mengenai  pertanggungjawaban  pidana  yang  dilakukan  oleh  korporasi  terhadap  tindak  pidana illegal logging.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan bertujuan untuk memberikan manfaat terhadap sebuah ilmu. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi  perkembangan  ilmu  terhadap  pemberantasan  kasus  illegal  logging  dengan  menganalisa
Undang-Undang  untuk  mengetahui  bagaimana  pengaturan  mengenai  illegal  logging  demi terciptanya penegakan dan kepastian hukum.
b.Manfaat Praktis
Secara  praktis,  hasil  dari  penelitian  ini  diharapkan  mampu  memberikan  manfaat  untuk lebih  mengembangkan  penalaran,  membentuk  pola  pikir  yang  dinamis,  sekaligus  untuk
mengetahui kemampuan penyusun dalam mengkaji dan menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh di bangku  perkuliahan  sehingga  mampu  menemukan  jawaban  dan  memberikan  solusi  atas
permasalahan yang diteliti khususnya mengenai tindak pidana illegal logging.
1.6LANDASAN TEORITIS
Hubungan antara  negara dengan hutan dan kehutanan erat  kaitannya dengan kedudukan negara sebagai organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan mengatur
perencanaan,  peruntukan  dan  penggunaan  hutan.  Sesuai  dengan  fungsinya,  asas-asas  hukum kehutanan terdiri dari
8
:
1.  Asas Manfaat Asas  manfaat  mengandung  makna  bahwa  pemanfaatan  sumber  daya  hutan  harus  dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 2.  Asas Kelestarian
Asas  kelestarian  mengandung  pengertian  bahwa  pemanfaatan  sumber  daya  hutan  harus senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan agar mampu memberikan
manfaat yang terus menerus. 3.  Asas Perusahaan
Asas perusahaan adalah pengusaha harus mampu memberikan keuntungan finansial yang layak.
4.  Asas Perlindungan Hukum Asas  perlindungan  hutan  adalah  suatu  asas  yang  setiap  orang  atau  badan  hukum  harus
ikut  berperan  serta  untuk  mencegah  dan  membatasi  kerusakan  hutan    dan  hasil  hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, daya-daya alam, hama dan penyakit.
Hukum  memiliki  peranan  penting  dalam  berbagai  hal  terutama  mengenai  ketertiban. Dimana  ada  masyarakat  disana  ada  hukum  ubi  societas  ibi  ius.  Hukum  tumbuh  mengikuti
perkembangan  masyarakatnya.  Selain  berfungsi  sebagai  pelindung  subjek  hukum,  hukum diciptakan  sebagai  suatu  sarana  untuk  menciptakan  hak  dan  kewajiban  subjek  hukum  secara
wajar.  Menurut  Sudikno  Mertokusumo,  hukum  berfungsi  sebagai  pelindung  kepentingan
8
Supriadi, 2011, Hukum Kehutanan  Hukum Perkebunan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 72.
manusia.  Agar  kepentingan  manusia  terlindungi,  maka  hukum  harus  dilaksanakan.  Dalam pelaksanaan hukum diperlukan suatu asas yaitu asas legalitas untuk menegakkan
suatu  keadilan  dan  kepastian  hukum.  Asas  tersebut  berarti  tiada  suatu  perbuatan  yang  dilarang dan  diancam  dengan  pidana  jika  tidak  ditentukan  terlebih  dahulu  dalam  perundang-undangan
Pasal 10 KUHP. Setiap orang maupun badan hukum  harus tunduk terhadap hukum  karena kajian hukum
itu  sendiri  adalah  masyarakat.  Jadi  selain  sebagai  makhluk  individu  masyarakat  juga  disebut sebagai  makhluk  sosial  zoon  politicon  yang  selalu  bergantung  saru  sama  lain  dalam
membentuk  suatu  masyarakat.  Selain  itu  manusia  juga  bergantung  pada  alam  sekitarnya  untuk mempertahankan  kehidupannya  dengan  memanfaatkan  sumber  daya  alam.  Namun  terkadang
dalam  pemenuhan  kebutuhan  hidupnya,  tidak  semua  manusia  mampu  berpikir  secara  ideal melainkan  sebagian  ada  yang  mempunyai  pemikiran  buruk  untuk  memanfaatkan  kesempatan
yang ada dengan cara ilegal sehingga timbullah perbedaan kepentingan dalam satu interaksi yang mengakibatkan  adanya  perselisihan  yang  mengganggu  keserasian  hidup  sehingga  manusia
membutuhkan suatu aturan untuk menjaga hubungan tersebut agar tetap harmonis. Permasalahan  tersebut  bisa  timbul  dari  sudut  mana  saja.  Seperti  yang  akan  kita  bahas
dalam penulisan skripsi ini yakni mengenai pembalakan liar illegal logging. Menurut Sukardi, berdasarkan  pengertian  secara  harafiah  dapat  dikatakan  bahwa  illegal  logging  menurut  bahasa
berarti  menebang  kayu  kemudian  membawa  ke  tempat  gergajian  yang  bertentangan  dengan hukum  atau  tidak  sah  menurut  hukum.
9
Selain  itu  menurut  pendapat  Prasetyo  yang mengungkapkan  bahwa  ada  7  tujuh  dimensi  dari  kegiatan  illegal  logging,  yaitu  1
perizinan,apabila  kegiatan  tersebut  tidak  ada  izinnya  atau  belum  ada  izinnya  atau  izinnya kadaluarsa,  2  praktik,  apabila  pada  praktiknya  tidak  menerapkan  praktik  logging  yang  sesuai
9
Salim, dalam Sukardi, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum Pidana Kasus Papua, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hlm. 72.
peraturan,  3  lokasi,  apabila  dilakukan  diluar  lokasi  izin,  menebang  dikawasan konservasilindung, atau usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, 4 produksi kayu, apabila kayunya
sembarang  jenis  dilindungi,  tidak  ada  batas  diameter,  tidak  ada  identitas  asal  kayu,  tidak  ada tanda  pengenal  perusahaan,  5  dokumen,  apabila  tidak  ada  dokumen  sahnya  kayu,  6
melakukan  perbuatan  melanggar  hukum  dibidang  kehutanan,  7  penjualan,  apabila  pada  saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu dalam artian kayu diselundupkan.
10
Tidak adanya definisi khusus mengenai illegal logging, maka sejumlah ahli memberikan pendapatnya  masing-masing  mengenai  illegal  logging.  Illegal  logging  sebagai  satu  bentuk
kejahatan lingkungan telah menjadi salah satu kendala utama dalam mewujudkan sebuah sistem kelola  hutan  Indonesia  bagi  terwujudnya  kesejahteraan  seluruh  lapisan  masyarakat.  Dalam
kategori  hukum  pidana,  illegal  logging  termasuk  ke  dalam  tindak  pidana  khusus  yaitu  untuk delik-delik  kehutanan  yang  menyangkut  pengelolaan  hasil  hutan  kayu.  Unsur  tindak  pidana
illegal logging, meliputi : a.
Perbuatan,  baik  disengaja  maupun  karena  kelalaian  yang  mengakibatkan  kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya.  Namun  ketentuan tersebut  khusus  pada
kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata.
b. Perbuatan,  baik  disengaja  maupun  karena  kelalaian  mengambil,  menebang,  memiliki,
merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut,
memperniagakan dan
menyelundupkan  hasil  hutan,  namun  demikian  ketentuan  tersebut  khusus  terhadap  hasil hutan  berupa  tumbuhan  yang  dilindungi  yaitu  jenis  spesies  tertentu  yang  terancam
kepunahan.
10
Supriadi, op.cit, hlm 300
Korporasi  sebagai  salah  satu  pelaku  dalam  tindak  pidana  Illegal  Logging,  belum sepenuhnya  diatur  dalam  ketentuan  perundang-undangan.  Maka  dari  itu  diperlukan  upaya
pemerintah  untuk  membentuk  suatu  aturan  khusus  mengenai  korporasi  sebagai  subjek  hukum dalam  tindak  pidana  Illegal  Logging.  Mengenai  pembentukan  peraturan  perundang-undangan,
dikenal  adanya  Teori  jenjang  norma.  Teori  ini  dikembangkan  oleh  Hans  Nawiasky  yang merupakan  salah  satu  murid  Hans  Kelsen,  dalam  bukunya  yang  berjudul
“Allgemeine Rechtslehre
”Nawiasky mengemukakan bahwa suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni norma yang berada dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma
yang  lebih  tinggi  dan  begitu  seterusnya  sampai  pada  suatu  norma  yang  tertinggi  yang  disebut norma  dasar.  Nawiasky  menambahkan  bahwa  selain  norma  itu  berlapis-lapis  dan  berjenjang,
norma hukum juga berkelompok, yaitu terdiri dari
11
: 1.
Staatsfundamentalnorm norma fundamental negara; 2.
Staatsgrundgezets aturan dasar negara;
3. Formell Gezets undang-undang formal;
4. Verordnung dan Autonome Satzung aturan pelaksana dan aturan otonom.
Menurut  Moeljatno,  tindak  pidana  adalah  perbuatan  yang  dilarang  oleh  suatu  aturan hukum,  larangan  mana  disertai  dengan  ancaman  sanksi  yang  berupa  pidana  tertentu  barang
siapa yang melanggar aturan tersebut. Berbagai rumusan tindak pidana illegal logging dalam UU Kehutanan  tercantum  unsur  sengaja  atau  kealpaan  maka  dapat  dikatakan  bahwa
pertanggungjawaban  pidana  dalam  delik  ini  menganut  prinsip  liability  based  on  fault
11
Maria  Farida  Indrati  Soeprapto,  2010,  Ilmu  Perundang-Undangan  :  Jenis,  Fungsi  dan  Mated  Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 41.
pertanggung  jawaban  berdasarkan  kesalahan.  Hukum  dan  sanksi  yang  dianut  hukum  pidana membedakan hukum pidana dengan hukum lainnya. Tujuan pemidanaan memiliki 3 tiga teori,
yakni : 1.  Teori imbalan absolutevergeldingstheorie
Menurut  teori  ini,  dasar  hukuman  harus  dicari  dari  kejahatan  itu  sendiri.  Karena kejahatan  itu  telah  menimbulkan  penderitaan  bagi  orang  lain,  sebagai  imbalannya
vergelding si pelaku juga harus diberi penderitaan. 2.  Teori maksud dan tujuan relativedoeltheorie
Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari  hukuman  itu,  yakni  memperbaiki  ketidakpuasan  masyarakat  sebagai  akibat
kejahatan itu. Tujuan hukuman itu harus dipandang secara ideal.
3.  Teori gabungan verenigingstheorie Pada  dasarnya,  teori  gabungan  adalah  gabungan  dari  kedua  teori  diatas.  Gabungan
kedua  teori  itu  mengajarkan  bahwa  penjatuhan  hukuman  adalah  untuk mempertahankan  tata  tertib  hukum  dalam  masyarakat  dan  memperbaiki  pribadi  si
penjahat.
12
Ketiga  tujuan  diatas,  dalam  hal  pemberian  pidana  harus  lebih  subyektif  sehingga  tepat sasaran  terhadap  siapa  saja  yang  menjadi  pelaku  illegal  logging  khususnya  dalam  penulisan
skripsi ini  yang disoroti adalah korporasi.  Mengenai  perwujudan korporasi  sudah berabad-abad lamanya  menjadi  perselisihan  dan  perjuangan  pendapat  para  ahli  hukum.  Selama  belum
ditemukannya  suatu  pandangan  dan  pendapat  yang  tepat  mengenai  bentuk-bentuk  pengertian
12
Ibid, hlm. 21.
umum  dalam  ilmu  pengetahuan  maupun  bagi  tafsiran  peraturan  perundang-undangan  pada khususnya,  selama  itu  pula  akan  tetap  muncul  berbagai  macam  tafsiran  mengenai  korporasi.
Untuk mengetahui sejauh mana korporasi mempunyai hak dan kewajiban dalam bertindak secara hukum, maka timbullah bermacam-macam teori tentang pertanggungjawaban korporasi.
Menurut  Barda  Nawawi  Arief
13
,  dalam  bukunya  yang  berjudul “Sari  Kuliah
Perbandingan Hukum ” hanya menyebutkan 4 empat teori tentang pertanggungjawaban pidana
korporasi,  yaitu  :  doktrin  pertanggungjawaban  pidana  direct  liability  doctrine  atau  sering disebut  teori  identifikasi  identification  theory;  doktrin  pertanggungjawaban  pidana  pengganti
vicarious  liability;doktrin  pertanggungjawaban  pidana  yang  ketat  menurut  Undang-Undang strict liability;dan teori budaya korporasi company culture theory.
Sebagai  salah  satu  negara  yang  mengalami  proses  modernisasi  dengan  melihat  sejarah pertumbuhan  korporasi,  Indonesia  mengakui  bahwa  korporasi  merupakan  subjek  tindak  pidana
dan  dapat  dipertanggungjawabkan  dalam  hal  penjatuhan  pidana.  Pertanggungjawaban  pidana korporasi  dalam  Undang-Undang  terkait,  baru  dapat  dibebankan  kepada  pengurus  korporasi
sebagai  pembuat  dan  penguruslah  yang  bertanggung  jawab,  kepada  pengurus  korporasi dibebankan  kewajiban  tertentu.  Kewajiban  yang  dibebankan  itu  sebenarnya  adalah  kewajiban
dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana, sehingga dalam  sistem  ini  terdapat  alasan  yang  menghapuskan  pidana.  Sedangkan  dasar  pemikirannya
adalah  korporasi  itu  sendiri  tidak  dapat  dipertanggungjawabkan  terhadap  suatu  pelanggaran, melainkan  penguruslah  yang  bertanggungjawab  dan  diancam  pidana  terhadap  delik  yang
dilakukan atas nama korporasi.
13
Barda Nawawi Arief, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Get. Ke-II, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 246.
Setiap  kejahatan  dimungkinkan  adanya  aturan  yang  mengatur  untuk  menghindari terjadinya pelanggaran yang disebabkan oleh ulah manusia demi memenuhi kebutuhannya secara
pribadi.  Terkait  hal  ini,  dalam  membuat  suatu  aturan  hukum  harus  didahulukan  adanya  suatu proses  penemuan  hukum.  Menurut  Sudikno  Mertokusumo
14
,  penemuan  hukum  adalah  proses pembentukan  hukum  oleh  hakim  atau  petugas-petugas  hukum  lainnya  yang  diberi  tugas
menerapkan  hukum  terhadap  peristiwa-peristiwa  hukum  yang  konkret,  dengan  kata lainmerupakan  proses  konkretisasi  atau  individualisasi  peraturan  hukum  das  sollen  yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret das sein tertentu, yang penting dalam penemuan  hukum  adalah  bagaimana  menemukan  hukum  untuk  peristiwa  yang  konkret.  Ada
beberapa aliran yang melandasi dalam hal penemuan hukum, yakni
15
: 1.  Aliran Legisme
Aliran  ini  berpandangan  bahwa  satu-satunya  sumber  hukum  adalah  Undang-Undang, karena  Undang-Undang  dianggap  sudah  lengkap  dan  jelas  dalam  mengatur  semua
persoalan  hukum.  Kedudukan  hakim  ada  dibawah  Undang-Undang  sebagai  pelaksana sehingga hakim tidak berwenang mengubah isi Undang-Undang.
2.  Aliran Historis Aliran  ini  berpandangan  bahwa  Undang-Undang  sebagai  sumber  hukum  saja  tidak
lengkap. Konsekuensinya akan terdapat kekosongan dan ketidakjelasan dalam Undang- Undang,  oleh  karena  itu  hakim  dapat  membuat  hukumnya  judge  made  law.  Hukum
kebiasaan  dan  yurisprudensi  dapat  melengkapi  Undang-Undang  dan  dianggap  sebagai unsur sistem hukum.
3.  Begriffjurisprudenz
14
Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, hlm. 28.
15
Ibid, hlm. 52.
Aliran ini memberikan kebebasan pada hakim, jadi hakim tidak perlu terikat pada bunyi Undang-Undang,  tetapi  dapat  mengambil  argumentasinya  dan  peraturan  hukum  yang
tersirat  dalam  Undang-Undang.  Kesalahan  dari  aliran  ini  adalah  terlalu  menjunjung rasio  dan  logika  dalam  meluaskan  Undang-Undang  sampai  terbentuknya  hukum.
Penganutaliraninisecaraterbalikmemandangalatsebagaitujuan  sehingga  keadilan  dan manfaat kemasyarakatan tidak tercapai.
4.  Penemuan Hukum Modern Pada aliran ini, yang menjadi titik tolak bukan pada sistem perundang-undangan, tetapi
masalah  kemasyarakatan  konkret  yang  harus  dipecahkan.  Tujuan  pembentuk  Undang- Undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan.
Keempat  aliran  yang  melandasi  dalam  hal  terjadinya  penemuan  hukum,  terkait  dengan tulisan  ilmiah  ini  penulis  mengasumsikan  bahwa  aliran  yang  paling  penting  digunakan  adalah
penemuan  hukum  modern.  Hal  tersebut  dikarenakan  dalam  aliran  hukum  modern,  tidak  hanya berpatokan  pada  peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku  saja  akan  tetapi  -melihat  pada
kenyataan yang ada bahwa adanya Undang-Undang yang mengatur tindak pidana illegal loging, belum  mampu  memberikan  kepastian  hukum  dalam  hal  penjatuhan  pidana  terhadap  pelakunya
baik  pribadi  maupun  badan  hukumkorporasi.  Untuk  itu  diharapkan  pembuat  Undang-Undang merancang dan menetapkan aturan yang baru dengan tujuan memberikan keadilan dan kepastian
hukum bagi masyarakat. Terjadinya  kerusakan  hutan  di  Indonesia  hampir  dapat  dipastikan  70  sampai  80  persen
merupakan  akibat  dari  perbuatan  manusia,  oleh  karena  itu  pemerintah  telah  mengeluarkan berbagai  kebijakan  hukum  agar  dapat  memberantas  atau  setidaknya  meminimalisir  kerusakan
hutan  yang  diakibatkanoleh  perbuatan  manusia.  Kebijakan  hukum  yang  dimaksud  adalah
kebijakan hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, masalah kebijakan hukum pidana pada hakikatnya  bukanlah  semata-mata  menggunakan  teknik  perundang-undangan  yang  dilakukan
secara  yuridis  normatif  dan  sistematif  dogmatik.  Disamping  pendekatan  yuridis  faktual  juga dapat  berupa  pendekatan  komprehensif  dari  berbagai  disiplin  ilmu  sosial  lainnya  serta
pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.
16
Barda mengemukakan  pola  hubungan  antara  kebijakan  hukum  pidana  penal  policy  dengan  upaya
penanggulangan  kejahatan,  bahwa  pencegahan  dan  penanggulangan  kejahatan  harus  dilakukan dengan pendekatan integral dan ada keseimbangan antara penal dan non penal. Pencegahan dan
pendekatan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau Penal Law Enforcement Policy,  yang  fungsionalisasinya  melalui  beberapa  tahap  seperti  tahap  Formulasi  kebijakan
legislatif,  Aplikasi  kebijakan  yudikatif  dan  Eksekusi  kebijakan  Administratif.  Sedangkan upaya  non  penal  dapat  ditempuh  dengan  upaya  preventif,  berupa  pendekatan  agama,  budaya,
moral dan edukatif.
1.7 METODE PENELITIAN