Cerpen “Ruang Belakang” ANALISIS WACANA KRITIS

178 Idah yakin sekarang dia bisa melakukan apa saja, termasuk pergi sore pulang pagi seperti yang dilakukan oleh Mira. Idah jadi pelacur, sesuai dengan dambaannya ingin seperti Mira. Sebetulnya bukan Idah saja yang hidupnya terepresi karena pembangunan, tetapi berakibat juga terhadap Emak. Emak “terepresi” sampai menjadi bisu.

4.4 Cerpen “Ruang Belakang”

Judul : “Ruang Belakang” Pengarang : Nenden Lilis Aisyah Antologi : “Dua Tengkorak Kepala” Penerbit : Kompas, 2000 Ikhtisar Cerpen “Ruang Belakang” bercerita tentang kehidupan dua keluarga yang mengontrak di ruang belakang paviliun yang dikontrak tokoh aku pengarang. Pengarang dalam cerita ini menempatkan diri sebagai pengamat, tetapi pegarang juga melibatkan diri dalam penceritaan. Kedua-duanya ibu, yang satu adalah Umi, seorang janda dengan satu anak laki-laki yang duduk di SMP dan sangat bandel, tidak pernah menurut pada ibunya dan selalu menyepelekan ibunya. Sementara tetangga yang satu lagi Teh Nining dan suaminya, Dadang punya anak satu perempuan yang masih duduk di kelas satu SD. Mereka suka menyetel tape keras-keras. Di tengah suara kaset yang keras terdengar suara Teh Nining yang mengomel karena suaminya selalu tidur kaya kebo. Anaknya menangis tidak mau mandi. Kadang-kadang terdengar suara 179 jeritan Teh Nining karena bertengkar dengan tetangganya Umi, atau karena digampar suaminya. Tokoh aku pengarang sudah tiga bulan mengontrak paviliun di perbatasan kota, dan mereka sekeluarga ngontrak di daerah itu karena biayanya relatif murah. Tokoh aku bercerita bahwa dia mempunyai bayi yang baru berumur empat bulan. Teh Nining sering dipukul suaminya. Apalagi setelah suaminya dikeluarkan dari hotel tempatnya semula bekerja. Kira-kira jam sepuluh pagi Teh Nining pergi ke pasar berbelanja bahan adonan gorengan yang akan dijualnya pada sore hari sampai kira-kira pukul sembilan malam. Kalau pagi-pagi Teh Nining ke pasar seringkali suaminya masih tidur, karena semalam ia pulang dalam keadaan mabuk. Apabila ia bangun agak pagi dan menemukan istrinya pergi tanpa menyediakan kopi, ia akan marah-marah dan menyumpah-nyumpah sendiri, lalu pergi dalam keadaan semrawut setelah menitipkan kunci. Suatu pagi terdengar suara piring dan gelas yang dilempar, diikuti rentetan kata-kata kasar seorang laki-laki, rupanya suara Dadang, suami Teh Nining. Kemudian terdengar suara benda dibenturkan. Tampaknya laki-laki itu menjambak rambut Teh Nining dan membenturkannya, terdengar jeritan Teh Nining, tangis anaknya, suara kerompyang, bantingan pintu, dan langkah pergi. Siang hari Teh Nining pinjam uang kepada tokoh Aku untuk pergi ke rumah kakaknya di Cililin bersama anaknya. Suatu hari terlihat seorang perempuan di kamar Teh Nining, dikira Teh Nining, ternyata pacarnya Dadang, suami Teh Nining, yang menurut Umi perempuan itu sudah bunting. 180

4.4.1 Profil Gender dan Identitas Gender

Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini ialah tokoh aku pengarang, sebagai pencerita dan pengamat cerita, Teh Nining sebagai tokoh utama, Dadang suami Teh Nining, dan Umi sebagai tokoh tambahan. Dari pemerian cerita diketahui bahwa Teh Nining adalah seorang istri yang menderita karena suaminya galak dan sering memukulnya. Dilihat dari sudut gender Teh Nining ini adalah perempuan mandiri dan berperan ganda. Pagi-pagi dia sudah menyediakan kopi buat suaminya, karena kalau dia lupa pasti suaminya marah-marah, kemudian pergi ke pasar belanja bahan gorengan yang akan dijualnya pada sore hari sampai kira-kira jam sembilan malam. Dadang suami Teh Nining adalah pengangguran dan pekerjaannya tidur “kaya kebo”, wataknya kasar dan sering menyiksa istrinya. Profil Dadang ini diceritakan oleh pengarang sebagai profil manusia jorok dan menjanjikan, tubuhnya kotor, mulutnya bau, kerjanya lantang-lantung, pulang hanya untuk makan, dan kalau belum ada makanan, istrinya harus siap menerima dampratan. Profil Dadang merepresentasikan ideologi gender. Profil Teh Nining digambarkan sebagai perempuan yang berwajah manis, tubuhnya padat, gerakannya lincah, dandanannya dan riasannya selalu mencolok, seolah-olah tidak pas, kelihatannya akan lebih cantik kalau dia tidak dandan norak polos. Teh Nining ini masih muda, tapi dia bertahan hidup dengan suami yang selalu memperlakukan buruk dan galak. Dia mempunyai anak perempuan yang baru duduk di kelas satu SD. Watak Teh Nining merepresentasikan ideologi gender. 181 Profil tokoh aku pengarang adalah keluarga muda yang mengontrak paviliun yang selalu terganggu oleh penghuni dua kamar ruang belakang paviliunnya. Tokoh aku punya bayi berumur empat bulan yang selalu terganggu pula oleh riuhnya suara dari ruang belakang. Profil tokoh aku tidak merepresentasikan ideologi gender. Profil Umi digambarkan oleh pengarang sebagai profil tambahan. Umi adalah seorang janda dan mempunyai seorang anak laki-laki yang bandel dan masih duduk di bangku SMP. Profil Umi adalah senang membuat gosip, membual, dan kurang dapat dipercaya, karena tidak jujur. Umi sering menjelek-jelekan Teh Nining, kelihatannya mereka tidak akrab. Profil Umi ini tidak merepresentasikan ideologi gender. Lokasi penceritaan kelihatannya terjadi di daerah Sunda, terlihat dari nama- nama tokoh pemeran cerita dalam cerpen ini.

4.4.2 Peran Gender dan Relasi Gender

Dari pemerian cerpen “Ruang Belakang” ini tergambar bahwa peran tokoh utama Teh Nining adalah berperan ganda, yakni berperan sebagai ibu rumah tangga, dalam arti harus mengurus rumah tangga bekerja di ruang domestik dan bekerja di ruang publik sebagai pedagang gorengan. Teh Nining berperan sebagai pencari nafkah, karena suaminya pengangguran. Dalam pemeriannya pengarang mengkondisikan Teh Nining berperan ganda ini sebagai tugas perempuan dalam integritas kultural terhadap tradisi. Pekerjaan Dadang suami Teh Nining luntang-lantung seharian, menyabung ayam, atau main gapleh dengan pemuda-pemuda pengangguran. Kalau pulang hanya untuk makan. Apabila dia pulang tak ada makanan, dia marah-marah dan istrinya 182 harus siap menerima dampratan. Kebiasaan Dadang pulang malam dalam keadaan mabuk, sesudah itu tidur kayak kebo. Apabila dia bangun agak pagi dan menemukan istrinya sudah pergi ke pasar tanpa menyediakan kopi, dia akan marah-marah dan menyumpah-nyumpah sendiri, lalu pergi luntang-lantung tak ada pekerjaan. Tidak ada komunikasi atau relasi yang baik antara Dadang dan istrinya. Pekerjaan tokoh tambahan Tokoh aku pengarang adalah sedang menulis skripsi dan suaminya wartawan. Kehidupan tokoh tambahan ini harmonis dengan suami dan anaknya yang masih berumur empat bulan. Suaminya “Tokoh aku” baik, mau mencuci, mau memandikan bayi, dan tidak banyak tuntutan. Tokoh aku ini tulus melayani suami dengan bekerja di ruang domestik sambil menyelesaikan studi. Dia menjadi tempat pengaduan bagi penghuni kamar ruang belakang, terutama Umi tokoh tambahan lain yang selalu mengganggu dengan ocehan-ocehan dan gosip-gosipnya, sambil menjajakan dagangannya untuk dibeli. Peran tokoh tambahan yang lain adalah Umi. Umi adalah seorang janda yang menghidupi seorang anak laki-laki yang duduk di bangku SMP. Pekerjaan Umi adalah tukang pijat dan mencuci pakaian sambil berdagang jamu dan kosmetik yang murahan. Umi berjualan jamu dan kosmetik dari rumah ke rumah sambil membual tentang cerita-cerita gosip, yang belum tentu kebenarannya. Kadang-kadang dia dimintai untuk memijat, lumayan pijatannya enak, hanya sambil memijat mulutnya tak pernah berhenti mengoceh tentang kejelekan dan rahasia orang lain. Paling senang menjelek-jelekkan Teh Nining, padahal ngontrak kamarnya berdempetan di ruang belakang paviliun tokoh aku. 183 Umi itu selain tukang jamu, juga sering mencucikan pakaian-pakaian tetangga, termasuk pakaian-pakaian tokoh aku. Ternyata beberapa potong pakaian tokoh aku hilang, Umi menjawab dengan tenang dan bersumpah dengan nama Tuhan segala, dia tidak mengambilnya, tetapi kemudian diketahui Umi menjajakan kain yang dicucinya kepada orang-orang kampung belakang.

4.4.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender

Cerpen “Ruang Belakang” ini membahas tentang representasi posisi berbagai aktor sosial, posisi gagasan, dan peristiwa. Posisi-posisi ini menentukan bentuk wacana yang hadir di tengah pembaca. Berdasarkan analisis Fairclough dan Sara Mills akan dijelaskan bagaimana posisi-posisi itu ditampilkan. Posisi-posisi ini akan menentukan siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan, bagaimana menentukan struktur teks, menginterpretasikan makna dan memberlakukan eksplanasi dalam wacana cerpen itu secara keseluruhan. Secara luas cerpen ini akan mengungkap tentang ideologi dan kepercayaan dominasi beroperasi. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, representasi ideologi dalam cerpen “Ruang Belakang” menampilkan Teh Nining sebagai “objek” penceritaan dan Dadang suami Teh Nining sebagai “subjek” penceritaan. Dalam cerpen ini pengarang Nenden Lilis Aisyah terlibat dalam penceritaan dengan menampilkan diri tokoh aku dalam cerita, dia juga menjadi pengamat jalannya penceritaan. Pengarang berperan mengungkap jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender. 184

4.4.3.1 Ideologi Patriarki

Teh Nining sebagai tokoh utama mempunyai peran ganda dalam rumah tangganya. Selain dia beperan di ruang domestik, dia juga bekerja di ruang publik sebagai penjual gorengan. Teh Nining berperan sebagai pencari nafkah, karena suaminya sedang menganggur, dikeluarkan dari pekerjaannya di hotel. Entah alasannya apa? Dalam cerpen ini Teh Nining selalu didefinisikan, tak pernah dia menampilkan dirinya sendiri. Dia mengerjakan pekerjaan rutin sebagaimana tugas perempuan yang memang sudah dikondisikan sejak awal dalam strategi sosial sesuai ideologi gender. Setelah anaknya pergi sekolah, suamiya sedang tidur karena pulang tengah malam dan mabuk Teh Nining pergi ke pasar belanja bahan-bahan gorengan, yang akan dijual pada sore hari yang dimulai jam 16.00 sampai jam 21.00 dengan gerobak yang diparkir di pertigaan jalan. Apabila suaminya bangun agak pagi, dan menemukan istrinya sudah pergi tanpa menyediakan kopi, dia akan menyumpah-nyumpah sendiri, lalu pergi dalam keadaan semrawut setelah menitipkan kunci pada tokoh aku. Tokoh aku pengarang sering merasa takut dan jijik pada suami Teh Nining yang digambarkannya sebagai berikut: Tubuhnya seperti orang tidak sehat dan sekotor tikus-tikus yang berloncatan dari atap gudang. Wajahnya menyerupai kamar sempit penuh sarang laba-laba. Ia menatap dengan mata orang sakit mata, dan kalau berbicara, kecoa-kecoa busuk dari got seakan memenuhi perutnya untuk menyebarkan bau melalui mulutnya. Ia luntang-lantung seharian, ikut menyabung ayam atau main gapleh dengan pemuda-pemuda pengangguran. Pulang-pulang untuk makan, dan kalau tak ada makanan, istrinya harus siap-siap menerima dampratan hal.108. 185 Karena tingkah laku Dadang suami Teh Nining menjijikan dan galak, maka wajarlah kalau Teh Nining selalu memuji-muji suami tokoh aku yang katanya ganteng, pintar, baik hati. Dalam penceritaan cerpen ini tokoh Dadang sebagai “subjek” penceritaan digambarkan penonjolan ideologi patriarkinya. Dia menguasai istrinya dan sering memukul istrinya. Sedangkan suami tokoh Aku lirik digambarkan sebaliknya “...Setiap pagi sebelum berangkat kerja suamiku mencuci dan memandikan bayi kami yang berumur empat bulan” hal 108. Gambaran suami tokoh Aku berlawanan dengan ideologi gender dan benar-benar melaksanakan kemitrasejajaran gender. Lain halnya dengan suami Teh Nining yang selalu “mensubordinasi” istrinya, selalu ingin menang sendiri dan selalu ingin dilayani. Tingkah laku suami Teh Nining menunjukkan ketidakadilan gender subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, dan represi. Sama halnya dengan Umi yang bercerai karena katanya suaminya menyeleweng.

4.4.3.2 Ideologi Familialisme

Sebagai seorang istri Teh Nining adalah seorang perempuan yang sangat bertanggung Jawab terhadap kelangsungan kehidupan keluarga. Karena suaminya tidak bekerja, dia yang mengambil alih mencari nafkah dengan berjualan gorengan. Jadi, dalam cerpen ini digambarkan bahwa Teh Nining berperan ganda. Sayangnya peran ganda Teh Nining tidak ditunjang oleh suaminya. Suami Teh Nining walaupun menganggur dan dihidupi oleh istri, sangat dominan, dia galak, istrinya sering sekali dipukul, sekalipun karena masalah-masalah kecil. Peran ganda Teh Nining sangat tidak dihargai suaminya. Seandainya Dadang begitulah nama suami Teh Nining 186 bangun lebih pagi, karena selalu bangun siang dia akan marah-marah dan menyumpah-nyumpah, apabila tak disediakan kopi oleh istrinya, sebelum pergi ke pasar. Teh Nining harus hati-hati sebelum pergi, makanan dan minuman harus disediakan dahulu, supaya suaminya tidak mencak-mencak. Pola kehidupan keluarga muda Teh Nining dan Dadang ini menunjukkan representasi ideologi gender. Tentang peran ganda perempuan ini Parson Darma, 2002: 26 mengemukakan bahwa penyesuaian dan mekanisme hubungan dalam rumah tangga dapat dilihat dengan pendekatan sistem yang disebut AGIL, yaitu Adaptation, Goal Attaintment, Integration, dan Lattern Pattern Maintenance. Pengaruh eksternal dan internal adanya peran ganda perempuan mempengaruhi keluarga untuk mengadaptasi perubahan-perubahan. Baik istri maupun suami sebaiknya dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan kebutuhan dan harapan peran dengan adanya peningkatan peran perempuan Adaptation. Selanjutnya perubahan dan penyesuaian harus diselaraskan dengan tujuan-tujuan keluarga dan penentuan prioritas. Baik istri maupun suami memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan keputusan apa yang menjadi prioritas Goal Attainment. Dalam tahap penyesuaian mungkin saja terjadi konflik, pertentangan, dan ketegangan, karena suami dan istri memiliki harapan-harapan peran baru, yang sesuai dengan peran perempuan. Baik keseimbangan muncul dalam menghadapi harapan-harapan peran yang baru, maka integrasi akan tercapai. Kesesuaian peran yang diharapkan dapat terjadi Integritas. Akhirnya harapan- harapan peran baru diterima. Selanjutnya disosialisasikan dan dipelihara dalam 187 keluarga Lattern Pattern Maintenance. Norma peran ganda perempuan dengan segala konsekuensinya terhadap kedudukan atau status perempuan dalam rumah tangga akan diinternalisasikan oleh keluarga. Kenyataan konsep AGIL, sama sekali tak terserap oleh keluarga Teh Nining. Yang ada adalah kesenjangan komunikasi antara Teh Nining dan Dadang. Masing- masing keduanya mempunyai dasar penilaian menurut pola gender yang telah dibuat turun-temurun oleh masyarakat. Pada suatu pagi terdengar suara Teh Nining mengomel karena suaminya selalu tidur kayak kebo, anaknya menangis tidak mau mandi. Selanjutnya terdengar suara jeritan Teh Nining yang digampar suaminya. Kekasaran Dadang terhadap istrinya menunjukkan pemarginalan, penyubordinasian, pendeskriminasian, dan perepresian” suami terhadap istri. Kadang-kadang posisi perempuan yang termarginalisasi diperkuat oleh kaum perempuan itu sendiri. Contohnya, bagaimana tokoh Umi, sang tetangga ikut memarginalkan tokoh Nining. Si Nining itu perempuan pembawa apes bagi suami ... usaha Dadang selalu gagal ... Bagaimana tidak membawa sial, lanjut Umi, waktu menikah dengan Dadang saja dia sudah tidak perawan ... Eh setelah menikah, dia masih senang menggoda laki-laki lain ... Bapaknya si Iwang saja yang ketat dikelilingi jampi- jampi sama Umi, hampir tergoda hal.110. Umi senang sekali menjelek-jelekkan Teh Nining. Tokoh aku tak mempercayainya begitu saja, walaupun Teh Nining kadang-kadang bersikap agak berlebihan di depan rumah tokoh aku. Tokoh aku berpretensi bahwa Teh Nining berbuat begitu karena ia simpati pada cara suamiku memperlakukan tokoh aku yang berbeda dengan cara suaminya memperlakukan dia. 188

4.4.3.3 Ideologi Ibuisme

Munculnya simbol ibu, kemudian diikuti dengan paham “ibuisme”. Paham ini membawa arti sempit terhadap perempuan, karena perannya dibatasi pada sektor domestik. Ideologi ibuisme menuntut perempuan berperan sebagai ibu yang baik, pendamping suami yang baik, mengurus anak, dan ikut mencari nafkah tambahan. Memosisikan perempuan seperti ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap kehidupan perempuan. Soalnya tak ada tuntutan sebanyak itu bagi laki-laki. Laki-laki hanya dikondisikan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bekerja di ruang publik, tidak ada tuntutan untuk membantu pekerjaan perempuan di ruang domestik. Semua posisi ini dikondisikan oleh sistem nilai masyarakat turun-temurun. Saat Dadang diomeli Teh Nining karena tidur saja kayak kebo, Dadang marah dan menggamparnya. Tetapi saat Teh Nining tidak menyediakan kopi untuk suaminya kalau bangun agak pagi, Teh Nining bisa-bisa digampar lagi. Jadi perempuan tidak bisa menampilkan dirinya, diskriminasi ini berlangsung selama ada dominasi laki-laki terhadap perempuan, perempuan selalu didefinisikan tidak bisa mendefinisikan. Tokoh Teh Nining itu adalah tokoh perempuan yang mandiri. Selama ini dia yang mencari nafkah untuk keluarganya. Selain itu dia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah banyak omong seperti Umi. Tokoh aku heran, kenapa Teh Nining yang masih muda dan berparas manis mau bertahan punya suami yang memberlakukan dia seburuk itu. Apa kata Umi mengomentari pertanyaanku ketika Umi memijat tokoh aku. 189 “Sayang barangkali Neng berpisah dengan laki-laki ganteng macam Dadang. Lagian ... tidak enak Neng jadi janda ...” hal. 111. Tokoh aku heran mengapa Umi mengatakan Dadang ganteng. Pantas dia selalu menjelek-jelekkan Teh Nining, mungkin dia iri pada Teh Nining, karena mempunyai suami Dadang. Padahal pada kenyataannya penampilan Dadang itu sangat menjijikan, kotor, dan bau. Pekerjaannya hanya luntang-lantung dan marah- marah. Kalau pulang hanya untuk makan, dan kalau tak ada makanan, bisa-bisa Teh Nining digamparnya. Teh Nining selalu terdiskriminasi, tersubordinasi, termarginalisasi, dan terepresi. Umi yang berprofesi pemijat dan pencuci pakaian sambil membawa dagangan jamu kemasan yang mereknya tak terkenal dan kosmetik murah berceloteh tentang khasiat jamunya kepada tokoh aku. “Neng, jamu yang ini, Neng, khusus untuk wanita” ... Eneng kan baru melahirkan. Nah, ini rahasianya. Supaya rapet dan nggak becek” hal. 108-109. Tokoh aku hanya tersenyum, menurut tokoh aku yang memunculkan kemesraan adalah suasana hati dan kasih sayang yang muncul dari dalam dan harus muncul dari kedua-duanya, suami dan istri, tidak ada “diskriminasi”.

4.4.3.4 Ideologi Umum

Ideologi umum menunjukkan adanya represi bagi perempuan yang dilakukan oleh laki-laki. Hal ini juga terjadi karena adanya hegemoni gender. Dalam cerpen “Ruang Belakang” ini pengarang bercerita tentang keterlibatannya dalam penceritaan. “Pagi itu dia dan suaminya terbangun karena jeritan bayinya, yang kaget karena suara gerombyang gelas dan piring yang dilempar. Jam di dinding baru 190 menunjukkan jam enam lewat sedikit. Terdengar suara laki-laki yang kasar dan suara benda yang dibenturkan. Tampaknya Dadang menjambak rambut Teh Nining dan membenturkan kepalanya. Terdengar pula jeritan Teh Nining dan tangisan anaknya, serta bantingan pintu, kayaknya Dadang pergi. Suamiku pergi ke belakang ingin melihat apa yang terjadi, tapi dia kembali lagi karena pintu kamar Teh Nining dikunci hal 112.” Siang hari si tokoh aku mengetuk pintu Teh Nining, karena khawatir terjadi apa-apa pada Teh Nining, tetapi tidak dibuka. Kamar Umi juga sepi, entah ke mana dia pergi. “Menjelang tengah hari terdengar ketukan di pintu dapur. Ketika pintu dibuka, tersembul muka bengap dan mata bengkak.” Terjadi dialog antara tokoh aku dan Teh Nining. “Eh Teh Nining, masuk Teh” “Maaf mengganggu nih, Bu...” ucapnya lirih. “Nggak apa-apa. Justru saya gembira Teh Nining keluar. Tadi pintunya beberapa kali saya ketuk...” “Saya ada di dalam. Cuman tadi saya betul-betul nggak bisa bangun. Pusing. Nggak enak badan.” “Dahi Teteh memar, kenapa?” “Ah cuman terbentur, nggak apa-apa kok.” “Benar nggak apa-apa?” hal. 112. Dia menggeleng pelan, lalu cepat-cepat mengatakan maksudnya akan meminjam uang untuk ongkos ke Cililin ke rumah kakaknya bersama anaknya. Dia berjanji akan mengembalikan uangnya kalau kembali dari Cililin. Dari dialog di atas bisa diketahui bahwa tokoh Teh Nining tidak mau kejelekan rumah tangganya diketahui orang lain, dia berusaha menutupi apa yang terjadi sebenarnya. Hal ini juga menunjukkan adanya ideologi gender, yang menyangkut posisi perempuan yang tabu untuk mengemukakan perasaannya secara terbuka. Perempuan harus bisa menyimpan perasaan, dan harus bisa tetap menutupi 191 kejelekan-kejelekan suaminya, karena suami adalah kepala rumah tangga dan panutannya. Teh Nining, yang sudah jelas-jelas mukanya bengap dan matanya sembab tak mau terbuka menceritakan kepada tokoh aku atas “represi” yang dilakukan suaminya. Saat Teh Nining keluar dari rumah tokoh aku dengan sempoyongan, berpapasan dengan Umi yang baru datang, entah dari mana. Umi dan Teh Nining sama sekali tidak bertegur sapa. Malah Umi cepat menghampiri tokoh aku dan mendorong tokoh aku masuk ke dalam dan menutup pintu. Kemudian terjadi dialog antara Umi dan tokoh aku. “Si Nining, tadi ngapain?” “Nggak apa-apa.” “Dia cerita habis disiksa suaminya?” “Tidak.” “Lantas?” “Pinjam uang.” hal. 113. Selanjutnya Umi bercerita bahwa semua uang Teh Nining, termasuk modal dagangnya diambil suaminya dan dipakai judi. Menurut Umi, Teh Nining pantas mendapat perlakuan suaminya seperti itu karena Teh Nining main sama tukang ojeg. Terang saja Dadang marah. “Mana sih ada laki-laki yang mau diperlakukan begitu,” kata Umi hal.113. Umi berterus terang bahwa dia yang mengadukan perselingkuhan Nining dengan tukang ojeg kepada Dadang. “Apa Umi melihat sendiri Teh Nining berselingkuh?” “Ah tak usah dilihat sendiri. Semua orang sudah tahu,” kata Umi hal.113. 192 Percaya atau tidak atas cerita Umi, tokoh aku tetap kasihan sama Teh Nining. Tega- teganya Umi berbuat seperti itu terhadap tetangga dan sesama perempuan, yang sebetulnya begitu pasrah mau mencari nafkah untuk kelangsungan kehidupan keluarga dengan tak lupa melayani suami. Teh Nining betul-betul berada dalam keadaan “terepresi” oleh kelakuan suaminya. Sudah lama Aku tidak melihat Dadang, tetapi kadang-kadang menjelang dini hari terdengar Dadang pulang dalam keadaan mabuk, meracau, lalu muntah di depan kamarnya hal. 114. Kepulangan Teh Nining dari Cililin tidak dapat ditentukan. Namun pada suatu hari Tokoh aku melihat seorang perempuan di kamar Teh Nining. Tokoh aku mengira Teh Nining. Namun Umi memberi tahu “Pacarnya si Dadang, Neng. Udah bunting...” Aku terpaku hal. 114. Dalam cerpen “Ruang Belakang” ini terlihat pengarang melibatkan diri sampai selesai penceritaan. Dia mengungkap kekerasan rumah tangga secara gamblang, tanpa ada perikemanusiaan dengan seenaknya suami Teh Nining mengambil uang, modal dagangan istrinya untuk menafkahi keluarga dan menyiksanya secara fisik dan mental. Dalam cerita ini terlihat bahwa dengan sekadar gosip, laki-laki sudah wenang untuk merepresi istrinya dalam hal ini perempuan, tetapi perempuan tidak bisa berbuat seperti apa yang dilakukan laki-laki. Inilah kenyataannya apa yang terjadi dengan adanya ketidakadilan gender. 193

BAB V ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN