1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memaafkan  adalah  sebuah  prinsip  dalam  merespon  pelanggaran, penghianatan,  dan  kejadian  meyakitkan  lainnya.  Dengan  memaafkan,  rasa
sakit  dan  luka  hati  yang  disebabkan  oleh  kesalahan  pelanggar  dapat terlepaskan Egan  Todorov, 2009. Konsep memafkan ini merupakan suatu
prinsip  positif  yang  memiliki  asosiasi  dengan  kesehatan  dan  kesejahteraan individu  bahkan  dalam  suatu  hubungan  Worthington,  Witvliet,  Pietrini,
Miller, 2007. Namun,  Kita  perlu  sedikit  melihat  tentang  sifat  dasar  manusia  yang
dapat dipahami lewat sudut pandang dari biologi evolusioner, filosofi moral, dan  teologi.  Didalam  diri  manusia  berisi  kapasitas  untuk  menjadi  manusia
yang  jahat  dan baik,  untuk  merugikan dan menolong,  untuk  menyerang atau membalas  dendam,  dan  untuk  memaafkan  atau  rekonsiliasi  McCullough,
2007.  Ketika  ada  konflik  atau  kejahatan  yang  menimpa  seseorang,  ego mengajak  untuk  tidak  memaafkan  orang  yang  bersalah.  Dalam  keadaan  ini
korban  diliputi  oleh  rasa  marah,  ketakutan,  kepahitan  dan  bahkan  berakibat stress pada diri korban Worthington et al, 2007.
Penelitian  mengenai  psikofisiologi  manusia  yang  dilakukan  oleh McCulluogh  2006  menunjukkan  bahwa  pikiran  dan  perasaan  yang  kita
pendam  ketika  stress  sering  diterjemahkan  dalam  gejala  fisik  atau
2
gangguan  emosional.  Gangguan  emosional  ini  seperti  kecemasan,  depresi, dan  rendahnya  harga  diri.  Lalu  gejala  fisik  yang  timbul  yaitu  sakit  kepala,
sakit  punggung,  sakit  perut,  dan  menurunnya  kekebalan  yang  bisa  membuat kita  rentan  terhadap  infeksi  dan  alergi.  Selain  itu,  dalam  emosi  negatif
ditunjukkan  bertambah  tingginya  tegangan  otot  mata,  denyut  jantung  yang lebih tinggi, dan tegangan alis mata yang juga meninggi.
Selain perasaan, juga terdapat keinginan untuk mendapatkan keadilan dengan  menghukum,  menghujat,  dan  memusuhi,  dianggap  sebagai  solusi
pemecahan  suatu  konflik  Worthington  et  al,  2007.  Perilaku  ini  sering  kita saksikan  dalam  berita  tentang  tawuran,  terjadinya  perang  suku  yang  hanya
dikarenakan  ada  perselisihan  antar  individu  yang  dibesar-besarkan,  bahkan kasus tuntutan akan pemukulan yang dilakukan secara hukum legal.
Dalam  beberapa  kasus,  masalah  yang  diselesaikan  lewat  keadilan kadang-kadang  malah  memperbesar  sebuah  konflik.  Dengan  mengetahui
dampak  yang  menguntungkan,  kita  perlu  menggunakan  prinsip  lain  untuk menyelesaikan  masalah-masalah  yang  sulit.  Salah  satu  cara  yang  baik  untuk
mengatasi  kejadian  menyakitkan  tersebut  adalah  dengan  memaafkan  Ken- ichi  Naomi, 2001.
Bagaimanakah  arti  memaafkan  itu  sendiri?  Apakah  dampak  dari memaafkan  tersebut?  Peneliti  berusaha  menguraikan  beberapa  penelitian
sebelumnya  tentang  memaafkan.  Kebanyakan  orang  sering  mendefinisikan konsep  memaafkan  dengan  makna  yang  berbeda.  Konsep  Memaafkan
berbeda  dengan
forgetting
,
condoning
,
pardon
,  dan
reconciliation
.
3
Memaafkan  tidak  membutuhkan  adanya  melupakan  atau  memindahkan kejadian  terluka  dari  kesadaran  APA,  2006.  Memaafkan  justru  mengingat
dan  mengganggap  serius  pada  perilaku  salah  dan  merugikan  yang  telah dilakukan  The  Encyclopedia  of  positive  Psychology.
Condoning
adalah perilaku  yang  menggagalkan  untuk  melihat  tindakan  sebagai  sesuatu  yang
salah
.  Pardoning
berarti  pengampunan  yang  biasa  dilakukan  dalam  dunia hukum
.  Reconciliation
adalah  adanya  perdamaian  suatu  hubungan  yang sebelumnya  pecah  antara  orang  yang  menyakiti  dan  yang  tersakiti  APA,
2006. Memaafkan lebih sebagai suatu perubahan dari motivasi menjauhi atau mencari cara membalas  dendam  terhadap orang  yang menyakiti  hati menuju
kearah yang netral atau lebih positif. McCullough, 2005. Telah  ada  beberapa  penelitian  mengenai  perbedaan  dampak
memaafkan  dan  tidak  memaafkan  secara  intrapersonal.  Dalam  survei  cross- sectional  yang  dilakukan  pada  wanita  yang  mengalami  perceraian  dan
dipisahkan dengan anaknya, biasanya akan melakukan tindakan permusuhan, marah,  dan  cemas.  Aschleman  dalam  Bono    McCullogh,  2006
menemukan  bahwa  istri  yang  telah  memaafkan  sang  suami  memiliki penerimaan diri dan tujuan hidup yang lebih baik daripada seorang istri yang
memutuskan  untuk  tidak  memaafkan  pasangannya.  Penelitian  lain menemukan  bahwa  orang  yang  memaafkan  orang  yang  telah  menyakitinya
memiliki  kepuasan  hidup  yang  tinggi,  sementara  yang  masih  tidak memaafkan  menunjukkan  gejala-gejala  stress  psikologis  Freedman
Enright, 1996; McCullough et all., 2001.
4
Kemudian,  ada  beberapa  penelitian  yang  memfokuskan  konsep  dari memaafkan,  salah  satunya  dengan  membagi  topik  memaafkan  berdasarkan
orientasinya  oleh  Lawler-Row,  Scott,  Raines,  Edlis-Matityahou,    Moore 2007.  Penelitian  ini  terbagi  menjadi  memaafkan  interpersonal
focus  on other
dan  memaafkan  intrapersonal
focus  on  self
.  Contoh  respon  dalam memaafkan  intrapersonal  adalah  melepaskan  sesuatu  yang  salah  dalam  diri,
menyadari  bahwa  orang  lain  bisa  melakukan  kesalahan;  dan  jika  tidak memaafkan  dan  masih  menyimpan  kebencian  dalam  hati,  maka  akan
berdampak  untuk  kehidupan  seterusnya.  Lalu,  contoh  memaafkan interpersonal    adalah  memahami  bahwa  pelaku  menyesal  atas  perbuatannya,
membiarkan  pelaku  mengetahui  bahwa  kesalahannya  dapat  dimaklumi menerima apa yang sudah mereka lakukan, dan tetap menjadi teman.
Penelitian  Lawler-Row  dan  koleganya  ini  dilakukan  pada  270  siswa kejuruan  yang  diambil  dari  usia  18-33  tahun.  Hasil  penelitian  menunjukkan
45,  6  hanya  memaafkan  intrapersonal  atau  berfokus  pada  diri  sendiri,  31, 1  memaafkan  interpersonal  atau  berfokus  pada  pelaku,  dan  20,  4
keduanya yaitu memaafkan intrapersonal dan interpersonal. Lowler-Row  et  al  2007  juga  melakukan  penelitian  yang
membedakan gender berdasarkan respon dalam memaafkan. Hasilnya adalah sebanyak  46,  3    pada  laki-laki  mengatakan  bahwa  memaafkan  sebagai
respon pasif yaitu menurunkan reaksi negatif dengan melepaskan, sedangkan wanita  sebanyak  45,  7  mengidentifikasikan  memaafkan  sebagai  sebuah
5
respon  aktif  yang  positif  seperti  memberi  kesempatan  kedua,  menerima permintaan maaf, dan membangun hubungan kembali.
Walaupun  melihat  dampak  yang  menguntungkan,  memaafkan  adalah satu  prinsip  yang  memang  tidak  mudah  untuk  dilakukan  dalam  Cohen,
Malka,  Rozin,    Cherfas,  2006.  Dorongan  manusia  sangat  ingin  melihat orang  yang  melukai  juga  ikut  merasakan  penderitaan  korban.  Sekalipun
korban  memutuskan  untuk  memaafkan,  dalam  prosesnya  kebanyakan  orang melakukan  hal  tersebut  lebih  berorientasi  pada  diri  sendiri  tanpa  melihat  ke
sisi  pelaku,  kecuali  pelaku  terlibat  dalam  proses  ini  seperti  pengajuan permintaan maaf Younger, Piferi, Jobe,  Lawler, 2004.
Berdasarkan  penelitian  yang  mengukur  alasan  seseorang  untuk memaafkan  oleh  Younger  et  al  2004,  ditemukan  bahwa  72,7  seseorang
yang menerima permintaan maaf, maka ia akan lebih memaafkan orang yang menyakitinya, dan sisanya memaafkan walaupun tidak menerima permintaan
maaf.  Lalu,  73,2  mengindikasikan  seseorang  tidak  memaafkan  karena  ia tidak mendapatkan permintaan maaf, dan sisanya tidak memaafkan walaupun
menerima permintaan maaf. Salah satu alasan korban yang tidak memaafkan adalah karena pelaku sudah merusak kepercayaan yang diberikan.
Disini  memaafkan  bisa  dikatakan  adalah  sebuah  pilihan  yang  bisa dilakukan  oleh  korban.  Namun,  bagaimana  jika  memaafkan  adalah  suatu
kewajiban  atau  nilai  sentral  dalam  pribadi  seseorang?  Konsep  memaafkan tercakup dalam semua agama didunia, namun dianggap menjadi nilai inti dari
agama Kristen Rye et al, 2000; Worthington, 2005. Survei memaafkan pada
6
penganut  Protestan,  katolik,  dan  Nonrelijius  oleh  Toussaint    Williams 2008  menemukan  bahwa  kelompok  protestan  dan  katolik  menunjukkan
tingkatan  skor  sikap  yang  tinggi  dalam  memaafkan  orang  lain  daripada kelompok  yang  tidak  beragama.  Selain  itu,  orang  Kristen  diajarkan  bahwa
memaafkan  harus  bersifat  unconditional.  Memaafkan  tidak  bergantung dengan  adanya  penyesalan,  keadilan,  dan  restitusi  antara  pelaku  dan  korban
Cohen, 2005. Bagi  orang  Kristen,  pengampunan  manusia  dianggap  sebagai  sebuah
hadiah.  Yesus  selalu  bersedia  untuk  memaafkan  semua  orang  berdosa  yang siap  untuk  menerima  karunia  surgawi.  Namun,  orang  Kristen  diharapkan
tidak cukup dengan menyesal dan menerima pengampunan dari Tuhan, tapi ia juga  harus  memaafkan  orang  lain.  Selain  itu,  Tuhan  juga  memperingatkan
untuk  mengasihi  musuh.    Pengikut  Kristus  dilarang  untuk  melakukan pembalasan  dan  menyerang  siapapun.  Mereka  harus  memaafkan,  walaupun
orang  yang  bersalah  tidak  menunjukkan  adanya  penyesalan.  Hal  ini dikarenakan permusuhan kepada manusia berarti juga melakukan permusuhan
kepada Tuhan. Zablowinski, 2009. Pernyataan  Zablowinski  diperkuat  dengan  penelitan  oleh  Nathan  R.
Frise  Mark R. Mcminn 2010 yang melihat hubungan memaafkan dengan rekonsiliasi.  Hasil  penelitian  menunjukkan  mahasiswa  teologi  sangat  setuju
bahwa  dalam  memaafkan  juga  memperbaiki  hubungan  dengan  orang  yang telah menyakiti korban, sementara partisipan psikologi beragama dan seorang
ahli  psikologi  sangat  tidak  setuju  dengan  memaafkan  dan  rekonsiliasi  yang
7
dijadikan  satu  kesatuan .
Respon-respon  ini  memiliki  relasi  yang  konsisten dengan  literatur  psikologi  dan  literatur  teologi-kristen  yang  akan  dijelaskan
pada bab selanjutnya. Pada  penelitian  memaafkan  sebelumnya,  dapat  dilihat  gambaran
proses memaafkan pada  orang umumnya lebih melibatkan peran dari pelaku seperti  adanya  penyesalan  dan  pengajuan  permintaan  maaf  dari  orang  yang
menyikiti  hati.  Dapat  dibandingkan  juga  bahwa  bagi  orang  Kristen memaafkan  bersifat  unconditional,  yang  berarti  memaafkan  adalah  suatu
tindakan  yang  dilakukan  tidak  bersyarat  dan  suatu  keharusan.  Selain  itu, memaafkan dan rekonsiliasi memiliki satu kesatuan. Memaafkan tidak hanya
terjadinya  perubahan  intrapersonal  yang  membaik,  tetapi  juga  kembalinya hubungan  interpersonal.  Kemudian  juga  belum  ada  kejelasan  bagaimana
keadaan hubungan interpersonal seseorang yang sudah memaafkan. Lalu, bagaimana dengan konflik  yang tak termaafkan? Orang Kristen
harus  memaafkan  karena  jika  tidak  dilakukan,  maka  orang  Kristen  akan berdosa  dan  tidak  diampuni  oleh  Tuhan.  Dengan  keharusan  ini,
bagaimanakah usaha memaafkan pada orang Kristen untuk mempertahankan nilai memaafkan pada dirinya?
Dengan  beberapa  penelitian  yang  ditemukan  tentang  memaafkan, peneliti  banyak  menemukan  penelitian  yang  hanya  mengukur  value
memaafkan  dan  menggambarkan  perbedaan  pandangan  konsep  memaafkan yang  melekat  dalam  diri  orang  lain  pada  berbagai  agama.  Oleh  karena  itu,
peneliti ingin menambahkan pengetahuan lebih dalam lagi tentang bagaimana
8
usaha  penerapan  nilai  yang  melekat  pada  seseorang,  khususnya  nilai memaafkan  lewat  pengalaman  orang  kristen.  Peneliti  ingin  melihat  lebih
dalam  lagi  bagaimana  pengalaman  memaafkan  yang  dialami  oleh  orang Kristen  dalam  mempertahankan  nilai  memaafkan  yang  dianggap  sebagai
sentral dalam agama Kristen. Untuk  mendapatkan  hasil  sesuai  dengan  tujuan  penelitian  tersebut,
maka peneliti menggunakan penelitian kualititaf. Hal ini, dikarenakan desain penelitian  kualitatif  bersifat  alamiah,  tidak  berusaha  untuk  memanipulasi
setting penelitian, melainkan melakukan studi terhadap suatu fenomena dalam situasi  fenomena  tersebut  ada  Poerwandari,  1998.  Pendekatan  yang
digunakan  adalah  fenomologi  deskripstif.  Pendekatan  ini  dirasa  lebih  tepat digunakan agar mendapatkan pemahaman deskripsi pengalaman yang original
dan  secara  keseluruhan  dari  suatu  fenomena  memaafkan  pada  orang  Kristen Moustakas, 1994.
B. Rumusan Masalah