PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Pada Putusan Nomor 116/Pid.B/2012/PN.TK)

(1)

(2)

(Studi Pada Putusan Nomor 116/Pid.B/2012/PN.TK)

Oleh

Hengki Kurniawan

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(3)

(Studi Pada Putusan Nomor 116/Pid.B/2012/PN.TK)

(Skripsi)

Oleh:

Hengky Kurniawan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(4)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana……….. 15

B. Tindak Pidana Pencabulan……….….…… 21

C. Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana……….…… 23

D. Pengertian Anak………..…… 26

E. Ketentuan Pidana Mengenai Perbuatan Cabul Terhadap Anak dan Unsur-unsurnya……….. 28

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah……….…………..……….. 37

B. Sumber dan Jenis Data……….…………..……….. 37

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data….…..…….……….. 39


(5)

B. Gambaran Umum Putusan Nomor 116/Pid.B/2012/PN.TK……….. 43 C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anggota Kepolisian Yang

Melakukan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak ... 46 D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Terhadap Anggota Kepolisian Yang Melakukan Tindak Pidana

Pencabulan Terhadap Anak……….……… 53

V. PENUTUP

A. Kesimpulan………..………. 62 B. Saran……….……… 63


(6)

Atmasasmita, Romli. 2003, Kepenjaraan dalam suatu bunga rampai, Armico, Bandung.

Chazawi. Adami. 2001.Pelajaran Hukum Pidana.Rajagrafinda Persada. Jakarta Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1991. Kamus besar bahasa Indonesia.

Balai pustaka, Jakarta.

Hamzah. Andi. 2008.Hukum Acara Pidana.Grafika.Jakarta

Huda, Chairul, 2006,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media. Jakarta. Lamintang P.A.F, 2009. Delik Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma

Kesusilaan dan Norma Kepatutan. Sinar Grafika.

Marpaung Leden, 2008, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno. 1993,Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirdjono. 2003. Asas Asas Hukum Pidana. Refika Aditama. Bandung

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta.

_____________________. 2008. Tindak pidana tertentu di Indonesia, Refikaaditama. Bandung

Saleh, Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

Soesilo. Prajogo. 2007.Kamus Hukum,Wacana Intelektual, Jakarta. Soedjono.1976.penanggulangan hukum pidana.Bandung, alumni.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981).


(7)

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. www.radarlampung.co.id


(8)

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu persoalan yang muncul dipermukaan dalam kehidupan ialah tentang kejahatan pada umumnya terutama mengenai kejahatan dan kekerasan. Masalah kejahatan merupakan masalah kehidupan umat manusia karena kejahatan berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan masalah kejahatan maka kekerasan menjadi pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri, dilihat dari perspektif kriminologi kekerasan ini menuju pada tingkah laku yang berbeda-beda baik mengenai motif maupun tindakannya seperti kasus pencabulan.

Realitas angka tindak pidana pencabulan terhadap anak tidak dapat lagi dipungkiri dari tahun ketahun semakin meningkat, delik pencabulan terhadap anak memberi sinyal bahwa adanya prilaku penyiksaan atau kekerasan seksual terhadap kaum wanita, pria, maupun anak pada khususnya. Hal ini memberi catatan dan tanggung jawab bagi institusi penegakan hukum atas semua proses maupun finalisasi dari penegakan hukum (Law Enforcement). Kejahatan, yang berbahaya sebenarnya bukanlah kejahatan itu sendiri tapi lebih kepada niat dan keinginan untuk merealisasikan kejahatan tersebut. Karena kejahatan bisa muncul kapan saja dan


(9)

dimana saja, dan pada diri siapa saja, maka sudah menjadi kewajiban kita agar dapat bersama sama mencegah atau mengatasi sebuah kejahatan.

Selain berkewajiban mencegah dan mengatasi sebuah kejahatan, kita juga mempunyai kewajiban untuk melindungi diri kita dan orang orang terdekat, atau siapa saja dari ancaman kejahatan. Terlebih lagi kepada keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, didalam keluarga sendiri anak merupakan anggota keluarga yang rawan menjadi korban kejahatan. Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib mendidik dan memelihara anak-anak yang belum dewasa sampai anak anak tersebut dewasa atau dapat berdiri sendiri. Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, orang tua bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Oleh karena itu keluarga menjadi wadah yang sangat penting dalam mendidik dan melindungi anak, dimana jika keluarga tidak mampu berperan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai wadah tersebut maka anak sebagai sasaran kejahatan akan semakin besar potensinya.

Upaya perlindungan terhadap anak telah cukup lama. baik di Indonesia maupun dunia internasional. Pembicaraan mengenai masalah ini tidak akan pernah berhenti, di samping merupakan masalah universal juga karena dunia ini akan selalu dipenuhi anak-anak. Anak merupakan bagian dari generasi muda penerus dan cita cita perjuangan bangsa, sumber daya manusia bagi pembangunan nasional, yang pada hakikatnya tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai


(10)

macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial, dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan, anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya mengingat situasi dan kondisi, khususnya kasus pencabulan terhadap anak.

Salah satu kejahatan yang sering terjadi kepada diri anak sebagai pribadi yang rawan adalah menjadi korban kejahatan terhadap kesusilaan yaitu pencabulan yang merupakan salah satu bentuk kejahatan yang merugikan dan meresahkan masyarakat. Pada umumnya korban pencabulan yang terbanyak adalah anak dibawah umur karena sangat potensial menjadi korban pencabulan. Posisinya yang paling lemah dan struktur keluarga hal inilah yang mengakibatkan korban pencabulan semakin meningkat.1

Pelaku kejahatan pencabulan tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga dilakukan oleh para remaja dan anak-anak, bahkan tragisnya pencabulan kerap kali dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi anak dari kejahatan sebut saja oknum anggota polisi yang dimana masyarakat khususnya anak menaruh sebuah kepercayaan bahwa ia merasa terlindungi dan merasa aman dari ancaman kejahatan .

Delik pencabulan menyebar luas terjadi dalam masyarakat, sehingga menjadikan kesadaran masyarakat pun semakin tinggi akan pentingnya penanganan delik pencabulan. Begitu juga Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) sebagai salah satu alat negara yang memiliki tugas utama yaitu ketertiban dan keamanan masyarakat (Kamtibmas). Tindakan kepolisian khususunya oknum anggota polisi

1


(11)

yang perlu ditinjau terkait sikap serta prilaku manusia-manusia polisi. Berbagai pelanggaran dan delik masih saja sering terjadi dimana pelakunya adalah oknum anggota polisi. Salah satunya kasus pencabulan terhadap anak.

Pada tahun 2011 di Bandar Lampung masyarakat dikejutkan terkait kasus pencabulan terhadap anak yang dilakukan oknum anggota polisi. Kasus pencabulan tersebut melibatkan empat anggota Unit Cegah dan Tangkal Polresta Bandar Lampung. Pencabulan itu dilakukan terhadap RH, 14 tahun, yang terjaring razia karena sedang berada di Pusat Kegiatan Olahraga Way Halim Bandar Lampung di malam hari. Keempat polisi itu kemudian menawarkan damai asal korban mau berhubungan badan. Korban yang ketakutan dan tidak berdaya diperkosa secara bergantian oleh keempat anggota polisi itu di sudut lapangan sepakbola.2

Berdasarkan Putusan Nomor 116/Pid.B/2012/PN.TK Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang memvonis anggota pelaku enam tahun penjara. Putusan tersebut dijatuhkan atas kasus pencabulan terhadap seorang gadis yang masih dibawah umur saat razia. Terdakwa terbukti telah melanggar Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, Putusan majelis dua kali lebih berat dari tuntutan jaksa, yaitu satu tahun setengah dan satu tahun. Atas perbuatannya terdakwa, majelis hakim menjatuhkan putusan dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun. Tetapi hukuman tersebut dirasa kurang tepat, karena adanya unsur pemberat dimana terdakwa sebagai anggota Kepolisian.

2


(12)

Tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang memiliki tugas menjaga keamanan dan ketertiban negara. Moral yang dewasa ini sudah mulai tergeser kedudukannya oleh prioritas kebutuhan jasmani manusia menjadi titik yang sangat penting untuk diperhatikan dalam menyentuh sebuah kehidupan seorang anak. Tindakan amoral berupa pencabulan yang dilakukan terhadap anak yang dilakukan oknum anggota polisi menjadi sebuah fenomena tersendiri, sungguh sangat disayangkan mengingat bahwa aparat kepolisian merupakan unsur yang sangat diharapkan peranannya melindungi masyarakat dan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan suatu delik.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis merasa ingin mendalami hal-hal mengenai pertanggungjawaban pidana tindak pidana pencabulan yang dilakukan oknum anggota polisi, dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul :

“Pertanggungjawaban Pidana Anggota Kepolisian Yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Secara Bersama-Sama (Studi Pada Putusan Nomor 116/Pid.B/2012/PN.TK)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang tersebut diatas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak?


(13)

b. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana pencabulan?

2. Ruang Lingkup

Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini, dalam lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum pidana. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak yang dilakukan oknum anggota polisi dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap delik pencabulan terhadap anak yang dilakukan oknum anggota polisi. Sedangkan lokasi penelitian penulis mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok bahasan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui dan memahami:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana pencabulan terhadap?

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana pencabulan terhadap?


(14)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan penelitian ini, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak yang dilakukan oknum anggota polisi.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak yang dilakukan oknum anggota polisi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.3

Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai

3


(15)

kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang

dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika

tidak ada kesalahan” merupakan dasardaripada dipidananya si pembuat.4

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana. Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea. Suatu kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanyamens reapada diri orang tersebut.5

Bertolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban

pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan

4

Roeslan Saleh, , Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta.1983, hlm 75

5

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media. Jakarta. 2006, hlm. 4


(16)

masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.6

Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah : a. Melakukan perbuatan pidana

b. Mampu bertanggung jawab

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d. Tidak adanya alasan pemaaf

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

6


(17)

Pertimbangan hukum hakim dalam memutus suatu perkara tidak terlepas dari kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu Negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.7

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila seorang anggota Polisi melakukan tindakan pelanggaran kedisiplinan seperti tindak pidana pencabulan maka akan dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin. Dasar hukum tersebutlah yang dijadikan sebagai pertanggungjawaban pidana bagi anggota kepolisian yang melakukan suatu tindak pidana.

Berkaitan dengan hal di atas, sistem pembuktian yang dianut KUHAP Pasal 183 KUHAP mengatur, menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa harus:

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

7

Ahmad Rifai,Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 102


(18)

b. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.8

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya. Hakim dalam membuat putusan berpedoman pada 3 hal, yaitu :

a. Unsur Yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama. b. Unsur Filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan.

c. Unsur Sosiologis, yang mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.9

Pertimbangan hakim sangat berpengaruh terhadap putusan hakim tentang berat

ringannya penjatuhan hukuman, dalam istilah Indonesia disebut “pemidanaan”.

Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tidak semata-mata didasarkan pada penilaian subjektif hakim, tetapi dilandasi keadaan objektif yang diperdapat dan dikumpul di sekitar kehidupan sosial terdakwa, ditinjau dari segi sosiologis dan psikologis. Misalnya, dengan jalan menelusuri latar belakang budaya kehidupan sosial, rumah tangga, dan tingkat pendidikan terdakwa atau terpidana.

2. Konseptual

8

Roeslan Saleh,Op, Cit.,hlm 75

9


(19)

Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Analisis adalah upaya penelitian hukum terhadap suatu peristiwa atau keadaan sebanarnya.10

b. Pertanggungjawaban Pidana adalah suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan seseorang yang dirugikan.11

c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.12

d. Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.13

e. Pencabulan adalah suatu perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan seseorang.14

f. Kepolisian adalah hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.15

G. Sistematika Penulisan

10

Departemen pendidikan dan kebudayaan. Kamus besar bahasa Indonesia. Balai pustaka, Jakarta 1991, hlm. 13

11

Romli Atmasasmita, 2003, Kepenjaraan dalam suatu bunga rampai, Armico, Bandung, hlm 79

12

Romli Atmasasmita,Op, Cit.,hlm 25

13

Pasal 1 ayat ( 2 ) UU Kesejahteraan Anak

14

wikipedia.com diakses 24 Agustus 2012

15


(20)

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan..

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencabulan.


(21)

V. PENUTUP

Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(22)

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

1. Kemampuan Bertanggung Jawab

Adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Pertanyaan yang muncul adalah, bilamanakah seseorang itu dikatakan mampu bertanggung jawab? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu? Dalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam

tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”.

Pasal 44 tersebut dan dari beberapa pendapat sarjana hukum, Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;


(23)

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.16

Pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Pasal 44, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam tumbuhnya.17

2. Kesengajaan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809 dicantumkan: “Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”.

dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Indonesia tahun 1915), dijelaskan : “sengaja” diartikan: “dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”.

Beberapa sarjana merumuskande willsebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. de will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua

teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori

16Ibid

., hlm. 165.

17Ibid


(24)

pengetahuan atau membayangkan.18 Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A

adalah “sengaja” apabila A benar-benar menghendaki kematian B.

Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan,

mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja”

apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.

Kedua teori tersebut, Moeljatno lebih cenderung kepada teori pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah: Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu saja dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatannya.19

Konsekuensinya ialah, bahwa ia menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuan yang hendak dicapai; (2) antara motif,

18

Leden Marpaung,op. Cit., hlm. 12-13.

19


(25)

perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa. Dari uraian tersebut, menurut hemat penulis, pembuktian terhadap teori kehendak itu tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga. Lain halnya kalau kesengajaan diterima sebagai pengetahuan. Dalam hal ini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-unsur perbuatan yang dilakukannya saja tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsafi, atau mengerti perbuatannya, baik kelakuan yang dilakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.

Secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar kepastiandan, kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).20 Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam praktik pengadilan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam praktik pengadilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusannya, hakim menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Menurut hemat penulis, praktek peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa.

3. Kealpaan

Kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan

20


(26)

perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smidt yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut:

Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut. dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.21

Berdasarkan apa yang diutarakan di atas, Moeljatno berpendapat bahwa kesengajaan adalah yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oeh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.22

21

Moeljatno,Op.Cit., hlm. 198.

22Ibid


(27)

4. Alasan Penghapus Pidana

Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam Buku I Bab III Tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai alasan penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana. Memorie van

Toelichting (M. v. T) mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya

seseorang”.M.v.T menyebut 2 (dua) alasan:

a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, dan

b. Alasan tidak dapat diprtanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu.23

Selain perbedaan yang dikemukakan dalam M. v. T, ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan sendiri terhadap alasan penghapus pidana, yaitu :

a. Alasan penghapus pidana yang umum, yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 s/d 51 KUHP.

b. Alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku untuk

delik-delik tertentu saja, missal Pasal 221 ayat (2) KUHP : “menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya.” Di sini ia tidak dituntut jika ia hendak

menghindarkan penuntutan dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).

23Ibid


(28)

Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2(dua) jenis alas an penghapus pidana , yaitu :

a. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.

b. Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan , meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sisni ada alas an yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak dipidana.

B. Tindak Pidana Pencabulan

Terdapat perbedaan definisi pencabulan pada berbagai negara. Bila melihat definisi pencabulan yang diambil dari Amerika Serikat, maka definisi pencabulan yang diambil dari The National Center on Child Abuse and Neglect, ’sexual assault’adalah “Kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang

berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”. Termasuk

kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau


(29)

memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Indonesia sendiri tidak

memiliki pengertian kata ”pencabulan” yang cukup jelas. Bila mengambil definisi

dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Namun, tidak ada definisi hukum yang jelas yang menjelaskan arti kata pencabulan itu sendiri, baik dalam Kitab Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Perlindungan Anak maupun Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Menurut Lamintang, ada beberapa jenis istilah tentang pencabulan yaitu: 1. Exhibitiion : Sengaja memamerkan alat kelamin pada anak. 2. Voyeurism : Orang dewasa mencium anak dengan bernafsu. 3. Foundling : Mengelus atau Meraba alat kelamin seorang anak. 4. Fellatio : Memaksa anak untuk melakukan kontak mulut.24

Selanjutnya dalam Kamus Hukum adalah berbuat mesum dan atau bersetubuh dengan seseorang yang dianggap merusak kesopanan dimuka umum adalah bercabul. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pencabulan

sendiri berasal dari kata “cabul” yang dimana arti perbuatan cabul adalah keji,

kotor, tidak senonoh.25

24

Lamintang P.A.F, 2009Delik Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan. Sinar Grafika. hlm 52.

25


(30)

Ditegaskan kembali oleh Chazawi bahwa perbuatan cabul selalu terkait dengan perbuatan tubuh atau bagian tubuh terutama pada bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya, yang dipandang melanggar kesusilaan umum.26

Sedangkan menurut HogeRaad perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah dalam lingkungan nafsu birahi.Misalnya :

a) Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkan pada alat kelaminnya.

b) Seorang laki-laki merabai badan seorang anak laki-laki dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat mengelus dadanya dan menciumnya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.27

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa delik pencabulan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang didorong oleh keinginan seksual untuk melakukan hal hal yang dapat meningkatkan nafsu birahi kelamin sehingga menimbulkan kepuasan pada dirinya.

C. Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana

Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 1 UU No. 48 tahun

26

Chazawi. Adami.Pelajaran Hukum Pidana.Rajagrafinda Persada. Jakarta, 2001. Hlm 82.

27

Ledeng Marpaung,Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Sinar Grafika. Jakarta, 2004, hlm 65


(31)

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Penjatuhan putusan tersebut hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar atau landasan bagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktian memiliki asas minimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dapat disimpulkan pidana baru dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terdakwa terbukti bersalah dengan dua alat bukti yang sah.

Berdasarkan Pasal 172 ayat (1) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang termasuk alat bukti yang sah antara lain :


(32)

1) Keterangan saksi. 2) Keterangan ahli. 3) Surat.

4) Petunjuk.

5) Keterangan terdakwa.

Pertimbangan hakim sangat berpengaruh terhadap putusan hakim tentang berat ringannya penjatuhan hukuman atau sentencing (straftoemeting), dalam istilah

Indonesia disebut “pemidanaan”.Di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang sistem pemerintahannya telah maju atau berkembang pesat telah dikembangkan beberapa dasar alasan pemidanaan. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tidak semata-mata didasarkan pada penilaian subjektif hakim, tetapi dilandasi keadaan objektif yang diperdapat dan dikumpul di sekitar kehidupan sosial terdakwa, ditinjau dari segi sosiologis dan psikologis. Misalnya, dengan jalan menelusuri latar belakang budaya kehidupan sosial, rumah tangga, dan tingkat pendidikan terdakwa atau terpidana. Data-data tersebut dapat diperoleh dari hasil penelusuran riwayat hidup terdakwa, yayasan tempat terdakwa pernah dirawat, teman dekat terdakwa, lingkungan pendidikan, dan lain sebagainya.

Tidak kalah penting perlu diketahuinya sebab-sebab yang mendorong dan motivasi melakukan tindak pidana, apakah semata-mata didorong untuk melakukan kejahatan, misalnya benar-benar didorong untuk balas dendam atau memperoleh kepuasan batin dan sebagainya. Atau apakah karena dorongan sosial ekonomis maupun karena keadaan yang berada di luar kemauan kesadaran terdakwa. Juga perlu diperhatikan laporan pejabat tempat terdakwa ditahan


(33)

tentang sikap dan perilakunya selama berada dalam tahanan. Semua hal-hal dan keadaan tersebut ikut dipertimbangkan sebagai faktor menentukan pemidanaan. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28 UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

D. Pengertian Anak

Anak adalah makhluk sosial sama halnya dengan orang dewasa anak juga membutuhkan seseorang untuk mengembangkan kemampuannya karena pada dasarnya anak lahir sebagai sosok yang lemah sehingga tanpa bantuan dari orang lain anak tidak mungkin mencapai taraf kehidupan yang normal. John Locke mengemukakan bahwa anak merupakan pribadi yang masih bersih dan peka terhadap ransangan-ransangan dari lingkungan

Pengertian anak masih merupakan masalah dan sering menimbulkan kesimpangsiuran, ini dikarenakan belum adanya pengertian yang jelas dan seragam baik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun pendapat sarjana mengenai hal ini. Akan tetapi, kalau kita melihat ketentuanPasal 330, dapat kita lihat kriteria orang yang belum dewasa.

Pasal 330 KUHPerdata menyatakan:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”.


(34)

Apabila peraturan undang-undang memakai istilah “belum dewasa”, maka sekadar

mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan: segala orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur dua puluh dua tahun,

maka tidaklah mereka kembali dalam istilah “belum dewasa”.

Memperhatikan ketentuan pasal 330 KUHPerdata dan bunyi, maka batasan umur sehingga seseorang dikategorikan anak yaitu yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam ketentuan KUHP tidak memberikan pengertian mengenai anak, tetapi hanya memberikan batasan umur.Menurut ketentuan Pasal 45 KUHP maka batasan anak adalah orang yang berumur di bawah 16 (enam belas tahun). Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal 290, 292 dan 294 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.

Pasal 1 ayat ( 2 ) Undang-Undang No 4 tahun 1979 tentang Kesejahtraan Anak menyebutkan bahwa :

“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Menentukan batasan usia anak secara pasti tergolong agak sulit karena perkembangan seseorang baik fisik maupun psikis sangat variatif satu dan yang


(35)

lainnya, walaupun seseorang itu sudah dewasa namun tingkah lakunya masih memperlihatkan tanda tanda belum dewasa dan demikian pula sebaliknya.

Bertitik tolak dari uraian diatas maka untuk pendefinisian anak yang dapat dijadikan acuan oleh penulis yaitu merujuk pada pengertian anak menurut Undang-Undang no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana yang

dimaksud dengan anak adalah “Seseorang yang belum berusia 18 (Delapan belas

tahun), termasuk anak yang didalam kandungan”.

E. Ketentuan Pidana Mengenai Perbuatan Cabul Terhadap Anak dan Unsur Unsurnya

1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Menurut KUHP delik pencabulan terhadap anak diatur dalam Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Karena delik pencabulan berkaitan erat dengan delik kesusilaan. Ketentuan ketentuan mengenai Delik Pencabulan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat dalam pasal pasal sebagai berikut : Pasal 290 sebagai berikut :

1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.

3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya


(36)

tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan.

Unsur-unsur kejahatan Pasal 290 ayat (1) adalah sebagai berikut : 1) Unsur-unsur Objektif :

a. Perbuatannya : perbuatan cabul. b. Objeknya : dengan seorang. c. Dalam keadaan :

a) Pingsan, atau b) tidak berdaya

Pengertian pingsan atau tidak berdaya (Pasal 89 KUHP) yaitu :

Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun.

2) Unsur Subjektif :

Diketahuinya bahwa orang itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya: Unsur-unsur kejahatan Pasal 290 ayat (2) adalah sebagai berikut :

a. Unsur-unsur Objektif :

a) Perbuatannya : perbuatan cabul. b) Objeknya : dengan seorang.

c) Dalam keadaan Umurnya belum 15 tahun, atau


(37)

Belum waktunya untuk dikawin adalah belum pantas untuk disetubuhi. Ukuran belum pantas untuk disetubuhi dilihat dari ciri-ciri anak tersebut. Dan bisa juga ditambah dengan ciri-ciri psikis yang tampak dari sifat dan kelakuannya.

b. Unsur Subjektif :

a) Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun. b) Kejahatan dalam ayat 2 Pasal 290 ini mirip pada kejahatan dalam Pasal 287

ayat (1).

Kemiripan ini karena unsur-unsurnya adalah sama, kecuali :

a) Unsur perbuatan, menurut Pasal 287 adalah bersetubuh dan menurut Pasal 290 ayat (2) adalah perbuatan cabul

b) Unsur objek kejahatan yang menurut Pasal 287 harus seorang perempuan yang bukan istrinya, tetapi objek kejahatan menurut Pasal 290 ayat (2) dapat seorang laki-laki atau seorang perempuan.

Perbuatan cabul menurut Pasal 290 ayat (2) ini disetujui atau atas kemauan korban (anak-anak).

Pasal ini merupakan perlindungan terhadap anak atau remaja. Pada pasal tersebut

tidak ada kata “wanita” melainkan kata “orang”. Dengan demikian, meskipun

dilakukan terhadap anak atau remaja pria, misalnya oleh homoseks maka pasal ini dapat diterapkan. Unsur-unsur kejahatan Pasal 290 ayat (3) adalah sebagai berikut:


(38)

a. Unsur-unsur Objektif :

1. Perbuatannya : membujuk.

Membujuk artinya berusaha supaya orang menuruti kehendak yang membujuk atau perbuatan mempengaruhi kehendak orang lain agar kehendak orang itu sama dengan kehendaknya.

2. Objeknya : orang yang:

a) umurnya belum 15 tahun, atau

b) jika tidak jelas umurnya orang itu belum waktunya untuk dikawin. 3. Untuk :

a) Melakukan perbuatan cabul. b) Dilakukan perbuatan cabul, atau c) Bersetubuh di luar perkawinan. b. Unsur Subjektif :

1) Yang diketahuinya umurnya belum lima belas tahun, atau jika tidak jelas umurnya yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.

2) Pelaku pada Pasal ini, bukan pelaku cabul tetapi “yang membujuk”

Pasal 292 Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang sejenis. Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : a. Unsur-unsur Objektif :

1. Perbuatannya : perbuatan cabul. 2. Si pembuatnya ; oleh orang dewasa.


(39)

b. Unsur Subjektif :

1. Yang diketahuinya belum dewasa, atau

2. Yang seharusnya patut diduganya belum dewasa.

Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa dari orang yang dikenal sebagai

“homo seks” (Tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama) atau

“lesbian” (Wanita yang tertarik pada sesama jenisnya).

Pasal 293 berisi ketentuan tentang Kejahatan Dengan Pemberian Menggerakkan Orang Belum Dewasa Melakukan Perbuatan Cabul sebagai berikut :

1. Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.

3. Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing enam bulan dan Sembilan bulan. Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

a. Unsur-unsur Objektif :

1. Perbuatannya : menggerakkan.

Perbuatan menggerakkan (bewengen) adalah perbuatan mempengaruhi kehendak orang lain, atau menanamkan pengaruh pada kehendak orang lain ke arah kehendaknya sendiri, atau agar


(40)

sama dengan kehendaknya sendiri. Jadi objek yang dipengaruhi adalah kehendak atau kemauan orang lain.

a. Cara-caranya :

1) memberi uang atau barang.

2) menjanjikan memberi uang atau barang.

3) menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan; 4) penyesatan.

b. Objeknya : orang yang belum dewasa. c. Yang baik tingkah lakunya ;

d. Untuk :

1) melakukan perbuatan cabul.

2) Dilakukan perbuatan cabul dengannya. b. Unsur Subjektif :

Diketahuinya atau selayaknya harus diduganya tentang belum kedewasaannya. Yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah :

1. Sengaja membujuk orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul pada dirinya.

2. Membujuk dengan mempergunakan

a) Hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang; atau b) Pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh

perhubungan yang sesungguhnya ada atau c) Tipu

Pasal 294 Kejahatan Perbuatan Cabul dengan Orang Yang Belum Dewasa Yang Dilakukan Orang Tua atau yang Mempunyai Hubungan.


(41)

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan, atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

2. Diancam dengan pidana yang sama :

a) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaanya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.

b) Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan.

Unsur-unsur kejahatan Pasal 294 ayat (1) adalah sebagai berikut : a. Unsur-unsur Objektif :

1. Perbuatannya : perbuatan cabul. 2. Objeknya dengan :

a) Anaknya yang belum dewasa. b) Anak tirinya yang belum dewasa. c) Anak angkatnya yang belum dewasa.

d) Anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa; yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya.

e) Pembantunya yang belum dewasa. f) Bawahannya yang belum dewasa.


(42)

Unsur-unsur kejahatan Pasal 294 butir 1 ayat (2) adalah sebagai berikut : 1. Subjek hukum/pembuatnya : seorang pejabat.

2. Perbuatan : melakukan perbuatan cabul. 3. Dengan :

a) Bawahannya karena jabatan.

b) Orang yang penjagaannya diserahkan kepadanya.

Unsur-unsur kejahatan Pasal 294 butir 2 ayat (2) adalah sebagai berikut : a. 1) Seorang pengurus.

2) Seorang dokter. 3) Seorang guru. 4) Seorang pegawai. 5) Seorang pengawas. 6) Seorang pesuruh. b. 1) Dalam penjara :

2) Tempat pekerjaan Negara. 3) Rumah piatu.

4) Di rumah sakit. 5) Di rumah sakit jiwa. 6) Di lembaga sosial. c. Perbuatannya : perbuatan cabul.

d. Objek: dengan orang yang dimasukkan kedalamnya, perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.


(43)

2. Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Anak sebagai korban merupakan subyek dari Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 dalam UU ini secara khusus mengatur hal-hal tertentu mengenai masalah anak khususnya aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak. Ketentuan pidana dalam Undang-undang perlindungan anak ini diatur dalam Bab XII, yaitu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 90. Sementara mengenai perbuatan cabul terhadap anak diatur dalam Pasal 82 sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas ) tahun dan paling singkat 3 ( tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 ( Tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 ( Enam puluh juta rupiah).

Apabila rumusan pasal 82 tersebut dirinci akan terlihat unsur-unsur berikut: a. Unsur-unsur objektif

1. Perbuatannya memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk. 2. Objeknya seorang anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan. 3. Perbuatan cabul.


(44)

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati M S.H.,M.H ………

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira S.H.,M.H ………

Penguji Utama : Tri Andrisman S.H.,M.H ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S. H., M. S. NIP 19621109 198703 1 003


(45)

Sedikit bicara banyak berkerja

Belajarlah dari pengalaman hari kemarin agar hari

ini lebih baik dari hari kemarin

Belajarlah dari pengalaman hari ini agar hari esok

lebih baik dari hari ini


(46)

Puji syukur ku ucapkan ke hadirat Allah SWT, serta shalawat dan salam tak hentinya kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.

Penulis persembahkan karya skripsi ini untuk:

Papa dan Mama tercinta yang dengan penuh pengorbanan memberikan dorongan moril dan kasih sayang, serta adikku Helmawati dan Hendika Saputr yang selalu memberikan semangat,

sehingga penulis berhasil menyelesaikan perkuliahan ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

Para dosen pembimbing dan pengajar, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.


(47)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 29 Mei 1990, yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Chozali Effendi dan Ibu Kiswati. Penulis menyelesaikan studi di SD Negeri 2 Gunung Terang lulus pada tahun 2002.

Penulis melanjutkan studi di SMP Wiyatama Bandar Lampung lulus pada tahun 2005, kemudian SMA Printis 1 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2008 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis pada tahun 2012 mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tuba, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur.


(48)

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Pada Putusan Nomor: 116/Pid.B/2012/PN.TK)

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing pertama yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.


(49)

meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarah, motivasi, dan sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skeripsi. 5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama yang telah

banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Rini Fatonah, S.H., M.H. Sebagai Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Bapak Ahmad Saleh, S.H., selaku Pembimbing Akademik selama penulis

menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

10. Bapak dan Ibu tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

11. Adik-adikku Helmawati dan Hendika Saputra beserta seluruh keluarga

besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan. 12. Sahabat-sahabat kecilku: Akhmad Yasir Renata , Akbar Kurniawan , Dwi

Arida Arja , Hairul Tri Rizki, Rizaldi Fristian, Rizki Mubarak, Salam (Ahoy), Zaidi oktari. Yang telah memberi doa dan dukunagannya selama ini.


(50)

Lampung Angkatan 2008 yang terhormat dan seluruh teman fakultas hukum yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasi atas do’a dan dukunaganya.

14. Terima kasih juga buat teman-teman semasa KKN

15. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 12 Februari 2013 Penulis


(51)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana pencabulan dalam perkara Nomor 116/Pid B/2012/PN.TK didasarkan pada asas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan". Dalam perkara ini terdapat perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau unsur melawan hukum. Terhadap terdakwa ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang terdakwa dapat di pertanggungjawabkan. Penjatuhan pidana kepada terdakwa pidana kurang tepat, seharusnya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa lebih berat dari yang diputuskan oleh hakim, karena selain terdakwa melanggar Pasal 82 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditemukan juga unsur pemberat seperti yang ditentukan dalam Pasal 52 KUHP, dalam hal ini terdakwa sebagai anggota Kepolisian yang seharusnya melindungi masyarakat dari kejahatan tetapi malah melakukan tindak pidana, karena itu seharusnya pidana yang dijatukan bisa ditambah sepertiga dari maksimal ancaman pidana.


(52)

2. Pertimbangan Majelis Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap perkara Nomor 116/Pid B/2012/PN.TK berdasarkan dari tiga sudut pandang hakim dalam menentukan lamanya pidana, yaitu yuridis, sosiologis, dan filosofis. Selain itu pertimbangan tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada pertimbangan putusan perkara tindak pidana pencabulan oleh anggota Polisi ini telah mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, yuridis, serta seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara serta memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

B. Saran

Adapun saran yang penulis dapat berikan sehubungan dengan penulisan skripsi ini adalah:

Perlu adanya aturan khusus terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Aparat Hukum khususnya Oknum Anggota Polisi agar tidak sewenang-wenang dalam melakukan tindak pidana yang merugikan masyarakat sehingga Pencabulan terhadap Anak yang dilakukan Oknum anggota Polisi dapat ditanggulangi dan menimbulkan efek jera terhadap pelaku.


(1)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 29 Mei 1990, yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Chozali Effendi dan Ibu Kiswati. Penulis menyelesaikan studi di SD Negeri 2 Gunung Terang lulus pada tahun 2002.

Penulis melanjutkan studi di SMP Wiyatama Bandar Lampung lulus pada tahun 2005, kemudian SMA Printis 1 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2008 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis pada tahun 2012 mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tuba, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur.


(2)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Pada Putusan Nomor: 116/Pid.B/2012/PN.TK)

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing pertama yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.


(3)

4. Ibu Maya Shafira,S.H.,M.H. Selaku Dosen Pembimbing kedua, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarah, motivasi, dan sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skeripsi. 5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama yang telah

banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Rini Fatonah, S.H., M.H. Sebagai Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Bapak Ahmad Saleh, S.H., selaku Pembimbing Akademik selama penulis

menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

10. Bapak dan Ibu tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

11. Adik-adikku Helmawati dan Hendika Saputra beserta seluruh keluarga

besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan. 12. Sahabat-sahabat kecilku: Akhmad Yasir Renata , Akbar Kurniawan , Dwi

Arida Arja , Hairul Tri Rizki, Rizaldi Fristian, Rizki Mubarak, Salam (Ahoy), Zaidi oktari. Yang telah memberi doa dan dukunagannya selama ini.


(4)

13. Semua teman-temanku Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2008 yang terhormat dan seluruh teman fakultas hukum yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasi atas do’a dan dukunaganya.

14. Terima kasih juga buat teman-teman semasa KKN

15. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 12 Februari 2013 Penulis


(5)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana pencabulan dalam perkara Nomor 116/Pid B/2012/PN.TK didasarkan pada asas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan". Dalam perkara ini terdapat perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau unsur melawan hukum. Terhadap terdakwa ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang terdakwa dapat di pertanggungjawabkan. Penjatuhan pidana kepada terdakwa pidana kurang tepat, seharusnya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa lebih berat dari yang diputuskan oleh hakim, karena selain terdakwa melanggar Pasal 82 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditemukan juga unsur pemberat seperti yang ditentukan dalam Pasal 52 KUHP, dalam hal ini terdakwa sebagai anggota Kepolisian yang seharusnya melindungi masyarakat dari kejahatan tetapi malah melakukan tindak pidana, karena itu seharusnya pidana yang dijatukan bisa ditambah sepertiga dari maksimal ancaman pidana.


(6)

63

2. Pertimbangan Majelis Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap perkara Nomor 116/Pid B/2012/PN.TK berdasarkan dari tiga sudut pandang hakim dalam menentukan lamanya pidana, yaitu yuridis, sosiologis, dan filosofis. Selain itu pertimbangan tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada pertimbangan putusan perkara tindak pidana pencabulan oleh anggota Polisi ini telah mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, yuridis, serta seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara serta memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

B. Saran

Adapun saran yang penulis dapat berikan sehubungan dengan penulisan skripsi ini adalah:

Perlu adanya aturan khusus terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Aparat Hukum khususnya Oknum Anggota Polisi agar tidak sewenang-wenang dalam melakukan tindak pidana yang merugikan masyarakat sehingga Pencabulan terhadap Anak yang dilakukan Oknum anggota Polisi dapat ditanggulangi dan menimbulkan efek jera terhadap pelaku.