Distrik Oadate : Nigogoko atau Niyaro

26 Terhadap jenis pelanggaran adat tersebut, penyelesaiannya dilakukan di hadapan kepala kampung dan kepala adat. Putusan yang diambil, semuanya didasarkan pada musyawarah mufakat, dalam suatu ritual adat yang disebut ‟Waisowosiyo‟ yang artinya mari duduk secara bersama-sama untuk menyelesaikan masalah 11 . Lebih-lebih dalam pelanggaran adat ”perkelahian” atau penganiayaan, ritual Waisowosiyo sangat mempunyai artimakna. Dalam pandangan masyarakat adat di kampung-kampung distrik Waropen Bawah, proses peradilan formal kasus-kasus adat hanya menyelesaikan masalah di permukaan, dan belum menyelesaikan masalahnya secara tuntas. Ritual ini dimaksudkan pula untuk menghindarkan adanya balas dendam yang tidak saja dapat dilakukan oleh keluarga dekat korban, tetapi kemungkinan pula dilakukan oleh keturunan korban.

D. Distrik Oadate :

Oadate berasal dan kata : ”Owa furu” dan ”Date” Owa furu berarti orang yang tidak tahu apa- apa pengembara. Sedangkan ”date” berarti sekelompok orang di darat. Secara harfiah, Oadate berarti ikatan orang- orang darat. Sebutan orang darat lebih berkonotasi pada pembedaan orang-orang waropen pesisir dengan orang-orang yang mendiami daerah dataran di daratan waropen. Namun perlu dicatat bahwa dalam pandangan masyarakat adat oadate, prinsipnya semua orang berasal dari darat yang kemudian sebagian dari mereka pergi ke pesisir. Distrik Oadate terdiri dari 5 kampung dengan jumlah penduduk kurang lebih 1984 jiwa. Di distrik Oadate terdapat kurang lebih 18 suku, namun dalam penelitian ini hanya diwakili oleh 4 suku, yaitu : 1 Suku 11 Hasil wawancara dengan Gharak Rumabin Anthonius Rumboisano Kepala Suku Besar Sawai 27 Demisa; 2 Suku ChoriaOa; 3 Suku SapuniKuriye; dan Suku Nubuai suku Kai Barat Di kalangan masyarakat adat suku Demisa, otoritas Dewan Adat dipimpin oleh seorang kepala adat suku besar yang disebut ”Date Teadiya” Kepala suku besar dibantu oleh panglima tertinggi adat, mahkamah tinggi adat dan komandan perang lapangan. Di kalangan suku Demisa, berlaku suatu ketentuan bahwa seorang anak laki-laki, sebelum melangsungkan perkawinan, ia wajib untuk menuntut ilmu dalam sekolah adat. Sekolah adat dapat pada masa lalu, lamanya sampai 12 tahun dan kemudian berubah menjadi 6 tahun, kemudian berubah menjadi 3 tahun, berubah lagi menjadi 1 tahun. Sekarang sekolah adat hanya berlangsung selama 3 bulan, karena di kalangan suku demisa ada kekhawatiran aktivitas sekolah adat ini bisa dicurigai sebagai kegiatan yang melanggar aturan. Selesainya yang bersangkutan menjalankan kewajiban belajar di sekolah adat menjadi tolok ukur bahwa seseorang telah dewasa ”basire”. Bagi mereka yang belum mengenyam pendidikan sekolah adat disebut ”boose”. Sekolah adat di kalangan suku demisa, mengajarkan berbagai keterampilan seperti : ilmu perangstrategi taktik serang, mengenali musuh 12 , adaptasi dengan alamlingkungan sampai kemampuan untuk berubah wujud menjadi binatang seperti : tikus, buaya ataupun burung kaswari dan juga kemampuan untuk memanggil binatang-binatang tertentu 13 Apabila dikaji dari penjelasan tersebut di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa sekolah adat tersebut sebenarnya berkaitan erat 12 Strategi perang yang dipergunakan oleh suku Demisa adalah menyerang pada waktu malam hari. Untuk mengenal lawan dan kawan, ”bokoraho” memasang jamur pada jidat yang menyala di malam hari merupakan sarana yang ampuh untuk mengenal kawan. 13 Rangkuman wawancara dengan Simon Didam dan Saul Didat sebagai kepala suku Demisa. 28 dengan situasi dan kondisi pada saat itu, dimana seseorang anggota suku harus dapat mempertahankan hidup dan kehidupannya, baik bertahan dari serangan lawan maupun upaya bagaimana mereka dapat mempertahankan hidup dengan memiliki keterampilan berburu dengan cara memanggil binatang yang akan menjadi sasaran bidikannya. Di kalangan suku-suku di distrik Oadate, tidak dikenal istilah- istilah untuk menyebutkan suatu perbuatan sebagai delikpelanggaran adat. Hanya saja dalam sebutan yang telah umum diterima, istilah ”Kaowamero” dipakai sebagai sebutan bagi pelanggaran-pelanggaran norma adat, baik itu untuk pelanggaran berupa pencurian, penganiayaan maupun pembunuhan. Di kalangan suku OaChoria pelanggaran norma adat disebut ”Birimdate” atau ”Datefiyae” yang berarti orang tidak baik. Pada masa lalu, pelanggaran-pelanggaran adat selalu diancam dengan hukuman mati sebagai putusan dari kepala suku yang sifatnya mutlak. Kepala suku ”Oa” dalam melaksanakan kewenangannya dibantu oleh ”Oedate” atau ”Oweidate” sebagai wakil dan juga ”Kumambe” masyarakat perang dan ”Oboadamo” masyarakat umum. Suku ini juga mengenal sekolah adat, hanya saja berbeda dalam kurun waktu pelaksanaannya dibandingkan dengan suku Demisa. Sekolah adat di kalangan suku OaChoria hanya berlangsung 1 tahun, kemudian dirubah menjadi 6 bulan. Dan setelah masuknya agama dan pemerintahan, sekolah adat hanya berlangsung selama 7 hari 1 minggu. Namun yang sama adalah materi yang diajarkan di sekolah adat, sama dengan apa yang diajarkan dalam sekolah adat suku Demisa. Orang-orang yang termasuk dalam suku OaChoria, menyebut pelanggaran adat sebagai ”Dilimdamo” yang berarti salahi aturan adat. 29 Yang menarik, adalah ditemukan 2 cara perdamaian adat dalam penyelesaian kasus- kasus pelanggaran adat, yang disebut ”Sarohe” atau pisang perdamaian adat. Dalam ritual ini, pisang sarohe dibakar beramai- ramai antara mereka yang terlibat konflik. Setelah pisang matang, semua mengambil posisi berdiri dan kepala suku mulai berbicara, kemudian disusul dengan pengucapan sumpah bersama untuk tidak melakukan konflik. Kemudian, pisang dipatahkan dan sisanya dibagikan kepada masing-masing warga. Di kalangan suku OaChoria, juga dikenal cara perdamaian yang disebut dengan istilah ”Atayumero” penukaran perdamaian. Pola penyelesaian ini biasanya dilakukan terhadap kasus-kasus perkawinan ataupun perkelahian. Caranya adalah dengan cara penukaran sarana- sarana tertentu, yang pada masa lalu biasanya dalam bentuk ”wemo” anjing, ”jubi” anak panah. 6. DELIK ADAT DAN PERADILAN DI DAERAH OTONOMI KHUSUS Pada masa kolonial ada dua bentuk peradilan untuk orang pribumi yaitu ”Peradilan Adat” dan ”Peradilan Desa”. Antara kedua badan peradilan ini, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipiil. Peradilan Desa umumnya terdapat hampir di seluruh Nusantara pada masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial. Namum peradilan adat ditemukan pada masyarakat yang bersifat teritorial maupun geneologis. Akan tetapi yang jelas kedua peradilan dimaksud terkait dengan fungsi dari suatu masyarakat hukum adat adatrechtgemeenschap yang ditemukan diberbagai masyarakat adat di Nusantara. Namun tidak semua masyarakat adat mengenal adanya peradilan adat atau peradilan desa, karena mereka hanya mengenal adanya suatu mekanisme penyelesaian sengketa menurut hukum adat setempat. 30 Ketika pemerintah menetapkan Undang-undang Darurat No. 1 Drt Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan, Pengadilan Sipil LN. 1951 No. 9 pada tanggal 13 Januari 1951 pemerintah secara tegas sudah menentukan sikap mengenai keberadaan peradilan adat dan kedudukan peradilan desa. Pada pokoknya Undang-undang Darurat No. 1 Drt Tahun 1951 berisi 4 hal yaitu : 1. Penghapusan beberapa pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan suasana negara kesatuan. 2. Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja di beberapa daerah tertentu dan semua pengadilan adat. 3. Pelanjutan peradilan agama dan peradilan desa; serta 4. Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-tempat di mana dihapuskan Landgerecht atau Pengadilan Negara serta pembentukan Pengadilan Tinggi di Makassar dan pemindahan tempat kedudukan Pengadilan Tinggi Yogya dan Bukit Tinggi masing-masing ke Surabaya dan Medan. Pasal 1 ayat 1 sub b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 menyatakan pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapus segala Peradilan Adat Inheemse Rechtspraak in rechtsreeks bestuurd gebied, kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Adat. Kemudian dalam ayat 3 disebutkan bahwa ketentuan yang tersebut dalam ayat 1 tidak sedikitpun mengurangi kekuasaan yang sampai saat ini diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana di maksud dalam Pasal 3a Rechterlijk Organisatie . Penghapusan Peradilan Adat dimaksud untuk menciptakan adanya kesatuan sistem peradilan melalui suatu Pengadilan Negara. Penghapusan 31 peradilan swapraja dan peradilan adat tak memungkinkan dijalankan pada saat peraturan ini diundangkan, karena konsekuensinya bagi hakim pada Pengadilan Negeri diperluaskan beban tugasnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penghapusan peradilan adat dilakukan secara berangsur-angsur menurut kebutuhan dengan memperhatikan kesiapan tenaga-tenaga hakim di pengadilan negeri. Untuk itu, penghapusan peradilan adat dilakukan melalui beberapa ketentuan seperti: 1. Peraturan Menteri Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J.B.4317 TLN 276 tentang Penghapusan Pengadilan-pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat di seluruh Sulawesi; 2. Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 September 1953 No. J.B.447 TLN. 462 tentang Penghapusan Pengadilan-pengadilan Adat di seluruh Lombok; 3. Peraturan Menteri Kehakiman tanggal 21 Juni 1954 No. J.B.432 TLN. 461 jo. Surat Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 18 Agustus 1954 No. J.B.A.420 TLN. 642 tentang penghapusan-penghapusan pengadilan-pengadilan swapraja dan Pengadilan Adat di seluruh Propinsi Kalimantan; 4. Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1966 tentang Penghapusan Pengadilan AdatSwapraja dan Pembentukan Pengadilan Negeri di Irian Jaya Barat. Peraturan Presiden ini dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi Undang-undang. Sebagai pelaksanaan dikeluarkan Keputusan Bersama Gubemur Kepala Daerah Propinsi Irian Barat dan Ketua Pengadilan Tinggi Jayapura No. 11GIB1970BO- 11TV1970 tentang Penghapusan Pengadilan AdatSwapraja di daerah Propinsi Irian Barat 32 Pada zaman orde lama telah dikeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun 1964 LN. 1964 No. 107 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-undang ini tidak ada pernyataan yang tegas tentang penghapusan peradilan adat. Di dalamnya hanya ada Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan “semua peradilan di selurh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan Undang- undang”. Penjelasan Pasal tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ada dua Pasal yang secara khusus menyangkut peradilan adat yaitu : 1. Pasal 3 ayat 1 menyatakan “semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan Pasal ini TLN. 2951 menyatakan pasal ini mengandung arti bahwa di samping peradilan negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan peradilan negara. 2. Pasal 39 menyebutkan Penghapusan Pengadilan Adat dan Swapraja dilakukan oleh Pemerintah. Sebagian penjelasan pasal mi menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 1 Drt Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan kekuasaan dan acara pengadilan sipil Pasal 1 ayat 2 oleh Menteri Kehakiman secara berangsur-angsur telah dilakukan penghapusan pengadilan adat swapraja. di seluruh Bali, Propinsi Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Kalimantan, Jambi dan Maluku. Di daerah-daerah Provinsi dengan otonomi khusus, persoalan delik adat dan lembaga penyelesaian delik adat, tidaklah menjadi persoalan, sebagai akibat di daerah dengan otonomi khusus, diakui adanya lembaga peradilan di luar peradilan formal, seperti Aceh dan Papua.

A. Peradilan Syari’at di Aceh :