Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”

142 “Panuwun itu suami yang kejam. Bayangkan di zaman modern seperti ini, di mana kaum perempuan perlu banyak keluar untuk belajar di PKK, di pengajian, dan ikut olah raga, bisa-bisanya dia mengurung Juminten.” hal. 81 Dalam cerpen ini diceritakan mengenai hal-hal tidak enak yang dirasakan Juminten dalam memenuhi keinginan suami. Hal-hal tidak enak tersebut ditahan Juminten sebenarnya semata-mata demi memenuhi norma masyarakat. Norma masyarakat yang dimaksud adalah norma bahwa istri harus mematuhi suami dan norma bahwa istri adalah pelayan suami. Contoh lain, dalam masalah latihan kasti, Juminten mengambil keputusan dengan menyuruh Marni mencari pengganti lain. “Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi, tolong carikan pengganti saja.” hal. 82 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menekankan pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu, yaitu dengan konsep pembagian kerja secara seksual, yaitu ruang publik merupakan dunia laki-laki, dan ruang domestik merupakan dunia perempuan. Juminten “terepresi” yang diakibatkan ketidakadilan gender.

4.2 Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”

Judul : “Mbok Nah 60 Tahun” Pengarang : Lea Pamungkas Antologi : “Laki-laki yang Kawin dengan Peri” Penerbit : Kompas, 1995 143 Ikhtisar Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Mbok Nah yang berumur 60 tahun. Ia mempunyai suami bernama Marno yang berumur lebih muda 20 tahun. Pekerjaan sehari-hari Mbok Nah berjualan jamu. Mbok Nah mempunyai langganan yang banyak. Salah seorang langganannya adalah Meri. Meri adalah seorang waria, nama sebenarnya Rukman. Meri tinggal di depan rumah Mbok Nah. Dia indekos di rumah itu, pekerjaannya pagi-pagi mengamen dan malam hari bekerja sebagai penjaja seks di sebuah taman kota. Mbok Nah dan Meri cukup akrab, karena kalau Mbok Nah menjual jamu pada Meri, sering tertahan di kamar Meri, karena Meri sering bercerita tentang pengalaman-pengalamannya. Akhir-akhir ini Mbok Nah menghadapi masalah dari kelakuan suaminya. Marno sering berangkat menarik becak lebih siang, padahal sudah berdandan sejak pagi. Setiap Mbok Nah selesai mengantar jamu pada langganannya dan hendak mengantar jamu ke kamar Meri, Mbok Nah selalu melihat suaminya itu tersenyum malu-malu ketika Meri keluar dari kamarnya. Pada suatu malam Mbok Nah dan suaminya kaget mendengar ketukan pintu, ternyata Meri. Ia muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah dan Marno untuk merawatnya. Ternyata sakit Meri tidak seringan yang diduga Mbok Nah dan Marno, sehingga akhirnya Meri tinggal di rumah Mbok Nah. Setelah sembuh Meri tetap tinggal di rumah Mbok Nah. Ia banyak membantu Mbok Nah, segala keperluan Mbok Nah dibereskan, termasuk jamu-jamu yang akan dijajakan. Mbok Nah dengan tulus membiarkan Meri tinggal di rumahnya, ia merasa 144 begitu saja menemukan anak yang tak pernah singgah di rahimnya. Mbok Nah tak bereaksi pada omongan-omongan tetangganya tentang Meri dan Marno, malahan ada yang terus terang bahwa Meri adalah gendakannya Marno. Pada suatu hari, ketika Mbok Nah pulang menjaja jamu, terdengar dari kamar belakang suara Meri dan Marno yang mengingatkannya pada malam-malam kebersamaannya dengan Marno. Walaupun marah, Mbok Nah bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Besok malamnya Meri meminta maaf, tapi Mbok Nah tak menanggapinya dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Esoknya lagi ketika Mbok Nah bangun, dia melihat Marno meringkuk di bawah ketiak Meri yang sedang tidur pulas di kamar belakang. Mbok Nah berkata, “Bocah-bocah turu kabeh.”

4.2.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini adalah Mbok Nah sebagai tokoh utama. Marno suami Mbok Nah merupakan tokoh tambahan. Meri, Jeng Sri, Zus Marni, Mbakyu Surti, Mbakyu Menuk, dan Nak Wasti adalah para tetangga dan pelanggan jamu Mbok Nah. Dari pemerian wacana cerpen diketahui bahwa Mbok Nah yang berumur 60 tahun ini adalah orang yang berwatak tulus, lembut, telaten, sabar, luwes, dan selalu berprasangka baik terhadap orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifat-sifat perempuan ideal yang dikehendaki budaya patriarkis. Sifat-sifat ini merupakan representasi stereotip gender, yang menurut Sebatu 1994: 24 merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan demikian, watak tokoh utama Mbok Nah merepresentasikan ideologi gender. 145 Profil Marno suami Mbok Nah tidak digambarkan secara menyeluruh, kecuali Marno itu seorang yang mempunyai sifat kekanak-kanakan, sifat ini mengasosiasikan pada sifat-sifat manja, lemah, dan bergantung pada orang lain. Sifat ini bertolak belakang dengan stereotip gender. Dengan demikian sifat Marno tidak merepresentasikan ideologi gender. Profil Meri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang waria. Meri berkarakter genit, manja, cerewet, gesit, kuat, terampil, dan rajin. Sifat-sifat Meri tersebut merupakan perpaduan dari sifat maskulin dan feminin. Ia hadir sebagai sosok androgini. Istilah ini digunakan oleh ahli psikoanalisis Carl Gustave Jung Sebatu, 1994: 13 yang menyatakan bahwa androgini ada dalam diri manusia menyatu antara unsur feminin dan maskulin. Jung telah membuktikan secara ilmiah tentang sifat androgenitas manusia tersebut baik secara biologis maupun secara psikologis. Di samping itu mitos dan perdukunan juga meyakini sifat androgenitas, misalnya dalam budaya Cina diyakini bahwa manusia terdiri dari unsur yin maskulin dan yang feminin. Dalam sejarah Indonesia zaman lampau pun dikenal simbol lingga jantan dan yoni feminin, simbol dari dua unsur ini menyatu dalam diri manusia Sebatu, 1994:18. Profil Meri dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ditampilkan pengarang untuk menyatakan bahwa manusia mempunyai sifat androgini. Kenormalan sifat androgenitas Meri harus dikaji, karena sifat androgenitas ini memiliki batas-batas kenormalan. Menurut Sebatu 1994: 116, perempuan pada dasarnya memiliki sifat maskulin dalam taraf rendah. Orang yang androgen memiliki keseimbangan yang 146 tinggi dari kedua ciri feminin dan maskulin itu. Adapun tokoh Meri yang waria nama sebenarnya Rukman kadar kefemininannya terlalu tinggi, sehingga masyarakat menganggapnya tidak normal. Sebatu 1994: 116 menyatakan bahwa jika setiap orang menyadari adanya kedua unsur tersebut, yaitu maskulin dan feminin dalam dirinya, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang seimbang. Sayangnya ideologi gender telah membatasi adanya perempuan dan laki-laki dengan salah satu unsur saja yaitu feminin dan maskulin. Dilihat dari sudut ideologi gender, sifat profil Meri tidak merepresentasikan ideologi gender dalam hal ini stereotip gender, karena dia adalah laki-laki yang tidak memenuhi kriteria laki-laki yang dituntut masyarakat dengan pandangan gender. Adapun profil lain yang digambarkan pengarang dengan tokoh tambahan adalah Jeng Sri, Mbakyu Surti, Zus Marni, Nak Wasti dan Mbakyu Menuk tetangga dan pelanggan jamu Mbok Nah.

4.2.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Dari pemerian cerpen ini tergambar bahwa peran tokoh utama Mbok Nah adalah peran ganda. Jadi, selain mengurus rumah tangga dia juga bekerja di ruang publik, yaitu berjualan jamu. Sebagai perempuan yang memilih integritas kultural terhadap tradisi, Mbok Nah menerima peran ganda ini dengan tulus. Dia menerima kondisi ini sebagai tugas seorang perempuan berperan ganda, dia tetap bertugas melayani suami dengan baik, apalagi mengingat perbedaan umur yang jauh berbeda, 147 yaitu Mbok Nah 60 tahun dan suaminya Marno berumur 20 tahun di bawah Mbok Nah. Pekerjaan Marno adalah menarik becak, perwatakannya tidak banyak digambarkan oleh pengarang, kecuali penggambaran bahwa dia kekanak-kanakan. Perwatakan ini muncul bisa saja karena dia mempunyai istri yang lebih tua, jadi, dia manja, lemah, dan ketergantungan kepada orang lain, yaitu kepada Mbok Nah. Dari pemerian cerita dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini, terlihat bahwa peran Marno tidak menunjukkan peran gender. Pengarang tidak menggambarkan bagaimana relasi peran suami-istri antara Marno dan Mbok Nah. Semua penekanan cerita pada tokoh utama, yaitu Mbok Nah, yang menyadari tentang kondisi ketuaannya sebagai perempuan. Dalam tradisi Jawa perempuan harus bisa mengurus diri, cantik, untuk tetap menarik dalam relasi dengan lawan jenisnya. Walaupun pengarang tidak menyebut lokasi penceritaan, tetapi dari penggunaan bahasa yang sederhana, struktur kalimat yang tidak kompleks, kosakata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari yang bermakna denotatif, termasuk di dalamnya memasukkan kata-kata Jawa, seperti kata pokoke, sampean, turu, tentrem tur besuki, dan lain-lain, menunjukkan bahwa latar tempat adalah daerah Jawa. Peran lain yang diceritakan dalam cerpen ini adalah peran Meri nama asli Rukman, yaitu seorang waria. Pekerjaan Meri, kalau siang hari mengamen, dan kalau malam hari menjadi penjaja seks di taman kota. Dia adalah pelanggan baru Mbok Nah. Anehnya ia selalu memesan jamu-jamu khusus perempuan, yaitu sari rapet dan galian singset, tetapi dia juga memesan jamu kuat majun. Mbok Nah tidak 148 mempermasalahkan mengapa Meri memesan jamu seperti itu dan Mbok Nah juga tidak pernah memasalahkan apakah Meri itu perempuan atau laki-laki. Mbok Nah tidak mempedulikan gunjingan-gunjingan tetangga tentang Meri, dan Mbok Nah tidak menaruh curiga, ketika setiap hari mengetuk pintu kamar Meri Meri kos di depan rumah Mbok Nah untuk mengantar jamu, suaminya yang masih duduk-duduk di amben depan rumah dan belum berangkat menarik becak, selalu tersenyum malu- malu. Dalam dua minggu ini Mbok Nah bingung memikirkan tingkah laku suaminya yang selalu menarik becak lebih siang, padahal dia sudah dandan dari sejak pagi. Mbok Nah selalu menegur suaminya itu dengan lembut, namun suaminya selalu mengulur waktu. Sikap Mbok Nah yang sabar, lembut, telaten, dan pasrah pada suaminya menunjukkan bahwa Mbok Nah adalah figur perempuan Jawa dengan budaya tradisionalnya. Di samping itu dia menyadari dirinya sebagai seorang perempuan tua yang tidak menarik lagi, keriput dan legam. Belakangan ini Mbok Nah memergoki perselingkuhan suaminya dengan Meri secara terang-terangan. Mbok Nah terluka, namun perasaan itu tidak diungkapkannya dan tidak ditunjukkannya. Ia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa dan tak mau membicarakan persoalan atau kemarahan terbuka. Dari latar belakang cerpen yang berkultur Jawa bisa diketahui bahwa sikap Mbok Nah di atas dipengaruhi oleh latar belakang sosial budayanya sebagai seorang Jawa. Dalam kultur Jawa ada stereotip yang menabukan perempuan mengemukakan perasaan secara terang-terangan. Selain itu di depan suami, perempuan dituntut selalu bersikap manis, tak peduli sedih atau gembira yang tengah dirasakannya. Hal ini dilakukan demi menjaga perasaan suami. 149 Dalam menyikapi perselingkuhan suaminya, Mbok Nah tidak menyalahkan suaminya yang jelas-jelas bersalah, malah ia mencari kesalahan pada dirinya. Ia berkesimpulan bahwa ketuaan dirinyalah yang menyebabkan perselingkuhan semuanya. Sementara perempuan dituntut untuk selalu menyenangkan suami dengan selalu tampil cantik. Tuntutan tersebut lahir dari bentukan sosial budaya. Dalam hal ini Mbok Nah tak memiliki jalan lain kecuali menerima perselingkuhan itu, agar ia tak berkonflik dengan perasaannya dan dapat memaafkan perselingkuhan tersebut. Sikap nrimo dijadikan jalan untuk menyelesaikan masalah. Sikap nrimo juga dipengaruhi oleh kultur Jawa. Kultur Jawa memosisikan perempuan serba nrimo, tabah, sabar, dan mau menderita, yang luluh dalam hukum-hukum sosial yang berlaku di masyarakat, yang pada dasarnya tidak adil terhadap perempuan.

4.2.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini akan dibahas mengenai posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa. Posisi-posisi ini menentukan bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi inilah yang menentukan siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan, dan bagaimana menentukan struktur teks, bagaimana makna diinterpretasikan, dan bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana cerpen secara keseluruhan. Berdasarkan analisis Fairclough dan Mills akan dijelaskan bagaimana posisi-posisi itu ditampilkan secara luas dan akan menyingkapi bagaimana ideologi dan kepercayaan dominan beroperasi dalam kajian cerpen 150 tersebut. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, ideologi gender dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” digambarkan sebagai tokoh utama. Dalam kajian cerpen ini “Mbok Nah” ditampilkan sebagai objek penceritaan. Mbok Nah sebagai perempuan posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan dan tidak bisa menampilkan bahan penceritaan dan tidak bisa menampilkan dirinya sendiri. Hal ini tampak pada ideologi gender yang dikemukakan pengarang Lea Pamungkas yang feminis, bagaimana dia mengungkap jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender dalam cerpen ini.

4.2.3.1 Ideologi Patriarki

Mbok Nah adalah figur seorang perempuan yang diketahui berwatak tulus, lembut, sabar, telaten, tak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain, dan tak suka menilai orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifat- sifat perempuan ideal, sesuai dengan yang dikehendaki oleh masyarakat patriarkis. Sifat-sifat tersebut merupakan representasi dan stereotip perempuan. Stereotip tersebut merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan demikian, tokoh Mbok Nah ini merepresenasikan ideologi gender sebagai objek penceritaan. Tokoh subjek Marno dalam cerpen ini tidak digambarkan secara jelas. Marno suami Mbok Nah yang lebih muda 20 tahun dari Mbok Nah tidak digambarkan secara utuh. Gambaran yang dikemukakan pengarang sebatas figur suami yang seenaknya dewek, dalam arti sama sekali tidak menaruh perhatian pada istrinya. Sikap kekanak- kanakan Marno mungkin saja disebabkan karena dia mempunyai istri lebih tua. Karena itu, Mbok Nah tidak berani menegur atau mengemukakan perasaannya 151 kepada suaminya. Dari pemerian cerita dalam cerpen ini bisa diinterpretasi bahwa tidak ada komunikasi yang baik antara Mbok Nah dan suaminya. Ketidakpedulian Marno kepada istrinya walaupun tidak diungkap oleh pengarang menunjukkan bahwa Marni berkuasa atas Mbok Nah. Lebih jelasnya Marno berposisi superior dan Mbok Nah berposisi inferior, padahal sifat Marno itu tidak mempresentasikan ideologi gender, jadi dia berkuasa secara psikis atas Mbok Nah, bukan secara biologis. Dalam dua minggu ini Mbok Nah lagi bingung melihat gelagat Mas Marno suaminya. Yang bikin bingung, ya ini, Mas Marno, Si Kuku Bimanya. Hati Mbok Nah kebat kebit. Mas Marno tersayang kini sering berangkat menarik becak lebih siang. Padahal pagi-pagi dia sudah dandan. Rambutnya sudah lengket berkilat oleh pomade, celana pendek jins juga sudah dipakainya. Becak pun sudah di pinggir jalan. Tapi Marno Cuma duduk-duduk di amben depan rumah. Wajahnya jernih kekanakan menatap ke depan. “Lho ndak berangkat toh Mas... nanti ndak bisa ngantar anak-anak yang mau sekolah.” lembut Mbok Nah menyapa. Kopi dan goreng pisang yang disuguhkannya sudah ludas. “Nanti sebentar lagi Nah.” Dan itu Jawaban Marno setiap kali, bahkan walau tak ditanya Mbok Nah. Ya sudah, Mbok Nah tak bisa menunggu sampai Marno pergi. hal 96-97. Kebingungan Mbok Nah akibat sikap suaminya ini memunculkan konflik dalam cerpen ini. Mbok Nah tak menaruh curiga, ketika setiap kali ia mengetuk pintu kamar Meri waria yang kos di depan rumahnya dan Meri keluar dari kamarnya, Marno, suaminya selalu tersenyum malu-malu. “Halo Mbok Nah, dagg Mas Marno.” Begitu setiap pagi dan Mbok Nah tak tahu apa yang terjadi kemudian. Yang pasti pendapatan Marno dua minggu terakhir ini surut banyak. Mbok Nah harus ngutang sana-sini untuk makan atau bahan pembuat jamu. hal. 98. Dari pemerian dan dialog pendek antara Mbok Nah dan Marno tergambar bahwa Marno mempunyai niat jelek buat Mbok Nah. Dia kelihatan bahagia apabila 152 Mbok Nah telah memulai pergi menjajakan jamu termasuk kepada Meri yang selanjutnya diketahui bahwa Marno berselingkuh dengan Meri. Frase tersenyum malu-malu menunjukkan bahwa hati Marno berbunga-bunga akan berkencan dengan Meri, bukan dengan Mbok Nah, walaupun Sebenarnya Mbok Nah sangat kesengsem oleh senyum malu-malu Marno hal. 98. Ternyata senyum itu bukan buat Mbok Nah, tetapi buat Meri. Mbok Nah tersubordinasi.

4.2.3.2 Ideologi Familialisme

Sebagai seorang istri walaupun Mbok Nah lebih tua 20 tahun dari suaminya, ia berusaha selalu ingin menyenangkan suaminya. Setiap pagi sebelum dia menjajakan jamu, Mbok Nah menyediakaan sarapan pagi buat suaminya, walaupun hanya berupa kopi dan pisang goreng. Mbok Nah berusaha berbuat taat dan setia pada suaminya. Kegiatan Mbok Nah sebenarnya berperan ganda, dalam arti dia berfungsi sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai pencari nafkah. Sejak pagi dia sudah mulai menjajakan jamu kepada langganan-langganannya. Dalam dua minggu ini ia mempunyai langganan baru seorang waria yang kos di depan rumahnya. Waria namanya Meri dan nama sebenarnya adalah Rukman. Anehnya Meri ini selalu membeli jamu singset dan sari rapet, selain itu dia juga membeli jamu kuat majun. Tetapi Mbok Nah tidak pernah mempermasalahkan mengapa Meri membeli kedua jenis jamu itu, yaitu jamu untuk perempuan dan jamu untuk laki-laki. Meri akrab dengan Mbok Nah, karena kalau Mbok Nah datang ke kamar Meri untuk mengantarkan jamu pesanan Meri, Meri suka bercerita tentang pengalaman- pangalamannya. 153 Suatu malam Meri muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah. Mbok Nah dan Marno menolong Meri, merawatnya di rumah mereka hingga lebih dari seminggu, hingga Meri sembuh. Kesembuhan Meri membuat Mbok Nah lega. Adanya Meri di rumah Mbok Nah membuat kehangatan tersendiri bagi Mbok Nah. Ia seperti mendapatkan anak begitu saja. Ia tidak pernah mempersoalkan sekalipun ia sering melihat Meri dan Marno saling cubit dan bermain kaki di bawah meja. Naluri keibuannya membuatnya ia sabar, dan tidak peduli akan kelakuan suaminya dan Meri. Sebetulnya kesembuhan Meri membuat pekerjaan Mbok Nah banyak terbantu. Ternyata Meri itu seorang yang gesit dan kuat; terampil memasak, membelah kayu bakar, sampai menumbuk dan menggodok racikan jamu Mbok Nah. Pagi hari secangkir kopi hangat sudah terhidang buat Mbok Nah, saat sore datang: nasi panas, sambal terasi, dan ikan asin spesial dibikin. hal 100. Hal ini membuat Mbok Nah merasa menemukan anak yang tak pernah hadir di rahimnya, menurut perasaannya anak itu hadir begitu saja di hadapannya. Tingkah laku Meri dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga Mbok Nah adalah untuk menitipkan dirinya karena ia banyak dibantu oleh Mbok Nah dan Marno. Cerpen ini memerikan bahwa Pada suatu sore Mbok Nah melihat becak Marno sudah nangkring di bawah pohon jambu klutuk depan rumah... Dari kamar belakang dia mendengar suara Marno dan suara Meri. Suara-suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malam- malam kebersamaannya dengan Marno. Mbok Nah tercenung... Pandangannya jatuh pada tangannya yang keriput dan legam. Mbok Nah menarik nafas. hal 100-101. Marno yang diceritakan sebagai orang yang kekanakan, dalam pemerian di atas tergambar sebagai seorang suami yang punya kekuasaan untuk menyakiti istrinya 154 Mbok Nah. Tega-teganya ia berselingkuh dengan waria yang terang-terangan dilakukan di rumah Mbok Nah atau di rumahnya sendiri. Kalimat “Suara-suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malam-malam kebersamaannya dengan Marno,” membuat Mbok Nah tercenung, dia merasa termaginalisasi. Dia menoleh kepada dirinya yang sudah berumur 60 tahun, tangannya telah keriput dan legam, apalagi wajahnya. Kalimat Mbok Nah menarik nafas, menunjukkan bahwa dia menyadari sudah tua, sudah tidak menarik lagi bagi Marno. Kesadaran ini membuat dirinya tidak sakit hati. Apa artinya sakit hati karena dalam dirinya sejak awal sudah dicekoki bahwa perempuan Jawa tidak boleh menyatakan perasaannya kepada suami, dalam arti harus nrimo, pasrah, dan tidak boleh berpretensi apa-apa. Suami adalah panutan.

4.2.3.3 Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme ialah ideologi yang menganut perempuan harus menjadi “ibu yang baik” atau menjadi “ibu rumah tangga yang baik”, akan lebih jelas kalau disebut “ratu rumah tangga.” Apa pun sebutannya adalah sama saja perempuan harus menjadi orang baik di dunia domestik dan masyarakatnya. Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” menceritakan tentang tokoh Mbok Nah yang sudah berumur 60 tahun, penjaja jamu. Kalau dia menjajakan jamu, kalimat-kalimat yang dilontarkannya masih manjur, buktinya setiap pagi jamunya pasti ditunggu orang. Mbok Nah yang masih montok pandai merayu tukang becak dan kuli bangunan: “Ayo Mas biar badannya kuat dan bojone di rumah puas, pokoke coba dulu, sampean pasti bangga,” atau “Iya lho Jeng, suami Mbok kan dua puluh tahun lebih muda, gara-gara sari rapet ini dia tambah hari tambah rapet. Jamu yang 155 ini bikin baan singset ndak bau, laki kan ndak suka. Kalau sudah begitu kan bisa repot.” hal. 93. Pemerian dan monolog di atas menggambarkan bahwa betapa pentingnya jamu untuk membuat laki-laki kuat sehingga istrinya merasa puas. Kalau istri merasa puas tentu saja suami menjadi bangga karena dia bisa menunjukkan kejantanannya. Sudah sejak awal memang laki-laki dikondisikan secara kultural untuk mempunyai stereotip yang jantan, kuat, rasional, dan gagah. Dengan demikian dia bisa menjadi superior dan perempuan menjadi inferior, serta tunduk kepada suami. Karena penampilan stereotip di atas, perempuan pun merasa bangga kalau mempunyai suami seperti itu. Inilah yang menimbulkan adanya ideologi patriarki. Lain halnya dengan perempuan, seperti yang dikatakan Mbok Nah tadi. “Jamu itu bikin badan singset, rapet, dan tidak bau, laki ndak suka. Kalau sudah begitu kan bisa repot.” hal. 95. Perempuan sejak dini sudah dipola oleh budaya masyarakatnya, yaitu harus bisa menjaga diri dan merias diri untuk menyenangkan suami serta melayani suami. Jamu singset dan sari rapet Mbok Nah ini memang manjur terbukti banyak langganan-langganannya yang bercerita sambil cekikikan pada Mbok Nah tentang pengalaman dan kepuasan berhubungan dengan suaminya hal. 95. Peran jamu ini sangat manjur terutama bagi perempuan Jawa, dengan jamu ini mereka akan berharap supaya dicintai dan disayang suami. Mbok Nah merasa bersyukur saat langganan-langganannya bercerita, dia selalu mengingat kata-kata ibunya. “Kamu rupanya yang dikasih wangsit sama moyangmu bikin jamu, Nduk. Kamu bakal menolong banyak orang.” Dan Mbok Nah percaya sudah banyak menolong orang, para langganannya tak ada satu pun yang bercerai, punya istri baru, atau suami lain. Semua langgeng tur besuki. “Syukur,” bisik Mbok Nah dalam hati. hal. 96. 156 Hal ini menunjukkan keberhasilan Mbok Nah dalam berperan ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga yang baik, dalam arti bekerja di ruang domestik, dan sebagai penjual jamu, dalam arti bekerja di ruang publik. Sebetulnya Mbok Nah sekarang tidak begitu repot karena pekerjaan domestik di rumah telah dikerjakan oleh Meri, Mbok Nah merasa terbantu. Larut malam ketika kentongan berbunyi dua kali Mbok Nah masih menunggu Marno. Cuma dengkuran dari kamar sebelah yang didengarnya hal. 100. Pemerian ini menggambarkan bahwa Marno tidak masuk ke kamar Mbok Nah, tetapi tidur di kamar sebelah dengan Meri. Frase “masih menunggu Marno,” memperlihatkan bahwa Marno sudah tidak mempedulikan Mbok Nah. Dia berbuat terang-terangan berselingkuh, dan dia tidak takut diketahui oleh Mbok Nah. Kepindahan Meri ke rumah Mbok Nah, rupanya jadi bahan gunjingan baru di kalangan tetangga; “Mbok Nah ini pikirannya piye toh. Apa ndak melihat kelakuan Si Meri sama Mas Marno. Pikun apa Mbok Nah ini... Mas Marno juga wis gendeng apa, punya gendakan kok banci,” kata Mbakyu Surti yang terkenal ceplas-ceplos hal. 102. Mbok Nah menyadari perselingkuhan antara suaminya dengan Meri. Dia tidak menyalahkan suaminya, malah dia melihat ke dirinya, bahwa suaminya wajar berbuat selingkuh karena dia sudah tua, sudah tak menarik lagi, dengan cara ini Mbok Nah menghindari sakit hatinya dan mengobati perasaannya. Meri tengah memasukkan botol-botol jamunya ke dalam bakul dan rambut Mas Marno basah. Keduanya tersenyum malu-malu, Mbok Nah tak berkata apa- apa. Ia menghirup kopi dan pergi hal. 101. 157 Mbok Nah ”terdiskriminasi.” Melihat gelagat suami dan Meri, Mbok Nah lebih baik pergi walaupun hatinya teriris. Sepanjang jalan ketika berjualan Mbok Nah tak bisa melupakan perselingkuhan suaminya dengan Meri. Akibat peristiwa itu ia enggan pulang. Namun rasa lapar tak bisa ditahannya membuat ia terpaksa pulang.

4.2.3.4 Ideologi Umum

Ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” menunjukkan betapa pedihnya Mbok Nah diperlakukan seenaknya oleh suaminya yang berselingkuh terang-terangan di depan matanya. Dia merasa rendah diri karena dia merasa lebih tua dari suaminya, dan kenyataannya memang tua sudah berumur 60 tahun dan suaminya baru 40 tahun. Badan Mbok Nah masih tetap montok, tetapi kulitnya sudah mulai keriput dan legam karena kepanasan ketika menjajakan jamunya. Mbok Nah terbangun ketika terdengar ketukan halus pada pintu. Mbok Nah mengira Mas Marno, ia gelagapan. Tak tahu kira-kira apa yang harus dikatakannya. Ia tak yakin apakah ia marah dengan peristiwa kemarin sore. Jika berlagak marah ya salah, tapi jika tidak mengatakan apa-apa juga salah. Akhirnya Mbok Nah cuma menunggu hal. 102-103. Pemerian di atas menunjukkan kepanikan Mbok Nah. Dalam batinnya ia mengharapkan Marno datang ke kamarnya. Kata gelagapan menunjukkan bahwa ia bingung apa yang harus dia kemukakan kepada Marno mengenai perselingkuhan suaminya itu dengan Meri. Ternyata yang masuk ke kamar bukan Marno, tetapi Meri. “Mbok..., kemarin sore..., Meri tampak gugup dan tersendat “Meri... anu Mbok, nuwun sewu... Mas Marno, Meri..” hal. 103. “Wis Nduk, wis... tidur sana,” kata Mbok Nah setengah mengantuk. Mbok Nah tidur lagi hal. 103. 158 Meri berusaha meminta maaf kepada Mbok Nah atas perselingkuhannya dengan Marno. Tetapi karena Mbok Nah sudah merasa kehangatan atas kehadiran Meri di rumah itu, dan dia merasa kehadiran Meri itu merupakan kehadiran anak yang tiba-tiba ada tanpa kehadiran dahulu di rahimnya, maka Mbok Nah menganggap tidak ada persoalan baginya. Mbok Nah memang selalu mengharapkan kehadiran seorang anak, nyatanya yang muncul Meri yang berselingkuh dengan suaminya. Pengakuan perasaan ini menjadi sikap Mbok Nah yang tidak mempermasalahkan perselingkuhan itu. Tetangga-tetangga Mbok Nah mengetahui perselingkuhan Marno dengan Meri. Mereka menyayangkan sikap Mbok Nah yang terlalu baik pada Meri dan mengherankan Marno mempunyai gendakan banci. Mbok Nah sebetulnya tak ingin bertemu tetangga. Tetapi tak bisa, karena semua tetangganya langganannya. Ia akhirnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tetangganya yang memerahkan telinga dan membuat sakit hati perasaannya. Mbok Nah terepresi. Mbok Nah berusaha menyimpan perasaannya dan tidak mengungkapkan secara terbuka untuk menjaga terjadi konflik. Sikap ini mencerminkan perempuan ideal, yaitu perempuan yang bersifat pasif, menderita tanpa protes, kuat perasaannya, dan tak pernah menyatakan hal-hal negatif, semuanya dipendam di hati. Mbok Nah tidak bersikap terbuka dan mendiamkan persoalan. Hal ini membuat Mbok Nah kembali mendapat represi dari suaminya. Mbok Nah berusaha memaklumi dan memaafkan perselingkuhan itu dengan cara menganggap Meri dan Marno sebagai bocah-bocah. Mbok Nah berjalan ke luar. Pintu kamar belakang terkuak sedikit, 159 dilihatnya Meri lelap tidur dengan muka penuh riasan. Di sisi ketiaknya Marno meringkuk seperti bayi. “Bocah-bocah turu kabeh,” desahnya. Mbok Nah mengikat gulungannya yang terlepas. hal. 103. Dalam hal ini terlihat sikap penerimaan Mbok Nah terhadap perselingkuhan Marno atau dalam kultur Jawa disebut nrimo, yang berarti perempuan harus selalu pasrah dan menerima segala tindakan suami. Konsep ini tercermin dalam ungkapan “swarga nunut naraka katut”, artinya kebahagiaan dan penderitaan istri ada di tangan suami kultur Jawa, dan “awewe mah dulang tinande”, artinya perempuan hanya menerima kultur Sunda. Sikap Marno ini merupakan ideologi gender yang cenderung menyebabkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Ketidakadilan ini bermacam-macam, salah satunya adalah penindasan secara psikis, dalam hal ini perselingkuhan Marno yang dapat dikategorikan “kekerasan dalam rumah tangga”. Kekerasan tersebut menyerang integritas emosional-psikologis yang menyebabkan pihak yang mengalaminya tertekan secara psikologis maupun fisik. Kekerasan ini menurut Adingsih Pikiran Rakyat, 8 Maret 2002 terjadi karena perempuan cenderung tidak berdaya untuk keluar dari lingkaran itu. Terbukti dari 125 kasus yang dicatat Rifka Annisa Women’s Crisis Center 1998, 70 perempuan mengalami represi dari suaminya, pasrah menjalani perkawinan.

4.3 Cerpen “Warung Pinggir Jalan”