Cerpen “Rambutnya Juminten” ANALISIS WACANA KRITIS

125 5 menginterpretasi makna yang telah dibahas dalam deskripsi bahasa; 6 mengeksplanasi apa yang diungkap oleh cerpen-cerpen yang berideologi gender tersebut. Di bawah ini adalah cerpen-cerpen yang akan dianalisis dengan menggunakan pisau bedah AWK.

4.1 Cerpen “Rambutnya Juminten”

Judul : “Rambutnya Juminten” Pengarang : Ratna Indraswari Ibrahim Antalogi : “Lampor” Penerbit : Kompas, 1994 Ikhtisar Cerpen ini menceritakan tokoh utama Juminten. Panuwun suami Juminten menginginkan istrinya Juminten memanjangkan rambutnya. Padahal Juminten menginginkan rambutnya dipotong pendek. Panuwun berkali-kali mengatakan bahwa istri bersolek untuk suami dan hal itu dianggap prinsip. Akhirnya Juminten memanjangkan rambutnya. Juminten meminta dibelikan obat penyubur rambut, tetapi setiap kali Juminten memakai obat itu selalu merasa mual dan pusing. Jadi, Juminten alergi terhadap obat itu, namun Juminten selalu memakainya karena ingin menyenangkan suami Panuwun menyenangi aroma obat rambut itu. Marni, sahabat Juminten, menganggap tindakan Juminten itu bodoh, karena menyiksa diri sendiri demi menyenangkan suami. 126 Ketika rambut Juminten sudah panjang banyak orang mengatakan Juminten cantik, termasuk Nardi anak majikan orang tua Juminten dan Panuwun. Bahkan Nardi berani menggoda Juminten. Hal ini diketahui Panuwun, sehingga ia cemburu. Juminten dilarang keluar rumah kalau tidak ada suami dan boleh keluar jika dengan suami. Juminten termasuk salah satu anggota tim kasti di desanya dan harus mengikuti latihan, berarti Panuwun tidak bisa mengurung Juminten selamanya. Alasan Panuwun terjadinya kejadian ini diakibatkan oleh rambut panjang Juminten. Oleh karena itu, Panuwun meminta Juminten untuk pergi ke salon Mbak Titik untuk memotong rambutnya. Juminten menolak, ia sudah merasa sayang pada rambutnya. Lagi-lagi Panuwun mengucapkan, “Ten kau kan dandan untukku?” hal 79. Akhirnya Juminten luluh dan pergi ke salon Mbak Titik. Tatkala ia melihat rambutnya pendek di depan kaca salon dia mencucurkan air mata.

4.1.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Wacana cerpen “Rambutnya Juminten” secara nyata merepresentasikan profil atau sosok identitas gender laki-laki dan perempuan. Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini adalah Juminten sebagai istri Panuwun. Panuwun suami Juminten, Marni, dan Nardi sebagai orang-orang yang tinggal di desa. Profil ini pun mencerminkan status sosialnya sebagai masyarakat desa biasa. Profil Juminten adalah perempuan cantik dengan rambut panjang. Profil gender lainnya tidak digambarkan secara fisik oleh pengarang. Dari pemerian cerita, Juminten digambarkan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, yaitu bekerja di ruang domestik sebagai istri. Selain itu ada aktivitas lainnya seperti ikut program PKK dan 127 kegiatan olahraga kasti di desanya. Penggambaran profil Juminten terlihat dalam deskripsi bahasa sebagai berikut. Suatu kali sewaktu nonton film layar tancap di desa bersama suaminya, banyak orang bilang, “Ten, kok rambutmu sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang cantik dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” hal 80 Profil Panuwun suami Juminten digambarkan sebagai seorang buruh pabrik di kota dalam arti bekerja di ruang publik. Panuwun adalah seorang suami yang berkuasa, otoriter, dan kemauannya selalu harus dituruti. Sedangkan profil Juminten dalam kehidupan sehari-harinya sangat penurut, selalu mengalah, dan selalu mematuhi apa kata suaminya. Panuwun adalah sosok egois yang tidak mau mengerti akan keinginan-keinginan istrinya. Prinsipnya istri adalah milik suami. Hal-hal yang berhubungan dengan istri, suamilah yang menentukan. Profil Panuwun terlihat dalam ucapannya terhadap Juminten dengan berkali-kali mengatakan bahwa “Kamu bersolek untuk suami, iya kan?” hal 78. “Pokoknya, saya tidak suka kamu keluar” hal 81. Profil Marni digambarkan sebagai seorang perempuan yang telah berpandangan modern. Marni beranggapan semua sikap Juminten sebagai seorang istri adalah sikap yang menyiksa diri. Profil Marni digambarkan sebagai sebagai perempuan yang rasional. Marni selalu berusaha menyadarkan Juminten untuk bersikap rasional, dalam arti harus bisa menolak keinginan suami bila tidak cocok dengan kemauannya. Menurut Marni keadaan yang terjadi pada Juminten dalam hubungannya sebagai istri adalah tindakan represif. Tetapi pendirian Juminten tidak tergoyahkan oleh nasihat-nasihat Marni, walaupun ia terlihat kecewa, Juminten tetap 128 berpendirian bahwa istri harus menurut pada suami dan menyenangkan suami. Hal ini terlihat dari ucapan Marni pada Juminten. “Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa lagi menasehatimu. Mestinya kamu tidak terus menerus mengalah, tapi memberi pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku minta cerai. Kita bukan burung di dalam sangkar.” hal 82 Profil Nardi digambarkan sebagai seorang laki-laki, walaupun tinggal di desa, dia hidup lumayan, karena orangtuanya punya pabrik, tetapi tidak digambarkan apa pekerjaan Nardi. Panuwun dan bapak Juminten bekerja di Pabrik ayah Nardi. Profil Nardi digambarkan sebagai laki-laki yang jatuh cinta pada Juminten karena Juminten kelihatan cantik sekali dengan rambut panjangnya. Ketertarikan Nardi terhadap Juminten diketahui Panuwun, sehingga terjadi konflik antara keduanya, yang berakibat Juminten tidak boleh keluar rumah, kecuali dengan suami dan pada akhirnya Juminten disuruh memotong rambutnya sependek mungkin, dengan tujuan bisa menyelesaikan konflik dan kecemburuan terhadap istrinya.

4.1.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Salah satu konsekuensi logis dari integrasi kultural adalah penerimaan peran- peran gender yang sudah ditentukan secara turun temurun oleh masyarakat. Peran- peran gender tradisional sangat bergantung pada fungsi biologis perempuan yang berpusat pada ruang domestik yang tidak jarang diasosiasikan nonproduktif, jadi, tidak ada ruang publik bagi gender tradisional. Peran-peran modern lebih terinternalisasi pada fungsi perempuan yang terfokus di masyarakat atau publik yang 129 tidak jarang pula diasosiasikan produktif tanpa harus meninggalkan fungsi biologis perempuan yang berpusat di ruang domestik Kate Milles 1972, seorang penulis dari Amerika Serikat dalam bukunya “Sexual Politics” mengungkap perhatiannya yang tertuju pada masalah-masalah pemikiran-pemikiran tentang perempuan, terutama pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai masalah ketertindasan perempuan. Buku ini merupakan turunan dari disertasi doktornya di bidang sastra. Analisisnya mencakup analisis tekstual dan kontekstual dari teori politik, sosiologi, psikologi, dan sastra yang dijadikan landasan untuk menganalisis kekuasaan patriarkal, dan relasi laki-laki dan perempuan Gadis Arivia, 2003: 82. Sebagai perempuan yang memilih integrasi kultural terhadap tradisi, Juminten menerima peran gender tradisional yang sudah tersedia. Pada dasarnya, hidup dan kehidupan Juminten berada di ruang domestik. Sebagai ibu rumah tangga, Juminten harus tunduk kepada kemauan suami, sebagai kepala keluarga. Peran gender yang dilaksanakan oleh Juminten ditentang oleh Marni selaku sahabatnya, yang menganggap sikap Juminten sebagai menyiksa diri. Saran Marni sama sekali tidak digubris oleh Juminten, yang penting dia bisa menyenangkan suami. Selain peran gender perempuan, cerpen “Rambutnya Juminten” merepresentasikan juga peran gender laki-laki. Peran gender laki-laki ini adalah peran gender yang telah ada secara kultural. Peran gender laki-laki ini diterima oleh perempuan sebagai seorang kepala rumah tangga. Panuwun suami bekerja sebagai buruh pabrik, sekaligus sebagai kepala rumah tangga, ia sangat memegang tradisi 130 yang otoriter dan egois dalam menampilkan peran dalam rumah tangganya. Juminten istri harus selalu menurut pada keinginannya. Sebaliknya Panuwun tidak pernah peduli pada keinginan dan kemauan istrinya. Peran gender laki-laki lainnya adalah Nardi, yang tidak banyak digambarkan oleh pengarang, peran Nardi hanya sebagai peran tambahan. Nardi adalah lawan konflik Panuwun karena Nardi anak majikan Panuwun dan orang tua Juminten menyenangi Juminten dengan rambut panjangnya, yang menurut Nardi, Juminten seperti Nawang Wulan putri kahyangan. Karena ketertarikannya itu, Nardi berani menggoda Juminten, bahkan selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol ketika Juminten mencuci di pancuran. Keberaniaan Nardi menggoda Juminten menimbulkan kecemburuan Panuwun, sehingga Panuwun melarang istrinya keluar rumah. Keberterimaan, kegagalan dan keberhasilan peran gender laki-laki dan perempuaan seperti diuraikan di atas ditentukan oleh relasi gender. Relasi gender berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan sebagai kelompok sosial. Relasi gender ini dijalankan melalui peran masing-masing individu. Pasangan peran dasar dalam berinteraksi tersebut adalah pasangan peran laki-laki dan perempuan, yang tidak hanya berdasarkan pada jenis kelamin, tetapi juga pada perkembangan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat. Relasi gender ini bisa tidak imbang atau tidak adil, dan bisa juga imbang atau adil. Perempuan yang menerima peran gender tradisional pada umumnya tidak mempersoalkan imbang tidaknya atau adil tidaknya relasi gender. Sedangkan perempuan yang menerima peran gender modern sangat mempertanyakan dan memperhitungkan imbang 131 tidaknya dan adil tidaknya relasi gender. Ketidakseimbangan atau ketidakadilan relasi gender ini ditandai oleh dominasi laki-laki pada perempuan, pelabelan negatif terhadap perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan keseimbangan atau keadilan relasi gender antara lain ditandai oleh kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan. Perempuan yang menerima peran gender tradisional seperti Juminten tidak mempertanyakan dan memperhitungkan relasi gender. Dia pasrah dengan keadaannya dan menerima peran gender tradisionalnya sebagai ibu rumah tangga yang bergerak di ruang domestik, yaitu mengurus rumah tangga. Juminten menerima apa pun yang menimpanya termasuk menerima nasib peran kultural seorang ibu rumah tangga yang memang harus dijalaninya Peran gender tradisional ditolak oleh Marni sebagai perempuan yang sudah berpandangan modern. Marni selalu menasehati Juminten untuk menjadi perempuan yang tidak terlalu menurut kepada suami, apabila tidak sesuai dengan keinginannya, karena hal itu merupakan penyiksaan pada dirinya. ”Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat penyubur rambut ini. Ten, saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami” hal 79. Dalam kehidupan sehari-harinya, Juminten sangat penurut dan mengalah pada keinginan suaminya. Sikap mengalah untuk menyenangkan hati suami yang dilakukan Juminten tampak dalam kerelaan Juminten memakai obat penyubur rambut, meskipun dia selalu mual setiap memakai obat itu, dia alergi terhadap obat itu. Sikap ini menunjukkan kepatuhan terhadap peran gender tradisional. 132

4.1.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Cerpen “Rambutnya Juminten” sebagai wacana sastra adalah bentuk dari praktik ideologi gender atau pencerminan dari ideologi gender tertentu. Dari analisis yang dilakukan, diketahui bahwa wacana cerpen “Rambutnya Juminten” mencerminkan ideologi gender Ratna Indraswari Ibrahim sebagai seorang feminis. Pengoperasian ideologi gender ini merupakan proses produksi dan reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan melalui representasi posisi dari berbagai faktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”. Posisi-posisi tersebut menentukan bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan, dan bagaimana menentukan struktur teks, bagaimana makna diinterpretasikan dan bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana cerpen itu secara keseluruhan. Analisis ini akan menjelaskan bagaimana posisi-posisi ini ditampilkan secara luas dan akan mengungkap bagaimana ideologi dan kepercayaan dominan beroperasi dalam wacana cerpen tersebut Fairclough, 1998; Mills, 1997. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, pengoperasian ideologi gender dalam wacana cerpen “Rambutnya Juminten” adalah sebagai berikut. Dalam wacana cerpen “Rambutnya Juminten” perempuan ditampilkan sebagai “objek penceritaan” dan bukan “subjek penceritaan” karena itu sebagai objek representasi, perempuan posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan, dan tidak dapat menampilkan dirinya sendiri, seperti tampak pada cerpen berideologi 133 gender yang dikemukakan pengarang “Ratna Indraswari Ibrahim” bagaimana dia mengungkap jenis-jenis ideologi gender dalam cerpen tersebut. Jenis ideologi gender tersebut terdiri atas 1 Ideologi Patriarki; 2 Ideologi Familialisme; 3 Ideologi Ibuisme; dan 4 Ideologi Umum, serta ketidakadilan gender. Di bawah ini akan dikupas jenis ideologi mana yang ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”, termasuk ketidakadilan gender.

4.1.3.1 Ideologi Patriarki

Dalam masyarakat kuno yang menganut paham patriarki, sang ayah mempunyai hak mutlak atas anggota keluarganya. Sebagai kepala keluarga ia memiliki bukan saja rumah, tanah, ternak, dan budak, tetapi juga istri, perempuan simpanan, dan anak-anak the Beauvoir, 2003: 121-123. Dalam masyarakat sekarang juga masih ada hak kepemilikan laki-laki atas perempuan bahkan dalam masyarakat patriarki masih terdapat ideologi yang menganggap bahwa perempuan sesudah menikah menjadi milik suaminya, dan anak perempuan milik ayahnya, istri adalah milik suami. Hal-hal yang berhubungan dengan istri, termasuk pribadi si istri, suamilah yang menentukan. Hal ini terlihat pada pemerian dan dialog antara Panuwun suami dengan Juminten istri. Sementara itu semua perempuan di desa ini memotong rambutnya semodel Marni, Juminten yang tidak tahan terhadap aroma rambut itu ingin memotong rambutnya semodel Marni hal. 79. Tapi apa kata suaminya. “Saya tidak akan mengizinkan kamu memotong semodel Marni. Sebagai suami saya kan tahu model apa yang pantas untuk istriku. Ten kau dandan untukku” hal. 79. 134 Dalam hal ini Panuwun, suami Juminten, digambarkan sebagai seorang laki- laki yang berwatak otoriter dan egois. Panuwun adalah laki-laki yang tidak mau peduli akan keinginan-keinginan istrinya, istri adalah milik suami Peristiwa yang dialami Juminten sebagai objek penceritaan dalam cerpen ini adalah menerima dan menurut atas keinginan suaminya untuk memanjangkan rambutnya. Usaha memanjangkan rambut ini tidak sia-sia. Setelah rambutnya panjang, bukan hanya Panuwun yang memuji dirinya cantik, orang-orang di kampungnya pun memujinya. Suatu kali sewaktu nonton layar tancap di desa bersama suaminya, banyak orang bilang, “Ten, kok rambutnya sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang cantik dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” hal. 80 Pujian terhadap Juminten ternyata merupakan awal dari konflik dalam cerpen ini. Konflik diawali oleh ketertarikan Nardi anak majikan Panuwun dan ayah Juminten pada Juminten yang rambutnya panjang. Menurutnya, Juminten cantik seperti Nawang Wulan. Karena ketertarikannya, Nardi berani menggoda Juminten, bahkan selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol ketika Juminten sedang mencuci di pancuran. Keberanian Nardi menggoda Juminten menimbulkan kecemburuan Panuwun. Akhirnya, Panuwun melarang istrinya keluar rumah. “Ten ada yang bilang setiap kamu mencuci di pancuran, Nardi pasti mengajakmu ngomong, iya kan? Jadi, mulai sekarang kamu tidak perlu mencuci di pancuran. Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan keluyuran” Juminten sempat membantah suaminya, “Kang, saya bosen kalau di rumah terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.” “Pokoknya saya tidak suka kamu keluar” hal.81. Tindakan Panuwun ini menunjukkan bahwa Juminten itu adalah kekuasaannya. Juminten menurut walaupun dirinya sangat tertekan. Terlihat di sini 135 bagaimana kokohnya pendirian Panuwun dengan budaya patriarkinya. Kata-kata pokoknya sangat menentukan bagi Panuwun dalam hal melarang istrinya supaya menurut. Di satu pihak Juminten tidak setuju akan tindakan Panuwun, di lain pihak dia takut pada Panuwun. Ketidaksetujuan Juminten terhadap tindakan Panuwun tampak pada sikap Juminten ketika Marni memprotes tindakan Juminten sebagai sikap yang keterlaluan karena mengorbankan diri sendiri. Juminten bergeming terhadap ucapan Marni. Ketidaksetujuan ini bercampur dengan ketakutan dalam diri Juminten sehingga menimbulkan konflik internal yang tampak ketika Marni mengajak latihan kasti. Tanggapan Juminten sebagai berikut. “Marni, saya ingin juga ikut latihan, tapi kalau saya latihan , khawatir Nardi ikut menonton. Saya takut kalau Kang Panuwun cemburu, dan membunuh Nardi.” “Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa lagi menasehatimu. Mestinya kan tidak terus menerus mengalah, tapi memberi pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku minta cerai. Kita bukan burung dalam sangkar.” Juminten merasa omongan Marni itu benar. Tapi Marni sama sekali tidak mengerti. Dia tak ingin suaminya masuk penjara. hal.82 Dalam menyelesaikan konflik dalam dirinya, Juminten mengambil keputusan untuk tetap menuruti kehendak suaminya. Juminten menyuruh Marni untuk mencari penggantinya dalam latihan kasti. “Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi, tolong carikan penggantiku saja.” “Bodoh kamu, kata Marni teriak. hal.82 Pada hakekatnya manusia itu ingin bebas, begitu pula dengan Juminten, sebagai manusia pada umumnya dan sebagai perempuan pada khususnya ia pun 136 menginginkan kebebasan. Namun kehendakbebasan ini sering terhalang oleh norma- norma dan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat yang melingkarinya, yang telah ditentukan sejak awal. Jadi, ideologi patriarki menekankan dominasi laki-laki cenderung menjadikan perempuan inferior. Hal ini tampak dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga. Perempuan selalu “tersubordinasi.”

4.1.3.2 Ideologi Familialisme Kekeluargaan

Ideologi Familialisme adalah ideologi yang mengonstruksi perempuan untuk berperan di dalam rumah tangga sebagai ibu rumah tangga yang baik dan ibu yang baik. Sebagai istri yang baik perempuan harus dapat mendampingi suami untuk mencapai cita-cita kehidupannya. Ia harus pandai menjaga diri, baik dalam bersikap dan bertingkah laku, budaya familialisme ini sudah ditanamkan sejak dini pada perempuan. Sebagai seorang perempuan dan sebagai istri, Juminten selalu berusaha untuk menyenangkan suami, karena itu dia selalu menurut apa kata suami, dan walaupun dia tidak setuju akan kehendak suami ia tetap mengalah demi menyenangkan suami. Juminten tokoh utama dalam cerpen ini adalah perempuan yang mewakili sosok kehidupan masyarakat yang berlaku umum, yaitu berwatak penurut, mengalah, dan pasif. Juminten adalah wakil dari stereotip perempuan dalam masyarakat yang dikehendaki masyarakat patriarkis. Dalam budaya Sunda ada pepatah “awewe mah dulang tinande” artinya “perempuan itu harus pasrah dan menerima’’, apa lagi jika hal itu sudah berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan laki-laki. Sikap mengalah untuk menyenangkan suami yang 137 dilakukan Juminten, tampak pada kerelaannya memakai obat penyubur rambut, walaupun dia selalu mual setiap kali memakai obat itu, bahkan dia alergi terhadap obat itu. Karena Panuwun menyukai aroma obat itu bila sudah melekat pada rambut Juminten, maka Juminten selalu tidak lupa meminyaki rambutnya dengan obat itu, terutama menjelang kepulangan Panuwun dari tempat kerjanya. Sore ini waktunya Panuwun pulang ke rumah. Sejak tadi, dia sudah memasak masakan kesukaan Panuwun. Dan meminyaki rambutnya. hal. 79. Meminyaki rambut dengan obat penyubur rambut bagi Juminten sama artinya dengan memasak makanan kesukaan suaminya. Apa pun yang disukai suaminya, pasti akan dipenuhi dan dilakukan. Bahkan... kalau saja dia tahan dengan bau obat rambut itu... mungkin seumur-umur hidupnya, dia akan memakai obat rambut itu. hal 80. Pandangan gender terlihat pula pada kepatuhan Juminten untuk tidak keluar rumah karena dilarang suaminya. Istri yang baik harus mendukung suami dalam segala hal. Konsep normatif ini merupakan salah satu bentuk ideologi familialisme. Ideologi familialisme yang digambarkan dalam cerpen ”Rambutnya Juminten” mengonstruksi perempuan berperan di dalam rumah tangga, menurut, mengalah, dan selalu harus bisa menyenangkan suami. Juminten sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia istri yang bahagia? Sebab setiap dua minggu sekali Panuwun yang bekerja sebagai buruh pabrik di kota, kalau pulang ke rumah tak lupa membawa oleh-oleh kesukaannya. Dan kali ini Panuwun membawa obat penyubur rambut, yang aromanya kalau sudah melekat di rambutnya disukai Panuwun. Seusai meminyaki rambutnya, Marni bertandang kerumahnya. 138 “Ni, setiap pakai obat penyubur rambut ini, saya kok mual dan pusing,” kata Juminten. “Itu berarti kamu alergi. Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat penyubur rambut. Ten, saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami.” hal 79. Konflik internal dalam diri Juminten tentang kebahagiaan rumah tangganya dengan Panuwun selalu menimbulkan pertanyaan pada dirinya sendiri. Panuwun baik dan perhatian terlihat dari pemerian yang menyatakan bahwa Panuwun selalu membawa oleh-oleh kue kesenangannya. Suatu saat, Panuwun membawa oleh-oleh obat penyubur rambut. Juminten sebetulnya alergi terhadap obat rambut itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Panuwun menyukai aroma obat itu. Intinya dia ingin selalu menyenangkan suami, walaupun dia menyiksa dirinya sendiri. Saran Marni supaya tidak menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami tidak membuat Juminten berubah sikap, padahal menurut Marni sikap Juminten yang selalu ingin menyenangkan Panuwun adalah sikap yang keterlaluan, karena sudah menyiksa diri, sikap inilah yang membuat Juminten termarginalisasi.

4.1.3.3 Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme adalah ideologi yang merupakan kombinasi nilai borjuis Belanda dan nilai priyayi di Indonesia yang menyetujui tindakan apa pun yang diambil seorang perempuan dalam keluarga, kelompok, kelas sosial, atau pemisahan tanpa mengharapkan kekuasaan atau prestise sebagai imbalan. Onghokham 1991 mengemukakan bahwa nilai kecil borjuis Belanda ini merupakan adopsi dari moral Victorian yang diciptakan untuk mengontrol kualitis bangsawan Inggris pada masa pemerintahan Ratu Victoria. Moral ini mementingkan pertahanan diri dari nafsu 139 seksual dan larangan terhadap Ratu dengan seorang suami dan anak-anak dinilai sebagai model keluarga ideal. Nilai ini berkembang sampai ke seluruh Eropa abad ke- 19 yang kemudian dibawa ke negara-negara jajahan di antaranya sampai ke Indonesia. Di Indonesia moral ini bertemu dengan moral priyayi yang dipertahankan untuk mengatur kehidupan perempuan. Lebih lanjut Mies 1986 dan Jayadiningrat 1987 menyatakan bahwa selama Orde Baru ideologi ibuisme negara dominan sekali di Indonesia. Ideologi ibuisme ini mudah menjadi bagian dari realitas budaya masyarakat sekaligus juga sebagai budaya sesuai negara. Konsep “kodrat” digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mengonstruksi ideologi “ibuisme”. Sementara konsep perempuan sebagai istri dan ibu dimanipulasi untuk membatasi ruang gerak perempuan Dari pemerian cerita tergambar tokoh Juminten aktivitas sehari-harinya adalah memasak, mencuci, dan mengurus urusan pekerjaan domestik sebagai ibu rumah tangga. Selain pemerian tersebut, dari percakapan dialog-monolog tergambar aktivitas Juminten lainnya, yaitu ikut kegiatan PKK di desanya, sebagai anggota tim kasti. Kegiatan satu-satunya bagi Juminten di sektor publik ini, adalah bias gender, karena pada umumnya, seperti yang diamati dalam kehidupan masyarakat, kegiatan PKK cenderung melanggengkan sistem nilai patriarkis yang termanifestasi dalam Panca Dharma Wanita 5 dasar hak dan kewajiban wanita. Rumusan Panca Dharma Wanita ini mengadopsi nilai tradisi agama dan nilai kecil borjuis Belanda yang membatasi peran dan tugas perempuan, yaitu 1 mendampingi suami; 2 melahirkan, merawat, dan membesarkan anak; 3 mengatur ekonomi rumah tangga; 140 4 pencari nafkah tambahan; dan 5 sebagai anggota masyarakat, terutama sebagai anggota organisasi perempuan yang bergerak dalam badan-badan sosial. Dengan demikian, peran dan posisi perempuan yang hanya bergerak di sekitar domestik tersubordinasi di bawah bayang-bayang kekuasaan suami atau laki-laki. Masalah perempuan dianggap masalah yang khas, karena itu yang laki-laki tak perlu bertanggung jawab. Padahal sumber penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan bersumber dari budaya patriarkis. Sebagai istri yang baik, perempuan harus mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik pula. Istrilah “ibu rumah tangga” bahkan “ratu rumah tangga” yang melekat pada istri, yang lebih berkonotasi pengabdian dan pelayanan. Seperti apa yang dikatakan Panuwun pada Juminten tentang perilaku dandan dan bersolek. Berkali-kali Penuwun mengucapkan, “Kamu bersolek untuk suami, iya kan?” hal. 78 “Ten, saya kira kau bersolek untuk suami” hal. 84 Sikap Panuwun di atas merepresentasikan pandangan gender yang memposisikan laki-laki yang berkuasa atas istri. Adapun keputusan yang diambil Juminten tampak sangat dipengaruhi oleh perbedaan gender stereotip dan peran gender yang diembannya seperti yang berlaku di masyarakat. Akibat stereotipnya yang penurut, mengalah, pasrah, dan akibat dari perannya yang “ibu rumah tangga” dan “pelayan suami,” yang posisinya “subordinat” dan tidak punya kekuatan, Juminten tidak berdaya di depan suaminya, yang dikuatkan posisinya oleh kehendak 141 dan nilai-nilai masyarakat. Jadi, jelas cerpen “Rambutnya Juminten,” merepresentasikan ideologi gender. Juminten terdiskriminasi.

4.1.3.4 Ideologi Umum

Ideologi umum adalah ideologi yang menekankan nilai pingitan seclusion perempuan, pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu exclusion, dan pengutamaan feminitas perempuan. Dikotomi laki-laki dan perempuan yang hierarkis menyebabkan pembagian kerja secara seksual, yaitu menempatkan laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik. Pembagian kerja ini sudah disosialisasikan dan diinternalisasikan dari generasi ke generasi. Hal ini memperkuat kenyataan bahwa tempat yang ideal bagi perempuan adalah di sektor domestik. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menunjukkan betapa berkuasanya Panuwun untuk melarang Juminten tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami dan tanpa didampingi suami. “... Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan kluyuran” “Kang, saya bosen kalau di rumah terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.” “Pokoknya saya tidak suka kamu keluar” hal. 81 Tindakan Panuwun mengucilkan istrinya ini didengar oleh masyarakat desanya secara luas, yang memunculkan dua kubu pendapat di desanya, dalam arti ada yang pro dan ada yang kontra, yang pro menilai “tindakan Panuwun benar, karena suami berhak menyuruh istrinya diam di rumah” sedangkan yang kontra menganggap tindakan Panuwun sebagai tindakan yang kejam. 142 “Panuwun itu suami yang kejam. Bayangkan di zaman modern seperti ini, di mana kaum perempuan perlu banyak keluar untuk belajar di PKK, di pengajian, dan ikut olah raga, bisa-bisanya dia mengurung Juminten.” hal. 81 Dalam cerpen ini diceritakan mengenai hal-hal tidak enak yang dirasakan Juminten dalam memenuhi keinginan suami. Hal-hal tidak enak tersebut ditahan Juminten sebenarnya semata-mata demi memenuhi norma masyarakat. Norma masyarakat yang dimaksud adalah norma bahwa istri harus mematuhi suami dan norma bahwa istri adalah pelayan suami. Contoh lain, dalam masalah latihan kasti, Juminten mengambil keputusan dengan menyuruh Marni mencari pengganti lain. “Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi, tolong carikan pengganti saja.” hal. 82 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menekankan pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu, yaitu dengan konsep pembagian kerja secara seksual, yaitu ruang publik merupakan dunia laki-laki, dan ruang domestik merupakan dunia perempuan. Juminten “terepresi” yang diakibatkan ketidakadilan gender.

4.2 Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”