼ atau 25%).

Tabel 1. Skoring perubahan nilai kandungan serat kompos Skor Kandungan Serat

3 76-100% (Fibrik) 2 26-75% (Hemik) 1 0-25% (Saprik)

Persentase kandungan serat kompos =

Keterangan :

n : Jumlah sampel yang memiliki nilai skor sama

v : Nilai skor yang menunjukkan intensitas kandungan serat Z : Skor yang tertinggi

N : Jumlah sampel yang diamati

c. Perubahan warna (%)

Cara lain untuk mendukung penggolongan tingkat kematangan / pelapukan bahan organik yang dikomposkan tersebut adalah dengan memperhatikan warnanya. Kompos yang sudah jadi biasanya berwarna coklat kehitaman (menyerupai warna tanah). Pengamatan perubahan warna dilakukan dengan menggunakan Munsell Soil Color Chart (Lampiran XIII). Warna dinyatakan dalam tiga satuan, yaitu Kilap (Hue), Nilai (Value), dan Kroma (Chroma). Pengamatan warna kompos dilakukan dengan metode skoring dan dinyatakan dalam persentase. Menurut Zainal, M (2011) penentuan warna menggunakan rumus :

Persentase warna kompos =


(58)

Keterangan :

n : Jumlah sampel yang memiliki nilai kriteria yang sama v : Nilai skor yang menunjukkan intensitas warna

Z : Skor yang tertinggi

N : Jumlah sampel yang diamati

Tabel 2. Skoring perubahan nilai warna kompos Skor Warna Kompos

4 7,5 YR 2,5/3 - 2,5/1 3 5 YR 2,5/2 – 2,5/1 2 5 YR 3/2 – 3/1 1 5 YR 3/4 - 3/3

d. Kadar air (%)

Besarnya kadar air pada bahan kompos dinyatakan dalam basis basah (wet basic) dengan rumus sebagai berikut :

Kadar air (%) = Keterangan :

a = berat cawan kosong (g) x = berat sampel (g)

y = berat cawan + bahan kering (g)

3. Pengamatan perubahan kimia selama proses dekomposisi

Paremeter perubahan kimia diamati selama proses dekomposisi yaitu : perubahan pH, total asam tertitrasi, kadar C dan BO total serta kadar N.

a. Tingkat Keasaman (pH)

Pengamatan pH berfungsi sebagai indikator proses dekomposisi kompos kulit kakao pada berbagai bioaktivator. Mikroba kompos akan


(59)

berkerja pada keadaan pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara 5,5 sampai 8. Tingkat keasaman (pH) dalam pengomposan diukur menggunakan pH stik.

b. Total Asam Tertitrasi (%)

Persentase total asam tertitrasi dimaksudkan untuk mengetahui jumlah asam yang dihasilkan dalam proses dekomposisi kulit kakao pada berbagai bioaktivator. Asam adalah bentuk lain dari hasil proses dekomposisi dari suatu biomassa. Pada proses dekomposisi, asam terbentuk bersamaan dengan proses dekomposisi. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode titrasi NaOH. Untuk menghitung kadar asam tertitrasi menggunakan rumus sebagai berikut :

Total asam tertitrasi (ml NaOH 0,1 N/100g) =

Keterangan :

V = volume NaOH yang digunakan (ml) N = normalitas NaOH yang sesungguhnya (N) FP = faktor pengenceran

A = berat sampel (g)

c. Kadar C dan BO Total (%)

Kandungan BO dianalisis dengan metode Walkey dan Black, pengujian kadar BO dan C total dilakukan setelah penelitian pada kompos kulit kakao menggunakan rumus sebagai berikut :

Kadar C (%) =


(1)

11

C/N rasio paling tinggi (9,26) diikuti dengan perlakuan MOL rumen sapi (7,20), perlakuan MOL bambu (6,05) dan MOL bonggol pisang (5,72). Hasil pengamatan menunjukkan semua perlakuan memiliki C/N rasio yang belum memenuhi standar SNI kompos yaitu 10-20.

2. Uji Daya Kecambah

Hasil perkecambahan pada benih jagung disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Daya Perkecambahan Benih Jagung selama 5 hari

Hasil uji kematangan tersebut, apabila dilihat dari persentasi uji daya perkecambahan (Gambar 8) tidak menunjukkan perbedaan, semua jagung yang ditumbuhkan pada kompos, daya perkecambahannya >80 %. Media kompos semua perlakuan yang dijadikan sebagai media perkecambahan menunjukkan daya perkecambahan yang lebih tinggi dibandingkan daya berkecambah pada kontrol (kapas).

Dari semua parameter yang disesuaikan dengan standar SNI kompos dapat dikatakan hasil kompos akhir kulit kakao telah sesuai. Kompos dengan perlakuan EM4 tidak berbeda nyata dengan perlakuan MOL rumen sapi, MOL bambu dan MOL bonggol pisang.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Identifikasi mikroba dari MOL bonggol pisang, MOL bambu dan MOL rumen sapi menghasilkan 13 jenis bakteri dan 3 jenis cendawan. Bakteri MOL diduga Bacillus sp. dan Steptococcus sp. Hasil identifikasi cendawan pada MOL diduga kelompok dari Penicillium sp., Aspergillus sp. dan Trichoderma sp.

2. Bioaktivator MOL bonggol pisang, MOL bambu dan MOL rumen sapi dapat digunakan sebagai alternatif pengganti EM4 dalam pengomposan kulit kakao.

3. MOL bonggol pisang, MOL rebung bambu, MOL rumen sapi dan EM4 mengalami perubahan secara bersamaan dalam proses pematangan kompos. Kompos kulit kakao pada MOL bonggol pisang, MOL rebung bambu, MOL rumen sapi dan EM4 telah sesuai dengan standar kualitas SNI kompos 19-7030-2004, kecuali C/N rasio.

Saran

1. Perlu dilakukan identifikasi lanjutan tentang bakteri dan cendawan yang terkandung dalam Biaoktivator MOL.

2. Pencacahan kulit kakao sebaiknya diperkecil ukurannya sebelum masuk ke dalam mesin pencacah.

93,33 93,33 98,33

86,67 85,00

75,00 80,00 85,00 90,00 95,00 100,00 MOL Bonggol Pisang MOL Bambu MOL Rumen Sapi

EM4 Kontrol

Daya K ec am b ah (% )


(2)

12

DAFTAR PUSTAKA

Purwasasmita, M., 2009. Mengenal SRI (System of Rice Intensification). http://sukatani-banguntani.blogspot.com. Diakses tanggal 2 April 2015.

Rubiyo dan Siswanto. 2012. Peningkatan Produksi dan Pengembangan Kakao (Theobroma cacao L.) di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar dan Balai Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Dalam Buletin RISTRI. 3(1):33-48. Standar Nasional Indonesia. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. SNI

19-7030-2004. Badan Standar Nasional. Indonesia. Jakarta.

Zakiya, Z. dan O. L. Pramesti. 2012. 2014, Indonesia Targetkan jadi Penghasil Kakao Terbesar di Dunia. http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/2014-indonesia-targetkan-jadi-penghasil-kakao-terbesar-di-dunia. Diakses tanggal 4 Juli 2015.


(3)

13

LAMPIRAN

Lampiran I. Hasil Sidik Ragam

a. Suhu Hari ke-30

Sidik Ragam DB Jumlah Kuadrat Kuadrat tengah F Hitung Prob

Model 3 0,19670000 0,06556667 0,33 0,8031ns

Galat 8 1,58266667 0,19783333

Total 11 1,77936667

CV : 1,559098

pH Hari ke-28

Sidik Ragam DB Jumlah Kuadrat Kuadrat tengah F Hitung Prob

Model 3 0,33333333 0,11111111 0,67 0,5957ns

Galat 8 1,33333333 0,16666667

Total 11 1,66666667

CV : 5,696488

b. Perhitungan Jumlah Bakteri Hari ke-28

Sidik Ragam DB Jumlah Kuadrat Kuadrat tengah F Hitung Prob Model 3 1,88856667 0,62952222 1,35 0,3261ns Galat 8 3,73753333 0,46719167

Total 11 5,62610000

CV : 27,06987

c. Perhitungan Jumlah Cendawan Hari ke-28

Sidik Ragam DB Jumlah Kuadrat Kuadrat tengah F Hitung Prob Model 3 0,63928608 0,21309536 0,37 0,7769ns Galat 8 4,60653761 0,57581720

Total 11 5,24582369

CV : 62,35484 Keterangan :

ns : perlakuan tidak berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata 5%. s : perlakuan berpengaruh secara signifikan (beda nyata <0,05).


(4)

14

Lampiran II. Data Standarisasi Nasional Kompos SNI 19-7030-2004

No Parameter Satuan Minimum Maksimum

1 Kadar Air % - 50

2 Temperatur oC suhu air tanah

3 Warna Kehitaman

4 Bau berbau tanah

5 Ukuran partikel mm 0,55 25

6 Kemampuan ikat air % 58 -

7 pH 6,80 7,49

8 Bahan asing % * 1,5

Unsur makro

9 Bahan organik % 27 58

10 Nitrogen % 0,40 -

11 Karbon % 9,80 32

12 Phosfor (P2O5) % 0.1 -

13 C/N-rasio 10 20

14 Kalium (K2O) % 0,20 *

Unsur mikro

15 Arsen mg/kg * 13

16 Kadmium (Cd) mg/kg * 3

17 Kobal (Co ) mg/kg * 34

18 Kromium (Cr) mg/kg * 210

19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100

20 Merkuri (Hg) mg/kg * 0,8

21 Nikel (Ni) mg/kg * 62

22 Timbal (Pb) mg/kg * 150

23 Selenium (Se) mg/kg * 2

24 Seng (Zn) mg/kg * 500

Unsur lain

25 Kalsium % * 25,5

26 Magnesium (Mg) % * 0,6

27 Besi (Fe ) % * 2

28 Aluminium ( Al) % * 2,2

29 Mangan (Mn) % * 0,1

Bakteri

30 Fecal coli MPN/gr 1000

31 Salmonella sp. MPN/4 gr 3

Keterangan : * Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum Sumber : Badan Standar Nasional (2004)


(5)

15 Lampiran III. Hasil Identifikasi Bakteri MOL

No Identifikasi MOL Bonggol Pisang

Bakteri Kuning Bakteri Putih Bakteri Putih Krem Bakteri Putih Krem

1 Warna Kuning Putih Susu Putih Krem Putih Krem

2 Bentuk Koloni Circular Circular Circular Curled

3 Bentuk Tepi Entire Entire Entire Undulate

4 Struktur Dalam Opaque Translucent Translucent Coarsely granular

5 Elevasi Law Convex Effuse Effuse Effuse

6 Aerobisitas Fakultatif aerob Aerob Fakultatif anaerob Fakultatif aerob

7 Sifat Gram Positif Positif Positif Positif

8 Bentuk Sel Basil Coccus Coccus Basil

No Identifikasi MOL Bambu

Bakteri Putih Krem Bakteri Putih Bakteri Putih Krem Bakteri Putih Bening

1 Warna Putih krem Putih Putih Krem Putih bening

2 Bentuk Koloni Circular Circular Curled Circular

3 Bentuk Tepi Entire Entire Unduate Crenate

4 Struktur Dalam Translucent Translucent Coarsely granular Coarsely granular

5 Elevasi Law convex Law convex Effuse Law convex

6 Aerobisitas Fakultatif aerob Aerob Aerob Fakultatif aerob

7 Sifat Gram Positif Positif Positif Positif

8 Bentuk Sel Coccus Coccus Basil Coccus

No Identifikasi MOL Rumen Sapi

Bakteri Putih krem Bakteri Putih krem bening Bakteri Putih bening Bakteri Putih

1 Warna Putih krem Putih krem bening Putih bening Putih

2 Bentuk Koloni Circular Circular Circular Curled

3 Bentuk Tepi Ciliate Entire Entire Undulate

4 Struktur Dalam Filamentous Opaque Transparent Finely granular

5 Elevasi Effuse Law convex Effuse Effuse

6 Aerobisitas Fakultatif aerob Anaerob Fakultatif anaerob Aerob

7 Sifat Gram Positif Positif Positif Positif

8 Bentuk Sel Basil Basil Basil Basil

No Identifikasi MOL Rumen Sapi

Bakteri Putih susu Bakteri Putih krem Bakteri Putih krem Bakteri Putih krem

1 Warna Putih susu Putih krem Putih krem Putih krem

2 Bentuk Koloni Curled Curled Circular Circular

3 Bentuk Tepi Undulate Lobate Entire Entire

4 Struktur Dalam Translucent Finely granular Transparent Translucent

5 Elevasi Effuse Effuse Effuse Law convex

6 Aerobisitas Fakultatif aerob Fakultatif anaerob Aerob Fakultatif anaerob

7 Sifat Gram Positif Positif Positif Positif

8 Bentuk Sel Basil Basil Coccus Coccus

No Identifikasi MOL Rumen Sapi

Bakteri Putih krem Bakteri Putih krem bening Bakteri Putih Bakteri Putih krem

1 Warna Putih krem Putih krem bening Putih Putih krem

2 Bentuk Koloni Circular Circular Curled Circular

3 Bentuk Tepi Undulate Lobate Undulate Entire

4 Struktur Dalam Opaque Coarsely granular Opaque Translucent

5 Elevasi Effuse Effuse Effuse Effuse

6 Aerobisitas Aerob Fakultatif anaerob Aerob Fakultatif anaerob

7 Sifat Gram Positif Positif Positif Positif


(6)

xii

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengaji aktivitas dan perubahan kompos limbah kulit kakao selama proses dekomposisi berlangsung, mengaji pengaruh beberapa bioaktivator MOL terhadap kualitas kompos kulit kakao dan menentukan bioaktivator MOL yang efektif dalam dekomposisi kulit kakao. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – September 2016, dengan menggunakan metode percobaan, disusun dalam RAL (Rancangan Acak Lengkap) faktor tunggal dengan 4 perlakuan yaitu 1 liter/25kg MOL bonggol pisang, 1 liter/25kg MOL bambu, 1 liter/25kg MOL isi rumen sapi dan 50 ml/25kg EM4. Masing – masing diulang tiga kali sehingga terdapat 12 unit percobaan. Parameter yang diamati meliputi pengamatan fisik, kimia, mikrobiologi dan kematangan kompos.

Identifikasi mikroba dari MOL bonggol pisang, MOL bambu dan MOL rumen sapi menghasilkan 13 jenis bakteri dan 3 jenis cendawan. Bakteri MOL tersebut diduga Bacillus sp. dan Steptococcus sp. Cendawan MOL diduga kelompok dari Penicillium sp., Aspergillus sp. dan Trichoderma sp. Bioaktivator MOL bonggol pisang, MOL bambu dan MOL rumen sapi dapat digunakan sebagai alternatif pengganti EM4 dalam pengomposan kulit kakao. MOL bonggol pisang, MOL rebung bambu, MOL rumen sapi dan EM4 mengalami perubahan secara bersamaan dalam proses pematangan kompos. Kompos kulit kakao pada MOL bonggol pisang, MOL rebung bambu, MOL rumen sapi dan EM4 telah sesuai dengan standar kualitas SNI kompos 19-7030-2004, kecuali C/N rasio. Kata kunci : Bioaktivator, MOL, Kompos Kulit Kakao