masalah, yang berorientasi pada pembentukan kerja sama antar komunitas menuju koeksistensi damai.
Kerusuhan sosial di Desa Dongos merupakan konflik politik identitas komunal berdasarkan ajaran agama.konflik demikian, selain berdimensi
horisontal berupa konflik identitas antar komunitas atau massa, juga berdimensi vertikal antara massa dan elite politik yang menggunakan identitas
komunal agama sebagai basis konflik. Penyelesaian konflik kekersan demikian, model yang cocok untuk rekonsiliasi adalah multijalur, di mana
satu sisi melakukan negosiasi tingkat tinggi di level atas agar tidak mengimbas ke bawah. Dan di sisi lain, mengembangkan kultur demokrasi di
tingkat massa, yaitu dengan menekankan pada dialog-dialog pemecahan masalah secara informal di akar rumput Mulkhan, 2001: 147-158.
2. Pendekatan Dialog Menuju Transformasi Konflik
Dalam rangka memberdayakan masyarakat Dongos dalam penyelesaian konflik kekerasan, pihak ketiga melakukan fungsinya sebagai
fasilitator terbentuknya forum-forum dialog di masyarakat secara informal. Dengan model dialog-dialog informal secara intensif, yang berfungsi
menfasilitasi tumbuhnya inisiatif dan partisipasi aktif masyarakat, maka kondisi kekerasan di Desa Dongos bisa berkurang, ketegangan diturunkan,
prasangka dikikis, dan akhirnya konflik dapat ditransformasikan menuju kerja sama antar komunitas dalam suasana damai. Dengan dialog yang intensif di
masyarakat dapat mendekonstruksi wacana konflik yang dominan, konflik kekerasan politik berdasarkan paham keagamaan, yang dalam kenyataannya
sering dimanfaatkan oleh elite politik untuk membangkitkan sentimen paham agama untuk memobilisasi massa pendukung.
Penyelesaian yang diinginkan masyarakat adalah penyelesaian yang mengedapankan dialog-dialog informal yang melibatkan partisipasi dan
komunikasi secara adil dan setara di msyarakat. Model dialog ini akan menciptakan peluang sangat terbuka untuk berkembangannya komunikasi dan
hubungan sosial untuk membangun kembali hubungan dan kerja sama antar komunitas yang selama ini telah berkonflik. Model resolusi demikian secara
horizontal bisa mendorong transformasi konflik secara mulia, karena tidak bersifat mengalahkan lawan namun bisa mengubah pikiran lawan, sehingga
penyelesaian konflik bersifat positive sum game, kedua kelompok yang berkonflik sama-sama diuntungkan dan memperoleh manfaat dari berhentinya
konflik. Secara vertikal, bisa memberdayakan warga komunitas lapisan bawah untuk terbebas dari dominasi dan rekayasa elite politik untuk mobilisasi massa
memperoleh dukungan politik. Melalui dialog ini bangunan persepsi yang telah menjebak mereka
dalam kerusuhan sosial selama ini akan terbongkar dan akan terbangun intersubjektif baru untuk menata bangunan persepsi dan wacana yang baru.
Model dialog intersubjektif ini sangat penting untuk mencegah, mengatasi dan menyelesaikan konflik ditransformasikan menuju rekonsiliasi damai pada
tingkat akar rumput. Karena kerusuhan di Desa Dongos tidak hanya berdimensi horizontal, tapi juga berdimensi vertikal dalam arti stuktural, maka
model penyelesaian dengan menggunakan pendekatan dialog tidak cukup hanya di tingkat bawah. Dalam hal ini, pendekatan dialog multitracks sangat
penting untuk penyelesaian kerusuhan sosial di Desa Dongos yang bersifat multidimensional. Pendekatan multilevel ini meliputi: negosiasi tingkat tinggi
untuk lapisan atas, dialog pemecahan masalah untuk lapisan menengah, dan dialog intersubjektif untuk lapisan bawah Hugh Mial, 2000: 20.
Model pendekatan multitracks tidak hanya untuk mencapai target penyelesaian kerusuhan di Desa Dongos, namun diupayakan untuk
mewujudkan rekonsiliasi. Rekonsiliasi bukan hanya sebuah cara resolusi konflik, yang dilakukan untuk menemukan penyelesaian masalah yang
menjadi sumber konflik, tetapi sebuah proses yang bekerja untuk mengubah hubungan pihak-pihak berkonflik dari permusuhan menuju pertemuan dan
kerja sama. Menurut hizkias Assefa, rekonsiliasi terjadi apabila mencakup
beberapa elemen berikut: 1 pengakuan jujur dan terbuka dari masing-masing pihak tentang kekerasan yang mereka lakukan satu sama lain, 2 menyesali
secara mendalam kekerasan yang pernah dibuat, 3 kesiapan untuk minta maaf atas kekerasan yang pernah dibuat, 4 kesiapan dari salah satu pihak
berkonflik untuk menghilangkan kemarahan dan dendam terhadap kelompok lain yang mengaku kesalahan atau melakukan kekerasan, 5 komitmen pelaku
kekerasan untuk tidak mengulangi perbuatannya, 6 upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki kesalahan masa lalu yang menimbulkankonflik dan mau
memperbaiki, merehabilitasi kekerasan dan kerusakan yang ditimbulkan di masa lalu, dan 7 siap memasuki hubungan baru yang terbuka secara timbal
balik Mulkhan, 2001: 209-210. Tahapan realisasi itu dapat direalisasikan secara maksimal, manakala
diikuti dengan upaya pencegahan, penghentian dan penyelesaian kerusuhan secara terpadu. Upaya itu didukung oleh partisipasi aktif warga masyarakat,
melalui dialog intersubjektif, yang difasilitasi oleh pihak ketiga untuk membentuk lembaga non pemerintahan, yang bekerja dan mempunyai fungsi
utama untuk melakukan aktivitas mediasi proses rekonsiliasi, memberdayakan masyarakat lokal untuk memelihara kerja sama sosial pasca kerusuhan.
3. Pendekatan Melalui Institusi Demokrasi