PENGAKUAN KEBERADAAN HUKUM PIDANA ADAT DI BALI

12

3. PENGAKUAN KEBERADAAN HUKUM PIDANA ADAT DI BALI

Di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali, masyarakatnya hidup dalam suatu himpunan organisasi kemasyarakatan dengan sistem budaya yang berkaitan erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Demikianlah, hukum adat yang ada yang hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilai-nilai keagamaan. Eratnya kaitan antara hukum adat dan agama, sebenarnya telah pernah dikemukakan oleh Van Vollenhoven, di mana dikemukakan bahwa hukum adat dan agama Hindu di Bali merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai akibat pengaruh agama Hindu demikian kuatnya ke dalam adat istiadat 6 . Keterkaitan tersebut berakibat dalam beberapa hal, ketaatan terhadap hukum adat, juga berhubungan dengan adat dan agama karena hukum adat tidak hanya dikokohkan oleh sanksi yang bersifat lahiriah, tetapi juga sanksi yang bersifat batiniah. Salah satu contoh konkrit keterkaitan yang erat antara hukum adat dan agama, adalah tata cara penjatuhan “sanksi adat” untuk delik-delik adat tertentu yang pelaksanaannya banyak berupa kewajiban untuk melaksanakan ritual adat keagamaan tertentu. Semua ini tentunya dilandasi dan berhubungan pula dengan nilai dasar filosofis reaksi adat, yakni untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat karena perasaan kotor “leteh”. 7 Dengan demikian, dalam masyarakat adat di Bali, di samping dikenal sanksi yang bersifat materiil juga sanksi yang bersifat immateriil. Dalam pola pikir masyarakat adat di Bali hampir semua kejadian dapat dilihat sebagai suatu „pertanda‟ akan terjadinya sesuatu kejadian yang bersifat 6 Van Vollenhoven., Penemuan Hukum Adat De Ontdekking van Het Adatrecht, terj. Koninklijk Instituut voor Tall, Lan-en Volkenkunde bekerjasama dengan LIPI, Jakarta : Djambatan, 1981, hal.131 7 I Gusti Ketut Ariawan 1992. “Eksistensi Delik Hukum Adart Bali Dalam Rangka Pembentukan Hukum Pidana nasional” , Tesis, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Jakarta, hal.10 13 positif ataupun negatif. Pola pikir ini telah mengakar bahkan „mengkultur‟ dengan kuatnya serta melandasi hidup dan kehidupan masyarakat adat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pelaksanaan pemenuhan kewajiban adat sampai dewasa ini masih tetap dilaksanakan, walaupun kasus tersebut telah diselesaikan lewat mekanisme peradilan pidana. Dijatuhkannya sanksi adat, sangatlah tergantung pada sensitif atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan. Memang, dalam praktek peradilan di Bali tidak banyak ditemukan putusan hakim yang menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat, padahal di satu sisi masyarakat adat menghendaki dijatuhkannya pidana pemenuhan kewajiban adat. Dalam kasus-kasus yang menghendaki dijatuhkannya pemenuhan kewajiban adat tentunya hakim akan terbentur pada ketentuan Pasal 10 KUHP, yang tidak menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana. Secara normatif, Pasal 5 ayat 3 sub b UU No.1 Drt 1951 memungkinkan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat, namun dalam praktek hal tersebut sangat jarang dilakukan. Untuk jelasnya berikut dikutip Pasal 5 ayat 3 sub.b UU No.1 Drt1951 sebagai berikut : Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :  bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara danatau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan terhukum.  bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksudkan di atas , maka atas kesalahan terdakwa dapat 14 dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.  bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut” Kesimpulan yang dapat dikemukakan dengan melihat rumusan pasal tersebut di atas adalah : 1. Delik adat yang tidak ada bandingannya dalam KUHP dan tergolong tindak pidana ringan, maka ancaman pidananya adalah pidana penjara selama 3 bulan dan atau pidana denda lima ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang sifatnya berat, ancaman pidananya adalah sepuluh tahun, sebagai perngganti hukuman adat yang tidak dijalani oleh terhukum. 2. Delik adat yang mempunyai bandingan dengan KUHP, maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP. 3. Menurut UU No.1 Drt Tahun 1951, sanksi adat dapat pula dijadikan pidana pokok oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara adat, yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tidak mempunyai bandingan dalam KUHP. Dengan demikian, sebenarnya ada kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila persoalan ini dikembalikan pada sanksi adat, maka ketentuan tersebut di atas merupakan landasan yang mewajibkan serta memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi adat. Hanya saja persoalannya, penjatuhan sanksi adat di luar ketentuan Pasal 10 KUHP hanya bisa dijatuhkan terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai bandingannya dalam 15 KUHP. Sedangkan dalam kenyataannya, ada beberapa perbuatan yang dilarang dan diancam pidana menurut ketentuan KUHP, tetapi menurut pandangan masyarakat juga merupakan delik adat yang terhadap pelanggarnya dituntut untuk melakukan upaya adat. Dilihat dari ketentuan Pasal 3 ayat 3 sub b UU No. 1 Drt Tahun 1951, sebenarnya hakim dapat saja mejatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat. Persoalannya, adalah dalam KUHP maupun UU No. 1 Drt Tahun 1951 tidak menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana. Hal ini tentunya mempersulit posisi seorang hakim, karena di satu sisi ada kewajiban untuk menggali hukum dan mengikuti perasaan keadilan masyarakat, namun di lain sisi, tidak ada ketentuan yang dapat dijadikan pedoman. Disini sebenarnya ditunut keberanian hakim untuk menemukan hukum, namun hal tersebut tidak dilakukan. Terobosan yang cukup menarik yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri di Bali adalah Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 11Pid1972, tanggal 13 Maret 1972 dalam kasus delik adat lokika sanggraha, antara terdakwa I Gusti Ngurah Raka dengan saksi korban Ni Nyoman Kenyod yang menjatuhkan pidana dengan syarat khusus. Dalam bagian pertimbangannya secara jelas disebutkan Menimbang bahwa saksi I Nyoman kenyod menerangkan bahwa ia telah dihukum oleh masyarakat desanya karena telah dianggap mengotori desanya, dengan dikenai denda dan harus melakukan upaca ra pembersihan desanya dengan mengadakan upacara “widi-widana”, maka menurut hemat hakim, sudah sepatutnya apabila hukuman yang dibebankan kepada saksi I Nyoman Kenyod itu dibebankan kepada terdakwa. Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 18PidS.1986PN-KLK, dalam kasus delik adat lokika sanggraha antara terdakwa I Ketut Suparta. dengan saksi korban Ni Ketut Werni. Di dalam bagian pertimbangannya, secara jelas dapat dibaca bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah merupakan tindak 16 pidana adat yang dapat mengganggu keseimbangan riil maupun immateriil, mengganggu keseimbangan lahir maupun magis bagi masyarakat setempat. Di samping itu juga, terutama terhadap si anak yang lahir sebagai akibat perbuatan terdakwa, jangan sampai mengalami tekanan bathin, serta tersisih dari pergaulan masyarakat, di samping juga karena kelahirannya tersebut desa adat tidak memberikan ijin kepadanya dan juga kepada keluarganya untuk melaksanakan upacara keagamaan di pura-pura di wilayah desa adat. Dengan dasar pertimbangan tersebut maka tidaklah bertentangan dengan hukum apabila terhadap terdakwa juga diterapkan Pasal 14 c KUHP yaitu dengan membebani suatu syarat khusus yang akan disebutkan dalam amar putusan. Dari beberapa kasus delik adat yang telah diputus oleh hakim pengadilan negeri yang dikemukakan di atas, sangat menarik untuk dikemukakan, bagimanakah tindakan-tindakan yang diambil oleh “krama” desa adat, sebagai berikut : 1. Dalam kasus pencurian benda-benda suci untuk melakukan upacara keagamaan, dalam bentuk pretima di Pura Agung Jagatnata, di desa adat Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar No. 88P.N. DpsK.S.1981, tanggal 8 Juni 1981 telah diputus berdasarkan ketentuan Pasal 363 ayat 1 angka 3 KUHP dan pelakunya Jumadi dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun, namun krama desa adat Denpasar beranggapan pidana penjara tersebut belumlah sepadan dengankerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku. Perbuatan pelaku telah mengakibatkan bukan saja kerugian materiil, tetapi juga kerugian immateriil. Untuk memulihkan kerugian immateriil, krama adat Denpasar melakukan upacara prascita, dengan maksud untuk mengembalikan kesucian pretima dan juga penyucian kembali tempat kejadian. 17 2. Dalam kasus pencurian sarana upacara keagamaan dalam bentuk “Pependeman” yang terjadi di Banjar Manukaya Anyar, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten daerah Tingkat II Gianyar yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Gianyar dengan putusannya No. 5PidS1987PN.Gir., tanggal 26 Februari 1987. Krama desa adat tetap membebankan kewajiban adat untuk melakukan upacara “mecaru manca sata” kepada pelakunya I Nengah Serinu dan I Made Rateng. 3. Dalam kasus pencurian sarana upacara keagamaan dalam bentuk “pretima” yang terjadi yang terjadi di Pura Desa Sulang , Kecamatan Dawan, Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Klungkung No. 10 PN.KLK PID . TOL ‟79, tanggal 29 Januari 1980. Krama desa adat membebankan upacara “pecaruan desa” dengan maksud untuk mengembalikan kesucian desa adat. 4. Dalam kasus delik adat lokika sanggraha yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Denpasar dengan putusannya No. 89PidB1997PN.Dps, tanggal 8 Mei 1997. Krama desa adat Pering, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar juga membebankan kewajiban adat untuk melakukan upacara pecaruan desa kepada saksi korban Ni Gusti Ayu Nilawati, dan sebelum upacara tersebut dilakukan maka saksi korban beserta keluarganya dilarang untuk mengikuti upacara keagamaan di pura desa setempat. Kewajiban untuk melakukan ritual pecaruan tersebut dimaksudkan untuk menyucikan desa, karena saksi korban telah melahirkan seorang anak tanpa ikatan perkawinan. Dalam kasus delik adat ini menarik untuk dikemukakan, bahwa beban yang diwajibkan krama desa adat justru kepada saksi korban sendiri. Permasalahannya, mengapa bukan kepada 18 pelakunya, yang dalam hal ini Nyoman Armaya. Menurut bendesa adat Pering, putusan krama desa adat lebih banyak menyoroti kelahiran anak dari saksi korban yang menurut kepercayaan krama adat setempat telah menimbulkan adanya perasaan “leteh”. Permasalahan ini kemudian berlanjut dengan digugatnya pelaku Nyoman Armaya oleh saksi korban di Pengadilan Negeri Gianyar. Di dalam putusan No. 1Pdt.G1998PN.Gir. dalam salah satu petitum gugatan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Gianyar menyebutkan pembebanan kepada tergugat I Nyoman Armaya untuk membayar upacara pecaruan yang dikeluarkan oleh saksi korban sebesar Rp.350.000,- 5. Dalam kasus delik adat lokika sanggraha yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Gianyar No. 4Pid.B.1997PN.GIR, tanggal 29 Maret 1997. Krama Banjar Adat Kecagan, Desa Adat Ketewel, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, membebankan kewajiban untuk melakukan upacara “meprascita”, karena kehamilan saksi korban Ni Ketut Koti dianggap telah menodai desa adat. 6. Dalam kasus delik adat Gamia-gamana yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Denpasar, No. 161KSPid1974, tanggal 30 Agustus 1974, dan dalam tingkat banding dengan putusan Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara dengan putusan No.15PTD1975Pid, tanggal 16 Juli 1975. Krama desa adat Carangsari telah menjatuhkan hukuman berupa kewajiban untuk melakukan ritual “pecaruan desa” kepada pelaku I Nyoman Gatra alias Pan Limur alias Pan Malen 7. Dalam kasus delik adat Gamia-gamana yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Amlapura dengan putusannya No. 61Pid.B.94PN.AP., tanggal 15 Desember 1994. Krama desa adat Abang, Kecamatan Abang, Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem 19 menjatuhkan hukuman berupa kewajiban untuk melakukan upacara adat “pemayuh jagat” karena perbuatan pelaku dianggap menodai kesucian desa adat. 8 Dengan pemaparan tersebut jelas menunjukkan bahwa penyelesaian kasus-kasus delik adat lewat mekanisme proses peradilan pidana, menurut pandangan masyarakat “krama” desa adat di Bali, belum menyelesaikan permasalahannya secara tuntas. Pemidanaan yang didasarkan atas ketentuan Pasal 10 KUHP bukan sarana yang dapat mengembalikan keseimbangan sebagai akibat adanya pelanggaran norma adat.

4. HUKUM PIDANA ADAT DI BEBERAPA DAERAH