Tingkat Keparahan Interaksi Obat Prevalensi Interaksi Obat

30 b. Interaksi antagonis atau berlawanan Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan Stockley, 2008.

2.3 Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga level : minor, moderate, atau major. 1. Keparahan minor Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya Bailie, 2004. 2. Keparahan moderate Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensimonitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas Bailie, 2004. 31 3. Keparahan major Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen Bailie, 2004. Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian eritromisin dan terfenadin Piscitelii, 2005.

2.4 Prevalensi Interaksi Obat

Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena 1 dokumentasinya masih sangat jarang; 2 seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan pada dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat sedangkan interaksi berupa penurunan efektivitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit; selain itu terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat; dan 3 kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual populasi tertentu lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas metabolisme antar individu, penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah, dan faktor-faktor lain dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik Setiawati, 2007. Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus polifarmasi yang menjadi kebiasaan para dokter memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu survai yang dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada penderita yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek samping pada penderita yang 32 mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5, sedangkan yang mendapat 16-20 macam obat adalah 54. Peningkatan efek samping obat yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga semakin meningkat Setiawati, 2007. Estimasiperkiraan terbaik terhadap prevalensi reaksi obat merugikan berasal dari program survey yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug dimana interaksi obat ditetapkan sebanyak 7 dari reaksi obat merugikan di rumah sakit Caruthers, 2000. Laporan secara keseluruhan terhadap frekuensi interaksi obat-obat sangat bervariasi di literatur. Laju insidensi yang dilaporkan pada tahun 1970-an dan 1980-an dalam range 2,2 – 70,3 untuk pasien rawat jalan, rawat inap, atau pasien yang mendapat perawatan di rumah. Secara keseluruhan, insidensi interaksi obat potensial yang berbahaya secara umum rendah, tetapi pada populasi seperti orang tua, orang-orang dengan kemampuan metabolisme lama atau lambat, orang- orang dengan disfungsi hati dan ginjal, dan orang-orang yang mendapatkan banyak obat, khususnya penggunaan obat off-label lebih berisiko. Data yang dikumpulkan pada tahun 1995-1997 menunjukkan bahwa interaksi obat potensial sebesar 75 pada populasi pasien HIV, dengan insidensi interaksi yang signifikansi klinisnya aktual sebesar 25 Piscitelli, 2005. Di Indonesia, sebuah hasil penelitian yang dilakukan di rumah sakit pendidikan Dr. Sardjito Jogjakarta menunjukkan bahwa interaksi obat terjadi pada 59 pasien rawat inap dan 69 pasien rawat jalan Rahmawati, 2006. 33

2.5 Faktor-faktor Penyebab Interaksi Obat