Pengalaman memaafkan pada orang Kristen.

(1)

PENGALAMAN MEMAAFKAN PADA ORANG KRISTEN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Ade Mauryn NIM : 089114073

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

You hold my every moment

You calm my raging seas

You walk with me through fire

Heal all my disease

and I trust in You

I trust in You

I believe

You’re

my Healer

I believe

You are all I need

I believe

You’re my Portion

I believe

You more than enough for me

Jesus, You’re all I need

Nothing is Impossible for You

Nothing is Impossible

Nothing is Impossible for You

You hold my world in Your Hands.


(5)

Persembahan

Karya ini kupersembahkan untuk Tuhan Yesus Kristus yang teramat baik.

Orang tuaku yang luar biasa, Alm Petrus Marpaung & Ruth Sani.

Saudari-saudariku Etny Oktovien Marpaung dan Elsa Novauli marpaung, how I really love you sisters.

Untuk keluarga besar Marpaung dalam setiap doa dan nasehatnya dan keluarga besar Daniel Tangsi yang selalu mendukung dan

mengingatkanku.

Keluargaku Lansia Sariayuers yang selalu menyemangati dan menjadi teman bersuka sekaligus berduka.

Anak-anak kost Sariayu Opung, Inang, Novie, Sasa, Cece Marjan, Nia, Ote, Metta, Niken, Vina, Jolina, dan Leza.

Cell Group Depend on God untuk setiap berkat lewat sharing dan doanya.

Teman-teman seperjuangan yang sering bersama-sama mengerjakan skripsi diperpus, jalan-jalan, nonton bareng, kuliner bareng, shoping bareng, dan

yang saling menyemangati dan mendoakan.


(6)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah saya sebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yoyakarta, 7 Agustus 2013 Penulis,


(7)

PENGALAMAN MEMAAFKAN PADA ORANG KRISTEN

Ade Mauryn

ABSTRAK

Memaafkan adalah salah satu prinsip yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi, memaafkan juga merupakan suatu prinsip pilihan. Hal ini dikarenakan ada beberapa masalah yang dianggap sebagai peristiwa yang tidak bisa dimaafkan. Namun, bagaimana jika memaafkan adalah suatu kewajiban atau nilai sentral dalam pribadi orang Kristen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) apa saja yang dialami dalam proses memaafkan orang Kristen , dan 2) dampak memaafkan bagi orang Kristen tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif fenomenologi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa walaupun ada tantangan yang menghambat seseorang untuk memaafkan, orang Kristen tetap memutuskan untuk memaafkan orang yang telah menyakitinya, bahkan melakukan perdamaian. Untuk itu, strategi yang dilakukan adalah menggunakan peran agama dengan berdoa, patuh akan perintah Tuhan, dan mendapati peran Tuhan sebagai pengampun, hakim, pemberi pikiran positif, pemberi kekuatan, dan pengontrol kemarahan. Proses memaafkan ini lebih berorientasi kepada diri sendiri, karena orang Kristen termotivasi untuk seperti Tuhan, untuk mempratekkan firman Tuhan, dan tidak ingin menyimpan emosi negatif didalam diri. Namun pada orang Kristen ini juga dikatakan tulus dalam memaafkan karena orang Kristen bisa mendoakan kebahagiaan pelaku dan mengatakan bahwa ia mengasihi orang yang telah menyakitinya.


(8)

FORGIVENESS EXPERIENCE OF CHRISTIAN

Ade Mauryn ABSTRACT

Forgiveness is one of the principles for conflict resolution. However, forgiveness is also the matter of choice. It is because there are some conflicts can be an unforgivable offense. But, what if the principle of forgiveness is a obligation for Christian. This research aimed to investigate 1) Forgiveness process of Christian in unforgiving situation, and 2) effect of forgiveness. This research used a descriptive phenomenology. The result shown that although there are challenges

in forgiveness’s process, Christian still decided to forgiving who have hurt them, even making a reconciliation. Relating to that issue, Christian have to deal with praying, obeying God’s commands, and believing God as forgiver, judge, giver of positive thoughts, giver of strengths, and controlling anger. This process is self oriented dimension, because Christian’s motivated to be like

God, practice their bible’s words, and won’t to keep negative emotions. However, Christian’s forgiveness is a genuine, because Christian will pray offender’s happiness, and said that he loves who had pain him.


(9)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Ade Mauryn

Nomor mahasiswa : 08 9114 073

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

PENGALAMAN MEMAAFKAN PADA ORANG KRISTEN

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan dan mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa harus meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 7 Agustus 2013 Yang menyatakan,


(10)

KATA PENGANTAR

Penelitian tentang pengalaman memaafkan pada orang kristen ini berangkat dari ketertarikan peneliti untuk mengetahui lebih dalam lagi usaha orang Kristen yang selalu memaafkan pada kondisi yang tersulit sekalipun. Dengan selesainya karya ini, peneliti sungguh menyadari bahwa memang Tuhan Yesus Kristus yang selalu memampukan peneliti dari hikmat dan kekuatannya.

Pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pribadi yang telah membantu dengan caranya sendiri dalam proses pengerjaan tulisan ini. Terima kasih kepada:

1. Pak V. Didik Suryo Hartoko sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima kasih untuk kesabarannya dan juga untuk tuntutannya. Terima kasih juga karena menginspirasi saya untuk menambahkan hobi baru saya yaitu membaca, Terima kasih banyak .

2. Kepada Dosen penguji Bu A. Tanti Arini, S.Psi., Msi. Dan Pak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi., M.Si. yang telah banyak memberikan kritik dan sarannya kepada penelitian ini.

3. Pak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi dan Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si.,Psi. selaku Dekan dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing saya selama menjadi mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.


(11)

5. Seluruh staff sekretariat dan Laboratorium fakultas Psikologi USD (Mbak Nanik, Mas Gandung, Pak Gie, Mas Doni, dan mas Muji) yang sudah banyak membantu dalam pengurusan administrasi.

6. Anak kost Sari Ayu, para lansia. Lusia Sari Tambunan, Novie Imoliana, Lina Mariana, Devi Yenni Sinaga, Sasa Dermawan, Rotua Winata Silitonga, Jolina, Yoestenia, Metta, Niken, Vina. Thank you so much. Thanks for 2008 till now, you’re the best that I ever had.

7. Depend on God Cell Group, untuk menyertakanku dalam doa kalian.

8. Teman-temanku yang di Kalimantan. Terima kasih untuk segala dukungannya.

9. Kelompok 2 KKN untuk segala bantuannya. Terima kasih banyak.

10.Secara khusus kepada 5 partisipan yang telah bersedia meluangkan waktu dan berbagi pengalamannya, saya mengucapkan terima kasih banyak.

Penulis memohon maaf jika tidak bisa menyebutkan satu-persatu. Hanya bisa mengatakan terima kasih atas segala bantuannya. Semoga penelitian ini berguna bagi pembaca.

Yogyakarta, 7 Agustus 2013

Penulis


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN MOTTO ...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN...v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………...vi

ABSTRAK ...vii

ABSTRACT ...viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI ...xii

BAB I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...8

C. Tujuan Penelitian ...8

D. Manfaat Penelitian ...9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...10

A. Kajian Pustaka tentang Memaafkan ...10

1. Definisi Memaafkan ………..…...10

2. Alasan atau Motivasi untuk tidak Memaafkan dan Memaafkan ………...……...12


(13)

3. Proses Memaafkan ………..15

4. Dampak Memaafkan………...………....19

B. Memaafkan menurut Agama Kristen………...20

C. Kerangka Berpikir ………...24

D. Pertanyaan Teoritis ………...25

BAB III. METODE PENELITIAN………...26

A.Strategi Penelitian………26

B.Fokus Penelitian………...27

C.Latar Belakang Peneliti ………...27

D.Metode Pengumpulan Data………...28

1. Partisipan………...…………...……...28

2. Setting Penelitian ………..…...29

3. Jenis Data ………...29

E. Prosedur Analisis Data ………...29

F. Kredibilitas………...30

G.Pertanyaan Wawancara………31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….32

A.Deskipsi Tekstural dan Struktural P1…….……….32

1. Latar Belakang….…..……….32

2. Latar Belakang Pengalaman ………...32

3. Deskripsi Tekstural ………...….33


(14)

B.Deskipsi Tekstural dan Struktural P2 ………..……37

1. Latar Belakang ………36

2. Latar Belakang Pengalaman ………...37

3. Deskripsi Tekstural ………38

4. Deskripsi Struktural ………...41

C.Deskipsi Tekstural dan Struktural P3 ………..….…..42

1. Latar Belakang ………...42

2. Latar Belakang Pengalaman ………...42

3. Deskripsi Tekstural ………....43

4. Deskripsi Struktural ………...44

D.Deskipsi Tekstural dan Struktural P4 ………...45

1. Latar Belakang ………...45

2. Latar Belakang Pengalaman ………...45

3. Deskripsi Tekstural ………...46

4. Deskripsi Struktural ………...49

E. Deskripsi Tekstural Semua Partisipan ………...50

F. Deskripsi Struktural Semua Partisipan ……….….57

G.Esensi Pengalaman ………...58

H.Pembahasan ………...60

1. Memaafkan adalah Nilai Sentral dan Keharusan dalam Kehidupan Kristen………...60


(15)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………...………65

A.Kesimpulan………..65

B.Saran………66

DAFTAR PUSTAKA………...68


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Memaafkan adalah sebuah prinsip dalam merespon pelanggaran, penghianatan, dan kejadian meyakitkan lainnya. Dengan memaafkan, rasa sakit dan luka hati yang disebabkan oleh kesalahan pelanggar dapat terlepaskan (Egan & Todorov, 2009). Konsep memafkan ini merupakan suatu prinsip positif yang memiliki asosiasi dengan kesehatan dan kesejahteraan individu bahkan dalam suatu hubungan (Worthington, Witvliet, Pietrini, Miller, 2007).

Namun, Kita perlu sedikit melihat tentang sifat dasar manusia yang dapat dipahami lewat sudut pandang dari biologi evolusioner, filosofi moral, dan teologi. Didalam diri manusia berisi kapasitas untuk menjadi manusia yang jahat dan baik, untuk merugikan dan menolong, untuk menyerang atau membalas dendam, dan untuk memaafkan atau rekonsiliasi (McCullough, 2007). Ketika ada konflik atau kejahatan yang menimpa seseorang, ego mengajak untuk tidak memaafkan orang yang bersalah. Dalam keadaan ini korban diliputi oleh rasa marah, ketakutan, kepahitan dan bahkan berakibat stress pada diri korban (Worthington et al, 2007).

Penelitian mengenai psikofisiologi manusia yang dilakukan oleh McCulluogh (2006) menunjukkan bahwa pikiran dan perasaan yang kita pendam ketika stress sering diterjemahkan dalam gejala fisik atau


(17)

gangguan emosional. Gangguan emosional ini seperti kecemasan, depresi, dan rendahnya harga diri. Lalu gejala fisik yang timbul yaitu sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, dan menurunnya kekebalan yang bisa membuat kita rentan terhadap infeksi dan alergi. Selain itu, dalam emosi negatif ditunjukkan bertambah tingginya tegangan otot mata, denyut jantung yang lebih tinggi, dan tegangan alis mata yang juga meninggi.

Selain perasaan, juga terdapat keinginan untuk mendapatkan keadilan dengan menghukum, menghujat, dan memusuhi, dianggap sebagai solusi pemecahan suatu konflik (Worthington et al, 2007). Perilaku ini sering kita saksikan dalam berita tentang tawuran, terjadinya perang suku yang hanya dikarenakan ada perselisihan antar individu yang dibesar-besarkan, bahkan kasus tuntutan akan pemukulan yang dilakukan secara hukum legal.

Dalam beberapa kasus, masalah yang diselesaikan lewat keadilan kadang-kadang malah memperbesar sebuah konflik. Dengan mengetahui dampak yang menguntungkan, kita perlu menggunakan prinsip lain untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sulit. Salah satu cara yang baik untuk mengatasi kejadian menyakitkan tersebut adalah dengan memaafkan (Ken-ichi & Naomi, 2001).

Bagaimanakah arti memaafkan itu sendiri? Apakah dampak dari memaafkan tersebut? Peneliti berusaha menguraikan beberapa penelitian sebelumnya tentang memaafkan. Kebanyakan orang sering mendefinisikan konsep memaafkan dengan makna yang berbeda. Konsep Memaafkan berbeda dengan forgetting, condoning, pardon, dan reconciliation.


(18)

Memaafkan tidak membutuhkan adanya melupakan atau memindahkan kejadian terluka dari kesadaran (APA, 2006). Memaafkan justru mengingat dan mengganggap serius pada perilaku salah dan merugikan yang telah dilakukan (The Encyclopedia of positive Psychology). Condoning adalah perilaku yang menggagalkan untuk melihat tindakan sebagai sesuatu yang salah. Pardoning berarti pengampunan yang biasa dilakukan dalam dunia hukum. Reconciliation adalah adanya perdamaian suatu hubungan yang sebelumnya pecah antara orang yang menyakiti dan yang tersakiti (APA, 2006). Memaafkan lebih sebagai suatu perubahan dari motivasi menjauhi atau mencari cara membalas dendam terhadap orang yang menyakiti hati menuju kearah yang netral atau lebih positif. (McCullough, 2005).

Telah ada beberapa penelitian mengenai perbedaan dampak memaafkan dan tidak memaafkan secara intrapersonal. Dalam survei cross-sectional yang dilakukan pada wanita yang mengalami perceraian dan dipisahkan dengan anaknya, biasanya akan melakukan tindakan permusuhan, marah, dan cemas. Aschleman (dalam Bono & McCullogh, 2006) menemukan bahwa istri yang telah memaafkan sang suami memiliki penerimaan diri dan tujuan hidup yang lebih baik daripada seorang istri yang memutuskan untuk tidak memaafkan pasangannya. Penelitian lain menemukan bahwa orang yang memaafkan orang yang telah menyakitinya memiliki kepuasan hidup yang tinggi, sementara yang masih tidak memaafkan menunjukkan gejala-gejala stress psikologis (Freedman & Enright, 1996; McCullough et all., 2001).


(19)

Kemudian, ada beberapa penelitian yang memfokuskan konsep dari memaafkan, salah satunya dengan membagi topik memaafkan berdasarkan orientasinya oleh Lawler-Row, Scott, Raines, Edlis-Matityahou, & Moore (2007). Penelitian ini terbagi menjadi memaafkan interpersonal (focus on

other) dan memaafkan intrapersonal (focus on self). Contoh respon dalam

memaafkan intrapersonal adalah melepaskan sesuatu yang salah dalam diri, menyadari bahwa orang lain bisa melakukan kesalahan; dan jika tidak memaafkan dan masih menyimpan kebencian dalam hati, maka akan berdampak untuk kehidupan seterusnya. Lalu, contoh memaafkan interpersonal adalah memahami bahwa pelaku menyesal atas perbuatannya, membiarkan pelaku mengetahui bahwa kesalahannya dapat dimaklumi menerima apa yang sudah mereka lakukan, dan tetap menjadi teman.

Penelitian Lawler-Row dan koleganya ini dilakukan pada 270 siswa kejuruan yang diambil dari usia 18-33 tahun. Hasil penelitian menunjukkan 45, 6% hanya memaafkan intrapersonal atau berfokus pada diri sendiri, 31, 1% memaafkan interpersonal atau berfokus pada pelaku, dan 20, 4% keduanya yaitu memaafkan intrapersonal dan interpersonal.

Lowler-Row et al (2007) juga melakukan penelitian yang membedakan gender berdasarkan respon dalam memaafkan. Hasilnya adalah sebanyak 46, 3% pada laki-laki mengatakan bahwa memaafkan sebagai respon pasif yaitu menurunkan reaksi negatif dengan melepaskan, sedangkan wanita sebanyak 45, 7% mengidentifikasikan memaafkan sebagai sebuah


(20)

respon aktif yang positif seperti memberi kesempatan kedua, menerima permintaan maaf, dan membangun hubungan kembali.

Walaupun melihat dampak yang menguntungkan, memaafkan adalah satu prinsip yang memang tidak mudah untuk dilakukan (dalam Cohen, Malka, Rozin, & Cherfas, 2006). Dorongan manusia sangat ingin melihat orang yang melukai juga ikut merasakan penderitaan korban. Sekalipun korban memutuskan untuk memaafkan, dalam prosesnya kebanyakan orang melakukan hal tersebut lebih berorientasi pada diri sendiri tanpa melihat ke sisi pelaku, kecuali pelaku terlibat dalam proses ini seperti pengajuan permintaan maaf (Younger, Piferi, Jobe, & Lawler, 2004).

Berdasarkan penelitian yang mengukur alasan seseorang untuk memaafkan oleh Younger et al (2004), ditemukan bahwa 72,7% seseorang yang menerima permintaan maaf, maka ia akan lebih memaafkan orang yang menyakitinya, dan sisanya memaafkan walaupun tidak menerima permintaan maaf. Lalu, 73,2% mengindikasikan seseorang tidak memaafkan karena ia tidak mendapatkan permintaan maaf, dan sisanya tidak memaafkan walaupun menerima permintaan maaf. Salah satu alasan korban yang tidak memaafkan adalah karena pelaku sudah merusak kepercayaan yang diberikan.

Disini memaafkan bisa dikatakan adalah sebuah pilihan yang bisa dilakukan oleh korban. Namun, bagaimana jika memaafkan adalah suatu kewajiban atau nilai sentral dalam pribadi seseorang? Konsep memaafkan tercakup dalam semua agama didunia, namun dianggap menjadi nilai inti dari agama Kristen (Rye et al, 2000; Worthington, 2005). Survei memaafkan pada


(21)

penganut Protestan, katolik, dan Nonrelijius oleh Toussaint & Williams (2008) menemukan bahwa kelompok protestan dan katolik menunjukkan tingkatan skor sikap yang tinggi dalam memaafkan orang lain daripada kelompok yang tidak beragama. Selain itu, orang Kristen diajarkan bahwa memaafkan harus bersifat unconditional. Memaafkan tidak bergantung dengan adanya penyesalan, keadilan, dan restitusi antara pelaku dan korban (Cohen, 2005).

Bagi orang Kristen, pengampunan manusia dianggap sebagai sebuah hadiah. Yesus selalu bersedia untuk memaafkan semua orang berdosa yang siap untuk menerima karunia surgawi. Namun, orang Kristen diharapkan tidak cukup dengan menyesal dan menerima pengampunan dari Tuhan, tapi ia juga harus memaafkan orang lain. Selain itu, Tuhan juga memperingatkan untuk mengasihi musuh. Pengikut Kristus dilarang untuk melakukan pembalasan dan menyerang siapapun. Mereka harus memaafkan, walaupun orang yang bersalah tidak menunjukkan adanya penyesalan. Hal ini dikarenakan permusuhan kepada manusia berarti juga melakukan permusuhan kepada Tuhan. (Zablowinski, 2009).

Pernyataan Zablowinski diperkuat dengan penelitan oleh Nathan R. Frise & Mark R. Mcminn (2010) yang melihat hubungan memaafkan dengan rekonsiliasi. Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa teologi sangat setuju bahwa dalam memaafkan juga memperbaiki hubungan dengan orang yang telah menyakiti korban, sementara partisipan psikologi beragama dan seorang ahli psikologi sangat tidak setuju dengan memaafkan dan rekonsiliasi yang


(22)

dijadikan satu kesatuan. Respon-respon ini memiliki relasi yang konsisten

dengan literatur psikologi dan literatur teologi-kristen yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

Pada penelitian memaafkan sebelumnya, dapat dilihat gambaran proses memaafkan pada orang umumnya lebih melibatkan peran dari pelaku seperti adanya penyesalan dan pengajuan permintaan maaf dari orang yang menyikiti hati. Dapat dibandingkan juga bahwa bagi orang Kristen memaafkan bersifat unconditional, yang berarti memaafkan adalah suatu tindakan yang dilakukan tidak bersyarat dan suatu keharusan. Selain itu, memaafkan dan rekonsiliasi memiliki satu kesatuan. Memaafkan tidak hanya terjadinya perubahan intrapersonal yang membaik, tetapi juga kembalinya hubungan interpersonal. Kemudian juga belum ada kejelasan bagaimana keadaan hubungan interpersonal seseorang yang sudah memaafkan.

Lalu, bagaimana dengan konflik yang tak termaafkan? Orang Kristen harus memaafkan karena jika tidak dilakukan, maka orang Kristen akan berdosa dan tidak diampuni oleh Tuhan. Dengan keharusan ini, bagaimanakah usaha memaafkan pada orang Kristen untuk mempertahankan nilai memaafkan pada dirinya?

Dengan beberapa penelitian yang ditemukan tentang memaafkan, peneliti banyak menemukan penelitian yang hanya mengukur value memaafkan dan menggambarkan perbedaan pandangan konsep memaafkan yang melekat dalam diri orang lain pada berbagai agama. Oleh karena itu, peneliti ingin menambahkan pengetahuan lebih dalam lagi tentang bagaimana


(23)

usaha penerapan nilai yang melekat pada seseorang, khususnya nilai memaafkan lewat pengalaman orang kristen. Peneliti ingin melihat lebih dalam lagi bagaimana pengalaman memaafkan yang dialami oleh orang Kristen dalam mempertahankan nilai memaafkan yang dianggap sebagai sentral dalam agama Kristen.

Untuk mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan penelitian tersebut, maka peneliti menggunakan penelitian kualititaf. Hal ini, dikarenakan desain penelitian kualitatif bersifat alamiah, tidak berusaha untuk memanipulasi setting penelitian, melainkan melakukan studi terhadap suatu fenomena dalam situasi fenomena tersebut ada (Poerwandari, 1998). Pendekatan yang digunakan adalah fenomologi deskripstif. Pendekatan ini dirasa lebih tepat digunakan agar mendapatkan pemahaman deskripsi pengalaman yang original dan secara keseluruhan dari suatu fenomena memaafkan pada orang Kristen (Moustakas, 1994).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah proses memaafkan pada orang Kristen?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah melihat proses dan kondisi memaafkan pada orang Kristen.


(24)

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis dan praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan menambahkan pengetahuan untuk bidang psikologi, khusunya psikologi klinis dan Psikologi sosial bagaimana perasaaan dan pikiran, serta proses memaafkan yang berfokus pada ajaran agama Kristen.

b. Penelitian ini diharapkan menjadi sumber acuan bagi peneliti yang ingin meneliti masalah yang berkaitan dengan topik memaafkan, seperti: Pengalaman memaafkan yang berfokus pada agama lain.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi partisipan penelitian, penelitian ini diharapkan menambahkan pengetahuan tentang adanya perbedaan konsep memaafkan bagi orang awam atau non-kristen dengan Kristen sendiri.

b. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan untuk mengetahui cara mengatasi emosi negatif dalam menghadapi rasa sakit hati dengan mencoba salah satu cara yang paling baik, yaitu memaafkan.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka tentang Memaafkan 1. Definisi Memaafkan

APA Dictionary of Psychology (2007) mengatakan:

“Forgiveness n. Willfully putting aside feelings of resentment toward an

individual who committed a wrong, been unfair or hurtful, or otherwise harm one in some way. Forgiveness is not equated with reconciliation or excusing another, and it is not merely accepting what happened or easing

to be angry. Rather, it involves a voluntary transformation of one’s

feelings, attitudes, and behavior toward the individual, so that one is no longer dominated by resentment and can express compassion, generosity,, or the like toward the individual. Forgiveness is often considered an

important process in psychotherapy and counseling.”

Memaafkan adalah tindakan yang dengan sengaja

mengesampingkan perasaan negatif seperti sakti hati, marah, benci, dan dendam pada seseorang yang melakukan kesalahan, tidak adil atau menyakiti hati terhadap korban. Memaafkan melibatkan sebuah kesukarelaan untuk merubah perasaan, sikap, perilaku terhadap seseorang, sehingga perasaan dendam tidak lagi dominan dan dapat mengekspresikan belas kasihan, keramahan, atau kesukaan terhadap seseorang.

Selain itu, menurut Luskin (dalam Lawler-Row et al, 2007) Memaafkan hanya untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk kepentingan orang lain. Seseorang dapat memaafkan dan menjalin kembali hubungan baik atau seseorang memaafkan dan tidak pernah berkomunikasi dengan pelanggar lagi. Hal ini didukung oleh De Waal & Pokorny (dalam


(26)

Frise R.N & Mcminn R. M, 2010) bahwa Memaafkan berbeda dengan rekonsiliasi. Rekonsiliasi melibatkan dua orang yang kembali membangun hubungan bersama. Memaafkan adalah proses dalam diri manusia, sedangkan rekonsiliasi adalah proses eksternal yaitu proses dalam berelasi. Hal ini dikarenakan rekonsiliasi sendiri melibatkan usaha bersama untuk membangun sebuah hubungan antara orang yang menyakiti hati dan yang disakiti (McCullough & Witvliet, 2002).

Sebagai tambahan, Enright (2010) mengatakan memafkan lebih dari menerima atau mentoleransi ketidakadilan. Memaafkan tidak hanya meletakkan peristiwa lampau dibelakang kita, tetapi kita juga harus membuka ruang dalam hati untuk orang yang menyakiti kita. Memaafkan juga tidak sama dengan melupakan. Ketika seseorang memaafkan, ia pasti akan mengingat, namun dengan cara yang berbeda saat sebelum ia memaafkan.

Worthington & Scherer (2004) membagi memaafkan menjadi dua aspek, yaitu memaafkan secara emosional (Emotional aspect) dan mengambil keputusan untuk memaafkan (Decisional aspect). Memaafkan secara emosional adalah menggantikan aspek negatif, dari emosi tidak memaafkan dengan yang positif, dan emosi lain yang konstruktif. Sementara itu, keputusan untuk memaafkan adalah sebuah perubahan perilaku yang baik terhadap orang yang bersalah atau perubahan dalam motivasi yang semula.


(27)

McCullough dan koleganya (1998) mengidentifikasikan dua motivasi yang mendasari adanya keputusan untuk memaafkan adalah menjauhi dan balas dendam. Ketika seseorang merasa tersakiti, biasanya ia akan menjaga jarak atau menjauh secara fisik dan psikologis atau mencari ganti rugi atas perbuatan tersebut dengan berharap adanya pembalasan terhadap orang yang menyakitinya. Lalu ketika memutuskan untuk memaafkan, tidak akan ada lagi kebutuhan untuk menjauhi atau mencari pembalasan atas perlakukan jahat yang dialami korban. Pembagian aspek ini juga turut dinyatakan oleh penulis yang menemukan bahwa memaafkan sebagai suatu set perubahan motivasi dari seseorang yang menjadi: a) Menurunnya motivasi membalas perlawanan dengan menyerang partner dalam hubungan tersebut, b) Menurunnya motivasi untuk menghindari pelanggar, dan c) Meningkatnya motivasi akan penerimaan, dan ada keinginan untuk rekonsiliasi walaupun perilaku pelanggar membahayakan.

2. Alasan atau Motivasi untuk Tidak Memaafkan dan Memaafkan

Dalam kondisi tersakiti atau terluka, akan muncul motivasi untuk mengembalikan rasa sakit tersebut ke pelanggar. Donnelly (1979) mengemukakan ada 6 alasan seseorang tidak memaafkan, yaitu 1) seseorang memilih untuk tidak memaafkan karena kejadian yang menyakitkan baru dialami dan peristiwa tersebut terlalu mendalam, 2) Seseorang tidak memaafkan karena masih menyimpan kemarahan, kecemburuan, dan kebencian, 3) Seseorang tidak memaafkan karena ingin


(28)

atau berencana untuk membalas dendam, 4) Seseorang tidak memaafkan karena lingkungan sosial tidak melakukan perilaku memaafkan saat mengalami hal yang menyakitkan juga, 5) Seseorang tidak memaafkan karena ada cara lain yang lebih mudah, dan 6) Seseorang tidak memaafkan karena ada kaitannya dengan harga diri.

Disisi lain, McCullough (2007) menjelaskan adanya motivasi untuk memaafkan oleh korban biasanya didasari oleh sifat yang peduli. Seseorang lebih siap untuk memaafkan seseorang yang kepada siapa ia merasa dekat dan ia mengetahui untuk siapa ia memberikan rasa empati. Lalu, adanya nilai yang diharapkan terhadap suatu hubungan bisa menjadi motivasi seseorang untuk memaafkan. Ketika seseorang memiliki harapan yang positif untuk sebuah interaksi sosial yang akan datang, maka otak memberi sinyal akan adanya imbalan atau keuntungan yang akan datang. Motivasi ketiga yaitu perasaan aman. Seseorang lebih siap memaafkan orang lain yang mereka percaya, dan kurang bisa memaafkan orang yang menyakitinya secara mendalam karena lebih berbahaya.

Memaafkan juga memiliki hubungan dengan tipe kepribadian. Ada empat kepribadian yang digunakan untuk memprediksi perilaku memaafkan, yaitu neurosis, ramah, narsistik, dan relijius. Kepribadian yang neurosis, membuat serangan-serangan kepada dirinya menjadi lebih parah. Kepribadian yang ramah lebih mudah untuk merasakan empati dan percaya pada orang yang menyakitinya. Narsistik adalah variabel kepribadian lain yang memiliki asosiasi negatif dengan memaafkan.


(29)

Setelah ada pelanggaran, individu ini lebih meminta adanya hukuman dan pergantian untuk memaafkan (Exline, Baumeister, Campbell, & Finkel, 2004). Memaafkan lebih memiliki relasi konsisten dengan skala yang tinggi pada pribadi yang relijius. Pribadi yang relijius lebih memiliki motivasi untuk memaafkan.

Ohbuci & Takada (2001) mengatakan bahwa didalam diri manusia, ada dua motivasi yang mendorong seseorang untuk memaafkan, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi Intrinsik meliputi personal belief, Self-ideal, rasa bersalah, dan empati. Personal belief ini adalah seseorang yang memiliki kepercayaan untuk menentang

pembalasan dendam dan hukuman, contohnya ia akan mengatakan “Kita

seharusnya tidak menyakiti orang lain walau apapun alasannya”. Self-ideal adalah sebuah harapan untuk menjadi orang yang murah hati. Rasa bersalah disebabkan oleh persepsi seseorang yang mengambil bagian untuk bertanggung jawab dengan suatu konflik. Terakhir, empati adalah perspektif dan rasa kasihan dalam memahami keadaan yang dialaminya. Motivasi intrinsik ini tidak mengharapkan adanya eksternal rewards, tapi hanya mendapatkan internal rewards seperti perasaan akan kepuasaan atau harga diri. Setelah memaafkan, korban tidak memiliki kemarahan yang besar atau penyerangan pada orang yang menyakitinya.

Kedua, motivasi ekstrinsik adalah memaafkan seseorang dengan adanya harapan eksternal rewards. Motivasi Ekstrinsik ini meliputi ketakutan akan penyerangan, Menjaga suatu hubungan, dan Koherensi


(30)

grup. Ketakutan akan penyerangan ini maksudnya seorang korban menahan diri untuk membalas penyerang karena ia takut menerima pembalasan lagi oleh lawannya tersebut. Pada motivasi ini, reward yang diharapkan adalah agar konflik tidak semakin membesar. Menjaga suatu hubungan adalah menahan diri dari pembalasan dendam karena takut mendapatkan hukuman berupa rasa tertolak dan tidak disukai oleh orang lain, dan harapannya adalah tetap menjaga hubungan baik.

Kemudian, motivasi dengan koherensi grup adalah memaafkan seseorang yang telah menyakitinya dikarenakan ia mempedulikan akan reaksi dari orang lain daripada reaksinya sendiri. Jika korban dan pelaku tergabung dalam 1 kelompok, korban akan mengaitkan konflik dengan orang lain dalam kelompok tersebut dan hal itu justru akan mengancam ikatan dalam kelompok. Dalam perilaku memaafkan ini, reward yang diharapkan adalah menjaga keharmonisan sosial. Dalam motivasi ekstrinsik ini, korban tidak benar-benar rela untuk memaafkan, dan ia masih memiliki rasa marah dengan menunjukkan permusuhan terhadap orang yang menyakitinya.

3. Proses Memaafkan

Menurut North (dalam Enright & North, 2010), ada beberapa tahap-tahap yang dilakukan seseorang dalam memaafkan yaitu: Mengalami atau mengetahui adanya perasaaan negatif yaitu kemarahan, kegusaran, kebencian, kepahitan, dan lain-lain. Hal ini mungkin direpress


(31)

atau tidak penuh diakui untuk beberapa alasan. Akan tetapi, dengan pengakuan dan kesadaran terhadap perasaan dan kebenaran tersebut merupakan suatu proses esensial untuk diproses. Kedua, adanya tuntutan akan keadilan, hukuman, dan ganti rugi yang dilakukan untuk mengurangi emosi negatif korban.

Ketiga, Korban masih menunjukkan rasa permusuhan terhadap pelanggar. Namun, disini korban mulai terbuka untuk memaafkan dengan membebaskan perasaan negative tersebut sebagai cara untuk memulihkan dirinya. Untuk memaafkan, korban melihat diluar dirinya terhadap pelaku. Lalu, korban mungkin memegang moral atau kewajiban agama untuk memaafkan pelaku manusia bermoral atau sebagai seorang yang diciptakan Tuhan. Hal ini bisa menjadi jenis tuntutan impersonal (Impersonal claim) yang mendukung korban untuk memaafkan, contohnya adalah saya harus memaafkan pelaku karena sebagai seorang yang bermoral, pelaku juga memerlukan rasa hormat dan pertimbangan dari

saya”. Disisi lain, korban menggunakan tuntutan akan hubungan personal (personal claim) dalam pengampunannya. Maksudnya korban mungkin memiliki hubungan yang dekat dengan pelaku, misalnya pelaku dan korban memliki hubungan darah atau perkawinan, dan hubungan tersebut bisa menjadi alasan untuk memaafkan yang harus diusahakan.

Dari motivasi tersebut, akan muncul hasrat untuk memaafkan. Disini korban mengakui bukan adanya keharusan ia memaafkan tapi ia berkeinginan untuk memaafkan. Korban merasakan emosi yang lebih


(32)

positif terhadap pelaku, seperti belas kasihan, memahami, atau mengasihi pelaku. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan pelaku juga merasakan adanya penyesalan dan hasrat untuk mendapatkan pengampunan. Tahap selanjutnya, korban mengambil keputusan untuk memaafkan. Korban berusaha memahami keadaan, latar belakang, dan perasaan pelaku. Dengan kata lain, korban memisahkan antara pelaku dari pelanggaran yang telah dilakukannya.

Kemudian, adanya ekspresi dari memaafkan korban untuk pelaku. Seringnya terjadi hubungan baik kembali antara pelaku dan korban, misalnya dengan bersalaman cukup menjadi indikasi seseorang telah memaafkan. Bisa juga, korban mengatakan ke orang lain bahwa ia telah memaafkan pelaku. Terakhir, perasaaan negatif menghilang dan terganti menjadi emosi yang positif terhadap pelaku. Memaafkan adalah secara prinsipan adanya perubahan internal dari hati dan pikiran, bahkan secara langsung ke orang lain. Proses yang dikemukakan North ini adalah proses memaafkan yang ideal. Ia juga mengatakan bahwa setiap tahap ini tidak selalu dialami oleh korban secara nyata (dalam Enright & North, 2010).

Model proses memaafkan yang lain dikemukakan oleh

Fitzgibbons’s (dalam Enright & North, 2010) menjelaskan proses-proses ini harus terjadi agar seseorang sampai dapat memaafkan. Model empat tahap ini meliputi (1) fase pembukaan (uncovering) yaitu seseorang benar-benar merasakan seberapa besar rasa sakit emosional atau marah atas perlakuan tidak adil terhadapnya, (2) fase pengambilan keputusan


(33)

(decision), ketika korban cukup menderita atas konsekuensi dari kejadian marah, mereka akan termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan yang dialami. Motivasi untuk memaafkan ini dapat dinpengaruhi oleh kondisi kultur, dukungan dari keluarga, teman, dan kelompok sosial, serta ajaran agama atau filosofi. (3) fase tindakan (working on forgiveness), di mana ada ada usaha pembentukan perpektif yang baru, bertambahnya pemahaman, dan membangun perasaan, pikiran, dan perilaku yang positif terhadap pelaku, dan (4) fase hasil (outcome or

deepening phase), di mana korban memperoleh pembebasan emosi,

kelegaan, menemukan sebuah tujuan baru dalam hidup.

Dari kedua model proses memafkan ini, tampak bahwa kunci dari memaafkan adalah proses yang disimpulkan menurut Wade, Johnson, and Meyer (2008) yang terdiri dari 2 proses. Pertama, seseorang menurunkan tingkat pikiran, perasaan, dan perilaku negatif pada diri sendiri. Kemudian yang kedua adalah seseorang meningkatkan pikiran, perasaan, dan perilaku positif. Meskipun Wade dll (2008) memasukkan perubahan perilaku dalam suatu kriteria dalam memafkan, pengarang terdahulu mengatakan bahwa memafkan hanya perubahan kognisi dan emosi. Pendapat ini juga mengatakan bahwa memperbaiki hubungan yang rusak bukan termasuk konsep dari memaafkan.


(34)

4. Dampak Memaafkan

Memaafkan sering digunakan sebagai proses penting dalam psikoterapi dan konseling (VandenBos, 2007). Memaafkan memiliki hubungan dengan kesehatan fisik manusia. Dalam studi McCullough, ia memfokuskan penelitiannya pada efek cardiovascular. Dalam penelitiannya, kondisi ketika orang memaafkan yaitu partisipan mengalami penurunan stres psikologis, level pada emosi negatif menurun, level emosi positif meningkat, dan memiliki kontrol diri yang baik. Memaafkan juga memiliki asosiasi dengan psychological well-being yang baik, tingginya kepuasan dalam hidup, dan gejala riwayat hidup akan kesehatan fisik rendah. Kemudian, Memaafkan dapat berfungsi sebagai alternatif lain untuk perilaku seperti merokok, dan penggunaan alkohol atau narkoba yang biasanya dilakukan untuk mengatasi emosi negatif dan pengalaman sosial yang dihadapi.

Beberapa penelitian tentang dampak memaafkan oleh McIntosh, et al. (dalam APA, 2006) melibatkan 488 siswa kejuruan dan 154 remaja dari 3 sampai 6 minggu setelah kejadian penembakan di Sekolah Colorado tanggal 11 september 2001. Hasilnya menunjukkan siswa yang sudah memaafkan pelaku dilaporkan lebih memiliki primer coping (usaha yang secara langsung mengubah reaksi emosional atau langsung menyelesaikan masalah) dan secondary control coping (mengubah cara berpikir tentang kejadian menjadi lebih positif), serta berkurang keinginan menyerang


(35)

daripada orang yang tidak yakin untuk memaafkan, dan tidak mempercayai pelaku untuk dimaafkan.

Studi memaafkan pada hubungan berpasangan suami-isteri, Worthington & Berry (2001) mengukur kesehatan fisik dan fungsi psikologis partisipan. Hasilnya, yaitu orang yang memaafkan variabel personalitinya menunjukkan adanya karakter memaafkan yang tinggi dan rendahnya karakter marah, serta variabel interpersonalnya ditunjukkan bahwa adanya kualitas hubungan yang lebih baik dengan ditunjukkan tingginya perasaan suka dan kebahagiaan terhadap pasangan. Selain itu orang yang memaafkan juga memiliki kesehatan yang membaik.

B. Memaafkan menurut Agama Kristen

Penganut Kristen diajarkan untuk memaafkan tujuh puluh tujuh kali tujuh kali, mendoakan, dan mengasihi musuh. Injil menjelaskan bahwa keinginan Tuhan untuk memaafkan dan melakukannya dengan sikap altruistik. Tuhan tidak meninggalkan orang sendiri yang mencoba memaafkan tanpa bantuan-Nya. Tuhan sangat penting dan tetap ada untuk bekerja dalam diri orang (Worthington, 2006). Dalam Kristen memiliki kepercayaan bahwa Seorang Penebus telah menebus dosa manusia dan mereka diampuni, seperti pada injil Mat 6: 14-15 berbunyi: “Karena jikalau kamu mengampuni

kesalahan orang, Bapamu yang disorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu”. Oleh karena itu, Orang Kristen diajarkan untuk memaknai


(36)

Selain itu, Memaafkan dalam ajaran Kristen adalah bersifat suatu kewajiban dan kemuliaan. Pernyataan ini diberikan oleh McCullough dan Wothington (1999) yang melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara relijius dan komitmen.

Penganut agama Kristen untuk memaafkan orang lain murni dengan motivasi akan kasih. Akan tetapi, ditemukan juga bahwa memaafkan merupakan suatu perintah yang sulit untuk dipatuhi karena hal tersebut berlawan dengan adanya perasaan dalam diri untuk menjatuhkan hukuman sebagai wujud keadilan. Terdapat penelitian survei pada Protestan, Katolik, and Nonrelijius oleh Loren L toussaint & David R. Williams (2008). Hasilnya menunjukkan orang Kristen memiliki nilai memaafkan yang paling tinggi, diikuti oleh katolik, dan terakhir yang tidak beragama. Penelitian ini hanya melihat seberapa besar nilai memaafkan dalam sikap, akan tetapi tidak berdasarkan perilaku.

Terdapat juga penelitian memfokuskan pada tipe memaafkan yang terbagi dari memaafkan situasi, memaafkan diri sendiri, dan memaafkan orang lain.Penelitian ini melihat perbedaaan pengalaman memaafkan pada tokoh agama katolik (pendeta dan suster), orang awam beragama Kristen dan tidak memiliki kelekatan pada agama (NRA). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Macaskill. A (2007) menghasilkan kelompok tokoh agama secara signifikan lebih memaafkan orang lain dan situasi daripada kelompok agama kristen dan kelompok yang tidak memiliki kelekatan dalam agama (NRA).


(37)

Pada tokoh agama, tingkat memaafkan orang lain lebih tinggi daripada memaafkan situasi dan dirinya sendiri. Kemudian, diikuti oleh kelompok kristen dengan tingkat memaafkan yang menunjukkan bahwa kelompok ini lebih bisa memaafkan keadaan daripada memaafkan dirinya dan orang lain. Terakhir, kelompok NRA juga menunjukkan bahwa kelompok lebih bisa memaafkan keadaan daripada diri sendiri dan orang lain. Selain itu, tokoh agama lebih bisa mempercayai orang kembali, yang terlihat dari sikapnya ke orang lain dan rendahnya sinisme daripada orang Kristen dan yang tidak memiliki kelekatan agama. Hal ini menunjukkan bahwa orang Kristen juga mengalami kesulitan untuk memaafkan orang yang telah menyakitinya.

Exline et al. (2003); Worthington, 2003; Worthington & Scherer, 2004) mengidentifikasikan tipe dalam memaafkan, mengatakan bahwa ketika seorang memutuskan untuk memaafkan adalah sebuah pernyataan yang bermaksud baik terhadap pelanggar yaitu menolak untuk membalas dendam atau menjauhi. Keputusan memaafkan ini adalah berakar dari injil kitab yang merupakan mandat atau perintah dalam memaafkan. Ketika melaksankan perintah tersebut, alasan yang menyebabkan orang Kristen lebih terbuka dalam memafkan adalah pengajaran radikal dan contoh dari Yesus yang memerintahkan untuk memaafkan semua musuh.

Dalam Christian Reflection A Series in Faith and Ethics (2001), berikut ini 3 alasan kewajiban orang Kristen dalam memaafkan, yaitu: 1) Kita harus memaafkan untuk kepentingan Kristus, 2) Kita harus memaafkan untuk orang lain, 3) Kita harus memaafkan untuk diri sendiri juga. Ketika seseorang


(38)

memaafkan demi Kristus, ia akan mulai menemukan pemulihan, pengakhiran, kedamaian, dan penghiburan. (Fr. Callistus Isara, MSP). Kedua, penyaliban mengajarkan kita bahwa rekonsiliasi adalah tugas dari korban. Model penyaliban menggambarkan bahwa yang disakiti yang berinisiatif untu memperbaiki suatu hubungan. Perlakuan menyakitkan bisa menjadi sebuah kesempatan untuk menunjukkan perubuhan hidup yang merupakan karunia dari Tuhan. Disini Yesus mengumpakan, bahwa siapapun yang menolak untuk memaafkan orang yang berhutang, maka ia akan mendapatkan hukuman. Hanya dengan Memaafkan, kita membebaskan kita dari rasa sakit yang sudah lampau dan menuju kemasa depan yang baru (Christian Reflection A Series in Faith and Ethics, 2001).

Dalam studi Frise. R. Nathan & McMinn R. Mark (2010) menyatakan memaafkan memiliki arti yang mendalam untuk penganut Kristen yang dimana memafkan dan rekonsiliasi terlihat seperti satu proses kesatuan. Hal ini turut dinyatakan oleh Fr Joseph Diele (dalam Christian Reflection A Series in Faith and Ethics, 2001) yang mengidentifikasikan 4 proses dalam memaafkan: 1) Mengakui adanya kemarahan yang dirasakan terhadap orang yang bersalah, 2) meminta Tuhan untuk memperhatikan kebutuhan musuh, 3) berdoa untuk diri sendiri dan situasi yang menyakiti perasan atas apa yang telah dilakukan pada kita, dan 4) melakukan rekonsiliasi, dengan bertemu secara bertatap muka dan bisa dari jarak jauh. Ia mengatakan rekosiliasi berarti saya tidak terbebankan lagi oleh rasa sakit hati, dan oleh karena itu saya tidak memendamnya terhadap orang lain dengan cara apapun.


(39)

Dapat disimpulkan bahwa penganut Kristen diharapkan untuk memaafkan orang lain atas dasar perintah sebagai wujud menaati ajaran tersebut. Penganut Kristen juga diharapkan untuk memaafkan orang lain secara murni dengan motivasi akan kasih. Dapat disimpulkan bahwa penganut Kristen melakukan proses memaafkan dan perdamaian. Hal ini dilakukan untuk membuktikan ketaatan pada ajaran Tuhan.

C. Kerangka Berpikir

Konsep memaafkan sangat terkait dengan aspek spiritual dan religiusitas seseorang. Namun, konsep memaafkan didefinisikan dengan makna yang berbeda. Banyak peneliti setuju bahwa definisi memaafkan memiliki perbedaan makna dengan istilah forgetting, pardoning, dan rekonsiliasi. Ketika memaafkan, seseorang menurunkan tingkat pikiran, perasaan, dan perilaku negatif pada diri sendiri. Kemudian yang kedua adalah seseorang meningkatkan pikiran, perasaan, dan perilaku positif pada oran lain.

Ketika seseorang memutuskan untuk memaafkan, dapat dilihat oreintasi memaafkan yang dilakukan oleh orang tersebut. Orientasi ini dibagi menjadi intrapersonal (focus on self) yaitu keputusan memaafkan yang didasari atas kepentingan diri sendiri dan interpersonal (focus on other) yaitu memaafkan yang berfokus untuk orang yang bersalah, atau keduanya yaitu tidak hanya untuk memulihkan diri sendiri, tetapi juga tergantinya perasaan, pikiran, dan tidakan negatif menjadi emosi yang positif terhadap pelaku. Selain itu, kita juga dapat melihat faktor apa saja yang mempengaruhi seorang


(40)

dikatakan bahwa selain tipe kepribadian, faktor yang mempengaruhinya adalah motivasi. Motivasi ini bisa berupa empati, untuk mendaptkan rasa aman, adanya harapan sosial, dll.

Menurut ajaran Kristen, prinsip memaafkan ditanamkan dalam diri penganutnya sebagai cara menyelesaikan suatu konflik. Motivasi dalam menaati ajaran agama untuk seperti Tuhan dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Selain ada perubahan dalam intrapersonal, orang Kristen juga diharapkan untuk melakukan perdamaian dengan orang yang bersalah. Dengan ajaran tersebut orang Kristen mungkin sudah terbiasa untuk memaafkan orang yang bersalah. Namun, kadang ada beberapa masalah yang dirasa cukup sulit untuk dimaafkan.

Oleh karena itu, dengan melihat proses yang dilakukan oleh orang Kristen dalam memaafkan, kita dapat mengetahui perasaan, pikiran, dan perilaku yang dialami oleh mereka, motivasi apa saja yang terdapat dalam proses ini, strategi apa yang dilakukan, perubahan apa sajakah yang terjadi, dan kemanakah orientasi memaafkan pada orang Kristen ini.

D. Pertanyaan Teoritis


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Strategi Penelitian

Peneliti menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif mulai dengan asumsi, pandangan dunia, kemungkinan menggunakan pandangan teori, dan studi dari masalah penelitian. Peneliti menggunakan metode kualitatif karena peneliti membutuhkan dan ingin memahami secara detail tentang pengalaman memaafkan yang dialami orang kristen. Pemahaman detail ini hanya bisa dibangun dengan berbicara secara langsung dengan orang, mengunjungi langsung ketempat subyek, dan memperbolehkan subyek untuk bercerita tanpa dibebani oleh apa yang kita ingin teliti. (Creswell, 2007). Dengan cara seperti ini, maka penelitian ini memiliki kekayaan data yang tidak hanya didapatkan dari dari data mentah wawancara, tapi juga emosi partisipan ketika bercerita.

Lalu target utama dalam penelitian ini adalah pengalaman dalam konteks pada situasi atau kondisi khusus (Moustakas, 1994). Untuk itu, peneliti memilih situasi memaafkan pada orang Kristen. Pendekatan yang digunakan adalah fenomenologi deskriptif yang menggambarkan suatu kejadian yang disadari dan bertujuan untuk mendeskripsikan atau menangkap sedekat mungkin bagaimana fenomena tersebut dialami dalam konteks terjadinya fenomena tersebut. (Smith, 2006). Dengan demikian, pendekatan ini dirasa cocok dengan tujuan peneliti dalam mengungkapkan pengalaman memaafkan pada orang Kristen dari data yang sesuai dengan tujuan


(42)

B. Fokus Penelitian.

Penelitian ini menggambarkan sebuah kejadian yang berada dalam kesadaran dan ingatan partisipan. Penelitian ini berfokus pada pengalaman orang Kristen yang berada pada kondisi sulit memaafkan dan bagaimana proses memaafkan yang terjadi pada orang Kristen dalam mempratekkan nilai agamanya tersebut.

C. Latar Belakang Peneliti

Penelitian ini tidak luput dari ketertarikan peneliti untuk memahami topik memaafkan. Peneliti adalah pemeluk Kristen Karismatik. Sebelum menekuni tentang kitab suci dan ajaran agama Kristen lebih dalam, peneliti cepat menanggapi serangan orang dengan membalas perlakuan tersebut sehingga berdampak lebih benci dan terhadap pelaku. Sekarang, peneliti mendapatkan banyak perubahan dalam berpikir dan merasakan bagaimana mendapat serangan tersebut. Peneliti sering kali mendapatkan pengajaran untuk selalu memaafkan orang bahkan yang telah sangat menyakiti kita sekalipun. Untuk diampuni oleh Tuhan, maka seseorang harus memaafkan. Jika kita mengasihi Tuhan, maka kasihilah sesama juga dengan memaafkan. Pengajaran tersebut kadang dirasa sangat mudah dilakukan, tetapi kadang juga dirasa sangat sulit. Hal ini dikarenakan peneliti sering menghadapi peristiwa-peristiwa yang membuat marah dan ingin membalas kejahatan orang. Peneliti merasa dengan peraturan untuk terus memaafkan, justru menyebabkan seseorang berada dalam tekanan untuk berjuang melakukan


(43)

Dengan penelitian ini, selain dapat memahami, peneliti juga ingin belajar cara-cara apa saja yang dilakukan berdasarkan pengalaman orang yang sudah berhasil memaafkan dengan kepercayaan dan ajaran yang sama.

D. Metode Pengumpulan Data 1. Partisipan

Peneliti memilih partisipan yang beragama Kristen dengan aliran Karismatik. Pemilihan ini dikarenakan didapatnya beberapa penelitian yang mengatakan bahwa Kristen memiliki nilai memaafkan yang paling tinggi dari agama lain. Macaskill (2007) menemukan bahwa usia bukan prediktor signifikan dalam memaafkan orang lain dan diri sendiri. Namun, untuk menyeragamkan partisipan penelitian, peneliti memilih partisipan dari usia 21-25 tahun yang masuk dalam usia dewasa awal. Berhubung peneliti yang juga mahasiswa, maka peneliti memutuskan untuk mengambil partisipan seorang mahasiswa untuk mempermudah proses rapor. Untuk mempermudah proses wawancara, peneliti mengambil subjek yang sudah dikenal yaitu teman peneliti sendiri. Untuk penelitian ini, diambil 4 subyek yang terdiri dari 2 laki-laki dan 2 wanita yang aktif dalam pelayanan digereja. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa 2 subyek mengalami pengalaman tersulit untuk memaafkan sewaktu sekolah dan awal kuliah yang termasuk tahap perkembangan remaja akhir.


(44)

2. Setting Penelitian

Peneliti melakukan pengambilan data di gereja dan dikost peneliti. Peneliti berusaha menjaga kenyamanan subyek dengan kondisi yang hanya terdapat peneliti dan subyek dalam proses wawancara ini.

3. Jenis Data

Peneliti menggunakan wawancara semi testruktur. Lalu, Data direkam menggunakan MP3 dan nantinya peneliti akan mengubah hasil wawancara tersebut dalam bentuk verbatim.

E. Prosedur Analisis data

1. Peneliti membaca secara keseluruhan verbatim yang sudah ditulis oleh peneliti. Hal ini dilakukan agar peneliti lebih memahami deskripsi pengalaman yang ada.

2. Menentukan unit makna. Setiap mendapatkan transisi makna, peneliti akan memberikan garis miring dalam teks tersebut. Langkah ini merupakan langkah praktis yang akan membantu peneliti melakukan langkah berikutnya.

3. Mentransformasi yang implisit, khususnya dalam makna psikologis. Tahap ini mencari makna psikologis dari situasi yang dialami secara konkrit oleh subyek. Hal ini berarti peneliti sungguh mengartikulasikan dan menampakkan makna-makna psikologis yang berperan dalam pengalaman tersebut.


(45)

menyertakan verbatim yang menguatkan pernyataan. Verbatim ini dibuat dengan huruf miring dan diberi tanda kutip.Setiap dimensi atau tahap yang berkaitan dengan pengalaman diterima dan dimasukkan.

5. Membuat deskripsi struktural individu dan gabungan. Dalam deskripsi struktural ini menunjukkan bagaimana pikiran dan perasaan yang ada dalam pengalaman memaafkan. Deskripsi struktural ini adalah suatu cara bagaimana cara peneliti memahami pengalaman memaafkan ini. Peneliti secara sadar mengimajinasikan, merefleksi, dan menganalisis verbatim diluar dari yang terlihat dan menjadi esensi dari deskripsi struktural pengalaman memaafkan.

6. Mengintregasikan tekstur dan struktur menjadi esensi dari suatu fenomena secara keseluruhan.

F. Kredibilitas

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan validitas argumentative. Validitas argumentative tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah (dalam Poerwandari. 1998: 117). Proses ini dapat dibaca dalam bagian pembahasan dan lampiran.

Untuk meningkatkan dependality penelitian kualitatif, maka peneliti melakukan metode yang dianggap penting, antara lain.

1. Koherensi, yaitu metode yang dipilih dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Peneliti memilih pendekatan fenomenologi deskriptif yang


(46)

2. Keterbukaan, sejauhmana peneliti membuka diri dengan memaanfaatkan metode-metode yang berbeda untuk mencapat tujuan.

Peneliti sudah membaca beberapa pendekatan yang digunakan dalam penelitian kualitatif, dan pendekatan fenomonologi deskriptif lebih bisa menggambarkan pengalaman yang diteliti.

3. Diskursus, sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan dan analisisnya dengan orang-orang lain (Poerwandari. 1998). Pada metode ini, peneliti tidak sendiri dalam menyelesaikan penelitian ini. Peneliti mendiskusikan proses-proses dan hasil penelitian dengan pembimbing penelitian.

G. Pertanyaan Wawancara

1. Tolong ceritakan pengalamanmu dimana kamu berada dalam kondisi sulit memaafkan?

2. Kapan peristiwa itu terjadi? 3. Ceritakan proses memaafkannya.

4. Proses kamu mengampuni itu berapa lama? 5. Kenapa kamu memaafkannya?

6. Keadaan kamu saat mengampuni itu apa yang kamu pikirkan dan rasakan? 7. Bagaimana keadaanmu setelah memaafkan dari perasaan, pikiran, dan


(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Tekstural dan Struktural P1 1. Latar Belakang

P1 adalah mahasiswi jurusan Farmasi berusia 22 tahun. Selain berkuliah, kegiatan P1 adalah aktif dalam pelayanan di gereja. P1 bertugas sebagai penari tambourine dan pengajar tambourin untuk anak-anak. P1 juga seorang pemimpin persekutuan doa yang memiliki 6 anggota. Pertemuan ini rutin yang dilakukan rutin 1 kali dalam seminggu, begitu juga dengan tugas pelayanan dan tugas mengajarnya.

2. Latar Belakang Pengalaman

Pengalaman marah dialami ketika sang ayah berbohong yaitu kedapatan memiliki hubungan dengan wanita lain yang menyebabkan ibu sering menangis. P1 semakin marah karena ayah yang sering meninggalkannya selama berbulan-bulan. Pengalaman ini dialami ketika P1 saat berusia 1 atau 2 SMP dan keputusan memaafkan terjadi ketika subyek sudah SMA dalam kegiatan retreat. Dalam kegiatan retreat ini, ada sesi pengampunan yang mengajak peserta untuk memaafkan orang yang telah menyakiti dengan mengatakan bahwa ia mengasihi orang yang telah menyakitinya.


(48)

3. Deskripsi Tekstural

P1 akan mudah untuk marah ketika ada orang yang melukai hati orang terdekatnya terutama ibu. Pengalaman marah yang dialami P1 ini dipicu oleh ayah yang terbukti menyelingkuhi sang ibsehingga ibu marah dan menangis. Peristiwa ini dapat dimasukkan dalam kategori perusakan kepercayaan. “Karena papa ku pernah kedapatan selingkuh, mama ku marah, dan terus mamaku nangis”, siapapun yang nangisin mama itu rasanya memang sangat mudah untuk ku benci”. Selain itu, P1 sering merasa diabaikan oleh ayah yang sering

pergi meninggalkannya. “Yang bikin susah dimaafkan. Natal itu tidak pernah sama kita. Sekitar 6 7 tahun. Itu pergi kemana ga tau. Pokoknya sekali meninggalkan rumah itu bisa sampe 1- 2 bulan ga ada dirumah, itu ga balik-balik, Pergi tanpa kabar lagi”.

Pada peristiwa ini, perasaan marah muncul sehingga ia merasa sangat sulit untuk memaafkan. “Rasanya kesel sama papa ku. Jadi sulit banget untuk memaafkannya,.Bahkan meliat muka papaku aja kesel rasanya”. Selain itu, reaksi yang muncul P1 ketika berada dalam

keadaan sakit hati adalah pikiran untuk merusak seperti menghukum dan perilaku keengganan mengakui sang ayah. “hukuman moral utuk

dia aja. Biar dia tau rasa ga perlu punya nama baik”. bilang aja ma, bilang aja kalo dia selingkuh. Biarin aja, bodo. Yang malu Biar aja dia yang malu, dia juga bukan papaku”.


(49)

Ada dua proses memaafkan yang dialami oleh P1. Pertama, proses pengalaman gagal memaafkan. Proses ini terdapat dorongan dari luar dirinya yaitu ketika P1 melihat sosok ibu yang memaafkan, dan ia mencoba mengidentifikasi perilaku tersebut. Namun usaha tersebut dirasa gagal karena merasa masih marah ketika mengingat kejadian. “belajar dari my mother. Karena termotivasi dari dia. Liat dia itu, kok bisa itu lho mengampuni dengan sangat sangat setulus-tulusnya, kok aku ga bisa. Jadi aku belajar. Jadi ya aku maafin papa, padahal sebenarnya itu cuman dibibir doank.”.

Proses kedua, memaafkan yang melibatkan Tuhan ini terdapat motivasi, tantangan, dan strategi yang digunakan oleh P1. Motivasi dalam memaafkan pada proses ini adalah keinginan mengidentifikasi Tuhan dan mempratekkan perintah Tuhan. “Kalo Tuhan aja bisa maafin aku, kenapa enggak”. Namun, tantangan untuk mempraktekkan hal tersebut, muncul konflik dalam diri P1 yaitu rasa tidak pantas untuk memaafkan sang ayah: “perang sama diri sendiri.. Karena dari dalam lubuk hati yang paling dalam ada yang ngomong ayo maafin. Tapi rasanya secara manusia orang itu ga layak untuk dimaafkan. Kenapa saya harus maafkan. aku merasa harus dipaksa untuk mengucapkan itu, Aku ngomong mengasihi dia, tapi hatiku gak mengasihi dia. Jadi nangis. kalau ingat luka hati nya, itu sangat-sangat menggalaukan. Antara haduh mengampuni tapi Kesalahannya terlalu luar biasa tidak layak untuk diampuni”. Namun, dengan


(50)

berdoa mendapat kemudahan untuk memafkan. P1 merasa akan Tuhan yang lebih dulu memaafkan dan bukan ia yang berhak menghukum. Hal ini terlihat bahwa P1 melakukan perbandingan bahwa ia mengecilkan dirinya dan membesarkan Tuhan “waktu doa baru ngambil keputusan untuk mengampuni. Aku aja sudah diampuni Tuhan Yesus, masa aku gak ngampuni.. Tuhan yang lebih berhak, hakim atas segala hakim, gitu lho, isa mengampuni dia, masa kita gak, siapakah kita”.

Setelah memaafkan, maka dampak yang muncul adalah perasaan yaitu rasa kepuasan “Nangis lega karena aku sudah mengampuninya dengan setulus-tulusnya. pas ending-endingnya tangisan sukacita. Rasanya itu lebih sehat. Ga tau kenapa lebih sehat. Lega, sukacita, senang, Jauh lebih baik. sampai sekarang, semakin hari semakin membaik”. Selain perasaaan maka perilaku yang

menghukum berubah menjadi kasih dan ada rekonsiliasi.

Tema-tema inti yang ada dalam pengalaman marah ini adalah 1) kehilangan kepercayaan terhadap pelaku, 2) merasa diabaikan, 3) reaksi berupa perasaan seperti membenci dan marah; pikiran seperti keinginan untuk menghukum, dan perilaku yang dan tidak mengakui menjadi penghambat keputusan untuk memaafkan. Tema inti yang muncul dalam proses memaafkan adalah 1) Pengalaman gagal memaafkan dengan mengidentifikasi ibu, 2) pengalaman berhasil memaafkan yang meliputi motivasi untuk mengidentifikasi Tuhan;


(51)

tantangan karena merasa benar dan sulit menerima rasa menyakitkan, dan strategi yang dilakukan dengan berdoa dan mengecilkan diri bahwa ia sudah dimaafkan Tuhan. Terakhir adalah dampak memaafkan kesehatan berupa kesehatan fisik, dan kesehatan psikologis seperti sukacita, lega, serta hubungan dengan pelaku berjalan baik.

4. Deskripsi Struktural

Struktur pengalaman memaafkan P1 memperlihatkan adanya hubungan P1 dengan orang lain, hubungannya dengan Tuhan, dan tanggung jawabnya sebagai anak terhadap orang tua. Mengenai hubungannya dengan orang lain, P1 akan marah dan benci ketika ada seseorang yang melukai hati orang terdekatnya, merasa diabaikan, dan ada yang merusak kepercayaannya. Untuk memaafkan, P1 mencari-cari tokoh teladan yang layak untuk mengidentifikasi perilakunya. P1 meletakkan otoritas Tuhan paling tinggi darinya yaitu yang mempunyai hak untuk memberi maaf dan menghukum. Oleh karena itu, ia juga merasa seorang anak harus memaafkan tokoh otoritas yaitu ayah, karena derajat seorang anak lebih rendah dari orang tua.


(52)

B. Deskripsi Tekstural dan Struktural P2 1. Latar Belakang

Saat wawancara P2 masih berkuliah dan berusia 24 tahun P2 adalah seorang mahasisiwi lulusan UKDW jurusan Teknik Informatika. yang aktif dalam pelayanan gereja. Setiap minggu ia menjadi pengajar kelas tambourine untuk kalangan dewasa. Sebelumnya ia setiap minggu bertugas melayani dipanggung sebagai penari tambourin dan harus mengkuti latihan rutin setiap minggunya. Selain itu, perannya di dalam gereja ialah pernah menjadi koodinator bagian kostum panggung. P2 juga seorang pemimpin persekutuan doa yang bertugas memimpin doa, membagikan renungan firman dari kitab, dan menjadi penasehat untuk anggotanya. Dalam kehidupan sehari-hari, P2 dan keluarganya membaca kitab dan melakukan perjamuan kudus.

2. Latar Belakang Pengalaman

Kejadian ini terjadi saat P2 duduk dikelas 2 SMA. Peristiwa yang menyebabkan P2 sulit untuk memaafkan dilakukan oleh seorang laki-laki teman sekelas yang ia sukai (H). Dalam kedekatan mereka yang beberapa tahun, P2 sering mendapatkan teror. Teror tersebut berupa sms ancaman dan seperti paranormal yang mengetahui segala aktifitas P2. P2 selalu bercerita dengan H apapun yang ia alami, bahkan menuruti segala saran apapun yang diberikan H, seperti


(53)

mengganti nomor Handphone agar tidak mendapatkan terror lagi. Setelah sadar, P2 mengetahui bahwa H adalah orang yang selama ini menjadi penerornya. Hal ini menyebabkan P2 kecewa dan sangat marah. Selain itu P2 selalu ketakutan dan terancam setiap bertemu dengan H, padahal mereka berada pada 1 universitas dan 1 jurusan yang memaksanya untuk sering bertemu. Oleh karena itu, ia ingin melepaskan perasaan yang tidak nyaman tersebut. Pada akhirnya P2 memutuskan untuk memaafkan H pada waktu saat teduh.

3. Deskripsi Tekstural

Dibohongi merupakan suatu penyebab P2 sakit hati. “saya merasa diperdaya, dan diperalat”. Selain itu, adanya ancaman terhadap keselamatan orang tua P2 merasa cemas dan putus asa “yang benar-benar membuat saya tergoncang, saat itu mami mo ke Manado,. dia itu mendoakan ketidakselamatan untuk orang tua saya. Saya waktu itu benar-benar tertekan. Sampe saya ga tau ngomong ma siapa lagi”. Dari perlakuan H, timbul pikiran menyalahkan perasaaan

yang bercampur aduk antara benci, dan ketakutan, sehingga memilih untuk menghindari H. “saya sakit hati, ga bisa dipungkiri, Saya kepahitan saat itu. Dan,..ada rasa takut bercampur rasa benci, kenapa dia itu Setega itu pada saya. Saya ga mau dekat-dekat sama dia, karena ada rasa takut. Saya merasa diri saya terancam.”


(54)

Selain menyalahkan sumber masalah, P2 kehilangan akal sehat dengan menyalahkan dan meragukan akan keberadaan Tuhan “saya seperti kehilangan akal sehat. saya meragukan Tuhan. Kalo Tuhan itu benar-benar ada, kenapa seolah-olah orang yang sms saya ini bisa mengendalikan segala sesuatunya”..

Dalam proses memaafkan, terdapat motivasi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan Tuhan “saya habis ikut ret-reat encounter dan saya juga semakin bertumbuh didalam Tuhan, Roh kudus tu kan ngingetin mengampuni dan melupakan, seperti Tuhan Yesus yang telah mengampuni dan melupakan”.

Selain itu, keinginan untuk coping emosi yaitu untuk membereskan rasa kehilangan akan kepercayaan pada dirinya. “Karena saya ngerasa tidak nyaman dengan rasa terancam, rasa ketemu dia kayak takut, menghindar. Kayak mulai kehilangan rasa percaya diri. P2 yang dulu bukan seperti P2 yang sekarang. Itu yang membuat saya merasa tidak nyaman sendiri. Dan saya memutuskan, buat apa saya simpan trus, memang saya harus bertindak untuk mengampuni”.

P2 memutuskan untuk memaafkan dan mendoakan kebahagiaan H “akhirnya saya memutuskan saya mau mengampuni dia. Saya berdoa buat dia, saya juga berdoa untuk ibaratnya kebahagiaan dia”. Kemudian, P2 mengalami pengalaman rohani untuk melakukan rekonsiliasi dengan sumber masalah roh kudus


(55)

yang ingin saya lakukan adalah saya bertemu dia, menegur dia, dan berkata “aku sudah mengampunimu lho”. Dan saat itu bukan hal yang mudah memang”. Strategi yang digunakan P2 yaitu kepatuhan agar ia juga dimaafkan “Ketaatan pada firman. sebagai orang yang udah percaya dengan Tuhan Yesus, kan ngajarin mengampuni dan melupakan. Kalau kamu disakiti, kamu harus Mengampuni 77 kali 7, dalam arti tidak terhingga. Karena kalau kita mengampuni, maka kita diampuni. Didoa Bapa kami, juga jelas,.Ampunilah dosa kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah”. Karena itu adalah

Teladan sendiri dari Tuhan Yesus. Itu yang membuat aku, okelah saya mau mengampuni dan saya tidak mau hidup dalam kepahitan lagi.”.

Oleh karen itu, P2 memutuskan untuk patuh melakukan rekonsiliasi dengan menemui pelaku, Saya bilang, “Aku udah mengampunimu kok”, trus dia bilang “Ouh iya ya. Ya udah. Hanya gitu responnya”.

Akibat usaha rekonsiliasi, selain P2 merasa ada kemenangan dan kelegaan ketika mematuhi perintah, P2 masih merasa ada kekhawatiran dalam dirinya terhadap H. “Tuhan setidaknya aku

menang. Aku sudah mengatakan apa yang harus kukatakan. Sampai detik ini, setiap kali ketemu dia, saya masih ada rasa rada takut, merasa terancam. Bukan karena takut sama dia, tapi masih ada kaya rasa ancam dalam diri saya”.

Tema-tema inti yang terdapat dalam deskripsi ini adalah 1) Pengalaman marah disebabkan rusaknya kepercayaan dan ancaman


(56)

terhadap keselamatan orang tua, 2) perasaan kecewa, benci, marah, dan hilang kepercayaan diri; dan hilang akal sehat dengan menyalahkan menyalahkan Tuhan, dan pikiran menyalahkan sumber masalah; perilaku menghindar terhadap kejadian tersebut, 3) Proses memaafkan yang meliputi kesulitan walaupun ada dukungan untuk memaafkan. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, P2 patuh dan mempersiapkan diri untuk berdamai. Usaha perdamaian yang ditolak mengakibatkan perasaan terancam terhadap pelaku. Disisi lain, dampak memaafkan ini terjadi perubahan intrapersonal seperti perasaan lega dan bersyukur.

4. Deskripsi Struktural

Deskripsi struktural P2 dalam pengalaman memaafkan berhubungan dengan terganggunya pikiran dan perasaan dalam hubungan dengan lawan jenis, tanggung jawab sebagai orang Kristen. Sebagai penganut agama Kristen, menyimpan kesalahan orang lain adalah suatu dosa yang harus diselesaikan dengan memaafkan seperti yang juga dilakukan Tuhan. Untuk itu, P2 terdorong untuk meniru perilaku Tuhan tersebut dan mempratekkan perintah Tuhan, karena Tuhan dianggap sebagai teladan pengampun. Selain itu, P2 tetap memutuskan untuk patuh ketika kesulitan melakukan perintah Tuhan untuk berkomunikasi dengan pelaku. Hasilnya adalah kepuasan dan


(57)

rasa bersyukur ada dalam diri P2 walaupun masih merasa terancam ketika bertemu dengan pelaku.

C. Deskripsi Tekstural dan Struktural P3 1. Latar Belakang

P3 adalah seorang mahasiswa ekonomi dari universitas UKDW yang berusia 22 tahun. Di gereja, P3 terlibat dalam pelayanan sebagai Guru sekolah minggu, pemimpin persekutuan doa untuk remaja dan anak-anak. Selain itu, P3 juga sering melakukan persekutuan doa bersama teman pelayanannya.

2. Latar Belakang Pengalaman

Pengalaman memaafkan ini baru terjadi pada tahun 2012 yang baru dialami beberapa minggu sebelum pelaksanaan wawancara. P3 mengalami tabrakan saat pergi bersama pacar menggunakan motor. P3 ditabrak dan ia merasa benar karena ia mengikuti aturan lalu lintas dan didukung oleh warga sekitar. Namun penabrak tidak merasa bersalah sehingga ia memarahi P3. P3 tidak rela menerima perlakuan tersebut sehingaga ingin membalas dan memarahi si penabrak. Namun, dengan stiker motor yang bertuliskan nama Tuhan dan gereja menghalanginya untuk membalas perlakuan tersebut. Pada akhirnya P3 meminta pertolongan Tuhan dan Tuhan membantunya lewat suara hati. Pelaku


(58)

berubah menjadi baik dan ada suatu perdamaian antara kedua belah pihak.

3. Deskripsi Tekstural

Serangan agresi yaitu disalahkan dan dimarahi menjadi pemicu pengalaman marah pada P3. Dari kejadian tersebut marah dan ingin membalas bentakan pelaku “pengen emosi, pengen emosi, pengen bentak orang itu, karena saya bener gitu, dan dia salah.” Dikarenakan ingin menjaga kesempunaan Tuhan lewat diri, maka P3 ingin mendapatkan cara yang tidak merusak dan juga tidak merasa kalah “Ya Tuhan, aku gak mau ngelawan dia tapi aku juga gak mau diungkit-ungkit sama dia, seperti itu. penting aku bisa maafin dia”.

Terdapat motivasi untuk melakukan perintah Tuhan “entah kenapa dalam hati saya disuruh Tuhan bilang lihat matanya. Namun,

kesulitan yang didapat adalah masih menyimpan rasa marah Cowok

kalo liat matanya, orangnya juga lihat, pasti tambah emosi. Kalau secara logika, saling hadap-hadapan matanya tu nantangin” Entah kenapa waktu saya liat matanya, rasanya nyeees, gitu. Hati tu langsung serasa ga ada emosi lagi”. P3 menggunakan peran Tuhan

sebagai pengendali kemarahan “saya bisa maafin orang itu bukan karena saya bisa mengendalikan emosi, tapi karena Tuhan Yesus yang mengendalikan emosiku”. Selain itu, Tuhan adalah sosok pemberi


(59)

pegawai BRI. Kalau kamu ditanyain, segala macam,..Itu tujuannya buat ngasih tau kantor. Biar kantor ganti rugi. Entah kenapa pikiran positif masuk kedalam pikiranku”. Dampak lain dari memaafkan

adalah ada rasa ketagihan karena merasa menang dari suatu kesulitan “Aku malah pengen kecelakan lagi. Rasanya tu, seperti sudah ngalahin sesuatu. sudah mengalahkan sesuatu..ngerasain senang banget,.aku jadi seperti berada di atas”.

Tema-tema inti yang muncul yang menjadikan P3 marah adalah 1) adanya serangan agresi dengan disalahkan, 2) Pikiran ingin membalas dan merasa marah yang menghalangi P3 memaafkan.

Kemudahan memaafkan ini didapatkan dengan melibatkan Tuhan. Dengan adanya kepatuhan walaupun sulit untuk melaksanakan perintah, namun peran Tuhan bagi P3 adalah sebagai pengendali emosi dan Tuhan pemberi pikiran positif. Oleh karena itu, P3 mendapatkan kemenangan dan ada belas kasihan terhadap pelaku.

4. Deskripsi Struktural

Kondisi yang berhubungan dengan pengalaman memaafkan ini adalah rasa marah dan keinginan membalas dengan menyerang, yang disebabkan oleh agresi verbal terhadap P3. Perubahan motivasi menyerang terjadi karena adanya keinginan untuk menjaga nama baik Tuhan dan gereja. Untuk itu, P3 meminta pertolongan kepada Tuhan untuk mencapai hal tersebut. P3 memilih patuh ketika mengalami


(60)

kesulitan dalam menuruti perintah Tuhan yang bertentangan dari pikirannya. Bagi P3, pengontrol kemarahan adalah Tuhan, sehingga Tuhan yang menurunkan emosi dan memberi pikiran positif untuknya. Dampak memaafkan ini terdapat perubahan perasaan, pikiran, dan perilaku dari sebelumnya. P3 merasakan kelegaan yang meliputi puas, menang, dan senang. Lalu, perubahan korban terhadap pelaku adalah pikiran positif, belas kasihan dan perdamaian dengan pelaku.

D. Deskripsi Tekstural dan Struktural P4 1. Latar Belakang

P4 adalah masiswa kedokteran hewan yang berusia 23 tahun. P4 dibesarkan dengan agama Kristen. Sekarang P4 menjadi pemimpin persekutuan doa yang selalu ada setiap satu kali minggu. P4 juga terlibat aktif dalam pelayan menjadi guru kids digereja. Pengalaman memaafkan ini dialami saat P4 pada tahun 2011. Permasalahan yang terjadi adalah antara partisipan dan pacar pertama.

2. Latar Belakang Pengalaman

Pengalaman marah P4 terjadi antara dirinya dan pacar pertamanya. P4 memutuskan hubungan berpacaran dengan alasan orang tua perempuan masih tidak menyetujui anaknya untuk berpacaran selama bersekolah. Ternyata, P4 mengetahui bahwa perempuan tersebut berpacaran dengan lelaki lain. P4 merasa


(1)

19.Tapi orang bisa lihat sih, kalau maksudnya memang luar biasa lah buat aku. Itu mungkin proses memaafkan yang paling sulit dan proses memaafkan yang paling lama buat aku./

20.Aku coba komunikasi sama dia. Sebelum itu pernah sekali pulang waktu Natal. Natal aku kunjung kerunahnya, walaupun aku kecewa sama dia tapi aku berusaha untuk mengobrol sama dia, cerita-cerita sama dia. Cuma untuk benar-benar bisa gimana ya pasalnya tu kesel sebenarnya rasa kesel, rasa dibohongi, itu sih sebenarnya rasa sama dia. 21.Walaupun mungkin kalau misalnya dia gak benar-benar suka

sama aku, atau ya cuma cari alasan untuk itu sebenarnya itu gak salah, cuma satu hal yang buat itu rasa kecewaku gitu. Rasa kecewa sama rasa dibohongi, kenapa gak cari alasan lainnya atau gimana. Alasannya gak dibolehin orang tua, ternyata kamu dibolehin aja pacaran. Coba kamu lebih jujur bilang kamu gak suka sama aku atau apa mungkin aku lebih bisa terima itu. Tapi bener-bener saat itu aku dibohongi gitu lho. Itu yang aku rasain.

22.Udah ada usaha kemarin, cuma ya usahaku itu aku rasa belum terlalu, belum bisa melepaskan ehhh gitu lho. Bener-benr bisa eeh gitu lho. Tapi ya 2007, 2008, 2009, sampe 2010 selama 4 tahun ini aku ngerasa ya itu tadi, aku ngerasa mungkin ada kekecewaan cuma aku menutupi itu semua gitu. Jadi seolah-olah ya udah berlalu, udah berlalu, dan

19.Hal tersulit dan terlama dalam memaafkan yang dilihat luar biasa oleh orang lain

20.P4 berusaha komunikasi dengan perasaan kecewa, namun tetap merasa kesal karena dibohongi oleh Y.

21.P4 inginkan X berkata jujur karena ia akan bisa menerima alasannya, tidak merasa kecewa dan dipermainkan.

22.P4 pernah memaafkan namun tidak tulus dari hati, sehingga Selama 4 tahun ia hanya memendam kekecewaannya tersebut.

19. Pengalaman luar biasa dalam memaafkan yang dilihat orang lain.

20. Sebelum retreat, P4 berusaha baik, namun masih merasa kesal karena dibohongi.

21. P4 ingin X jujur agar ia tidak kecewa.

22. 4 tahun memendam kekecewaan karena tidak bisa tulus memaafkan.


(2)

111

berlalu biarlah berlalu. Tapi itu belum benar-benar bisa mengampuni cuma sekedar dimulut aja aku bisa memaafkan. 23.Untuk alasan aku gak tau persis kenapa alasan kenapa aku

harus bisa maafin dia. Tapi yang benar-benar aku tau saat itu aku ada menyimpan kepahitan dan kepahitannya itu harus aku beresin. Ya aku cuma punya prinsip gitu, ya dan ternyata ya itu aku gak punya alasan spesifik sebenarnya untuk aku bener-bener maafin dia.

24.Saat itu cuma ngerasa aku sudah beres, aku gak ada masalah. Tapi ternyata Tuhan masih bukain aku ada satu

permasalahan yang masih di dilematika dan kamu harus bereskan itu. Cuma itu doank sih. Untuk alasan spesifik aku harus mengampuni dia maafkan dia gak ada. Cuma kaget aja, oh ternyata aku masih ada menyimpan kepahitan sama dia. 25.Saat itu, sorry aku bukannya apa ya. Saat itu ketika aku udah

bener-bener yang aku rasain ketika aku bisa mengampuni dia, rasanya bener-bener dihati tu wuaah 1 hal yang yang gak bisa aku ceritakan, bener-bener rasanya yang lega, ada yang pelepasan yang luar biasa dalam hidupku. Dan ketika aku benar-benar bisa mengampuni aku muntah waktu itu. Itu sih yang terjadi, tapi bener-bener yang kurasain ya itu ada suatu sukacita begitu aku bisa berbeda lah saat aku bisa

mengampuni dia ada sesuatu yang wuaaah,.aku bingung juga ceritanya gimana. tapi ada satu hal yang terjadilah dalam hidupku suatu pelepasan yang luar biasa yang buat aku ohh

23.P4 berprinsip bahwa ia harus

membereskan semua sakit hati yang ia rasakan dengan memaafkan.

24.P4 terkejut bahwa ia masih merasa sakit hati ketika Tuhan menunjukkan masalah yang menyebabkan sakit hati yang harus diselesaikan.

25.Setelah memaafkan ada suatu

pelepasan secara fisik dengan muntah dan afeksi dengan merasa lega dan bebas, sukacita sehingga ia merasa mendapatkan dirinya yang sejati

23. P4 harus membereskan semua sakit hati dengan memaafkan.

24. P4 terkejut dan tersadar ketika masih ada rasa sakit hati yang harus

diselesaikan.

25. Setelah memaafkan, P4 menjadi diri sejati yang adanya pelepasan fisik dengan muntah dan afeksi dengan merasa lega, bebas, senang.


(3)

ya seperti inilah aku.

26.Nanti kalau aku bisa ketemu dia mungkin aku sudah berbeda lagi dimana aku dulu menyimpan perasaan gimana. makanya aku mau coba lagi bisa bertemu dengan dia, pengen ngobrol-ngobrol juga banyak sama dia

27.Ini kan paling. Kalau masalah yang lain kan banyak, tapi ini yang paling paling lama, paling sulit. Paling berapa ya, 5 tahun.

28.Ketika kita sudah dapat ini lho memaafkan seperti ini, jadi saat itu aku bener-bener tau ketika aku dengan usahaku sendiri bisa memaafkan seseorang, itu satu hal yang bener-benar aku minta ketika aku sakit hati. Cuma untuk

memaafkan ketika kita gak sanggup memaafkan orang, kita minta bantuan Tuhan, kita bisa ngerasain kasih dari Tuhan itu nyata dalam hidup kita saat itu kita punya kemampuan untuk mengampuni orang lain. Bener kalau saat itu gak minta bantuan Tuhan untuk mengampuni dengan kekuatanku sendiri itu mustahil untuk bisa memaafkan. Tapi dengan bantuan Tuhan untuk aku bisa mengampuni dia, Tuhan bantu aku, aku bisa rasain kasih Tuhan yang luar biasa. Kasih Tuhan itu yang memampukan aku untuk bisa mengampuni dia bisa memaafkan temanku itu.

26.P4 merasa berbeda dan ingin

melakukan perdamaian membangun hubungan yang baik kembali.

27.Pengalaman ini pengalaman paling lama dan terasa sulit dalam proses memaafkan.

28.Mustahil dan tidak sanggup jika memaafkan dengan usaha dan dorongan diri sendiri, namun P4 memerlukan pertolongan Tuhan untuk bisa memaafkan dengan tulus dari hati.

26. P4 berbeda dan ingin melakukan rekonsiliasi.

27. Pengalaman tersulit dan terlama dalam memaafkan.

28. Mustahil memaafkan dengan kekuatan sendiri Tuhan memampukan memaafkan dengan mengendalikan emosi


(4)

113

29.Syukur sekarang saat encounter belum pernah sakit hati atau gimana gitu gak pernah lagi sih. Jadi ya puji Tuhan dari waktu aku encounter sampe sekarang gak pernah lagi yang namanya sakit hati, atau rasa pahit, rasa kecewa gitu karena ya sudah tau rule nya tadi gitu.

29.Dengan mengetahui rule dari retreat, P4 tidak pernah merasa sakit hati dan kecewa lagi.

29. Karena rule, P4 tidak pernah merasa sakit dan kecewa lagi.


(5)

vii

PENGALAMAN MEMAAFKAN PADA ORANG KRISTEN

Ade Mauryn

ABSTRAK

Memaafkan adalah salah satu prinsip yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi, memaafkan juga merupakan suatu prinsip pilihan. Hal ini dikarenakan ada beberapa masalah yang dianggap sebagai peristiwa yang tidak bisa dimaafkan. Namun, bagaimana jika memaafkan adalah suatu kewajiban atau nilai sentral dalam pribadi orang Kristen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) apa saja yang dialami dalam proses memaafkan orang Kristen , dan 2) dampak memaafkan bagi orang Kristen tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif fenomenologi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa walaupun ada tantangan yang menghambat seseorang untuk memaafkan, orang Kristen tetap memutuskan untuk memaafkan orang yang telah menyakitinya, bahkan melakukan perdamaian. Untuk itu, strategi yang dilakukan adalah menggunakan peran agama dengan berdoa, patuh akan perintah Tuhan, dan mendapati peran Tuhan sebagai pengampun, hakim, pemberi pikiran positif, pemberi kekuatan, dan pengontrol kemarahan. Proses memaafkan ini lebih berorientasi kepada diri sendiri, karena orang Kristen termotivasi untuk seperti Tuhan, untuk mempratekkan firman Tuhan, dan tidak ingin menyimpan emosi negatif didalam diri. Namun pada orang Kristen ini juga dikatakan tulus dalam memaafkan karena orang Kristen bisa mendoakan kebahagiaan pelaku dan mengatakan bahwa ia mengasihi orang yang telah menyakitinya.


(6)

viii

FORGIVENESS EXPERIENCE OF CHRISTIAN

Ade Mauryn ABSTRACT

Forgiveness is one of the principles for conflict resolution. However, forgiveness is also the matter of choice. It is because there are some conflicts can be an unforgivable offense. But, what if the principle of forgiveness is a obligation for Christian. This research aimed to investigate 1) Forgiveness process of Christian in unforgiving situation, and 2) effect of forgiveness. This research used a descriptive phenomenology. The result shown that although there are challenges in forgiveness’s process, Christian still decided to forgiving who have hurt them, even making a reconciliation. Relating to that issue, Christian have to deal with praying, obeying God’s commands, and believing God as forgiver, judge, giver of positive thoughts, giver of strengths, and controlling anger. This process is self oriented dimension, because Christian’s motivated to be like God, practice their bible’s words, and won’t to keep negative emotions. However, Christian’s forgiveness is a genuine, because Christian will pray offender’s happiness, and said that he loves who had pain him.