KONSEP PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

3 a. ketentuan yang memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di dalam masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. produk hukum kolonial harus diganti dengan produk hukum yang dijiwai dan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945; dan c. pembentukan hukum pada umumnya perlu didukung oleh penelitian dan pengembangan hukum, serta ditunjang oleh sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum yang mantap. 6. Penelitian dan pengembangan hukum serta ilmu hukum dilaksanakan secara terpadu yang meliputi semua aspek kehidupan dan terus ditingkatkan agar hukum nasional senentiasa dapat menunjang dan mengikuti dinamika pembangunan sesuai dengan perkembangan aspirasi masyarakat, serta kebutuhan masa kini dan masa depan. Strategi yang digariskan secara konseptual dalam GBHN tersebut di atas, merupakan kelanjutan strategi pembangunan hukum yang telah pula digariskan dalam GBHN sebelumnya.

2. KONSEP PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia, telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, sebagai akibat KUHP yang selama ini diberlakukan merupakan produk hukum peninggalan kolonial WvSWetboek van Strafrecht yang dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia berdasarkan UU No.11946 jo. UU No.731958.Oleh karenanya, pembaharuan hukum pidana tidak saja meliputi alasan yang bersifat politis kebanggaan nasional untuk memiliki KUHP sendiri, alasan sosiologis merupakan tuntutan sosial untuk memiliki KUHP yang bersendikan sistem nilai nasional dan alasan praktis 4 adanya KUHP yang asli berbahasa Indonesia. Selain ketiga alasan tersebut di atas, masih terdapat pula alasan yang tidak kalah pentingnya, yaitu alasan adaptif, yakni KUHP nasional mendatang hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang telah disepakai oleh masyarakat beradab. 3 Pertimbangan lain, sebagai persoalan yang bersifat mendasar adalah hal-hal menyangkut heterogenitas kultur serta pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia baik yang bersifat hukum adat maupun yang bersifat religius yang mempunyai pengaruh terhadap hukum pidana. Pembentukan hukum pidana nasional, persoalannya tidak hanya terletak pada tiga substansi pokok hukum pidana, yakni yang menyangkut masalah : 1 masalah „tindak pidana‟ ; 2 masalah „kesalahan‟ ; dan 3 masalah „pidana‟. Di dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru besar Ilmu Hukum Pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana, dalam arti kebijakan menggunakan mengoperasionalisasikan memfungsionalisasikan hukum pidana, masalah sentral atau masalah pokok sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauh kewenangankekuasaan mengatur dan membatasi tingkah laku manusia warga masyarakatpejabat dengan hukum pidana. Ini berarti bahwa masalah dasarnya terletak di luar bidang hukum pidana itu sendiri, yaitu pada masalah hubungan kekuasaanhak antara negara dan warga masyarakat. Jadi berhubungan dengan konsep nilai pandangan ideologi sosio-filosofik, sosio-politik dan sosio-kultural dari suatu masyarakat, bangsanegara. 4 3 Muladi., ”Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana , Semarang: Universitas Diponegoro, 1990, hlm. 3. 4 Lihat Barda Nawawi Arief., “Beberapa Aspek...., hlm. 16. 5 Dari apa yang dikemukakan di atas, nampak bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana, berkaitan erat dengan aspek sosio-politik, aspek sosio-filosofis dan aspek sosio-kultural ataupun dari berbagai aspek kebijakan, baik kebijakan sosial, kebijakan kriminal maupun kebijakan penegakan hukum. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakangi perlunya pembaharuan hukum pidana. Dari kenyataan ini pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan re-orientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan “policy-oriented approach”dan pendekatan yang berorientasi pada nilai “value-oriented approach”.Pembaharuan dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan tersebut merupakan bagian dari langkah kebijakan, yaitu bagian dari politik hukumpenegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial. Dalam setiap langkah kebijakan policy, terkandung pula pertimbangan nilai. Dari kenyataan inilah pembaharuan hukum pidana, di samping harus mempertimbangkan pendekatan nilai, juga harus mempertimbangkan pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kebijakan. 5 Secara umum, hukum nasional yang hendak kita wujudkan harus memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan 5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 30-31. 6 kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu, oleh karenanya dimensi pembangunan hukum nasional menuju sistem hukum nasional yang kita cita-citakan yaitu dimensi pemeliharaan, pembaharuan dan penciptaan sedapat mungkin menggunakan wawasan pembangunan hukum nasional. Dengan demikian, cita-cita unifikasi hukum dalam bidang-bidang hukum tertentu yang kita usahakan akan sekaligus mampu menjamin tertuangnya aspirasi, nilai-nilai maupun kebutuhan hukum dari berbagai ragam kelompok masyarakat ke dalam sistem hukum nasional. Apabila persoalan ini kita kembalikan pada pemahaman tentang istilah „hukum pidana nasional‟, maka istilah nasional harus diartikan secara relatif, karena muatannya mau tidak mau harus mencakup 1 aspirasi ideologi nasional; 2 aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa; dan 3 kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Ketiga cakupan muatan tersebut, terutama cakupan kedua, yakni aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, merupakan satu fenomena tersendiri, lebih-lebih dalam hubungannya dengan realitas masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural, yang masing-masing punya konsepsi tentang apa itu perbuatan jahat. Nampaknya penyusun rancangan KUHP menyadari betul fenomena tersebut, sehingga dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan, rancangan KUHP bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang hukum tertulis. Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 1 rancangan KUHP Tahun 2012 RKUHP terakhir yang telah disampaikan ke DPR, RKUUHP Tahun 2014. Berbeda halnya dengan asas legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP WvS selama ini, konsep KUHP memperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 itu tidak mengurangi berlakunya “hukum yang 7 hidup” di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber hukum tertulis undang-undang sebagai kriteriapatokan formal yang utama, rancangan KUHP juga masih memberikan tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang ada dan hidup dalam kenyataan masyarakat sebagai dasar untuk menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang ada dan hidup dalam kenyataan masyarakat, terbatas untuk delik-delik yang tidak diatur dan tidak mempunyai bandingannya dalam undang-undang. Terhadap permasalahan ini, Muladi pernah mengemukakan bahwa jembatan yuridis untuk aktualisasi atau rekriminalisasi hukum adat pidana dalam kerangka hukum pidana nasional, sudah jelas, yaitu Pasal 5 ayat 3 sub. b UU No.1 Drt Tahun 1951 dan UU tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Jembatan teoritiknya adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya baik positif maupun negatif. Di samping itu, perlu dicatat pula beberapa yurisprudensi yang memberikan kedudukan hukum adat pidana sebagai sumber hukum tidak tertulis dalam memeriksa dan memutus suatu kasus adat. Di sisi lain, secara sosiologis hal-hal di atas telah memperoleh dukungan dari „legal community‟ dalam bentuk rancangan KUHP, yang secara jelas mengakui eksistensi hukum adat pidana, mengakui sifat ajaran melawan hukum materiil, mengakui jenis pidana tambahan „pemenuhan kewajiban adat‟, mengakui penyelesaian konflik sebagai salah satu tujuan pemidanaan. Apabila persoalan ini ki ta kembalikan pada pemahaman tentang istilah „hukum pidana nasional‟, maka istilah nasional harus diartikan secara relatif, karena muatannya mau tidak mau harus mencakup 1 aspirasi ideologi nasional; 2 aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa; dan 3 kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Mengkaitkan asas legalitas dengan hukum pidana adat, jelas tidak akan memperoleh titik temu, karena di satu sisi hukum pidana adat dilandasi oleh 8 falsafah harmoni dan „communal morality‟. Sedangkan di sisi lain, asas legalitas principle of legality berporos pada 1 legal difinition of crime; 2 punishment should fit the crime; 3 doctrine of free will; 4 death penalty for some offences; 5 no empirical research; dan 6 definite sentence , yang kesemuanya ini merupakan karakteristik daripada aliran klasik. Mencermati semua permasalahan ini, maka asas legalitas yang mempunyai elemen utama jaminan kepastian hukum terhadap keberadaan tindak pidana dan sanksi pidana maupun tindakan haruslah ditafsirkan dalam kerangka pemikiran neo-klasik, yang memandang pula betapa pentingnya tindak pidana natural natural crime atas dasar konsep „Dader-daadstrafrecht‟. Dalam hal ini terkandung pula apa yang dinamakan „demokratisasi‟ perumusan tindak pidana, dalam artian apa yang dinamakan tindak pidana mutlak dilandasi oleh persepsi yang sama antara penguasa dengan rakyat. Asas legalitas harus diartikan secara kontemporer dengan „spirit‟ yang berbeda dari aslinya dan lebih demokratis, spirit tersebut antara lain : a Forward looking; b Restoratif justice; c Natural crime; dandIntegratif Atas dasar keempat tolok ukur tersebut di atas, akan dapat dilakukan suatu seleksi untuk dapat memahami, apakah delik adat dapat disejajarkan dengan hukum pidana tertulis proses rekriminalisasi dan aktualisasi. Persoalan ini menjadi sangat penting, karena sampai saat ini masih banyaknya orang mengartikan hukum adat dan asas legalitas secara „bebas nilai‟ value free. Keempat tolok ukur sebagaimana dikemukakan di atas, memperoleh pembenarannya dari segi konseptual, yang untuk masing-masing tolok ukur tersebut dapat diberikan penjelasan sebagai berikut : a Spirit “forward looking” didukung oleh nilai bahwa penggunaan hukum pidana hendaknya jangan semata-mata sebagai sarana balas dendam; 9 b Spirit “Restoratif justice” didukung oleh sistem nilai yang menegaskan bahwa kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat penggunaan hukum pidana haruslah lebih kecil dari akibat tindak pidana; c Spirit “natural crime” dibenarkan sistem nilai bahwa, baik „law making‟ maupun „law enforcement‟ harus didukung oleh masyarakat; dan d Spirit “integratif” didukung oleh fungsi hukum pidana yang harus mencakup pengaturan yang serasi tentang perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana pelaku, pidana dan tindakan serta perhatian terhadap korban tindak pidana. Jika direduksi, maka tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan adanya ketertiban.Tujuan ini tentunya sejalan dengan fungsi utama hukum yaitu, mengatur. Ketertiban merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat. Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan kebutuhan obyektif bagi setiap masyarakat manusia. Para penganut teori hukum positif menyatakan bahwa „kepastian hukum‟ sebagai tujuan hukum. Kerangka pikir positivisme hukum beranjak dari, ketertiban ataupun keteratutan tidaklah mungkin dapat terwujud tanpa adanya garis-garis prilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan akan ada jika ada kepastian, dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk tertulis. Anggapan ini dibenarkan oleh banyak kalangan akhli hukum, karena faktanya memang demikian. Tetapi sangatlah penting untuk diingat kembali, berbagai kritik yang dilontarkan terhadap bentuk hukum tertulis, karena dalam bentuknya yang demikian,hukum dapat terjebak oleh sifatnya yang kaku rigid sehingga sulit mengantisipasi kebutuhan hukum masyarakat. Bertolak dari pemikiran tersebut, kepastian hendaknya jangan ditafsirkan secara kaku, tetapi kepastian yang fleksibel, bukan dalam arti dapat ditafsirkan secara luas, melainkan bersifat lengkap, konkrit, prediktif dan antisipatif. 10 Bertolak dari apa yang dikemukakan tersebut di atas serta dengan mencermati tolok ukur yang telah pula dikemukakan , maka usaha rekriminalisasi mencakup „law making‟ dan „law enforcement‟ harus dapat merumuskan secara jelas keempat hal di atas, yang apabila dijabarkan akan menyangkut persyaratan sebagai berikut : 1 tidak semata-mata bertujuan pembalasan, dalam arti bersifat ad hoc; 2 harus menimbulkan kerugian atau korban yang jelas bisa aktual dalam delik materiil dan bisa potensial dalam delik formil; 3 apabila ada cara lain yang lebih baik dan efektif, hendaknya hukum pidana tidak dipergunakan; 4 kerugian yang ditimbulkan akibat pemidanaan, harus lebih kecil apabila dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan; 5 memperoleh dukungan masyarakat; dan 6 dapat diterapkan secara efektif Apabila disepakati, bahwa asas legalitas dalam pengertian kontemporer harus mencakup legalitas atas : 1 tindak pidana; 2 sanksi pidana dan tindakan; 3 pelaku, yang dalam hal ini orang atau badan hukum; dan 4 korban, maka akan sangat menarik apabila hal ini digunakan untuk mengevaluasi karakteristik hukum pidana adat. Di dalam melakukan evaluasi terhadap karakteristik hukum adat pidana, Muladi mengemukakan asumsi-asumsinya sebagai berikut : a. Tidak adanya pemisahan antara hukum pidana dengan hukum privat secara dikhotomi relatif dapat dibenarkan. Hal ini antara lain dicerminkan oleh “ultima ratio principles” atau “principles of restraint”, sanksi yang saling menunjang ganti rugi dalam hukum pidana, adanya hukum pidana administratif dan tindakan tata tertib. b. Penonjolan “communal morality” hendaknya diimbangi dengan “institusional morality” dan “civil morality”. Contohnya adalah dengan 11 adanya “collective responbility” tanpa landasan ajaran kesalahan sama sekali. c. Hukum adat pidana hendaknya didudukkan secara komplementer ingat peranannya sebagai environmental input terhadap asas „prae existence regels‟. d. Penyelesaian lewat perdamaian dalam delik-delik perseorangan yang tidak menyangkut persekutuan dalam hukum adat pidana, hendaknya dibatasi untuk tindak-tindak pidana ringan dan dalam kaitannya dengan hukum pidana nasional dapat dihubungkan dengan „alternative sanction‟. e. Dalam beberapa delik adat, masalah kemampuan bertanggungjawab atas orang gila, anak dikesampingkan. Hal ini tidak mungkin diterima atas dasar doktrin „daad-daderstrafrecht‟. Secara universal, setiap tindak pidana harus mencakup dua elemen. Elemen pertama adalah elemen material yakni adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang- undang, dan elemen kedua adalah elemen mental dalam bentuk kesengajaan termasuk „dolus eventualis‟ dan kealpaan. f. Dalam hal-hal tertentu dalam hukum adat pidana „individualisasi pidana‟ didasarkan atas stratifikasi sosial. Prinsip „equality before the law‟ harus dikembangkan pada alasan-alasan universal dan obyektif. g. Dalam hukum adat pidana, perbuatan main hakim sendiri dalam hal-hal tertentu dapat dibenarkan. Hal ini perlu ditinjau, karena secara universal main hakim sendiri hanya dimungkinkan dalam „self defence‟ yang bersifat darurat. h. Pedoman pemidanaan seringkali berorientasi pada prinsip „daad- strafrecht‟. Masalah kerugian atau korban, perlu dipertimbangkan untuk menentukan berat ringannya pidana seperti konsep KUHP. 12

3. PENGAKUAN KEBERADAAN HUKUM PIDANA ADAT DI BALI