3. Transformasi Sosial Politik Massa NU
Transformasi sosial politik yang berjalan di kalangan warga nahdliyyin tidak terselesaikan secara tuntas. Dalam era multi partai, usaha
menuju identitas politik NU relatif seragam dengan basis utama pada kepartaian yang direstui PBNU. Sebagai instrumen dari transformasi itu,
PBNU dianggap sekadar mengakomodasi keinginan figur K.H. Abdurrahman Wahid, sehingga lebih banyak mengalahkan aspirasi
sebagian warga NU. Akibatnya terjadi personifikasi dan institusionalisasi pada figur K.H. Abdurrahman Wahid Nur Hidayat, 1999: 7.
Rentang respons dalam menghadapi perubahan yang bergerak dari kutub ekstrem menolak dan menerima dalam dirinya sudah mengandung
elemen dan peluang ke arah ketidakteraturan, ketidaktertiban, ketiadaan koordinasi, yang semuanya kondisional bagi tindak kekerasan dan anarkis.
Baik mereka yang menerima maupun menolak, keduanya bersedia menggunakan segala sumber yang dimilikinya untuk mempertahankan
posisi dan kepentingannya. Kondisi seperti ini merupakan artikulasi konservatisme dan
pelestarian status quo di satu pihak, dengan desakan reformasi kaum pembaru di pihak lain. Jika hal pertama cenderung melihat kebelakang dan
ke dalam sikap tertutup, maka hal kedua cenderung melihat ke depan dan keluar sikap terbuka. Hal pertama pada dasarnya tidak bersedia
memberikan konsesi, atau kalau bersedia hanya karena ketersudutan, konsesi itu hanya akan diberikan sebatas minimal, diperlukan untuk tetap
eksis dan berperan. Sebaliknya, kelompok reformasi cenderung membongkar satus quo secara struktural agar tercapai target pengambil
alihan dominasi kekuasaan secara menguntungkan pihaknya. Konflik kekerasan politik di Desa Dongos sebagai gambaran
konflik internal elite NU. Pada satu pihak mempertahankan posisinya sebagai elite politik dari partai politik yang telah mapan yang selama ini
ada yaitu PPP, dan di pihak lain, menginginkan perubahan yang mendasar dengan mendirikan partai sendiri, yang bersifat terbuka dengan platform
politik berwawasan kebangsaan, mewadahi kepentingan bangsa secara keseluruhan, tidak berkutat pada orientasi politik eksklusif Wawancara
dengan Maswan, 28 Juni 2007. Konflik elite itu ditransformsikan pada tingkatan horisontal, dan distorsi untuk menampilkan dan menonjolkan
politik identitas, dan konflik berwajah agama dalam bentuk yang sangat fulgar.
Proses transformasi politik NU tidak tuntas, mengakibatkan sikap ambivalen elite NU, yang menjadi sumber konflik di tingkat massa. Di
antara sekian pemicu bentrok antara pendukung PKB dan pendukung PPP adalah kesan bahwa PBNU menganakemaskan PKB dan menganaktirikan
partai warga NU lainnya. Walaupun PBNU tidak berpolitik praktis, dan tetap berpegang pada khittah 1926. Tapi dalam kenyataannya pengurus NU
terlibat dalam politik praktis, memihak dan mendukung PKB. Hal ini sebagai pemicu konflik dan penyulut protes dari sebagian warga dan tokoh
NU untuk mempertahankan kenetralan pengurus NU.
4. Kesenjangan Sosial-Ekonomi