PENERAPAN MODEL ANALISIS WACANA KRITIS DALAM KAJIAN CERPEN BERIDEOLOGI GENDER UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN ANALISIS WACANA MAHASISWA.

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, berbagai gagasan dan

perencanaan merupakan tuntutan yang harus terus berlanjut. Pendidikan harus

selalu mengiringi perkembangan kehidupan manusia yang terus mengalami

perubahan ke arah penyempurnaan. Pendidikanlah yang diandalkan untuk menjadi

pengarah kemajuan. Kebijakan-kebijakan pendidikan baru dalam melakukan

parubahan atau penyempurnaan, sebaiknya selalu didasari oleh hasil-hasil

pengamatan yang cermat oleh para ahli dan dari hasil-hasil penelitian.

Munculnya masalah dalam pendidikan merupakan gejala yang

menunjukkan adanya kesenjangan antara hasil pendidikan dengan tuntutan

kehidupan. Masalah ini muncul beraneka ragam, mulai dari masalah proses

belajar mengajar di kelas yang berhubungan dengan bidang studi, berhubungan

dengan kurikulum, berhubungan dengan salah satu jenjang pendidikan, sampai ke

masalah yang berhubungan dengan kebijakan dan konsep pendidikan.

Berbicara tentang permasalahan proses belajar mengajar dalam

pendidikan adalah sesuatu yang sangat membutuhkan pemikiran dan perhatian

yang serius untuk pengembangan, sehingga diperlukan gagasan-gagasan dan

perencanaan-perencanaan yang betul-betul membutuhkan pikiran dan tenaga

ekstra bagi para pendidik untuk memikirkannya. Salah satunya adalah proses

belajar mengajar Tata Wacana. Istilah wacana dipakai oleh banyak kalangan

mulai dari studi bahasa, psikologi, politik, komunikasi, sastra, dan sebagainya.


(2)

Dalam pembelajaran, wacana merupakan disiplin ilmu baru. Pemunculannya

sekitar tahun 70-an. Sebetulnya apakah wacana itu? Firth (dalam Syamsuddin,

1992: 2) mengemukakan bahwa language was only maeningful in its context of

situation. Jadi, pembahasan wacana adalah pembahasan bahasa dan tuturan yang

harus dalam satu rangkaian kesatuan situasi atau dengan kata lain, makna suatu

bahasa berada dalam rangkaian konteks dan situasi. Pemakaian istilah wacana itu

banyak dipakai dalam banyak disiplin ilmu yang lain. Jika istilah wacana dipakai

dalam disiplin ilmu bahasa, perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan atau

betul-betul bermakna bagi pakar bahasa atau keilmuan kebahasaan. Sebagai contoh

adanya istilah wacana politik, sebatas wacana, baru wacana, dan lain-lain. Istilah

tersebut bukan dalam pembahasan ilmu bahasa, tetapi dipakai dalam ilmu politik.

Dilihat dari awal pemunculannya, istilah wacana bukan muncul dari para

ahli ilmu bahasa, melainkan dipopulerkan oleh oleh psikolog, antropolog, dan

sosiolog. Mereka beranggapan bahwa kenyataan kegunaan pemakaian bahasa di

lapangan bukan dilihat dari struktur bahasa, melainkan dari konteks pemakaian

bahasa, yaitu wacana. Brown dan Yule (Terjemahan Soetikno, 1996: xi)

mengemukakan bahwa para ahli sosiolinguistik terutama memperhatikan struktur

interaksi sosial yang dinyatakan dalam percakapan dan deskripsi-deskripsi mereka

yang dititikberatkan pada ciri-ciri konteks sosial, terutama dapat dimasukkan ke

dalam klasifikasi sosiologis.

Mata kuliah Tata Wacana merupakan salah satu mata kuliah bidang studi

(MKBS), yang diberikan pada semester ganjil (5) dengan bobot 4 SKS di Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI. Adapun bahan perkuliahan


(3)

Tata Wacana yang diberikan di Strata 1 hanya sampai pada masalah menganalisis

wacana dialog dan monolog.

Diawali dengan adanya kebutuhan pengembangan pembelajaran analisis

wacana inilah, penulis ingin mengembangkan materi pembelajaran analisis

wacana ini sampai kepada analisis wacana kritis (AWK). Dalam silabi dan satuan

acara perkuliahan (SAP) dicantumkah bahwa tujuan pembelajaran Tata Wacana

adalah mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep tata wacana bahasa

Indonesia,

dapat

menganalisis,

mencoba

mengajarkan,

dan

dapat

menyelenggarakan seminar kelas tentang hasil pengamatan atau penelitian kecil.

Pengembangan pembelajaran yang menyangkut daya nalar mahasiswa

tentang pembelajaran wacana sangat berhubungan dengan penggunaaan wacana di

masyarakat. Dalam konsepnya, para pakar analisis wacana kritis (selanjutnya

disebut AWK) menyatakan bahwa materi yang akan dianalisis oleh AWK adalah

wacana-wacana yang mengandung gagasan dominasi dan kekuasaan, di antaranya

wacana politik, ras, dan gender.

Penelitian mengenai AWK belum banyak dilakukan. Ada beberapa

penelitian AWK yang pernah dilakukan, di antaranya penelitian-penelitian yang

berkaitan dengan wacana politik. Di bawah ini akan dibahas beberapa hasil

penelitian tersebut.

Ruswan Dallyono (2003) melaporkan hasil penelitin tentang AWK politik

dengan menggunakan wacana yang ada di internet (A Hypertex Base Critical

Discoursse

Analysis

of

Democratic

Awareness).

Hasil

temuannya

menggambarkan tentang wacana-wacana website berkontribusi pada upaya-upaya


(4)

demokratisasi di Indonesia. Wacana-wacana website ini mengangkat isu-isu

sensitif, seperti kekerasan-kekerasan TNI di Aceh dan konsep-konsep

pemerintahan serta konsep-konsep nasionalisme. Judul penelitiannya adalah “The

Contribution of News Website to Democration in Indonesia.”

Anang Santoso (2003) meneliti AWK politik dalam disertasinya, yaitu

Bahasa Politik Pasca-Orde Baru. Santoso memaparkan karakteristik

bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dalam wacana politik, khususnya wacana politik

pasca-Orde Baru beserta konteks penggunaannya, baik konteks lokal (konteks

situasi) maupun konteks global (konteks budaya dan ideologi). Disertasi ini

membahas pengantar ke arah bahasa politik dan penggunaan AWK sebagai pisau

analisis yang relavan untuk membedah fenomena wacana politik Indonesia.

Karakteristik bahasa politik pasca-Orde Baru dipaparkan sebagai pola

klasifikasi, leksikalisasi, relasi makna (antonimi, sinonimi, dan hiponimi),

metafora, ketransitifan bentuk aktif-pasif, modus kalimat, (deklaratif, interogatif,

dan imperatif), modalitas, (relasional dan ekspresif), strategi kehadiran diri (kita,

saya, kami, dan nomina tertentu), serta struktur teks (konvensi, interaksional, dan

penataan teks). Paparan eksplanasi kritis yang dikemukakannya, yaitu mengapa

sebuah bentuk bahasa dipilih dan dikedepankan serta mengapa sebuah bentuk

bahasa ditinggalkan dan dikemudiankan.

Jumadi (2005) dalam disertasinya “Representasi Power dalam Kelas

(Kelas Etnografi Komunikasi di SMA)” mengungkap bahwa power menyebar ke

dalam semua situs kehidupan manusia, termasuk dalam wacana kelas.

Penggunaan power dalam kelas diduga terkait dengan penggunaan tindak tutur,


(5)

pengendalian topik tuturan, interupsi, dan overleping dalam proses pembelajaran.

Hasil temuan yang dikemukakan Jumadi adalah power merupakan bagian integral

wacana kelas. Penggunaan power dalam wacana kelas meliputi penggunaan

tindak direktif, asertif, dan ekspersif, yang merepresentasikan power dengan kadar

dominasi tertentu. Terkait dengan fungsinya, wacana kelas power difungsikan

untuk tindakan preventif, suportif, dan korektif.

AWK menganalisis wacana-wacana kritis yang terdapat di berbagai

media, di antaranya wacana cerpen. Wacana cerpen dapat menjadi wujud fiksasi

dan stabilisasi juga pelembagaan realitas, peristiwa, dan pengalamn hidup.

Wacana cerpen sesungguhnya merepresentasikan konstruksi sosial atau bangunan

sosial, termasuk di dalamnya peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam

masyarakat atau gender.

Berkaitan dengan uraian di atas, seorang pengarang cerpen dituntut untuk

membuat atau menciptakan konstruksi sosial atas realitas, peristiwa, atau

pengalaman hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengarang perlu

membangun atau menciptakan dunia kehidupan di dalam karyanya. Dengan

membangun dan menciptakan dunia kehidupan dalam karyanya, pengarang

dengan leluasa dapat mengembangkan berbagai kemungkinan penafsiran realitas,

peristiwa, atau pengalaman hidup yang diwujudkan dalam cerita, di antaranya

tentang gender.

Gender dalam hal ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut

nonbiologis. Gender merupakan konstruksi sosio-kultural atau kategori sosial

(feminitas dan maskulinitas) tercermin dalam perilaku, keyakinan dan organisasi


(6)

sosial. Karena itu gender merupakan konsep sosial. Lebih eksplisit lagi pernyataan

Meneg UPW (1992: 3) yang menyatakan bahwa gender digunakan untuk

menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Saptari dan Holzner (1997: 221-222) menyatakan bahwa karya sastra

terbukti mempunyai pengaruh besar dalam membentuk, melembagakan,

melestarikan, mengarahkan, memasyarakatkan, dan mengoperasikan ideologi

gender. Oleh karena itu representasi ideologi gender dalam sastra, termasuk

wacana cerpen relatif menonjol dan kuat. Kajian Newton dan Resenfolt (dalam

Yulianeta, 2002: 54) memperlihatkan bahwa wacana cerpen Eropa Barat dan

Amerika telah menjadi arena penciptaan mitos dan ideologi gender dengan

konteks sosial tertentu. Helbwig (Yulianeta, 2002: 55) dalam kajian berjudul

“Rape in Two Indonesian Novels : An Analysis of the Female Images” menyoroti

secara mendalam citra perempuan dalam dua novel populer Indonesia, yaitu

“Karmila” karya Marga T dan “Ku Gapai Cintamu” karya Ashadi Siregar. Secara

khusus ahli sastra Indonesia dari Belanda ini mengkaji masalah pemerkosaan dari

perempuan yang ditampilkan dalam wacana novel. Keperawanan perempuan

merupakan hal yang paling utama. Apabila keperawanan hilang, jalan keluar

satu-satunya adalah perkawinan, walaupun kawin dengan laki-laki

yang

memperkosanya.

Ideologi gender, yang melahirkan perbedaan gender tidak menjadi

masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi

persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan,

terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan akibat perbedaan gender ini terlihat


(7)

dari peminggiran (marginalisasi) dan subordinasi kaum perempuan. Dengan

berkembangnya stereotip yang tidak adil terhadap perempuan, maka sering terjadi

kekerasan dan beban kerja yang lebih berat terhadap perempuan (Fakih, 1999:

12-13). Marginalisasi terhadap perempuan bisa dilihat sejak dari lingkungan rumah

tangga dalam bentuk diskriminasi pada anggota keluarga yang laki-laki dan

perempuan, misalnya dengan memprioritaskan anggota keluarga laki-laki harus

lebih didahulukan dalam menuntut pendidikan. Sedangkan subordinasi terhadap

perempuan, misalnya terlihat dari sikap menempatkan perempuan pada posisi

yang tidak penting. Hal ini terjadi karena pelabelan stereotip kultural yang

turun-temurun, yang menganggap perempuan irasional atau emosional, sehingga tidak

layak tampil sebagai pemimpin. Contohnya masih ada anggapan bahwa

perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, karena akhirnya akan ke dapur.

Ketidakadilan juga dirasakan perempuan akibat adanya stereotip tentang

perempuan yang merugikan, misalnya penandaan yang berawal dari asumsi

bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing lawan jenisnya, sehingga

banyak kasus pelecehan seksual pada perempuan. Kekerasan terhadap perempuan

terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan. Kekerasan banyak terjadi di

masyarakat, misalnya pemerkosaan, pelacuran, pornografi, dan lain-lain.

Sedangkan beban kerja bisa dilihat dari tuntutan peran ganda terhadap perempuan.

Jika kita melihat kenyataan di masyarakat masih banyak perempuan yang belum

menyadari hal ini. Budi Darma (Lilis, 2003: 5) mengatakan bahwa seringkali

perempuan malah menjadi pendukung utama kultur patriarki. Hasil penelitian

Darma (2003) mengungkap tentang persepsi perempuan yang mempunyai jabatan


(8)

di pemerintahan Kota Bandung terhadap kesetaraan gender dan pengarusutamaan

gender. Mereka lebih menyukai suaminya yang mempunyai jabatan atau

berpenghasilan lebih besar daripada dia, dengan alasan menjaga wibawa suami,

baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Jadi, masih banyak

perempuan walaupun dari kalangan berpendidikan yang menerima saja apa yang

dikukuhkan oleh sistem patriarki dan menganggapnya sebagai kodrat yang tak

bisa diganggu gugat. Sesungguhnya keadaan tersebut dapat diubah apabila

mereka, yaitu laki-laki dan perempuan mau mengubahnya sebagai tanggung

jawab pada harkat kemanusiaan.

Kajian perempuan atau analisis gender sangat bermanfaat untuk melihat

jenis dan bentuk “konstruksi” ideologi gender yang terepresentasi dan terlembaga

dalam wacana sastra (cerpen). Sedangkan teori AWK bermanfaat untuk melihat

“pengoperasian” ideologi gender yang terepresentasi dan terlembaga dalam

wacana cerpen. Pemanfaatan AWK didasarkan atas asumsi bahwa cerpen dapat

dipandang sebagai wacana AWK, yaitu mempelajari bagaimana dominasi suatu

ideologi serta ketidakadilan dijalankan dan dioperasikan melalui teks atau wacana.

Menurut Fairclough (2003: 205) AWK melihat wacana sebagai bentuk dan

praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan

sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi,

institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana menampilkan

efek ideologi; ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang

tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, kelas sosial serta kelompok

mayoritas dan minoritas melalui representasi posisi sosial yang ditampilkan. Oleh


(9)

karena itu, ideologi membentuk identitas diri kelompok yang membedakannya

dengan kelompok yang lain (van Dijk dalam Eriyanto, 2005: 272). AWK melihat

konteks terutama bagaimana ideologi kelompok-kelompok yang ada berperan

dalam membentuk wacana. Misalnya dalam wacana cerpen yang memunculkan

pencerminan ideologi seseorang, apakah dia feminis, antifeminis, kapitalis, sosial,

dan sebagainya.

AWK digunakan untuk membongkar pengoperasian ideologi gender

dalam wacana sastra, di antaranya model analisis Sara Mills. Fokus perhatian Sara

Mills (1997: 183) adalah wacana feminisme, yakni bagaimana perempuan

ditampilkan dalam teks, baik dalam cerpen, gambar, foto, maupun media. Oleh

karena itu, model analisis ini disebut juga analisis berperspektif feminis. Fokus

perhatian analisis ini adalah menunjukkan bagaimana teks bias gender dalam

menampilkan perempuan. Perempuan cenderung ditampilkan sebagai pihak yang

salah, marginal dibandingkan dengan laki-laki. Ketidakadilan dan penggambaran

yang buruk mengenai perempuan inilah yang menjadi sasaran utama dalam tulisan

Mills.

Fairclough (Lukmana, 2003: 329) menganalisis wacana dalam tiga

dimensi, yang mencakup analisis (1) data linguistik, (2) praktik-praktik diskursif,

dan (3) praktik-praktik sosial. Jadi, studi kritis terhadap bahasa menyoroti

bagaimana konvensi dan praktik berbahasa terkait dengan hubungan kekuasaan

dan proses ideologis yang sering tidak disadari oleh masyarakat. Keterkaitan

antara wacana dengan kekuasaan juga ditekankan oleh van Dijk, yang

menempatkan AWK sebagai sarana untuk mengkaji peran wacana dalam


(10)

reproduksi dan resistensi terhadap dominasi. Dominasi didefinisikan sebagai

penerapan kekuasaan sosial, para elit, institusi atau kelompok yang berujung pada

ketidaksetaraan (inequality) sosial, seperti pada ranah praktik, kelas, dan jenis

kelamin (van Dijk, 1993 dalam Lukmana, 2003: 330).

Belajar AWK adalah suatu hal baru bila dihubungkan dengan ilmu sastra

dan ideologi gender. Penelitian Yulianeta (2002) mengupas masalah ideologi

gender dalam novel Saman. Tulisan ini berupaya mengkaji pengoperasian gender

berdasarkan konsep AWK Sara Mills (1977) yang berperspektif feminis. Dalam

novel Saman ideologi dikonstruksi oleh kelompok yang dominan (laki-laki)

dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Dari

analisis Yulianeta dapat diketahui bahwa novel Saman mencerminkan ideologi

gender Ayu Utami, sang pengarang, sebagai seorang feminis. Sebagaimana

umumnya wacana feminis, novel Saman menampilkan perempuan sebagai objek

penceritaan bukan subjek penceritaan. Sebagai objek representasi, perempuan

posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan, dan tidak bisa

menampilkan

dirinya

sendiri,

perempuan

tetap

termarginalisasi

dan

tersubordinasi. Oleh karena itu, perlu ada penelusuran yang lebih mendalam

tentang model AWK dan aplikasinya dalam pengkajian sastra, di antaranya kajian

cerpen yang berideologi gender. Selain itu Nenden Lilis (2002) mengupas

pemilihan bahan dan perancangan model apresiasi cerpen sebagai wahana

penyadaran masalah gender di lingkungan unit Dharma Wanita. Berdasarkan

hasil-hasil penelaahan penelitian-penelitian di atas, penulis belum menemukan

penelitian mengenai pembelajaran AWK dalam pengkajian cerpen yang


(11)

berideologi gender, tetapi penulis menemukan penelitian yang sejenis, yaitu

penelitian Yulianeta (2002) yang mengkaji masalah ideologi gender dalam novel

Saman.

Dari uraian di atas, dipandang perlu adanya penelitian mengenai model

AWK untuk mengkaji wacana-wacana yang berideologi gender dan dapat

dilakukan dalam pembelajaran. Hal inilah yang perlu dilakukan dalam penelitian

ini, dengan judul: “Penerapan Model Analisis Wacana Kritis dalam Kajian Cerpen

Berideologi Gender untuk Mengembangkan Kemampuan Analisis Wacana

Mahasiswa (Studi Kuasi-Eksperimen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia FPBS UPI Angkatan 2003-2004).”

1.2

Pembatasan Masalah

Karya sastra terbagi atas beberapa jenis karangan. Ada tiga bentuk karya

sastra, yaitu puisi, prosa dan drama. Dalam penelitian ini sasaran penelitian adalah

karya sastra yang dibatasi dalam bentuk prosa fiksi jenis cerpen. Pengajuan cerpen

di sini karena pertimbangan pada nilai-nilai praktis cerpen. Nilai-nilai praktis

tersebut adalah sebagai berikut: (1) cerpen lebih ringkas dibandingkan dengan

novel atau drama dan cerpen bisa selesai dibaca dalam sekali duduk; (2) cerpen

relatif mudah dipahami; (3) cerpen mudah diperoleh, karena tersebar di berbagai

media,baik di surat kabar edisi Minggu, majalah, atau buku-buku antologi; (4)

cerpen cocok dengan minat masyarakat, karena tidak usah berlama-lama

menikmati cerita. Cerpen yang dibahas adalah cerpen berideologi gender dan

dibatasi hanya cerpen-cerpen pilihan Kompas, yang dimuat dalam antologi cerpen

1994-2000. Hal ini memudahkan pencarian bahan pembelajaran, karena


(12)

kualitasnya sudah terseleksi, di samping itu cerpen-cerpen Kompas telah diakui

oleh para kritikus sastra Indonesia sebagai indikator cerpen terbaik di Indonesia.

Sastrowardoyo (1992 : 1) mengatakan bahwa cerpen yang dimuat dalam Kompas

patut diketengahkan sebagai karya sastra, karena selain mempertimbangkan

temanya untuk pembaca umum, juga mempertimbangkan nilai estetikanya.

Bahkan Dewanto (1993 : 10) menyatakan bahwa dalam satu dasawarsa terakhir,

cerpen-cerpen terbaik di Indonesia muncul di Kompas bukan di majalah sastra.

Dari antologi cerpen Kompas tahun 1994-2000 yang tidak ditemukan berideologi

gender adalah antologi cerpen Kompas tahun 1997 dan 1999, sedangkan tahun

1998 Kompas tidak menerbitkan antologi.

Wacana yang akan dianalisis oleh AWK dibatasi hanya pada wacana

gender yang mengupas masalah adanya ketimpangan-ketimpangan gender,

ketidakadilan gender dan ketidaksetaraan gender.

1.3 Rumusan Masalah Penelitian

Sesuai dengan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya, maka

permasalahan penelitian ini bisa dirumuskan sebagai berikut.

“Sejauh mana penerapan model AWK dapat mengembangkan kemampuan

mahasiswa dalam mengkaji cerpen yang berideologi gender.”

Dari rumusan di atas bisa diuraikan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1)

apakah model AWK efektif untuk menganalisis cerpen berideologi gender

pada antologi-antologi cerpen pilihan Kompas?

2)

apakah proses perencanaan penerapan model AWK dalam pengkajian cerpen

yang berideologi gender baik?


(13)

3)

apakah proses pelaksanaan penerapan model AWK dalam pengkajian cerpen

yang berideologi gender efektif?

4)

apakah hasil penerapan model AWK dapat mengembangkan kemampuan

mahasiswa dalam mengkaji cerpen yang berideologi gender?

1.4

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian

yang ingin dicapai adalah menganalisis dan menjelaskan:

1)

keefektifan model AWK dalam menganalisis wacana yang berideologi gender

dalam antologi-antologi cerpen pilihan Kompas;

2)

proses perencanaan penerapan model AWK dalam pengkajian cerpen yang

berideologi gender adalah baik;

3)

keefektifan proses pelaksanaan penerapan model AWK dalam pengkajian

cerpen berideologi gender;

4)

hasil penerapan model AWK untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa

dalam mengkaji cerpen berideologi gender.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah:

1)

bagi para teoritis dan praktisi bahasa Indonesia, bahwa efektivitas model

AWK dapat digunakan sebagai landasan dalam mengembangkan mata kuliah

Tata Wacana. Model yang dirancang dalam penelitian ini dapat menambah

wawasan bagi dosen Tata Wacana untuk mengembangkan program

pembelajaran di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.;


(14)

2)

bagi mahasiswa, model AWK ini dapat mengembangkan kemampuan dalam

menganalisis cerpen berideologi gender.

1.6 Asumsi

Dengan diberikannya perlakuan model belajar AWK maka diasumsikan

bahwa:

1)

kelompok mahasiswa yang diberi perlakuan model belajar AWK

menunjukkan peningkatan dalam menganalisis wacana kritis;

2)

kelompok mahasiswa yang diberi perlakuan model belajar AWK

menunjukkan peningkatan dalam memahami wacana gender dalam sastra.

1.7 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

“Terdapat perbedaan yang signifikan antara pengembangan keterampilan

mahasiswa sebelum diberi perlakuan model AWK dalam kajian cerpen yang

berideologi gender dengan sesudah diberi perlakuan model AWK dalam kajian

cerpen berideologi gender.”

1.8 Variabel Penelitian

Penelitian ini mempelajari penerapan model belajar AWK dalam kajian

cerpen berideologi gender. Dengan demikian, variabel penelitian ini mengkaji dua

variabel, yaitu:

1)

model belajar AWK sebagai variabel bebas (independent);

2)

kemampuan mengkaji cerpen yang berideologi gender sebagai variabel terikat

dependent).


(15)

1. 9 Definisi Operasional

Untuk menghindari adanya salah pengertian tentang konsep-konsep yang

akan dikaji dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan beberapa istilah

seperti yang tertuang di bawah ini.

1)

Penerapan

yang

dimaksud

dalam

penelitian

ini

adalah

perihal

mempraktikkan, dalam arti upaya untuk mempraktikkan model belajar AWK

dalam kajian cerpen berideologi gender.

2)

Model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pola atau cara untuk

mempraktikkan belajar AWK dalam mengkaji cerpen yang berideologi

gender.

3)

Analisis Wacana Kritis (AWK) adalah analisis terhadap wacana-wacana

yang kritis, yang berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik

tradisional. Yaitu hanya menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi

juga menghubungkan dengan konteks. AWK mengungkap gagasan yang

menonjolkan kekuasaan politik, dominasi, hegemoni, ideologi, kelas

masyarakat, gender, ras, diskriminasi, interes, reproduksi, institusi, struktur

sosial, dan peran sosial. AWK yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

AWK yang menganalisis tentang wacana cerpen berideologi gender, dalam

arti wacana cerpen yang mengungkap adanya ketimpangan gender,

ketidaksetaraan gender (gender inequality), dan dominasi budaya patriarki

yang membuat perempuan dimarginalisasi dan disubordinasi.

4)

Kajian cerpen adalah telaah cerpen dilihat dari unsur eksternal (ekstrinsik)

yang berdasarkan sosial budaya kehidupan manusia.


(16)

5)

Ideologi gender adalah sistem nilai atau gagasan yang dianut masyarakat

berikut proses-proses yang membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan

sifat-sifat yang dikonstruksi secara sosial, bukan berdasarkan biologis.

1.10

Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian dapat digambarkan seperti diagram di bawah ini:

Bagan 1.1.

PARADIGMA PENELITIAN

- STUDI KULTURAL - FEMINIS

- SASTRA FEMINISME

- CERPEN BERIDEOLOGI GENDER - BAHASA

- AWK

PROSES PEMBELAJARAN MODEL AWK IDEOLOGI GENDER

PENERAPAN MODEL AWK UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN

MAHASISWA DALAM MENGKAJI CERPEN BERIDEOLOGI GENDER MODEL AWK

IDEOLOGI GENDER

PROSES PELAKSANAAN PROSES

PERENCANAAN

HASIL

PRATES

PERLAKUAN

PASCATES

KAJIAN CERPEN BERIDEOLOGI GENDER


(17)

BAB IV

ANALISIS WACANA KRITIS

DALAM KAJIAN CERPEN BERIDEOLOGI GENDER

Bab ini mengkaji ideologi gender pada cerpen-cerpen karya penulis perempuan yang telah terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas dan telah diterbitkan oleh Penerbit Kompas dalam bentuk antologi . Dipilihnya penulis perempuan, karena penulis perempuan akan lebih jelas dan transparan dalam menggambarkan persoalan ideologi gender dan ketidakadilan gender. Banyak cerpen yang mengupas tentang perempuan, tetapi kebanyakan tentang permasalahan kondisi sosial perempuan dan kemiskinan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas mengenai cerpen-cerpen yang berideologi gender.

Adapun cerpen-cerpen itu adalah:

1) “Rambutnya Juminten”, 1994, Karya Ratna Indraswari Ibrahim.

2) “Mbok Nah 60 Tahun”, 1995, Karya Lea Pamungkas.

3) “Warung Pinggir Jalan”, 1996, Karya Lea Pamungkas. 4) “Ruang Belakang”, 2000, Karya Nenden Lilis Aisyah.

Analisis ideologi gender ini menggunakan pisau bedah AWK yang sudah dibuat oleh peneliti. Langkah analisis sudah dibahas pada bab 3 sebagai berikut: 1) menentukan bentuk teks, teks itu mengungkap ideologi gender;

2) menentukan subjek penceritaan; 3) menentukan objek penceritaan;


(18)

5) menginterpretasi makna yang telah dibahas dalam deskripsi bahasa;

6) mengeksplanasi apa yang diungkap oleh cerpen-cerpen yang berideologi gender tersebut.

Di bawah ini adalah cerpen-cerpen yang akan dianalisis dengan menggunakan pisau bedah AWK.

4.1 Cerpen “Rambutnya Juminten”

Judul : “Rambutnya Juminten”

Pengarang : Ratna Indraswari Ibrahim

Antalogi : “Lampor”

Penerbit : Kompas, 1994

Ikhtisar

Cerpen ini menceritakan tokoh utama Juminten. Panuwun (suami Juminten) menginginkan istrinya (Juminten) memanjangkan rambutnya. Padahal Juminten menginginkan rambutnya dipotong pendek. Panuwun berkali-kali mengatakan bahwa istri bersolek untuk suami dan hal itu dianggap prinsip. Akhirnya Juminten memanjangkan rambutnya. Juminten meminta dibelikan obat penyubur rambut, tetapi setiap kali Juminten memakai obat itu selalu merasa mual dan pusing. Jadi, Juminten alergi terhadap obat itu, namun Juminten selalu memakainya karena ingin menyenangkan suami (Panuwun menyenangi aroma obat rambut itu). Marni, sahabat Juminten, menganggap tindakan Juminten itu bodoh, karena menyiksa diri sendiri demi menyenangkan suami.


(19)

Ketika rambut Juminten sudah panjang banyak orang mengatakan Juminten cantik, termasuk Nardi (anak majikan orang tua Juminten dan Panuwun). Bahkan Nardi berani menggoda Juminten. Hal ini diketahui Panuwun, sehingga ia cemburu. Juminten dilarang keluar rumah kalau tidak ada suami dan boleh keluar jika dengan suami. Juminten termasuk salah satu anggota tim kasti di desanya dan harus mengikuti latihan, berarti Panuwun tidak bisa mengurung Juminten selamanya. Alasan Panuwun terjadinya kejadian ini diakibatkan oleh rambut panjang Juminten. Oleh karena itu, Panuwun meminta Juminten untuk pergi ke salon Mbak Titik untuk memotong rambutnya. Juminten menolak, ia sudah merasa sayang pada rambutnya. Lagi-lagi Panuwun mengucapkan, “Ten kau kan dandan untukku?” (hal 79). Akhirnya Juminten luluh dan pergi ke salon Mbak Titik. Tatkala ia melihat rambutnya pendek di depan kaca salon dia mencucurkan air mata.

4.1.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Wacana cerpen “Rambutnya Juminten” secara nyata merepresentasikan profil atau sosok identitas gender laki-laki dan perempuan. Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini adalah Juminten sebagai istri Panuwun. Panuwun (suami Juminten), Marni, dan Nardi sebagai orang-orang yang tinggal di desa. Profil ini pun mencerminkan status sosialnya sebagai masyarakat desa biasa.

Profil Juminten adalah perempuan cantik dengan rambut panjang. Profil gender lainnya tidak digambarkan secara fisik oleh pengarang. Dari pemerian cerita, Juminten digambarkan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, yaitu bekerja di ruang domestik sebagai istri. Selain itu ada aktivitas lainnya seperti ikut program PKK dan


(20)

kegiatan olahraga kasti di desanya. Penggambaran profil Juminten terlihat dalam deskripsi bahasa sebagai berikut.

Suatu kali sewaktu nonton film layar tancap di desa bersama suaminya, banyak orang bilang, “Ten, kok rambutmu sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang cantik dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” (hal 80)

Profil Panuwun (suami Juminten) digambarkan sebagai seorang buruh pabrik di kota dalam arti bekerja di ruang publik. Panuwun adalah seorang suami yang berkuasa, otoriter, dan kemauannya selalu harus dituruti. Sedangkan profil Juminten dalam kehidupan sehari-harinya sangat penurut, selalu mengalah, dan selalu mematuhi apa kata suaminya. Panuwun adalah sosok egois yang tidak mau mengerti akan keinginan-keinginan istrinya. Prinsipnya istri adalah milik suami. Hal-hal yang berhubungan dengan istri, suamilah yang menentukan. Profil Panuwun terlihat dalam ucapannya terhadap Juminten dengan berkali-kali mengatakan bahwa “Kamu bersolek untuk suami, iya kan?” (hal 78). “Pokoknya, saya tidak suka kamu keluar” (hal 81).

Profil Marni digambarkan sebagai seorang perempuan yang telah berpandangan modern. Marni beranggapan semua sikap Juminten sebagai seorang istri adalah sikap yang menyiksa diri. Profil Marni digambarkan sebagai sebagai perempuan yang rasional. Marni selalu berusaha menyadarkan Juminten untuk bersikap rasional, dalam arti harus bisa menolak keinginan suami bila tidak cocok dengan kemauannya. Menurut Marni keadaan yang terjadi pada Juminten dalam hubungannya sebagai istri adalah tindakan represif. Tetapi pendirian Juminten tidak tergoyahkan oleh nasihat-nasihat Marni, walaupun ia terlihat kecewa, Juminten tetap


(21)

berpendirian bahwa istri harus menurut pada suami dan menyenangkan suami. Hal ini terlihat dari ucapan Marni pada Juminten.

“Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa lagi menasehatimu. Mestinya kamu tidak terus menerus mengalah, tapi memberi pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku minta cerai. Kita bukan burung di dalam sangkar.” (hal 82)

Profil Nardi digambarkan sebagai seorang laki-laki, walaupun tinggal di desa, dia hidup lumayan, karena orangtuanya punya pabrik, tetapi tidak digambarkan apa pekerjaan Nardi. Panuwun dan bapak Juminten bekerja di Pabrik ayah Nardi. Profil Nardi digambarkan sebagai laki-laki yang jatuh cinta pada Juminten karena Juminten kelihatan cantik sekali dengan rambut panjangnya. Ketertarikan Nardi terhadap Juminten diketahui Panuwun, sehingga terjadi konflik antara keduanya, yang berakibat Juminten tidak boleh keluar rumah, kecuali dengan suami dan pada akhirnya Juminten disuruh memotong rambutnya sependek mungkin, dengan tujuan bisa menyelesaikan konflik dan kecemburuan terhadap istrinya.

4.1.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Salah satu konsekuensi logis dari integrasi kultural adalah penerimaan peran-peran gender yang sudah ditentukan secara turun temurun oleh masyarakat. Peran-peran gender tradisional sangat bergantung pada fungsi biologis perempuan yang berpusat pada ruang domestik yang tidak jarang diasosiasikan nonproduktif, jadi, tidak ada ruang publik bagi gender tradisional. Peran-peran modern lebih terinternalisasi pada fungsi perempuan yang terfokus di masyarakat atau publik yang


(22)

tidak jarang pula diasosiasikan produktif tanpa harus meninggalkan fungsi biologis perempuan yang berpusat di ruang domestik

Kate Milles (1972), seorang penulis dari Amerika Serikat dalam bukunya “Sexual Politics” mengungkap perhatiannya yang tertuju pada masalah-masalah pemikiran-pemikiran tentang perempuan, terutama pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai masalah ketertindasan perempuan.

Buku ini merupakan turunan dari disertasi doktornya di bidang sastra. Analisisnya mencakup analisis tekstual dan kontekstual dari teori politik, sosiologi, psikologi, dan sastra yang dijadikan landasan untuk menganalisis kekuasaan patriarkal, dan relasi laki-laki dan perempuan (Gadis Arivia, 2003: 82).

Sebagai perempuan yang memilih integrasi kultural terhadap tradisi, Juminten menerima peran gender tradisional yang sudah tersedia. Pada dasarnya, hidup dan kehidupan Juminten berada di ruang domestik. Sebagai ibu rumah tangga, Juminten harus tunduk kepada kemauan suami, sebagai kepala keluarga. Peran gender yang dilaksanakan oleh Juminten ditentang oleh Marni selaku sahabatnya, yang menganggap sikap Juminten sebagai menyiksa diri. Saran Marni sama sekali tidak digubris oleh Juminten, yang penting dia bisa menyenangkan suami.

Selain peran gender perempuan, cerpen “Rambutnya Juminten”

merepresentasikan juga peran gender laki-laki. Peran gender laki-laki ini adalah peran gender yang telah ada secara kultural. Peran gender laki-laki ini diterima oleh perempuan sebagai seorang kepala rumah tangga. Panuwun (suami) bekerja sebagai buruh pabrik, sekaligus sebagai kepala rumah tangga, ia sangat memegang tradisi


(23)

yang otoriter dan egois dalam menampilkan peran dalam rumah tangganya. Juminten (istri) harus selalu menurut pada keinginannya. Sebaliknya Panuwun tidak pernah peduli pada keinginan dan kemauan istrinya.

Peran gender laki-laki lainnya adalah Nardi, yang tidak banyak digambarkan oleh pengarang, peran Nardi hanya sebagai peran tambahan. Nardi adalah lawan konflik Panuwun karena Nardi (anak majikan Panuwun dan orang tua Juminten) menyenangi Juminten dengan rambut panjangnya, yang menurut Nardi, Juminten seperti Nawang Wulan (putri kahyangan). Karena ketertarikannya itu, Nardi berani menggoda Juminten, bahkan selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol ketika Juminten mencuci di pancuran. Keberaniaan Nardi menggoda Juminten menimbulkan kecemburuan Panuwun, sehingga Panuwun melarang istrinya keluar rumah.

Keberterimaan, kegagalan dan keberhasilan peran gender laki-laki dan perempuaan seperti diuraikan di atas ditentukan oleh relasi gender. Relasi gender berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan sebagai kelompok sosial. Relasi gender ini dijalankan melalui peran masing-masing individu. Pasangan peran dasar dalam berinteraksi tersebut adalah pasangan peran laki-laki dan perempuan, yang tidak hanya berdasarkan pada jenis kelamin, tetapi juga pada perkembangan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat. Relasi gender ini bisa tidak imbang atau tidak adil, dan bisa juga imbang atau adil. Perempuan yang menerima peran gender tradisional pada umumnya tidak mempersoalkan imbang tidaknya atau adil tidaknya relasi gender. Sedangkan perempuan yang menerima peran gender modern sangat mempertanyakan dan memperhitungkan imbang


(24)

tidaknya dan adil tidaknya relasi gender. Ketidakseimbangan atau ketidakadilan relasi gender ini ditandai oleh dominasi laki-laki pada perempuan, pelabelan negatif terhadap perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan keseimbangan atau keadilan relasi gender antara lain ditandai oleh kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan.

Perempuan yang menerima peran gender tradisional seperti Juminten tidak mempertanyakan dan memperhitungkan relasi gender. Dia pasrah dengan keadaannya dan menerima peran gender tradisionalnya sebagai ibu rumah tangga yang bergerak di ruang domestik, yaitu mengurus rumah tangga. Juminten menerima apa pun yang menimpanya termasuk menerima nasib peran kultural seorang ibu rumah tangga yang memang harus dijalaninya

Peran gender tradisional ditolak oleh Marni sebagai perempuan yang sudah berpandangan modern. Marni selalu menasehati Juminten untuk menjadi perempuan yang tidak terlalu menurut kepada suami, apabila tidak sesuai dengan keinginannya, karena hal itu merupakan penyiksaan pada dirinya.

”Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat penyubur rambut ini. Ten, saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami” (hal 79).

Dalam kehidupan sehari-harinya, Juminten sangat penurut dan mengalah pada keinginan suaminya. Sikap mengalah untuk menyenangkan hati suami yang dilakukan Juminten tampak dalam kerelaan Juminten memakai obat penyubur rambut, meskipun dia selalu mual setiap memakai obat itu, dia alergi terhadap obat itu. Sikap ini menunjukkan kepatuhan terhadap peran gender tradisional.


(25)

4.1.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Cerpen “Rambutnya Juminten” sebagai wacana sastra adalah bentuk dari praktik ideologi gender atau pencerminan dari ideologi gender tertentu. Dari analisis yang dilakukan, diketahui bahwa wacana cerpen “Rambutnya Juminten” mencerminkan ideologi gender Ratna Indraswari Ibrahim sebagai seorang feminis. Pengoperasian ideologi gender ini merupakan proses produksi dan reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan melalui representasi posisi dari berbagai faktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”. Posisi-posisi tersebut menentukan bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan, dan bagaimana menentukan struktur teks, bagaimana makna diinterpretasikan dan bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana cerpen itu secara keseluruhan. Analisis ini akan menjelaskan bagaimana posisi-posisi ini ditampilkan secara luas dan akan mengungkap bagaimana ideologi dan kepercayaan dominan beroperasi dalam wacana cerpen tersebut (Fairclough, 1998; Mills, 1997). Berdasarkan analisis data yang dilakukan, pengoperasian ideologi gender dalam wacana cerpen “Rambutnya Juminten” adalah sebagai berikut.

Dalam wacana cerpen “Rambutnya Juminten” perempuan ditampilkan sebagai “objek penceritaan” dan bukan “subjek penceritaan” karena itu sebagai objek representasi, perempuan posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan, dan tidak dapat menampilkan dirinya sendiri, seperti tampak pada cerpen berideologi


(26)

gender yang dikemukakan pengarang “Ratna Indraswari Ibrahim” bagaimana dia mengungkap jenis-jenis ideologi gender dalam cerpen tersebut. Jenis ideologi gender tersebut terdiri atas (1) Ideologi Patriarki; (2) Ideologi Familialisme; (3) Ideologi Ibuisme; dan (4) Ideologi Umum, serta ketidakadilan gender. Di bawah ini akan dikupas jenis ideologi mana yang ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”, termasuk ketidakadilan gender.

4.1.3.1Ideologi Patriarki

Dalam masyarakat kuno yang menganut paham patriarki, sang ayah mempunyai hak mutlak atas anggota keluarganya. Sebagai kepala keluarga ia memiliki bukan saja rumah, tanah, ternak, dan budak, tetapi juga istri, perempuan simpanan, dan anak-anak (the Beauvoir, 2003: 121-123). Dalam masyarakat sekarang juga masih ada hak kepemilikan laki-laki atas perempuan bahkan dalam masyarakat patriarki masih terdapat ideologi yang menganggap bahwa perempuan sesudah menikah menjadi milik suaminya, dan anak perempuan milik ayahnya, istri adalah milik suami. Hal-hal yang berhubungan dengan istri, termasuk pribadi si istri, suamilah yang menentukan. Hal ini terlihat pada pemerian dan dialog antara Panuwun (suami) dengan Juminten (istri).

Sementara itu semua perempuan di desa ini memotong rambutnya semodel Marni, Juminten yang tidak tahan terhadap aroma rambut itu ingin memotong rambutnya semodel Marni (hal. 79).

Tapi apa kata suaminya.

“Saya tidak akan mengizinkan kamu memotong semodel Marni. Sebagai suami saya kan tahu model apa yang pantas untuk istriku. Ten kau dandan untukku!” (hal. 79).


(27)

Dalam hal ini Panuwun, suami Juminten, digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berwatak otoriter dan egois. Panuwun adalah laki-laki-laki-laki yang tidak mau peduli akan keinginan-keinginan istrinya, istri adalah milik suami!

Peristiwa yang dialami Juminten sebagai objek penceritaan dalam cerpen ini adalah menerima dan menurut atas keinginan suaminya untuk memanjangkan rambutnya. Usaha memanjangkan rambut ini tidak sia-sia. Setelah rambutnya panjang, bukan hanya Panuwun yang memuji dirinya cantik, orang-orang di kampungnya pun memujinya.

Suatu kali sewaktu nonton layar tancap di desa bersama suaminya, banyak orang bilang, “Ten, kok rambutnya sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang cantik dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” (hal. 80)

Pujian terhadap Juminten ternyata merupakan awal dari konflik dalam cerpen ini. Konflik diawali oleh ketertarikan Nardi (anak majikan Panuwun dan ayah Juminten) pada Juminten yang rambutnya panjang. Menurutnya, Juminten cantik seperti Nawang Wulan. Karena ketertarikannya, Nardi berani menggoda Juminten, bahkan selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol ketika Juminten sedang mencuci di pancuran. Keberanian Nardi menggoda Juminten menimbulkan kecemburuan Panuwun. Akhirnya, Panuwun melarang istrinya keluar rumah.

“Ten ada yang bilang setiap kamu mencuci di pancuran, Nardi pasti mengajakmu ngomong, iya kan? Jadi, mulai sekarang kamu tidak perlu mencuci di pancuran. Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan keluyuran!”

Juminten sempat membantah suaminya, “Kang, saya bosen kalau di rumah terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.”

“Pokoknya saya tidak suka kamu keluar” (hal.81).

Tindakan Panuwun ini menunjukkan bahwa Juminten itu adalah kekuasaannya. Juminten menurut walaupun dirinya sangat tertekan. Terlihat di sini


(28)

bagaimana kokohnya pendirian Panuwun dengan budaya patriarkinya. Kata-kata pokoknya sangat menentukan bagi Panuwun dalam hal melarang istrinya supaya menurut. Di satu pihak Juminten tidak setuju akan tindakan Panuwun, di lain pihak dia takut pada Panuwun. Ketidaksetujuan Juminten terhadap tindakan Panuwun tampak pada sikap Juminten ketika Marni memprotes tindakan Juminten sebagai sikap yang keterlaluan karena mengorbankan diri sendiri. Juminten bergeming terhadap ucapan Marni. Ketidaksetujuan ini bercampur dengan ketakutan dalam diri Juminten sehingga menimbulkan konflik internal yang tampak ketika Marni mengajak latihan kasti. Tanggapan Juminten sebagai berikut.

“Marni, saya ingin juga ikut latihan, tapi kalau saya latihan , khawatir Nardi ikut menonton. Saya takut kalau Kang Panuwun cemburu, dan membunuh Nardi.”

“Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa lagi menasehatimu. Mestinya kan tidak terus menerus mengalah, tapi memberi pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku minta cerai. Kita bukan burung dalam sangkar.”

Juminten merasa omongan Marni itu benar. Tapi Marni sama sekali tidak mengerti. Dia tak ingin suaminya masuk penjara. (hal.82)

Dalam menyelesaikan konflik dalam dirinya, Juminten mengambil keputusan untuk tetap menuruti kehendak suaminya. Juminten menyuruh Marni untuk mencari penggantinya dalam latihan kasti.

“Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi, tolong carikan penggantiku saja.”

“Bodoh kamu, kata Marni teriak. (hal.82)

Pada hakekatnya manusia itu ingin bebas, begitu pula dengan Juminten, sebagai manusia pada umumnya dan sebagai perempuan pada khususnya ia pun


(29)

menginginkan kebebasan. Namun kehendakbebasan ini sering terhalang oleh norma-norma dan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat yang melingkarinya, yang telah ditentukan sejak awal. Jadi, ideologi patriarki menekankan dominasi laki-laki cenderung menjadikan perempuan inferior. Hal ini tampak dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga. Perempuan selalu “tersubordinasi.”

4.1.3.2 Ideologi Familialisme (Kekeluargaan)

Ideologi Familialisme adalah ideologi yang mengonstruksi perempuan untuk berperan di dalam rumah tangga sebagai ibu rumah tangga yang baik dan ibu yang baik. Sebagai istri yang baik perempuan harus dapat mendampingi suami untuk mencapai cita-cita kehidupannya. Ia harus pandai menjaga diri, baik dalam bersikap dan bertingkah laku, budaya familialisme ini sudah ditanamkan sejak dini pada perempuan.

Sebagai seorang perempuan dan sebagai istri, Juminten selalu berusaha untuk menyenangkan suami, karena itu dia selalu menurut apa kata suami, dan walaupun dia tidak setuju akan kehendak suami ia tetap mengalah demi menyenangkan suami. Juminten tokoh utama dalam cerpen ini adalah perempuan yang mewakili sosok kehidupan masyarakat yang berlaku umum, yaitu berwatak penurut, mengalah, dan pasif. Juminten adalah wakil dari stereotip perempuan dalam masyarakat yang dikehendaki masyarakat patriarkis. Dalam budaya Sunda ada pepatah “awewe mah dulang tinande” artinya “perempuan itu harus pasrah dan menerima’’, apa lagi jika hal itu sudah berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan laki-laki. Sikap mengalah untuk menyenangkan suami yang


(30)

dilakukan Juminten, tampak pada kerelaannya memakai obat penyubur rambut, walaupun dia selalu mual setiap kali memakai obat itu, bahkan dia alergi terhadap obat itu. Karena Panuwun menyukai aroma obat itu bila sudah melekat pada rambut Juminten, maka Juminten selalu tidak lupa meminyaki rambutnya dengan obat itu, terutama menjelang kepulangan Panuwun dari tempat kerjanya.

Sore ini waktunya Panuwun pulang ke rumah. Sejak tadi, dia sudah memasak masakan kesukaan Panuwun. Dan meminyaki rambutnya. (hal. 79).

Meminyaki rambut dengan obat penyubur rambut bagi Juminten sama artinya dengan memasak makanan kesukaan suaminya. Apa pun yang disukai suaminya, pasti akan dipenuhi dan dilakukan. Bahkan... kalau saja dia tahan dengan bau obat rambut itu... mungkin seumur-umur hidupnya, dia akan memakai obat rambut itu. (hal 80).

Pandangan gender terlihat pula pada kepatuhan Juminten untuk tidak keluar rumah karena dilarang suaminya. Istri yang baik harus mendukung suami dalam segala hal. Konsep normatif ini merupakan salah satu bentuk ideologi familialisme. Ideologi familialisme yang digambarkan dalam cerpen ”Rambutnya Juminten” mengonstruksi perempuan berperan di dalam rumah tangga, menurut, mengalah, dan selalu harus bisa menyenangkan suami.

Juminten sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia istri yang bahagia? Sebab setiap dua minggu sekali Panuwun yang bekerja sebagai buruh pabrik di kota, kalau pulang ke rumah tak lupa membawa oleh-oleh kesukaannya. Dan kali ini Panuwun membawa obat penyubur rambut, yang aromanya kalau sudah melekat di rambutnya disukai Panuwun.


(31)

“Ni, setiap pakai obat penyubur rambut ini, saya kok mual dan pusing,” kata Juminten.

“Itu berarti kamu alergi. Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat penyubur rambut. Ten, saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami.” (hal 79).

Konflik internal dalam diri Juminten tentang kebahagiaan rumah tangganya dengan Panuwun selalu menimbulkan pertanyaan pada dirinya sendiri. Panuwun baik dan perhatian terlihat dari pemerian yang menyatakan bahwa Panuwun selalu membawa oleh-oleh kue kesenangannya. Suatu saat, Panuwun membawa oleh-oleh obat penyubur rambut. Juminten sebetulnya alergi terhadap obat rambut itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Panuwun menyukai aroma obat itu. Intinya dia ingin selalu menyenangkan suami, walaupun dia menyiksa dirinya sendiri. Saran Marni supaya tidak menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami tidak membuat Juminten berubah sikap, padahal menurut Marni sikap Juminten yang selalu ingin menyenangkan Panuwun adalah sikap yang keterlaluan, karena sudah menyiksa diri, sikap inilah yang membuat Juminten termarginalisasi.

4.1.3.3 Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme adalah ideologi yang merupakan kombinasi nilai borjuis Belanda dan nilai priyayi di Indonesia yang menyetujui tindakan apa pun yang diambil seorang perempuan dalam keluarga, kelompok, kelas sosial, atau pemisahan tanpa mengharapkan kekuasaan atau prestise sebagai imbalan. Onghokham (1991) mengemukakan bahwa nilai kecil borjuis Belanda ini merupakan adopsi dari moral Victorian yang diciptakan untuk mengontrol kualitis bangsawan Inggris pada masa pemerintahan Ratu Victoria. Moral ini mementingkan pertahanan diri dari nafsu


(32)

seksual dan larangan terhadap Ratu dengan seorang suami dan anak-anak dinilai sebagai model keluarga ideal. Nilai ini berkembang sampai ke seluruh Eropa abad ke-19 yang kemudian dibawa ke negara-negara jajahan di antaranya sampai ke Indonesia. Di Indonesia moral ini bertemu dengan moral priyayi yang dipertahankan untuk mengatur kehidupan perempuan. Lebih lanjut Mies (1986) dan Jayadiningrat (1987) menyatakan bahwa selama Orde Baru ideologi ibuisme negara dominan sekali di Indonesia. Ideologi ibuisme ini mudah menjadi bagian dari realitas budaya masyarakat sekaligus juga sebagai budaya sesuai negara. Konsep “kodrat” digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mengonstruksi ideologi “ibuisme”. Sementara konsep perempuan sebagai istri dan ibu dimanipulasi untuk membatasi ruang gerak perempuan

Dari pemerian cerita tergambar tokoh Juminten aktivitas sehari-harinya adalah memasak, mencuci, dan mengurus urusan pekerjaan domestik sebagai ibu rumah tangga. Selain pemerian tersebut, dari percakapan dialog-monolog tergambar aktivitas Juminten lainnya, yaitu ikut kegiatan PKK di desanya, sebagai anggota tim kasti. Kegiatan satu-satunya bagi Juminten di sektor publik ini, adalah bias gender, karena pada umumnya, seperti yang diamati dalam kehidupan masyarakat, kegiatan PKK cenderung melanggengkan sistem nilai patriarkis yang termanifestasi dalam Panca Dharma Wanita (5 dasar hak dan kewajiban wanita). Rumusan Panca Dharma Wanita ini mengadopsi nilai tradisi agama dan nilai kecil borjuis Belanda yang membatasi peran dan tugas perempuan, yaitu (1) mendampingi suami; (2) melahirkan, merawat, dan membesarkan anak; (3) mengatur ekonomi rumah tangga;


(33)

(4) pencari nafkah tambahan; dan (5) sebagai anggota masyarakat, terutama sebagai anggota organisasi perempuan yang bergerak dalam badan-badan sosial. Dengan demikian, peran dan posisi perempuan yang hanya bergerak di sekitar domestik tersubordinasi di bawah bayang-bayang kekuasaan suami atau laki-laki. Masalah perempuan dianggap masalah yang khas, karena itu yang laki-laki tak perlu bertanggung jawab. Padahal sumber penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan bersumber dari budaya patriarkis.

Sebagai istri yang baik, perempuan harus mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik pula. Istrilah “ibu rumah tangga” bahkan “ratu rumah tangga” yang melekat pada istri, yang lebih berkonotasi pengabdian dan pelayanan. Seperti apa yang dikatakan Panuwun pada Juminten tentang perilaku dandan dan bersolek. Berkali-kali Penuwun mengucapkan,

“Kamu bersolek untuk suami, iya kan?” (hal. 78) “Ten, saya kira kau bersolek untuk suami!” (hal. 84)

Sikap Panuwun di atas merepresentasikan pandangan gender yang memposisikan laki-laki yang berkuasa atas istri. Adapun keputusan yang diambil Juminten tampak sangat dipengaruhi oleh perbedaan gender (stereotip) dan peran gender yang diembannya seperti yang berlaku di masyarakat. Akibat stereotipnya yang penurut, mengalah, pasrah, dan akibat dari perannya yang “ibu rumah tangga” dan “pelayan suami,” yang posisinya “subordinat” dan tidak punya kekuatan, Juminten tidak berdaya di depan suaminya, yang dikuatkan posisinya oleh kehendak


(34)

dan nilai-nilai masyarakat. Jadi, jelas cerpen “Rambutnya Juminten,” merepresentasikan ideologi gender. Juminten terdiskriminasi.

4.1.3.4 Ideologi Umum

Ideologi umum adalah ideologi yang menekankan nilai pingitan (seclusion) perempuan, pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu (exclusion), dan pengutamaan feminitas perempuan. Dikotomi laki-laki dan perempuan yang hierarkis menyebabkan pembagian kerja secara seksual, yaitu menempatkan laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik. Pembagian kerja ini sudah disosialisasikan dan diinternalisasikan dari generasi ke generasi. Hal ini memperkuat kenyataan bahwa tempat yang ideal bagi perempuan adalah di sektor domestik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menunjukkan betapa berkuasanya Panuwun untuk melarang Juminten tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami dan tanpa didampingi suami.

“... Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan kluyuran!”

“Kang, saya bosen kalau di rumah terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.”

“Pokoknya saya tidak suka kamu keluar!” (hal. 81)

Tindakan Panuwun mengucilkan istrinya ini didengar oleh masyarakat desanya secara luas, yang memunculkan dua kubu pendapat di desanya, dalam arti ada yang pro dan ada yang kontra, yang pro menilai “tindakan Panuwun benar, karena suami berhak menyuruh istrinya diam di rumah” sedangkan yang kontra menganggap tindakan Panuwun sebagai tindakan yang kejam.


(35)

“Panuwun itu suami yang kejam. Bayangkan di zaman modern seperti ini, di mana kaum perempuan perlu banyak keluar untuk belajar di PKK, di pengajian, dan ikut olah raga, bisa-bisanya dia mengurung Juminten.” (hal. 81)

Dalam cerpen ini diceritakan mengenai hal-hal tidak enak yang dirasakan Juminten dalam memenuhi keinginan suami. Hal-hal tidak enak tersebut ditahan Juminten sebenarnya semata-mata demi memenuhi norma masyarakat. Norma masyarakat yang dimaksud adalah norma bahwa istri harus mematuhi suami dan norma bahwa istri adalah pelayan suami. Contoh lain, dalam masalah latihan kasti, Juminten mengambil keputusan dengan menyuruh Marni mencari pengganti lain.

“Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi, tolong carikan pengganti saja.” (hal. 82)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menekankan pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu, yaitu dengan konsep pembagian kerja secara seksual, yaitu ruang publik merupakan dunia laki-laki, dan ruang domestik merupakan dunia perempuan. Juminten “terepresi” yang diakibatkan ketidakadilan gender.

4.2 Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”

Judul : “Mbok Nah 60 Tahun”

Pengarang : Lea Pamungkas

Antologi : “Laki-laki yang Kawin dengan Peri”


(36)

Ikhtisar

Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Mbok Nah yang berumur 60 tahun. Ia mempunyai suami bernama Marno yang berumur lebih muda 20 tahun. Pekerjaan sehari-hari Mbok Nah berjualan jamu. Mbok Nah mempunyai langganan yang banyak. Salah seorang langganannya adalah Meri. Meri adalah seorang waria, nama sebenarnya Rukman. Meri tinggal di depan rumah Mbok Nah. Dia indekos di rumah itu, pekerjaannya pagi-pagi mengamen dan malam hari bekerja sebagai penjaja seks di sebuah taman kota. Mbok Nah dan Meri cukup akrab, karena kalau Mbok Nah menjual jamu pada Meri, sering tertahan di kamar Meri, karena Meri sering bercerita tentang pengalaman-pengalamannya.

Akhir-akhir ini Mbok Nah menghadapi masalah dari kelakuan suaminya. Marno sering berangkat menarik becak lebih siang, padahal sudah berdandan sejak pagi. Setiap Mbok Nah selesai mengantar jamu pada langganannya dan hendak mengantar jamu ke kamar Meri, Mbok Nah selalu melihat suaminya itu tersenyum malu-malu ketika Meri keluar dari kamarnya.

Pada suatu malam Mbok Nah dan suaminya kaget mendengar ketukan pintu, ternyata Meri. Ia muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah dan Marno untuk merawatnya. Ternyata sakit Meri tidak seringan yang diduga Mbok Nah dan Marno, sehingga akhirnya Meri tinggal di rumah Mbok Nah.

Setelah sembuh Meri tetap tinggal di rumah Mbok Nah. Ia banyak membantu Mbok Nah, segala keperluan Mbok Nah dibereskan, termasuk jamu-jamu yang akan dijajakan. Mbok Nah dengan tulus membiarkan Meri tinggal di rumahnya, ia merasa


(37)

begitu saja menemukan anak yang tak pernah singgah di rahimnya. Mbok Nah tak bereaksi pada omongan-omongan tetangganya tentang Meri dan Marno, malahan ada yang terus terang bahwa Meri adalah gendakannya Marno.

Pada suatu hari, ketika Mbok Nah pulang menjaja jamu, terdengar dari kamar belakang suara Meri dan Marno yang mengingatkannya pada malam-malam kebersamaannya dengan Marno. Walaupun marah, Mbok Nah bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Besok malamnya Meri meminta maaf, tapi Mbok Nah tak menanggapinya dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Esoknya lagi ketika Mbok Nah bangun, dia melihat Marno meringkuk di bawah ketiak Meri yang sedang tidur pulas di kamar belakang. Mbok Nah berkata, “Bocah-bocah turu kabeh.”

4.2.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini adalah Mbok Nah sebagai tokoh utama. Marno (suami Mbok Nah) merupakan tokoh tambahan. Meri, Jeng Sri, Zus Marni, Mbakyu Surti, Mbakyu Menuk, dan Nak Wasti adalah para tetangga dan pelanggan jamu Mbok Nah. Dari pemerian wacana cerpen diketahui bahwa Mbok Nah yang berumur 60 tahun ini adalah orang yang berwatak tulus, lembut, telaten, sabar, luwes, dan selalu berprasangka baik terhadap orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifat-sifat perempuan ideal yang dikehendaki budaya patriarkis. Sifat-sifat ini merupakan representasi stereotip gender, yang menurut Sebatu (1994: 24) merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan demikian, watak tokoh utama (Mbok Nah) merepresentasikan ideologi gender.


(38)

Profil Marno (suami Mbok Nah) tidak digambarkan secara menyeluruh, kecuali Marno itu seorang yang mempunyai sifat kekanak-kanakan, sifat ini mengasosiasikan pada sifat-sifat manja, lemah, dan bergantung pada orang lain. Sifat ini bertolak belakang dengan stereotip gender. Dengan demikian sifat Marno tidak merepresentasikan ideologi gender.

Profil Meri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang waria. Meri berkarakter genit, manja, cerewet, gesit, kuat, terampil, dan rajin. Sifat-sifat Meri tersebut merupakan perpaduan dari sifat maskulin dan feminin. Ia hadir sebagai sosok androgini. Istilah ini digunakan oleh ahli psikoanalisis Carl Gustave Jung (Sebatu, 1994: 13) yang menyatakan bahwa androgini ada dalam diri manusia menyatu antara unsur feminin dan maskulin.

Jung telah membuktikan secara ilmiah tentang sifat androgenitas manusia tersebut baik secara biologis maupun secara psikologis. Di samping itu mitos dan perdukunan juga meyakini sifat androgenitas, misalnya dalam budaya Cina diyakini bahwa manusia terdiri dari unsur yin (maskulin) dan yang (feminin). Dalam sejarah Indonesia zaman lampau pun dikenal simbol lingga (jantan) dan yoni (feminin), simbol dari dua unsur ini menyatu dalam diri manusia (Sebatu, 1994:18).

Profil Meri dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ditampilkan pengarang untuk menyatakan bahwa manusia mempunyai sifat androgini. Kenormalan sifat androgenitas Meri harus dikaji, karena sifat androgenitas ini memiliki batas-batas kenormalan. Menurut Sebatu (1994: 116), perempuan pada dasarnya memiliki sifat maskulin dalam taraf rendah. Orang yang androgen memiliki keseimbangan yang


(39)

tinggi dari kedua ciri feminin dan maskulin itu. Adapun tokoh Meri yang waria (nama sebenarnya Rukman) kadar kefemininannya terlalu tinggi, sehingga masyarakat menganggapnya tidak normal.

Sebatu (1994: 116) menyatakan bahwa jika setiap orang menyadari adanya kedua unsur tersebut, yaitu maskulin dan feminin dalam dirinya, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang seimbang. Sayangnya ideologi gender telah membatasi adanya perempuan dan laki-laki dengan salah satu unsur saja yaitu feminin dan maskulin.

Dilihat dari sudut ideologi gender, sifat profil Meri tidak merepresentasikan ideologi gender (dalam hal ini stereotip gender), karena dia adalah laki-laki yang tidak memenuhi kriteria laki-laki yang dituntut masyarakat dengan pandangan gender.

Adapun profil lain yang digambarkan pengarang dengan tokoh tambahan adalah Jeng Sri, Mbakyu Surti, Zus Marni, Nak Wasti dan Mbakyu Menuk (tetangga dan pelanggan jamu Mbok Nah).

4.2.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Dari pemerian cerpen ini tergambar bahwa peran tokoh utama Mbok Nah adalah peran ganda. Jadi, selain mengurus rumah tangga dia juga bekerja di ruang publik, yaitu berjualan jamu. Sebagai perempuan yang memilih integritas kultural terhadap tradisi, Mbok Nah menerima peran ganda ini dengan tulus. Dia menerima kondisi ini sebagai tugas seorang perempuan berperan ganda, dia tetap bertugas melayani suami dengan baik, apalagi mengingat perbedaan umur yang jauh berbeda,


(40)

yaitu Mbok Nah 60 tahun dan suaminya Marno berumur 20 tahun di bawah Mbok Nah.

Pekerjaan Marno adalah menarik becak, perwatakannya tidak banyak digambarkan oleh pengarang, kecuali penggambaran bahwa dia kekanak-kanakan. Perwatakan ini muncul bisa saja karena dia mempunyai istri yang lebih tua, jadi, dia manja, lemah, dan ketergantungan kepada orang lain, yaitu kepada Mbok Nah. Dari pemerian cerita dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini, terlihat bahwa peran Marno tidak menunjukkan peran gender. Pengarang tidak menggambarkan bagaimana relasi peran suami-istri antara Marno dan Mbok Nah. Semua penekanan cerita pada tokoh utama, yaitu Mbok Nah, yang menyadari tentang kondisi ketuaannya sebagai perempuan. Dalam tradisi Jawa perempuan harus bisa mengurus diri, cantik, untuk tetap menarik dalam relasi dengan lawan jenisnya. Walaupun pengarang tidak menyebut lokasi penceritaan, tetapi dari penggunaan bahasa yang sederhana, struktur kalimat yang tidak kompleks, kosakata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari yang bermakna denotatif, termasuk di dalamnya memasukkan kata-kata Jawa, seperti kata pokoke, sampean, turu, tentrem tur besuki, dan lain-lain, menunjukkan bahwa latar tempat adalah daerah Jawa.

Peran lain yang diceritakan dalam cerpen ini adalah peran Meri (nama asli Rukman), yaitu seorang waria. Pekerjaan Meri, kalau siang hari mengamen, dan kalau malam hari menjadi penjaja seks di taman kota. Dia adalah pelanggan baru Mbok Nah. Anehnya ia selalu memesan jamu-jamu khusus perempuan, yaitu sari rapet dan galian singset, tetapi dia juga memesan jamu kuat majun. Mbok Nah tidak


(41)

mempermasalahkan mengapa Meri memesan jamu seperti itu dan Mbok Nah juga tidak pernah memasalahkan apakah Meri itu perempuan atau laki-laki. Mbok Nah tidak mempedulikan gunjingan-gunjingan tetangga tentang Meri, dan Mbok Nah tidak menaruh curiga, ketika setiap hari mengetuk pintu kamar Meri (Meri kos di depan rumah Mbok Nah) untuk mengantar jamu, suaminya yang masih duduk-duduk di amben depan rumah dan belum berangkat menarik becak, selalu tersenyum malu-malu. Dalam dua minggu ini Mbok Nah bingung memikirkan tingkah laku suaminya yang selalu menarik becak lebih siang, padahal dia sudah dandan dari sejak pagi. Mbok Nah selalu menegur suaminya itu dengan lembut, namun suaminya selalu mengulur waktu. Sikap Mbok Nah yang sabar, lembut, telaten, dan pasrah pada suaminya menunjukkan bahwa Mbok Nah adalah figur perempuan Jawa dengan budaya tradisionalnya. Di samping itu dia menyadari dirinya sebagai seorang perempuan tua yang tidak menarik lagi, keriput dan legam.

Belakangan ini Mbok Nah memergoki perselingkuhan suaminya dengan Meri secara terang-terangan. Mbok Nah terluka, namun perasaan itu tidak diungkapkannya dan tidak ditunjukkannya. Ia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa dan tak mau membicarakan persoalan atau kemarahan terbuka. Dari latar belakang cerpen yang berkultur Jawa bisa diketahui bahwa sikap Mbok Nah di atas dipengaruhi oleh latar belakang sosial budayanya sebagai seorang Jawa. Dalam kultur Jawa ada stereotip yang menabukan perempuan mengemukakan perasaan secara terang-terangan. Selain itu di depan suami, perempuan dituntut selalu bersikap manis, tak peduli sedih atau gembira yang tengah dirasakannya. Hal ini dilakukan demi menjaga perasaan suami.


(42)

Dalam menyikapi perselingkuhan suaminya, Mbok Nah tidak menyalahkan suaminya yang jelas-jelas bersalah, malah ia mencari kesalahan pada dirinya. Ia berkesimpulan bahwa ketuaan dirinyalah yang menyebabkan perselingkuhan semuanya. Sementara perempuan dituntut untuk selalu menyenangkan suami dengan selalu tampil cantik. Tuntutan tersebut lahir dari bentukan sosial budaya. Dalam hal ini Mbok Nah tak memiliki jalan lain kecuali menerima perselingkuhan itu, agar ia tak berkonflik dengan perasaannya dan dapat memaafkan perselingkuhan tersebut. Sikap nrimo dijadikan jalan untuk menyelesaikan masalah. Sikap nrimo juga dipengaruhi oleh kultur Jawa. Kultur Jawa memosisikan perempuan serba nrimo, tabah, sabar, dan mau menderita, yang luluh dalam hukum-hukum sosial yang berlaku di masyarakat, yang pada dasarnya tidak adil terhadap perempuan.

4.2.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini akan dibahas mengenai posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa. Posisi-posisi ini menentukan bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi inilah yang menentukan siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan, dan bagaimana menentukan struktur teks, bagaimana makna diinterpretasikan, dan bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana cerpen secara keseluruhan. Berdasarkan analisis (Fairclough dan Mills) akan dijelaskan bagaimana posisi-posisi itu ditampilkan secara luas dan akan menyingkapi bagaimana ideologi dan kepercayaan dominan beroperasi dalam kajian cerpen


(43)

tersebut. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, ideologi gender dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” digambarkan sebagai tokoh utama.

Dalam kajian cerpen ini “Mbok Nah” ditampilkan sebagai objek penceritaan. Mbok Nah sebagai perempuan posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan dan tidak bisa menampilkan bahan penceritaan dan tidak bisa menampilkan dirinya sendiri. Hal ini tampak pada ideologi gender yang dikemukakan pengarang Lea Pamungkas yang feminis, bagaimana dia mengungkap jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender dalam cerpen ini.

4.2.3.1 Ideologi Patriarki

Mbok Nah adalah figur seorang perempuan yang diketahui berwatak tulus, lembut, sabar, telaten, tak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain, dan tak suka menilai orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat seperti ini adalah sifat-sifat perempuan ideal, sesuai dengan yang dikehendaki oleh masyarakat patriarkis. Sifat-sifat tersebut merupakan representasi dan stereotip perempuan. Stereotip tersebut merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan demikian, tokoh Mbok Nah ini merepresenasikan ideologi gender sebagai objek penceritaan.

Tokoh subjek Marno dalam cerpen ini tidak digambarkan secara jelas. Marno suami Mbok Nah yang lebih muda 20 tahun dari Mbok Nah tidak digambarkan secara utuh. Gambaran yang dikemukakan pengarang sebatas figur suami yang seenaknya dewek, dalam arti sama sekali tidak menaruh perhatian pada istrinya. Sikap kekanak-kanakan Marno mungkin saja disebabkan karena dia mempunyai istri lebih tua. Karena itu, Mbok Nah tidak berani menegur atau mengemukakan perasaannya


(44)

kepada suaminya. Dari pemerian cerita dalam cerpen ini bisa diinterpretasi bahwa tidak ada komunikasi yang baik antara Mbok Nah dan suaminya. Ketidakpedulian Marno kepada istrinya (walaupun tidak diungkap oleh pengarang) menunjukkan bahwa Marni berkuasa atas Mbok Nah. Lebih jelasnya Marno berposisi superior dan Mbok Nah berposisi inferior, padahal sifat Marno itu tidak mempresentasikan ideologi gender, jadi dia berkuasa secara psikis atas Mbok Nah, bukan secara biologis. Dalam dua minggu ini Mbok Nah lagi bingung melihat gelagat Mas Marno suaminya.

Yang bikin bingung, ya ini, Mas Marno, Si Kuku Bimanya. Hati Mbok Nah kebat kebit. Mas Marno tersayang kini sering berangkat menarik becak lebih siang. Padahal pagi-pagi dia sudah dandan. Rambutnya sudah lengket berkilat oleh pomade, celana pendek jins juga sudah dipakainya. Becak pun sudah di pinggir jalan. Tapi Marno Cuma duduk-duduk di amben depan rumah. Wajahnya jernih kekanakan menatap ke depan.

“Lho ndak berangkat toh Mas... nanti ndak bisa ngantar anak-anak yang mau sekolah.” lembut Mbok Nah menyapa. Kopi dan goreng pisang yang disuguhkannya sudah ludas. “Nanti sebentar lagi Nah.” Dan itu Jawaban Marno setiap kali, bahkan walau tak ditanya Mbok Nah. Ya sudah, Mbok Nah tak bisa menunggu sampai Marno pergi. (hal 96-97).

Kebingungan Mbok Nah akibat sikap suaminya ini memunculkan konflik dalam cerpen ini.

Mbok Nah tak menaruh curiga, ketika setiap kali ia mengetuk pintu kamar Meri (waria yang kos di depan rumahnya) dan Meri keluar dari kamarnya, Marno, suaminya selalu tersenyum malu-malu. “Halo Mbok Nah, dagg Mas Marno.” Begitu setiap pagi dan Mbok Nah tak tahu apa yang terjadi kemudian. Yang pasti pendapatan Marno dua minggu terakhir ini surut banyak. Mbok Nah harus ngutang sana-sini untuk makan atau bahan pembuat jamu. (hal. 98).

Dari pemerian dan dialog pendek antara Mbok Nah dan Marno tergambar bahwa Marno mempunyai niat jelek buat Mbok Nah. Dia kelihatan bahagia apabila


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I . (Ed). 1997. Sangkan Peran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Kependudukan.

Aisyah, Nenden Lilis. 2003. “Pemilihan Bahan dan Perancangan Model Apresiasi Sastra sebagai Wahana Penyadaran Gender.” Tesis tidak dipublikasikan pada SPs UPI, Bandung.

Aisyah, Nenden Lilis. 2000. Ruang Belakang dalam Dua Tengkorak Kepala Antologi Cerpen Kompas 2000 hal 105-114. Jakarta: Kompas.

Alisjahbana, St. Takdir. 1999. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.

Alwasilah, Chaedar. 2004. “Sosiolinguistik Sastra: Telaah Wacana Kritis Atas Senja Di Nusantara.” Jurnal UvUla: Jurnal Sastra, November 2004 vol 2 no 2, hal. 137-146.

Aminuddin. 2000. “Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan Pemahaman Perubahan Ideologi. Dalam Soediro Satoto dan Zainudin Fananie. (Eds). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan” (hal. 45-55). Surakarta: Muhamadyah University Press.

Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Aryono, Suyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta: Akademika Pressindo.

Baidhawy, Zakyuddin. (Ed). 1997. Wacana Teologi Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bertens, K. 1987. Fenomologi Eksistensial, Seri Filsafat Atma Jaya 8. Jakarta: PT Gramedia. Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Seri Filsafat Atma Jaya I. Jakarta:

PT Gramedia.

Bhasin, K. 1996. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum

Perempuan. Yogyakarta: Bentang dan Kalyanamitra.

Black, James. A dan Champion, D.J. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Bogdan, R.C., and Biklen, S. 1982. Qualitative Research for Educations: An Introduction to

Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Brown, G. dan Yule, G. 1996. Analisis Wacana; Alih Bahasa Sutikno. Jakarta: Gramedia. Budianta, Melani. 1998. “Sastra dan Ideologi Gender.” Horison Th. XXXII, No. 4, Hal. 6-13. Budiman, K. 1994. Wacana Sastra dan Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(2)

Butt, D., et all. Using Functional Grammar an Explorer’s Guide. Sydney: Macquary University. Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism. London

and Henley: Routledge and Kegan Paul (Seri Pustaka Kuntara,4621) Dahlan, M.D. (ed). 1984. Model-model Mengajar. Bandung: Dipenogoro.

Dallyono, Ruswan.2003. The Contribution of News Websites to Democratization in Indonesia: A Hypertext-based Critical Discourse Analysis of Democratic Awareness. Thesis. Bandung: Unpad.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Damono, Sapardi Djoko.1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus. Darma, Yoce A. 2002. “Peluang Wanita Berperan Ganda dalam Keluarga sebagai Upaya

Mendukung Kemitrasejajaran Pria dan Wanita di Kabupaten Bandung.” P3W, Lembaga Penelitian UPI.

Darma, Yoce A. 2003. “Persepsi Aparat Pemerintah Kota Bandung terhadap Gender, Kesetaraan Gender, dan Pengarusutamaan Gender.” Bandung: Lembaga Penelitian UPI.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997. Jakarta: Balai Pustaka.

Dewanto, Nirwan. 1993. Cerpen-Cerpen Terbaik Kompas 1992. Jakarta: Gramedia. Dijk, Teun A. van. 1987. Discourse Analysis in Society. London: Academic Press Inc.

Dilworth, James B. 1992. Operation Management: Design, Planning and Control for

Manufacturing and Sevices. NJ: McGraw-Hill, Inc.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Echols and Shadily. 1987. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Eppen, G.D., F.J. Gould, dan C.P. Schmidt. 1993. Introductory of Management Science (4th Ed.).

Prentice-Hall, Inc.

Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS, Pelangi Pelajar.

Fairclough, H. 1989. Language and Power. London: Longman.

Fairclough, H. 2003. Analyzing Discourse; Textual Analysis for Social Research. New York and London: Routledge.


(3)

Fairclough dan Wodak. 1997. “Critical Discourse Analysis” Dalam Teun A. van Dijk (ed),

Discourse as Social Interaction: Discourse Studies a Multidisciplinary Introduction, Vol

2. London: Sage Publication.

Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Faruk, H.T. 1997. “Selayang Pandang Reproduksi Gender di Indonesia” dalam Humaniora Nomor VI (Oktober-November). Yogyakarta.

Foucault. 1997. Seks dan Kekuasaan. Terjemahan oleh Rahayu S Hidayat. Jakarta: Gramedia. Fraenkel, J.R. and Wallen, N.E. 1993. How to Design and Evaluate Research in Education. New

York: Mc Graw-Hil Inc.

Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotics. The Social Interpretation f Language and

Meaning. London: Edward Arnold.

Halliday, M.A.K. 1985. An Introduction to Functional Grammar. London: Edwards Arnold Publishers Ltd.

Halliday, M.A.K. dan Hasan, R. 1985. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam

Pandangan Semiotik Sosial: Terjemahan Barori T dari Language, Context, and Text.

Aspect of Language in Social Semiotic Perspective. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Hamidy, Zainudin, & Fachrudin, Hs. 1959. Tafsir Al-quran. Jakarta: Widjaya.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Umm Press.

Hayat, Edi dan Surur, Miftahus. (ed). Perempuan Multikultural Negosiasi Dan Representasi. Jakarta: Desantara Utama.

Hellwig, T. 1987. “Rape in Two Indonesian Cerpens: An Analysis of the Female Images.” Dalam Elsbeth Locher-Scholten dan Anke Niekof (Eds.). Indonesian Women in Focus (hal. 240-254). Dordrecht: Foris Publications.

Heroepoetri, Arimbi dan Valentina R. 2004. Percakapan Tentang Feminisme vs Neoliberalisme. Jakarta: Institut Perempuan.

Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme. (Terjemahan Mundi Rahayu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Ibrahim, Ratna Indraswari. 1994. Rambutnya Juminten dalam Lampor Antologi Cerpen Kompas 1994 hal. 78-84. Jakarta: Kompas.

Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(4)

Inderawati, Rita. 2005. Model Respon Nonverbal dan Verbal dalam Pembelajaran Sastra untuk mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa. Studi Kuasi-Eksperimen di SD Negeri ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/2004. Disertasi tidak dipublikasikan pada PPs UPI, Bandung.

Iskandarwassid. 2002. Efektivitas Model Mengajar Membaca Interpretatif dalam Meningkatkan Hasil Belajar Apresiasi Sastra Mahasiswa. Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

James, J. and Warling, S. 1999. Language and Politics: Language, Society, and Power: An

Introduction. London: Routledge.

Joice, Marsha and Shower. 1992. Models of Teaching 4th Edition. Massachusetts: Allyn and

Bacon.

Jones, J. et all. 1989. “Systematical-Functional Linguistics and its Application to the TESOL Curriculum”; dalam Hasan, R dan Martin, J.R. (Ed), Language Development: Learning

Language, Learning Culture: Meaning and Choice in Language, Studies for Michael Halliday (Hlm. 257-328). Norwood: Ablex Publishing Corporation.

Jumadi. 2005. Representasi Power dalam Wacana Kelas (Kajian Etnografi Komunikasi di SMA 1 Malang). Disertasi Doktor pada PPS Universitas Negeri Malang: tidak diterbitkan. Lukmana, I. 2003. “Critical Discourse Analysis: Rekonstruksi Kritis terhadap Makna.”

Bandung: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra dan Pengajarannya, FPBS UPI. Maleong, L. J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mananzan, M. J. 1996. “Sosialisasi Penindasan Wanita.” Basis, Tahun ke-45, No.07-08.

Mosse, J.C. 1996. Gender dan Pembangunan. Terjemahan Silawati dan Rifka Annisa. Women Crisis Centre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Meneg UPW. 1992. Pengantar Teknik Analisis Gender. Jakarta: Kantor Meneg UPW. Mills, S. 1997. Language and Gender: Interdisciplinary Perspectives. Longman.

Mills, S. Download in July 20, 2001. “Discourse.” Available on http://www.shu.ac.uk/sch/staff/mills/fcmhtml.

Mulyana, Yoyo. 2000. “Keefektifan Model Mengajar Resepsi Pembaca dalam Pengajaran Pengkajian Puisi (Studi Eksperimen pada Mahasiswa Jurdiksatrasia FPBS IKIP Bandung Tahun Akademik 1998/1999).” Disertasi tidak dipublikasikan pada PPS UPI Bandung. Murniati, Nunuk P. 1993. Pengaruh Agama terhadap Ideologi Gender: Dinamika Gerakan

Perempuan di Indonesia. Jogyakarta: Tiara Wacana.


(5)

Nurgiyantoro, B. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta, Gadjahmada University Press. Pamungkas, Lea. 1995. Mbok Nah 60 Tahun dalam Laki-laki Kawin dengan Peri Antologi

Cerpen Kompas 1995 hal. 95-103. Jakarta: Kompas.

Pamungkas, Lea. 1996. Warung Pinggir Jalan dalam Pistol Perdamaian Antologi Cerpen Kompas 1995 hal. 135-146. Jakarta: Kompas.

Ruseffendi, H. E. T. 2001. Dosen-Dosen Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta

Lainnya. Semarang: IKIP Press.

Roestam, Kardinah. S. 1993. Wanita, Martabat dan Pembangunan. Jakarta: Forum Pengembangan Keswadayaan.

Rusyana, Y. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Dipenogoro. Sanderson, S. 1995. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Saptari and Holzner. 1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi

Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca-Orde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sastrowardoyo, S. 1992. Pengantar dan Ideologi Kado Istimewa. Jakarta: Gramedia.

Sebatu, Alfons. 1994. Psikologi Jung, Aspek Wanita dalam Kepribadian Manusia. Jakarta: Gramedia.

Selden, Raman. 1996. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. (Terjemahan Rahmat Djoko Pradopo). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Soemandoyo, P. 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi. Yogyakarta: LP3Y dan Ford Foundation.

Syamsuddin, A.R. 1992. Studi Wacana Teori Analisis-Pengajaran. Bandung: FPBS Press. Sugiharti. 2002. Wanita di Mata Wanita. Bandung: Nuansa.

Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra. Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis.

Sumardjo, Jacob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni. Sumardjo, Jacob. & Saini, K.M. 1991. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia. Suseno, Magnis F. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.


(6)

Stimpson, Chatarine R. 1981. On Feminist Criticisan dalam Sugihastuti. Feminist dan Sastra. Bandung: Katarsis.

Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada

Arus Utama Pemikiran Feminis. (Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro). Bandung:

Jalasutra.

Umar, Nazaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif Al-Quran. Jakarta: Paramadina.

Yulianeta. 2002. “Pengoperasian Ideologi Gender dalam Novel Saman.” Tesis tidak dipublikasikan pada PPs UNM.

Yusuf, S. 2001. Complete and Latest Works on Critical Discourse Analysis. Compiler Teun van

Dijk’s. Bandung: UPI.

Van Nelson, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Terjemahan oleh K. Bertens. Jakarta: PT Gramedia.

Wahid, M. H. N. 1996. “Kajian Atas Kajian DR. Fatimah Mernissi Tentang “Hadist Misogini” (Hadit yang Isinya Membenci Perempuan) hal 3-36.” Surabaya: Rislah Gusti.