PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENYIMPAN UANG RUPIAH PALSU (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/Pid.B/2014/PN.Tjk).

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENYIMPAN

UANG RUPIAH PALSU

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/Pid.B/2014/PN.Tjk).

Oleh

ACHMAD ADRIAWAN SYAHPUTRA

Anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu sesuai dengan Sistem Peradilan Pidana Anak seharusnya tidak dipidana penjara tetapi lebih mengedepankan diversi sebagai upaya pembinaan dan perbaikan kepribadian anak. Pada kenyataannya anak dipidana sebagaimana pelaku tindak pidana yang berusia dewasa. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. (2) Apakah putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. telah memenuhi rasa keadilan substantif

Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. dilaksanakan dalam bentuk penjatuhan pidana setengah dari orang dewasa, pelaku dipidana dengan pidana penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp 200.000.000 (duaratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan 4 bulan pejara, karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). (2) Putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. telah memenuhi rasa keadilan substantif, karena terhadap anak tersebut tidak bisa diberikan diversi, oleh karena ancaman hukuman terhadap tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu diancam dengan pidana penjara di atas tujuh tahun dan sebagai upaya agar pelaku tidak melakukan tindak pidana di masa-masa yang akan datang.


(2)

Achmad Adriawan Syahputra

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pada masa yang akan datang disarankan ke dalam upaya untuk memberikan pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. (2) Pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana di masa yang akan datang disarankan untuk berpedoman pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam hal pemenuhan terhadap hak-hak anak sebagai tersangka atau terdakwa karena melakukan tindak pidana. Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Anak, Menyimpan Uang Rupiah Palsu


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENYIMPAN

UANG RUPIAH PALSU

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/Pid.B/2014/PN.Tjk)

Oleh

ACHMAD ADRIAWANSYAH PUTRA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENYIMPAN

UANG RUPIAH PALSU

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/Pid.B/2014/PN.Tjk).

(Skripsi)

Oleh

ACHMAD ADRIAWAN SYAHPUTRA

NPM. 1112011008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 16

B. Pertanggungjawaban Pidana ... 19

C. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan Uang dan Peredaran Uang Palsu ... 22

D. Pengertian Anak ... 29

E. Keadilan Substantif ... 30

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 34

C. Penentuan Narasumber... 36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36


(6)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Karakteristik Responden ... 39

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Menyimpan Uang Palsu dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/Pid.B/2014/PN.Tjk ... 40

C. Putusan Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/Pid.B/2014/PN.Tjk dalam Kaitannya dengan Keadilan Substantif ... 60

V PENUTUP ... 71

A. Simpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

(8)

(9)

MOTO

Orang-orang hebat di bidang apapun bukan baru bekerja karena mereka terinspirasi, namun mereka menjadi terinspirasi karena mereka lebih suka bekerja. Mereka tidak menyia-nyiakan waktu untuk menunggu inspirasi."


(10)

PERSEMBAHAN

Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT

atas rahmat hidayah-Nya dan dengan segala kerendahan hati,

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Kedua Orang Tua Tercinta,

Ayahku Syarfuddin dan Ibuku Gita Andani

Yang senantiasa berdoa, berkorban dan mendukungku, terima kasih

untuk semua kasih sayang dan cinta luar biasa sehingga aku bisa

menjadi seseorang yang kuat dan konsisten kepada cita-cita

Ayukku Andriani Gisya Putri

Adikku Alisa Rahmawati Putri, Azizah Amalia Putri

yang selalu memotivasi dan memberikan doa untuk keberhasilanku

Almamater tercinta

Universitas Lampung


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi pada tanggal 01 Juni 1994, merupakan putra kedua dari empat bersaudara. Penulis merupakan putra dari pasangan Bapak Syarfuddin dan Ibu Gita Andani.

Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Dasar Islam Ibnurusyd diselesaikan pada tahun 2005, SMP Negeri 7 Kotabumi diselesaikan pada tahun 2008, SMA Negeri 1 Kotabumi diselesaikan pada tahun 2011. Pada tahun 2011 Penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2015, mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) di Desa Gunung Sari Kecamatan Gunung Labuhan Kabupaten Way Kanan.


(12)

i

SANWACANA

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi, yang berjudul: Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Menyimpan Uang Rupiah Palsu. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing I yang telah bersedia membantu mengoreksi dan memberi masukan agar terselesaikan skripsi ini 3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah bersedia

membantu, mengkoreksi dan memberi masukan agar terselesaikannya skripsi ini.


(13)

ii

4. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H selaku Pembahas I yang telah bersedia membantu, mengkoreksi dan memberi masukan agar terselesaikannya skripsi ini.

5. Bapak Budi Husni, S.H.,M.H selaku pembahas II yang tela bersedia membantu mengoreksi dan memberi maskan agar terselesaikannya skripsi ini. 6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

ilmu dan pengetahuan kepada penulis yang kelak akan sangat berguna bagi penulis, serta seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Teman-temanku tercinta Bery Hermawan, Irvan, Adnan, Hilman, Alsan, Sofi, Agung, Beri syani, Aris, Enaldo dan Tio, yang telah memberikan motivasi dan selalu bersedia membantu ku baik di dalam maupun di luar kampus.

8. Kekasihku yang telah memberi motivasi dan semangat dalam penyusunan Skripsi ini

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, semangat serta dorongan dalam penyusunan Skripsi ini.

Semoga segala kebaikan dapat diterima sebagai pahala oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 18 Agustus 2015 Penulis


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak ditinjau dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan individu yang memerlukan perlindungan, pendidikan dan pembinaan demi kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya. Bahkan untuk menjamin hal tersebut, negara telah melakukan langkah-langkah baik bersifat legislatif maupun bersifat administratif untuk memberikan perlindungan kepada anak tanpa diskriminasi, tak terkecuali anak yang memerlukan perlindungan khusus.

Fenomena yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya pelaku tindak pidana yang masih dalam kategori anak. Pengertian anak dalam konteks ini mengacu pada Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian ini mengandung makna bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang


(15)

2

termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, seharusnya pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana lebih mengedepankan upaya pembinaan dan perbaikan kepribadian anak menjadi agar menjadi lebih baik dan tidak mengulangi lagi perbuatanya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 memberikan suatu alternatif penyelesaian perkara di luar peradilan (diversi)

Menurut Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan diversi bertujuan: a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak

b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi


(16)

3

Ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 berisi bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Pasal 7 Ayat (2) berisi bahwa diversi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a) diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Tujuan diversi dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai perlindungan anak dalam sistem peradilan demin terwujudnya sistem peradilan pidana yang terpadu atau juga bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai yang telah ada. Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut merupakan upaya untuk memenuhi berbagai hak anak yang bermasalah dengan hukum.

Pada kenyataannya terjadi kesenjangan, yaitu anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu justru diproses hukum dan dipidana selayaknya pelaku tindak pidana yang berusia dewasa, yaitu terhadap perkara dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk dengan terdakwa berinisial MF Bin S (17 tahun) yang dipidana penjara selama 1 tahun dan denda sebesar Rp 200.000.000 (duaratus juta rupiah), karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 36 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Terdakwa berinisial MF Bin S pada hari Selasa tanggal 22 Juli 2014 bertempat di sebuah warung mie ayam di Jalan Sam Ratulangi Kecamatan Tanjung Karang Barat Kota Bandar Lampung telah menyimpan secara fisik yaitu berupa 3 (tiga) lembar uang Rp50.000.- (limapuluh ribu rupiah) dengan cara apapun yang diketahui merupakan rupiah palsu. Terdakwa ditangkap atas laporan masyarakat, pada saat petugas melakukan pemeriksaan terdakwa mengeluarkan uang rupiah palsu tersebut dari saku


(17)

4

celananya. Secara fisik uang rupiah palsu tersebut nampak lebih kusam dan ketiganya memiliki nomor seri yang sama.

Upaya untuk mengetahui bahwa seseorang bersalah atau tidak terhadap perkara yang didakwakan, bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut harus dengan dibuktikan alat-alat bukti yang cukup. Untuk membuktikan bersalah tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui proses pemeriksaan didepan sidang Pengadilan. Untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian. Dalam pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan berbagai kepentingan, baik kepentingan masyarakat mupun kepentingan terdakwa.1

Kepentingan masyarakat berarti bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Apabila terbukti bersalah maka hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya. Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang Pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu Perbuatan Pidana dapat dijatuhi dengan hukuman pidana sesuai kesalahan yang dilakukannya.

Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana. Oleh

1

Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Alat Pembuktian dalam Proses Pidana, Liberti, Yogyakarta, 2001, hlm. 12.


(18)

5

karena itu hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkam nilai pembuktian. 2

Upaya yang ditempuh dalam pembuktian pidana sesuai Pasal 183 KUHP: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa Tindak Pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk kurang sesuai dengan sistem peradilan pidana anak dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 hal ini sebagai jaminan perlindungan hukum dan peradilan pidana yang layak bagi anak. Artinya proses hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana dilaksanakan secara khusus, dengan tetap menghormati hak-hak anak sebagai subjek hukum yang harus diperlakukan berbeda dibanding orang dewasa.

Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana pada dasarnya memang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.

2


(19)

6

Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. 3

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Menyimpan Uang Rupiah Palsu (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/Pid.B/2014/PN.Tjk).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk.?

b. Apakah putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. telah memenuhi rasa keadilan substantif?

3

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 155.


(20)

7

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk.. Ruang lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan penelitian dilaksanakan pada Tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk.

b. Untuk mengetahui putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. telah sesuai dengan keadilan substantif.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu.


(21)

8

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak yang dilakukan pada masa-masa yang akan datang, sehingga penegakan hukum terhadap anak dilaksanakan benar-benar berdasarkan kepentingan anak dan tujuan pembinaan terhadap anak.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum4. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

1) Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang

4


(22)

9

khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 2) Adanya perbuatan melawan hukum

Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yang disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf

Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat. Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan


(23)

10

tindak pidana alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggungjawaban.5

Pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuataannya, dengan dasar kemampuan bertanggung jawab, ada perbuatan melawan hukum dan tidak ada alasan pemaaf atau pembenar atas tindak pidana yang dilakukannya.

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam

5

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 37-38.


(24)

11

perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

2) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

3) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya..6

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

c. Teori Keadilan Substantif

Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek

6

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm.103.


(25)

12

prosedural akan di „nomorduakan‟. Secara teoritik, kedalilan substantif dibagi ke dalam

empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, keadilan retributif, kedilan komutatif, dan keadilan korektif. Kedilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdasarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok dalam keadilan distributif adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan.7

Alasan yang muncul keharusan ditegakannya keadilan substantif karena keadilan berdasarkan hukum tidak selalu terkait kepada ketentuan-ketentuan formal-prosedural. Hal itulah yang kemudian menjadi acuan dalam diri hakim MK saat memberikan putusan pada setiap perkara yang masuk ke lembaganya. Sebagai lembaga yang mengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan penafsir konstitusi, maka konsekwensinya menjamin hak-hak rakyat yang telah ditegaskan dalam konstitusi. Salah satu hak yang harus dijamin adalah rasa keadilan.

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.8

2. Konseptual

7

Mahfud M.D., Penegakan Keadilan di Pengadilan,http://mahfudmd.com 8


(26)

13

Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 9

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku10

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum11

d. Anak menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anakadalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

9

Moeljatno, op cit, hlm. 49. 10

Ibid, hlm. 53. 11

Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. 1998, hlm. 25.


(27)

14

e. Tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu menurut Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang adalah setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apapun yang diketahuinya rupiah palsu. Ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman terhadap isinya. Adapun ssecara terperinci sistematika penulisan proposal ini adalah sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri dari pengertian dan unsur-unsur tindak pidana, pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian tindak pidana pemalsuan dan peredaran uang palsu serta pengertian anak.


(28)

15

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. dan putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk telah sesuai dengan keadilan substantif.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah. 1

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan2

1

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.

2


(30)

17

Jenis-jenis tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam

Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu

bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.


(31)

18

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal3

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a) Kelakuan dan akibat (perbuatan )

b) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d) Unsur melawan hukum yang objektif

e) Unsur melawan hukum yang subyektif. 4

3

Ibid. hlm. 25-27 4


(32)

19

Tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya5

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.

5

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 23.


(33)

20

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.6

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya7

6

Moeljatno, Op. Cit. hlm. 41. 7


(34)

21

Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya8

8


(35)

22

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 9

C. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan Uang dan Peredaran Uang Palsu

Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan membuat dan menyimpan uang rupiah palsu, seolah-olah uang tersebut benar atau asli adanya, padahal sesungguhnya bertentangan denganmyangmsebenarnya. Jadi secara umum Tindak Pidana pemalsuan uang adalah kegiatan menirukan keaslian dari suatu nilai mata uang yang di dalamnya mengandung ketidakbenaran untuk diedarkan luas di masyarakat. 10

Pada dasarnya pemalsuan Uang Rupiah (pemalsuan dan pengedaran uang palsu) lebih didasarkan pada kepentingan mendasar yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup pelakunya, karena sebagian besar pelaku dihimpit kesulitan ekonomi dan

9

Ibid, hlm. 48. 10

Hotbin Sigalingging, Ery Setiawan dan Hilde D. Sihaloho, Kebijakan Pengedaran Uang di Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 7.


(36)

23

kasus-kasus yang terjadi di negara Indonesia adalah mempunyai tipikal yang sama yaitu pelaku terdorong untuk melakukan kejahatan uang palsu karena jeratan segi finansialnya. Begitu pula untuk kasus yang terjadi di luar negeri kebanyakan kasus uang palsu terjadi juga mempunyai kemiripan yang sama dengan kejahatan uang palsu yang terjadi di wilayah negara Indonesia.11

Terdapat beberapa kasus yang tidak didasari oleh kesulitan ekonomi. Kejahatan uang palsu yang demikian biasanya dipengaruhi oleh kepentingan politik. Namun sangat jarang kasus demikian terjadi karena untuk membuat uang palsu demi kepentingan politik sangat banyak faktor yang mempengaruhinya seperti misalnya negara dalam keadaan genting karena perang, ataupun untuk kepentingan pemilihan seorang pemimpin negara ataupun untuk kepentingan yang sama dengan itu.

Uang palsu adalah hasil perbuatan Tindak Pidana Melawan Hukum berupa meniru dan/atau memalsukan uang yang dikeluarkan sebagai satuan mata uang yang sah. Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah merupakan kejahatan yang serius karena selain bertujuan untuk memperkaya diri sendiri secara ekonomis, juga bertujuan untuk menghancurkan perekonomian negara secara politis. Kejahatan tersebut juga semakin canggih karena kemajuan teknologi. Tanggung jawab terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah tentu saja bukan tugas dari Bank Indonesia dan pihak Kepolisiansemata, melainkan tugas dari seluruh lapisan masyarakat untuk bersama memerangi kejahatan tersebut. 12

11

Ibid, hlm. 30. 12


(37)

24

Upaya untuk menanggulangi tindak pidana pemalsuan mata Uang Rupiah, memerlukan peran serta masyarakat secara aktif, mengingat semua kegiatan transaksi ekonomi di suatu negara, keberadaan uang palsu merupakan suatu hal yang sulit untuk dihindari, karena uang memiliki fungsi yang strategis dalam kelangsungan suatu pemerintahan atau negara. Sifat strategis tersebut disebabkan karena selain uang dapat dijadikan sebagai alat transaksi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat, uang juga dapat dijadikan sebagai alat politik untuk menjatuhkan perekonomian suatu negara.Agar keberadaan uang di suatu negara tetap selalu dalam fungsinya sesuai dengan tujuannya, maka pencegahan uang palsu perlu diupayakan baik secara preventif maupun represif.

Pemalsuan uang dilatarbelakangi oleh situasi perekonomian yang terpuruk, menyebabkan banyak masyarakat yang ingin mendapatkan uang banyak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang mudah. Hal itu menjadi salah satu motivasi yang kuat bagi para pemalsu dalam melakukan perbuatannya, di samping motivasi lainnya seperti motivasi politis untuk mengacaukan perekonomian negara.

Kejahatan Pemalsuan Uang sebagian besar adalah:

a. Kejahatan yang sifatnya tidak berdiri sendiri namun merupakan kejahatan yang terorganisir dengan baik, bahkan sangat mungkin merupakan kejahatan yang bersifat transnasional;

b. Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah pada umumnya para residivis. Hal ini kemungkinan disebabkan hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku masih ringan;

c. Pemalsuan terhadap mata uang memerlukan suatu proses yang cukup rumit, oleh karena itu biasanya pelaku Tindak Pidana merupakan orang-orang yang memiliki keahlian khusus13

13


(38)

25

Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah perlu diberikan hukuman yang berat (setimpal), antara lain dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian negara. Hukuman terhadap pemalsu uang perlu pula dikaitkan dengan jangka waktu edar suatu emisi uang agar para pemalsu tersebut setelah menjalani hukuman tersebut tidak dapat melakukan pemalsuan lagi terhadap Uang Rupiah dengan emisi yang sama. Selain itu, pidana penjara saja tidak cukup untuk menimbulkan efek jera, oleh karena itu terhadap para pemalsu uang perlu ditambahkan hukuman lain yaitu berupa penggantian kerugian materil yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut. Hal ini mengisyaratkan bahwa kejahatan pemalsuan uang yang sangat merugikan perekonomian negara.

Untuk menanggulangi pemalsuan Uang Rupiah, dari segi hukum material yang berlaku saat ini sebenarnya sudah cukup mengantisipasi pemalsuan Uang Rupiah baik yang terdapat dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang tentang Mata Uang. Akan tetapi dari segi hukum formal perlu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan profesionalisme aparat, sarana dan prasarana. Dalam rangka penanggulangan preventif pemalsuan Uang Rupiah, khususnya yang berkaitan dengan pemalsuan dan pengedarannya. Bank Indonesia adalah institusi yang berperan penting, sebab yang berhak dan mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan rupiah palsu atau tidaknya uang yang beredar adalah Bank Indonesia

Upaya penanggulangan secara represif, tidak hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum semata, tetapi juga perlu campur tangan institusi lain tanpa


(39)

26

mengecilkan arti institusi penegak hukum yang ada. Hal ini berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu:

a. Pemalsuan Uang Rupiah acap kali dilakukan sebagai kejahatan terorganisir bahkan melibatkan orang-orang yang punya kedudukan dan status dalam masyarakat.

b. Pemalsuan Uang Rupiah adalah transnational crime yang melewati lintas batas negara.

c. Pemalsuan Uang Rupiah adalah kejahatan yang sangat kompleks dalam pengertian tidak menyangkut motivasi ekonomi semata tetapi juga motivasi politik yang bertujuan terhadap instabilitas ekonomi suatu negara. Perihal kedua dan ketiga ini, banyak modus operandi pengedaran uang palsu yang bersumber dari luar negeri.

d. Pemalsuan Uang Rupiah, sangat bersifat teknis sehingga untuk menentukan apakah uang tersebut palsu atau tidak, dibutuhkan keahlian tersendiri.

e. Pembuktian pemalsuan Uang Rupiah yang berkaitan dengan pemalsuan tidaklah mudah karena si tersangka selalu mengatakan ketidaktahuannya bahwa uang yang dibawanya adalah palsu. 14

Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah merupakan kejahatan yang serius karena selain bertujuan untuk memperkaya diri sendiri secara ekonomis, juga dapat menghancurkan perekonomian negara secara politis. Kejahatan tersebut juga semakin canggih karena kemajuan dan kebaruan teknologi. Tanggung jawab terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah tentu saja bukan tugas dari Bank Indonesia dan pihak Kepolisian semata, melainkan tugas dari seluruh lapisan masyarakat untuk secara bersama-sama memerangi kejahatan tersebut.

Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kejahatan pemalsuan sebagaimana pemalsuan dokumen, sebab pemalsuan Uang Rupiah merupakan kejahatan yang berdampak luas, karena:

a. Kekayaan korban dan kemampuannya untuk menggunakan uang menjadi hilang, sebab yang bersangkutan menjadi pemegang uang palsu yang tidak ada nilainya (kejahatan terhadap mata uang memiliki akibat langsung terhadap menurunnya kemampuan ekonomi korban);

14


(40)

27

b. Menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Uang Rupiah baik domestik maupun internasional;

c. Mengganggu kestabilan ekonomi nasional. d. Menurunkan wibawa negara

e. Menurunnya kepercayaan terhadap rupiah akan menimbulkan biaya ekonomi yang lebih besar yang harus ditanggung oleh negara, karena Bank Indonesia, memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. 15 Bank Indonesia perlu melakukan intervensi pasar dalam rangka memelihara kestabilan nilai rupiah dan hal tersebut membutuhkan biaya besar. Selain itu, Indonesia sebagai negara berkembang, yang pada saat ini daya beli sebagian besar masyarakatnya sangat lemah, penurunan kemampuan ekonomi masyarakat akibat Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah akan semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Dampak ikutannya adalah menurunnya kredibilitas pemerintah di mata masyarakat karena pemerintah dapat dianggap tidak mampu melindungi kepentingan masyarakat.

Penurunan kemampuan ekonomi masyarakat perlu mendapat perhatian yang serius, apalagi pada umumnya korban Tindak Pidana Pemalsuan Uang Rupiah adalah masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang rendah, misalnya pedagang kecil (warung/asongan). Apabila kelompok masyarakat tersebut mendapat uang palsu dari pembeli, hal tesebut tidak hanya menimbulkan kerugian sebesar jumlah uang palsu tersebut, tetapi dapat mengancam kelangsungan usahanya karena pedagang kecil/asongan pada umumnya tidak memiliki simpanan uang yang cukup untuk menutupi kerugian dimaksud.

Perumusan Tindak Pidana terhadap mata uang dalam KUHP diatur dalam Pasal 244 – 252 KUHP, sebagai berikut:

15

Tim Perundang-Undangan dan Pengkajian Hukum, Paradigma Baru dalam Menghadapi Kejahatan Mata Uang (Pola Pikir, Pengaturan, dan Penegakan Hukum), Direktorat Hukum Bank Indonesia, Jakarta, 2005,hlm. 12


(41)

28

a. Perbuatan memalsukan mata uang; b. Perbuatan mengedarkan mata uang palsu;

c. Perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang palsu;

d. Perbuatan merusak mata uang berupa perbuatan mengurangi nilai mata uang dengan maksud untuk diedarkan;

e. Mengedarkan mata uang yang dirusak;

f. Perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang yang dikurangi nilainya;

g. Perbuatan mengedarkan mata uang palsu atau dirusak;

h. Membuat atau mempunyai persediaan bahan untuk pemalsuan uang;

i. Perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia keping-keping atau lembaran-lembaran perak tanpa ijin.

Pengaturan Sanksi Pidana terhadap jenis-jenis Tindak Pidana tersebut dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu perumusan sanksi secara tunggal (hanya satu jenis pidana saja, yaitu pidana penjara) dan secara alternatif, yaitu pidana penjara atau denda. Jenis sanksi pidana yang diancamkan selain pidana penjara dan denda juga ada sanksi perampasan uang palsu atau dirusak atau bahan-bahan yang digunakan untuk memalsukan uang dan pencabutan hak-hak terdakwa.

Perumusan sanksi pidana secara tunggal diancamkan kepada pelaku pemalsuanan perusakan mata uang (butir a – f), sedangkan Sanksi Pidana Alternatif diancamkan kepada pelaku yang mengedarkan dan menyimpan atau memasukkan bahan-bahan untuk pemalsuan Uang Rupiah (butir g – i). Mengingat pengaturan Tindak Pidana Terhadap Mata Uang mempunyai fungsi perlindungan terhadap


(42)

29

kepentingan publik dalam hal ini kepentingan ekonomi masyarakat dan negara maka disamping pidana penjara penjatuhan pidana denda kepada pelaku Tindak Pidana mata uang sangat penting sebagai kompensasi dari kerugian yang ditimbulkan oleh Tindak Pidana tersebut. Sanksi pidana penjara dalam KUHP menganut sanksi penjara minimum umum dan maksimum umum, yaitu minimum 1 hari dan maksimum 15 tahun.

D. Pengertian Anak

Pengertian anak menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Konsep anak menurut Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai


(43)

30

manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Batas usia pertanggungjawaban pidana anak berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010, adalah perubahan batasan usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun maka Mahkamah berpendapat hal tersebut membawa implikasi hukum terhadap batas umur minimum bagi anak nakal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak yang menyatakan, Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

E.Keadilan Substantif

Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek

prosedural akan di „nomorduakan‟. Secara teoritik, kedalilan substantif dibagi ke

dalam empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, keadilan retributif, kedilan komutatif, dan keadilan korektif. Kedilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdasarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok dalam keadilan distributif


(44)

31

adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan.16

Alasan yang muncul keharusan ditegakannya keadilan substantif karena keadilan berdasarkan hukum tidak selalu terkait kepada ketentuan-ketentuan formal-prosedural. Hal itulah yang kemudian menjadi acuan dalam diri hakim MK saat memberikan putusan pada setiap perkara yang masuk ke lembaganya. Sebagai lembaga yang mengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan penafsir konstitusi, maka konsekwensinya menjamin hak-hak rakyat yang telah ditegaskan dalam konstitusi. Salah satu hak yang harus dijamin adalah rasa keadilan.

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.17

Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi

16

Mahfud M.D., Penegakan Keadilan di Pengadilan,http://mahfudmd.com 17


(45)

32

hukum. Hakim semestinya menjadi seorang interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana undang-undang. Artinya, hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.

Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.18

18


(46)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.

Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian

1


(47)

34

ini merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan ilmiah.

2. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan. Data lapangan adalah yang diperoleh dari lapangan penelitian, sementara itu data kepustakaan adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan. Jenis data meliputi data sekunder dan data primer2 Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:

1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari: a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2


(48)

35

c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia

e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

f) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

g) Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

h) Undang- Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang

i) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Bahan Hukum Sekunder, terdiri dari berbagai bahan hukum seperti teori atau pendapat para ahli di bidang ilmu hukum yang terkait dengan permasalahan penelitian.

3) Bahan hukum tersier, bersumber dari berbagai referensi atau literatur buku-buku hukum, dokumen, arsip dan kamus hukum yang berhubungan dengan masalah penelitian.


(49)

36

2. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan observasi dan wawancara (interview) dengan narasumber penelitian

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi untuk memberikan penjelasan terkait dengan permasalahan yang dibahas. Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang 2). Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 2 orang 3). Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang+

Jumlah = 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan:

a. Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan b. Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan


(50)

37

dibutuhkan3 Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara (interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada responden penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan.

2. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Sistematisasi Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab

3


(51)

38

permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca, dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakuan secara induktif, yaitu menarik kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus lalu disimpulkan secara umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(52)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. dilaksanakan dalam bentuk penjatuhan pidana setengah dari orang dewasa, pelaku dipidana dengan pidana penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp 200.000.000 (duaratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan 4 bulan pejara, karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

2. Putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. telah memenuhi rasa keadilan substantif, karena terhadap anak tersebut tidak bisa diberikan diversi, oleh karena ancaman hukuman terhadap tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu diancam dengan pidana penjara di atas tujuh tahun dan sebagai upaya agar pelaku tidak melakukan tindak pidana di masa-masa yang akan datang.


(53)

72

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pada masa yang akan datang disarankan ke dalam upaya untuk memberikan pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana.

2. Pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana di masa yang akan datang disarankan untuk berpedoman pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam hal pemenuhan terhadap hak-hak anak sebagai tersangka atau terdakwa karena melakukan tindak pidana.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adityta Bakti.

Moeljatno. 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.

Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman, Surabaya: Bina Ilmu.

_______, 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti. Nawawi Arief, Barda dan Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung:

Alumni.

_______. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan

Penyidikan). Sinar Grafika. Jakarta.

Sigalingging, Hotbin. Ery Setiawan. dan Hilde D. Sihaloho. 2005. Kebijakan Pengedaran Uang di Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta


(55)

B. Undang-Undang dan Peraturan Lainnya

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang KepolisianNegara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

C. Sumber Lainnya

Bank Indonesia. 2004 Materi Penataran Ciri-Ciri Keaslian Uang Rupiah. Jakarta Tim Perundang-Undangan dan Pengkajian Hukum. 2005. Paradigma Baru dalam

Menghadapi Kejahatan Mata Uang (Pola Pikir, Pengaturan, dan Penegakan Hukum). Direktorat Hukum Bank Indonesia. Jakarta.


(1)

37

dibutuhkan3 Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara (interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada responden penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan.

2. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Sistematisasi Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab

3


(2)

38

permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca, dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakuan secara induktif, yaitu menarik kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus lalu disimpulkan secara umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. dilaksanakan dalam bentuk penjatuhan pidana setengah dari orang dewasa, pelaku dipidana dengan pidana penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp 200.000.000 (duaratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan 4 bulan pejara, karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

2. Putusan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/ Pid.B/2014/PN.Tjk. telah memenuhi rasa keadilan substantif, karena terhadap anak tersebut tidak bisa diberikan diversi, oleh karena ancaman hukuman terhadap tindak pidana menyimpan uang rupiah palsu diancam dengan pidana penjara di atas tujuh tahun dan sebagai upaya agar pelaku tidak melakukan tindak pidana di masa-masa yang akan datang.


(4)

72

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pada masa yang akan datang disarankan ke dalam upaya untuk memberikan pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana.

2. Pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana di masa yang akan datang disarankan untuk berpedoman pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam hal pemenuhan terhadap hak-hak anak sebagai tersangka atau terdakwa karena melakukan tindak pidana.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adityta Bakti.

Moeljatno. 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.

Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman, Surabaya: Bina Ilmu.

_______, 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti. Nawawi Arief, Barda dan Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung:

Alumni.

_______. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan

Penyidikan). Sinar Grafika. Jakarta.

Sigalingging, Hotbin. Ery Setiawan. dan Hilde D. Sihaloho. 2005. Kebijakan Pengedaran Uang di Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta


(6)

B. Undang-Undang dan Peraturan Lainnya

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang KepolisianNegara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

C. Sumber Lainnya

Bank Indonesia. 2004 Materi Penataran Ciri-Ciri Keaslian Uang Rupiah. Jakarta Tim Perundang-Undangan dan Pengkajian Hukum. 2005. Paradigma Baru dalam

Menghadapi Kejahatan Mata Uang (Pola Pikir, Pengaturan, dan Penegakan Hukum). Direktorat Hukum Bank Indonesia. Jakarta.


Dokumen yang terkait

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.95/Pid/B/2010/PN.TK)

1 5 34

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN UANG PERUSAHAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Perkara Nomor: 167/Pid.B/2011/PN.TK)

4 14 77

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 508/ PID/B 2011/PN.TK)

3 17 55

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Pada Putusan Nomor 116/Pid.B/2012/PN.TK)

0 11 52

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP SESEORANG YANG MELAKUKAN PENYERTAAN DAN PEMBARENGAN TINDAK PIDANA MENGGUNAKAN SURAT PALSU (Studi Putusan Pengadilan Nomor Register Perkara: 47/Pid./2012/PT.TK)

0 40 66

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Nomor: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

2 26 62

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK YANG MEMBANTU PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 124/Pid./2011/PT.TK.)

0 7 51

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENYIMPAN UANG RUPIAH PALSU (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/Pid.B/2014/PN.Tjk).

1 15 55

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENGAKIBATKAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Putusan No: 51/Pid.A/2013/Pn.GnS)

1 10 55

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK YANG MEMBANTU PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 124Pid.2011PT.TK.) Oleh M. Fikram Mulloh Khan ABSTRAK - ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK YANG MEMBANTU PENCURI

0 0 11